resort and the last resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa
i
Mengingat ketidakpuasan para pelaku bisnis terhadap proses
ada, hal tersebut tidak dapat direspon oleh lembaga litigasi yang ada.
ii
diharapkan menjadi solusi dalam mencari keadilan dengan biaya
dari bantuan banyak pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu
ketekunan dan kerja keras Sdr. Ramlan, S.H., M.Hum sebagai editor.
buku ini.
iii
Allah SWT., Amin. Penulis juga mempersembahkan buku ini kepada
istriku tersayang Hj. Saskia, S.E., M.Si., dan ketiga buah hatiku
bekerja keras dan berbuat yang lebih baik. Teriring doa, semoga buah
pengetahuan.
datang.
Akhirnya, dari hati yang dalam penulis ucapkan puji dan syukur
buku ini semata-mata hanya tuntunan dari Allah SWT., dan segala
iv
kesalahan merupakan kekhilafan dan kealpaan penulis. Selamat
v
DAFTAR ISI
halaman
vi
Menggunakan Alternative Dispute Resolution ... 101
Lampiran
1 : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa .......................................... 209
vii
1
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP
LEMBAGA PENGADILAN
1
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), Beberapa
Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hlm. 237. Lihat juga M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut
M. Yahya Harahap II), ”Mencari Sistem Peradilan Yang Efektif dan Efisien” makalah,
disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum sebagai Modal
Dasar Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Jakarta 18-21 juli 1995.
1
menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and
enforce justice).
valve dan the last resort, peradilan masih tetap diakui memegang
society).
2
M. Yahya Harahap I, Loc.Cit.
3
JR. Spencer Jackson’s, Machinery of Justice, University Press, Cambride,
1989, hlm. 19.
2
Kritik yang muncul terhadap peradilan bukan hanya gejala
natoin’s company.
4
Tony Mc Adams, Law Businessand Society, Third Edition, Irwin, Boston,
1992, hlm. 195.
3
c. Arus perkara makin deras sehingga peradilan dijejali dengan
5
Lihat Jack Etheridge dalam Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc.
Graw Hill publishing Comp., New York, 1989, hlm. 23.
6
Lihat Tony Mc Adams, Op.Cit., hlm. 187.
4
b. Pengadilan sering dianggap berlaku tidak adil atau unfair, kritik
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak pasti menang dan lain pihak pasti kalah (win-
lose).
5
hukum. Di luar itu, pengetahuan mereka hanya bersifat umum.
adaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam mencari
dan teknis, sifat formal dan teknis pada sistem peradilan mengakibat-
yang cepat dan biaya yang murah. Sengketa bisnis menuntut penye-
6
Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis meng-
lesaian alternative?
7
menghindari biaya tinggi, keterlambatan dan ketidakpastian yang
7
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra
Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 103.
8
Selain institusi peradilan formal, masih ada lagi bentuk-
8
Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) menyebutkan mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
9
Menurut UUPPHI, Konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya
disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menye-
lesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan PHKK atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
10
Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar PHI melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final. Lihat UUPPHI.
9
Indonesia saja, tetapi melanda hampir seluruh negara di dunia,
10
menonjolkan penggunaan kewenangan dikresional tanpa batas
dagangkan.
13
B. Arief Sidharta, Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm. 197.
11
tersebut, sehingga masyarakat mencari jalan lain untuk menyelesai-
12
a. Kekuasaan atau wewenang formal, yaitu wewenang yang
ambilan keputusan.
13
i. Kekuatan pribadi, yaitu atribut-atribut pribadi atau keahlian
lesainnya?
(relative probabilities)?
lain).
pihak lain.
14
d. Resiko peningkatan/penurunan yang diakibatkan oleh hasil
f. Dampak-dampak politik.
g. Dukungan internal/moral.
sesuai.
dapat diakses oleh para pihak, melindungi hak-hak dari para pihak
15
putusannya haruslah final dan mengikat, dan mudah dieksekusi serta
14
Munir Fuadi, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm. 34-35.
16
2
ISTILAH DAN PENGERTIAN
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION
15
Perhatikan Erman Rajagukguk, Op.Cit., perhatikan juga Ali Budiharjo
dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Cyber Consult, Jakarta, 1999; Baca juga
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek-aspek Hukum,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
16
Lihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
17
Lihat Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini”, makalah disajikan dalam Seminar
Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus-kasus Tanah, Perburuhan
dan Lingkungan, di Selenggarakan oleh Studi dan Advokasi Masyarakat
bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994.
18
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
17
Sebelum mencari padanan istilah yang tepat dalam bahasa
19
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa I),
“Perkembangan Pelembagaan ADR di Indonesia”, makalah disampaikan pada
18
pengembangan ADR di Amerika Serikat, maka ADR yang dimaksud
bersifat konsensual.20
19
Dalam konteks studi ini akan digunakan penyelesaian sengketa
trial.
sengketa alternatif.
21
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Six Edition, West Publishing
Co, St. Paul, Minn, 1990, hlm. 78.
20
Pengertian yang lebih luas adalah; Alternative Dispute
21
3
PERKEMBANGAN ALTERNATIVE DISPUTE
RESOLUTION DI INDONESIA
dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai
22
Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 247.
22
makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, tetapi
kan.
23
Mahkamah Agung, Naskah Akademis Mengenai: Court Dispute
Resolution, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003,
hlm. 135.
23
yang menyelesaikan adalah tokoh adat setempat bersama-sama
disantap bersama.24
Di daerah ini ada sebuah dewan yang bernama Dewan Hadat dan
suatu desa, seperti para tua-tua adat dan juga orang-orang yang
24
T.O. Ihromi (Ed.), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 17.
24
mengadakan sidang untuk menentukan, siapa yang harus diper-
dijatuhkan.25
3. Di Minangkabau.
25
Ibid.
26
Keebet Von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat.
Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau, Gramedia Widiasarana
Indonesia bekerjasama dengan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Tal-Land-en
Volkenkunde, Jakarta, 2000, hlm. 73.
27
Hilman Hadikusuma, Loc.Cit.
25
Pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan tersebut menegaskan bahwa
Nagari.28
4. Pulau Lombok.
28
Anrizal, ”Kedudukan Fungsi Serta Tugas Kerapatan Adat Nagari Dalam
Penyelesaian Sengketa Setelah berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintah Desa (Studi Kasus di Kabupaten Agam)”, Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998, hlm. 8-9.
29
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Airlangga University Perss, Surabaya, 1979, hlm. 193-218.
26
Krama Desa. Setelah tercapai kata mufakat baru diambil alih oleh
beberapa asas:
Krama Desa.
27
e. Bahwa setiap anggota Krama harus taat dan setia kepada
hari.
28
5. Pada masyarakat Aceh.
kehendak salah satu pihak, perwalian bagi anak gadis yang ingin
kadi (kadhi).
29
bawahannya, biasanya diselesaikan melalui peusijeuh (penyejuk)
desa atau kepala rakyat, yang juga merupakan tokoh adat dan
30
C. Snouck Hurgronye, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Penerjemah
Sutan Maimun, INIS, Jakarta, 1996, hlm. 92.
30
langsung mengenai tata usaha badan persekutuan dan tidak pula
lumbung desa, urusan tanah yang dikuasai oleh hak pertuanan desa
masyarakatnya.
hukum.31
hukum yang dilakukan kepala desa tidak hanya terbatas pada perkara
31
R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1984, hlm. 65-66.
31
adat, kepala desa mempunyai wibawa dan kekuasaan untuk mene-
pimpinan desa dan juga selaku hakim perdamaian desa mirip dengan
32
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung,
1993, hlm. 107-108.
32
Yogyakarta pengadilan perdamaian desa kelihatan subur setelah
1912.33
33
R. Soepomo, Op.Cit., hlm. 69-70.
34
Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.
196.
33
kepada pelakunya. Demikian pada, sengketa adat yang bersifat
sangkepan desa yang dipimpin oleh kepala desa adat, sehingga tidak
formal.
34
melalui perundingan, musyawarah dan mufakat antara pihak-pihak
(Islam).
35
3. Kabupaten Padang Pariaman.
hulu.
5. Kabupaten Agam.
kemudian ke Camat.
6. Kabupaten Pasaman.
Nagari.
36
8. Kabupaten Solok.
hukuman.
37
perdamaian desa tersebut dan suatu keputusan desa tidak dapat
cakap menjabatnya.
perdamaian.
38
5. Pada umumnya desa di seluruh Indonesia tidak memiliki
seragam.
lainnya.
pembela.
39
Pengadilan-pengadilan Sipil, perdamaian desa ini tetap dipertahankan
35
Ibid., hlm. 44.
40
pelaksanaan tugasnya kepala desa di bidang ketentraman dan
41
Namun demikian lima tahun lebih kurang undang-undang
Pasal 15 ayat (1) huruf k disebutkan salah satu tugas dan kewajiban
36
Namun UUPD ini juga sudah mengalami dua kali perubahan, perubahan
pertama diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang
disahkan pada tanggal 19 Oktober 2005, dan perubahan kedua diatur dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang disahkan
pada tanggal 28 April 2008.
42
keta dengan dibantu oleh lembaga adat desa atau dengan mem-
warah untuk mufakat, juga putusannya dapat diterima oleh para pihak
rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan serta integrasi
43
Dari semua aspek proses peradilan adat ini, maka forum
37
Tjok Istri Putra Astitit, “Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam
Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan”, dalam Majalah Musyawarah, Nomor
1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997, hlm. 6.
44
garaan pemerintahan dan pembangunan serta melibatkan instansi-
instansi pemerintah.38
38
Takdir Rahmadi, Loc.Cit.
39
Ibid.
45
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution
46
perdata dalam perdagangan, industri dan keuangan baik nasional
maupun internasional.40
saja.
40
Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Alternatif Penyelesaian Sengketa; Seri
Hukum Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 98-99.
47
tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek.41
41
Penyelesaian sengketa bisnis, khususnya menyangkut hak atas
kekayaan intelektual lebih tepat dilakukan di luar pengadilan, melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Lebih lanjut lihat Rahmadi Usman, Hukum
Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 290, 365, 407, 496.
42
Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999, bahwa proses penanganan perkara persaingan usaha tidak sehat tidak dapat
langsung diajukan ke Pengadilan Negeri, melainkan harus melalui Komisi. Lebih
lanjut lihat Ayuda D. Prayoga, et.al., Persaingan Usaha dan Hukum yang
Mengaturnya, Proyek Ellips, Jakarta, t.t., hlm. 140. Lihat juga Hikmahanto Juwana
et.al., Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Per-saingan Usaha,
Partnership For Bussiness Competition, Jakarta, 2003, hlm. 34.
48
diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dan atas putusan Peng-
43
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa II),
”Potensi Penerapan Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dalam Pustaka
Peradilan, Jilid XVIII, Proyek Pembinaan Tehnis Justicial Mahkamah Agung R.I.,
1998, hlm. 71.
49
Indonesia dengan menerapkan proses mediasi dan menerapkan
pihak, baik yang sudah melalui proses BP4 maupun yang belum,
50
lesaian perselisihan hubungan industrial.44 Bila terjadi perselisihan
Indonesia.
44
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPPHI, yang dimaksud dengan
perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau
serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu
perusahaan.
51
Adapun fungsi mediasi perbankan ini hanya terbatas pada upaya
2. ADR di Pengadilan.
52
ADR di pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg
45
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 473.
53
Apabila di Indonesia dapat tercapai perdamaian seperti
Perdata dengan Pasal 130 HIR atau 154 RBg yang berbunyi;
perkara”.
datang dari kedua belah pihak. Artinya persetujuan itu bukan kehen-
46
Ibid. Lihat juga M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya
Harahap III), Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan
dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993, hlm. 75.
54
kemudian diminta ke pengadilan untuk dituangkan menjadi putusan
perdamaian.
memakai istilah acte van dading untuk surat (akte) perdamaian yang
dibuat para pihak tanpa/belum ada pengukuhan dari hakim dan acte
47
Secara umum putusan pengadilan bila dilihat dari sifatnya dapat
digolongkan ke dalam tiga sifat putusan: pertama, keputusan bersifat deklaratoir
yaitu putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum
semata, kedua, putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang berisi
penghukuman dan ketiga, putusan yang bersifat konstitutif yaitu putusan yang
meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru. Lihat
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkertawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 109.
48
Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan
Mediasi, Cetakan Pertama, Pusat Pengkajian Hukum Kerjasama dengan Pusdiklat
MARI, t.k., 2003, hlm. 181.
49
Mariana Sutadi, ”Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130
HIR/154 RBg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana
dan Biaya Ringan”, dalam Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 5.
50
Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 130-131.
55
van vergelijk adalah surat (akte) yang telah memperoleh pengukuhan
dari hakim.
tetap (in kracht van gewijsde). Bila dihubungkan dengan Pasal 130
ayat (3) HIR, putusan yang demikian itu tidak dapat dibanding. Begitu
56
pula Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 198551
arah perdamaian.
51
Lihat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
57
bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan
(tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu
58
g. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat
fasilitator/mediator.
langsung.
59
kan oleh M. Siahaan, Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut
yang dimilikinya. Kekurangan dan hal-hal yang tidak jelas serta tidak
52
M. Siahaan, ”Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata”, dalam
Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 133.
60
tentang mediasi adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
ayat (2) menegaskan pula bahwa ketentuan ayat (1) tidak menutup
3 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004
1) Permohonan kasasi.
61
b. Memberi pertimbangan hukum kepada lembaga tinggi negara.
undang-undang.
peradilan.
62
tanyaan, bagaimana terhadap suatu perkara pidana aduan (klacht
delict). Untuk itu kita akan melihat juridiksi mediasi di berbagai macam
lingkungan peradilan.
tindak aduan (klacht delict) dan lain-lain terhadap para pihak yang
63
3. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak mempunyai juridiksi
memeriksa.
64
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
(1) Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang,
maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan
ketuanya akan memperdamaikan mereka.
(2) Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal-
hal yang diperdamaikan diperbuat sebuah akte, dan kedua
belah pihak diwajibkan untuk mentaati perjanjian yang
diperbuat itu, dan surat (akte) itu akan berkekuatan hukum
dan akan diperlakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
(3) Tentang keputusan yang demikian itu tidak diizinkan orang
minta apel.
(4) Jika pada waktu dicoba akan memperdamaikan kedua belah
pihak itu, perlu memakai seorang juru bahasa.
undang-undang.
65
4
PELEMBAGAAN ALTERNATIVE DISPUTE
RESOLUTION DI INDONESIA
tanah.
66
3. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian
53
Sutadi Djayakusuma, “Peluang Penerapan Lembaga Penyelesaian
Perkara Alternatif di Indonesia: Suatu Pandangan”, Makalah pada Seminar
Eksekutif Pengelolaan Sengketa Lingkungan di Indonesia, Jakarta, 24 April 1995.
67
Dengan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat dan mele-
yang merasa dirugikan oleh pihak lain sering mencari keadilan kelem-
adil.
masyarakat.
54
“Sudah Perlu Dibentuk, Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif”,
Harian Kompas, 13 Februari 1995, hlm. 6.
55
J.E. Sahetapy, Forum Keadilan, No. 4, Tahun 5, Juni 1996.
68
Adanya rencana pengembangan pasar bebas pada awal abad
B. Sengketa Bisnis
yang dianggap tabu bagi pelaku bisnis. Sengketa yang diketahui oleh
56
Mas Ahmad Santosa dan TM. Luthfi Yazid, “Pembentukan ADR, Tidak
Cukup Hanya Dukungan Budaya Musyawarah”, Harian Kompas, 27 Februari 1995.
69
tenaga kerja, sengketa bisnis umumnya sangat dirahasiakan oleh
pelaku bisnisnya.57
57
“Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”,
Harian Kompas,19 Februari 1995, hlm. 5.
58
Bappenas dan The Asia Foundation, Makalah Kebijakan (Policy Paper)
Pelembagaan Penyelesaian Sengketa Perundingan dan Arbitrase di Indonesia,
Hasil studi mengenai ADR yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh PT Qipra
Galang Kualita, Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesia Center for Environment Law),
dan LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen), Jakarta,
Januari 1997, hlm. 28.
70
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga
adilan sehingga akan memakan waktu dan biaya lagi. Reputasi BANI
wewenang eksekusi.59
sektor bisnis saat sekarang ini belum banyak. Arbitrase yang terbatas
59
H. Ahmad Zulkifli, “Putusan Arbitrase Sulit Dieksekusi”, Forum Keadilan,
No. 19, Tahun 4, Januari 1996, hlm. 33-34.
71
2. Bisnis dan Peluang.
Pengurus atau anggota asosiasi profesi berada pada posisi yang baik
72
profesi ini, tenaga Indonesia akan tertinggal dan memiliki daya saing
3. Pelembagaan.
dilakukan di Indonesia.
4. Kebutuhan.
individu.
73
Berdasarkan kriteria di atas, jika perundingan dan arbitrase
penting sekali.
di Indonesia harus sejalan dengan aturan main dan kode etik profesi
5. Unsur Kelembagaan.
74
diperlukan peraturan perundangan baru atau tidak. Akan tetapi,
annya.
75
trase. Kedua, pembayaran biaya jasa juru runding/wasit oleh
Bentuk ADR yang berlaku di Sri Lanka saat ini adalah berdasarkan
terdiri dari lima orang yang diangkat oleh Presiden Sri Lanka. Anggota
76
masyarakat lokal dan sudah lulus pelatihan teknik mediasi. Pada akhir
tahun 1991, di Sri Lanka telah berdiri sekitar 211 panel mediasi yang
terdir atas lebih kurang 5000 tenaga mediator untuk melayani hampir
77
Perdagangan dan Industri dibentuk dengan tujuan untuk menyelesai-
asuransi umum dan jiwa. Lembaga ini didirikan pada tahun 1991
dan staf pengadilan, dengan dibantu oleh Court Support Group yang
78
bidang dan sebagainya. Selain CMC, National University of Singapore
rakat luas.
79
perorangan, pemantapan peran lembaga-lembaga pelindung kon-
berikut:
60
Ibid.
61
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa III),
“Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah untuk menanggapi Laporan Diagnostie
Aqssesment of Legal Development in Indonesia (bidang ADR), Jakarta, September
1997.
80
b. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa
81
b. Diagnostic Assesment of Legal Development in Indonesia yang di
profesionalisme kerja.
82
9. Rekomendasi Makalah Kebijakan.
yang terlatih dan cermat dalam melakukan praktek ADR. Kelompok ini
83
bimbingan dari suatu tim pengarah yang terdiri atas wakil-wakil
84
pemecahan antara kedua belah pihak yang bersengketa. Kriteria yang
fungsinya sebagai juru runding atau wasit adalah sifat netral imparsial
salah satu pihak serta tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun. Untuk
diperlukan suatu kode etik yang menjadi pegangan dan ditaati oleh
latihan role play, pengkajian studi kasus, dan observasi juru runding/
wasit berpengalaman.
sebaginya.
85
11. Program Pemasyarakatan.
yang bertujuan:
pengadilan.
86
masyarakat perlu dirancang pesan pemasyarakatan yang berbeda,
seperti:
runding/wasit.
juru runding/wasit.
arbitrase swasta.
87
C. Sasaran Jangka Menengah
1. Asosiasi Profesi.
juru runding/wasit.
melaksanakan program.
88
d. Memberikan jasa referral dengan menyediakan daftar juru runding/
2. Perangkat Hukum.
89
menetapkan putusan wasit bersifat final dan mengikat (binding)
pengadilan.
kewajiban mereka.
90
3. Peranan Pemerintah.
berikut:
sebagainya.
bangannya.
dana awal untuk pendirian asosiasi profesi juru runding, baik dari
badan internasional.
91
Walaupun lembag-lembaga mediasi/arbitrase telah ada namun
minat pelaku bisnis untuk menggunakan jasa juru runding masih perlu
konsultan bisnis atau hukum, atau badan arbitrase (BANI, P3BI, dan
sengketa.
92
4. Laporan Diagnostic Assesment of Legal Development.63
masyarakat luas.
63
Lihat Ali Budiardjo Nugroho, Reksodiputro in Corporation with Moctar,
Karuwin & Komar, Final Report on Diagnostic Assesment or Legal Development in
Indonesia, Chapter, volume I dan Annex C-4 Volume III, Maret 1997.
93
Ketua Mahkamah Agung dalam bentuk surat edaran dapat
adilan.
sedur, aturan main yang lebih jelas, dan sumber daya manusia
yang professional.
ADR.
94
1) Pengembangan landasan peraturan perundang-undangan
95
b) Seminar informasi tentang ADR (di dalam dan di luar peng-
melengkapi.
dalam rekomendasi.
diagnostik.
64
Mas Achmad Santoso III, Op.Cit., hlm. 6.
96
d. Kajian diagnostik menekankan pelatihan bagi para wasit dengan
65
Mas Achmad Santoso dan TM. Luthfi Yazid, Loc.Cit.
97
kan dalam hukum perdata atau hukum ekonomi makin membutuhkan
dapat tercapai.
98
difference) secara sukarela (di luar arbitrase pengadilan/out of court).
ADR) sebagai elabolasi Pasal 131 HIR dan Surat Edaran Mahkamah
99
sengketa yang sudah dilakukan melalui ADR (konsensus) dapat
(binding force).
100
5
PERKEMBANGAN BENTUK
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION
DI BEBERAPA NEGARA
sedang berkembang.
66
Erman Rajagukguk, Loc.Cit.
67
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg I),
Dispute Resolution Negasiation, Mediation and Other Processes, Little Brown and
Company, Boston-Toronto-London, 1992, hlm. 3-4.
101
terhadap perjuangan hak-hak sipil. Pada tahun 1972 pusat hubungan
102
out to them how the them how the nominal winner is often a real loser
68
ADR in Trademark & Unfair Competition Disputes, http:
/www.inta.org/adr.html.Available, diakses pada tanggal 21 Juni 2000.
69
Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Disputes Resolution in a Nutshell,
West Publishing Co, St, Paul Minnesota, 1992, hlm. 4-5.
103
Perkembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS cukup
ke pengadilan.
70
Ibid., hlm. 7.
104
menandatangani Dispute Resolution Act sebagai landas-an hukum
71
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 189.
72
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 7-8.
105
Demikian juga Negotiated Rule Making Act, memberikan otoritas dan
penyelesaian sengketa.
to justice).
73
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg II) et.al.,
Disputes Resolution, Little Brown, Boston, 1985, hlm. 10.
74
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 5-7; Baca juga Mas Achmad
Santosa I.
106
Dengan gambaran tersebut pengembangan penyelesaian seng-keta
suatu ciri nasional, yang ditetapkan dalam pasal satu Konstitusi Tujuh
75
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 103-104.
76
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang
Kontemporer”, dalam A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.). Hukum dan
Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988, hlm. 109.
77
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yayasan
Watampone, Jakarta, 1998, hlm. 131-133.
107
berabad-abad orang ini telah menggunakan ajaran Kong Fu Tsu
itu dalam wujud ucapan-ucapan para bangsawan, dan para
adminis-tratur tentang apa yang dilakukannya di mana hal itu juga
dianggap benar oleh negara-negara Timur lainnya”.
78
Ibid.
79
Dan Fenno Henderson, “ Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”,
dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Op.Cit., hlm. 43.
108
Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa pengembang-an
80
Chin Kim dan Craig M. Lawson, “The Law of the Subtle Mind; The
Traditional Japanese Conception of Law”, dalam Internasional and Comprative Law
Quartenly, Volume 28, Tahun 1979, hlm. 491.
109
model pemikiran hukum masyarakat Jepang adalah bahwa kapan
pertaniannya.81
81
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang
Kontemporer”, hlm. 120.
82
Dan Fenno Handerson, “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”,
dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Op.Cit., hlm. 134.
110
Paling tidak ada tiga faktor atau alasan mengapa orang-orang
yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial dari pada
83
Achmad Ali, Op.Cit., hlm. 134.
84
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 105.
111
perdata adalah “kontradiksi intern antara individu” yang
perkara ke pengadilan.
85
Ibid.
86
Ibid., hlm. 106.
112
1. Negoisasi.
87
Larry L. Teply, Legal Negotiation: In a Nutshell, West Publishing Co, St.
Paul, Minn, 1992, hlm. 5.
88
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 13.
89
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS,
Jakarta, 1999, hlm. 1. Bandingkan dengan P. Gulliver, Disputes and Negotiation; A
Cross Cultural Prospective, Academic Press, New York and London, 1979, hlm. 3-7.
90
Supraprto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga
University Press, Surabaya, 1999, hlm. 86.
113
Negosiasi adalah merupakan salah satu bentuk penye-lesaian
negoisiasi.
114
Roger Fisher dan William Ury91 membagi teknik negosiasi
akhir mana akan muncul seorang pemenang dan seorang pihak yang
kalah.92
atas atau dengan margin yang jauh dari batas tawaran yang dapat
91
Roger Fisher and William Ury, Getting to Yes; Negotiation an Agreement
Without Giving In, Century Business Ltd, London, 1992, hlm. 9. Lihat juga Suyud
Margono, Op.Cit., hlm. 49.
92
Lax and Sebenius, “The Manager as Negotiator”, dalam Jaqcueline M.
Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 21.
93
Garry Goodpaster, Op.Cit., hlm. 50.
115
Penggunaan teknik negosiasi ini biasanya dilakukan apabila
negosiator tidak memiliki data yang baik dan akurat atas diri
lawannya.
win solution).
kompromi.
94
Ibid., hlm. 76.
116
dan mempertahankan serta menciptakan hubungan pribadi yang baik
antara teknik negosiasi lunak dan keras. Teknik ini dipilih karena
95
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 21-22.
96
Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 50.
117
pemilihan teknik negoisasi keras berpeluang menemui kebuntuan
97
Ibid.
118
kedua, jangan terpaku pada satu jawaban; dan ketiga, menghindari
2. Mediasi.
119
Gary H. Barnes dkk., mendefenisikan mediasi sebagai
berikut:98
suatu proses di mana pihak netral yang telah disepakati oleh pihak-
98
Manchester Open Learning, Mengendalikan Konflik dan Negosiasi, (Terj.
Amitya Kumara Soeharso), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 123.
99
Alternative Dispute Resolution (ADR), http;/www.fmladr.com/
services.htm.Available, diakses pada tanggal 20 Juni 2000.
120
Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan mediasi
lain-lain.101
tetapi dua di antara teknik tersebut yang paling umum adalah teknik
bahwa dalam teknik evaluatif, mediator jauh lebih terlibat secara aktif
100
Jacqueline M. Nolan-Haley, OpCit., hlm. 54-55.
101
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 190-191.
121
pihak lainnya untuk memunculkan solusi bagi sengketa yang mereka
hadapi.
pola managemen yang efektif dan berbeda, selama itu pula ada pola
mediasi yang efektif dan berbeda. Namun demikian tidak ada mediasi
Adakalanya, hanya satu pihak yang setuju dengan mediasi yang telah
102
Richard Hill, Non Adversarial Mediation, http:/www.Batnetcom/
oikoumene/arbmed3. Html. Available, diakses pada tanggal 3 Juni 2000.
122
Bisa juga telah diperjanjikan sebelumnya (klausula mediasi). Bahkan
bagian lain disebutkan pula bahwa salah satu cara untuk mencapai
bersengketa.103
3. Konsiliasi.
103
Lihat Pasal 66 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997.
104
Henry Campbell Black, Op.Cit, hlm. 200.
123
explores what remain to be done prior to any other form of
alternative dispute resolution. 105
aktif.106
105
The New York State Dispute Resolution Association Inc. What is
Alternative Dispute Resolution (ADR)? http://www.nydra.org/sdr.html. Available,
diakses pada tanggal 30 Mei 2000.
106
Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 104.
124
ini sudah dituangkan dalam hukum positif Jepang yaitu Minji Chotei
kemauan baik).
107
Hideo Tanaka (Ed.), The Japan Legal Sistem, Uversity of Tokyo Press,
Tokyo, 1988, hlm. 492-500. Lihat juga Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 111-112.
125
Lain halnya dengan konsiliasi yang dikembangkan di Jepang
oleh pengadilan, dan dua atau lebih konsiliator yang diangkat oleh
108
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 201-202.
126
Konsiliasi berlangsung dalam beberapa kali dan dapat
hakim, bila tidak ada sanggahan dalam dua minggu. Jika tidak ada
tempat, tapi bisa dilahirkan shuttle negotiation antara para pihak dan
109
Erman Rajagukguk, Loc.Cit.
110
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 218.
127
Di Cina konsiliasi adalah merupakan cara yang lebih disukai
internasional.
dibentuk oleh pihak-pihak, bik yang bersifat tetap atau adhoc untuk
Sifat yang melekat pada cara ini segera tampak. Bila mediasi
111
http:/www.hg.org/1354.txt, Loc.Cit.
128
hukum formal dan mewujudkannya ke dalam cara-cara yang dapat
arbitrase.112
Chili pada tahun 1920, kemudian tahun 1921 konsiliasi dan arbitrase
4. Minitrial.
yang baru muncul pada tahun 1977,114 namun sangat populer dalam
112
J.G. Merrills, Internasional Dispute Settlement, Sweet & Maxwell,
London, 1984, hlm. 52.
113
Ibid., hlm. 53.
114
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 205.
129
Tidak etis hanya menyerang kejelekan orang lain, tapi harus mampu
lembaga minitrial. Kespakatan ini bisa lisan (oral) dan bisa tertulis
pentahapan penyelesaian.
minggu.
115
Ibid.
116
Ibid., hlm. 206-207.
130
c. Mendengar keterangan (information learning), untuk itu dibuka dan
(confidental).
eksekutif kedua belah pihak, tidak boleh dihadiri oleh top manajer
131
advisor. Tercapai atau tidaknya kesepakatan penyelesaian
saksi dibatasi dan juga waktu yang diberikan bagi pengacara di dalam
117
Ibid., hlm. 208.
132
independent setelah kedua belah pihak mempresentasekan
dalam satu hari dan tidak memakan waktu yang lama. Keuntungan
1. Amerika Serikat.119
118
Alternative Dispute Resolution (ADR), http:/www.fmladr.com/
services.htm., Loc.Cit.
119
Diringkas dari M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 186-210.
133
last resort (upaya akhir). ADR ditempatkan sebagai the first resort
(upaya utama).
a. Arbitrase.
134
koneksitasnya bersifat memaksa (imperatif), maka sistem ini
seperti ini tunduk secara otomatis kepada sistem ini) yang diterima
c. Mediation.
120
Robert D. Garret, “Mediation in Native American”, Dispute Resolution
Journal, America, March 1994, hlm. 39.
135
dikenal oleh penduduk asli Amerika (Indian) dan para pendatang. 121
sengketa-sengketa”.122
121
Kimberlee Kovach, Mediation Principil and Practice, West Publishing
Co., St. Paul Minnesota, 1994, hlm. 19. Lihat juga Christopher W. Moore, The
Mediation Process Practical Strategies for Resolving Confict, Jossey-Bass
Publishers, San Francisco, 1986, hlm. 20.
122
Tom Tso, Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo National
Code of Judical Conduct, Judicaturel, London, 2000, hlm. 25, sebagaimana dikutip
Robert D. Garret, Loc.Cit.
123
Lihat Kimberlee Kovach, Op.Cit., hlm. 20. Lihat juga Christopher W.
Moore, Op.Cit., hlm. 21.
136
menetapkan bahwa Sekretaris Departemen bertindak sebagai
sengketa perburuhan.
124
Kimberlee Kovach, Op.Cit. hlm. 26.
137
mengesahkan Undang-undang Hak-hak Sipil tahun 1964 (The Civil
sistem judisial.
informal.
138
Lembaga Kehakiman Nasional dengan mengadakan suatu percobaan
di tiga kota di Amerika, yaitu Atlanta, Kansan City, dan Los Angeles.
sengketa.126
125
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc Graw Hill publishing
Company, New York, 1989, hlm. 5-6.
126
Ibid., hlm. 22.
127
Ibid., hlm. 7.
139
ini terdapat 220 pusat mediasi publik yang beroperasi di 40 negara
bagian.128
anak dan proses perceraian, sengketa antara orang tua dan anak-
perusahaan.
140
konstruksi dan atau bendungan, dan pemakaian tanah, telah banyak
penundaan. Sebagai hasil dari kerja komisi ini, banyak (kalau bukan
130
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 192.
141
sebagai salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bemtuk ADR
yang ada.
complaints).
131
Peter Lovenheim, Op.Cit., hlm. 176.
142
sebagai ”the Steeping Giant”.132 Sejak saat ini raksasa tersebut telah
Kasus ini mengenai real estate yang bernilai miliaran rupiah. Kasus ini
132
Linda R. Singer, Op.Cit., hlm. 70.
133
Untuk jelasnya proses penyelesaian kasus ini lihat Linda R. Singer. Ibid.,
hlm. 71.
143
potensi mediasi untuk penyelesaian semgketa-sengketa bisnis yang
(nonadversial).
Program didesain dan dikelola oleh Pusat Sumber Daya Publik (the
144
proses penyelesaian sengketa secara bertingkat. Pada masa
145
kontrak, beberapa perusahaan pengangkutan meminta pihak yang
146
pengalaman untuk menyelesaikan sengketa-sengketa konstruksi dan
bidang konstruksi, dengan cepat dan biaya yang lebih murah, secara
kepada mediasi.
yang ditangani oleh AAA turun dari 5.189 kasus pada tahun 1991
134
Untuk jelasnya proses penyelesaian kasus ini lihat Linda R. Singer. Ibid.,
hlm. 28.
147
peralihan dari arbitrase ke mediasi tersebut, AAA memperbesar
148
bahwa 84% responden lebih menginginkan menggunakan mediasi di
sengketa lainnya.
149
mediasi, dan pilihan yang kuat untuk menggunakan mediasi
dari pada arbitrase, dan para pihak lebih luas dengan proses dan
para pihak.137
arbitrase. Jika para pihak dapat memilih sendiri prosedur ADR, 83%
137
Lihat “Mediation Get High Marks”, dalam Dispute Resolution Journal the
American Arbitration Association, Journal, American, 1997, hlm. 7.
138
Ibid., hlm. 15.
150
Dispute Resolution di Boulder, Jamsen Dispute di Seattle, Confluence
139
URL: http://wwlia.org/adr2.htm, diakses tanggal 8 Februari 1997.
151
d. Conciliation.
Sistem kosiliasi ini merupakan tahap awal dari proses media dengan
pihak claimant.
good will ini disebabkan dia sendiri mengerti dan menyadari sejauh
Cara penyelesaian dengan good will ini disebut konsiliasi winning over
152
Penyelesaian sengketa melalui proses media ini rata-rata antara 15-
20%.
e. Minitrial.
Serikat. Bentuk ini dianggap sebagai pilihan yang efektif dan efisien
sengketa antara TWR Inc. dengan Telecredit Inc. Sejak saat itu
advisor memberi opinion kepada kedua belah pihak (gives the party
an opinion).
153
sengketa, juga advisor akan mendiskusikannya dengan eksekutif
sistem ADR lainnya, yaitu summary jury trial. Bentuk itu boleh
dikatakan mirip dan hampir sama dengan minitrial sistem dan proses
suatu grup yang akan bertindak sebagai juri oleh para pihak yang
bersengketa.
pengacara salah satu pihak lemah atau beritikad buruk, hal itu
lemah.
154
g. Settelement conference.
dulu memanggil para pihak dalam suatu proses yang disebut ”pretrial
2. Australia.140
140
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 214 – 221 dan Josi K.
Assegaf, “Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara:
Pelajaran Bagi Indonesia”. Makalah, disampaikan pada acara Sosialisasi Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, hlm. 6-7.
155
Ditinjau dari segi sejarah, ADR di Australia baru muncul
dispute resolution.
156
enjinering dan konsyruksi, anti diskri-minasi, product liability,
practice).
berikut:
a. Arbitrase.
b. Assisted negotiation.
157
professional. Karena bentuknya tanpa prosedur, cara penyelesaian
d. Conciliation.
158
pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak dalam suatu
belah pihak.
e. Direct negotiation.
f. Expert determination.
159
g. Fast track arbitration.
hearing selesai.
160
i. Mediaton.
court).
141
Lihat Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Disputes Resolution Industri
Australia, Butterworths, Sydney, 1992, hlm. 7.
161
Peradilan ini lebih menekankan pada konseling dan konsiliasi.
untuk mediasi ini telah diwujudkan dalam the Familiy Court dengan
162
didirikan empat pusat mediasi di Heidelberg Preston, outer Easten
Resolution Service).
142
Ibid., hlm. 9.
143
Ibid., hlm. 14.
163
independen untuk meninjau keputusan-keputusan administrasi di
dalam suatu cara yang informal dan cepat, dan mengizinkan secara
yang didirikan atas prakarsa Hakim Agung New York South Wales, Sir
164
community). Meningkatnya keinginan untuk suatu pilihan baru bagi
Inc.149
147
D. Newton, “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”, dalam
Dispute Resolution Journal, Sydney, 1997, hlm. 85.
148
Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Op.Cit., hlm. 11.
149
Loise Rosemann, “the Birth of ADRA: Past and Future Visions”, dalam
Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 85.
165
dan peminjam. Undang-undang ini mulai berlaku Februari 1995, dan
meningkat.151
dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya
150
Fiona Crosbie, “Aspect of Confidentiality in Mediation: A Matter of
Balancing Competing Public Interest”, dalam Commercial Dispute Resolution
Journal, Australia, 1995, hlm. 68.
151
Maureen Garwood, “Books and Borrowers: Mediation of Failed
Transaction”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 93.
166
Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi mencakup bidang-
bidang:152
(commercial tort).
7) Anti diskriminasi.
152
D. Newton, Op.Cit., hlm. 92.
153
George H. Golvan QC, “The Use of Mediation in Commercial and
Construction Dispute”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 1996, hlm. 188-
189.
167
1) Sengketa yang melibatkan tujuh pihak, mengenai desain dan
154
Ibid.
168
Keberhasilan lain sebagaimana yang dikemukakan oleh David
adalah dorongan dan dukungan yang kuat dari ahli hukum (lawyer).
155
David Holst, “Mediation Makes Business Sense: The Ampol/Caltex
Merger”, Dispute Resolution Journal, Sidney, 1997, hlm. 109.
156
Ibid.
169
resolution (LEADR). Organisasi ini adalah organisasi non-profil yang
Zealand.
j. Mediation - Arbitration.
mediasi dan jika berhasil, proses selesai dan hasil kompromi menjadi
157
Arthur Thompkins, “Cross-border Dispute Resolution in International
Commercial Transaction”, dalam Law Journal, New Zealand, 1993, hlm. 260.
170
Envoronmet Court (LEC) yang setingkat dengan Supreme Court dan
LEC mengenal 2 (dua) bentuk ADR, yaitu mediasi dan evaluasi netral.
merupakan bentuk awal yang biasanya dilalui oleh para pihak yang
171
Selain itu, ERD juga mengenal mediasi dan konsiliasi sebagai
melanggar hukum dan tidak ada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam
3. China.
172
sungguh suatu pengecualian. Sedangkan di negara-negara Barat,
earth”.159
Partai Komunis pada tahun 1949. Pada bulan Maret 1954, sebagai
158
Andrup dan J.G. Hall, “The Use of Mediation in China”, Justice of the
Peace and Local Government Law 104, hlm. 104, sebagaimana dikutip dalam
Bobette Wolski, Culture, “Society and Mediation in China and the West”, dalam
Commercial Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 97.
159
Ibid., hlm. 25.
160
J.A. Cohen, Chinese Mediation on the Eve of Modernisation, Law
Review, California, 2000, hlm. 1222.
173
dilakukan oleh Partai Komunis, mediasi mendapat pengesahan
161
Department of Grass-Roots Work Ministry of Justice People’s Republic
of China, People’s Mediation in China, Mediation Journal, China, 2001, hlm. 88.
162
Ibid., hlm. 83.
174
suatu persetujuan untuk penyelesaian sengketa-sengketa dicapai
sengketa-sengketa perdata.164
sosial dan sistem hukum dalam era baru. Sehubungan dengan hal
163
Ibid., hlm. 85.
164
Ibid., hlm. 88.
175
meningkatkan dan mengembangkan sistem mediasi rakyat, dan
anggota komisi ini dipilih untuk jangka waktu tiga tahun dan
165
Ibid., hlm. 95.
176
Di China, sengketa yang menjadi bidang pekerjaan komisi
166
Ibid., hlm. 102.
167
Ibid.
177
arbitrase China, dan pendirian konsiliasi Beijing (Beijing conciliation
Amerika Serikat, yaitu the national council of united states China trade
168
Greg Vickery, “International Commercial Arbitration in China”, dalam
Dispute Resolution Journal, Sydney, 2000, hlm. 76.
169
Ibid., hlm. 51.
178
kemudian pada tahun 1980 ber-ubah menjadi foreign and economic
negri.
c. Anggota ketiga dari suatu panel arbitrase dipilih oleh Ketua Komisi
170
Ibid., hlm. 77.
179
g. Keputusan arbitrase melalui konsiliasi dianggap menjadi putusan
171
Ibid., hlm. 84.
180
memandangnya “kewajiban mereka untuk mencoba konsiliasi jika
memungkinkan”.172
konsiliasi.174
CIETAC.
172
Ibid., hlm. 87.
173
Ibid., hlm. 91.
174
Mr. Justice Neil Kaplan, “Mediation in Hong Kong”, dalam Commercial
Dispute Resolution Journal, Hongkong, 1994, hlm. 22.
181
4. Korea Selatan.
conciliation and arbitration system). Hal ini diatur dengan jelas dalam
175
Ibid., hlm. 258.
182
2) Apabila dapat disepakati suatu penyelesaian, solusi yang
menghendakinya.
konsiliasi yaitu:
diterima.
putusan yang bersifat final dan binding bagi para pihak, dan
arbitrase.
183
2) Selanjutnya penyelesaian dilanjutkan dengan pemeriksa-an
pihak.
permintaan dari para pihak. Jika ada permintaan mediasi dari pihak-
5. Jepang.
a. Arbitrase.
176
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 210-212.
184
Arbitration Rule dan The Japan Shipping Exchange, yang bertipe
arbitrase.
2) Labour Commission.
arbitrase.
185
Arbitrase ini didirikan pada tahun 1990 di Daini Tokyo, Osaka
b. Mediasi.
c. Konsiliasi.
186
6. Srilanka.177
(amicable).
177
Diringkas dari Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad
Santosa IV), Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Secara Kooperatif
(Alternative Disputes Resolution/ADR), Indonesian Center for Environmental Law,
Jakarta, hlm. 5-6. Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa
V), “Pelembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara”,
Majalah Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental,
Jakarta, 1997, hlm. 3 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 2-3.
187
penumpukan dan penundaan penyelesaian perkara di pengadilan
secara kooperatif.
Ketua dan para konsiliator Boards ditunjuk serta diangkat oleh Menteri
188
pengawasan terhadap para penyedia jasa di bawah komisi khusus
189
7. Philippine.178
178
Diringkas dari Mas Achmad Santosa IV, Op.Cit., hlm. 6-7; Mas Achmad
Santosa V. Op.Cit., hlm. 4 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 3-4.
190
konsiliasi pernah dilakukan dan tidak membawa hasil. Sedangkan
8. Hongkong.179
a. Arbitrase.
b. Mediasi.
c. Ajudikasi (adjudication).
9. Singapura.180
179
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 213.
180
Ibid., hlm. 213-214 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 5-6.
191
keinginannya membawa seng-keta ke pengadilan, hendaknya terlebih
fasilisator.
cases).
192
Dari bentuk ADR yang ada, arbitrase yang paling menonjol.
193
DAFTAR PUSTAKA
Andrup dan J.G. Hall, “The Use of Mediation in China”, Justice of the
Peace and Local Government Law 104.
194
Bobette Wolski, Culture, “Society and Mediation in China and the
West”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal,
Australia, 1997.
Chin Kim dan Craig M. Lawson, “The Law of the Subtle Mind; The
Traditional Japanese Conception of Law”, dalam
Internasional and Comprative Law Quartenly, Volume 28,
Tahun 1979.
195
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra
Pratama, Jakarta, 2000.
196
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco,
Bandung, 1993.
Loise Rosemann, “the Birth of ADRA: Past and Future Visions”, dalam
Dispute Resolution Journal, Australia, 1997.
197
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Airlangga University Perss, Surabaya, 1979.
198
M. Allars, International to Australian Administrative Law, Butterworths,
Australia, 1990.
199
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc Graw Hill publishing
Company, New York, 1989.
200
Stephen B. Goldberg et.al., Disputes Resolution, Little Brown, Boston,
1985.
201
Majalah Musyawarah, Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center
for Environmental Law, Jakarta, 1997.
202
LAMPIRAN 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
203
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh
lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
204
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara
mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan
dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika
hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
205
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase
terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks,
telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh
para pihak.
Pasal 5
BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 6
206
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua
belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
BAB III
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAK
INGKAR
Bagian Pertama
Syarat Arbitrase
207
Pasal 7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang
akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Pasal 8
Pasal 9
208
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis
arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Pasal 10
Pasal 11
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan
di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam undang-undang ini.
209
Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter
Pasal 12
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Pasal 13
Pasal 14
(1) Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang
timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak
wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan
arbiter tunggal.
210
(2) Pemohon dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-
mail atau dengan buku ekspedisi harus mengusulkan kepada
pihak termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter
tunggal.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter
tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua
Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.
Pasal 15
(3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis
arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak
sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah
pihak.
211
(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
dapat diajukan upaya pembatalan.
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
(1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh salah satu pihak untuk
duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada
para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang
akan diberikan.
212
Pasal 19
(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan
menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada para pihak.
Pasal 20
Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak
memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan,
arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang
diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak.
Pasal 21
213
Bagian Ketiga
Hak Ingkar
Pasal 22
Pasal 23
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang
bersangkutan.
Pasal 24
214
ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
pengangkatan.
(5) Tuntutan ingkar harus diajukan secara tertulis, baik kepada pihak
lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya.
(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus
mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk
sesuai dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 25
(1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat
diajukan perlawanan.
Pasal 26
215
(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana terbukti berpihak atau
menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum.
(4) Dalam hal seorang arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase
diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang
kembali.
BAB IV
ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE
Bagian Pertama
Acara Arbitrase
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
216
Pasal 30
Pasal 31
(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas
untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan
mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam
pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk
sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua
sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau
majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan
dalam Undang-undang ini.
(3) Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai
ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase
dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan,
arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.
Pasal 32
(1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase
dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya
untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa
termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan
barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah
rusak.
217
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
218
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi
atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat
tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.
(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis
arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum
acara perdata.
Pasal 38
(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya
kepada arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 39
Pasal 40
219
(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase
memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap
di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat
belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
220
datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau
tidak berdasarkan hukum.
Pasal 45
(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah
ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang
bersengketa.
Pasal 46
(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak
untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis,
dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 47
221
(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau
penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan
persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau
penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan
tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar
permohonan.
Pasal 48
Bagian Kedua
Saksi dan Saksi Ahli
Pasal 49
(1) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan
para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang
saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.
Pasal 50
222
(3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan
saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para
pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat
didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan
dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
Pasal 51
BAB V
PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
223
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 55
Pasal 56
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul
antara para pihak.
Pasal 57
224
Pasal 58
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Bagian Pertama
Arbitrase Nasional
Pasal 59
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
225
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan
otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
226
Pasal 64
Bagian Kedua
Arbitrase Internasional
Pasal 65
Pasal 66
227
Pasal 67
Pasal 68
228
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Pasal 69
(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang
milik termohon eksekusi.
BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 70
Pasal 71
229
Pasal 72
BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal 73
Pasal 74
230
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya
salah satu pihak.
Pasal 75
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua
Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang
berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbiter
pengganti.
BAB IX
BIAYA ARBITRASE
Pasal 76
Pasal 77
231
(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase
dibebankan kepada para pihak secara seimbang.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
232
Pasal 82
ttd
ttd
MULADI
233
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
I. UMUM
234
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak
dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.
235
dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya
mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya
dalam Undang-undang ini tidak disebut lagi bahwa wanita tidak dapat
diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam Bab I mengenai
Ketentuan Umum.
Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus
dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan arbiter serta
mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa.
Di samping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang berlaku
mengenai putusan arbitrase. Kemudian dalam Bab ini diatur pula
kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang
arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional
dan penolakan permohonan perintah pelaksanaan putusan arbitrase
oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir,
dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.
236
masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum
banding kasasi maupun peninjauan kembali.
237
diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam
Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini
maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal
377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705
Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
238
huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Yang dimaksud
dengan "novasi" adalah pembaharuan utang. huruf d Yang
dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu
membayar. huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g
Cukup jelas huruf h Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini
menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya
obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian
putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa
dalam praktek akan terjadi jalan buntu apabila para
pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara
baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh
dalam pengangkatan arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
239
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah
memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi
alasan untuk mempergunakan hak ingkar. Namun
apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak,
maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak
menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang
mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut.
Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya
fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya,
sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk
mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta
baru tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
240
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar
dan jangka waktunya. Jangka waktu ini dipandang perlu
agar tidak sewaktu-waktu dapat dihambat dengan
adanya tuntutan ingkar.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar
mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut
bersifat final dan tidak ada upaya perlawanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
241
Ayat (5)
Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti,
pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara
dan surat yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada.
Pasal 27
Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup
adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku
di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk
umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan
penyelesaian arbitrase.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara
perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menunjuk kuasa dengan surat kuasa yang bersifat
khusus.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka
waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak
242
membuat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka
arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Huruf a
Yang dimaksud dengan "hal khusus tertentu" misalnya
karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di
luar pokok sengketa seperti permohonan jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk memilih peraturan dan acara yang akan
digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka,
tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari
lembaga arbitrase yang dipilih.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
243
Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara
tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan
dapat dilakukan secara lisan. Juga keterangan saksi ahli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat
berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 37
Ayat (1)
Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting
terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan
sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata
internasional. Seperti lazimnya tempat arbitrase
dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus
dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut jika
para pihak tidak menentukan sendiri maka arbiter yang
dapat menentukan tempat arbitrase.
Ayat (2)
Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk
mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan
arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal
saksi bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
244
Huruf b
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan
sebagai lampiran.
Huruf c
Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan
berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang
pasti.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang
diajukan oleh pihak termohon
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur
apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari
pemeriksaan pertama.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
245
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh)
hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan
sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk
menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan
arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat
menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang
mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai
penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau
perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan
timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya
pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak
terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak
bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
perjanjian.
Pasal 53
Cukup jelas
246
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian
untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus
perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai
dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan
putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka
peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan.
Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa
(dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat
disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi
kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan
keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat
memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil
sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Ayat (2)
Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk
menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam
proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan
lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat
arbitrase dilakukan.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan
administratif" adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan
pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat
para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah
substansi putusan.
247
Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi tuntutan"
adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan
terhadap putusan apabila putusan, antara lain:
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak
lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk
diputus; atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu
sama lainnya.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan
demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan
arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan
arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan
mengikat.
Pasal 63
Cukup jelas
248
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum
perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain di
bidang: - perniagaan; - perbankan; - keuangan; -
penanaman modal; - industri; - hak kekayaan intelektual.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat
dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan
(eksekuatur).
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan.
249
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam
pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila
pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti
atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk
mengabulkan atau menolak permohonan.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk
memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para
pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya
atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "banding" adalah hanya
terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
250
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
251
LAMPIRAN 2
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 01 TAHUN 2008
Tentang
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
252
dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung.
253
Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 34
Tahun 2004.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
254
sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan
bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini.
8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan
kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa
mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.
10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak
yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian
sengketa.
255
Pasal 2
Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma
(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam
Peraturan ini.
Pasal 3
Biaya Pemanggilan Para Pihak
Pasal 4
Jenis Perkara Yang Dimediasi
256
pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang
diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan
mediator.
Pasal 5
Sertifikasi Mediator
(2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat,
akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat
mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan
berwenang menjalankan fungsi mediator.
Pasal 6
257
BAB II
Tahap Pra Mediasi
Pasal 7
Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum
(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua
belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh
mediasi.
(3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,
mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam
proses mediasi.
Pasal 8
Hak Para Pihak Memilih Mediator
258
(2) Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang
mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati
oleh para mediator sendiri.
Pasal 9
Daftar Mediator
Pasal 10
Honorarium Mediator
259
(1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.
(2) Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para
pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.
Pasal 11
Batas Waktu Pemilihan Mediator
(1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim
mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2
(dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih
mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan
penggunaan mediator bukan hakim.
(6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan
pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa
pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh
ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
Pasal 12
Menempuh Mediasi dengan Iktikad Baik
(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
260
(2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi
jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.
BAB III
Tahap-Tahap Proses Mediasi
Pasal 13
Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan
kepada mediator.
(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.
(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat 3.
(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi
dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat
komunikasi.
Pasal 14
Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal
261
(1) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika
salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua
kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai
jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua
kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa
alasan setelah dipanggil secara patut.
Pasal 15
Tugas-Tugas Mediator
Pasal 16
Keterlibatan Ahli
(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat
262
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para
pihak.
(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam
proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan.
Pasal 17
Mencapai Kesepakatan
(2) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum,
para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas
kesepakatan yang dicapai.
(4) Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari
sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian.
Pasal 18
263
Tidak Mencapai Kesepakatan
(1) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak
mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab
yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan
secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan kepada hakim.
Pasal 19
Keterpisahan Mediasi dari Litigasi
BAB IV
264
Tempat Penyelenggaraan Mediasi
Pasal 20
BAB V
PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI, DAN
PENINJAUAN KEMBALI
Pasal 21
265
(4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim
pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali
wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama
14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan
tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian.
Pasal 22
266
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register
induk perkara.
Bab VI
Kesepakatan di Luar Pengadilan
Pasal 23
267
Bab VII
Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif
Pasal 24
Pasal 25
BAB VIII
Penutup
Pasal 26
Pasal 27
BAGIR MANAN
268
BIODATA PENULIS
269
Nama : Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum
Riwayat Pendidikan :
Riwayat Pekerjaan :
sekarang
Riwayat Keluarga :
270
Nama Anak : 1. Alm. M. Realdi Putra Ginting
271