Standarisasi
Serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran
yang hasilnya merupakan unsur – unsur terkait paradigma mutu
kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,
biologi dan farmasi).
Tujuan dari standarisasi adalah konsisteni produk dari batch
ke batch, jumlah ekstrak per unit donis, indikasi adanya kehilangan
atau degradasi selama proses produksi, dan mencegah pemalsuan
simplisia.
Keuntungan yang diperoleh konsumen dengan adanya
standarisasi adalah kandungan aktif dalam produk konstan
sehingga tujuan terapi tercapai. Sedangkan keuntungan bagi
produsen adalah proses produksi lebih efektif, dipercaya, dan
meminimalkan kesalahan dan kerugian.
Selain memiliki keuntungan, dalam melakukan standarisasi
juga ditemukan kendala yaitu, susah dilakukan untuk obat dengan
efek farmakologi tidak terukur misalnya antioksidan, butuh biaya
besar, butuh peralatan dan keahlian khusus, zat aktif tidak diketahui
dan senyawa standar tidak tersedia
B. Standarisasi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai
bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia terdiri dari simplsia nabati, hewani dan
mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman
utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di maksud
eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
selnya atau zat – zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia
pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
Atau bahan mineral diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat
kimia murni. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan
maupun kegunaan simplisia harus memenuhi persyaratan minimal untuk
standardisasi simplisia. Standardisasi simplisia mengacu pada tiga konsep
antara lain sebagai berikut:
1. Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter
mutu umum (nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian, aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan, distribusi)
2. Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus
memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki
spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan (Depkes RI, 1985).
1. Pre-Farm
Teknologi produksi benih / bibit unggul tumbuhan obat,
secara konvensional ataupun bioteknologis.
2. On-Farm
Teknologi budidaya tumbuhan obat yang mengacu pada
GAP
3. Off-Farm
Teknologi panen yang memperhatikan kandungan senyawa
aktif berkhasiat obat maupun parameter kualitas lainnya yang
dipersyaratkan.
a. Teknologi pasca panen / pengolahan yang menghasilkan
simplisia yang memenuhi persyaratan.
b. Teknologi ekstrak standar untuk mendapatkan ekstrak yang
tervalidasi kandungan senyawa aktif.
c. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat pre
klinik yang memenuhi persyaratan validitas (Herbal
Terstandar).
d. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat
klinik yang memenuhi persyaratan validitas (Fitofarmaka).
C. Standarisasi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh
diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian
parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk
kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa
aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan
juga dapat mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif
pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume
permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi,
serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara
mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain.
b. Bobot Jenis
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter
yang mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini
penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah
serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya
(Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah Pengukuran Bobot Jenis:
1) Hitung bobot piknometer dan bobot air yang baru
dididihkan pada suhu 25°C.
2) Atur suhu ekstrak ± 20°C, masukkan dalam
piknometer. Atur suhu piknometer hingga 25°C,
buang kelebihan ekstrak cair yang ditimbang.
3) Kurangkan bobot piknometer kosong dari berat
piknometer yang telah disini. Bobot jenis ekstrak
adalah hasil yang diperoleh dengan membagi
bobot ekstrak dengan bobot air dalam piknometer
suhu 25°C
c. Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung
zat atau banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000).
Menggunakan Metode Titrasi, Destilasi dan
Gravimetri.
1) Metode Titrasi
a) Masukkan ± 20 ml metanol P ke labu titrasi
b) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik
akhir tercapai
c) Masukkan zat dengan cepat yang telah
ditimbang seksama yang diperkirakan
mengandung 10 – 50 mg air kedalam labu
titrasi, aduk selama 1 menit
d) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah
diketahui kesetaraan airnya
e) Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus V ×
F, V adalah volume pereaksi Karl Fischer pada
titrasi kedua, F adalah Faktor Kesetaraan air
2) Metode Destilasi
3) Metode Gravimetri
1) Masukkan ± 10 gram ekstrak dan timbang
dalam wadah yang telah ditara. Keringkan
dalam suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang
2) Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak
1 jam sampai perbedaan antara 2
penimbangan berturut – turut tidak lebih dari
0,25%
d. Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari
jumlah abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh
unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang
diperoleh dari sisa pemijaran (Depkes RI, 2000).
e. Sisa Pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin
terdapat dalam ekstrak dengan kromatografi gas.
Langkah – Langkah:
1) Timbang 2 gram ekstrak etanol, larutkan dalam 25 mL air
2) Masukkan dalam labu destilasi
3) Atur suhu destilat 78,5°C
4) Lakukan destilasi hingga selesai
5) Tambahkan aquadest 25 ml, tetapkan bobot jenis cairan
pada suhu 25°C
6) Hitung bobot jenis dan cocokkan pada tabel
alkoholmetrik
f. Residu Pestisida
Prinsip dalam metode ini adalah untuk menentukan sisa
kandungan pestisida yang mungkin saja pernah
ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia
pembuatan ekstrak (Depkes RI, 2000). Tujuannya
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya
(toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
Metode : KLT dan kromatografi gas cair.
Jika kandungan kimia pengganggu analisis yang
besifat non polar relatif kecil seperti pada ekstrak
yang diperoleh dengan penyari air atau etanol
berkadar kurang dari 20%
menggunakan metode KLT secara langsung tanpa
melalui tahap pembersihan lebih dahulu atau
menggunakan kromatografi gas jika tidak terdapat
kandungan kimia dengan unsur N (klorofil, alkaloid
dan amina non polar lain)
Ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol
berkadar tinggi dan tidak mengandung senyawa
nitrogen non polar bisa menggunakan metode KLT
atau kromatografi gas secara langsung tanpa
pembersihan
Jika tidak dapat dilakukan karena banyaknya
kandungan kimia pengganggu dapat dilakukan
pengujian sesuai metode baku.
Agar memudahkan penelusuran kembali jika ada
masalah analisis dapat dilakukan penomoran dan
perincian terhadap analisis disesuaikan dengan buku
aslinya.
g. Cemaran Mikroba
Prinsip dari metode ini adalah untuk menentukan
(identifikasi) adanya mikroba yang pathogen secara analisis
mikrobiologis ( Depkes RI, 2000). Tujuannya adalah
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non
patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan berbahaya
(toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
Metode ALT dan uji nilai duga terdekat (MPN) coliform.
ALT (Angka Lempeng Total) digunakan untuk
mengetahui jumlah mikroba yang ada pada suatu
sampel. Uji Angka Lempeng Total (ALT) dan lebih
tepatnya ALT aerob mesofil setelah cuplikan
diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara
tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai.
o Media yang digunakan : PCA (Plate Count Agar)
o Pereaksi yang digunakan : PDF (Pepton Dilution
Fluid), FCDSLP (Fluid Casein Digest Soy Lecihitin
Polysorbate), Parafin cair (Minyak mineral),
Tween 80 dan 20.
o Peralatan khusus : Stomacher (blender) dan Alat
hitung koloni
Langkah-langkah :
1. Siapkan 5 tabung atau lebih yang telah diisi dengan 9
ml pengenceran PDF.
2. Hasil homogenisasi dipipet pengenceran 10 -1
sebanyak 1 ml ke dalam tabung yang berisi
pengenceran PDF pertama hingga pengenceran 10 -2 ,
dikocok hingga homogen.
3. Buat pengenceran selanjutnya hingga 10 -6 atau
sesuai dengan yang diperlukan.
4. Setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan
petri dan dibuat duplo.
5. Tiap cawan petri dituangkan 15-20 ml media PCA
(45±1o C), cawan petri digoyang dan diputar hinggan
suspense tersebar merata.
6. Untuk mengetahui sterilitas media dan pengencer
dibuat uji blangko (kontrol).
7. Satu cawan hanya diisi 1 ml pengenceran dan media
agar, dan cawan yang lain diisi pengencer dan
media.
8. Setelah media memadat, cawan petri diinkubasi pada
suhu 35-37o C selama 24-48 jam dengan posisi
terbalik.
9. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung.
Uji Nilai Duga Terdekat (MPN) Coliform
b. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa menggunakan
panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang
sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000).
c. Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui
jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia.
Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji
bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan
senyawa kimia dalam sari simplisia akan berkaitan erat
dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas farmakodinamik
simplisia tersebut (Depkes RI,1995).
d. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk
memberikan gambaran awal komponen kandungan kimia
berdasarkan pola kromatogram kemudian dibandingkan
dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (Depkes
RI, 2000).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
17
Anonim. 2009. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
18