Anda di halaman 1dari 18

A.

Standarisasi
Serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran
yang hasilnya merupakan unsur – unsur terkait paradigma mutu
kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,
biologi dan farmasi).
Tujuan dari standarisasi adalah konsisteni produk dari batch
ke batch, jumlah ekstrak per unit donis, indikasi adanya kehilangan
atau degradasi selama proses produksi, dan mencegah pemalsuan
simplisia.
Keuntungan yang diperoleh konsumen dengan adanya
standarisasi adalah kandungan aktif dalam produk konstan
sehingga tujuan terapi tercapai. Sedangkan keuntungan bagi
produsen adalah proses produksi lebih efektif, dipercaya, dan
meminimalkan kesalahan dan kerugian.
Selain memiliki keuntungan, dalam melakukan standarisasi
juga ditemukan kendala yaitu, susah dilakukan untuk obat dengan
efek farmakologi tidak terukur misalnya antioksidan, butuh biaya
besar, butuh peralatan dan keahlian khusus, zat aktif tidak diketahui
dan senyawa standar tidak tersedia
B. Standarisasi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai
bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia terdiri dari simplsia nabati, hewani dan
mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman
utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di maksud
eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
selnya atau zat – zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia
pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
Atau bahan mineral diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat
kimia murni. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan
maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk
standardisasi simplisia. Standardisasi simplisia mengacu pada tiga konsep
antara lain sebagai berikut:
1. Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter
mutu umum (nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan, distribusi)
2. Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus
memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki
spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan (Depkes RI, 1985).

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan


dalam proses standardisasi suatu simplisia. Parameter
standardisasi simplisia meliputi parameter non spesifik dan
spesifik.Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor
lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter
spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam
tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter
standardisasi simplisia sebagai berikut:
1. Kebenaran simplisia
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara
organoleptik, makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan
organoleptik dan makroskopik dilakukan dengan menggunakan
indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan mutu
simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta
warna dan bau simplisia.Sebaiknya pemeriksaan mutu
organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi
histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.
2. Parameter non spesifik
Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan
pencemaran yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin,
logam berat, penetapan kadar abu, kadar air, kadar minyak
atsiri, penetapan susut pengeringan.
3. Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia
dari simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk
menetapkan kandungan senyawa tertentu dari
simplisia.Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis
tipis (Depkes RI, 1985).
Standarisasi simplisia harus dilakukan pada setiap tahap
penyiapan simplisia. Meliputi penyiapan bibi, budidaya sampai
dengan proses pemanenan dan penanganan pasca panen
(pengeringan).

Standarisasi dapat dilakukan melalui penerapan teknologi


yang tervalidasi pada proses menyeluruh yang meliputi penyediaan
bibit unggul (pre farm), budi daya tanaman obat (off farm),
ekstraksi, formulasi, uji klinik serta produksi.

1. Pre-Farm
Teknologi produksi benih / bibit unggul tumbuhan obat,
secara konvensional ataupun bioteknologis.
2. On-Farm
Teknologi budidaya tumbuhan obat yang mengacu pada
GAP
3. Off-Farm
Teknologi panen yang memperhatikan kandungan senyawa
aktif berkhasiat obat maupun parameter kualitas lainnya yang
dipersyaratkan.
a. Teknologi pasca panen / pengolahan yang menghasilkan
simplisia yang memenuhi persyaratan.
b. Teknologi ekstrak standar untuk mendapatkan ekstrak yang
tervalidasi kandungan senyawa aktif.
c. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat pre
klinik yang memenuhi persyaratan validitas (Herbal
Terstandar).
d. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat
klinik yang memenuhi persyaratan validitas (Fitofarmaka).
C. Standarisasi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh
diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian
parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk
kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa
aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan
juga dapat mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif
pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume
permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi,
serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara
mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain.

1. Parameter Non Spesifik


a. Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat
setelah pengeringan pada temperatur 105 oC selama 30
menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam porsen.
Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak
menguap/atsiri dan sisa pelarut organik) identik dengan
kadar air, yaitu kandungan air karena berada di
atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah Pengukuran Susut Pengeringan:
1) Ekstrak diratakan dalam botol timbang hingga
setinggi ± 5-10 mm
2) Ekstrak ditimbang sebanyak 1-2 gram dalam botol
timbang yang sebelumnya dipanaskan pada suhu
105°C selama 30 menit dan telah ditara
3) Masukkan dalam desikator hingga suhu kamar,
kemudian masukkan kedalam ruang pengering,
keringkan pada suhu 105°C hingga bobot tetap
4) Hitung Susut Pengeringan.

b. Bobot Jenis
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter
yang mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini
penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah
serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya
(Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah Pengukuran Bobot Jenis:
1) Hitung bobot piknometer dan bobot air yang baru
dididihkan pada suhu 25°C.
2) Atur suhu ekstrak ± 20°C, masukkan dalam
piknometer. Atur suhu piknometer hingga 25°C,
buang kelebihan ekstrak cair yang ditimbang.
3) Kurangkan bobot piknometer kosong dari berat
piknometer yang telah disini. Bobot jenis ekstrak
adalah hasil yang diperoleh dengan membagi
bobot ekstrak dengan bobot air dalam piknometer
suhu 25°C
c. Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung
zat atau banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).
Menggunakan Metode Titrasi, Destilasi dan
Gravimetri.
1) Metode Titrasi
a) Masukkan ± 20 ml metanol P ke labu titrasi
b) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik
akhir tercapai
c) Masukkan zat dengan cepat yang telah
ditimbang seksama yang diperkirakan
mengandung 10 – 50 mg air kedalam labu
titrasi, aduk selama 1 menit
d) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah
diketahui kesetaraan airnya
e) Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus V ×
F, V adalah volume pereaksi Karl Fischer pada
titrasi kedua, F adalah Faktor Kesetaraan air

2) Metode Destilasi

a) Masukkan ekstrak yang telah ditimbang


seksama yang mengandung 2-4 ml air kedalam
labu kering
b) Masukkan ± 200 ml toluen kedalam labu.
Hubungkan alat. Tuang toluen melalui alat
pendingin. Panaskan labu selama 15 menit
c) Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan
kecepatan ± 2 tetes per detik, hingga sebagian
air tersuling, kemudian naikkan kecepatan
penyulingan hingga 4 tetes per detik.
d) Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam
pendingin dengan toluen. Lanjutkan
penyulingan selama 5 menit. Dinginkan tabung
hingga suhu kamar.
e) Setelah air dan toluen memisah sempurna,
baca volume air. Hitung kadar air dalam
persen. %Kadar air = (V/W) x 100%

3) Metode Gravimetri
1) Masukkan ± 10 gram ekstrak dan timbang
dalam wadah yang telah ditara. Keringkan
dalam suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang
2) Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak
1 jam sampai perbedaan antara 2
penimbangan berturut – turut tidak lebih dari
0,25%
d. Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari
jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh
unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang
diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000).

Langkah – Langkah pengukuran kadar abu:


1) Penetapan Kadar Abu
a) Pijarkan krus silikat
b) Gerus ekstrak, timbang seksama 2-3 gram
ekstrak
c) Masukkan ekstrak kedalam krus silikat, ratakan
d) Pijarkan perlahan hingga arang habis,
dinginkan lalu timbang
e) Jika arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan
air panas
f) Saring melalui kertas saring bebas abu
g) Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam
krus yang sama
h) Masukkan filtrat kedalam krus, uapkan
i) Pijarkan hingga bobot tetap, timbang
j) Hitung kadar abu terhadap bahan yang
dikeringkan di udara

2) Penetapan Kadar Abu yang tidak larut dalam


asam
a) Didihkan abu yang diperoleh dari penetapan
kadar abu dalam 25 ml asam sulfat encer P
selama 5 menit
b) Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam krus
c) Saring melalui kertas saring bebas abu
d) Cuci dengan air panas
e) Pijarkan hingga bobot tetap, timbang
f) Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam
terhadap bahan yang telah dikeringkan

e. Sisa Pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin
terdapat dalam ekstrak dengan kromatografi gas.
Langkah – Langkah:
1) Timbang 2 gram ekstrak etanol, larutkan dalam 25 mL air
2) Masukkan dalam labu destilasi
3) Atur suhu destilat 78,5°C
4) Lakukan destilasi hingga selesai
5) Tambahkan aquadest 25 ml, tetapkan bobot jenis cairan
pada suhu 25°C
6) Hitung bobot jenis dan cocokkan pada tabel
alkoholmetrik

f. Residu Pestisida
Prinsip dalam metode ini adalah untuk menentukan sisa
kandungan pestisida yang mungkin saja pernah
ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia
pembuatan ekstrak (Depkes RI, 2000). Tujuannya
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya
(toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
Metode : KLT dan kromatografi gas cair.
 Jika kandungan kimia pengganggu analisis yang
besifat non polar relatif kecil seperti pada ekstrak
yang diperoleh dengan penyari air atau etanol
berkadar kurang dari 20%
menggunakan metode KLT secara langsung tanpa
melalui tahap pembersihan lebih dahulu atau
menggunakan kromatografi gas jika tidak terdapat
kandungan kimia dengan unsur N (klorofil, alkaloid
dan amina non polar lain)
 Ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol
berkadar tinggi dan tidak mengandung senyawa
nitrogen non polar bisa menggunakan metode KLT
atau kromatografi gas secara langsung tanpa
pembersihan
 Jika tidak dapat dilakukan karena banyaknya
kandungan kimia pengganggu dapat dilakukan
pengujian sesuai metode baku.
 Agar memudahkan penelusuran kembali jika ada
masalah analisis dapat dilakukan penomoran dan
perincian terhadap analisis disesuaikan dengan buku
aslinya.
g. Cemaran Mikroba
Prinsip dari metode ini adalah untuk menentukan
(identifikasi) adanya mikroba yang pathogen secara analisis
mikrobiologis ( Depkes RI, 2000). Tujuannya adalah
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non
patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan berbahaya
(toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
Metode ALT dan uji nilai duga terdekat (MPN) coliform.
 ALT (Angka Lempeng Total) digunakan untuk
mengetahui jumlah mikroba yang ada pada suatu
sampel. Uji Angka Lempeng Total (ALT) dan lebih
tepatnya ALT aerob mesofil setelah cuplikan
diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara
tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai.
o Media yang digunakan : PCA (Plate Count Agar)
o Pereaksi yang digunakan : PDF (Pepton Dilution
Fluid), FCDSLP (Fluid Casein Digest Soy Lecihitin
Polysorbate), Parafin cair (Minyak mineral),
Tween 80 dan 20.
o Peralatan khusus : Stomacher (blender) dan Alat
hitung koloni
Langkah-langkah :
1. Siapkan 5 tabung atau lebih yang telah diisi dengan 9
ml pengenceran PDF.
2. Hasil homogenisasi dipipet pengenceran 10 -1
sebanyak 1 ml ke dalam tabung yang berisi
pengenceran PDF pertama hingga pengenceran 10 -2 ,
dikocok hingga homogen.
3. Buat pengenceran selanjutnya hingga 10 -6 atau
sesuai dengan yang diperlukan.
4. Setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan
petri dan dibuat duplo.
5. Tiap cawan petri dituangkan 15-20 ml media PCA
(45±1o C), cawan petri digoyang dan diputar hinggan
suspense tersebar merata.
6. Untuk mengetahui sterilitas media dan pengencer
dibuat uji blangko (kontrol).
7. Satu cawan hanya diisi 1 ml pengenceran dan media
agar, dan cawan yang lain diisi pengencer dan
media.
8. Setelah media memadat, cawan petri diinkubasi pada
suhu 35-37o C selama 24-48 jam dengan posisi
terbalik.
9. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung.
 Uji Nilai Duga Terdekat (MPN) Coliform

Adalah pertumbuhan bakteri coliform setelah cuplikan


diinokulasikan pada media cair yang sesuai, adanya
reaksi fermentasi dan pembentukan gas di dalam tabung
durham.
o Pereaksi yang digunakan : PDF (Pepton Dilution
Fluid), MCB (Mac Conkey Broth), BGLB (Brilliant
Green Lactose Bile Broth, EMBA (Eosin Methylene
Blue Agar), VRBA (Violet Red Billie Agar), Methyl
Red-Voges Proskauer (MR-VP) Medium, Trypton
Broth, Simmon’s Citrate Agar, Nutrient Agar
o Peralatan : Stomacher atau blender atau cawan
mortar, pipet ukur, tabung durham.
Langkah-langkah:
1. Siapkan 5 tabung reaksi berisi 9 ml PDF.
2. Hasil homogenisasi pada penyiapan dipipet 1 ml
pengenceran 10-1 ke dalam tabung PDF pertama
diperoleh suspense dengan pengenceran 10 -2,
dikocok sampai homogen.
3. Dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10 -6
Uji Prakiran
1) Siapkan 3 tabung berisi 9 ml MCB yang dilengkapi
tabung durham.
2) Tiap tabung dimasukkan 1 ml suspense
pengenceran, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C
selama 24-48 jam.
3) Setelah 24 jam dicatat dan diamati adanya gas yang
terbentuk didalam tiap tabung, kemudian inkubasi
dilanjutkan hinggan 48 jam dan dicatat tabung-tabung
yang menunjukkan gas positif.
Uji Konfirmasi
1) Tabung yang menunjukkan uji prakiraan positif
dipindahkan 1 sengkelit ke dalam tabung berisi 10 ml
BGLB yang telah dilengkapi tabung durham.
2) Seluruh tabung diinkubasi pada suhu 37 o C selama
24-48 jam, dilakukan pengamatan terhadap
pembentukan gas.
3) Jumlah tabung yang positif gas dicatat dan hasil
pengamatan tersebut dirujuk ke table Nilai Duga
Terdekat (NDT)/ Minimal Presumtif Number (MPN),
angka yang diperoleh pada table MPN menyatakan
jumlah bakteri coliform dalam tiap gram.
h. Cemaran Kapang, Khamir dan aflatoksin
Prinsip dari metode ini adalah menentukan adanya jamur
secara mikrobiologis dan adanya aflatoksin dengan KLT
(Depkes RI, 2000). Tujuannya untuk memberikan jaminan
bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi
batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas
ekstrak dan aflatoksin yang
berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)

a. Uji Angka Kapang dan Khamir


Adalah pertumbuhan kapang dan khamir setelah
diinokulasikan pada media yang sesuai dan
diinkubasikan pada suhu 20-25ºC.
o Pereaksi/Media Khusus: Potato Dextrose Agar (PDA),
Czapek Dox Agar (CDA) atau Malt Agar, Air suling
Agar 0,05% (ASA), Kloramfenikol 100 mg/liter media.
o Peralatan : Lemari aseptic, Stomacher atau blender,
Pipet ukur mulut lebar.
Langkah-langkah:
1. Siapkan 3 buah tabung yang masing-masing telah
diisi 9 ml ASA.
2. Dipipet 1 ml pengenceran 10-1 ke dalam tabung ASA
pertama hinggan diperoleh pengenceran 10 -2 , dan
dikocok sampai homogen, dibuat pengenceran
selanjutnya hingga 10-4.
3. Dari masing-masing pengenceran dipipet 0,5 ml,
dituangkan pada permukaan PDA, segera digoyang
sambil diputar agar suspense tersebar merata dan
dibuat duplo.
4. Untuk mengetahui sterilitas media dan pengenceran,
dilakukan uji blangko, ke dalam satu cawan petri
dituangkan media dan dibiarkan memadat.
5. Ke dalam cawan petri lainnya dituangkan media dan
pengencer, kemudian dibiarkan memadat. Seluruh
cawan petri diinkubasi pada suhu 20-25 o C selama 5-
7 hari.
6. Sesudah 5 hari diinkubasi, dicatat jumlah koloni
jamur yang tumbuh, pengamatan terakhir pada
inkubasi 7 hari.
b. Uji Cemaran Aflatoksin
Pemisahan isolat aflatoksin secara kromatografi lapis
tipis

o Pereaksi : Media dan pengenceran Media Yeast


Extract Sucrose Broth (YES)
o Peralatan : Lemari aseptic, Lampu Ultra Violet,
Mikropipet 10 ml
Langkah-langkah:
1. Kultur aspergillus flavus hasil isolate dan identifikasi dari
ekstrak diinokulasikan pada permukaan media YES.
2. Tabung diinokulasikan pada suhu 25 o C selama satu
minggu dalam posisi miring untuk mendapatkan
permukaan yang luas. Biakan diautoklaf pada suhu 121 o
C selama 15 menit, biakan dibiarkan sampai dingin.
3. Ambil media biakan menggunakan pipet Pasteur dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kecil atau vial.
c. Kromatografi Lapis Tipis
o Lempeng : Silika gel (Lempeng pralapis), Kiesel gel
60, Merck
o Baku Aflatoksin : Merupakan campuran siap pakai
terdiri dari 0,5 ug, Aflatoksin B1 ; 1,5ug, Aflatoksin B2 ;
5,0 ug, Aflatoksin G1 ; 1,5 ug, Aflatoksin G2 dalam
larutan campuran benzene : acetonitril (98:2) (Sigma
Chemical Company)
o Eluen : Campuran kloroform : aseton : n-heksan
(85:15:20)
o Jarak rambat : 10 cm
o Penampak bercak: Bercak berwarna biru atau hijau
kebiruan setelah lempeng diletakkan dibawah cahaya
ultraviolet (366 nm), menandakan aflatoksin positif.
4. Parameter Spesifik
a. Identitas
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Deskripsi tata nama:
1) Nama Ekstrak (generik, dagang, paten)
2) Nama latin tumbuhan (sistematika botani)

3) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun,


buah,)

4) Nama Indonesia tumbuhan

Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya


senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan
metode tertentu. Parameter identitas ekstrak mempunyai tujuan
tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan
spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).

b. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa menggunakan
panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang
sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000).
c. Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui
jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia.
Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji
bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan
senyawa kimia dalam sari simplisia akan berkaitan erat
dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas farmakodinamik
simplisia tersebut (Depkes RI,1995).

d. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk
memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia
berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan
dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes
RI, 2000).
BAB III
KESIMPULAN

1. Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan


cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur – unsur terkait
paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat
standar (kimia, biologi dan farmasi).
2. Parameter standarisasi simplisia adalah kebenaran
simplisia, parameter spesifik dan parameter non spesifik.
3. Standarisasi ekstrak meliputi parameter spesifik dan non
spesifik
4. Parameter non spesifik ekstrak adalah:
a. Susut pengeringan
b. Bobot jenis
c. Kadar air
d. Kadar abu
e. Sisa pelarut
f. Residu pestisida
g. Cemaran logam berat
h. Cemaran mikroba
i. Cemaran kapang, khamir dan aflatoksin
5. Parameter spesifik ekstrak adalah:
a. Identitas
b. Organoleptik
c. Kadar sari
d. Pola kromatogram

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,


DepKes RI, Jakarta

Anonim, 2004, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, DepKes RI,


Jakarta

Anonim. 2005. Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Indonesia, Salah Satu


Tahapan Penting Dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Badan
Pengawasan Obat Tradisional

17
Anonim. 2009. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia

Agoes.G.2007.Teknologi Bahan Alam.21,38 – 39.Bandung : ITB Press

Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan


I. Soediso, 69 – 94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press

18

Anda mungkin juga menyukai