Hiperperistaltik
Tekanan osmotik rongga Peningkatan sekresi atau hipoperistaltik
usus meningkat air dan elektrolit ke
dlm rongga usus
Merangsang usus
utk mengeluarkan Diare
Lanjutan Pathway Diare
Diare Penyerapan sari
makanan menurun
Gangguan
integritas kulit
Klasifikasi Dehidrasi
A. Derajat Dehidrasi Menurut Jumlah Cairan
yang Hilang
1. Dehidrasi Ringan
Kehilangan cairan 5 % Berat Badan
2. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5- 10 % Berat Badan
3. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan >10 % Berat Badan
B. Derajat Dehidrasi menurut Tonisitas
Cairan
1. Dehidrasi isotonik
Kadar Na dalam plasma 130 – 150 mEq/L
2. Dehidrasi hipotonik
Kadar Na dalam plasma <130 mEq/L
3. Dehidrasi hipertonik
Kadar Na dalam plasma > 150 mEq/L
Pemeriksaan penunjang:
• Elektrolit
• feses
Tatalaksana Anak-anak dengan
dehidrasi berat
• harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang
diikuti dengan rehidrasi oral.
• Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat
infud disiapkan, beri larutan oralit jika anak bisa
minum.
• Larutan intravena terbaik adalah larutan ringer
laktat. Jika tidak tersedia berikan larutan garam
normal (NaCL 0.9%).
• Beri 100 ml/kgBB larutan yang dipilih dan dibagi
sesuai Tabel berikut ini.
Pemberian Cairan Intravena Untuk
Anak Dengan Dehidrasi Berat.
demam pengembalian
mendadak terjadi pada cairan dari
tinggi 2-7 hari hari 3 - 7 ekstravaskuler
ke intravaskuler
secara perlahan
Gambaran klinis berdasarkan fase
meliputi:
1) Fase febris, biasanya
demam mendadak tinggi 2-7
hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh,
mialgia, artralgia dan sakit kepala.
Pada beberapa kasus ditemukan
nyeri tenggorok, injeksi farings dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan
muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan
seperti ptekie, perdarahan
mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan
pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal.
2) Fase kritis, terjadi pada hari 3 - 7 sakit dan
ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung
selama 24 - 48 jam. Kebocoran plasma sering
didahului oleh lekopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok.
3) Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka
terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 - 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik,
nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil
dan diuresis membaik.
Klasifikasi DBD
Menurut WHO (2008), derajat penyakit DBD
dapat diklasifikasikan dalam 4 derajat dimana
pada setiap derajat sudah ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi, yang
terdiri dari:
1) Perlakukan sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal.
2) Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti ringer laktat/asetan secepatnya.
3) Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB
secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20
ml/kg BB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
4) Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematocrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi: berikan transfusi
darah/komponen.
5) Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai
membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB
dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis
laboratorium.
6) Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Perlu
diingat banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak
dari pada pemberian yang terlalu sedikit.
ASKEP PADA ANAK DENGAN
NEFROTIK SYNDROM
Nefrotik Syndrom
• Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema,
proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.
Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal ( Ngastiyah, 1997).
• Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak.
Biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau
urin yang kental akibat proteinuria berat ( Mansjoer Arif,
dkk. 1999).
• Nephrotic Syndrome merupakan kumpulan gejala yang
disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada
anak dengan karakteristik : proteinuria, hypoproteinuria,
hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suryadi,
2001).
Sindrom nefrotik merupakan gangguan
klinis ditandai oleh:
• Peningkatan protein dalam urin secara
bermakna (proteinuria)
• Penurunan albumin dalam darah
• Edema
• Serum cholesterol yang tinggi
(hiperlipidemia)
B. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
• Malaria kuartana atau parasit lainnya.
• Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
• Glumerulonefritis akut atau kronik,
• Trombosis vena renalis.
• Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
• Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
B. Etiologi
3. Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk
membaginya menjadi :
4. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
pada dinding kapiler glomerulus.
5. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
6. Glomerulonefritis proliferatif
C. Patofisiologi
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran glomerulus.
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju sintesis
hepar dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia.
Hal ini menyebabkan retensi garam dan air.
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat
cairan yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra
seluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem imun
angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
karena hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau defisiensi seng.
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau
sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit
ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada
orang dewasa termasuk lansia.
D. Manifestasi Klinik