Anda di halaman 1dari 281

PENGANTAR PENULIS

Sifat formal dan teknis pada lembaga peradilan sering

mengakibatkan penyelesain sengketa yang berlarut-larut, sehingga

membutuhkan waktu yang lama. Apalagi dalam sengketa bisnis,

dituntut suatu penyelesaian sengketa yang cepat dan murah serta

bersifat informal procedure.

Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis

mengakibatkan timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras segala

potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan.

Menghadapi kenyataan lambatnya proses penyelesaian sengketa dan

beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi, muncul

kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran upaya

memperbaiki sistem peradilan.

Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dengan

ungkapan-ungkapan yang melekat pada pengadilan sebagai the first

resort and the last resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa

mendatang apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-

bentuk penyelesaian baru sebagai alternatif.

i
Mengingat ketidakpuasan para pelaku bisnis terhadap proses

litigasi di pengadilan, maka semakin penting untuk dikembangkan

suatu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang umum

disebut denga Alternative Dispute Resolution (ADR), di mana salah

satu prinsip dari ADR adalah cepat dan biaya murah.

Kritikan uang dilancarkan kepada lembaga pengadilan. Hal ini

tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara industri maju.

Perkembangan masyarakat yang menuntut kecepatan, kerahasian,

efisien dan efektif serta menjaga kelangsungan hubungan yang telah

ada, hal tersebut tidak dapat direspon oleh lembaga litigasi yang ada.

Lembaga pengadilan mendapat banyak kritikan dalam operasionalnya

yang dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu, uang dan

terbuka serta tidak dapat memberikan win-win solution sehingga

konsep penyelesaian sengketa alternative yang ditawarkan mendapat

sambutan yang positif, terutama di dunia bisnis yang menghendaki

efisiensi dan kerahasiaan serta lestarinya hubungan kerja sama dan

tidak formalistis serta menghendaki penyelesaian yang lebih

menekankan pada keadilan.

Buku ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para

pembaca tentang ADR yang merupakan budaya bangsa kita sendiri,

serta perkembangan ADR dibeberapa negara di dunia. ADR

ii
diharapkan menjadi solusi dalam mencari keadilan dengan biaya

ringan, waktu yang cepat dalam menyelesaikan sengketa, khususnya

dalam sengketa bisnis. Harapan penulis kepada seluruh pembaca

semoga dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif bagi

penyempurnaan buku ini untuk edisi yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya buku ini tidak terlepas

dari bantuan banyak pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu

per satu. Namun demikian, penulis ingin menegaskan bahwa

penulisan buku ini mungkin tidak akan berhasil tanpa kesabaran,

ketekunan dan kerja keras Sdr. Ramlan, S.H., M.Hum sebagai editor.

Penulis haturkan terima kasih atas ketekunannya sehingga selesaiya

buku ini.

Selanjutnya, buku yang sederhana ini penulis persembahkan

buat orang-orang yang kukasihi dan kusayangi. Pertama kepada

kedua orang tua penulis, ayahanda tercinta almarhum H. Perdana

Ginting dan almarhumah ibunda tersayang Hj. Indarsih. Yang selalu

dengan penuh kasih sayang dan kelembutan yang tegas serta

kedisiplinan dalam mendidik dan membimbing penulis sejak kecil

hingga akhir hayat mereka, dengan memberikan nasehat serta

arahan yang tidak lelah-lelahnya, agar penulis berhasil dalam dunia

pendidikan. Semoga almarhum dan almarhumah dapat diterima di sisi

iii
Allah SWT., Amin. Penulis juga mempersembahkan buku ini kepada

istriku tersayang Hj. Saskia, S.E., M.Si., dan ketiga buah hatiku

Almarhum M. Realdi Putra Ginting, Raissa Irena Perdana Ginting, dan

M. Rifqi Ananda Ginting atas doa kalian, kerelaan, kesabaran, dan

kasih sayang serta motivasi yang diberikan untuk dapat

menyelesaikan penulisan buku ini. Anak-anakku adalah sumber

keceriaan dan kebahagiaan yang membuat ide-ide dan inspirasi untuk

bekerja keras dan berbuat yang lebih baik. Teriring doa, semoga buah

hatiku senantiasa sehat dan tumbuh menjadi anak-anak yang shaleh

dan shalehah, serta selalu gemar belajar dan mencintai ilmu

pengetahuan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada penerbit Ratu

Jaya Medan, atas kesediaannya menerbitkan buku ini. Semoga

kerjasama yang baik dapat terus berjalan di masa-masa yang akan

datang.

Akhirnya, dari hati yang dalam penulis ucapkan puji dan syukur

kehadirat Allah SWT, dengan berkat rahmat dan karunia-Nya

memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan buku ini, serta proses penerbitannya dapat

berjalan dengan lancar. Segala kebenaran yang tertuang di dalam

buku ini semata-mata hanya tuntunan dari Allah SWT., dan segala

iv
kesalahan merupakan kekhilafan dan kealpaan penulis. Selamat

membaca semoga bermanfaat…!!!

Medan, April 2009

Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum

v
DAFTAR ISI
halaman

Pengantar Penulis ....................................................................... iii

Daftar Isi....................................................................................... viii

Bab 1 : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP


LEMBAGA PENGADILAN....................................... 1

Bab 2 : ISTILAH DAN PENGERTIAN ALTERNATIVE


DISPUTE RESOLUTION ........................................ 17

Bab 3 : PERKEMBANGAN ALTERNATIVE DISPUTE


RESOLUTION DI INDONESIA................................ 22

A. Alternative Dispute Resolution Merupakan


Budaya Bangsa Indonesia ................................. 22

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative


Dispute Resolution............................................. 46
1. ADR di Luar Pengadilan ............................... 46
2. ADR di Pengadilan ....................................... 52

C. Juridiksi Alternative Dispute Resolution di


Pengadilan......................................................... 62

Bab 4 : PELEMBAGAAN ALTERNATIVE DISPUTE


RESOLUTION DI INDONESIA................................ 66

A. Masyarakat dan Sengketa ................................. 66

B. Sengketa Bisnis ................................................. 69

C. Sasaran Jangka Menengah ............................... 88

Bab 5 : PERKEMBANGAN BENTUK ALTERNATIVE


DISPUTE ESOLUTION DI BEBERAPA NEGARA .. 101

A. Alasan Negara-negara Barat dan Timur

vi
Menggunakan Alternative Dispute Resolution ... 101

B. Berbagai Bentuk Alternative Dispute


Resolution yang Berkembang............................ 113
1. Negoisasi...................................................... 113
2. Mediasi ......................................................... 120
3. Konsiliasi ...................................................... 124
4. Minitrial ......................................................... 131
5. Summary Jury Trial ...................................... 134

C. Alternative Dispute Resolution di Beberapa


Negara di Dunia................................................. 135

Daftar Pustaka ..................................................................... 200

Lampiran
1 : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa .......................................... 209

2 : Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor : 01 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan ............................................. 258

vii
1
PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP
LEMBAGA PENGADILAN

Sampai sekarang umat manusia masih memendang keber-

adaan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap

dibuthkan. Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum

dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, antara lain ber-

peran sebagai berikut:1

1. Peradilan berperan sebagai katup penekan atau pressure valve

atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan

pelanggaran ketertiban umum.

2. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort

atau tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan sehingga

peradilan masih tetap diandalkan sebagai badan yang berfungsi

1
M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), Beberapa
Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hlm. 237. Lihat juga M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut
M. Yahya Harahap II), ”Mencari Sistem Peradilan Yang Efektif dan Efisien” makalah,
disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum sebagai Modal
Dasar Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, Jakarta 18-21 juli 1995.

1
menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and

enforce justice).

Berdasarkan kedudukan dan keberadaannya sebagai pressure

valve dan the last resort, peradilan masih tetap diakui memegang

peran, fungsi dan kewengan sebagai:2

1. Penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom of

society).

2. Wali masyarakat (are regarding as costudian of society).

3. Pelaksana penegak hukum yang lazim disebut judiciary as the

upholders of the rule of law.

Di samping itu, tempat dan kedudukan peradilan masih

dihargai sebagai badan atau institusi yang memiliki fungsi istimewa

(serve a very special function). Dalam kedudukan istimewa yang

demikian JR. Spencer3 mengatakan bahwa putusan yang dijatuhkan

pengadilan diibaratkan seperti ”putusan tuhan” atau the judgement

was the of God. Pendapat yang menganggap bahwa putusan

pengadilan sebagai the judgement was the of God sudah lama

berakar dalam kehidupan manusia. Masyarakat Yunani menyebutnya

sebagai judicium die.

2
M. Yahya Harahap I, Loc.Cit.
3
JR. Spencer Jackson’s, Machinery of Justice, University Press, Cambride,
1989, hlm. 19.

2
Kritik yang muncul terhadap peradilan bukan hanya gejala

yang tumbuh di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia. Di

negara-negara industri maju, kritik yang dilontarkan masyarakat

pencari keadilan terutama dari kelompak ekonomi, jauh lebih gencar.

Kalangan ekonomi Amerika menuduh bahwa hancurnya perekonomi-

an nasional disebabkan mahalnya biaya peradilan. Tony Mc Adams 4

dalam tulisannya mengemukakan bahwa law has become avery big

American business and litigation cost may be doing damage to

natoin’s company.

Kenyataan atas kritik yang menganggap bahwa mahalnya

biaya berperkara ikut mempengaruhi kehidupan perekonomian bukan

hanya terjadi di Amerika, melainkan terjadi disemua negara. Kritik

terpenting dari berbagai negara (wujud kritiknya hampir sama)

terangkum dalam uraian sebagai berikut:

1. Penyelesaian sengketa lambat.

a. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya

lambat atau waste of time.

b. Hal di atas (a) mengakibatkan proses pemeriksaan bersifat

sangat formal (formalistic) dan sangat teknis (technically).

4
Tony Mc Adams, Law Businessand Society, Third Edition, Irwin, Boston,
1992, hlm. 195.

3
c. Arus perkara makin deras sehingga peradilan dijejali dengan

beban yang terlampau banyak (overloaded).

2. Biaya perkara mahal.

Semua pihak menganggap biaya perkara sangat mahal, apalagi

jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian. Makin lama penye-

lesaian mengakibatkan makin tinggi biaya yang harus dikeluarkan,

seperti biaya resmi dan upah pengacara yang ditanggung. Melihat

kenyataan biaya perkara yang mahal membuat orang berperkara

di pengadilan menjadi lumpuh dan terkuras segala sumber daya,

waktu, dan pikiran (litigation paralyze people).5

3. Peradilan tidak tanggap (unresponsive).

Kritik lain yang ditujukan kepada pengadilan adalah berupa

kenyataan, pengalaman, dan pengamatan bahwa pengadilan

kurang tanggap dan tidak responsive atau unresponsive dalam

bentuk prilaku. Kritik tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi kepen-

tingan umum serta sering mengabaikan perlindungan umum

dan kebutuhan masyarakat.6

5
Lihat Jack Etheridge dalam Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc.
Graw Hill publishing Comp., New York, 1989, hlm. 23.
6
Lihat Tony Mc Adams, Op.Cit., hlm. 187.

4
b. Pengadilan sering dianggap berlaku tidak adil atau unfair, kritik

ini di dasarkan atas alasan bahwa pengadilan dalam memberi-

kan kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada

lembaga besar dan orang kaya.

4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.

Berdasarkan kenyataan, putusan pengadilan tidak mampu mem-

berikan penyelesaian yang memuaskan kepada pihak. Putusan

pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan ketentraman

kepada pihak-pihak yang berperkara. Kritik tersebut antara lain

sebagai berikut:

a. Salah satu pihak pasti menang dan lain pihak pasti kalah (win-

lose).

b. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah mem-

bawa kedamaian, tetapi menumbuhkan bibit dendam dan

permusuhan serta kebencian.

c. Putusan pengadilan membingungkan.

d. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum

(uncertainty) dan tidak bisa diprediksi (unpredictable).

5. Kemampuan para hakim bersifat generalis.

Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat

terbatas. Ilmu pengetahuan yang mereka miliki hanya di bidang

5
hukum. Di luar itu, pengetahuan mereka hanya bersifat umum.

Memperhatikan para hakim hanya manusia generalis, sangat

mustahil mereka mampu menyelesaikan sengketa yang mengan-

dung kompleksitas dalam berbagai bidang, misalnya sengketa

kontruksi. Sengketa tersebut berkaitan langsung dengan masalah

teknologi konstruksi, akutansi, perkreditan, dan sebagainya.

Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan,

akan tetapi dari deskripsi yang diuraikan di atas sudah dapat

memberikan gambaran mengenai kegoyahan, kebenaran peradilan

sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun kedudukan dan keber-

adaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam mencari

kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan masyarakat terhadap

pengadilan sudah berkurang.

Faktor penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga peradilan adalah sistem peradilan yang terlampau formal

dan teknis, sifat formal dan teknis pada sistem peradilan mengakibat-

kan penyelesaian sengketa terlunta-lunta sehingga membutuhkan

waktu yang lama padahal masyarakat menghendaki penyelesaian

yang cepat dan biaya yang murah. Sengketa bisnis menuntut penye-

lesaian yang bersfat informal procedure.

6
Penyelesaian sengketa yang lambat dalam dunia bisnis meng-

akibatkan timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras segala

potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan. Meng-

hadapi kenyataan lambatanya proses penyelesaian sengketa dan

beratnya beban biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi,

muncul kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran upaya

memperbaiki sistem peradilan.

Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dihubungkan

dengan ungkapan-ungkapan yang melekat pada pengadilan masih

pantaskah mempertahankan pengadilan sebagai the first resort and

the law resort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang?

Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk penye-

lesaian alternative?

Penulis berpendapat bahwa lembaga peradilan masih perlu

tetap dipertahankan sebagai katup penekan (pressure valve) dalam

negara hukam dan demokratis. Akan tetapi kedudukannya perlu

digeser hanya sebagai lembaga the last resort, sedangkan lembaga

alternative yang lain ditempatkan sebagai the first resort.

Dari uraian di atas, maka bermacam-macam alasan mengapa

seorang menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Di samping

berperan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang potensial untuk

7
menghindari biaya tinggi, keterlambatan dan ketidakpastian yang

melekat pada sistem litigasi, juga dimaksud sebagai sarana untuk

memperbaiki komunikasi di antara pihak-pihak. Oleh karena putusan

diambil berdasarkan kesepakatan, maka hasilnya adalah win-win,

sehingga penyelesaian sengketa bersifat tuntas (tidak semu).

Banyak pihak yang menyatakan bahwa melibakan diri dalam

kasus pengadilan, sungguh merupakan pengalaman yang stress.

Dalam wawancara dengan orang-orang yang telah terlibat dalam

litigasi, John Baldwin melaporkan bahwa banyak pihak yang telah

membuktikan mengalami intimidasi selama proses pengadilan formal

dan juga mengalami kekhawatiran mengenai biaya perkara dan

kemungkinan keharusan membayar biaya-biaya pihak lainnya.

Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya

mem-butuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada

tingkat Mahkamah Agung. Hal ini sudah tentu juga membutuhkan

biaya yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihak-

pihak yang bersengketa.7

7
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra
Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 103.

8
Selain institusi peradilan formal, masih ada lagi bentuk-

bentuk mekanisme penyelesaian sengketa lainnya yang didasar-

kan pada kesepakatan (kompromi, negosiasi) atau dengan meli-

batkan pihak ketiga sebagai mediator 8 atau konsiliator 9 ataupun

yang berbentuk arbitrase. 10 Bentuk ini kemudian dikenal dengan

alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution).

Di dalam menjalankan fungsinya ternyata lembaga peradilan

formal banyak mendapat kritikan dari masyarakat, dengan

berbagai kelemahan yang melekat pada sistem peradilan formal

itu sendiri, sehingga masyarakat pencari keadilan semakin meng-

hindar dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan (dari litigasi

ke non-litigasi), kondisi ini tidak hanya melanda pengadilan di

8
Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) menyebutkan mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
9
Menurut UUPPHI, Konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya
disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menye-
lesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan PHKK atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
10
Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar PHI melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final. Lihat UUPPHI.

9
Indonesia saja, tetapi melanda hampir seluruh negara di dunia,

baik negara-negara Barat maupun Timur. 11

Di negara berkembang (developed countries), pengadilan

adakalanya dianggap memihak kepada orang-orang yang memiliki

status sosial yang tinggi dan para pengusaha besar (social

stratification). Bahkan di beberapa negara, pengadilan dianggap

tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap lebih me-

mihak yang mendatangkan ketidakadilan (unjustice).12

Kemerdekaan dari institusi pengadilan banyak dipertanya-

kan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh B. Arief Sidharta

tindakan-tindakan kekuasaan politik tersebut terutama masa orde

baru selalu dikemas dalam baju hukum positif tertulis yang

memenuhi semua persyaratan formal. Pembentukan hukum lewat

rekayasa secara cerdik dan cermat, kemudian ditegakkan secara

dipaksakan berlaku dengan dukungan kekuatan aparat militer.

Hukum ditegakkan jika menguntungkan dan memudahkan peng-

uasa untuk mewujudkan tugas-tugasnya. Sebaliknya (aturan)

hukum dikesampingkan jika menghambat atau menyulitkan peng-

uasa. Penyelenggaraan hukum ditangani pula dengan sangat


11
Runtung, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif
(Studi Mengenai Masyarakat Karo di Kabanjahe dan Berastagi)”, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hlm. 91.
12
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 103.

10
menonjolkan penggunaan kewenangan dikresional tanpa batas

oleh penguasa dan campur tangan (intervensi) secara langsung

pihak eksekutif (penguasa politik) terhadap pelaksanaan kewe-

nangan yudikatif, campur tangan ini tidak jarang menampilkan diri

dalam bentuk peradilan sandiwara (sham trials).13

Sistem peradilan di Indonesia banyak mendapat sorotan

dari berbagai kalangan masyarakat, dan selalu dianggap tidak

bersih, ditambah lagi dengan adanya isu tentang terjadinya praktik

“mafia peradilan” yang melanda peradilan Indonesia di semua

tingkat peradilan (PN, PT dan MA).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengadilan banyak

yang sudah berubah fungsi dari tempat menegakkan hukum dan

keadilan menjadi tempat transaksi jual beli keadilan, siapa yang

bisa membeli dia akan mendapatkannya. Keputusan hakim di

pengadilan juga dijadikan sebagai sesuatu yang dapat diper-

dagangkan.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai penyebab

menurunnya citra pengadilan di mata masyarakat Indonesia adalah

adanya ketidak-percayaan masyarakat kepada institusi/lembaga

13
B. Arief Sidharta, Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm. 197.

11
tersebut, sehingga masyarakat mencari jalan lain untuk menyelesai-

kan sengketanya. Jalan lain ini ditempuh dengan tujuan untuk

menciptakan hubungan yang baik antara pihak-pihak yang berseng-

keta, sehingga antara para pihak yang bersengketa tidak akan

merasa saling dirugikan, karena penyelesaiannya secara win-win

solution tidak win and lose.

Keputusan untuk menggunakan metode penyelesaian seng-

keta alternatif tergantung kepada pertimbangan para pihak. Hanya

saja sekurang-kurangnya ada 2 hal yang perlu dipertimbangkan untuk

menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Pertama, prosedur

penyelesaian sengketa alternatif lebih tepat guna dari pada prosedur

litigasi dan kedua, perlu ditentukan pilihan bentuk mana dari

penyelesaian sengketa alternatif yang paling tepat digunakan untuk

jenis sengketa yang dihadapi.

Perlu diketahui bahwa menurut W. Moore dan James

Creighton ada beberapa pertanyaan lanjutan yang harus dijawab

sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak untuk menggunakan

pola penyelesaian sengketa alternatif, yaitu:

1. Berapa besar kekuatan relatif yang dimiliki oleh pihak-pihak yang

terlibat, dan bagaimana pentingnya persengketaan ini bagi setiap

pihak?. Sumber kekuatan meliputi:

12
a. Kekuasaan atau wewenang formal, yaitu wewenang yang

diberikan secara legal untuk menetapkan kebijakan, menyusun

peraturan, memberi izin, dan lain-lain.

b. Keahlian/kekuatan informasi, yaitu memiliki akses untuk ber-

hubungan dengan orang-orang yang berilmu atau memiliki

informasi yang tidak dimiliki oleh orang lain.

c. Kekuatan prosedural, yaitu kontrol terhadap prosedur peng-

ambilan keputusan.

d. Kekuatan asosiasi, yaitu kekuatan yang berasal dari ber-

asosiasi dengan orang-orang yang berkuasa.

e. Kekuatan dari penguasaan sumber daya, yaitu kemampuan

untuk menyebabkan sesuatu yang berbahaya atau menolak

mementahkan manfaat dari penyelesaian sengketa.

f. Kekuatan yang diperoleh dari mengusahakan orang lain, yaitu

kemampuan untuk menimbulkan ketidakenakan bagi pihak lain.

g. Kekuatan habitual atau yang diperoleh dari kebiasaan, yaitu

kekuatan atau kekuasaan dari berlakunya status quo atau

sebagaimana biasa sesuatu dilakukan.

h. Kekuatan moral, yaitu kemampuan untuk meningkatkan konflik

dalam sudut pandang nilai sumber kekuatan lainnya.

13
i. Kekuatan pribadi, yaitu atribut-atribut pribadi atau keahlian

yang memperbesar sumber-sumber keahlian lainnya.

2. Memperhitungkan kekuatan relatif dan komitmen dari tiap pihak

apabila persengketaan ini terus berlangsung sampai sekarang.

Prosedur manakah yang kelihatannya paling baik untuk penye-

lesainnya?

3. Dengan mempertimbangkan kekuatan relatif dan komitmen yang

diberikan oleh satu pihak, jika persengketaan tersebut terus ber-

langsung sampai sekarang, hasil-hasil atau akibat subtantif apa

yang paling mungkin terjadi dan berapa besar peluang relatif

(relative probabilities)?

4. Dengan mempertimbangkan perkiraan atau ramalan anda dalam

pertanyaan nomor dua dan tiga, berapa besar keuntungan/biaya

potensial dari prosedur yang diterapkan saat ini dan bagaimana

suatu persengketaan akan diselesaikan. Keuntungan dan biaya-

biaya tersebut bisa mencakup:

a. Biaya proses (staf, waktu, penundaan, biaya hukum, dan lain-

lain).

b. Dampak antara hubungan anda/organisasi anda dan pihak-

pihak lain.

c. Keuntungan finansial atau liability.

14
d. Resiko peningkatan/penurunan yang diakibatkan oleh hasil

penyelesaian yang tidak bisa diterima.

e. Menetapkan prosedur hukum.

f. Dampak-dampak politik.

g. Dukungan internal/moral.

5. Apakah penggunaan prosedur yang ditetapkan sekarang sudah

dicarikan pembenarannya (dijustifikasi) ?

6. Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa mana yang paling

sesuai untuk menangani persengketaan ini?

Dari jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut masalah

yang sedang dihadapi dapat dikualifikasikan, sehingga antara seng-

keta yang sedang dihadapi dengan pola penyelesaian yang dipilih

sesuai.

Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik

untuk pihak yang bersangkutan. Suatu penyelesaian sengketa

alternatif yang baik menurut Leo Kanowit setidak-tidaknya haruslah

memenuhi prinsip-prinsip; harus efesien dari segi waktu, hemat biaya,

dapat diakses oleh para pihak, melindungi hak-hak dari para pihak

yang bersengketa, dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur,

badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya

di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa,

15
putusannya haruslah final dan mengikat, dan mudah dieksekusi serta

sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti di mana penyelesaian

sengketa alternatif tersebut terdapat.14

14
Munir Fuadi, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm. 34-35.

16
2
ISTILAH DAN PENGERTIAN
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION

Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah merupakan istilah

asing yang masih perlu dicarikan padanannya dalam bahasa

Indonesia. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia telah diper-

kenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak. Beberapa

diantaranya yang telah dapat diindentifikasi adalah; penyelesaian

sengketa alternatif,15 alternatif penyelesaian sengketa (APS),16

mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS)17 dan pilihan

penyelesaian sengketa (PPS).18

15
Perhatikan Erman Rajagukguk, Op.Cit., perhatikan juga Ali Budiharjo
dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Cyber Consult, Jakarta, 1999; Baca juga
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek-aspek Hukum,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
16
Lihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
17
Lihat Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini”, makalah disajikan dalam Seminar
Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus-kasus Tanah, Perburuhan
dan Lingkungan, di Selenggarakan oleh Studi dan Advokasi Masyarakat
bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994.
18
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

17
Sebelum mencari padanan istilah yang tepat dalam bahasa

Indonesia terlebih dahulu diperlukan penyamaan persepsi tentang

konsep dan pemahaman terhadap ADR tersebut.

Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR ter-

sebut. Pertama, ADR diartikan sebagai alternative to litigation dan

yang kedua, ADR diartikan dengan alternative to adjudication.

Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian tersebut

menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama

yang menjadi acuan (alternative to litigation), maka seluruh

mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk

arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi apabila ADR diartikan

sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme yang

bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan ADR.

Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikatif tidak termasuk didalam-

nya, karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasil-

kan putusan dengan solusi menang kalah (win-lose).

Belum ada suatu kesepakatan dikalangan para ahli untuk

menjatuhkan pilihan pada salah satu konsef tersebut di atas. Namun

menurut Mas Achmad Santosa19 apabila melihat latar belakang

19
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa I),
“Perkembangan Pelembagaan ADR di Indonesia”, makalah disampaikan pada

18
pengembangan ADR di Amerika Serikat, maka ADR yang dimaksud

adalah alternative to adjudication. Sebab pada dasarnya hasil

(outcome) ajudikasi baik pengadilan maupun arbitrase cenderung

menghasilkan solusi win-lose, dan bukan win-win. Sehingga solusi

yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa (mutually

acceptable solusition) sangat kecil kemungkinannya tercapai.

Demikian juga halnya Singapura, menurut Liew Thiam Ling dalam

makalahnya berjudul Court Dispute Resolusition (CDR) in Singapore

cenderung menganut pengertian bahwa ADR merupakan alternatif

dari proses adjudikasi mekanisme penyelesaian sengketa yang

bersifat konsensual.20

Jika dilihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa, maka Indonesia

juga merupakan salah satu penganut dari pandangan yang kedua,

karena undang-undang tersebut memisahkan secara tegas istilah

arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa.

Lokakarya Hasil Penelitian Teknik Mediasi Tradional, yang diselenggarakan oleh


The Asia Foundation, Indonesian Center for Enviromental Law bekerjasama dengan
Pusat Kajian Pilihan Penyelesaian Sengketa Universitas Andalas, di Sedona Bumi
Minang, Tanggal 27 November 1999.
20
Ibid.

19
Dalam konteks studi ini akan digunakan penyelesaian sengketa

alternatif dalam arti alternative to adjudicationi, dengan tidak

mengurangi arti kebenaran istilah-istilah lainnya.

Tentang pengertian penyelesaian sengketa alternatif

Jacqueline M. Nolan-Haley menjelaskan; ADR is an umbrella term

which refers generally to alternative to court adjudication of disputes

such as negotiation, mediation, arbitration, minitrial and summary jury

trial.

Di sini, Jacqueline M. Nolan-Haley menekankan bahwa penye-

lesaian sengketa alternatif itu sebagai istilah protektif yang merujuk

secara umum kepada alternatif-alternatif ajudikasi pengadilan atas

konflik, tanpa menyinggung konsiliasi sebagai bentuk penyelesaian

sengketa alternatif.

Black Law Dictionary memberikan pengertian ADR dengan:21

“…..term refers to procedures setting dispute by means other than


litigation; e.g. by arbitration, mediation, minitrial. Such procedures;
which are usually lesscoslty and more axpeditiousm, are
increasingly being used in commercial and labor dispute, divorce
action, inresolving motor, vehicle and medical malpractice, tort
claims, and in other disputes that would likely other disputes that
would likely other wise involve court litigation.

21
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Six Edition, West Publishing
Co, St. Paul, Minn, 1990, hlm. 78.

20
Pengertian yang lebih luas adalah; Alternative Dispute

Resolution (ADR) is a convenient label for a range of method by which

people involved in a dispute can be assisted to resolve it.These

method are an alternative to traditional court procedures. ADR

processes include negotiation, mediation, minitrials and arbitration.

Dari beberapa pengertian di atas dapat diindentifikasi bahwa

bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif dalam arti alternative

to adjudication yang telah berkembang hingga saat ini adalah

negosiasi, mediasi, konsiliasi, minitrial dan summery juri trial.

Tujuan dari pengembangan penyelesaian sengketa alternatif

adalah untuk memberikan forum bagi pihak-pihak untuk bekerja ke

arah kesepakatan sukarela dalam mengambil keputusan mengenai

sengketa yang dihadapinya. Dengan demikian penyelesaian sengketa

alternatif adalah merupakan sarana yang potensial untuk memper-

baiki hubungan di antara pihak-pihak yang bersengketa.

21
3
PERKEMBANGAN ALTERNATIVE DISPUTE
RESOLUTION DI INDONESIA

A. Alternative Dispute Resolution Merupakan Budaya Bangsa


Indonesia

Penyelesaikan sengketa secara alternatif bukan merupakan hal

yang baru, karena sejak dahulu kala masyarakat tradisional Indonesia

telah menggunakan penyelesaian sengketa secara alternatif. Hal ini

dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai

penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara war-

ganya. Penyelesaian sengketa yang dilakukan kepala adat dianggap

efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat 22

sampai saat ini.

Penyelesaian sengketa secara alternatif merupakan culture

bangsa Indonesia sendiri, baik dalam masyarakat tradisional maupun

sebagai dasar negara Pancasila yang dikenal dengan istilah musya-

warah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia mengenal

22
Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 247.

22
makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, tetapi

memiliki philosophy yang sama. Dalam klausula-klausula suatu

kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu

diikuti dengan kata-kata “kalau terjadi suatu sengketa atau

perselisihan, diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak

tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di pengadilan”.23 Ini

artinya sejak dahulu kala penyelesaian sengketa secara alternatif

sudah sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, sedangkan

penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan pilihan akhir

apabila penyelesaian sengketa secara alternatif tidak dapat diselesai-

kan.

Studi-studi antropologi hukum di Indonesia mengungkapkan,

bahwa terdapat institusi penyelesaian sengketa yang hidup dalam

masyarakat selain dari sistem pengadilan yang tunduk pada hukum

negara. Di antara institusi itu adalah:

1. Di daerah pedalaman Kalimantan.

Hudson dalam tulisannya yang berjudul Padju Epat, menge-

mukakan bahwa banyak sengketa yang diselesaikan oleh para

tua-tua adat saja. Bila pelanggaran dianggap belum berat maka

23
Mahkamah Agung, Naskah Akademis Mengenai: Court Dispute
Resolution, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003,
hlm. 135.

23
yang menyelesaikan adalah tokoh adat setempat bersama-sama

dengan pihak yang bersangkutan, akan tetapi apabila pelang-

garannya sudah berat ia memanggil tokoh adat setempat yang lain

dan melalui rapat ditentukan apakah seorang bersalah atau tidak.

Jika dinyatakan bersalah disebutkan kesalahannya dan apa

hukumannya, serta bagaimana keputusan yang pernah diberikan

pada masa lalu dalam sengketa yang mirip (preseden).

Sedangkan hukuman yang dijatuhkan, selain berupa denda juga

dikenakan kewajiban untuk menyembelih seekor hewan untuk

disantap bersama.24

2. Di daerah Toraja disekitar Ranrepao dan Ma’kele.

Di daerah ini ada sebuah dewan yang bernama Dewan Hadat dan

merupakan lembaga adat asli Toraja, sejak dulu telah berfungsi

untuk menyelesaikan sengketa. Dewan ini anggota-anggotanya

merupakan orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam

suatu desa, seperti para tua-tua adat dan juga orang-orang yang

dianggap paling mengetahui mengenai masalah yang diseng-

ketakan. Warga masyarakat biasanya pertama sekali mengajukan

sengketa mereka kepada Hadat, kemudian Hadat berhari-hari

24
T.O. Ihromi (Ed.), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 17.

24
mengadakan sidang untuk menentukan, siapa yang harus diper-

salahkan mengenai suatu sengketa dan apa hukuman yang dapat

dijatuhkan.25

3. Di Minangkabau.

Di daerah ini ada dikenal Kerapatan Nagari yang dikepalai oleh

Wali Nagari. Dalam Kerapatan Nagari yang bertindak sebagai

badan pencegah, adalah hakim perdamaian dalam sengketa.

Dalam prakteknya Wali Nagari memutuskan sesuatu sengketa

yang diajukan ke Kerapatan Nagari bersama-sama dengan para

kepala seksi yang ada dalam Kerapatan Nagari yaitu Kepala

Seksi Adat, Kepala Seksi Umum.26

Hasil Penelitian Dewi Hartanti di Pasar Tradisional Padang

Panjang, Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa apabila terjadi

persengketaan sebagian besar diselesaikan oleh lembaga non

formal seperti Kerapatan Adat Nagari.27

Sejak tahun 1974, eksistensi Kerapatan Nagari telah diperkuat

melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No.

156/GSB/1974 tentang Peradilan Perdamaian Nagari. Dalam

25
Ibid.
26
Keebet Von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat.
Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau, Gramedia Widiasarana
Indonesia bekerjasama dengan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Tal-Land-en
Volkenkunde, Jakarta, 2000, hlm. 73.
27
Hilman Hadikusuma, Loc.Cit.

25
Pasal 3 ayat (1) Surat Keputusan tersebut menegaskan bahwa

“proses pengadilan dalam mempertahankan hak kebendaan

dalam sengketa harta kekayaan dilaksanakan dalam suatu

lembaga atau badan peradilan adat yang disebut Kerapatan

Nagari.28

4. Pulau Lombok.

Moh. Koesnoe mengungkapkan bahwa di kalangan masyarakat

suku Sasak di Pulau Lombok ada pula dikenal suatu lembaga

penyelesaian sengketa yang diberi nama Begundem. Begundem

adalah suatu bentuk musyawarah untuk mengambil keputusan

mengenai penyelesaian berbagai masalah dan sengketa melalui

suatu persidangan Krama Desa atau Krama Gubug. Persidangan

Krama Desa atau Krama Gubug diketahui oleh seorang penulis

yang diambil dari anggota Krama Desa.29

Pimpinan sidang Krama Desa dilakukan oleh penulis persidangan

Krama Desa, dari awal hingga tercapainya suatu kemufakatan.

Ketua Krama Desa hanya ikut menunggu persidangan sampai

tercapainya kebulatan pendapat dari pimpinan persidangan

28
Anrizal, ”Kedudukan Fungsi Serta Tugas Kerapatan Adat Nagari Dalam
Penyelesaian Sengketa Setelah berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintah Desa (Studi Kasus di Kabupaten Agam)”, Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998, hlm. 8-9.
29
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Airlangga University Perss, Surabaya, 1979, hlm. 193-218.

26
Krama Desa. Setelah tercapai kata mufakat baru diambil alih oleh

Ketua Krama Desa dari penulis persidangan dan kemudian

memberikan kesimpulan dan keputusannya tentang apa yang

telah dihasilkan oleh Sidang Krama Desa. Adat seperti ini

dijumpai di Daerah Sakra.

Dalam melaksanakan begundem, menurut adat sasak dikenal

beberapa asas:

a. Setiap anggota persidangan termasuk penulis sidang diper-

kenankan mengemukakan pendapat dan argumentasi-

argumentasinya dengan sepuas-puasnya.

b. Setiap anggota sidang harus memegang teguh pada pokok

persoalan yang menjadi acara pembahasan sidang Krama

yang menuntut penyelesaian.

c. Setiap anggota sidang di dalam pembahasan harus ber-

pangkal pada pikiran bahwa apa yang akan dikemukakan itu

harus sedemikian rupa sehingga pokok-pokok pikirannya

tertuju pada penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh

Krama Desa.

d. Setiap anggota sidang harus berbicara dengan memper-

hatikan sopan santun.

27
e. Bahwa setiap anggota Krama harus taat dan setia kepada

keputusan yang telah diambil berdasarkan begumen di dalam

Krama, baik di dalam Krama maupun dalam kehidupan sehari-

hari.

Keputusan Krama sebagai hasil menjalankan begumen mem-

punyai watak yang berbeda-beda di dalam masyarakat Sasak.

Ada keputusan Krama yang dapat merupakan keputusan hukum

yang menuntut pelaksanaan di dalam masyarakat segera setelah

diterbitkan dan diumumkan.

Keputusan Krama seperti ini hanya mungkin apabila mengenai

tindak pidana adat yang dendanya kurang dari 25 rupiah (gulden).

Adapun keputusan Krama yang sifatnya merupakan suatu

pendapat, untuk dapat mengikat secara hukum diperlukan

pengesahan dari instansi yang lebih tinggi (Rood Sasak).

Moh. Koesnoe mengemukakan bahwa setelah tahun 1960,

lembaga begumen mengalami keguncangan di beberapa tempat.

Penyebabnya adalah adanya surat keputusan kepala-kepala

daerah untuk segera mengadakan pembaharuan jabatan kepala-

kepala desa di seluruh Lombok.

28
5. Pada masyarakat Aceh.

Snouck Hurgronye dalam bukunya Aceh Rakyat dan Adat

Istiadatnya (De Atjehers) menuliskan bahwa wewenang penye-

lesaian sengketa dipegang oleh dua institusi yang berbeda,

berdasarkan jenis sengketanya untuk sengketa-sengketa pasah

(fasakh) yakni pembubaran perkawinan dengan sah atas

kehendak salah satu pihak, perwalian bagi anak gadis yang ingin

menikah dan wali karena pertalian darah atau meninggal atau

yang ditinggal di luar kota yang ditentukan oleh adat, memimpin

balek mendeuhab, serta pembahagian harta, diserahkan kepada

kadi (kadhi).

Sedangkan sengketa-sengketa lainnya menjadi wewenang dari

Uleebalang. Namun tidak semua sengketa langsung diajukan

kepada Pengadilan Uleebalang, seperti penghinaan fisik, melukai

atau membunuh karena sengketa biasa, pada umumnya

diselesaikan oleh para pihak secara langsung tanpa campur

tangan Uleebalang, dengan bantuan kawom-nya (sanak terdekat).

Jika tidak selesai baru diserahkan kepada Uleebalang. Dalam

sengketa penghinaan oleh seorang pejabat tinggi terhadap

29
bawahannya, biasanya diselesaikan melalui peusijeuh (penyejuk)

atau bentuk penggantian lain.30

Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adat

sudah sejak lama menyelesaikan sengketa-sengketa adat melalui

kelembagaan tradisional, seperti hakim perdamaian desa. Biasanya

yang bertindak sebagai hakim perdamaian desa ini adalah kepala

desa atau kepala rakyat, yang juga merupakan tokoh adat dan

agama. Seorang kepala desa tidak hanya bertugas mengurusi soal-

soal pemerintahan saja, tetapi juga bertugas untuk menyelesaikan

persengketaan yang timbul di masyarakat hukum adatnya. Dengan

perkataan lain, kepala desa menjalankan urusan sebagai hakim

perdamaian desa (dorpsjutitie).

Di dalam hubungannya dengan tugas kepala desa sebagai

hakim perdamaian desa, Soepomo menyatakan bahwa Kepala

Rakyat bertugas untuk memelihara kehidupan hukum di dalam

persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan

selayaknya. Aktifitas kepala rakyat sehari-hari meliputi seluruh

lapangan masyarakat. Aktifitas ini dilaksanakan bersama para pem-

bantunya, yang tidak saja untuk menyelenggarakan segala hal yang

30
C. Snouck Hurgronye, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Penerjemah
Sutan Maimun, INIS, Jakarta, 1996, hlm. 92.

30
langsung mengenai tata usaha badan persekutuan dan tidak pula

hanya untuk memelihara keperluan-keperluan rumah tangga per-

sekutuan, seperti urusan jalan-jalan desa, gawe desa, pengairan,

lumbung desa, urusan tanah yang dikuasai oleh hak pertuanan desa

dan sebagainya, melainkan kepala rakyat bercampur tangan pula

dalam menyelesaikan soal-soal perkawinan, soal warisan, soal

pemeliharaan anak yatim dan berbagai persoalan lain yang dihadapi

masyarakatnya.

Tidak ada satupun lapangan pergaulan hidup di dalam badan

persekutuan yang tertutup bagi Kepala Rakyat untuk ikut campur

tangan bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, per-

damaian, keseimbangan lahir dan batin serta untuk menegakkan

hukum.31

Dari uraian di atas jelas bahwa dalam masyarakat adat,

penanganan sengketa adat juga menjadi wewenang kepala desa

yang merupakan penguasa adat. Apalagi pada waktu itu, Landraad

tidak memiliki wewenang menyelesaikan delik adat. Penegakan

hukum yang dilakukan kepala desa tidak hanya terbatas pada perkara

perdata saja, tetapi juga meliputi perkara pidana. Sebagai penguasa

31
R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1984, hlm. 65-66.

31
adat, kepala desa mempunyai wibawa dan kekuasaan untuk mene-

tapkan keputusan adat, baik dalam rangka mencegah pelanggaran

hukum adat maupun pemulihan hukum adat.

Penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh kepala desa selaku

pimpinan desa dan juga selaku hakim perdamaian desa mirip dengan

mediator di dalam Assensus Model diperkenalkan oleh kaum

abolisionis yang menghendaki komunikasi lebih fleksibel, sehingga

sengketa antara pelaku dengan korban (perseorangan atau kelompok

masyarakat) akan lebih mudah diselesaikan. Apa yang dilakukan oleh

kepala desa selaku hakim perdamaian desa di dalam menangani

konflik yang terjadi di dalam masyarakat, sedikit banyaknya meng-

hindari proses peradilan secara formal dan menggantinya dengan

sistem kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat.32

Hampir di seluruh kepulauan Indonesia kita dapati peradilan

perdamaian desa. Hanya di Bengkalis tidak ada institusi tersebut,

sedang di Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan dan Kalimantan

Tenggara, pengadilan perdamaian desa subur berkembang. Sedang-

kan di Jawa kecuali di Yogyakarta, institusi ini hampir lenyap, karena

berpuluh-puluh tahun tidak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Di

32
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung,
1993, hlm. 107-108.

32
Yogyakarta pengadilan perdamaian desa kelihatan subur setelah

diadakan reorganisasi sistem tanah di daerah tersebut pada tahun

1912.33

Di dalam praktek, hakim perdamaian desa di berbagai wilayah

nusantara bisa memeriksa delik-delik adat yang tidak bersifat delik

menurut versi KUH Pidana, yang tidak dituntut oleh pegawai-pegawai

pemerintah karena bukan strafbaar feit menurut versi KUH Pidana.

Selain itu, ada perbuatan-perbuatan melanggar kesusilaan yang

pidananya dari KUH Pidana dianggap tidak memuaskan rasa keadilan

rakyat, sehingga masih dibutuhkan upaya-upaya adat untuk memulih-

kan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.34

Desa Adat di Bali misalnya, yang kekuasaannya dijelmakan

dalam sangkepan (rapat) Desa Adat secara musyawarah. Terhadap

sengketa-sengketa adat yang bersifat forum dalam membahas

masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi desa non-kriminal,

penyelesaiannya dalam usaha mengembalikan keseimbangan kosmis

yang terganggu tidak melalui proses peradilan, sehingga bukan

pidana yang dikenakan, melainkan diselesaikan melalui sangkepan

(rapat) desa dan ada kemungkinan untuk dijatuhkan sanksi adat

33
R. Soepomo, Op.Cit., hlm. 69-70.
34
Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.
196.

33
kepada pelakunya. Demikian pada, sengketa adat yang bersifat

kriminal, oleh masyarakat penyelesaiannya diserahkan melalui

sangkepan desa yang dipimpin oleh kepala desa adat, sehingga tidak

ditempuh melalui peradilan formal. Namun sengketa-sengketa adat

yang bersifat kriminal juga diselesaikan melalui proses peradilan

formal.

Pada masyarakat pedesaan di Sulawesi Selatan, tidak hanya

seorang kepala masyarakat hukum atau kepala desa saja yang

berperan sebagai hakim (judikator), tetapi ia dapat pula bertindak

sebagai penengah (mediator) atau wasit (arbiter). Dalam perkem-

bangannya, selain itu terdapat pula lembaga-lembaga lain, misalnya

rapat koordinasi suatu instansi pemerintah, lembaga-lembaga pada

pemerintahan kelurahan/desa, seperti Lembaga Ketahanan Masya-

rakat Desa, ketua kelompok tani, perseorangan, keluarga, teman

sejawat, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut dengan kepala

desa sebagai penengah atau wasit. Tempat penyelesaiannya tidak

tentu, mungkin di Balai Desa, di kantor LKMD, di ruang sidang suatu

kantor pemerintah, di salah satu rumah pribadi pihak yang ber-

sengketa, di rumah pihak ketiga, atau di tempat lain yang disetujui

pihak-pihak yang bersengketa. Cara penyelesaian sengketanya tidak

seperti beracara di Pengadilan Negara, tatapi lebih banyak ditempuh

34
melalui perundingan, musyawarah dan mufakat antara pihak-pihak

yang bersengketa sendiri maupun melalui mediator atau arbiter.

Hukum yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan sengketa pada

umumnya hukum yang disepakati para pihak yang bersengketa, yaitu

hukum adat setempat, hukum antar adat, hukum adat campuran,

hukum agama, atau campuran hukum adat dan hukum agama

(Islam).

Di daerah Sumatera Barat (Minangkabau) penyelesaian

sengketa anak kemanakan dilakukan oleh ninik mamak. Ada

beberapa pola yang dilakukan dalam penyelesaian masalah di

masyarakat Minangkabau, yaitu:

1. Kabupaten Pesisir Selatan.

Pertama-tama, diusahakan penyelesaian melalui mamak dari

pihak-pihak yang bersengketa, apabila tidak dapat diselesaikan,

diteruskan kepada penghulu para pihak, kalau sengketa masih

tetap tidak dapat diselesaikan, perkara diteruskan ke Balai Adat,

lalu ke Karapatan Nagari, dan akhirnya ke Camat.

2. Kabupaten Tanah Datar.

Di sini pihak yang mempunyai kekuasaan menyelesaikan seng-

keta mulai dari mamak rumah, mamak persukuan dan akhirnya

Pemerintah Nagari atau Kerapatan Nagari.

35
3. Kabupaten Padang Pariaman.

Kecenderungan di daerah ini, sengketa dalam keluarga diselesai-

kan secara musyawarah oleh mamak bersama ayah dan peng-

hulu.

4. Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.

Mamak-mamak merupakan instansi pertama, yang dilanjutkan ke

penghulu dan akhirnya ke Pengadilan Negeri.

5. Kabupaten Agam.

Pada instansi pertama, maka mamak yang berusaha menye-

lesaikan sengketa, apabila tidak berhasil akan ditangani oleh

Penghulu. Dari Penghulu prosesnya ke Kerapatan Nagari dan

kemudian ke Camat.

6. Kabupaten Pasaman.

Prosesnya dimulai dari mamak rumah dilanjutkan kepada mamak

gadang dalam suku, lalu ke Penghulu Pucuk dan Kerapatan Adat

Nagari.

7. Kabupaten Lima Puluh Kota.

Mula-mula diusahakan oleh mamak rumah untuk menyelesaikan

sengketa, yang apabila tidak berhasil, akan diteruskan kepada

Penghulu Kaum. Prosesnya lebih lanjut ke Penghulu Suku,

kemudian Sidiuk dan akhirnya ke Kerapatan Adat Nagari.

36
8. Kabupaten Solok.

Prosesnya dimulai oleh mamak, yang dilanjutkan ke Penghulu, lalu

ke Kerapatan Adat Nagari. Apabila Kerapatan Adat Nagari tidak

berhasil menyelesaikannya maka proses dilanjutkan ke Camat,

dan akhirnya ke Pengadilan Negeri.

Pada tahun 1935 pemerintahan Hindia Belanda mengakui

eksistensi perdamaian adat ini berdasarkan Pasal 3 a Rechterlijk

Organisatie (RO), Staatsblad 1935 Nomor 102, yang antara lain

menyatakan bahwa para pihak dapat saja mengajukan sengketa

kepada hakim adat, namun hakim adat dilarang menjatuhkan

hukuman.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penyelesaian sengketa

adat dapat dilakukan secara musyawarah melalui perdamaian desa

yang dipimpin kepala desa. Kedudukan hakim perdamaian desa ini

sebenarnya tidak sejajar dengan hakim pengadilan negeri. Hal ini

disebabkan penyelesaian sengketa melalui hakim perdamaian desa

tidak mengurangi hak dari pihak yang berperkara untuk menyelesai-

kannya melalui hakim biasa pada Landraad. Hakim pengadilan biasa

tidak terikat oleh keputusan hakim perdamaian desa, tetapi mereka

diharuskan memperhatikan keputusan yang sudah ditetapkan hakim

37
perdamaian desa tersebut dan suatu keputusan desa tidak dapat

dibatalkan oleh pengadilan biasa.

Dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan terjadinya

kenyataan sebagai berikut:

1. Secara diam-diam ketentuan di atas dianggap tidak berfungsi lagi,

baik oleh badan peradilan umum maupun oleh pihak penggugat,

sementara banyak kepala desa tidak menyadari kedudukannya

selaku hakim perdamaian desa atau kalaupun menyadari ia tidak

cakap menjabatnya.

2. Pada umumnya warga desa yang bersangkutan mengajukan

perkaranya langsung ke pengadilan negeri setempat tanpa

melalui bahkan tanpa sepengetahuan kepala desanya.

3. Putusan perdamaian atas suatu sengketa yang menjadi

wewenangnya dibuat oleh kepala desa tanpa menyebutkan

kedudukannya sebagai hakim perdamaian desa.

4. Putusan perdamaian tersebut pada umumnya kerap kali tidak

memenuhi syarat material dan atau formal sebagaimana telah

diatur di dalam ketentuan yang berlaku bagi keputusan-keputusan

perdamaian.

38
5. Pada umumnya desa di seluruh Indonesia tidak memiliki

administrasi peradilan desa, kalaupun ada satu dua, tidak

seragam.

6. Pengajuan perkara ke pengadilan negeri kerap kali tidak efisien.

Artinya objek yang diperkarakan atau dipersengketakan nilainya

jauh lebih rendah dibandingkan dengan ongkos perkara dan biaya

lainnya.

7. Biasanya tidak efektif, karena menyeret orang sekampung ke

meja hijau oleh yang bersangkutan dipandang sebagai peng-

hinaan dan dengan demikian timbul sebagai akibat sosial negatif,

seperti dendam, kekecewaan dan sebagainya.

8. Pengajuan perkara ke pengadilan negeri kerap kali bukannya

menghasilkan ketenangan, kerukunan kembali, atau perdamaian.

Melainkan permusuhan dan memberi kesempatan kepada oknum

tertentu untuk menghasut salah satu pihak sebagai “pokrol

bambu” dan sebagainya, maklumlah orang sekampung biasanya

dapat diperbodoh oleh orang dari kota yang berlagak sebagai

pembela.

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Undang-undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

39
Pengadilan-pengadilan Sipil, perdamaian desa ini tetap dipertahankan

untuk diteruskan, yang dihapus hanyalah wadahnya untuk dicarikan

penggantinya. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Darurat Nomor

1 Tahun 1951 disebutkan:

Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri


Kehakiman dihapuskan:
a. Segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam
Negara Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan
Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali
peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup
merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
b. Segala Pengadilan Adat (Inheemsche rechtspraak in
rechtstrecks bestuurd gebied), kecuali Peradilan Agama jika
peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu
bagian tersendiri dari peradilan Adat.

Dari isi pasal tersebut di atas, terlihat bahwa peradilan-

peradilan adat akan dihapuskan secara berangsur-angsur, tetapi hak

dan kekuasaan yang selama itu diberikan kepada hakim perdamaian

desa tidak dikurangi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

peranan hakim perdamaian desa masih diakui oleh peraturan per-

undang-undangan, tetapi wadahnya dihapuskan untuk diganti dengan

wadah atau lembaga lain.35

Kemudian peranan kepala desa sebagai hakim perdamaian

desa juga diakui oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa, yang antara lain menyatakan dalam rangka

35
Ibid., hlm. 44.

40
pelaksanaan tugasnya kepala desa di bidang ketentraman dan

ketertiban dapat mendamaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi

di desa. Bahkan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 ini tetap

mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya

kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan

yang masih hidup di dalam masyarakat.

Kemudian, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang juga mencabut

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, pelembagaan peranan kepala

desa sebagai hakim perdamaian tetap dilanjutkan. Dalam penjelasan

umum dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dinyatakan,

bahwa; “Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala

Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa

dari pada warganya”. Selanjutnya, Pasal 101 Undang-undang Nomor

22 Tahun 1999 menentukan salah satu tugas dan kewajiban Kepala

Desa adalah mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa.

Sedangkan penjelasannya menyatakan; “Untuk mendamaikan

perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh

lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh

Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih”.

41
Namun demikian lima tahun lebih kurang undang-undang

tersebut sudah dipandang tidak relevan lagi dengan perkembangan

otonomi daerah itu sendiri, sehingga pada tanggal 15 Oktober 2004

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara resmi diganti dengan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan nama yang sama

(selanjutnya disingkat UUPD).36 Bila dilihat, UUPD tidak mengatur

kewenangan Kepala Desa sebagai hakim perdamaian. Akan tetapi

kedudukan Kepala Desa sebagai hakim perdamaian diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam

Pasal 15 ayat (1) huruf k disebutkan salah satu tugas dan kewajiban

Kepala Desa adalah mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa.

Sedangkan penjelasannya menyatakan; “Untuk mendamaikan per-

selisihan, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa”.

Peranan Kepala Desa dengan demikian bukan hanya

mengurusi soal-soal pemerintahan saja, melainkan juga mempunyai

tugas, kewajiban dan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan

atau mendamaikan kedua belah pihak dari warganya yang berseng-

36
Namun UUPD ini juga sudah mengalami dua kali perubahan, perubahan
pertama diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang
disahkan pada tanggal 19 Oktober 2005, dan perubahan kedua diatur dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang disahkan
pada tanggal 28 April 2008.

42
keta dengan dibantu oleh lembaga adat desa atau dengan mem-

bentuk peradilan desa. Perdamaian desa ini merupakan cara

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang dapat membantu kita

mempercepat penyelesaian sengketa warga desa serta menghindari

menumpuknya perkara yang harus diselesaikan pengadilan. Dengan

adanya ketentuan ini, maka seharusnya setiap sengketa terlebih

dahulu diselesaikan melalui lembaga desa atau peradilan desa, baru

diteruskan ke pengadilan biasa.

Dari sudut kasus adat yang dilakukan, perdamaian desa ini

membawa beberapa aspek positif, bahwa hakim perdamaian desa

bertindak aktif mencari fakta, meminta nasihat kepada tetua-tetua

adat dalam masyarakat, putusannya diambil berdasarkan musya-

warah untuk mufakat, juga putusannya dapat diterima oleh para pihak

dan memuaskan masyarakat secara keseluruhan dan pelaksanaan

sanksi yang melibatkan para pihak. Hal ini menunjukkan adanya

tenggang rasa (toleransi) yang tinggi di antara pihak, dan suasana

rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan serta integrasi

masyarakat dapat dipertahankan.

43
Dari semua aspek proses peradilan adat ini, maka forum

peradilan desa dapat berperan dalam mengurangi dan membantu

masuknya perkara yang akan diselesaikan lewat pengadilan.37

Satu hal yang perlu disadari, meskipun secara historis culture

masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi musyawarah (secara

konsensus), tidak dengan sendirinya secara empirik segala isue atau

setiap sengketa pada saat ini dapat diselesaikan melalui bentuk-

bentuk penyelesaian sengketa alternatif. Tradisi saja tidak menjamin

dapat menyelesaikan sengketa alternatif. Hal ini dapat dimaklumi

karena terdapat perbedaan konteks dan kompleksitas sengketa publik

dalam masyarakat Indonesia masa kini dan sengketa dalam lingkup

kelompok etnis atau masyarakat adat. Sengketa dalam konteks

masyarakat adat terbatas pada sengketa internal antara pendukung

hukum adat tertentu yang mempunyai kedudukan relatif egaliter.

Sebaliknya sengketa publik dalam masyarakat Indonesia masa kini

terjadi di luar lingkup masyarakat adat. Bahkan dalam banyak hal

sengketa publik seringkali bersinggungan dengan politik penyeleng-

37
Tjok Istri Putra Astitit, “Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam
Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan”, dalam Majalah Musyawarah, Nomor
1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997, hlm. 6.

44
garaan pemerintahan dan pembangunan serta melibatkan instansi-

instansi pemerintah.38

Oleh karenanya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alter-

natif yang dikenal dalam masyarakat tradisional Indonesia perlu

dikembangkan ke arah penyelesaian sengketa alternatif modern untuk

dapat menampung berbagai sengketa publik yang timbul dalam

masyarakat Indonesia masa kini.

Terdapat fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini

aspirasi untuk pengembangan penyelesaian sengketa alternatif

semakin sering muncul ke permukaan, terutama dari kalangan

kumunitas bisnis. Sekarang sudah diterima bahwa metode penye-

lesaian sengketa alternatif memiliki sejumlah keuntungan dan manfaat

jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan.

Penyelesaian sengketa alternatif memungkinkan perkara ditangani

secara informal, sukarela, dengan kerja sama langsung antara kedua

belah pihak, kerahasiaan terjaga dan didasarkan pada kebutuhan

kedua belah pihak yang menuju kepada penyelesaian yang saling

menguntungkan (win-win solution).39

38
Takdir Rahmadi, Loc.Cit.
39
Ibid.

45
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution

Penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution

(ADR) dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:

1. ADR di Luar Pengadilan.

ADR di luar pengadilan telah diatur dalam Undang-undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Selain ADR, diatur juga penyelesaian sengketa dengan

menggunakan dading yang diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH

Perdata, adapun penyelesaian sengketa dengan menggunakan

dading berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata mempunyai kekuatan

mengikat bagi para pihak. Dapat dikatakan perkembangan dalam

perundang-undangan, secara tegas mengakui ADR sebagai meka-

nisme yang diakui dalam penyelesaian sengketa.

Lembaga-lembaga ADR berikut ini menunjukkan bahwa

keberadaan ADR di luar pengadilan merupakan pilihan penyelesaian

sengketa tertentu yang diakui, seperti:

a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), didirikan atas pra-

karsa KADIN sesuai amanat Undang-undang Nomor 1 Tahun

1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. BANI merupakan

perwujudan arbitrase yang juridiksinya meliputi sengketa-sengketa

46
perdata dalam perdagangan, industri dan keuangan baik nasional

maupun internasional.40

b. Penyelesaian sengketa jasa kontruksi. Berdasarkan Undang-

undang Nomor 18 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 29

Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Kontruksi, telah

dibentuk suatu lembaga ADR sesuai Peraturan Pemerintah Nomor

29 Tahun 2000 tentang Mediasi dalam penyelesaian sengketa

jasa kontruksi yang dilakukan oleh 1 orang mediator. Juga

mengatur tentang konsiliasi oleh seorang konsiliator, dan arbitrase

oleh seorang arbiter. Juridiksinya dibatasi pada masalah perdata

saja.

c. Penyelesaian sengketa hak kekayaan intelektual (HAKI), yang

sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan. Kemungkinan penye-

lesaian sengketa HAKI di luar lembaga pengadilan diatur dalam

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang,

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri,

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata

Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001

40
Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Alternatif Penyelesaian Sengketa; Seri
Hukum Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 98-99.

47
tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang

Merek.41

d. Penyelesaian perselisihan praktek monopoli dan persaingan

usaha yang dapat dilakukan di luar lembaga pengadilan,

didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Berdasarkan Kepres RI Nomor 75 Tahun 1999 dibentuk KPPU

(Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Atas putusan KPPU dapat

diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.42

e. Penyelesaian sengketa konsumen, didasarkan pada Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

yang juga mengatur Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) yang dibentuk di Daerah Tingkat Kabupaten/Kota.

Keputusan BPSK antara konsumen dan pelaku usaha dapat

41
Penyelesaian sengketa bisnis, khususnya menyangkut hak atas
kekayaan intelektual lebih tepat dilakukan di luar pengadilan, melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Lebih lanjut lihat Rahmadi Usman, Hukum
Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 290, 365, 407, 496.
42
Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999, bahwa proses penanganan perkara persaingan usaha tidak sehat tidak dapat
langsung diajukan ke Pengadilan Negeri, melainkan harus melalui Komisi. Lebih
lanjut lihat Ayuda D. Prayoga, et.al., Persaingan Usaha dan Hukum yang
Mengaturnya, Proyek Ellips, Jakarta, t.t., hlm. 140. Lihat juga Hikmahanto Juwana
et.al., Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Per-saingan Usaha,
Partnership For Bussiness Competition, Jakarta, 2003, hlm. 34.

48
diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dan atas putusan Peng-

adilan tersebut dapat diajukan kasasi.

f. Penyelesaian perselisihan lingkungan hidup. Mekanisme penye-

lesaian sengketa di luar pengadilan atas sengketa lingkungan

hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa

Pelayanan Sengketa Lingkungan Hidup. Pilihan forum ADR dapat

berbentuk negoisasi, mediasi, arbitrase, maupun bentuk lainnya

yang merupakan pengembangan dari ketiga bentuk tersebut.43

g. ADR dalam menyelesaikan restrukturisasi utang. Dalam hal ini

satuan tugas prakarsa di Jakarta adalah lembaga yang didirikan

berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator bidang

ekonomi, keuangan dan industri selaku Ketua Komite Kebijakan

Sektor Keuangan dengan Nomor: KEP.04/M.EKUIN/02/2000 untuk

melakukan penyelesaian penyehatan perbankan dan restruk-

turisasi utang perusahaan dalam rangka pemulihan ekonomi

nasional. Lembaga ini adalah satu-satunya lembaga mediasi di

43
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa II),
”Potensi Penerapan Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dalam Pustaka
Peradilan, Jilid XVIII, Proyek Pembinaan Tehnis Justicial Mahkamah Agung R.I.,
1998, hlm. 71.

49
Indonesia dengan menerapkan proses mediasi dan menerapkan

teknik-teknik mediasi. Perkara yang dimajukan ke lembaga

ditengahi/didamaikan mediator yang sudah terlatih.

h. Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian

(BP4). Badan ini merupakan badan yang dibentuk oleh

Departemen Agama dikhususkan untuk mendamaikan dan

memediasikan para pihak yang beragama Islam yang ingin

bercerai. Biasanya pihak-pihak yang ingin mengajukan perceraian

ke Pengadilan Agama pertama kali mereka mendatangi BP4.

Namun meskipun para pihak, belum mendatangi atau belum

melalui proses BP4 dan langsung mengajukan perceraian ke

Pengadilan Agama, Pengadilan Agama tetap menerima perkara

tersebut. Perkara yang dimajukan ke Pengadilan Agama oleh para

pihak, baik yang sudah melalui proses BP4 maupun yang belum,

maka dalam perkara tersebut tetap wajib didamaikan oleh hakim

yang memeriksa dan mengadili perkaranya.

i. Penyelesaian perburuhan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor

2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, maka dibentuk suatu badan untuk melakukan penye-

50
lesaian perselisihan hubungan industrial.44 Bila terjadi perselisihan

antara pekerja dengan pihak pengusaha maka wajib diupayakan

penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit

secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak

mendapatkan kesepakatan maka penyelesaian dilanjutkan ke

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk diselesaikan melalui

mediasi, dan bila hal ini gagal kembali maka dilanjutkan ke

Pengadilan Hubungan Industrial.

j. Mediasi perbankan. Lembaga mediasi perbankan didirikan

berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/5/PBI/2006,

yang telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi di

bidang perbankan ini dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan

indipenden yang dibentuk oleh asosiasi perbankan, namun dalam

pelaksanaan tugasnya tetap melakukan koordinasi dengan Bank

Indonesia.

44
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPPHI, yang dimaksud dengan
perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau
serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu
perusahaan.

51
Adapun fungsi mediasi perbankan ini hanya terbatas pada upaya

membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa

secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.

Bahkan lembaga mediasi perbankan ini hanya menyelesaikan

sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak Rp.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak dapat

mengajukan tuntutan finansial melalui lembaga mediasi perbankan

yang diakibatkan oleh kerugian immateril.

2. ADR di Pengadilan.

Terwujudnya keadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

merupakan dambaan dari setiap pencari keadilan dimanapun.

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

merumuskan di dalam Pasal 4 ayat (2); “Peradilan dilakukan dengan

sederhana, cepat dan biaya ringan”.

Di dalam perkara perdata hakim harus membantu para pencari

keadilan dan berusaha semaksimal mungkin mengatasi segala ham-

batan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,

cepat dan biaya ringan tersebut.

52
ADR di pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg

mengenai perdamaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

dalam perkara perdata hakim harus bersifat aktif untuk meng-

upayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, guna

menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.

Sebagai perbandingan dalam menghadapi masalah

caseoverlood (meningkatnya jumlah perkara) sehingga menimbulkan

masalah tunggakan perkara, yang nampaknya menjadi masalah dunia

dewasa ini, bahwa di Jerman penyederhanaan sistem beracara di

peradilan dan juga merupakan upaya penyelesaian adalah dengan

adanya pretrial hearing dan settlement (perdamaian).

Punt dari Belanda (Wakil ketua Rechbank di Den Haag)

menemukan bahwa angka rata-rata penyelesaian perkara dengan

perdamaian adalah 40%. Upaya penyelesaian perkara dengan

“settlement” yang merupakan salah satu jalan mengatasi “legain

efficiency”. Prinsip pemeriksaan perkara secara lisan (oral

proceedings) dianggap sebagai bentuk pemeriksaan yang dapat

mempercepat penyelesaian perkara.45

45
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 473.

53
Apabila di Indonesia dapat tercapai perdamaian seperti

presentase di Negeri Belanda, maka sedikit akan membantu mengikis

penumpukan perkara yang ada di Mahkamah Agung. Selain itu, lebih

mendekati asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Mengenai apa dan bagaimana putusan perdamaian dapat

diketahui dengan jalan mengaitkan ketentuan Pasal 1851 KUH

Perdata dengan Pasal 130 HIR atau 154 RBg yang berbunyi;

“Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah

pihak mengakhiri suatu perkara atau mencegah timbulnya suatu

perkara”.

Kedua belah pihak yang bersangkutan sama-sama menyetujui

dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Persetujuan mesti murni

datang dari kedua belah pihak. Artinya persetujuan itu bukan kehen-

dak sepihak atau kehendak hakim tanpa mengurangi kebolehan

hakim untuk menganjurkan memberi saran, pendapat dan nasehat.46

Agar perdamaian yang terjadi antara para pihak yang berseng-

keta dapat ditingkatkan dalam bentuk putusan perdamaian, kese-

pakatan persetujuan perdamaian harus telah dirumuskan dalam

bentuk tertulis. Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangan,

46
Ibid. Lihat juga M. Yahya Harahap (selanjutnya disebut M. Yahya
Harahap III), Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan
dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993, hlm. 75.

54
kemudian diminta ke pengadilan untuk dituangkan menjadi putusan

perdamaian.

Putusan perdamaian harus memuat amar “condemnatoir”.47

Hakim yang menjatuhkan putusan harus mencantumkan amar

“menghukum para pihak untuk melaksanakan isi perdamaian”.

Istilah perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 RBg pemakaian-

nya tidak seragam. Retno Wulan Sutantio selalu menggunakan “acte

van dading”48 sedangkan Hakim Agung Mariana Sutadi lebih sering

menggunakan acte van vergelijk untuk menyatakan perdamaian

dalam Pasal 130 HIR/154 RBg.49 Tresna dalam bukunya “Komentar

HIR” mengunakan istilah acte van vergelijk untuk menyatakan

perdamaian dalam Pasal 130 HIR.50 Banyak hakim lebih cenderung

memakai istilah acte van dading untuk surat (akte) perdamaian yang

dibuat para pihak tanpa/belum ada pengukuhan dari hakim dan acte
47
Secara umum putusan pengadilan bila dilihat dari sifatnya dapat
digolongkan ke dalam tiga sifat putusan: pertama, keputusan bersifat deklaratoir
yaitu putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum
semata, kedua, putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang berisi
penghukuman dan ketiga, putusan yang bersifat konstitutif yaitu putusan yang
meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru. Lihat
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkertawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 109.
48
Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan
Mediasi, Cetakan Pertama, Pusat Pengkajian Hukum Kerjasama dengan Pusdiklat
MARI, t.k., 2003, hlm. 181.
49
Mariana Sutadi, ”Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130
HIR/154 RBg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana
dan Biaya Ringan”, dalam Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 5.
50
Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 130-131.

55
van vergelijk adalah surat (akte) yang telah memperoleh pengukuhan

dari hakim.

Perdamaian dapat saja dibuat para pihak dihadapan atau oleh

hakim yang memeriksa perkara, namun dapat juga perdamaian dibuat

oleh para pihak di luar pengadilan, selanjutnya dibawa ke pengadilan

yang bersangkutan untuk dikukuhkan. Bila ditinjau dari tempat

pembuatan perdamaian, dapat dibagi atas:

a. Dibuat di pengadilan (di hadapan hakim).

b. Dibuat di luar pengadilan (bukan di hadapan hakim).

Timbul pertanyaan, bagaimana konsekuensi hukum atas

perdamaian dengan pengukuhan hakim dan perdamaian tanpa

pengukuhan hakim. Bila dilihat dari ketentuan Pasal 1858 KUH

Perdata yang menyatakan “Segala perdamaian mempunyai suatu

kekuatan di antara para pihak seperti suatu keputusan hakim dalam

tingkat penghabisan. Tidaklah dapat perdamaian itu dibantah dengan

alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah

satu pihak dirugikan”. Ini artinya perdamaian tersebut mempunyai ke-

kuatan yang sama dengan suatu putusan yang berkekuatan hukum

tetap (in kracht van gewijsde). Bila dihubungkan dengan Pasal 130

ayat (3) HIR, putusan yang demikian itu tidak dapat dibanding. Begitu

56
pula Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 198551

melarang untuk kasasi. Putusan perdamaian sama nilainya dan

bobotnya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap sehingga langsung mempunyai kekuatan eksekutorial.

Untuk pemberdayaan Pasal 130 HIR/154 RBg telah dikeluar-

kan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan

lembaga damai (dading) yang isinya sebagai berikut:

a. Agar semua hakim (majelis hakim) yang menyidangkan perkara

secara sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan

menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg, tidak hanya

sekedar formalitas menganjurkan perdamaian.

b. Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang

membantu para pihak dari segi waktu, tempat dan pengumpulan

data serta argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke

arah perdamaian.

c. Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang

berperkara, hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak

sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang

51
Lihat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

57
bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan

yang disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh

serta diinginkan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian.

Selanjutnya menyusun proposal perdamaian yang kemudian di-

konsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang

saling menguntungkan (win win solution).

d. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator (mediator) oleh para pihak

tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersang-

kutan untuk menjaga obyektifitas.

e. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator

kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3

(tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila ada alasan untuk itu

dengan persetujuan ketua pengadilan negeri, waktu tersebut tidak

termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud

dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992.

f. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan

ditanda tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian (dading),

agar dengan akta perdamaian itu para pihak dihukum untuk

menepati apa yang disepakati/disetujui.

58
g. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat

dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi

fasilitator/mediator.

h. Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak

berhasil, hakim yang bersangkutan melapor kepada ketua peng-

adilan negeri/ketua majelis dan pemeriksaan perkara dapat dilan-

jutkan oleh majelis hakim dengan tidak menetapkan peluang bagi

para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan ber-

langsung.

i. Hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuat

laporan kepada ketua pengadilan negeri secara teratur.

j. Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian

tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara

melebihi ketentuan 6 bulan.

Semua aturan yang telah diuraikan dalam Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tersebut masih banyak

kekurangannya. Hal ini dapat dilihat dalam masalah-masalah yang

tidak dapat terjawab dan rumitnya aturan Surat Edaran Mahkamah

Agung yang seharusnya merinci pelaksanaan upaya perdamaian

yang dilakukan hakim sebelum sidang perkara secara adversarial

dilakukan. Tetapi patut mendapat acungan karena seperti dikemuka-

59
kan oleh M. Siahaan, Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut

merupakan terobosan besar, yang merujuk kepada keberanian

Mahkamah Agung menggunakan fungsi mengatur (regelende functie)

yang dimilikinya. Kekurangan dan hal-hal yang tidak jelas serta tidak

tuntas diatur, hendaknya dilengkapi dalam praktek melalui

pemahaman yang benar tentang lembaga perdamaian sebagai

bentuk dari Court annexed dispute resolution.52

Menindaklanjuti Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2002, maka Mahkamah Agung merasa perlu melengkapi dan

menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Dan sejak 31 Juli 2008 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun

2003 dinyatakan tidak berlaku, diganti dengan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2008 dengan nama yang sama.

Dasar hukum mediasi yang merupakan salah satu dari sistem

ADR di Indonesia adalah dasar negara Indonesia yaitu; Pancasila, di

mana dalam filosofinya disiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa

adalah musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut juga tersirat dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur

52
M. Siahaan, ”Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata”, dalam
Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 133.

60
tentang mediasi adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang

sudah digantu dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.

Penjelasan Pasal 3 undang-undang tersebut menegaskan

bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar per-

damaian atau melalui wasit tetap diperbolehkan. Selain itu Pasal 14

ayat (2) menegaskan pula bahwa ketentuan ayat (1) tidak menutup

kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara

perdamaian. Ketentuan yang sama dijumpai dalam penjelasan Pasal

3 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang

No. 14 Tahun 1970.

Bila dilihat kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung

menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung, ditegaskan bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan:

a. Memeriksa dan memutus:

1) Permohonan kasasi.

2) Permohonan peninjauan kembali.

3) Sengketa tentang kewenangan mengadili.

61
b. Memberi pertimbangan hukum kepada lembaga tinggi negara.

c. Memberi nasehat hukum kepada presiden selaku kepala negara

untuk pemberian atau penolakan grasi.

d. Menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang.

e. Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan

atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya

peradilan.

Dengan demikian, lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2

Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berasal dari

kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat peraturan sebagai

pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum seperti

tersebut pada huruf e di atas.

C. Juridiksi Alternative Dispute Resolution di Pengadilan

Alternative Dispute Resolution pada mulanya diperuntukkan

bagi penanganan masalah-masalah perdagangan, namun sekarang

ini telah berkembang pula ke perkara-perkara yang lain sepanjang

masih masalah perdata. Oleh karena itu, cakupan juridiksinya sangat

luas. Juridiksi tersebut juga sampai kepada perceraian dalam arti

mendamaikan para pihak supaya jangan cerai. Timbul suatu per-

62
tanyaan, bagaimana terhadap suatu perkara pidana aduan (klacht

delict). Untuk itu kita akan melihat juridiksi mediasi di berbagai macam

lingkungan peradilan.

1. Pengadilan negeri mempunyai juridiksi untuk melakukan per-

damaian atau mediasi atas semua perkara perdata baik bisnis,

pertanahan, perkawinan termasuk juga perkara perdata dari suatu

tindak aduan (klacht delict) dan lain-lain terhadap para pihak yang

berperkara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR/RBg.

Dalam hal terjadi kesepakatan di antara para pihak maka

kesepakatan tersebut dikukuhkan oleh hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara. Dalam hal tidak terjadi perdamaian, maka

pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan secara ajudikasi.

2. Pengadilan agama juga mempunyai juridiksi untuk melakukan

perdamaian, dalam arti agar para pihak yang berperkara tidak

bercerai. Biasanya para pihak datang ke pengadilan agama tanpa

melalui BP4 perkaranya tetap diperiksa. Hakim agama yang

memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap mewajibkan

untuk melakukan upaya perdamaian agar para pihak yang

bersengketa melakukan perdamaian terlebih dahulu. Dalam hal

terjadi kesepakatan maka pihak penggugat mencabut perkaranya.

63
3. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak mempunyai juridiksi

untuk melakukan perdamaian kepada para pihak yang berperkara,

karena subtansi perkara yang diperiksa oleh PTUN bukanlah

perkara perdata tetapi keputusan administrasi negara sebagai-

mana tertuang dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam prakteknya apabila perdamaian terjadi di antara para pihak

yang berperkara maka salah satu pihak akan mencabut per-

karanya. Oleh karena itu, hakim yang memeriksa dan mengadili

perkara justru tidak boleh melakukan perdamaian. Kalaupun

terjadi perdamaian di antara para pihak semata-mata adalah

terjadi di luar persidangan tanpa sepengetahuan hakim yang

memeriksa.

4. Pengadilan militer tidak mempunyai juridiksi untuk melakukan

perdamaian kepada para pihak yang berperkara oleh karena

subtansi perkara yang dimajukan ke pengadilan militer bukanlah

perkara perdata tetapi merupakan tindak pidana.

Pasal 1851 KUH Perdata berbunyi; “Perdamaian adalah suatu

persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan,

menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara

64
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.

Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis.”

Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg berbunyi:

(1) Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang,
maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan
ketuanya akan memperdamaikan mereka.
(2) Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal-
hal yang diperdamaikan diperbuat sebuah akte, dan kedua
belah pihak diwajibkan untuk mentaati perjanjian yang
diperbuat itu, dan surat (akte) itu akan berkekuatan hukum
dan akan diperlakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
(3) Tentang keputusan yang demikian itu tidak diizinkan orang
minta apel.
(4) Jika pada waktu dicoba akan memperdamaikan kedua belah
pihak itu, perlu memakai seorang juru bahasa.

Dari bunyi kedua pasal tersebut di atas tergambar pengertian,

syarat-syarat, bentuk, isi dan proses terwujudnya putusan per-

damaian. Pengertian perdamaian tersebut di atas menjelaskan bahwa

perdamaian adalah suatu persetujuan atau perjanjian antara para

pihak, inilah unsur pertama kekuatan mengikatnya suatu perjanjian

perdamaian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata, artinya berlaku mengikat sebagaimana layaknya

undang-undang.

65
4
PELEMBAGAAN ALTERNATIVE DISPUTE
RESOLUTION DI INDONESIA

A. Masyarakat dan Sengketa

Masyarakat Indonesia berada pada persimpangan jalan, tran-

sisi dari masyarakat agraris (pedesaan) ke masyrakat industri

(perkotaan) yang menyebabkan terjadinya benturan-benturan nilai.

Nilai-nilai tradisional yang di pegang teguh oleh generasi dulu mulai

luntur, sedangkan nilai-nilai baru (modern) belum sepenuhnya ter-

bentuk dan diterima.

Sengketa yang terjadi pada saat ini yang sering terjadi

ditengah-tengah masyarakat dapat digolongkan antara lain:

1. Sengketa tradisional, berkisar tentang keluarga, warisan, dan

tanah.

2. Sengketa bisnis yang rumit serta sarat dengan unsur keuangan,

perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemenuhan

kontrak dan sebagainya.

66
3. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian

ilmiah dan hubungan administrasi pusat daerah.

4. Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi,

reputasi negara, dan perhatian masyarakat internasional.

Pada masa transisi ini, cara penyelesaian sengketa tradisional

dengan bantuan pemuka masyarakat, kepala adat dan agama, atau

sesepuh keluarga cenderung terbatas pada sengketa keluarga,

perkawinan dan warisan. Pada kelompok masyarakat di mana sistem

tradisional ini melembaga dan membudaya (seperti masyarakat

Sumatera Barat), peranan figur-figur ini dianggap tidak efektif lagi,

apalagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa modern.53

Masyarakat masa kini menilai kemampuan seseorang untuk

membantu menyelesaikan masalah tidak lagi hanya berdasarkan

lanjutnya usia, padatnya pengalaman, atau kearifan orang tersebut.

Dalam mencari penengah, masyarakat menuntut penengah yang

memiliki pengetahuan mengenai permasalahan yang dihadapi dan

telah mencapai prestasi tinggi di bidang objek sengketa dan

lingkungan sosialnya. Jalan lain yang banyak di tempuh oleh masya-

rakat sekarang untuk menyelesaikan sengketa adalah jalur hukum.

53
Sutadi Djayakusuma, “Peluang Penerapan Lembaga Penyelesaian
Perkara Alternatif di Indonesia: Suatu Pandangan”, Makalah pada Seminar
Eksekutif Pengelolaan Sengketa Lingkungan di Indonesia, Jakarta, 24 April 1995.

67
Dengan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat dan mele-

mahnya pengaruh lembaga-lembaga tradisional, anggota masyarakat

yang merasa dirugikan oleh pihak lain sering mencari keadilan kelem-

baga peradilan resmi.54

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa lembaga peradilan

sebagai lembaga penegak hukum modern sedang dilanda

“musibah”.55 Saat sekarang, kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga peradilan sangat rendah. Rendahnya kepercayaan

masyarakat terlihat dari banyaknya kasus yang diajukan ke

Mahkamah Agung untuk kasasi. Hal ini menunjukkan bahwa putusan

pengadilan dianggap belum merupakan keputusan yang terbaik dan

adil.

Gambaran di atas, mengarah kepada dibutuhkannya suatu

cara penyelesaian sengketa yang efektif, dipercaya, menembus akar

permasalahan, serta menyentuh rasa keadilan dan kemanusiaan

pihak yang bersangkutan. Adanya cara penyelesaian sengketa ini

akan mendukung tercapai dan terpeliharanya masyarakat yang damai

dan tertib serta mengurangi tekanan-tekanan dan konflik dalam

masyarakat.

54
“Sudah Perlu Dibentuk, Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif”,
Harian Kompas, 13 Februari 1995, hlm. 6.
55
J.E. Sahetapy, Forum Keadilan, No. 4, Tahun 5, Juni 1996.

68
Adanya rencana pengembangan pasar bebas pada awal abad

21, Indonesia dihadapkan pada situasi perekonomian, politik, dan

sosial, kebijakan pemerintah yang tidak luput dari perhatian masya-

rakat dunia. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, dan

budaya akan terus berlangsung di abad mendatang. Hal tersebut

perlu diikuti pengembangan sistem untuk menangani benturan nilai

dari perbedaan pendapat. Sistem tersebut diharapkan mampu

mengurangi kemungkinan munculnya sengketa atau konflik, menye-

lesaikan dengan cepat, tepat, dan memuaskan sengketa-sengketa

yang ada dimasyarakat.56

B. Sengketa Bisnis

Sengketa dengan rekanan atau mitra bisnis adalah suatu hal

yang dianggap tabu bagi pelaku bisnis. Sengketa yang diketahui oleh

masyarakat bisnis sangat merugikan reputasi pelaku bisnis dan

berpotensi mengurangi kepercayaan klien, nasabah, atau konsumen

perusahaan itu sendiri. Berbeda dengan sengketa lingkungan dan

56
Mas Ahmad Santosa dan TM. Luthfi Yazid, “Pembentukan ADR, Tidak
Cukup Hanya Dukungan Budaya Musyawarah”, Harian Kompas, 27 Februari 1995.

69
tenaga kerja, sengketa bisnis umumnya sangat dirahasiakan oleh

pelaku bisnisnya.57

1. Kelemahan Jalur Penyelesaian.58

Penyelesaian sengketa bisnis yang terangkum dalam pene-

litian menunjukkan bahwa jalan pengadilan dianggap kurang meng-

untungkan bagi pelaku bisnis maupun konsumen perorangan karena

selain mahal, proses panjang dan berbelit-belit, kepercayaan pelaku

bisnis dan masyarakat akan kenetralan pengadilan juga tidak men-

dukung dipilihnya pengadilan.

Lembaga arbitrase yang merupakan salah satu dari ADR

kurang dikenal dan dipahami oleh kalangan bisnis maupun masya-

rakat luas. Klausal arbitrase dalam perjanjian dagang atau kerjasama

sering mencantumkan kemungkinan pengajuan sengketa ke peng-

adilan jika arbitrase tidak berhasil padahal putusannya sudah final.

Adakalanya pelaku bisnis membawa kasus sengketanya ke peng-

adilan walaupun dalam perjanjian kerja tercantum klausal arbitrase.

57
“Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”,
Harian Kompas,19 Februari 1995, hlm. 5.
58
Bappenas dan The Asia Foundation, Makalah Kebijakan (Policy Paper)
Pelembagaan Penyelesaian Sengketa Perundingan dan Arbitrase di Indonesia,
Hasil studi mengenai ADR yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh PT Qipra
Galang Kualita, Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesia Center for Environment Law),
dan LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen), Jakarta,
Januari 1997, hlm. 28.

70
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga

arbitrase bisnis dianggap mahal, apalagi karena masih ada kemung-

kinan putusannya tidak dapat dieksekusi dan diserahkan ke peng-

adilan sehingga akan memakan waktu dan biaya lagi. Reputasi BANI

makin merosot dengan adanya kasus-kasus yang diterima pengadilan

walaupun telah diputus oleh BANI dan dalam perjanjian kerjanya

jelas-jelas menyebutkan arbitrase sebagai pilihan penyelesaian seng-

keta. BANI juga dianggap tidak kuat karena tidak mempunyai

wewenang eksekusi.59

Perundingan adalah proses penyelesaian sengketa bisnis antar

pengusaha yang paling disukai walaupun masih ada keraguan

mengenai kekuatan hukum dan pematuhan kesepakatannya. Sebalik-

nya, untuk sengketa antar pengusaha dengan konsumen, perunding-

an dianggap tidak memadai.

Pihak yang menawarkan jasa perundingan atau arbitrase untuk

sektor bisnis saat sekarang ini belum banyak. Arbitrase yang terbatas

pada BANI, BAMUI, dan P3BI, sedangkan jasa perundingan hanya

tersedia secara informal pada asosiasi profesi.

59
H. Ahmad Zulkifli, “Putusan Arbitrase Sulit Dieksekusi”, Forum Keadilan,
No. 19, Tahun 4, Januari 1996, hlm. 33-34.

71
2. Bisnis dan Peluang.

Perundingan dan arbitrase mempunyai peluang yang baik dan

perlu dikembangkan sebagai jalur penyelesaian sengketa bisnis di

luar pengadilan karena pengadilan dianggap bukan pilihan yang

menguntungkan. Pengembangan jasa pada asosiasi profesi untuk

perundingan dan arbitrase perlu mendapat perhatian yang serius.

Pengurus atau anggota asosiasi profesi berada pada posisi yang baik

untuk berlaku sebagai penengah karena selain mengerti substansi

permasalahan yang dihadapkan oleh yang bersengketa, juga mem-

punyai kemampuan menjaga hubungan antar anggota atau anggota

dengan konsumen agar tetap baik.

Salah satu prospek pengembangannya adalah keberadaan

lembaga penengah/arbitrase yang setidaknya berada di bawah

naungan departemen teknis, seperti Departemen Perindustrian dan

Perdagangan, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kesehatan.

Besarnya volume investasi asing dan perdagangan internasional yang

terjadi dan akan bertambah pada abad 21 menambah pentingnya jasa

juru runding dan arbitrase professional berkembang di Indonesia.

Dibukanya pasar dunia di Indonesia, tidak tertutup kemung-

kinan masuknya tenaga mediator/arbiter professional dari luar negeri.

Apabila Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan mengembangkan

72
profesi ini, tenaga Indonesia akan tertinggal dan memiliki daya saing

rendah di negeri sendiri.

3. Pelembagaan.

Masalah pelembagaan diulas dengan tujuan untuk menggam-

barkan pentingnya melembagakan ADR jika diharapkan memegang

andil dalam mencegah dan menyelesaikan sengketa di masyarakat.

Pelembagaan di sini tidak terbatas pada pengertian adanya suatu

badan atau organisasi, namun mencakup adanya perangkat-perang-

kat lembaga yang memungkinkan proses perundingan/arbitrase

dilakukan di Indonesia.

4. Kebutuhan.

Suatu fungsi atau proses akan dilembagakan jika memenuhi

beberapa kriteria yang meliputi:

1. Konsistensi/kelakuan pelaksanaan fungsi atau proses tesebut.

2. Sistematisasi atau aturan main yang jelas.

3. Kesinambungan yang tidak tergantung pada satu atau dua

individu.

4. Keberhasilan yang tidak tergantung pada satu atau dua individu.

73
Berdasarkan kriteria di atas, jika perundingan dan arbitrase

diharapkan memainkan peranan yang berarti dalam masyarakat,

pilihan penyelesaian sengketa ini perlu dilembagakan. Walaupun

bukan hal yang baru lagi bagi masyarakat Indonesia, bentuk

perundingan dan arbitrase yang ingin dikembangkan harus diper-

kenalkan kemasyarakat secara jelas agar tidak menimbulkan salah

pengertian dan penyalahgunaan. Jika perundingan/arbitrase dijadikan

sebagai suatu profesi, kesamaan persepsi dan pengertian menjadi

penting sekali.

Di samping itu, pengembangan profesi juru runding dan wasit

di Indonesia harus sejalan dengan aturan main dan kode etik profesi

yang berlaku secara internasional (badan-badan ADR internasional)

serta mampu bersaing dengan juru runding/wasit internasional.

5. Unsur Kelembagaan.

Unsur-unsur kelembagaan yang telah disorot dalam penelitian

mencakup sebagai berikut:

a. Peraturan perundang-undangan. Penelitian ini secara garis besar

berupaya untuk megenali dasar hukum yang telah ada mendukung

pengembangan perundingan/arbitrase. Pengalaman penerapan

ADR yang sudah ada juga dipergunakan untuk menelaah apakah

74
diperlukan peraturan perundangan baru atau tidak. Akan tetapi,

karena titik tolak pendirian ini adalah kebutuhan masyarakat,

penelitian ini tidak membahas secara mendalam persyaratan

hukum yang tepat untuk pengembangan ADR dan pelembaga-

annya.

b. Lembaga penyediaan jasa. Penelitian ini mencoba menjawab

pertanyaan tentang lembaga macam apa yang sesuai sebagai

lembaga penyedia jasa perundingan/arbitrase dan bagaimana

statusnya (badan pemerintah, swasta, atau lembaga swadaya).

c. Prosedur pendayagunaan. Bagaimanakah seseorang atau sebuah

lembaga yang sedang bersengketa dapat memperoleh jasa

perundingan dan memilih juru runding atau wasit yang diinginkan.

d. Sumber daya manusia. Unsur ini adalah ujung tombak pengem-

bangan perundingan/arbitrase. Penelitian ini menelaah persya-

ratan menjadi juru runding/wasit, termasuk latar belakang pen-

didikan dan pekerjaan serta ketrampilan sebagai fasilitator

penyelesaian sengketa. Dipikirkan pula langkah-langkah yang

paling efisien dan efektif untuk mengembangkan profesi ini.

e. Sumber dana/pembiayaan. Dalam penelitian ini ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan, pertama, penyandang dana bagi

kegiatan-kegiatan persiapan pengembangan perundingan/arbi-

75
trase. Kedua, pembayaran biaya jasa juru runding/wasit oleh

pihak-pihak yang bersengketa.

f. Pemasyarakatan. Penelitian ini mencoba menggali segmen-

segmen masyarakat tertentu untuk mengenalkan negosiasi,

mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Pengamatan yang dilakukan

juga tentang harapan dan kekecewaan masyarakat terhadap jalur-

jalur penyelesian sengketa yang ada. Berdasarkan penelitian

tersebut dapat diidentifikasi hal-hal yang perlu dimasyarakatkan

dalam pengembangan perundingan/arbitrase.

6. Pelajaran Dari Mancanegara.

Di Sri Lanka, ADR diformallisasikan oleh pemerintah pada

tahun 1978 melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1958 tentang

Pendirian Conciliation Board, kemudian deperbaharui dan diperbaiki

melalui Undang-undang No. 72 Tahun 1988 tentang Mediation Board.

Bentuk ADR yang berlaku di Sri Lanka saat ini adalah berdasarkan

atas peraturan yang terakhir. Mediation Board Commision bertang-

gung jawab atas pemilihan, pemindah tugasan, pemberhentian, serta

pemberian sanksi indisipliner terhadap tenaga mediator. Komisi ini

terdiri dari lima orang yang diangkat oleh Presiden Sri Lanka. Anggota

panel mediasi adalah orang-orang yang dicalonkan oleh tokoh

76
masyarakat lokal dan sudah lulus pelatihan teknik mediasi. Pada akhir

tahun 1991, di Sri Lanka telah berdiri sekitar 211 panel mediasi yang

terdir atas lebih kurang 5000 tenaga mediator untuk melayani hampir

seluruh wilayahnya. Mediasi adalah wajib bagi semua sengketa

sebelum menempuh upaya pengadilan. Batas waktu penyelesaiannya

adalah 30 hari sebelum diajukan ke pengadilan.

Di Filipina, lembaga ADR dikembangkan mulai pada tingkat

pedesaan (barangay) melalui Keputusan Presiden No. 1408 Tahun

1978, dengan dibentuknya lembaga mediasi di 42.000 desa diseluruh

Filipina, masyarakat mendapatkan akses jasa mediasi yang mudah

terjangkau, mediasi merupakan jalur yang wajib dilaksanakan.

Gugatan tidak dapat diajukan ke pengadilan tanpa menunjukkan

sertifikat bahwa upaya mediasi pernah dilakukan dan tidak membawa

hasil yang dikeluarkan oleh sekretaris panel mediasi.

Sengketa sektor tenaga kerja diselesaikan melalui National

Concoliation and Mediation Board sebagai lembaga pemerintah yang

menjalankan fungsi mediator swasta dan Philippine Associationof

Voluntary Arbitrator sebagai organisasi arbitrase sukarela.Sengketa

Bisnis diselesaikan oleh Commercial Arbitration Committee yang

dibentuk oleh Kamar Dagamg dan Industri Filipina.Constriction

Industry Arbotration Commision yang berada di bawah Departemen

77
Perdagangan dan Industri dibentuk dengan tujuan untuk menyelesai-

kan sengketa sektor konstruksi.

Di Malaysia, jenis ADR yang paling berkembang adalah

arbitrase di sektor bisnis. The Kuala Lumpur Regional Center for

Arbitration (KLRCA) berdiri sejak tahun 1978 dan merupakan

organisasi nirlaba yang melaksanakan mediasi dan arbitrase untuk

sengketa domestic dan internasional. Di samping itu, terdapat pula

The Insurance Mediation Burea yang khusus menangani klaim

asuransi umum dan jiwa. Lembaga ini didirikan pada tahun 1991

sebagai lembaga nirlaba dan mempunyai anggota semua pelaku

bisnis asuransi di Malaysia. Pelembagaan ADR di luar arbitrase

bisnis, masih terbatas. Untuk menyelesaikan sengketa sektor tenaga

kerja, Malaysia menjalankan sebuah pengadilan buruh yang berfungsi

sebagai dewan arbitrase buruh.

Singapura mempunyai sistem ADR yang terkait dengan

lembaga peradilan yang disebut sebagai Court Mediation Center.

Lembaga ini berada dalam naungan Suordinate Court, dan

menangani kasus-kasus dengan nilai uang di bawah US $ 5000.

Tenaga mediator yang menjalankan fungsi mediasi adalah para hakim

dan staf pengadilan, dengan dibantu oleh Court Support Group yang

tediri atas pengacara, pekerja sosial, professional dari berbagai

78
bidang dan sebagainya. Selain CMC, National University of Singapore

juga menjadi pusat arbitrase yang menyediakan jasa mediasi.

Mediation Center ini mempertemukan ahli-ahli dari berbagai bidang

untuk mencari sistem penyelesaian masalah yang paling efektif,

efisien, dan juga menangani sengketa-sengketa dari luar Singapura.

7. Prasyarat dan Titik Lemah.

Pengembangan proses perundingan dan arbitrase tidak ter-

lepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik Indonesia secara

keseluruhan dan khususnya pengembangan budaya hukum, pem-

benahan lembaga peradilan, penyetaraan daya tawar dan akses

informasi bagi masyarakat lemah. Ada beberapa prasyarat yang

harus dipenuhi agar perundingan dan arbitrase berhasil. Tanpa

prasyarat tersebut ADR akan gagal memberikan pilihan yang terbaik

dan menjadi harapan keadilan yang mudah terjangkau bagi masya-

rakat luas.

Salah satu prasyarat yang sangat menentukan keberhasilan

ADR adalah pandangan dan prilaku masyarakat. Di sektor bisnis,

peluang pelembagaan ADR terletak pada pemantapan lembaga

arbitrase yang telah ada serta pengembangan fungsi mediator

sengketa bisnis. Untuk sengketa yang melibatkan konsumen

79
perorangan, pemantapan peran lembaga-lembaga pelindung kon-

sumen perlu mendapat perhatian.

Secara umum perundingan dan arbitrase mempunyai potensi

untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa di masyarakat dan

mencegah terjadinya letupan sosial yang diakibatkan oleh sengketa

berskala besar atau berkepanjangan. Dengan majemuknya masya-

rakat Indonesia serta makin banyaknya benturan kepentingan dan

pendapat, penerapan perundingan dan arbitrase dipercaya dapat

memainkan peranan dalam memelihara keseimbangan sosial.60

8. Pengembangan dan Pelembagaan.

Paling tidak terdapat 5 faktor utama yang memberikan dasar

diperlukannya pengembangan ADR di Indonesia,61 meliputi sebagai

berikut:

a. Salah satu cara meningkatkan daya saing dalam mengundang

penanam modal ke Indonesia adalah kepastian hukum, termasuk

ketersediaan sistem penyelesaian sengketa yang efisien.

60
Ibid.
61
Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa III),
“Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah untuk menanggapi Laporan Diagnostie
Aqssesment of Legal Development in Indonesia (bidang ADR), Jakarta, September
1997.

80
b. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa

yang efisien dan lebih mampu memenuhi rasa keadilan.

c. Meningkatnya daya kritis masyarakat yang diikuti dengan tuntutan

berperan serta aktif dalam proses pembangunan.

d. Hak masyarakat berperan serta memiliki makna perlunya pengem-

bangan mekanisme penyelesaian konflik.

e. Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga per-

adilan sehingga akan terjadi proses seleksi yang menggambarkan

tingkat kepercayaan masyarakat. Kehadiran pembanding dalam

bentuk lembaga ADR diharapkan mendorong lembaga penye-

lesaian sengketa tersebut (pengadilan) meningkatkan citranya

sehingga kepercayaan masyarakat pun meningkat.

Selain tindak lanjut dari usaha pelembagaan ADR di Indonesia,

terdapat 2 (dua) studi yang terkait, yaitu sebagai berikut:

a. Studi dalam rangka penyusunan makalah kebijakan (policy paper)

yang diprakarsai oleh Bappenas bekerjasama dengan The Asia

Foundation. Studi dilaksanakan bersama-sama oleh PT. Qipra

Galang Kualita (konsultan), Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesian

Center for Environmenyal Law), dan LPPM (Lembaga Pendidikan

dan Pengembangan Manajemen).

81
b. Diagnostic Assesment of Legal Development in Indonesia yang di

prakarsai oleh Bappenas dengan pendanaan dari Bank Dunia (IDF

Grant). Studi ini dilaksanakan oleh Firma Hukum Ali Budiardjo,

Nugroho, Reksodiputro, bekerjasama dengan Mochtar, Karuwin &

Komar. Salah satu obyek kajian diagnostic ini adalah pengem-

bangan dan pelembagaan ADR.

Studi di atas menemukan bahwa faktor-faktor prioritas dalam

mengembangkan dan melembagakan perundingan dan arbitrase62 di

Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Tersedianya sumber daya manusia yang trampil dan memiliki

integritas tinggi untuk menjalankan peran sebagai juru runding/

wasit dengan netral imparsial, jujur, dan menjunjung tinggi

profesionalisme kerja.

b. Terbentuknya pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan

kelebihan perundingan dan arbitrase dalam menyelesaikan seng-

keta serta kebutuhan akan jasa mediasi dan arbitrase.

c. Terdapat konsistensi antar produk hukum mengenai pemanfaatan

perundingan dan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian seng-

keta, serta peningkatan keberlakuannya (enforceability).


62
Makalah Kebijakan Memilih menggunakan istilah perundingan untuk
mewakili negotiation mediation dan conciliation, dan istilah arbitrase sebagai
terjemahan arbitration. Pilihan untuk tidak menggunakan istilah ADR didorong oleh
keinginan memakai istilah bahasa Indonesia yang mudah dimengerti awam.

82
9. Rekomendasi Makalah Kebijakan.

Bagian ini menguraikan secara rinci inti dari usulan pelem-

bagaan dalam makalah kebijakan (policy paper) yang mencakup

proses pelembagaan dan pengembangan profesi yang menuntut

disiapkannya sumber daya manusia untuk menjalankan peran

sebagai juru runding/wast, serta tata laksana untuk menjalankan

peran tersebut. Di samping itu, di uraikan pula tentang perlunya

pemasyrakatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas

tentang perundingan dan arbitrase.

Adanya pengembangan sumber daya manusia, tata laksana,

serta peningkatan kebutuhan (demand) masyarakat akan jasa juru

runding dan wasit diharapkan terbentuknya suatu kelompok profesinal

yang terlatih dan cermat dalam melakukan praktek ADR. Kelompok ini

pada tahun-tahun mendatang diharapkan sudah melewati critical

mass sehingga asosiasi profesi juri runding dapat dibentuk. Asosiasi

profesi inilah yang berfungsi untuk melanjutkan upaya menumbuhkan

profesi juru runding guna memenuhi kebutuhan masrakat.

Ringkasnya selama tiga atau empat tahun yang akan datang

disarankan untuk diadakan program pendidikan dan pengembangan

juru rundung/wasit. Kedua program ini mendapatkan arahan dan

83
bimbingan dari suatu tim pengarah yang terdiri atas wakil-wakil

lembaga pemerintahan, LSM, pendidikan, swasta, dan sebagainya.

Pada tahun kelima diusulkan agar sebuah asosiasi profesi juru

runding/wasit dibentuk secara resmi. Tim pengarah di atas berfungsi

memfasilitasi pembentukan asosiasi tersebut serta mensosialisasikan-

nya sehingga menjadi perhatian nasional.

10. Sasaran Jangka Pendek.

Program pendidikan dan pengembangan. Pelaksananaan

program pendidikan dan pengembangan bertujuan menyiapkan

dasar-dasar bagi pengembangan profesi juru runding/wasit. Program

ini mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Merancang kurikulum pelatihan juru runding.

b. Merancang metode pelatihan yang tepat.

c. Menyiapkan tenaga pelatih.

d. Menyelenggarakan pelatihan umum untuk juru runding/wasit.

e. Pengembangan dasar kode etik profesi.

f. Pengembangan metode perundingan arbitrase.

Dalam perundingan dan arbitrase, peranan pihak ketiga

sebagai penengah atau wasit sangat menentukan. Pihak ketiga

secara objektif menjembatani pertukaran pandangan dan pencarian

84
pemecahan antara kedua belah pihak yang bersengketa. Kriteria yang

paling penting dan harus dipenuhi pihak ketiga dalam menjalankan

fungsinya sebagai juru runding atau wasit adalah sifat netral imparsial

dan kejujuran. Pihak ketiga tidak boleh memihak atau memenangkan

salah satu pihak serta tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun. Untuk

menjaga dan mempertahankan sifat netral imparsial dan kejujuran

diperlukan suatu kode etik yang menjadi pegangan dan ditaati oleh

semua juru runding/wasit.

Pelatihan dasar yang diadakan dalam rangka program pen-

didikan dan pengembangan ini dimaksudkan untuk mengajarkan teori

ADR, teknik-teknik memecahkan jalan buntu perundingan (deadlock),

latihan role play, pengkajian studi kasus, dan observasi juru runding/

wasit berpengalaman.

Lembaga yang dinilai mampu menjalankan program pendidikan

dan pengembangan adalah lembaga yang sudah bergerak di bidang

pendidikan dan memilki visi tentang pengembangan perundingan dan

arbitrase di Indonesia. Salah satu unsur yang dianggap sangat

menentukan keberhasilan program ini adalah penggabungan

beberapa disiplin ilmu, seperti psikologi (dinamika kelompok, budaya,

dan sebagainya) hukum (kode etik, kesepakatan) ekonomi, dan

sebaginya.

85
11. Program Pemasyarakatan.

Pemasyarakatan merupakan salah satu unsur yang penting

dan mendesak. Suatu program komperhensif perlu dirancang dan

dilaksanakan untuk masyarakat ADR di Indonesia. Program ini

dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemasyarakatan

yang bertujuan:

a. Menyebarluaskan apa yang dimaksud denga perundingan,

arbitrase, ADR atau istilah lain yang akan dipakai.

b. Memasyarakatkan jenis sengketa yang bisa atau lebih tepat

diselesaikan dengan perundingan/arbitrase dibandingkan dengan

pengadilan.

c. Menyebarluaskan keterangan mengenai program pendidikan dan

pengembangan serta menarik minat calon peserta pendidikan.

Tahap kedua adalah program pemasyarakatan yang dimulai

pada saat dibentuknya asosiasi profesi, yang meliputi:

a. Fungsi asosiasi profesi.

b. Bagaimana menjadi juru runding/wasit yang baik dan kriterianya.

c. Hal-hal lain yang berhubungan dengan fungsi asosiasi profesi.

Sasaran program pemasyarakatan pada dasarnya meliputi

seluruh lapisan masyarakat. Secara khusus, untuk setiap kelompok

86
masyarakat perlu dirancang pesan pemasyarakatan yang berbeda,

seperti:

a. Masyarakat luas digerakkan untuk mempercayai dan meng-

gunakan perundingan/arbitrase dalam sengketa yang mereka

hadapi serta menarik minat anggota masyarakat menjadi juru

runding/wasit.

b. Profesional diberbagai bidang dimobilisasi untuk dilatih menjadi

juru runding/wasit.

c. Pengusaha diarahkan untuk mengakui juru runding/wasit

Indonesia dan mulai menggunakan jasanya.

d. Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok khusus, seperti

lingkungan hidup dan tenaga kerja, diharapkan untuk meng-

gunakan dan/atau menyediakan jasa juru runding/wait.

e. Pemerintah, terutama lembaga peradilan, diberikan pengertian

akan pentingnya proses ini dan diyakinkan tidak tersaingnya

lembaga peradilan dengan berkembangnya sistem perundingan/

arbitrase swasta.

87
C. Sasaran Jangka Menengah

1. Asosiasi Profesi.

Setelah program pendidikan dan pengembangan serta

program pemasyarakatan berjalan selama beberapa tahun, diharap-

kan pada tahun-tahun mendatang sudah tersedia professional dalam

jumlah yang memadai untuk mendirikan sebuah asosiasi. Aggota

profesi ini beranggotakan perorangan yang menawarkan jasa sebagai

juru runding/wasit.

Fungsi asosiasi profesi antara lain sebagai berikut:

a. Melaksanakan program pendidikan dan sertifikasi bagi juru

runding/wasit. Asosiasi ini dapat mengambil alih koordinasi pro-

gram pendidikan dan pengembangan yang telah berjalan atau

menjalin kerjasama jangka panjang dengan pusat pendidikan yang

melaksanakan program.

b. Mengembangkan prosedur dan metode negosiasi, mediasi, kon-

siliasi, dan arbitrase dengan peleburan teknik modern dan pola-

pola musyawarah tradisional.

c. Mengembangkan dan menerapkan kode etik profesi diantara

anggotanya. Dengan demikian, asosiasi berwenang memberi

sanksi atau mencabut sertifikasi seorang juru runding bila terbukti

menyalahi kode etik profesi.

88
d. Memberikan jasa referral dengan menyediakan daftar juru runding/

wasit untuk bidang-bidang sengketa bagi pihak yang membutuh-

kan. Pemilihan juru runding dilakukan oleh pihak-pihak yang

bersengketa, namun asosiasi membantu dengan memberikan

akses pada nama calon juru runding.

e. Menjalin kerja sama dengan lembaga serupa dimanca negara,

baik untuk pendidikan, prosedur, maupun kode etik proses

sebagai antisipasi era globalisasi. Kerjasama ini menjadi ujung

tombak juru runding Indonesia dengan pihak internasional.

f. Melakukan pemasyarakatan yang berhubungan dengan profesi

juru runding serta fungsi asosiasi itu sendiri.

2. Perangkat Hukum.

Saat ini telah ada beberapa peraturan perundang-undangan

yang memberikan peluang dan/atau mengatur pelaksanaan perun-

dingan umum maupun sektoral. Secara khusus, komponen ADR yang

paling membutuhkan legitimasi hukum adalah arbitrase. Dalam

arbitrase, keputusan wasit membutuhkan kekuatan hukum yang jelas

dan pasti penerapannya. Tanpa kekuatan hukum, arbitrase tidak akan

diminati dan dipercaya masyarakat sebagai sistem penyelesaian

sengketa yang efektif. Apabila pelaksanaan peraturan arbitrase yang

89
menetapkan putusan wasit bersifat final dan mengikat (binding)

kurang memuaskan, perlu diambil langkah-langkah untuk menjamin

legitimasi hukum yang diinginkan tanpa mendorong ditempuhnya jalur

pengadilan.

Berbeda dengan arbitrase, pelaksanaan hasil perundingan

tidak terkait pada sifat keterikatan hukum. Pada prinsipnya, kese-

pakatan perundingan dihasilkan oleh para pihak yang bersengketa

sendiri dan disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga pelaksanaan

hasil perundingan lebih tergantung pada pihak pribadi dan integritas

pihak-pihak yang bersengketa dalam menjalin kesepakatan. Pihak-

pihak yang menghormati proses perundingan keadilan, hak-hak dan

kewajiban asasi akan mentaati kesepakatan tanpa tekanan apapun

dari pihak luar. Dengan demikian, setiap orang yang memasuki

proses perundingan harus sepenuhnya memahami dan siap

memenuhi tanggung jawabnya dalam menjalankan kesepakatan.

Asosiasi dan para juru runding mempunyai peranan yang penting

dalam mendidik dan meyakinkan para pihak bersengketa mengenai

kewajiban mereka.

Pendirian asosiasi profesi juru runding mengharapkan agar

dasar hukum diperlukan tidak banyak berbeda dengan pendirian

asosiasi lainnya, seperti akte pendirian dan AD/ART.

90
3. Peranan Pemerintah.

Peranan pemerintah dalam mengembangkan sistem ADR di

Indonesia dibutuhkan, khususnya pada tahun pertama pelaksanaan

program pendidikan dan pengembangan serta program pemasya-

rakatan. Peranan pemerintah yang diharapkan meliputi sebagai

berikut:

a. Pembentukan suatu tim pengarah yang memberikan arahan bagi

perencanaan dan pelaksanaan kedua program di atas segala

persiapan pendirian asosiasi profesi juru runding, termasuk

maslah keanggotan, pendanaan, iuran anggota, sertifikasi, dan

sebagainya.

b. Memfasilitasi perubahan budaya, pandangan dan kebijakan di

lembaga-lembaga pemerintah yang berpotensi menangani seng-

keta. Di samping itu, juga diharapkan fasilitas pemerintah yang

memberikan keleluasaan gerak ADR sebagai pihak penengah

dalam sengketa dan peran pemerintah untuk mengawasi pengem-

bangannya.

c. Menyediakan dana untuk pelaksaan kedua program di atas serta

dana awal untuk pendirian asosiasi profesi juru runding, baik dari

anggaran dalam negeri maupun hasil kerja sama dengan badan-

badan internasional.

91
Walaupun lembag-lembaga mediasi/arbitrase telah ada namun

minat pelaku bisnis untuk menggunakan jasa juru runding masih perlu

dikembangkan. Pemasyarakatan untuk sektor bisnis disarankan agar

dilakukan melalui lokakarya dan program pelatihan dilembaga-

lembaga pendidikan manajemen maupan pelatihan-pelatihan umum.

Pendekatan khusus pada para ahli hukum perusahaan (corporate

lawyer) perlu dipertimbangkan.

Juru runding atau wasit yang tepat untuk menyelesaikan

sengketa antar pelaku bisnis adalah perorangan yang bekerja sebagai

individu atau terkait dengan asosiasi profesi/dagang, perusahaan

konsultan bisnis atau hukum, atau badan arbitrase (BANI, P3BI, dan

sebagainya). Untuk sengketa antara pelaku bisnis dan konsumen

perorangan, dapat juga menggunakan jasa juru runding atau wasit

yang terkait dengan lembaga masyarakat.

Konsep ahli pendamping dapat juga diterapkan dalam

perundingan atau arbitrase bisnis. Hal ini mengingat makin rumitnya

peraturan penanaman modal, perdagangan, hukum ekonomi, per-

pajakan, dan sebagainya. Para ahli tersebut dapat direkrut dari

bidang-bidang ilmu yang sesuai dengan kebutuhan dalam suatu

sengketa.

92
4. Laporan Diagnostic Assesment of Legal Development.63

Temuan dari kajian diagnostik menggaris bawahi beberapa

catatan yang berkaitan dengan pengembangan ADR di luar dan di

dalam pengadilan meliputi sebagai berikut:

a. Dukungan serta komitmen pemerintah terhadap ADR sangat

besar, namun perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah nyata,

misalnya menyelesaikan peraturan-peraturan mengenai arbitrase

dengan mengintegritaskan komponen ADR (negosiasi, mediasi,

dan konsiliasi) di dalamnya sehingga lebih memiliki landasan

hukum yang kuat.

b. Walaupun pola penyelesaian secara konsensus telah dikenal dan

mengakar dalam masyarakat, namun konsensus dan musyawarah

yang merupakan embrio dari ADR sebagai mekanisme penye-

lesaian konflik dalm musyawarah modern belum dipahami oleh

masyarakat luas.

c. Peluang penerapan ADR di dalam pengadilan (court annexed)

berdasarkan Pasal 131 HIR belum didayagunakan secara optimal

sehingga diperlukan pengenalan teknik ADR dikalangan hakim

dan petugas pengadilan lainnya. Petunjuk pelaksaan ADR dari

63
Lihat Ali Budiardjo Nugroho, Reksodiputro in Corporation with Moctar,
Karuwin & Komar, Final Report on Diagnostic Assesment or Legal Development in
Indonesia, Chapter, volume I dan Annex C-4 Volume III, Maret 1997.

93
Ketua Mahkamah Agung dalam bentuk surat edaran dapat

dijadikan sebagai pendorang penerapan ADR di dalam peng-

adilan.

d. Pengembangan kelembagaan ADR di luar pengadilan harus

didasarkan pada praktek-praktek ADR dalam masyarakat.

Pengembangan kelembagaan juga perlu dilakukan pada lembaga-

lembaga peradilan yang telah ada, seperti MIPP, Mahkamah

Pelayaran, dan PSD/PSP yang pada dasarnya juga merupakan

bentuk penyelesaian pola ADR dengan menyempurnakan pro-

sedur, aturan main yang lebih jelas, dan sumber daya manusia

yang professional.

e. Pengembangan sumber daya manusia yang professional mem-

butuhkan sarana pelatihan yang dapat diintegritaskan melalui

kurikulum fakultas hukum dan kursus ketrampilan hukum. Asosiasi

profesi advokat dan pengacara serta LSM juga berperan dalam

pengembangan sumber daya manusia yang mendukung di bidang

ADR.

5. Rekomendasi Diagnostic Assesment.

a. Policy reform sasaran jangka pendek, terdiri dari:

94
1) Pengembangan landasan peraturan perundang-undangan

(RUU) tentang ADR segera diajukan ke DPR RI. Harus ada

koordinasi antara Menteri Kehakiman, Mensesneg, dan Seskab

untuk mempercepat proses pengajuan tersebut.

2) Pelaksanaan pelatihan untuk arbiter dilakukan dengan terlebih

dahulu membentuk tim yang akan menyusun rekomendasi

yang merupakan hasil studi banding dengan Australia.

3) Melakukan kajian tentang bagaimana pengadilan dilatih

menangani kasus dengan court annexed ADR. Latihan ini

dilakukan dengan mengambil contoh court dispute resolution

yang diterapkan pada Subordinase Court di Singapura. Dalam

rangka pengembangan ADR di dalam pengadilan juga

diusulkan pengembangan peraturan perundang-undangan baru

sebagai elaborasi dari Pasal 131 HIR dan penerbitan Surat

Edaran Mahkamah Agung yang memberi petunjuk pelaksana-

an Pasal 131 HIR.

b. Technical reform sasaran jangka panjang, terdiri dari:

1) Pemasyarakatan ADR yang ditujukan pada terciptanya pema-

haman yang benar dilakukan melalui:

a) Pengintegrasian ADR ke dalam kurikulum fakultas hukum.

95
b) Seminar informasi tentang ADR (di dalam dan di luar peng-

adilan) kepada masyarakat luas.

c) Merancang peraturan perundang-undangan untuk memberi-

kan landasan hukum ADR.

2) Penelitian tentang mekanisme ADR yang diterapkan dalam

masyarakat tradisional, yang dari Indonesia bagian Timur.

Dari rekomendasi dan rancangan tindak lanjut kajian di atas,

dapat disimpulkan sebagai berikut:64

a. Rekomendasi dari kedua kajian tersebut tidak bertentangan satu

dengan yang lain bahkan dapat dijadikan masukan yang saling

melengkapi.

b. Masukan tentang court annexed ADR yang sudah mendesak

dilakukan di Indonesia banyak dikedepankan oleh kajian diag-

nostik. Sebaliknya, makalah kebijakan tidak menempatkannya

dalam rekomendasi.

c. Makalah kebijakan ADR membahas dan memberikan masukan

tentang “siapa melakukan apa” dan rincian tentang program ADR

untuk melengkapi rekomendasi dan rancangan tindak kajian

diagnostik.

64
Mas Achmad Santoso III, Op.Cit., hlm. 6.

96
d. Kajian diagnostik menekankan pelatihan bagi para wasit dengan

pola yang diterapkan di Australia sehingga dapat melengkapi

makalah kebijakan yang tidak mengupas tentang pengembangan

sumber daya manusia pada arbitrase.

e. Policy reform jangka pendek seperti yang diusulkan oleh kajian

diagnostik dapat difasilitasi oleh tim pengarah nasional dengan

dibantu tim teknis, sedangkan technical reform jangka panjang

dapat difasilitasi atau merupakan tugas dari asosiasi profesi.

Pengintegrasian komponen ADR ke dalam RUU ADR

dimaksudkan untuk menjadikan ADR berkembang pesat, memudah-

kan masyarakat menggunakan ADR, meningkatkan peran dari

masyarakat dengan menyelesaikan sengketa sendiri (akses publik/

privat) dalam bentuk asosiasi profesi.

Pembentukan ADR sebagai alternatif penyelesaian sengketa

tidak cukup hanya dukungan budaya musyawarah/mufakat dari

masyarakat, tetapi perlu pengembangan dan pelembagaan yang

meliputi pengaturan perundang-undangan untuk memberikan landas-

an hukum dan pembentukan asosiasi profesi/jasa professional.65 RUU

ADR harus disiapkan dan diprioritaskan oleh Departemen Kehakiman

untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini disebab-

65
Mas Achmad Santoso dan TM. Luthfi Yazid, Loc.Cit.

97
kan dalam hukum perdata atau hukum ekonomi makin membutuhkan

penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan andal di luar pengadilan.

Lebih jauh, dimasukkannya komponen RUU ADR diharapkan

sebagai wujud penyelesaian sengketa alternative yang berkembang

dengan pesat di masyarakat mendayagunakan dan ditujukan agar

memudahkan masyarakat mendayagunakan ADR sebagai sarana

pilihan penyelesaian sengketa. Komponen ADR diharapkan dapat

direncanakan oleh pemerintah untuk diatur RUU ADR, yang berisi

tentang bentuk/sifat penyelesaian sengketa secara ADR (konsensus),

bagian-bagian ADR yang akan diterapkan (mediasi, konsiliasi,

arbitrase) pihak-pihak yang bersengketa, dan sifat putusannya.

Penulis sepakat bila semakin dipertegas aturan hukum

mengenai undang-undang ADR sehingga terdapat landasan hukum

yang tegas bagi mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (ADR),

khususnya dalam bidang perdagangan/bisnis. Penyusunan bentuk

policy reform jangka pendek dan technical reform jangka panjang

diperlukan agar sasaran pengembangan dan pelembagaan ADR

dapat tercapai.

Pengaturan ADR secara khusus diharapkan tidak bertentangan

dengan konsep dasar/filosofi ADR yang memberikan ekonomi/

kebebasan para pihak untuk menyelesaikan sengketa (dispute/

98
difference) secara sukarela (di luar arbitrase pengadilan/out of court).

Komponen ADR yang diharapkan dituangkan dalam RUU ADR

seharusnya hanya mengatur aturan pokok, sedangkan aturan main

(rule of the games) diserahkan kepada para pihak yang bersegketa.

Para pihak mempunyai kebebasan memilih untuk menyelesaikan

sendiri penyelesaian sengketanya atau menggunakan jasa profesi

mediator, konsiliator dan arbiter professional.

Pengembangan ADR di dalam pengadilan (court annexed

ADR) sebagai elabolasi Pasal 131 HIR dan Surat Edaran Mahkamah

Agung mengenai petunjuk pelaksanaan Pasal 131 HIR yang diusul-

kan dalam policy reform jangka pendek hendaknya mengkaji lebih

lanjut mengenai pemisahan pengertian “perdamaian” sebagai penye-

lesaian segketa (dispute settlement) di dalam pengadilan dan di luar

pengadilan. Pasal 131 HIR dimaksudkan sebagai landasan hukum

mekanisme penyelesaian sengketa perdata secara damai di dalam

pengadilan dan merupakan bagian integral dalam sistem peradilan

hukum acara perdata di Indonesia.

Penerapan court annexed ADR dengan mengambil contoh

court dispute resolution (CDR) yang diterapkan Subordinate Court di

Singapura akan membuat penyelesaian sengketa berlarut-larut (waste

of time). Pelaksaan court annexed ADR mengakibatkan penyelesaian

99
sengketa yang sudah dilakukan melalui ADR (konsensus) dapat

dengan mudah dikesampingkan oleh pihak-pihak tanpa memperduli-

kan putusan (mediator, konsiliator, arbiter) dan kekuatan mengikatnya

(binding force).

Mengingat hal di atas aturan pelaksanaan Pasal 131 HIR

sebaiknya dimasukkan ke RUU Hukum Acara Perdata Nasional yang

sedang disusun. Dengan demikian, konsepsi Pasal 131 HIR dapat

digunakan sebagai sumber/landasan hukum penyelesaian sengketa

damai di dalam pengadilan dan sekaligus berfungsi sebagai suatu

sistem peradilan hukum perdata nasional yang integral.

100
5
PERKEMBANGAN BENTUK
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION
DI BEBERAPA NEGARA

A. Alasan Negara-negara Barat dan Timur Menggunakan


Alternative Dispute Resolution

Penyelesaian sengketa alternatif sudah lama dikembang-kan,

baik di Barat seperti Amerika Serikat dan Norwegia maupun di Timur

seperti Jepang dan Cina, baik karena alasan-alasan praktis maupun

kebudayaan.66 Gagasan untuk mengembangkan model penyelesaian

sengketa melalui penyelesaian sengketa alternatif ini nampaknya

semakin meluas ke berbagai negara di dunia, baik negara-negara

sedang berkembang.

Amerika Serikat sebagai negara tempat pertama kali

penyelesaian sengketa alternatif dikembangkan, sudah mulai

mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sejak tahun 1960-

an.67 Salah satu bagian gerakan ini adalah memberikan respon

66
Erman Rajagukguk, Loc.Cit.
67
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg I),
Dispute Resolution Negasiation, Mediation and Other Processes, Little Brown and
Company, Boston-Toronto-London, 1992, hlm. 3-4.

101
terhadap perjuangan hak-hak sipil. Pada tahun 1972 pusat hubungan

masyarakat Departemen Kehakiman AS telah menolak sejumlah

mediator untuk membantu menyelesaikan sengketa hak-hak sipil

yang berskala luas di dalam masyarakat.

Penyelesaian sengketa alternatif diangkat sebagai simbol

gerakan reformasi hukum di AS dalam permulaan tahun 1970 ketika

pengamat dalam bidang hukum dan komunitas akademis mulai

mengalami keprihatinan serius tentang efek negatif dari litigasi yang

semakin meningkat. Seperti dikemukakan oleh Thomas J. Harron:

“…. Masyarakat Amerika sudah jemu mencari penye-lesaian


sengketa melalui litigasi (badan pengadilan). Mereka tidak puas
atas sistem peradilan (dissatisfieed with the judicial sistem).
Mengapa? Cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem
peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a sistem)
dengan cara yang sangat merugikan, buang-buang waktu (waste
of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa
lalu, bukan menye-lesaikan masalah masa depan, membuat orang
bermusuhan (enemy), melumpuhkan para pihak (pralyzes
people)”.

Gagasan untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui

litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham

Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan; Discourage litigation.

Persuade yoaur neighbours to compromise whenever yau can. Point

102
out to them how the them how the nominal winner is often a real loser

in fees, expenses and waste time.68

Salah satu upaya yang cukup populer oleh Warren Burger

seorang mantan Ketua Pengadilan adalah, pada tahun 1976

menggelar suatu konfrensi yang diberi inisial Roscoe E. Pound di kota

St. Paul Minneseto, menyangkut penyebab-penyebab ketidak puasan

umum terhadap administrasi pengadilan. Pesertanya adalah anggota

pengadilan dan para pengacara publik yang bergabung bersama

untuk mencari cara-cara baru dalam penyelesaian sengketa.

Sebagian besar makalah yang muncul dari konferensi ini seperti

makalah klasik Frank Sander berjudul Varietas of Dispute Resolution

(berbagai penyelesaian sengketa) telah membentuk pemahaman

dasar tentang penye-lesaian sengketa alternatif.69

Ada hal yang menarik bila diamati sejarah perkembangan

penyelesaian sengketa alternatif yang terjadi di AS di mana upaya

pencarian bentuk penyelesaian sengketa alternatif tidak hanya

dilakukan oleh komunitas pencari keadilan saja tetapi justru lebih

gencar lagi datangnya dari kalangan pengadilan.

68
ADR in Trademark & Unfair Competition Disputes, http:
/www.inta.org/adr.html.Available, diakses pada tanggal 21 Juni 2000.
69
Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Disputes Resolution in a Nutshell,
West Publishing Co, St, Paul Minnesota, 1992, hlm. 4-5.

103
Perkembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS cukup

pesat karena mendapat dukungan dari masyarakat dan juga lembaga

peradilan formal. Penerapan penyelesaian seng-keta alternatif telah

dilakukan dalam sistem hukum, para hakim sering meminta pihak-

pihak yang bersengketa untuk berparti-sipasi dalam summary jury

trial. Dalam sejumlah pengadilan, pihak-pihak dianjurkan untuk

mencoba proses mediasi sebelum dibenarkan memajukan kasusnya

ke pengadilan.

Bisnis penyelesaian sengketa alternatif menawarkan ber-bagai

bentuk pelayanan. Para pensiun hakim sering bertindak sebagai pihak

netral untuk membantu penyelesaian sengketa. Serta banyak badan

hukum yang mengembangkan departemen penyelesaian sengketa

alternatif dan menawarkan jasa yang sama dengan penyelesaian

sengketa alternatif penyedia swasta. Oleh karena itu, Jacqueline M.

Nolan-Haley70 mengatakan penye-lesaian sengketa alternatif telah

menjadi sejenis industri rumah tangga (cottage industri of sorts).

Lembaga penyelesaian sengketa alternatif di AS telah meluas

secara sangat signifikan. Pada tanggal 12 Februari 1980 bertepatan

dengan hari lahir Abraham Lincoln, Presiden Jimmy Carter

70
Ibid., hlm. 7.

104
menandatangani Dispute Resolution Act sebagai landas-an hukum

bagi lembaga mediasi.71

Pada tahun 1990 dikeluarkan pula satu undang-undang yang

paling komprehensif yaitu Civil Justice Reform Act. Tujuan-nya adalah

untuk memfasilitasi ajudikasi kasus-kasus sipil, memonitor hasil

pertemuan, memperbaiki manajemen litigasi dan menjamin

penyelesaian sengketa sipil yang adil, cepat dan tidak memerlukan

biaya tinggi. Undang-undang ini merekomen-dasi enam model bagi

pengadilan untuk dipergunakan mengem-bangkan Cipil Justice

Expence and Delay Reduction Plan (EDRP). Salah satunya adalah

merujuk kasus yang tepat kepada program penyelesaian sengketa

alternatif, meliputi mediasi, minitrial, dan summary jury trial.72

Penyelesaian sengketa alternatif juga telah menjadi bagian dari

praktek administrasi. Pada tahun 1990 kongres telah mengeluarkan

dua undang-undang yang ditujukan untuk meningkatkan penggunaan

penyelesaian sengketa alternatif oleh agen-agen federal. Seperti

Administrative Dispute Resolution Act 1990 yang secara tegas

memberikan otoritas dan mendukung agen-agen administratif untuk

menggunakan ber-bagai teknik penyelesaian sengketa alternatif.

71
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 189.
72
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 7-8.

105
Demikian juga Negotiated Rule Making Act, memberikan otoritas dan

men-dukung agen-agen administrasi untuk menggunakan pembuatan

aturan negoisasi sebagai pengganti pembuatan aturan adver-sarial

tradisional di bawah Adnimistrasive Procedure Act.73

Perkembangan penyelesaian sengketa alternatif di AS dilatar

belakangi oleh kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:74

1. Untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan (court

congestion). Banyak kasus yang diajukan ke pengadilan

menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan serta

memakan waktu. Proses seperti ini memakan biaya yang tinggi

dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2. Untuk meningkatkan ketertiban otonomi masyarakat dalam proses

penyelesaian sengketa.

3. Untuk memperlancar serta memperluas akses ke keadilan (acces

to justice).

4. Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penye-lesaian

sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh

dan memuaskan semua pihak (high level of acceptance).

73
Stephen B. Goldberg (selanjutnya disebut Stephen B. Goldberg II) et.al.,
Disputes Resolution, Little Brown, Boston, 1985, hlm. 10.
74
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 5-7; Baca juga Mas Achmad
Santosa I.

106
Dengan gambaran tersebut pengembangan penyelesaian seng-keta

alternatif di AS cenderung karena alasan-alasan praktis.

Berbeda halnya dengan Cina dan Jepang, masyarakat Cina

dan Jepang secara tradisional tidak suka pada peng-adilan.75 Secara

tradisional orang-orang Cina dan Jepang amat segan untuk

membawa sengketa-sengketa perdata mereka ke depan pengadilan.

Untuk menjaga harmoni sengketa perdata diselesaikan melalui

mediasi (Cina dan Jepang) serta konsiliasi (Jepang).76

Di Jepang rasa hormat terhadap harmoni adalah merupa-kan

suatu ciri nasional, yang ditetapkan dalam pasal satu Konstitusi Tujuh

Belas Pasal.77 Walaupun orang Jepang tidak menyukai litigasi, tetapi

bukan berarti orang Jepang adalah pelanggar hukum sebagaimana

dikemukakan oleh W.S. Davis:

“….. bahwa kapan dicoba untuk menyimpulkan bagaimana orang-


orang Jepang berhubungan dengan sistem hukum mereka dan
bagaimana sikap mereka berkenaan dengan respek dan ketaatan
terhadap sistem itu, maka mengenai hal itu seseorang harus
memulai dengan dasar pemikiran bahwa orang-orang Jepang
lebih banyak yang mentaati hukum dari pada warga negara dari
kebanyakan negara-negara lain. Kondisi ini merupakan hasil dari
konsep kewajiban yang mereka warisi dari Kong Fu Tsu. Selama

75
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 103-104.
76
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang
Kontemporer”, dalam A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.). Hukum dan
Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1988, hlm. 109.
77
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yayasan
Watampone, Jakarta, 1998, hlm. 131-133.

107
berabad-abad orang ini telah menggunakan ajaran Kong Fu Tsu
itu dalam wujud ucapan-ucapan para bangsawan, dan para
adminis-tratur tentang apa yang dilakukannya di mana hal itu juga
dianggap benar oleh negara-negara Timur lainnya”.

Selanjutnya David mengemukakan:78

“Bahwa selama berabad-abad mereka terikat oleh konsep


kewajiban, baru pada akhir tahun 1990 dan sesudahnya mereka
baru mengetahui mereka mempunyai hak-hak yang dapat
dilindungi. Kelompok-kelompok rakyat telah mulai untuk
mempertahankan kepentingan mereka melalui pengajuan gugatan
hukum meliputi pencemaran lingkungan dan diskriminasi ras serta
diskriminasi seksual.”

Oleh karena itu, cukup beralasan mengapa konsep

penyelesaian sengketa alternatif sudah dikenal di Jepang sejak jaman

Tokugawa. Ada dua ciri dari pengadilan-pengadilan Tokugawa yang

mempunyai arti penting bagi evolusi hukum di Jepang yaitu; pertama,

adanya kebijaksanaan untuk meng-individualisasikan dalam

memutuskan perkara-perkara, dan kedua, tekanan yang terus

menerus dilakukan pada pihak-pihak yang bersengketa agar

mengkompromikan pertikaian mereka dengan perdamaian, bahkan

setelah pengaduan diterima.79

78
Ibid.
79
Dan Fenno Henderson, “ Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”,
dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Op.Cit., hlm. 43.

108
Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa pengembang-an

konsep penyelesaian sengketa alternatif di Jepang lebih dititik

beratkan pada alasan-alasan kebudayaan yang bersifat men-dasar.

Kepustakaan menyebutkan bahwa masyarakat Jepang lebih

suka menempuh penyelesaian sengketa melalui pen-dekatan

konsensus dan kompromi dari pada pendekatan adversarial

(pertikaian). Sikap ini dipengaruhi oleh ajaran Shinto, Budha dan

Konfosius yang mengutamakan keharmonisan sosial. Penyelesaian

sengketa melalui pendekatan adversarial yang menjadi ciri proses

peradilan justru dipandang akan memper-buruk keharmonisan sosial

yang terganggu timbulnya seng-keta.80

Takeyoshi Kawashima mengemukakan “Perdamaian yang

besar selama tiga ratus tahun Takogawa dapat dipertahan-kan karena

pertikaian di antara warga diselesaikan secara harmonis melalui

administrasi mereka sendiri yang otonom, dengan menghindari

sebanyak mungkin cara dengan prosedur pengadilan”.

Bagi orang Jepang memperoleh keuntungan finansial melalui

suatu gugatan hukum masih dirasakan sebagai hal yang abnormal

dan merupakan perilaku yang anti establishment. Suatu prinsip khas

80
Chin Kim dan Craig M. Lawson, “The Law of the Subtle Mind; The
Traditional Japanese Conception of Law”, dalam Internasional and Comprative Law
Quartenly, Volume 28, Tahun 1979, hlm. 491.

109
model pemikiran hukum masyarakat Jepang adalah bahwa kapan

suatu persengketaan timbul. Kedua pihak sama-sama bersalah dan

oleh karena itu beberapakompromi harus dikerjakan untuk

menyeimbangkan kesalahan di kedua pihak.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak

menyelesaikan masalah, melainkan justru sebaliknya dapat

menyebabkan terjadinya permusuhan yang lebih buruk lagi.

Takeyosi Kawashima mengemukakan bahwa ia mengenal

secara pribadi seorang petani di sebuah desa dekat Tokyo yang

seluruh keluarganya dikucilkan secara sosial oleh semua penduduk

desa, oleh karena mendiang ayahnya telah meng-gugat seorang

petani lain di dalam suatu sengketa mengenai batas-batas tanah

pertaniannya.81

Handerson mengemukakan;82 “baik pada masa Jepang

tradisional maupun pada masa Jepang modren, suatu bentuk

perdamaian telah dan masih berlaku untuk penyelesaian bagian

terbesar persengketaan yang timbul dalam konteks sosial yang

berubah secara berangsur-angsur”.

81
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang
Kontemporer”, hlm. 120.
82
Dan Fenno Handerson, “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang”,
dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Op.Cit., hlm. 134.

110
Paling tidak ada tiga faktor atau alasan mengapa orang-orang

Jepang anti litigasi menurut Achmad Ali;83 Pertama, sikap

masyarakat Jepang yang menganggab persengketaan pada

hakikatnya merupakan sesuatu yang buruk; Kedua, litigasi dihindari

sebab sistem itu membuat kesulitan untuk dapat memasuki

pengadilan dan ketiga, terdapat cukup tersedia informasi empiris yang

memungkinkan baik penggugat maupun tergugat untuk

memperkirakan apa yang bakal dijadikan kalau mereka menggunakan

sistem peradilan. Justru dari perkiraan yang secara empiris mereka

saksikan, warga masyarakat umumnya berpendapat bahwa

sebaiknya persengketaan diakhiri tidak dengan melalui pengadilan.

Mayarakat Cina enggan membawa sengketa mereka ke depan

pengadilan antara lain disebabkan dua hal. Pertama, karena

pengaruh nilai-nilai ajaran Composius yang menekankan pentingnya

ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (LI), sehingga orang-

orang Cina kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral

yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial dari pada

karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku.84 Kedua, Stanley

Lubman mengemukakan menurut ajaran Mao, sengketa-sengketa

83
Achmad Ali, Op.Cit., hlm. 134.
84
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 105.

111
perdata adalah “kontradiksi intern antara individu” yang

membiarkannya diselesaikan secara intern, sikap mana mengambil

alih pandangan tradisional yang lebih suka menyeleseikan sengketa

secara informal dan per-damaian.85

Untuk memenuhi tradisi tersebut, baik Rezim Komunis di Cina

Daratan maupun pemerintahan Nasionalis di Taiwan mendirikan

“komite-komite penengah” (mediation committee).86

B. Berbagai Bentuk Alternative Dispute Resolution yang


Berkembang

Perkembangan penyelesaian sengketa alternatif sebagai

strategi penyelesaian sengketa di luar pengadilan belakangan ini

cukup pesat. Berbagai negara di dunia telah menerapkan

penyelesaian sengketa alternatif untuk mengurangi derasnya arus

perkara ke pengadilan.

Di Amerika Serikat sebagai negara yang pertama sekali

mengemukakan gagasan mengenai penyelesaian sengketa alternatif,

saat ini telah dikembangkan berbagai bentuk penye-lesaian sengketa

alternatif, diantaranya yang cukup populer adalah negoisasi, mediasi,

konsiliasi, minitrial dan summary jury trial.

85
Ibid.
86
Ibid., hlm. 106.

112
1. Negoisasi.

Di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di perkotaan

istilah negoisasi semakin terbiasa diucapkan menggantikan istilah

berunding atau bermusyawarah. Kata negoisasi berasal dari kata

negotiation yang artinya perundingan. Jika diselusuri lebih jauh lagi

kata negotiation tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin.

Seperti dikemukan oleh Larry L. Teply:87

“… the word “negotiate” in Latin, consist of “neg” meaning not and


“atium”, meaning “ease” These Latin words suggest that one will
not be at ease during the process or until the agreement is made
furthermore in certain contexts, some individual are unconfortable
with compromising ; they consider it an unprincipled “selling out”.

Negosiasi dapat diklasifikasikan sebagai negosiasi seng-keta

maupun negosiasi transaksional.88 Negosiasi dapat diarti-kan sebagai

suatu proses bekerja untuk suatu perjanjian (kesepakatan)89 dan

negosiasi dapat diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa

melalui perundingan antara para pihak yang bersengketa.90 Dalam

konteks studi ini pembahasan akan difokuskan pada negosiasi

sebagai salah satu bentuk penye-lesaian sengketa alternatif.

87
Larry L. Teply, Legal Negotiation: In a Nutshell, West Publishing Co, St.
Paul, Minn, 1992, hlm. 5.
88
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 13.
89
Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS,
Jakarta, 1999, hlm. 1. Bandingkan dengan P. Gulliver, Disputes and Negotiation; A
Cross Cultural Prospective, Academic Press, New York and London, 1979, hlm. 3-7.
90
Supraprto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga
University Press, Surabaya, 1999, hlm. 86.

113
Negosiasi adalah merupakan salah satu bentuk penye-lesaian

sengketa alternatif yang memegang peranan penting sebagai sarana

penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Oleh karena biasanya

negosiasi selalu ditempatkan sebagai upaya yang pertama (the first

resort) untuk mencari penyelesaian suatu sengketa.

Dalam negosiasi para pihak yang bersengketa melakukan

perundingan secara langsung (adakalanya didampingi peng-acaranya

masing-masing) tanpa dibantu oleh pihak ketiga. Penyelesaian

sengketa sepenuhnya dikontrol para pihak sendiri melalui

kesepakatan bersama atas dasar prinsip win-win. Negosiasi bersifat

informal dan tidak terstruktur, serta waktunya-pun tidak terbatas.

Adakalanya perkara yang sudah digelar di pengadilan masih terbuka

untuk dibawa ke forum negosiasi.

Berhasil atau tidaknya suatu sengketa diselesaikan melalui

negosiasi, sangat dipengaruhi oleh ketepatan memilih teknik

negosiasi dan pemahaman terhadap prinsip-prinsip umum dari

negosiasi serta langkah-langkah yang harus dilakukan untuk setiap

negoisiasi.

114
Roger Fisher dan William Ury91 membagi teknik negosiasi

dalam lima macam yaitu, teknik kompetitif, teknik kooperatif, teknik

lunak, teknik keras dan teknik interest based.

Teknik negosiasi kompetitif adalah suatu teknik yang secara

psikologis menganggap pihak lawan (opposant party) sebagai musuh.

Proses negosiasi dipandang sebagai permainan zerosum game, pada

akhir mana akan muncul seorang pemenang dan seorang pihak yang

kalah.92

Ciri-ciri negosiasi kompetitif antara lain pada awal negosiasi

negosiator mengajukan permintaan yang besar. Sesuatu yang

diketahuinya akan ditolak oleh pihak lawan, karena permintaan itu di

atas atau dengan margin yang jauh dari batas tawaran yang dapat

diterima atau layak. Untuk itu Garry Goodpaster mengemukakan:93

“Para kompetitor berupaya untuk mendapatkan informasi


sebanyak mungkin sementara megungkapkan sedikit mung-kin
cara untuk melakukannya dengan terselubung agar dianggap
sopan, membiarkan agar pihak lawan yang memulai membuka
tawaran. Informasi tersebut apapun itu, memberi peluang bagi
negosiator ntuk membuat penawaran awalnya dengan
menguntungkan, dengan menyesuaikan hal itu untuk mencapai
keuntungan yang maksimum”.

91
Roger Fisher and William Ury, Getting to Yes; Negotiation an Agreement
Without Giving In, Century Business Ltd, London, 1992, hlm. 9. Lihat juga Suyud
Margono, Op.Cit., hlm. 49.
92
Lax and Sebenius, “The Manager as Negotiator”, dalam Jaqcueline M.
Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 21.
93
Garry Goodpaster, Op.Cit., hlm. 50.

115
Penggunaan teknik negosiasi ini biasanya dilakukan apabila

negosiator tidak memiliki data yang baik dan akurat atas diri

lawannya.

Teknik negosiasi kooperatif, menganggap negosiator lawan

bukan sebagai musuh, tetapi sebagai mitra kerja untuk mencapai

kesepakatan bersama. Para pihak berkomunikasi untuk menjajaki

kepentingan, nilai-nilai bersama dan bekerja sama. Hal yang dituju

oleh seseorang negosiator adalah penye-lesaian sengketa yang

memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi kedua belah pihak (win-

win solution).

Satu strategi esensial yang digunakan para pihak dalam

negosiasi kooperatif adalah kompromi. Menurut Jeffrey Rubin dan

Bert Brown94 alasan-alasan para negosiator melakukan kompromi

adalah karena situasi menghendakinya, demi untuk kepentingan

mereka, atau karena sudah sifatnya kooperatif dan cenderung

kompromi.

Menurut studi William negosiator kooperatif memiliki

karakteristik berprilaku secara etis, memaksimumkan penye-lesaian

sengketa, mendapat hasil penyelesaian yang fair, meng-hindari litigasi

94
Ibid., hlm. 76.

116
dan mempertahankan serta menciptakan hubungan pribadi yang baik

dengan pihak lawan.95

Teknik negosiasi lunak dan keras. Teknik negosiasi lunak

menempatkan pentingnya hubungan baik antar pihak. Teknik ini

menekankan pada corak negosiasi yang mengandung lahirnya

kesepakatan yang bersifat semu serta menghasilkan pola menang-

kalah. Penggunaan teknik ini mengandung resiko manakala

menghadapi seorang yang menggunakan teknik negosiasi keras.

Negosiator keras dalam menghadapi negosiator lunak bersifat sangat

dominan. Negosiator keras di satu pihak akan berusaha memberi

konsesi dan menggunakan ancaman. Di pihak lain negosiator lunak

akan memberi konsesi dan menggunakan ancaman. Di pihak lain

negosiator lunak akan memberikan konsesi untuk sekedar mencegah

konfrontasi dan bersikeras untuk mencapai kesepakatan. Proses

negosiasi seperti ini akan menguntungkan pihak negosiator keras

serta menghasilkan kesepakatan yang berpola menang-kalah.96

Teknik negosiasi interest based (berdasarkan kepen-tingan).

Teknik ini merupakan jalan tengah yang ditawarkan atas pertentangan

antara teknik negosiasi lunak dan keras. Teknik ini dipilih karena

95
Jacqueline M. Nolan-Haley, Op.Cit., hlm. 21-22.
96
Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 50.

117
pemilihan teknik negoisasi keras berpeluang menemui kebuntuan

(dead lock) terlebih-lebih apabila bertemu dengan sesama negosiator

yang bersifat keras. Sedangkan teknik negosiasi lunak berpeluang

sebagai pihak yang kalah. Resiko lainnya adalah kesepakatan yang

dicapai (bila ada) bersifat semu, sehingga membuka peluang di mana

salah satu pihak dikemudian hari menyadari ketidak wajaran dalam

proses negosiasi dan tidak mau melaksanakan apa yang telah

disepakati dalam negosiasi.

Teknik negoisasi interest based memiliki empat kom-ponen

dasar yaitu; people (orang), interest (kepentingan), option/ solution

dan objective criteria (PIOC) yang dapat diuraikan sebagai berikut:97

Pertama, komponen orang, komponen ini di bagi menjadi tiga

landasan, yaitu pertama pisahkan antara orang dengan masalah;

kedua, konsentrasi serangan pada masalah, bukan orangnya dan

terakhir, para pihak harus menempatkan diri sebagai mitra kerja.

Kedua, komponen kepentingan (interest), memfokuskan pada

kepentingan mempertahankan posisi.

Ketiga, komponen pilihan (option), bermaksud pertama untuk

memperbesar bagian sebelum dibagi dengan memper-banyak pilihan

kesepakatan (solusi) yang mencerminkan kepen-tingan bersama;

97
Ibid.

118
kedua, jangan terpaku pada satu jawaban; dan ketiga, menghindari

pola pikir bahwa pemecahan masalah mereka adalah urusan mereka.

Keempat, komponen kriteria, mencakup kesepakatan kriteria,

standar objektif dan independen, pemecahan masalah, bernilai pasar

(market value), preseden berdasarkan perkem-bangan ilmiah

(scientific judgement), standar profesi, berstandar pada hukum dan

kebiasaan dalam masyarakat.

2. Mediasi.

Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak

yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan sengketanya,

akan menggunakan jasa pihak ketiga yang ber-sikap netral untuk

membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti

proses ajudikasi di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap

fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil. Dalam mediasi,

pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dalam

menerapkan nilai-nilainya terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil

akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan

agama, moral dan masalah-masalah etik.

119
Gary H. Barnes dkk., mendefenisikan mediasi sebagai

berikut:98

“Mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan


bantuan pihak netral. Peranan pihak netral adalah melibatkan diri
untuk membantu para pihak, baik secara pribadi atau kolektif,
untuk mengindentifikasi masalah-masalah yang dipersengketakan
dan untuk mengembangkan proposal-proposal lebih lanjut untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Tidak seperti arbitrase,
mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutus setiap
sengketa, melainkan mediator dapat mengikuti pertemuan-
pertemuan rahasia dan pembahasan khusus bersama dengan
pihak-pihak yang bertikai”.

Di samping itu, ada yang mendefinisikan; “Mediasi adalah

suatu proses di mana pihak netral yang telah disepakati oleh pihak-

pihak yang bersengketa, bertindak sebagai seorang fasilitator bagi

kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai

solusi yang saling menguntungkan”.99

Penggunaan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bukan

merupakan fenomena baru. Di Amerika Serikat kelompok imigran

Quaker, Cina dan Jahudi mula-mula lebih cendrung menerapkan

model-model mediasinya ketimbang mengikuti sistem peradilan

98
Manchester Open Learning, Mengendalikan Konflik dan Negosiasi, (Terj.
Amitya Kumara Soeharso), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 123.
99
Alternative Dispute Resolution (ADR), http;/www.fmladr.com/
services.htm.Available, diakses pada tanggal 20 Juni 2000.

120
Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan mediasi

sejak dikeluarkannya Arbitration Act 1888.100

Perkembangan sangat pesat, di mana pada tahun 1986

jaringan umum mediasi telah mencapai 220 Public Mediation Centers

yang beroprasi di seluruh empat puluh negara bagian di AS, melayani

penyelesain sengketa masyarakat Amerika baik sengketa besar

maupun kecil. Sengketa yang diselesaikannya meliputi sengketa

bisnis, pertanahan, tenaga kerja, suami-isteri, antar tetangga, dan

lain-lain.101

Ada berbagai teknik atau pola mediasi yang berbeda, akan

tetapi dua di antara teknik tersebut yang paling umum adalah teknik

fasilitatif dan evaluatif. Perbedaan utama di antara keduanya adalah

bahwa dalam teknik evaluatif, mediator jauh lebih terlibat secara aktif

dalam menyelesaikan sengketa. Mediator akan memberikan saran-

saran tentang cara menye-lesaikan sengketa dan akan selalu

mengevaluasi sengketa bagi kepentingan pihak-pihak. Sedangkan

dalam model fasilitatif, mediator akan mengkonsentrasikan diri di

dalam mengupayakan komunikasi di antara pihak yang satu dengan

100
Jacqueline M. Nolan-Haley, OpCit., hlm. 54-55.
101
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 190-191.

121
pihak lainnya untuk memunculkan solusi bagi sengketa yang mereka

hadapi.

Mediasi itu sendiri adalah meliputi orang dan interaksi di mana

orang-orang tersebut. Seperti kebanyakan bidang atau aspek yang

melibatkan orang, tidak ada cara satu-satunya yang terbaik untuk

melakukan hal-hal atau untuk mendapatkan hasil. Sebab selama ada

pola managemen yang efektif dan berbeda, selama itu pula ada pola

mediasi yang efektif dan berbeda. Namun demikian tidak ada mediasi

yang dapat menjadi efektif tanpa aspek-aspek berikut ini:102

Pertama, keberadaan perwakilan pihak-pihak dengan otoritas

untuk menegosiasikan suatu penyelesaian sengketa; Kedua,

keinginan pihak-pihak untuk mendapatkan solusi di luar pengadilan.

Adakalanya, hanya satu pihak yang setuju dengan mediasi yang telah

ditetapkan, dan harus menjual keuntungan mediasi kepada pihak

lainnya. Dalam berbagai sengketa lembaga mediasi netral harus

berada dalam posisi terbaiknya untuk meyakinkan pihak-pihak bahwa

mediasi memberikan mamfaat.

Penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa bisa

di dasarkan pada kesepakatan para pihak ketika terjadi sengketa.

102
Richard Hill, Non Adversarial Mediation, http:/www.Batnetcom/
oikoumene/arbmed3. Html. Available, diakses pada tanggal 3 Juni 2000.

122
Bisa juga telah diperjanjikan sebelumnya (klausula mediasi). Bahkan

mungkin juga bersifat memaksa, karena sudah ditentukan dengan

tegas dalam suatu ketentuan undang-undang. Selanjutnya pada

bagian lain disebutkan pula bahwa salah satu cara untuk mencapai

mufakat adalah melalui mediasi. Tetapi dengan syarat harus atas

dasar permintaan salah satu atau kedua belah pihak yang

bersengketa.103

3. Konsiliasi.

Hanry Campbell Black mengemukakan; “Conciliation the

adjustment and settlement of a dispute in a friendly, un antagonistic

manner”.104 Di sini, secara sederhana Black meng-artikan konsiliasi

sebagai proses penyelesaian sengketa dengan cara ramah tamah

(perdamaian) dan tidak bermusuhan.

Suatu defenisi memberikan gambaran yang lebih jelas

mengenai konsiliasi, menyebutkan:

“Conciliation is a term given to the process whereby conflicts:


between parties are resolved without formal dispute resolution
process. The netral party gathers information regarding the
issue(sengketa) in dispute and deals with any procedural matter. If
a case cannot be resolved via conciliation, the netral party

103
Lihat Pasal 66 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997.
104
Henry Campbell Black, Op.Cit, hlm. 200.

123
explores what remain to be done prior to any other form of
alternative dispute resolution. 105

Dengan demikian konsiliasi juga merupakan cara penyelesaian

sengketa yang melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para

pihak yang bersengketa mengakhiri sengketa mereka dengan

kesepakatan damai. Perbedaannya dengan mediasi terletak pada

peran yang dimainkan pihak ketiga yang melibat-kan diri di dalam

proses penyelesaian sengketa alternatif itu.

Dalam proses konsiliasi pihak ketiga netral bertindak sebagai

konsiliator memainkan peran yang pasif yang biasanya terbatas pada

fungsi prosedural saja, sedangkan mediator mempunyai peran yang

aktif.106

Negara-negara yang telah mengembangkan konsiliasi sebagai

salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif antara lain,

Amerika Serikat, Jepang, Korea, Australia dan Cina.

Di Jepang konsiliasi atau chotei sebagai penyelesaian

sengketa alternatif sudah dikenal sejak jaman Tokugawa dan dewasa

105
The New York State Dispute Resolution Association Inc. What is
Alternative Dispute Resolution (ADR)? http://www.nydra.org/sdr.html. Available,
diakses pada tanggal 30 Mei 2000.
106
Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 104.

124
ini sudah dituangkan dalam hukum positif Jepang yaitu Minji Chotei

Ho (Undang-undang Konsiliasi Perdata) tahun 1951.107

Model konsiliasi yang berkembang di Amerika Serikat agak

berbeda dengan yang dipraktekkan di Jepang, Korea Selatan. Sistem

konsiliasi Amerika Serikat merupakan tahab awal dari proses mediasi,

dengan acuan penerapan, apabila ter-hadap seseorang diajukan

proses mediasi, dan tuntutan yang diajukan claimant dapat

diterimanya dalam kedudukannya sebagai respondent tanpa

melanjutkan pembicaraan, karena pihak respondent dengan kemauan

baik (good will) bersedia menerima apa dikemukakan pihak claimant.

Cara penyelesaian dengan good will yang demikian disebut

conciliation winning over by good will (kemenangan diperoleh dengan

kemauan baik).

Biasanya responden untuk memenuhi tuntutan secara good will

adalah karena dia sendiri mengerti dan menyadari sejauhmana

seriusnya persoalan yang disengketakan, sehingga dianggapnya

layak untuk memenuhi permintaan. Di samping itu responden juga

tidak ingin permasalahan itu dicampuri pihak ketiga.

107
Hideo Tanaka (Ed.), The Japan Legal Sistem, Uversity of Tokyo Press,
Tokyo, 1988, hlm. 492-500. Lihat juga Erman Rajagukguk, Op.Cit., hlm. 111-112.

125
Lain halnya dengan konsiliasi yang dikembangkan di Jepang

dan Korea. Di Korea menurut Article 53 The Commercial Arbitration,

Rule dari The Korean Commercial Arbitration Boord (KCAB) diatur

suatu sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, arbitrase. Sistem

koneksitas antara tiga jenis penyelesaian sengketa alternatif tersebut

dengan cara menempatkan kon-siliasi di tengah. Artinya jika proses

mediasi mengalami jalan buntu akan dilanjutkan dengan konsiliasi

dan jika proses konsiliasi mengalami kegagalan, maka penyelesaian

sengketa dilanjutkan dengan arbitrase.108

Di Jepang, konsiliasi dikoneksikan dengan pengadilan. Proses

konsiliasi menurut undang-undang konsiliasi Perdata Jepang adalah

pihak yang ingin menempuh konsiliasi, men-daftarkan proposalnya

dan membayar sedikit biaya. Konsiliasi kemudian dilakukan oleh

pengadilan melalui komite konsiliasi, terdiri dari hakim yang ditunjuk

oleh pengadilan, dan dua atau lebih konsiliator yang diangkat oleh

pengadilan, diambil dari daftar konsiliator yang dibuat setiap tahun

oleh pengadilan. Hakim dapat menunjuk pula konsiliator sebagai

pengganti dirinya. Hakim sendiri bisa menjadi konsiliator tunggal

apabila para pihak berpendapat tidak memerlukan komite konsiliator.

108
M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 201-202.

126
Konsiliasi berlangsung dalam beberapa kali dan dapat

menahan waktu beberapa bulan. Sidang konsiliasi biasanya

dilangsungkan dalam ruangan kecil di pengadilan. Para pihak dan

konsiliator bertemu dalam suasana informal namun tertutup untuk

umum. Negosiasi yang dilakukan di depan komite konsiliasi dapat

menelorkan berbagai hasil, antara lain dicapai-nya kesepakatan.

Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis, salinannya diberikan

kepada para pihak dan satu salinan untuk arsip pengadilan.

Penyelesaian sengketa menjadi efektif seperti sebuah keputusan

hakim, bila tidak ada sanggahan dalam dua minggu. Jika tidak ada

kemungkinan untuk mencapai kesepakat-an proses konsiliasi diakhiri

dan para pihak dapat mengajukan gugatan biasa ke pengadilan.109

Di Australia konsiliasi lebih banyak dikaitkan dengan fungsi

administrasi negara dan tata usaha negara. Dalam upaya

penyelesaian sengketa konsiliator tidak mesti mengadakan

pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak dalam suatu

tempat, tapi bisa dilahirkan shuttle negotiation antara para pihak dan

putusan yang diambil menjadi resolusi yang dapat dipaksakan kepada

kedua belah bihak.110

109
Erman Rajagukguk, Loc.Cit.
110
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 218.

127
Di Cina konsiliasi adalah merupakan cara yang lebih disukai

dan sebagai kelanjutannya konsiliasi hampir selalu dilaksanakan

sebagai tahap penilai bagi penyelesaian sengketa bahkan para hakim

selalu mengarahkan pihak-pihak bernego-siasi.111

Konsiliasi tidak hanya berkembang di beberapa negara karena

secara internasional lembaga ini juga sering diperguna-kan para pihak

sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa yang bersifat

internasional.

Dalam penyelesaian sengketa internasional istilah kon-siliasi

diartikan sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan sengketa

internasional mengenai keadaan apapun di mana komisi yang

dibentuk oleh pihak-pihak, bik yang bersifat tetap atau adhoc untuk

menangani suatu sengketa, berada pada tahab pemeriksaan yang

tidak memihak atas sengketa tersebut dan berusaha untuk

menentukan batas penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak

atau memberi pihak-pihak pandangan untuk penyelesaiannya, seperti

bantuan yang mereka minta.

Sifat yang melekat pada cara ini segera tampak. Bila mediasi

pada dasarnya merupakan eksistensi negosiasi, maka konsiliasi atau

pemufakatan melibatkan campur tangan pihak ketiga pada footing

111
http:/www.hg.org/1354.txt, Loc.Cit.

128
hukum formal dan mewujudkannya ke dalam cara-cara yang dapat

dipertimbangkan, tapi tidak indentik dengan penyidikan atau

arbitrase.112

Timbulnya konsiliasi dalam penyelesaian sengketa inter-

nasional pada mulanya diatur dalam perjanjian antara Swedia dan

Chili pada tahun 1920, kemudian tahun 1921 konsiliasi dan arbitrase

ditetapkan sebagai penyelesaian sengketa alternatif dalam suatu

perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss.113

4. Minitrial.

Minitrial merupakan bentuk penyelesaian sengketa alter-natif

yang baru muncul pada tahun 1977,114 namun sangat populer dalam

masyarakat Amerika. Bentuk ini dianggap pilihan yang paling efektif

dan efisien menyelesaikan sengketa bisnis. Minitrial ditegakkan di

atas landasan filosifis dan etika saling mau dan bersedia

mendengarkan dan menerima segala kebaik-an dan keburukan

masing-masing pihak. Dianggap tidak etis untuk mempertahankan

kebaikan sendiri tanpa mengakui kekurangan yang ada pada dirinya.

112
J.G. Merrills, Internasional Dispute Settlement, Sweet & Maxwell,
London, 1984, hlm. 52.
113
Ibid., hlm. 53.
114
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 205.

129
Tidak etis hanya menyerang kejelekan orang lain, tapi harus mampu

menerima dan memuji kebaikan pihak lain.

Berpijak dari landasan etik tersebut, membuat para pihak yang

bersengketa mencoba menjamin komunikasi yang akrab, dan duduk

bersama saling mendengarkan segala keunggulan dan kekurangan

masing-masing pihak. Setelah itu mereka ber-bincang apakah tidak

mungkin dicari penyelesaian yang tepat.115

Proses minitrial terdiri dari lima tahap, yaitu:116

a. Persetujuan minitrial (Agreement in use minitrial), artinya para

pihak sepakat menyerahkan penyelesaian sengketa melalui

lembaga minitrial. Kespakatan ini bisa lisan (oral) dan bisa tertulis

(in writing), di dalamnya dirumuskan cara dan tenggang waktu

pentahapan penyelesaian.

b. Persiapan kasus (case preparation), dalam tahap ini para pihak

diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang

dianggap penting untuk diajukan sehubungan dengan sengketa.

Jangka waktunya biasanya dibatasi antara satu hingga dua

minggu.

115
Ibid.
116
Ibid., hlm. 206-207.

130
c. Mendengar keterangan (information learning), untuk itu dibuka dan

dimulai proses minitrial dalam suatu pertemuan tertutup di antara

pihak-pihak yang dihadapi oleh para top manajer dan eksekutif

para pihak, serta disampaikan didepan advisor yang mereka

tunjuk, kedudukan dan fungsi advisor, bukan sebagai hukum, yang

berwenang mengambil putusan, tapi hanya berperan sebagai

pihak ketiga yang netral, membimbing jalannya penyampaian

keterangan yang disam-paikan dalam minitrial bersifat rahasia

(confidental).

d. Advisor memberi pendapat (Advisor given opinion), kepada

eksekutif kedua belah pihak, tidak boleh dihadiri oleh top manajer

dan pengacara. Pendapat yang diberikan berisi penjelasan

tentang kekuatan, keburukan, dan kelemahan masing-masing

pihak dan bagaimana mestinya hakim menyelesaikan sengketa

sekiranya kasus itu diajukan ke pengadilan.

e. Mendiskusikan penyelesaian (discuss settlement), eksekutif kedua

belah pihak mengadakan pertemuan tanpa dihadiri oleh advisor,

karena sejak dia memberikan pandapat peran dan fungsinya

berakhir dengan sendirinya. Pertemuan ter-sebut mendiskusikan

penyelesaian sengketa berdasarkan informasi yang disampaikan

masing-masing pihak dikaitkan dengan opini yang dikemukakan

131
advisor. Tercapai atau tidaknya kesepakatan penyelesaian

sengketa sepenuhnya diserahkan kepada kehendak dan kemauan

para eksekutif yang bersangkutan.

Dengan demikian peranan advisor dalam proses minitrial hampir

sama dengan peran mediator dan konsiliator.

Untuk berhasilnya suatu minitrial sangat dipengaruhi oleh

kemampuan advisor menyusun suatu opini hukum (legal opinion) dari

keterangan para pihak, sehingga dapat menggugah perasaan para

pihak kearah penyelesaian yang kompromistis.

5. Summary Jury Trial.

Summary Jury Trial merupakan bentuk penyelesaian sengketa

alternatif yang juga baru dikembangkan di Amerika. Bentuk ini mirip

dengan minitrial, itu sebabnya Douglas Whitman mengatakan;117 The

summary jury trial is the jury equivalent of a minitrial.

Prosedur summary jury trial menggunakan juri untuk

memberikan nasehat bagi pihak-pihak yang sedang berseng-keta.

Juri akan mendengarkan presentase ringkas yang diberi-kan setiap

pihak dalam jangka waktu singkat mengenai kasus mereka. Jumlah

saksi dibatasi dan juga waktu yang diberikan bagi pengacara di dalam

memberikan argumen-argumennya. Para juri akan bertindak

117
Ibid., hlm. 208.

132
independent setelah kedua belah pihak mempresentasekan

kasusnya. Selanjutnya juri akan mengeluar-kan keputusan.

Summary jury trial seperti arbitrase, dapat bersifat mengikat

atau tidak mengikat. Keuntungan summary jury trial ini dibandingkan

dengan pengadilan adalah bahwa summary jury trial dapat dilakukan

dalam satu hari dan tidak memakan waktu yang lama. Keuntungan

lainnya adalah fleksibilitas yang diberikan.118

C. Alternative Dispute Resolution di Beberapa Negara di Dunia

1. Amerika Serikat.119

Thomas J. Harron berkta bahwa masyarakat Amerika Serikat

sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan

peradilan). Mereka tidak puas atas sistem per-adilan (dissatisfied with

the judicial sistem). Karena cara penye-lesaian sengketa yang

melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent

in a sistem) dengan cara-cara yang sangat merugikan. Bertitik tolak

dari kenyataan ini, maka mereka mencipta Alternative Dispute

Resolution (ADR) sebagai pilihan. Litigasi ditempatkan sebagai the

118
Alternative Dispute Resolution (ADR), http:/www.fmladr.com/
services.htm., Loc.Cit.
119
Diringkas dari M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 186-210.

133
last resort (upaya akhir). ADR ditempatkan sebagai the first resort

(upaya utama).

Bentuk-bentuk ADR yang digemari dan populer di Amerika

Serikat, antara lain:

a. Arbitrase.

Di Amerika Serikat, pusat arbitrase institusional yang

berwawasan nasional adalah America Arbitration Association (AAA).

Lembaga America Arbitration Association (AAA) ini didirikan pada

tahun 1926, dengan sifatnya non-profit dan non-government. Kantor

yang dimilikinya sebanyak 32 (tiga puluh dua) kantor regional

(regional office) yang terdapat di kota-kota utama Amerika Serikat.

Cara penyelesaiannya didasarkan pada klausula arbitrase dan

putusannya bersifat final dan binding. Adapun lama penyelesaian

rata-rata sekitar 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan. Setiap tahun rata-rata

45.000 (empat puluh lima ribu) kasus diselesaikan dari rata-rata

53.000 (lima puluh tiga ribu) kasus yang diterima.

b. Compulsory arbitration sistem.

Sistem ini disebut juga the court annexed arbitration, yakni

sistem penyelesaian sengketa yang memadu secara koneksitas

(connected) antara pengadilan dan arbitrase. Ber-hubung sifat

134
koneksitasnya bersifat memaksa (imperatif), maka sistem ini

dinamakan pula ”compulsory arbitration is creat annexed with

arbitration”. Proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan

sistem ini berdasarkan pada yurisdiksinya, yakni terbatas small claim

(perkara kecil), terbatas $ 10.000 (sepuluh ribu dolar) (gugat yang

seperti ini tunduk secara otomatis kepada sistem ini) yang diterima

oleh pengadilan, kemudian dilimpahkan kepada panel arbitrase untuk

diselesaikan. Jika para pihak dapat menerima putusan arbitrase,

putusan tersebut dikukuhkan pengadilan. Namun, jika sebaliknya

tidak mereka terima, maka sengketa itu diperiksa dan diputus

pengadilan. Ini berarti putusan arbitrase tidak bersifat final dan

binding, bahwa putusan yang diambil arbitrase tidak mutlak mengikat

para pihak dan pengadilan juga.

c. Mediation.

Mediasi sudah ada dalam budaya penduduk asli Amerika

Serikat selama beratus-ratus tahun.120 Penyelesaian sengketa melalui

mediasi telah lama dan mempunyai sejarah yang panjang di Amerika

Serikat. Pendekatan menengahi (mediate) terhadap sengketa telah

120
Robert D. Garret, “Mediation in Native American”, Dispute Resolution
Journal, America, March 1994, hlm. 39.

135
dikenal oleh penduduk asli Amerika (Indian) dan para pendatang. 121

Di dalam budaya penduduk asli Amerika, menjaga perdamaian adalah

metode pemecahan masalah yang utama. Budaya mengutamakan

konsensus masyarakat agar pendekatan saling berlawanan secara

individual pada konflik, dijadikan sebagai dasar untuk peng-gunaan

mediasi dan cara-cara penyelesaian sengketa informal. Sebagaimana

yang dikatakan hakim Tom Tso, seorang pakar hukum kebiasaan

penduduk asli Amerika bahwa ”metode-metode peradilan orang

Indian sebagian besar berdasarkan hubungan-hubungan

keseimbangan dan penggunaan konsen-sus untuk memutuskan

sengketa-sengketa”.122

Pada awal abad kedua puluh, mediasi telah dilembaga-kan

secara formal dan dikembangkan menjadi profesi yang diakui. Di

Amerika Serikat, mediasi pertama kali dilembagakan secara formal

dalam bidang hubungan buruh, pimpinan per-usahaan.123 Pada tahun

1913, Kongres Amerika membentuk Departemen Tenaga Kerja dan

121
Kimberlee Kovach, Mediation Principil and Practice, West Publishing
Co., St. Paul Minnesota, 1994, hlm. 19. Lihat juga Christopher W. Moore, The
Mediation Process Practical Strategies for Resolving Confict, Jossey-Bass
Publishers, San Francisco, 1986, hlm. 20.
122
Tom Tso, Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo National
Code of Judical Conduct, Judicaturel, London, 2000, hlm. 25, sebagaimana dikutip
Robert D. Garret, Loc.Cit.
123
Lihat Kimberlee Kovach, Op.Cit., hlm. 20. Lihat juga Christopher W.
Moore, Op.Cit., hlm. 21.

136
menetapkan bahwa Sekretaris Departemen bertindak sebagai

mediator. Mediasi digunakan agar sengketa dapat diselesaikan

dengan cepat, menghindari pemogokan. Karena perkembangan

bidang hubungan perburuh-an yang pesat, Kongres pada tahun 1947

membentuk Pelayanan Mediasi dan Konsiliasi Federal (The Federal

Mediation and Conciliation Service). FMCS adalah suatu badan

federal yang independen, yang mempunyai yurisdiksi atas sengketa-

sengketa di dalam industri-industri yang berkaitan dengan

perdagangan antara negara bagian, fasilitas-fasilitas non-profit privat

dan badan-badan pemerintahan federal.124 Badan ini masih aktif

sampai sekarang, yang memfokuskan pada mediasi dalam sengketa-

sengketa perburuhan.

Penggunaan mediasi oleh pemerintah federal dalam sengketa-

sengketa perubahan telah menjadi suatu model bagi banyak negara

bagian. Sejumlah negara bagian telah mengesahkan undang-undang,

membuat peraturan-peraturan, dan melatih calon mediator untuk

menangani konflik perburuhan antar negara bagian.

Mediasi yang disponsori oleh pemerintah, tidak hanya terbatas

pada soal-soal hubungan perburuhan saja, tetapi juga mencakup

soal-soal hak-hak sipil warga pada tahun 1964, Kongres

124
Kimberlee Kovach, Op.Cit. hlm. 26.

137
mengesahkan Undang-undang Hak-hak Sipil tahun 1964 (The Civil

Rights Act of 1964) dan membentuk Pelayanan Hubungan-hubungan

Kemasyarakatan (The Community Relations Service) yang bernaung

di bawah Departemen Kehakiman. Badan ini diberi kewenangan

untuk membantu ”kelompok dan perorangan” pada penyelesaian

sengketa, ketidaksetujuan, atau kesulitan-kesulitan yang

berhubungan dengan praktek-praktek diskriminasi berdasarkan pada

ras, warna kulit, atau asal kebangsaan. Badan ini membantu

masyarakat dalam penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan

mediasi dari pada membiarkan mereka menggunakan kekerasan atau

sistem judisial.

Sejak pertengahan tahun 1960-an, mediasi telah tumbuh

secara signifikan sebagai suatu pendekatan formal dan secara luas

dipraktekkan untuk penyelesaian sengketa. Dalam sektor masyarakat

(community sektor), pemerintah federal membiayai Pusat Peradilan

Lingkungan (Neighborhood Justice Centers) yang menyediakan

pelayanan mediasi secara cuma-cuma atau biaya murah kepada

umum untuk menyelesaikan sengketa secara efektif, tidak mahal, dan

informal.

Pada tahun 1970, suatu usaha inovasi untuk mengurangi

beban sistem peradilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan

138
Lembaga Kehakiman Nasional dengan mengadakan suatu percobaan

di tiga kota di Amerika, yaitu Atlanta, Kansan City, dan Los Angeles.

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menjawab pertanyaan;

dapatkah sengketa yang melibatkan penduduk biasa berhasil

diselesaikan melalui mediasi sebagai suatu alternatif dan litigasi

tradisional. Percobaan dengan melibatkan pusat-pusat mediasi lokal

tersebut berhasil dengan baik.125

Dalam perkembangan selanjutnya, pusat-pusat peradilan

lingkungan ini berkembang, dan tidak hanya menangani perkara-

perkara ringan. Pusat-pusat ini kemudian berkembang menjadi Pusat-

pusat Penyelesaian Sengketa (Dispute Resolution Centers). Setidak-

tidaknya satu negara mempunyai satu pusat penyelesaian

sengketa.126

Pada tahun 1980 Kongres mengusulkan the Dispute

Revolution Act untuk membantu lebih banyak lagi masyarakat lokal

mendirikan pusat-pusat mediasi. Undang-undang ini ditandatangani

oleh Presiden Jimmy Canter pada tanggal 12 Februari 1980,

bertepatan dengan hari kelahiran Abraham Lincoln.127 Dan pada saat

125
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc Graw Hill publishing
Company, New York, 1989, hlm. 5-6.
126
Ibid., hlm. 22.
127
Ibid., hlm. 7.

139
ini terdapat 220 pusat mediasi publik yang beroperasi di 40 negara

bagian.128

Perkembangan yang paling cepat, terjadi pada peng-gunaan

mediasi dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang berhubungan

dengan masalah keluarga. Sistem peradilan dan praktisi-praktisi privat

menyediakan mediasi kepada keluarga-keluarga dalam perwalian

anak dan proses perceraian, sengketa antara orang tua dan anak-

anak, dan pengakhiran hak-hak orang tua, sengketa-sengketa suami

istri. Beberapa jurisdiksi, masyarakat perceraian suami istri untuk

mencoba mediasi sebelum ke pengadilan.129

Mediasi juga digunakan di dalam dan antara organisasi-

organisasi untuk menangani sengketa-sengketa antar personil dan

kelembagaan. Mediasi di sini, mencakup mulai dari mediasi sengketa-

sengketa pribadi orang per orang, mengelola problem di antara mitra-

mitra, konflik-konflik antar bagian, dan perselisih-an antar

perusahaan.

Mediasi juga digunakan pada bermacam-macam seng-keta

yang lebih besar, seperti persoalan lingkungan dan kebijak-sanaan

politik (public policy). Sengketa atas lokasi pembangkit listrik,


128
Ibid., hlm. 8.
129
Linda R. Singer, Setting Disputes Comflict Resolution In Business,
Families and The Legal Sistem, Second Edition, West View Press, Boulder, 1994,
hlm. 9.

140
konstruksi dan atau bendungan, dan pemakaian tanah, telah banyak

berhasil diselesaikan melalui mediasi.

Mediasi juga diterapkan dalam konflik-konflik antara pemilik

tanah dan penyewa, kasus-kasus kecelakaan, dan sengketa-sengketa

konsumen. Mediasi ini semakin berkembang sebagai salah satu ADR

setelah disahkannya The Civil Justice Reform Act 1990. Undang-

undangan ini mensyaratkan semua peradilan distrik federal untuk

membentuk komisi-komisi pena-sehat untuk memikirkan cara-cara

pengurangan biaya dan penundaan litigasi-litigasi perdata (civil

litigation). Peraturan ini secara khusus memerintahkan setiap komisi

untuk memikirkan penggunaan ADR untuk mengurangi biaya dan

penundaan. Sebagai hasil dari kerja komisi ini, banyak (kalau bukan

semua) peradilan federal mengadakan program-program mediasi,

arbitrase, atau evaluasi awal pihak netral, kebanyakan diantara-nya

adalah wajib, untuk membantu pihak-pihak yang berpekara

menyelesaikan kasusnya lebih cepat, dan lebih murah.

Selain bidang-bidang yang telah disebutkan di atas, sengketa

khusus yang banyak di bawa ke mediasi adalah sengketa bisnis.130

Dari waktu ke waktu, masyarakat bisnis cenderung mencari

penyelesaian sengketa melalui sistem ADR. Mediasi dianggap

130
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 192.

141
sebagai salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bemtuk ADR

yang ada.

Jenis sengketa bisnis yang sudah umum diselesaikan melalui

mediasi di Amerika Serikat, adalah:131

1) Sengketa kontrak (contract dispute).

2) Pengaduan konsumen (consumer complaints).

3) Pengaduan menderita luka (personal injury complaints).

4) Tuntutan pertanggungjawaban produk (product liability

complaints).

5) Sengketa konstruksi (construction dispute).

6) Sengketa yang timbul dari merjer dan akuisisi.

7) Sengkete antara majikan dan karyawan.

8) Sengketa antar pekerja (disputes between employees).

9) Sengketa antara mitra usaha.

10) Sengketa antara anggota keluarga di dalam bisnis keluarga.

Banyak sengketa bisnis sebagaimana disebut di atas berhasil

diselesaikan melalui mediasi. Untuk menggambarkan mediasi sebagai

salah satu alternatif terbaik dalam penyelesaian sengketa bisnis,

tahun 1985 sebuah buku panduan untuk eksekutif-eksekutif

perusahaan mengenai sengketa-sengketa hukum menyebut mediasi

131
Peter Lovenheim, Op.Cit., hlm. 176.

142
sebagai ”the Steeping Giant”.132 Sejak saat ini raksasa tersebut telah

bangun, dan penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa

antara perusahaan-perusahaan telah meningkat jumlahnya.

Karena fleksibilitasnya, mediasi dapat menyesuaikan diri pada

sengketa-sengketa bisnis untuk semua tingkatan, besar maupun kecil,

dan yang bersifat kompleks. Mengenai keber-hasilan mediasi sebagai

penyelesaian sengketa bisnis dalam waktu yang singkat, dapat

dikemukakan satu contoh kasus yang terjadi di Washington, D.C.

Kasus ini mengenai real estate yang bernilai miliaran rupiah. Kasus ini

melibatkan real estate komersial, persekutuan pembangunan real

estate, asosiasi penyewa, penjamin, dan bank, serta penasehat

hukum dari setiap pihak. Satu bulan sebelum pemeriksaan perkara di

pengadilan, hakim meminta para pihak dan penasehat hukum

masing-masing untuk bertemu dengan Michael Lewis, seorang

mediator yang sudah berpengalaman hanya melalui lima kali

pertemuan dan beberapa kali telpon, kasus tersebut dapat

diselesaikan dan menghasilkan persetujuan (agreement).133

Karena menyadari efektivitas mediasi dalam penyelesaian

sengketa bisnis, beberapa pengadilan telah memulai menemu-kan

132
Linda R. Singer, Op.Cit., hlm. 70.
133
Untuk jelasnya proses penyelesaian kasus ini lihat Linda R. Singer. Ibid.,
hlm. 71.

143
potensi mediasi untuk penyelesaian semgketa-sengketa bisnis yang

kompleks. Di Chicago, misalnya Hakim Marvin E. Aspen (seorang

hakim pengadilan distrik) telah menunjuk professor hukum dan

mediator Stephen Goldberg sebagai tenaga khusus, untuk maksud

mediasi kasus-kasus yang melibatkan dengan adanya kecurangan,

pelanggaran kontrak, anti trust, dan diskriminasi pekerjaan. Tuntutan

ganti kerugian rata-rata berkisar antara $ 250.000 sampai dengan $

30 juta. Menurut Goldberg, hakim tersebut memilih kasus-kasus

tersebut untuk diselesaikan melalui mediasi, karena kompleksitasnya

dan kemungkinan memerlukan persidangan yang lama, tetapi tampak

lebih mudah jika diselesaikan melalui metode penye-lesaian

(nonadversial).

Mediasi sebagai penyelesaian sengketa tidak hanya ber-

kembang di dalam peradilan. Penyelesaian sengketa bisnis melalui

mediasi juga dikembangkan oleh pelaku-pelaku bisnis. Suatu

kelompok perusahaan waralaba (franchise) telah mem-bentuk

Program Mediasi Waralaba Nasional (National Franchise Mediation

Program), suatu uji coba di dalam menyelesaikan sengketa antara

pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchise).

Program didesain dan dikelola oleh Pusat Sumber Daya Publik (the

Center for Public Resources) di New York, yang menawarkan suatu

144
proses penyelesaian sengketa secara bertingkat. Pada masa

sebelumnya, kebanyakan per-janjian waralaba hanya berisi klausul

arbitrase. Ide program ini adalah memungkinkan perusahaan-

perusahaan waralaba yang keberhasilannya tergantung pada usaha

mereka mempertahan-kan hubungan bisnis yang positif dan produktif

satu sama lain, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di antara

mereka melalui mediasi. Anggota pendiri dari program ini, termasuk di

dalamnya antara lain; Burger King, Dunkin’ Hardee’Sektor, Holiday

Inn Worlwide, Juffy Lube, Kentucky Fried Chiken, McDonald’s, Pizza

Hut, Southland, Taco Bell, dan Wendy’s.

Di samping berkembang dalam bisnis waralaba, mediasi juga

berkembang dalam industri makanan. Sepuluh perusahaan utama di

dalam industri makanan, termasuk General Mills, Kellag dan Rulstan

Purina, telah menandatangani suatu persetujuan untuk memediasi

sengketa-sengketa mereka jika terjadi sengketa dalam masalah

merek dagang, pengemasan, dan pemasaran. Selain itu, bisnis lain

yang juga mengembang-kan dan menggunakan mediasi adalah

asuransi. Beberapa perusahaan asuransi yang telah terbiasa dengan

arbitrase, telah mulai menggunakan mediasi hampir secara rutin.

Walau-pun mediasi tidak terdapat di dalam suatu kontrak, baik karena

mereka tidak memikirkannya atau karena mereka tidak mem-punyai

145
kontrak, beberapa perusahaan pengangkutan meminta pihak yang

dijaminnya dan pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka untuk

mencoba mediasi sebelum mereka meneruskannya ke pengadilan

atau arbitrase. Sebagai contoh, di dalam program perusahaan CIGNA

untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tuntutan dari pemegang

polis, perusahaan tersebut menekankan mediasi dengan keyakinan

bahwa mediasi memberikan para pihak kontrol atas proses

penyelesaian. Perusahaan-perusahaan asuransi perjanjian, sekarang

juga merekomendasikan mediasi untuk 80% dari tuntutan yang

dimasukkan terhadap apa yang dijaminnya.

Dewasa ini, mediasi digunakan secara rutin di dalam industri

konstruksi. Dalam usaha untuk mendapatkan lebih banyak sengketa-

sengketa konstruksi diselesaikan melalui mediasi, Lembaga Arsitek

Amerika (The American Institute of Architects), Dewan Penasehat

Insinyur Mesin Amerika (The American Consulting Engineers

Council), Masyarakat Insinyur Sipil Amerika (The American Society of

Civil Engineers), dan Komisi Pengadaan Nasional (The National

Realty Committe) bersama-sama memprakarsai suatu objek mediasi

percobaan dengan Pusat Penyelesaian Sngketa (Dispute Resolution

Center) di Washington, D.C. Maksud dari proyek ini adalah untuk

menguji, dengan menggunakan mediator-mediator yang ber-

146
pengalaman untuk menyelesaikan sengketa-sengketa konstruksi dan

untuk memelihara kelangsungan hubungan bisnis di antara pihak

yang bersengketa. Proyek ini berhasil menyelesaikan sengketa

konstruksi yang sudah berlangsung selama tiga tahun di pengadilan.

Keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam

bidang konstruksi, dengan cepat dan biaya yang lebih murah, secara

tidak langsung mengurangi porsi penyelesaian sengketa konstruksi

melalui arbitrase. Keluhan bahwa arbitrase adalah mahal, tidak dapat

diprediksikan, dan dimuati dengan berbagai ketentuan, menyebabkan

meningkatnya jumlah orang untuk berubah haluan dari arbitrase

kepada mediasi.

Berdasarkan sebuah artikel di Wall Street Journal, the

American Arbitration Association (AAA), menyebutkan telah

kehilangan jumlah yang besar dari perusahaan jasa yang

menawarkan mediasi. Sebagai contoh, jumlah sengketa konstruksi

yang ditangani oleh AAA turun dari 5.189 kasus pada tahun 1991

menjadi 4.387 pada tahun 1992, sementara pada tahun tersebut

sengketa konstruksi yang ditangani oleh per-usahaan mediasi profit

meningkat antara lima belas sampai dua puluh persen.134 Menyikapi

134
Untuk jelasnya proses penyelesaian kasus ini lihat Linda R. Singer. Ibid.,
hlm. 28.

147
peralihan dari arbitrase ke mediasi tersebut, AAA memperbesar

departemen mediasinya dan men-dorong kliennya untuk mencoba

mediasi sebelum mereka menyerahkan kepada arbitrase.

Mengenai kecendrungan pelaku bisnis Amerika Serikat untuk

menggunakan mediasi dari pada arbitrase tiga tahun belakangan ini,

dapat dikemukakan hasil survey yang dilakukan oleh Cornel

University, the Foundation for the Prevention and Early Resolution of

Conflict (PERC) dan Price Waterhouse LLP. Survey dilakukan

terhadap penasehat umum (general counsel), wakil penasehat

(dispute counsel), dan kepala litigasi (chief of litigator) dari 528

perusahaan besar di Amerika Serikat. Perusahaan yang paling kecil,

penjualannya lebih dari $ satu miliar.

Hasil survey yang dipersentasikan oleh Dekan Fakultas

Hubungan Industrial Perburuhan Universitas Cornell pada pertemuan

puncak ADR (the ADR Superconference), yang diadakan pada

tanggal 28-29 April 1997 di Washington, D.C., memperhatikan 88%

dari responden telah menggunakan mediasi selama tiga tahun

terakhir ini, sementara 79% telah menggunakan arbitrase. Studi

tersebut, sampai sekarang masih merupakan survey yang paling

komprehensif terhadap peng-gunaan ADR pada perusahaan-

perusahaan Amerika Serikat. Lebih lanjut studi ini memperlihatkan

148
bahwa 84% responden lebih menginginkan menggunakan mediasi di

masa yang akan datang, sedangkan kecenderungan untuk

menggunakan arbitrase di masa yang akan datang 69%.135 Menurut

studi tersebut 81% dari responden menyatakan bahwa perusahaan

mereka menggunakan mediasi karena mediasi menyediakan proses

yang lebih memuaskan dari pada litigasi, dan 66% menyatakan

mediasi menyediakan penyelesaian yang lebih memuaskan.136

Studi lain yang memperlihatkan keberhasilan mediasi sebagai

penyelesaian sengketa adalah studi yang dilakukan oleh Nortwestern

University. Studi ini menguji 449 kasus yang didaftarkan di lima

negara bagian melalui penyedia-penyedia jasa penyelesaian

sengketa, termasuk the American Arbitration Assosiation. Kasus-

kasus tersebut meliputi kontrak, konstruksi, kecelakaan (personel

injury), kerusakan property (property damage), lingkungan, dan

sengketa lainnya.

Studi tersebut memberikan mediasi nilai yang tinggi dalam hal

tingkat penyelesaian sengketanya, keseluruhan proses dengan biaya

rendah, dan kepuasan pihak-pihak yang terlibat. Hasil studi tersebut

memperlihatkan 78% rata-rata penyelesaian yang dicapai melalui


135
Lihat “Extensive Study Reveal Big Corporations Often Use ADR”, dalam
Dispute Resolution Journal American Arbitrase Association, Dispute Resolution
Journal, Vo. 52. No. 3, Summer, 1997, hlm. 7.
136
Ibid.

149
mediasi, dan pilihan yang kuat untuk menggunakan mediasi

dibandingkan prosedur ADR lainnya adalah 83%. Studi tersebut

memperlihatkan adanya alasan yang kuat untuk menggunakan

mediasi. Biaya yang dikeluarkan dalam mediasi signifikan lebih kecil

dibandingkan dengan arbitrase, mediasi juga signifikan lebih cepat

dari pada arbitrase, dan para pihak lebih luas dengan proses dan

hasilnya, pelaksanaan hasil, dan pengaruh prosedur para hubungan

para pihak.137

Studi ini juga menemukan bahwa jika prosedur ADR

disebutkan di dalam kontrak, 18% kasus ke mediasi, 72% ke

arbitrase. Jika para pihak dapat memilih sendiri prosedur ADR, 83%

memilih mediasi. Jika suatu pengadilan meminta atau seorang hakim

menganjurkan ADR, 92% mengakhiri di dalam mediasi.138

Semakin banyak pekara, secara khusus dalam bidang bisnis

yang diselesaikan melalui mediasi, makin banyak didirikan pusat-

pusat penyelesaian sengketa (baik yang berorientasi ke profit maupun

non-profit) serta perusahaan-perusahaan jasa mediasi. Beberapa

pusat dan perusahaan mediasi (mediasi firm) tersebut, selain yang

telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan antara lain; Center

137
Lihat “Mediation Get High Marks”, dalam Dispute Resolution Journal the
American Arbitration Association, Journal, American, 1997, hlm. 7.
138
Ibid., hlm. 15.

150
Dispute Resolution di Boulder, Jamsen Dispute di Seattle, Confluence

North West di Portlan Oregon, Community Dispute Resolution Center

di Ithaca, Society of Professional in Dispute Resolution di Washington

D.C., Better Business Bureaus, Inc. dan Virginia, the Mediation

Information and Resource Center, di Oregon, Dispute Resolution

Research Center di Northwetern, the United States Arbitration &

Mediation Inc., dan masih banyak yang lainnya.

Mediator telah muncul sebagai profesi baru yang sejajar

dengan profesi pengacara, akuntan, dan dokter. Dewasa ini juga

makin banyak pengacara dan penasehat hukum yang merang-kap

menjadi mediator. Namun, untuk memberikan hasil yang memuaskan,

seorang yang akan menjadi mediator harus ditunjang dengan

program-program pelatihan-pelatihan dan sertifikasi.

Sebagai contoh, sampai dengan Januari 1996, 7730 orang

telah menyelesaikan program pelatihan mediasi ber-sertifikat yang

diadakan oleh Mahkamah Agung Florida.139 Untuk mengakomodasi

keberadaan mediator-mediator profesional, di Amerika Serikat telah

lahir asosiasi mediator professional yaitu Society of Profesional in

Dispute Resolution (SPIDR).

139
URL: http://wwlia.org/adr2.htm, diakses tanggal 8 Februari 1997.

151
d. Conciliation.

Bentuk ADR lain yang berkembang di Amerika Serikat adalah

konsiliasi (conciliation). Model ini berkembang di Amerika Serikat

agak berbeda dengan dipraktekkan di Jepang atau di Korea Selatan.

Sistem kosiliasi ini merupakan tahap awal dari proses media dengan

acuan penerapan apabila terhadap seseorang diajukan proses

mediasi, dan tuntutan yang diajukan claimant (penggugat) dapat

diterimanya dalam kedudukan sebagai respondent (tergugat), maka

pada tahap yang demikian berarti telah diperoleh penyelesaian tanpa

melanjutkan pem-bicaraan, karena pihak respondent dengan

kemauan baik (good will) bersedia menerima apa yang dikemukakan

pihak claimant.

Adapun alasan respondent mau menerima tuntutam secara

good will ini disebabkan dia sendiri mengerti dan menyadari sejauh

mana seriusnya persoalan yang diseng-ketakan, sehingga

dianggapnya layak untuk memenuhi per-mintaan dan juga tidak ingin

permasalahan itu dicampuri pihak ketiga dengan penghargaan

penyelesaian akan lebih baik tercapai di antara kedua belah pihak.

Cara penyelesaian dengan good will ini disebut konsiliasi winning over

by good will (kemenangan diperoleh dengan kemauan baik).

152
Penyelesaian sengketa melalui proses media ini rata-rata antara 15-

20%.

e. Minitrial.

Minitrial merupakan suatu bentuk ADR yang baru muncul pada

tahun 1977, namun sangat popular dalam masyarakat bisnis Amerika

Serikat. Bentuk ini dianggap sebagai pilihan yang efektif dan efisien

menyelesaikan sengketa bisnis. Kemunculan-nya bermula dari kasus

sengketa antara TWR Inc. dengan Telecredit Inc. Sejak saat itu

banyak dinikmati sebagai wadah penyelesaian sengketa. Apabila para

pihak sepakat mencari penyelesaian minitrial, para pihak akan

menunjuk seorang neutral advisor (advisor netral), kemudian di

hadapan advisor ini para pihak yang bersengketa menggelar dan

mengajukan bukti-bukti yang mereka anggap penting. Setelah itu,

advisor memberi opinion kepada kedua belah pihak (gives the party

an opinion).

Pendapat yang diberikan tersebut berisi bagaimana cara

penyelesaian yang semestinya sengketa itu kalau diajukan ke

pengadilan. Perlu diingat pendapat advisor tidak mengikat

(nonbinding advisory), terserah kepada para pihak untuk

menyelesaikan sendiri persengketaan. Dalam menyelesaikan

153
sengketa, juga advisor akan mendiskusikannya dengan eksekutif

perusahaan, sehingga akan dicapai kesepakatan yang merupa-kan

kehendak dan kemauan para eksekutif kedua belah pihak.

f. Summary jury trial.

Selain itu, di Amerika Serikat sedang berkembang bentuk dan

sistem ADR lainnya, yaitu summary jury trial. Bentuk itu boleh

dikatakan mirip dan hampir sama dengan minitrial sistem dan proses

penyelesaiannya diawali dengan petunjukan bebe-rapa orang dalam

suatu grup yang akan bertindak sebagai juri oleh para pihak yang

bersengketa.

Pengacara yang mewakili kedua belah pihak menyam-paikan

kasus sengketanya dalam bentuk kapsul (capsulized form). Setelah

itu, pengacara kedua belah pihak menginstruksi-kan kepada juri untuk

mengambil putusan (verdict) dan putusan diambil berdasarkan

alasan-alasan yang dikemukakan pada penyampaian permasalahan

kasus. Namun, belakangan timbul kritik terhadap sistem Alternative

Dispute Resolution (ADR) ini. Ada yang berpendapat, kalau

pengacara salah satu pihak lemah atau beritikad buruk, hal itu

langsung membuat pihak pemberi kuasa berada dalam posisi yang

lemah.

154
g. Settelement conference.

Sistem ini mirip dengan penggarisan yang diatur dalam Pasal

131 HIR. Usaha perdamaian oleh hakim dikoneksitaskan dengan

proses peradilan. Namun, sistem dan penerapannya telah

dikembangkan dalam suatu proses yang membuat per-adilan Amerika

Serikat mengarah kepada mixed arbitration dengan cara hakim lebih

dulu memanggil para pihak dalam suatu proses yang disebut ”pretrial

conference” (konferensi pendahuluan pemeriksaan perkara).

Proses ini dibuka dan dilakukan sebelum berlangsung tahap

pemeriksaan perkara (replik-duplik). Dalam proses ini, hakim hadir

dalam kapasitas dan kewenangan sebagai hakim yang sebenarnya

seperti dalam proses litigasi, fungsinya hanya mendorong para pihak

mencari penyelesaian sendiri atau kalau para pihak setuju, hakim

tersebut dapat bertindak sebagai mediator.

2. Australia.140

140
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 214 – 221 dan Josi K.
Assegaf, “Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara:
Pelajaran Bagi Indonesia”. Makalah, disampaikan pada acara Sosialisasi Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, hlm. 6-7.

155
Ditinjau dari segi sejarah, ADR di Australia baru muncul

belakangan jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Korea

Selatan. Akan tetapi, perkembangan dan penataan sangat

mengejutkan. Dalam waktu singkat, ADR yang dimunculkan dari

benua ini dapat menandingi kemajuan yang dicapai negara lain.

Pengembangan ADR di Australia sudah hampir sampai pada

tahap konsolidasi. Diorganisir dan dikelola dalam suatu wadah yang

dinamakan dengan Center for Disputes Resolution yang didirikan

pada tahun 1988. organisasi ini bernaung di bawah University of

Technology Sydney dan bekerjasama dengan Faculty of Law and

Legal Practive and of Business. Untuk meningkatkan kualitas

kemampuan dalam rangka pengembangan profesionalisme ADR,

lembaga tersebut meng-adakan berbagai bentuk training dan kursus

mengenai penye-lesaian sengketa dan membuka strata master of

dispute resolution.

Adapun jangkauan bidang sengketa yang ditangani ADR

Australia, hampir meliputi semua kegiatan praktek bisnis. Jangkauan

kegiatan jasa yang diberikannya dalam penyelesaian sengketa atau

nasihat, meliputi bidang bisnis yang sangat luas, yaitu sengketa di

bidang kontrak (contract), commercial tort, sengketa financial,

sengketa di bidang media, sengketa penistaan (defamation),

156
enjinering dan konsyruksi, anti diskri-minasi, product liability,

environment law dan sengketa di bidang perdagangan (trade

practice).

Bentuk-bentuk ADR yang dikembangkan di Australia sebagai

berikut:

a. Arbitrase.

Semula dianggap pilihan satu-satunya, karena dianggap lebih

cepat dan murah dibandingkan melalui litigasi. Belakangan, peran dan

fungsinya dirasakan hampir sama dengan pengadilan karena terjadi

tendensi bahwa arbitrase cenderung berubah pola meniru sistem

litigasi yang formalistic, arbitrator cenderung menampilkan diri

sebagai hakim pribadi dan proses penye-lesaian semakin lambat,

ditambah dengan biaya mahal (waste of time and expensive).

b. Assisted negotiation.

Sistem dan bentuk ADR ini, meminta atau menunjuk pihak

ketiga yang akan bertindak sebagai ”coache”, yaitu wakil dalam

negosiasi, dengan ketentuan bantuan yang diberikan tidak diikat

dalam suatu bentuk formal. Tugas “coache” sebagai partisan untuk

menyalurkan pandangan pihak yang menunjuk-nya, terutama sebagai

asisten negosiasi dalam suatu sengketa, seorang teknis atau

157
professional. Karena bentuknya tanpa prosedur, cara penyelesaian

negosiasi sangat longgar dan sangat tergantung pada itikad baik

antara pihak coache dengan pihak lawan.

c. Court annexed to arbitration.

Sistem ini hampir sama dengan sistem Court Connected to

Arbitration yang dikembangkan di Amerika Serikat. Keduduk-an

arbitrase di sini hanya sebagai pretrial settlement (pra- peradilan).

Sengketa yang diajukan ke pengadilan, harus lebih dulu dilimpahkan

ke arbitrase untuk penyelesaian sengketanya.

Dalam fungsi yang demikian, maka putusannya bersifat

mandatory and nonbinding, artinya bila para pihak dapat

menerimanya, pengadilan akan mengukuhkannya sebagai

putusannya atau bila para pihak menolak, maka pengadilan yang

akan memeriksa kembali sengketa melalui proses litigasi.

d. Conciliation.

Pada prinsipnya bentuk ADR ini hampir sama dengan konsiliasi

yang terdapat di berbagai negara. Cuma di Australia, konsiliasi lebih

banyak dikaitkan dengan fungsi badan administrasi. Dalam upaya

penyelesaian sengketa konsiliator tidak mesti mengadakan

158
pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah pihak dalam suatu

tempat, tetapi bisa dilahirkan shuttle negotiation dan putusan yang

diambilnya menjadi resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua

belah pihak.

e. Direct negotiation.

Para pihak yang bersengketa langsung mengadakan negosiasi

di antara mereka tanpa ikut campur tangan pihak ketiga. Pelaksanaan

perundingan tanpa aturan formal dan karenanya perundingan

dilaksanakan langsung, terutama meng-andalkan pendekatan kultur.

f. Expert determination.

Penyelesaian sengketa melalui lembaga ini dilaksanakan

secara koneksitas dengan mediasi. Para pihak yang berseng-keta

menunjuk seorang ahli independen untuk menyelesaikan pokok

sengketa, yang memiliki fungsi dan kewenangan melaku-kan

investigasi sengketa, membuat laporan tertulis yang berisi nasihat

penyelesaian kepada para pihak. Bila para pihak dapat menerima

nasihat tersebut, mereka dapat menyelesaikan melalui mediasi atau

menyerahkan penyelesaian kepada ahli, sehingga penyelesaian yang

diambilnya mengikat kepada para pihak.

159
g. Fast track arbitration.

Bentuk ini dapat disebut proses penyelesaian cepat. Dalam

klausula arbitrase para pihak sepakat mengadakan pem-batasan

waktu penyelesaiannya serta disepakati pula tidak perlu menuruti

pembuktian yang formal dan teknis, tahap pengajuan claim dan

statement of claim dipersingkat, arbitrator cukup mendasarkan

putusan berdasarkan fakta dan putusan harus diambil sesudah

hearing selesai.

h. Independent expert appraisal.

Para pihak menunjuk seorang ahli independent yang diserahi

fungsi melakukan penyelidikan dan menganalisis per-sengketaan.

Untuk itu, seorang ahli independent dapat mengaju-kan pemeriksaan

dan pertanyaan kepada kedua belah pihak yang bersengketa.

Tujuan pokok ADR ini untuk menjernihkan masalah yang

disengketakan. Dari hasil penelitian, kemudian ahli menyampai-kan

opinion. Bila para pihak dapat menyetujuinya, hal itu diwujudkan

menjadi expert determination dan berbarengan dengan itu, expert

determination mengikat kepada para pihak.

160
i. Mediaton.

Pada prinsipnya lingkup mediasi yang dikembangkan di

Australia tidak jauh berbeda dengan mediasi yang dikembang-kan di

Amerika Serikat. Akan tetapi, bila dibandingkan, termasuk dengan

mediasi Jepang atau Korea, maka Australia mengatur sistem mediasi

yang berkoneksitas dengan pengadilan (mediation connected to the

court).

Meskipun ADR belum lama dikenal sebagai metode

penyelesaian sengketa di Australia, namun perkembangan ADR di

sana sangat pesat. Mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa

secara formal baru dikenal pada tahun 1975 ber-samaan dengan

berdirinya Family Court of Australia. Sejak saat itu, peradilan tersebut

telah menekankan penyelesaian sengketa melalui cara-cara selain

litigasi. Peradilan ini sesuatu didesain sebagai suatu peradilan

pembantu atau helping court yang memberikan fasilitas konseling

sebelum atau sesudah per-ceraian, membantu rekonsiliasi, dan untuk

mengurangi pen-deritaan dan kesulitan dari maslah-masalah yang

terjadi setelah perceraian.141

141
Lihat Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Disputes Resolution Industri
Australia, Butterworths, Sydney, 1992, hlm. 7.

161
Peradilan ini lebih menekankan pada konseling dan konsiliasi.

Penekanan ini kemudian diwujudkan dalam Family Law Act 1975,

yang tetap mempertahankan bahkan memperluas ketentuan-

ketentuan konseling dan konsiliasi. Peradilan tersebut selalu bekerja

dengan persetujuan organisasi konseling per-kawinan. Organisasi-

organisasi tersebut, membangun perhatian pada mediasi. Semangat

untuk mediasi ini telah diwujudkan dalam the Familiy Court dengan

pembentukan proyek-proyek mediasi yang berhubungan dengan

peradilan dan dengan pelatihan-pelatihan terhadap staf hukum dan

staf konseling dalam keterampilan mediasi.

Terpengaruh oleh berkembangnya pusat-pusat peradilan

lingkungan (neighbourhood justice centers) di Amerika Serikat,

pemerintah new South Wales memutuskan untuk menguji konsep

tersebut di Australia. Pada tahun 1980 dibuat suatu proyek

percontohan (pilot project), dengan mendirikan tiga pusat peradilan

masyarakat (community justice centers) di Bankstown, Surry Hills dan

Wollongong. Berdasarkan penilaian yang independen, disimpulkan

bahwa proyek berjalan dengan baik secara keseluruhan.

Perkembangan yang sama juga terjadi di negara bagian lain.

Di Victoria atas dukungan suatu komisi yang terdiri dari organisasi-

organisasi dan badan-badan yang menaruh minat pada mediasi, telah

162
didirikan empat pusat mediasi di Heidelberg Preston, outer Easten

Suburbs, Geelong, dan Bendigo. Pusat-pusat mediasi percontohan

tersebut dibiayai oleh pemerintah negara bagian. Pusat mediasi yang

awalnya ada empat, kemudian berkembang menjadi tujuh pusat.

Ketujuh pusat tersebut kemudian didanai oleh Kejaksaan Agung

negara bagian Victoria, dan sekarang pusat tersebut disebut Pusat

Penye-lesaian Sengketa Masyarakat (Community Dispute Settlement

Centers).142 Pada awal tahun 1989, pemerintah negara bagian

Queensland telah mengusulkan pembentukan Program Per-adilan

Masyarakat (Community Justice Programme), yang sekarang telah

beroperasi.143 Dewasa ini seluruh ibu kota negara bagian di Australia

mempunyai sebuah pelayanan penyelesaian konflik (Conflict

Resolution Service).

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa mediasi tidak

hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata

antar warga, tetapi juga dalam bidang administrasi negara. Pada

tahun 1984 disahkan Undang-undang Peradilan Banding Administrasi

1984 (The Administrative Appeals Tribunal Act 1984). Tujuan dari

undang-undang ini adalah untuk mendirikan suatu peradilan yang

142
Ibid., hlm. 9.
143
Ibid., hlm. 14.

163
independen untuk meninjau keputusan-keputusan administrasi di

dalam suatu cara yang informal dan cepat, dan mengizinkan secara

leluasa bagi orang-orang yang kepentingannya terpengaruh oleh

suatu keputusan untuk berpartisipasi dalam proses tersebut.144

Sehubungan dengan undang-undang tersebut, Laporan Kelompok

Kerja Kejaksaan Agung Negara bagian Victoria menyimpulkan per-

lunya pemberian kewenangan Admistrative Appeals Tribunal untuk

menyerahkan persoalan-persoalan ke mediasi.145

Mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis, baik yang

bersifat domestik maupun internasional, mulai diperkenalkan

bersamaan dengan didirikannya the Australian Commercial Dispute

Center (ACDC) pada bulan Januari 1986 di Sydney. Sebelumnya

telah didirikan the Institute of Arbitrator tahun 1975, dan Australian

Center for International Commercial Arbitration. ACDC adalah suatu

perseroan terbatas dengan jaminan (company limited by guarantee),

yang didirikan atas prakarsa Hakim Agung New York South Wales, Sir

Laurence Street.146 Prakarsa ini diajukan setelah adanya survey yang

dilakukan oleh pemerintah New South Wales akan perlunya

masyarakat bisnis dan komersial bisnis (business and commercial


144
M. Allars, International to Australian Administrative Law, Butterworths,
Australia, 1990, Bab 7, dalam Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Op.Cit., hlm. 6.
145
Ibid., hlm. 7.
146
Ibid., hlm. 10.

164
community). Meningkatnya keinginan untuk suatu pilihan baru bagi

penye-lesaian-penyelesaian sengketa disebabkan karena persepsi

bahwa arbitrase meningkat menjadi mahal dan kompleks.

Peranan ACDC adalah menyediakan suatu penyelesaian

sengketa yang berkaitan dengan seluruh jenis sengketa komersial,

baik dalam lingkup domestik maupun internasional.147 ACDC adalah

badan yang pertama dan satu-satunya yang menyediakan seluruh

penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Meskipun hampir semua

metode ADR dipromosikan, namun keutamaan pusat ini adalah

penyelesaian sengketa melalui mediasi.148

Seiring dengan berkembangnya mediasi sebagai penye-

lesaian sengketa, berkembang pula profesi mediator di dalamnya.

Oleh karena itu, untuk mengakomodasikan profesi mediator ini pada

tahun 1987 dibentuk the Australian Dispute Resolution Association

Inc.149

Pada tahun 1994 pemerintah New South Wales mengesahkan

Undang-undang Mediasi Pinjaman Pertanian (the Farm Debt

Mediation Act 1994), yang mengatur mengenai sengketa antara bank

147
D. Newton, “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”, dalam
Dispute Resolution Journal, Sydney, 1997, hlm. 85.
148
Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Op.Cit., hlm. 11.
149
Loise Rosemann, “the Birth of ADRA: Past and Future Visions”, dalam
Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 85.

165
dan peminjam. Undang-undang ini mulai berlaku Februari 1995, dan

membentuk suatu rezim bagi mediasi wajib terhadap sengketa-

sengketa tertentu di antara pemberi pinjaman dan petani.150 Dengan

lahirnya undang-undang ini, mediasi perbankan semakin

meningkat.151

Di Australia dewasa ini, di samping mediasi yang

diselenggarakan oleh pusat penyelesaian sengketa atau per-bankan

jasa mediasi, juga terdapat mediasi di dalam pengadilan. Mediasi di

dalam sistem peradilan ini pada umumnya bersifat memaksa kepada

kedua belah pihak, namun agar resolusi tersebut memiliki potensi

memaksa, harus lebih dahulu diminta-kan persetujuan pada pihak,

dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya

apapun yang dapat mengurangi daya kekuatannya. Berdasarkan

literatur yang ada, kecen-derungan pemakaian mediasi di Australia

adalah mediasi di dalam peradilan (court annexed mediation).

Di Australia dewasa ini, mediasi telah berkembang sebagai

penyelesaian sengketa bisnis hampir di semua bidang-bidang bisnis.

150
Fiona Crosbie, “Aspect of Confidentiality in Mediation: A Matter of
Balancing Competing Public Interest”, dalam Commercial Dispute Resolution
Journal, Australia, 1995, hlm. 68.
151
Maureen Garwood, “Books and Borrowers: Mediation of Failed
Transaction”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 93.

166
Penyelesaian sengketa bisnis melalui mediasi mencakup bidang-

bidang:152

1) Sengketa di bidang kontrak (contract).

2) Perbuatan melawan hukum dalam bidang perdagangan

(commercial tort).

3) Bidang keuangan (financial).

4) Sengketa di bidang media.

5) Sengketa penistaan (defamation).

6) Sengketa konstruksi (construction).

7) Anti diskriminasi.

8) Tanggung jawab produk (product liability).

9) Sengketa dalam kegiatan perdagangan (trade practice).

Mengenai keberhasilan mediasi sebagai metode penye-lesaian

sengketa bisnis di Australia, dapat dikembangkan beberapa sengketa

bisnis yang telah berhasil diselesaikan melalui mediasi. George H.

Golvan QC, anggota BAR Victoria dan mediator, mengungkapkan

keberhasilannya dalam menye-lesaikan sengketa-sengketa komersial

dan konstruksi yang berskala besar dan kompleks, antara lain:153

152
D. Newton, Op.Cit., hlm. 92.
153
George H. Golvan QC, “The Use of Mediation in Commercial and
Construction Dispute”, dalam Dispute Resolution Journal, Sydney, 1996, hlm. 188-
189.

167
1) Sengketa yang melibatkan tujuh pihak, mengenai desain dan

pembangunan fasilitas lapangan tenis tertutup (indoor tennis

court); kasus ini diperkirakan akan memakan waktu beberapa

minggu jika diajukan ke Supreme Court; melalui mediasi sengketa

tersebut berhasil diselesaikan dalam waktu dua hari.

2) Sengketa di antara penggugat dan 15 tergugat dalam seng-keta

perjanjian pinjaman (loan agreement), berhasil diselesai-kan

melalui mediasi dalam waktu dua hari.

3) Sengketa yang kompleks berkenaan dengan kerusakan produk

dengan tuntutan kerugian $ 1,5 juta, sehingga sengketa tersebut

sedang diperiksa di pengadilan, dapat diselesaikan melalui

mediasi dalam waktu satu hari.

Di negara bagian Victoria, dewasa ini kecenderungan untuk

menyerahkan sengketa-sengketa dagang dan konstruksi ke mediasi

semakin meningkat. Hal ini terjadi sejak kasus bangunan Mahkamah

Agung (supreme court) Victoria, mulai diserahkan pada mediasi pada

tahun 1992. Kecendrungan tersebut disebut dengan ”the 1992

supreme court spring offensive”.154 Sejak saat itu terjadi peningkatan

jumlah sengketa komersial dan perbankan yang diserahkan ke

mediasi semakin signifikan.

154
Ibid.

168
Keberhasilan lain sebagaimana yang dikemukakan oleh David

Holst, seorang mediator dari D.M.H. Mediation, dalam bidang merger

perusahaan. Kasus ini melibatkan perusahaan Ampol dan

perusahaan Caltex. Merger kedua perusahaan tersebut merupakan

yang terbesar dalam sejarah perusahaan di Australia, dengan

menggabungkan asset senilai $ 3 milyar lebih.155 Perkara ini

melibatkan kedua perusahaan tersebut, sehubungan dengan

rasionalisasi dari jaringan pemasaran kedua perusahaan tersebut.

Kedua pimpinan perusahaan telah menempuh usaha negosiasi,

namun tetap tidak berhasil. Kemudian pada bulan Juni 1995,

perusahaan Ampol menunjuk seorang mediator komersial untuk

menyelesaikan rasionalisasi tersebut. Melalui negosiasi yang panjang

dan kompleks, berlangsung 12 bulan, rasionalisasi tersebut dapat

diselesaikan dan hasilnya melebihi apa yang diharapkan.156

Satu hal yang menyebabkan mediasi dapat berkembang

dengan pesat sebagai penyelesaian sengketa bisnis di Australia,

adalah dorongan dan dukungan yang kuat dari ahli hukum (lawyer).

Para ahli hukum pendukung mediasi tersebut ber-gabung dalam satu

organisasi yang disebut dengan lawyer engange in alternative dispute

155
David Holst, “Mediation Makes Business Sense: The Ampol/Caltex
Merger”, Dispute Resolution Journal, Sidney, 1997, hlm. 109.
156
Ibid.

169
resolution (LEADR). Organisasi ini adalah organisasi non-profil yang

didirikan di New South Wales Australia, dan mempunyai beberapa

cabang di negara bagian lainnya, serta di New Zealand.157 Beberapa

kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga ini adalah mengadakan

pelatihan-pelatihan mediasi di seluruh Australia maupun di New

Zealand.

j. Mediation - Arbitration.

Bentuk ADR ini sama dengan mediation annexed to arbitration

yang terdapat di Amerika Serikat, Jepang dan Korea. Dalam bentuk

ini terjadi penggabungan sistem mediasi dan arbitrase yang dilakukan

secara bertahap lebih dulu dicoba menyelesaikan melalui cara

mediasi dan jika berhasil, proses selesai dan hasil kompromi menjadi

putusan arbitrase. Tahap selanjutnya kalau mediasi gagal, proses

dilanjutkan melalui cara penyelesaian arbitrase dan putusan langsung

final dan mengikat.

Selain itu, di 2 (dua) negara bagian Australia, yaitu New South

Wales dan South Australia diadakan pengadilan khusus lingkungan.

Di New South Wales pengadilan tersebut dinamakan Land and

157
Arthur Thompkins, “Cross-border Dispute Resolution in International
Commercial Transaction”, dalam Law Journal, New Zealand, 1993, hlm. 260.

170
Envoronmet Court (LEC) yang setingkat dengan Supreme Court dan

South Australia dinamakna Environmental, Resources and

Development Court (ERD) yang setingkat dengan Distric Court. Di

kedua lingkungan pengadilan ini dikenal variasi bentuk ADR sebagai

pilihan dalam menyelesaikan seng-keta, kecuali yang bersifat pidana.

Berdasarkan Land and Environment Court Act 1979, maka

LEC mengenal 2 (dua) bentuk ADR, yaitu mediasi dan evaluasi netral.

Kedua bentuk ini merupakan pilihan bagi para pihak yang

bersengketa. Dalam memilih bentuk mediasi, maka para pihak dapat

memilih untuk memaksa jasa registrar (panitera) yang sudah dilatih

dan memiliki keahlian dalam memfasilitasi ataupun dapat memilih

untuk menggunakan jasa mediator di luar pengadilan. Bila sistem

yang pertama dipilih, maka biaya ditanggung oleh pengadilan,

sedangkan sistem yang kedua biaya ditanggung kedua belah pihak.

Putusannya dapat dikukuhkan sebagai putusan pengadilan.

Pada pengadilan ERD, maka bentuk konferensi yang

merupakan bentuk awal yang biasanya dilalui oleh para pihak yang

bersengketa. Tujuannya membantu para pihak menggali lebih jauh

kemungkinan penyelesaian selain melalui jalur formal di pengadilan.

Dalam konferensi ini pihak pengadilan meghadir-kan para pihak untuk

didengar secara bersama keterangannya di dalam 1 (satu) forum.

171
Selain itu, ERD juga mengenal mediasi dan konsiliasi sebagai

1 (satu) bentuk penyelesaian sengketa di dalam sistem pengadilan.

Mediator dapat ditunjuk oleh pengadilan dengan persetujuan kedua

belah pihak untuk memfasilitasi sengketa yang dihadapi. Mediator

juga dapat diperankan oleh pengadilan. Bila yang dipilih pengadilan,

maka bila dalam proses mediasi atau konsiliasi tidak dicapai

kesepakatan, hakim yang men-dengar perkara tidak dapat lagi untuk

selanjutnya mengadili perkara yang sama.

Putusan dari mediasi atau konsiliasi mengikat para pihak

setelah terlebih dahulu dipastikan bahwa tidak ada kesepakatan yang

melanggar hukum dan tidak ada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam

proses mediasi atau konsiliasi yang dirugikan.

3. China.

Mediasi sudah sangat lama dikenal di China. Meskipun mediasi

jarang sekali dikembangkan sebagai suatu inovasi yang unik dan

relatif baru, di China mediasi telah menjadi mode penyelesaian

sengketa selama berabad-abad. Hal ini tidaklah mengherankan,

karena adanya perbedaan budaya China dan Barat. Di China, mediasi

adalah metode penyelesaian sengketa yang telah diterima umum

secara tradisional dan sosial, litigasi adalah alternatif dan sungguh-

172
sungguh suatu pengecualian. Sedangkan di negara-negara Barat,

litigasi adalah metode penyelesaian sengketa yang telah diterima

umum secara tradisional dan sosial, mediasi adalah alternatif yang

kadang-kadang digunakan.158 Oleh karena itu, tidaklah

mengherankan, bangsa China digelari ”the most heavily nation on

earth”.159

Sebelum berdirinya Republik Rakyat China, sebenarnya

seluruh sengketa diselesaikan secara informal di dalam kelompok-

kelompok setempat, yaitu keluarga, marga, desa, dan serikat pekerja,

melalui suatu prosedur konsesi yang fleksibel dan terpadu, penetapan

kompromi-kompromi.160 Prosedur ter-sebut dewasa ini dikenal dengan

mediasi, dilakukan oleh kepala keluarga di dalam keluarga-keluarga,

golongan yang lebih tua di dalam marga, lurah di dalam desa-desa,

dan pemimpin serikat pekerja di dalam organisasi-organisasi pekerja.

Pola mediasi informal ini tetap berlanjut setelah kemenangan

Partai Komunis pada tahun 1949. Pada bulan Maret 1954, sebagai

bagian dari suatu gerakan pembaharuan hukum besar-besaran yang

158
Andrup dan J.G. Hall, “The Use of Mediation in China”, Justice of the
Peace and Local Government Law 104, hlm. 104, sebagaimana dikutip dalam
Bobette Wolski, Culture, “Society and Mediation in China and the West”, dalam
Commercial Dispute Resolution Journal, Australia, 1997, hlm. 97.
159
Ibid., hlm. 25.
160
J.A. Cohen, Chinese Mediation on the Eve of Modernisation, Law
Review, California, 2000, hlm. 1222.

173
dilakukan oleh Partai Komunis, mediasi mendapat pengesahan

secara resmi dan dasar hukum dengan penerbitan peraturan untuk

organisasi people’s mediation committees. Pada saat itulah untuk

pertama kali sistem mediasi rakyat (people’s mediation) dibangun dan

disatukan di seluruh China.161

Menurut peraturan perundang-undangan China, mediasi

mempunyai tiga bentuk, yaitu; people’s mediation, administrative

mediation, dan court’s mediation.162 People’s mediation, yang dikenal

dengan mediasi oleh the people’s mediation committee, adalah suatu

metode yang berdaulat dan mandiri yang dilaksanakan oleh the

people’s mediation committee dengan berdasarkan kesukarelaan dari

persetujuan pihak, menurut peraturan perundang-undangan,

peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan negara untuk

menyelesaikan sengketa melalui konsultasi yang bersahabat.

Administrative mediation adalah suatu mediasi yang dipimpin oleh

organ-organ administrasi yang mempunyai fungsi menengahi

sengketa-sengketa, sedangkan court’s mediation adalah suatu litigasi

yang dipimpin oleh peradilan rakyat (people’s court), dalam mana

161
Department of Grass-Roots Work Ministry of Justice People’s Republic
of China, People’s Mediation in China, Mediation Journal, China, 2001, hlm. 88.
162
Ibid., hlm. 83.

174
suatu persetujuan untuk penyelesaian sengketa-sengketa dicapai

melalui saling pengertian dari pihak-pihak yang ber-sangkutan.163

Dari ketiga bentuk mediasi tersebut, people’s mediation

mempunyai peranan yang paling penting dalam penyelesaian

sengketa rakyat. Peranan ini semakin penting dengan diaturnya

people’s mediation dalam Konstitusi China yang diumumkan pada

tahun 1982. Pasal 111 dari konstitusi tersebut, antara lain,

menetapkan agar komisi-komisi penduduk kota dan orang-orang desa

membentuk subkomisi people’s mediation untuk menengahi

sengketa-sengketa perdata.164

Pada akhir tahun 1988, telah didirikan lebih dari 1.000.000

(satu juta) komisi people’s mediation di seluruh China dengan lebih

dari 6.000.000 (enam juta) mediator. Begitu populernya mediasi ini

sebagai penyelesaian sengketa sehingga peraturan-peraturan organik

dari people’s mediation committee pada tahun 1950-an tersebut, tidak

dapat memenuhi permintaan terhadap pembangunan demokrasi

sosial dan sistem hukum dalam era baru. Sehubungan dengan hal

tersebut, pada tahun 1989 disahkan “organic of regulation of the

people’s mediation committee”. Regulasi baru tersebut telah

163
Ibid., hlm. 85.
164
Ibid., hlm. 88.

175
meningkatkan dan mengembangkan sistem mediasi rakyat, dan

memperkuat pembangunan organ komisi mediasi tersebut.

Komisi mediasi dibentuk melalui pemilihan langsung oleh

rakyat melalui proses nominasi oleh komisi tingkat desa, serikat

pekerja atau perwakilan-perwakilan asosiasi pekerja pertam-bangan

atau industri (bila pembentukan komisi mediasi di industri atau usaha

pertambangan). Komisi terdiri dari 3 (tiga) sampai dengan 9

(sembilan) anggota ditambah dengan satu direktur dan satu wakil

direktur jika diperlukan. Anggota komisi ini biasanya berasal dari

anggota masyarakat yang terpandang, dekat dengan masyarakat

yang akan dilayaninya, serta memiliki pemahaman mengenai

peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan. Anggota-

anggota komisi ini dipilih untuk jangka waktu tiga tahun dan

sesudahnya dapat dipilih kembali.165

Komisi mediasi ini melaksanakan tugasnya di bawah

pengarahan pemerintah daerah dan pengadilan di wilayah tersebut.

Biro hukum dari pemerintah daerah bertanggung jawab

mengoraganisir komisi, membuat peraturan dan menyelenggara-kan

pelatihan anggota komisi. Bimbingan profesi dilakukan oleh

pengadilan local (people’s court).

165
Ibid., hlm. 95.

176
Di China, sengketa yang menjadi bidang pekerjaan komisi

mediasi rakyat adalah perkara perdata (civil dispute), seperti; antara

suami-istri, anggota keluarga, tetangga, rekan kerja, penduduk,

warisan, alimentasi, pinjam-meminjan, perumahan, tanah, mesin-

mesin dan alat-alat pertanian.166 Sengketa-sengketa antara lembaga-

lembaga dan badan-badan tersebut dengan warga, adalah di luar dari

jurisdiksi komisi mediasi rakyat.167 Penyelesaian sengketa melalui

komisi mediasi rakyat bersifat sukarela atau pilihan. Namun,

peoople’s court senan-tiasa mendorong para pihak yang bersengketa

untuk menye-lesaikan sengketanya melalui komisi mediasi rakyat.

Begitu kuatnya pengeruh mediasi sebagai penyelesaian

sengketa perdata di China, sehingga walaupun dalam konteks

sengketa dagang internasional telah menggunakan arbitrase sebagai

metode penyelesaian sengketa, namun pola-pola mediasi atau

konsiliasi tetap bertahan. Bentuk arbitrase yang dipakai di China

adalah arbitrase dengan suatu perbedaan, mempertimbangkan

penekanan dalam prosesnya pada konsiliasi di antara para pihak. Hal

ini mendorong dimasukkannya konsiliasi dalam ketentuan-ketentuan

166
Ibid., hlm. 102.
167
Ibid.

177
arbitrase China, dan pendirian konsiliasi Beijing (Beijing conciliation

center) pada tahun 1985.168

Perkembangan yang menarik adalah penetapan kerja-sama

formal antara Pusat Konsiliasi Beijing dan Pusat Konsiliasi Hamburg

di Jerman, pada tahun 1986. Berdasarkan penetapan tersebut, kedua

badan bertindak bersama untuk menyediakan pelayanan konsiliasi

berdasarkan apa yang disebut dengan “peking hamburg rules” yang

diterbitkan pada tahun 1987. Perkembangan ini diikuti dengan

penetapan konsiliasi bersama yang ditandatangani oleh badan-badan

arbitrase utama China di tujuh belas propinsi dengan dua badan

Amerika Serikat, yaitu the national council of united states China trade

(NCUSCT) dan the American arbitration association (AAA).169

Dewasa ini ada dua badan arbitrase China yang mem-punyai

ruang lingkup pengaturan secara internasional, yaitu the China

international and economic trade arbitration commission (CIETAC)

dan the China maritime arbitration commission (CMAC). Kedua badan

tersebut adalah nama baru dari badan arbitrase yang ada

sebelumnya CIETAC yang diperkenalkan pada tahun 1988,

sebelumnya bernama the foreign trade arbitration commission, yang

168
Greg Vickery, “International Commercial Arbitration in China”, dalam
Dispute Resolution Journal, Sydney, 2000, hlm. 76.
169
Ibid., hlm. 51.

178
kemudian pada tahun 1980 ber-ubah menjadi foreign and economic

trade and arbitration commission, dan kemudian berubah menjadi

CIETAC. Sedang-kan CMAC yang juga diperkenalkan pada tahun

1988, sebelum-nya bernama the maritime arbitration commission,

kemudian berubah menjadi the marine arbitration commission, dan

terakhir menjadi CMAC.

Berubahnya kedua nama badan arbitrase tersebut, maka

berubah juga ketentuan-ketentuannya. Perubahan paling berarti yang

dibuat pada ketentuan-ketentuan arbitrase tahun 1988 dari ketentuan-

ketentuan sebelumnya adalah:170

a. Juridiksi CIETAC diperluas meliputi kontrak-kontrak antara warga

negara China yang melibatkan faktor-faktor luar negri.

b. Panel arbitrasi diperbesar untuk memasukkan arbiter-arbiter luar

negri.

c. Anggota ketiga dari suatu panel arbitrase dipilih oleh Ketua Komisi

dari pada oleh arbiter-arbiter yang ditunjuk oleh para pihak.

d. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup.

e. Ketentuan termasuk untuk menolak keputusan-keputusan.

f. Arbitrase yang dikonsiliasikan adalah diperbolehkan.

170
Ibid., hlm. 77.

179
g. Keputusan arbitrase melalui konsiliasi dianggap menjadi putusan

arbitrase dan karena itu dapat dipaksakan.

Dari perubahan nomor yang terakhir tersebut terlihat betapa

pentingnya dan kuatnya kedudukan konsiliasi/mediasi dalam

ketentuan-ketentuan arbitrase tersebut, di mana keputus-an-

keputusan konsiliasi dalam arbitrase dianggap menjadi putusan

arbitrase yang dapat dipaksakan. Mengenai kekuatan keputusan

konsiliasi ini dengan tegas diatur pada Pasal 37 dalam ketentuan-

ketentuan CIETAC. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “Jika

suatu penyelesaian dicapai melalui proses konsiliasi formal sebelum

arbitrase yang sebenarnya berlangsung, peradilan arbitrase diberi

kekuasaan untuk mem-buat putusan berdasarkan syarat-syarat

penyelesaian sengketa yang dicapai oleh para pihak”.171

Konsiliasi selalu dijalankan berdasarkan asas sukarela

meskipun ketentuan-ketentuan arbitrase tidak menempatkan

penekanan pada proses tersebut, hanya membuat suatu penunjukan

halus pada fakta bahwa komisi arbitrase dan per-adilan arbitrase

“boleh melakukan konsiliasi kasus-kasus ver-dasarkan tanggung

jawab mereka” (Pasal 37 ketentuan CIETAC). Meskipun demikian,

kelihatannya bahwa CIETAC dan arbiter-arbiter China sama-sama

171
Ibid., hlm. 84.

180
memandangnya “kewajiban mereka untuk mencoba konsiliasi jika

memungkinkan”.172

Steinert mencatat betapa antusiasnya CIETAC dan

anggotanya di dalam mendukung para pihak untuk mencoba

konsiliasi informal. Sebagai contoh, dikemukakan di mana CIETAC

menggunakan suatu proses konsiliasi informal untuk menyelesaikan

suatu masalah antara dua perusahaan Amerika yang terlibat litigasi di

New York, atas penanaman modal mereka di China.173

Mengenai keberhasilan CIETAC dalam menyelesaikan

sengketa bisnis melalui konsiliasi, cukup mengesankan. Sampai pada

pertengahan akhir tahun 1980-an, 70% dari seluruh kasus yang

diserahkan kepada CIETAC telah berhasil diselesaikan melalui

konsiliasi.174

Dari uraian tersebut betapa pentingnya peranan mediasi

sebagai metode penyelesaian sengketa bisnis baik domestik maupun

internasional di China. Hal ini terbukti dengan adanya the Beijing

conciliation center dan ketentuan-ketentuan konsiliasi dalam arbitrase

CIETAC.

172
Ibid., hlm. 87.
173
Ibid., hlm. 91.
174
Mr. Justice Neil Kaplan, “Mediation in Hong Kong”, dalam Commercial
Dispute Resolution Journal, Hongkong, 1994, hlm. 22.

181
4. Korea Selatan.

Dari Korea Selatan mediasi telah lama dikenal sebagai metode

penyelesaian sengketa dagang, jauh lebih dahulu diban-dingkan

dengan arbitrase komersial. Kebanyakan sengketa yang diserahkan

ke Korean commercial arbitration boar diselesaikan melalui proses

mediasi dari pada diselesaikan dengan proses arbitrase.175

Untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnisnya, baik

domestik maupun internasional, metode penyelesaian sengketa di

luar peradilan yang sering ditawarkan di Korea Selatan adalah

metode konsultasi, mediasi, dan arbitrase.

Di Korea Selatan, mediasi sering digunakan dengan sistem

koneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase (connected mediation,

conciliation and arbitration system). Hal ini diatur dengan jelas dalam

Pasal 53 dari ketentuan-ketentuan the Korean commercial arbitration

board (KCAB). Dengan sistem seperti itu, penyelesaian sengketa

dilakukan secara bertahap, terdiri dari:

a. Tahap pertama diupayakan lebih dahulu penyelesaian melalui

proses mediasi sebagai berikut:

1) Panel arbiter yang ditunjuk, bertindak sebagai mediator.

175
Ibid., hlm. 258.

182
2) Apabila dapat disepakati suatu penyelesaian, solusi yang

disetujui para pihak dijadikan kompromi (compromise), dan

kompromi dan efektif menjadi putusan arbitrase (arbitration

award) yang bersifat final dan binding, apabila para pihak

menghendakinya.

b. Tahap kedua, apabila proses mediasi gagal, maka ditempuh

konsiliasi yaitu:

1) Apabila mediasi gagal menyelesaikan sengketa, atas

kesepakatan bersama, mediator semula bertindak sebagai

konsiliator. Konsiliator mengusahakan solusi yang dapat

diterima.

2) Apabila berhasil dicapai kesepakatan atas solusi yang dibuat

konsiliator, maka kedudukannya berubah menjadi arbiter.

Dengan demikian solusi yang dihasilkan mening-kat menjadi

putusan yang bersifat final dan binding bagi para pihak, dan

mempunyai daya eksekutorial seperti layaknya putusan

arbitrase.

c. Tahap ketiga, apabila konsiliasi gagal menyelesaikan seng-keta,

proses dilanjutkan dengan arbitrase, yaitu sebagai berikut:

1) Apabila konsiliator tidak berhasil mewujudkan penye-lesaian

dalam bentuk resolusi, proses konsiliasi dihenti-kan.

183
2) Selanjutnya penyelesaian dilanjutkan dengan pemeriksa-an

arbitrase. Dengan demikian, penyelesaian sengketa menjadi

putusan arbitrase yang bersifat final dan binding bagi para

pihak.

Untuk dapat dilakukan mediasi oleh KCAB, harus ada

permintaan dari para pihak. Jika ada permintaan mediasi dari pihak-

pihak yang bersengketa dengan disertai dokumen-dokumen, KCAB

mengangkat mediator yang netral. Selanjutnya, mediator berusaha

untuk mencapai perdamaian atau kompromi.

5. Jepang.

Perkembangan ADR di Jepang diawali munculnya lembaga-

lembaga arbitrase, yang kemudian dikoneksitaskan dengan bentuk

penyelesaian sengketa lainnya. Hal tersebut dapat digambarkan

secara ringkas176 di bawah ini:

a. Arbitrase.

Arbitrase ini dapat dibagi kepada:

1) Pusat Arbitrase Internasional.

The Japan Commercial Arbitration Association (JCAA) yang

didasarkan pada Commercial Arbitration Rule dan UNCITRAL

176
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 210-212.

184
Arbitration Rule dan The Japan Shipping Exchange, yang bertipe

domestic dan internasional. Proses penyelesaian dalam lembaga

ini menggunakan sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan

arbitrase.

2) Labour Commission.

Lembaga ini didirikan pada tahun 1945 di bawah Menteri Tenaga

Kerja. Komisi ini menangani sengketa perburuhan dan proses

penyelesaiannya melalui sistem koneksitas antara mediasi,

konsiliasi, dan arbitrase.

3) The Commusssion for Adjusment of Construction Work Disputes.

Lembaga ini didirikan pada tahun 1956 di bawah Menteri

Konstruksi. Komisi ini menangani sengketa konstruksi (disputes

related construction contract) dan penyelesaiannya juga

menggunkan sistem koneksitas antara mediasi, konsiliasi, dan

arbitrase.

4) The Environment Disputes Coordination Commission.

Lembaga ini didirikan pada tahun 1972 di bawah kantor Perdana

Menteri dengan yurisdiksi menangani sengketa lingkungan

(environment disputes). Proses penyelesaiannya secara

koneksitas antara mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

5) Arbitration Center of Local bar Assosociation.

185
Arbitrase ini didirikan pada tahun 1990 di Daini Tokyo, Osaka

Nagoya Bas Association. Yurisdiksi lembaga ini menyelesai-kan

sengketa kecil (small claim) yang prosesnya mengguna-kan

sistem koneksitas antar konsiliasi dan arbitrase.

6) The Cnter of Handling Traffic Accident Disputes.

Lembaga ini didirikan pada tahun 1978 (by Non-Life Insurance

Comp.), dengan yurisdiksi menangani sengketa kecelakaan lalu

lintas (traffic accident disputes). Adapun prosesnya menggunakan

koneksitas antara konsiliasi dan rekomendasi.

b. Mediasi.

Di Jepang, mediasi sudah populer. Namun sistemnya selalu

berkoneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase. Bila mediasi gagal,

proses dihentikan, tetapi langsung dilanjutkan dengan konsiliasi dan

mediator bertindak sebagai konsiliator. Bila konsiliasi juga gagal,

maka proses langsung dilanjutkan penyelesaian melalui arbitrase dan

konsiliator bertindak sebagai arbitrator.

c. Konsiliasi.

Bentuk ADR ini pun sama halnya dengan mediasi, yakni

berkoneksitas langsung dengan arbitrase.

186
6. Srilanka.177

Secara tradisional ADR bukan merupakan hal yang baru di

Srilanka. Sekitar tahun 425 sebelum Masehi, village councils (dewan

pendesaan) telah berfungsi menerima pengaduan serta

menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami oleh penduduk

lokal. Councils yang dinamakan Gamsabhawas diketuai oleh ketua

adat. Pada pertengahan abad ke-19 Gamsabhawas mulai tidak

populer dan pemerintahan Inggris pada tahun 1871 meng-gantinya

dengan Village Tribunals. Pada tahun 1945 fungsi Village Tribunals

dalam menangani sengketa masyarakat digantikan oleh lembaga

pengadilan (rural court) yang fungsinya seperti halnya tribunals, yaitu

menyelesaikan sengketa para pihak secara damai dan kekeluargaan

(amicable).

Formulasi ADR oleh pemerintah Srilanka dimulai pada tahun

1985 melalui pengundangan Act Nomor 10 Tahun 1958 tentang

Pendirian Conciliation Boards, ini didirikan untuk mencegah

177
Diringkas dari Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad
Santosa IV), Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Secara Kooperatif
(Alternative Disputes Resolution/ADR), Indonesian Center for Environmental Law,
Jakarta, hlm. 5-6. Mas Achmad Santosa (selanjutnya disebut Mas Achmad Santosa
V), “Pelembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Berbagai Negara”,
Majalah Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental,
Jakarta, 1997, hlm. 3 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 2-3.

187
penumpukan dan penundaan penyelesaian perkara di pengadilan

melalui upaya penyelesaian sengketa sederhana (minor disputes)

secara kooperatif.

Perbedaan pengadilan dengan Conciliation Boards ini adalah

penunjukan ketua dan para konsiliatornya (penyelesai sengketa).

Ketua dan para konsiliator Boards ditunjuk serta diangkat oleh Menteri

Kehakiman sedangkan para hakim pengadilan diangkat oleh Komisi

Pengangkatan Hakim yang bersifat independen yang dikuasai oleh

Ketua Mahkamah Agung (Independen Judicial Service Commission).

Tidak seperti halnya pengadilan, dalam proses konsiliasi ini tidak

terdapat prosedur formal pemeriksaan atau beracara. Akan tetapi,

Boards memiliki kewenangan menerbitkan surat panggilan untuk

memaksa kehadiran seorang saksi. Adapun kesepakatan yang

dihasilkan dari konsiliasi ini mempunyai status yang sama seperti

halnya status suatu putusan pengadilan (executable).

Karena integritas konsiliator ternyata meragukan, maka

keberadaan lembaga ini mendapat kecaman dari masyarakat luas.

Kritik juga menekankan kurangnya keterampilan teknis penyelesaian

konflik para konsiliator, sehingga penanganan kasus pada akhirnya

menjadi sangat tidak efisien. Untuk mengatasinya, pada tahun 1988

diundangkan Mediation Boards Act Nomor 72 yang meletakkan

188
pengawasan terhadap para penyedia jasa di bawah komisi khusus

yang ditunjuk oleh Presiden, yaitu Komisi Badan Mediasi (Medition

Boards Commission). Komisi ini terdiri atas 5 (lima) orang, 3 (tiga) di

antaranya harus berpengalaman di dunia pengadilan (setingkat

Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi).

Bersamaan dengan itu diberlakukan pula mediasi sebagai

upaya wajib yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum

menempuh upaya pengadilan (compulsory mediation atau primary

jurisdiction). Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari tidak

terselesaikan, pencari keadilan dapat menyelesaikan-nya melalui cara

pengadilan. Kasus-kasus perdata yang masuk dalam yurisdiksi

undang-undang ini adalah kasus perdata, kecuali kasus-kasus yang

secara tegas di luar kewenangan Mediation Boards, seperti halnya

sengketa matrimonial, per-walian, adopsi, wasiat serta sengketa yang

ditimbulkan oleh pelaksanaan pemilihan umum. Kasus lingkungan

sendiri tidak termasuk dalam kasus yang dikecualikan, tetapi sejauh

mana Mediation Boards ini telah didayagunakan untuk kasus-kasus

lingkungan perlu penelaahan lebih lanjut.

189
7. Philippine.178

Secara tradisional ADR juga telah dikenal di Philippine melalui

tradisi penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di

tingkat pedesaan (barangay atau barrio). Pelem-bagaannya sendiri

didorong oleh keinginan untuk mengatasi penumpukan serta

kemacetan administrasi perkara di peng-adilan yang menimbulkan

penurunan kualitas keadilan.

Pelembagaan ADR tersebut dilakukan oleh pemerintah

Philippine melalui Presidential Decree Philippine Nomor 1508 tanggal

11 Juni 1978, yang dikenal dengan Katarungang Pambarangay atau

Barangay Justice Law, yang memberikan basis hukum pendirian

lembaga penyelesaian sengketa secara kooperatif atau secara damai

di tingkat pedesaan. Adapun kewenangan yang dimilikinya

menyelesaikan seluruh jenis seng-keta perdata dan pidana dengan

ancaman hukuman ringan.

Seperti halnya Srilanka, Philippine juga menganut prinsip

compulsory conciliation, bahwa gugatan ke pengadilan tidak dapat

diajukan sebelum dinyatakan melalui sertifikat yang dikeluarkan oleh

sekretaris panel konsiliasi (Lupong Tagapayapa) bahwa upaya

178
Diringkas dari Mas Achmad Santosa IV, Op.Cit., hlm. 6-7; Mas Achmad
Santosa V. Op.Cit., hlm. 4 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 3-4.

190
konsiliasi pernah dilakukan dan tidak membawa hasil. Sedangkan

apabila tercapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut menjadi

mengikat dan executable seperti halnya putusan pengadilan. Namun,

Lupong tidak mempunyai otoritas untuk mengkonsiliasikan kasus

yang salah satu pihaknya pemerintah.

8. Hongkong.179

ADR yang populer di Hongkong dalam mencari penye-lesaian

sengketa bisnis, sebagai berikut:

a. Arbitrase.

b. Mediasi.

c. Ajudikasi (adjudication).

Ajudikasi khusus menyelesaikan sengketa di bidang konstruksi

lapangan terbang dengan cara mengangkat seorang adjudicator

profesional di bidang konstruksi lapangan terbang.

9. Singapura.180

Singapura telah mengubah konsepsi penyelesaian seng-keta

nonlitigasi sejak tahun 1966 yang termuat dalam Subordinate Rules

1966. Ketentuan ini mengatur bahwa sebelum para pihak melanjutkan

179
Diringkas dari M. Yahya Harahap I, Op.Cit., hlm. 213.
180
Ibid., hlm. 213-214 dan Josi K. Assegaf, Op.Cit., hlm. 5-6.

191
keinginannya membawa seng-keta ke pengadilan, hendaknya terlebih

dahulu menempuh jalan penyelesaian antar pihak. Oleh sebab itu,

Singapura mempunyai Court Mediation Center.

Sedangkan pelembagaan ADR dilaksanakan di Subordinate

Court Singapura. Di samping itu, pemerintah Singapura sejak tahun

1994 telah mengembangkan CDR, yang didukung oleh Subordinate

Court dan pemerintah Singapura, yang tujuannya untuk menyediakan

forum bagi pihak-pihak yang bersengketa, mendorong masyarakat ke

arah nonlitigasi (nonlitigation society) dan efisiensi manajemen kasus.

Dalam Court Mediatiom Center ini berbagai metode

dikembangkan, seperti family conference untuk masalah-maslah

keluarga, mediasi atau konsiliasi untuk menyelesaikan kasus perdata

seperti ganti rugi, sengketa pembiayaan, dan lain-lain. Untuk perkara

pidana yang terjadi di dalam keluarga banyak dikembangkan jenis-

jenis konferensi yang mempertemukan para pihak dengan bantuan

fasilisator.

Di samping itu, di Singapura dikembangkan pula Night Court

Mediation, yang ditujukan bagi pihak-pihk yang hanya mempunyai

waktu, setelah mereka selesai bekerja pada siang hari. Kasus-kasus

yang diselesaikan pada umumnya kasus-kasus keluarga (family

cases).

192
Dari bentuk ADR yang ada, arbitrase yang paling menonjol.

Tampaknya pemerintah dan masyarakat bisnis Singapura, ingin

menggeser peran Hongkong menjadi pusat arbitrase regional dan

internasional di kawasan Pasifik. Untuk itu pada tahun 1994,

pemerintah Singapura juga telah melakukan pembaharuan Undang-

undang Arbitrase dan menjadikan UNCITRAL Arbitration Rule

sebagai model law.

193
DAFTAR PUSTAKA

Ayuda D. Prayoga, et.al., Persaingan Usaha dan Hukum yang


Mengaturnya, Proyek Ellips, Jakarta, t.t.

A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto (Ed.). Hukum dan


Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

Arthur Thompkins, “Cross-border Dispute Resolution in International


Commercial Transaction”, dalam Law Journal, New
Zealand, 1993.

Ali Budiardjo Nugroho, Reksodiputro in Corporation with Moctar,


Karuwin & Komar, Final Report on Diagnostic Assesment or
Legal Development in Indonesia, Chapter, volume I dan
Annex C-4 Volume III, Maret 1997.

Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yayasan


Watampone, Jakarta, 1998.

Anrizal, ”Kedudukan Fungsi Serta Tugas Kerapatan Adat Nagari


Dalam Penyelesaian Sengketa Setelah berlakunya Undang-
undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa (Studi
Kasus di Kabupaten Agam)”, Tesis, Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998.

Ali Budiharjo dkk., Reformasi Hukum di Indonesia, Cyber Consult,


Jakarta, 1999.

Andrup dan J.G. Hall, “The Use of Mediation in China”, Justice of the
Peace and Local Government Law 104.

Alternative Dispute Resolution (ADR), http;/www.fmladr.com/


services.htm.Available, diakses pada tanggal 20 Juni 2000.

ADR in Trademark & Unfair Competition Disputes, http:


/www.inta.org/adr.html.Available, diakses pada tanggal 21
Juni 2000.

194
Bobette Wolski, Culture, “Society and Mediation in China and the
West”, dalam Commercial Dispute Resolution Journal,
Australia, 1997.

Bappenas dan The Asia Foundation, Makalah Kebijakan (Policy


Paper) Pelembagaan Penyelesaian Sengketa Perundingan
dan Arbitrase di Indonesia, Hasil studi mengenai ADR yang
dilaksanakan secara bersama-sama oleh PT Qipra Galang
Kualita, Yayasan Akatiga, ICEL (Indonesia Center for
Environment Law), dan LPPM (Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Manajemen), Jakarta, Januari 1997.

B. Arief Sidharta, Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, Citra


Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Chin Kim dan Craig M. Lawson, “The Law of the Subtle Mind; The
Traditional Japanese Conception of Law”, dalam
Internasional and Comprative Law Quartenly, Volume 28,
Tahun 1979.

Christopher W. Moore, The Mediation Process Practical Strategies for


Resolving Confict, Jossey-Bass Publishers, San Francisco,
1986.

C. Snouck Hurgronye, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Penerjemah


Sutan Maimun, INIS, Jakarta, 1996.

D. Newton, “Alternative Dispute Resolution and the Lawyer”, dalam


Dispute Resolution Journal, Sydney, 1997.

David Holst, “Mediation Makes Business Sense: The Ampol/Caltex


Merger”, Dispute Resolution Journal, Sidney, 1997.

Department of Grass-Roots Work Ministry of Justice People’s


Republic of China, People’s Mediation in China, Mediation
Journal, China, 2001.

“Extensive Study Reveal Big Corporations Often Use ADR”, dalam


Dispute Resolution Journal American Arbitrase Association,
Dispute Resolution Journal, Vo. 52. No. 3, Summer, 1997.

195
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra
Pratama, Jakarta, 2000.

Fiona Crosbie, “Aspect of Confidentiality in Mediation: A Matter of


Balancing Competing Public Interest”, dalam Commercial
Dispute Resolution Journal, Australia, 1995.

George H. Golvan QC, “The Use of Mediation in Commercial and


Construction Dispute”, dalam Dispute Resolution Journal,
Sydney, 1996.

Garry Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS,


Jakarta, 1999.

Greg Vickery, “International Commercial Arbitration in China”, dalam


Dispute Resolution Journal, Sydney, 2000.

Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Alternatif Penyelesaian Sengketa;


Seri Hukum Bisnis, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Hideo Tanaka (Ed.), The Japan Legal Sistem, University of Tokyo


Press, Tokyo, 1988.

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Six Edition, West


Publishing Co, St. Paul, Minn, 1990.

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar


Maju, Bandung, 1992.

Hilary Astor dan Christine M. Chinkin, Disputes Resolution Industri


Australia, Butterworths, Sydney, 1992.

H. Ahmad Zulkifli, “Putusan Arbitrase Sulit Dieksekusi”, Forum


Keadilan, No. 19, Tahun 4, Januari 1996.

Hikmahanto Juwana et.al., Peran Lembaga Peradilan dalam


Menangani Perkara Persaingan Usaha, Partnership For
Bussiness Competition, Jakarta, 2003.

Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.

196
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco,
Bandung, 1993.

J.G. Merrills, Internasional Dispute Settlement, Sweet & Maxwell,


London, 1984.

JR. Spencer Jackson’s, Machinery of Justice, University Press,


Cambride, 1989.

Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Disputes Resolution in a


Nutshell, West Publishing Co, St, Paul Minnesota, 1992.

J.E. Sahetapy, Forum Keadilan, No. 4, Tahun 5, Juni 1996.

J.A. Cohen, Chinese Mediation on the Eve of Modernisation, Law


Review, California, 2000.

Josi K. Assegaf, “Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) di


Berbagai Negara: Pelajaran Bagi Indonesia”. Makalah,
disampaikan pada acara Sosialisasi Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin.

Kimberlee Kovach, Mediation Principil and Practice, West Publishing


Co., St. Paul Minnesota, 1994.

Keebet Von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat.


Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau,
Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan
Perwakilan Koninklijk Instituut voor Tal-Land-en
Volkenkunde, Jakarta, 2000.

Larry L. Teply, Legal Negotiation: In a Nutshell, West Publishing Co,


St. Paul, Minn, 1992.

Loise Rosemann, “the Birth of ADRA: Past and Future Visions”, dalam
Dispute Resolution Journal, Australia, 1997.

197
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,
Airlangga University Perss, Surabaya, 1979.

M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta


Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum
Eksekusi, Citra Bhakti, Jakarta, 1993.

------------, ”Mencari Sistem Peradilan Yang Efektif dan Efisien”,


Makalah, disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun
Pembinaan Hukum sebagai Modal Dasar Pembangunan
Hukum Nasional Dalam PJP II, Jakarta 18-21 juli 1995.

------------, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan


Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Mas Achmad Santosa, Mekanisme Penyelesaian Sengketa


Lingkungan Secara Kooperatif (Alternative Disputes
Resolution/ADR), Indonesian Center for Environmental
Law, Jakarta.

------------, “Pelembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) di


Berbagai Negara”, Majalah Musyawarah, Nomor 1 Tahun I,
Indonesian Center for Environmental, Jakarta, 1997.
------------, “Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah untuk
menanggapi Laporan Diagnostie Aqssesment of Legal
Development in Indonesia (bidang ADR), Jakarta,
September 1997.

------------, ”Potensi Penerapan Alternative Dispute Resolution


Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dalam Pustaka
Peradilan, Jilid XVIII, Proyek Pembinaan Tehnis Justicial
Mahkamah Agung R.I., 1998.

------------, “Perkembangan Pelembagaan ADR di Indonesia”, Makalah


disampaikan pada Lokakarya Hasil Penelitian Teknik
Mediasi Tradional, yang diselenggarakan oleh The Asia
Foundation, Indonesian Center for Enviromental Law
bekerjasama dengan Pusat Kajian Pilihan Penyelesaian
Sengketa Universitas Andalas, di Sedona Bumi Minang,
Tanggal 27 November 1999.

198
M. Allars, International to Australian Administrative Law, Butterworths,
Australia, 1990.

Mr. Justice Neil Kaplan, “Mediation in Hong Kong”, dalam Commercial


Dispute Resolution Journal, Hongkong, 1994.

Mas Achmad Santosa dan TM. Luthfi Yazid, “Pembentukan ADR,


Tidak Cukup Hanya Dukungan Budaya Musyawarah”,
Harian Kompas, 27 Februari 1995.

Manchester Open Learning, Mengendalikan Konflik dan Negosiasi,


(Terj. Amitya Kumara Soeharso), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1995.

Maureen Garwood, “Books and Borrowers: Mediation of Failed


Transaction”, dalam Dispute Resolution Journal, Australia,
1997.

“Mediation Get High Marks”, dalam Dispute Resolution Journal the


American Arbitration Association, Journal, American, 1997.

Munir Fuadi, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa


Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.

Mariana Sutadi, ”Pendayagunaan Perdamaian Menurut Pasal 130


HIR/154 RBg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan
yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan”, dalam Mediasi
dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Jakarta, 2004.

M. Siahaan, ”Pengkajian Beberapa Topik Hukum Acara Perdata”,


dalam Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata,
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2004.

P. Gulliver, Disputes and Negotiation; A Cross Cultural Prospective,


Academic Press, New York and London, 1979.

Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc. Graw Hill publishing


Comp., New York, 1989.

199
Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, Mc Graw Hill publishing
Company, New York, 1989.

“Pengusaha Lebih Suka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”,


Harian Kompas,19 Februari 1995.

R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,


Jakarta, 1984.

Roger Fisher and William Ury, Getting to Yes; Negotiation an


Agreement Without Giving In, Century Business Ltd,
London, 1992.

R. Singer, Setting Disputes Comflict Resolution In Business, Families


and The Legal Sistem, Second Edition, West View Press,
Boulder, 1994.

Robert D. Garret, “Mediation in Native American”, Dispute Resolution


Journal, America, March 1994.

Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkertawinata, Hukum Acara


Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,
1995.

Richard Hill, Non Adversarial Mediation, http:/www.Batnetcom/


oikoumene/arbmed3. Html. Available, diakses pada tanggal
3 Juni 2000.

Runtung, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa


Alternatif (Studi Mengenai Masyarakat Karo di Kabanjahe dan
Berastagi)”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2002.

Rahmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual


Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni,
Bandung, 2003.

Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan


Mediasi, Cetakan Pertama, Pusat Pengkajian Hukum
Kerjasama dengan Pusdiklat MARI, t.k., 2003.

200
Stephen B. Goldberg et.al., Disputes Resolution, Little Brown, Boston,
1985.

------------, Dispute Resolution Negasiation, Mediation and Other


Processes, Little Brown and Company, Boston-Toronto-
London, 1992.
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Alumni,
Bandung, 1992.

Sutadi Djayakusuma, “Peluang Penerapan Lembaga Penyelesaian


Perkara Alternatif di Indonesia: Suatu Pandangan”, Makalah
pada Seminar Eksekutif Pengelolaan Sengketa Lingkungan
di Indonesia, Jakarta, 24 April 1995.

“Sudah Perlu Dibentuk, Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif”,


Harian Kompas, 13 Februari 1995.

Supraprto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga


University Press, Surabaya, 1999.

Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek-


aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.

Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975.

Tony Mc Adams, Law Businessand Society, Third Edition, Irwin,


Boston, 1992.

T.O. Ihromi (Ed.), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai,


Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.

Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam


Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini”, Makalah
disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam Kasus-kasus Tanah, Perburuhan dan
Lingkungan, di Selenggarakan oleh Studi dan Advokasi
Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat
IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994.

Tjok Istri Putra Astitit, “Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa


dalam Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan”, dalam

201
Majalah Musyawarah, Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center
for Environmental Law, Jakarta, 1997.

Tom Tso, Moral Principles, Tradition and Fairness in the Nevajo


National Code of Judical Conduct, Judicaturel, London,
2000.

The New York State Dispute Resolution Association Inc. What is


Alternative Dispute Resolution (ADR)? http://www.nydra.
org/sdr.html. Available, diakses pada tanggal 30 Mei 2000.

Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang


Kontemporer”.

URL: http://wwlia.org/adr2.htm, diakses tanggal 8 Februari 1997.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang


Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang


Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang


Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

202
LAMPIRAN 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-


undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata di samping dapat diajukan ke peradilan
umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini
berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dunia usaha dan hukum pada
umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk
undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

203
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar


peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata


maupun hukum publik.

3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula


arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.

4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah


hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.

5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan


penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian


sengketa melalui arbitrase.

7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh
lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang

204
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa.

9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan


oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional.

10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian


sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Pasal 2

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda


pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu
yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul
atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan
diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.

Pasal 3

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para


pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Pasal 4

(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara
mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan
dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika
hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.

(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu
dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

205
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase
terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks,
telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh
para pihak.

Pasal 5

(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya


sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah


sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak
dapat diadakan perdamaian.

BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 6

(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh


para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif


penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis.

(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.

206
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua
belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau


lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui


mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (
tiga puluh ) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara


tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.

(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat


sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.

(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan
usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase
ad-hoc.

BAB III
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAK
INGKAR

Bagian Pertama
Syarat Arbitrase

207
Pasal 7

Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang
akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

Pasal 8

(1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan


dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau
dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase
yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.

(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas:
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang
berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah
arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian
semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Pasal 9

(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui


arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal
tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.

(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian


tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis
tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus


memuat:
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

208
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis
arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud


dalam ayat (3) batal demi hukum.

Pasal 10

Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh


keadaan tersebut di bawah ini:
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada
pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Pasal 11

(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para


pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri.

(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan
di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam undang-undang ini.

209
Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter

Pasal 12

(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus


memenuhi syarat:
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak
bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain
atas putusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidangnya paling sedikit 15 tahun.

(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.

Pasal 13

(1) Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan


mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat
mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri
menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.

(2) Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidaksepakatan


dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak
dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka
penyelesaian sengketa para pihak.

Pasal 14

(1) Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang
timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak
wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan
arbiter tunggal.

210
(2) Pemohon dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-
mail atau dengan buku ekspedisi harus mengusulkan kepada
pihak termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter
tunggal.

(3) Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter
tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua
Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.

(4) Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal


berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak,
atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan
baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para
pihak terhadap orang yang bersangkutan.

Pasal 15

(1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi


wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan
menunjuk arbiter yang ketiga.

(2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat


sebagai ketua majelis arbitrase.

(3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis
arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak
sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah
pihak.

(4) Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing


pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil
menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas
permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat
mengangkat arbiter ketiga.

211
(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
dapat diajukan upaya pembatalan.

Pasal 16

(1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau


menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut.

(2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1), wajib diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
penunjukan atau pengangkatan.

Pasal 17

(1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh


para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut
oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka
antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima
penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.

(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan
memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima
putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah
diperjanjikan bersama.

Pasal 18

(1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh salah satu pihak untuk
duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada
para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang
akan diberikan.

(2) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberitahukan
kepada para pihak mengenai penunjukannya.

212
Pasal 19

(1) Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau


pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas
persetujuan para pihak.

(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan
menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada para pihak.

(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan


diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang
bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.

(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat


persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 20

Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak
memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan,
arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang
diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak.

Pasal 21

Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab


hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses
persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai
arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad
tidak baik dari tindakan tersebut.

213
Bagian Ketiga
Hak Ingkar

Pasal 22

(1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat


cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan
keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara
bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.

(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula


dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan,
keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.

Pasal 23

(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua


Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.

(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang
bersangkutan.

(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada


majelis arbitrase yang bersangkutan.

Pasal 24

(1) Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya


dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak
yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan
arbiter yang bersangkutan.

(2) Arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya


dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah
adanya penerimaan penetapan pengadilan tersebut.

(3) Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukan seorang arbiter


yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan

214
ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
pengangkatan.

(4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat


(1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diketahuinya hal tersebut.

(5) Tuntutan ingkar harus diajukan secara tertulis, baik kepada pihak
lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya.

(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus
mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk
sesuai dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 25

(1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat
diajukan perlawanan.

(2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa


tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan,
seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara
sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang
digantikan.

(3) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar,


arbiter melanjutkan tugasnya.

Pasal 26

(1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya


arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh
penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan undang-
undang ini.

215
(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana terbukti berpihak atau
menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum.

(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbiter


meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri,
sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang
arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang
berlaku bagi pengangkatan arbiter yang bersangkutan.

(4) Dalam hal seorang arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase
diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang
kembali.

(5) Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan sengketa


hanya diulang kembali secara tertib antar arbiter.

BAB IV
ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE
Bagian Pertama
Acara Arbitrase

Pasal 27

Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase


dilakukan secara tertutup.

Pasal 28

Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah


bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis
arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.

Pasal 29

(1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan


yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing.

(2) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya


dengan surat kuasa khusus.

216
Pasal 30

Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan


menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan
keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta
disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa
yang bersangkutan.

Pasal 31

(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas
untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan
mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam
pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk
sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua
sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau
majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan
dalam Undang-undang ini.

(3) Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai
ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase
dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan,
arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.

Pasal 32

(1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase
dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya
untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa
termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan
barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah
rusak.

(2) Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil atau putusan sela


lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.

217
Pasal 33

Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang


jangka waktu tugasnya apabila:
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal
khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela
lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk
kepentingan pemeriksaan.

Pasal 34

(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan


menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak.

(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara
dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.

Pasal 35

Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap


dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa
yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 36

(1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara


tertulis.

(2) Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para


pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 37

(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase,


kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.

218
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi
atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat
tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.

(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis
arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum
acara perdata.

(4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan


setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang
berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan
dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah
agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.

Pasal 38

(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya
kepada arbiter atau majelis arbitrase.

(2) Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:


a. nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan
para pihak;
b. uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran
bukti-bukti; dan
c. isi tuntutan yang jelas.

Pasal 39

Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua


majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut
kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus
menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam
waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari sejak diterimanya salinan
tuntutan tersebut oleh termohon.

Pasal 40

(1) Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah


arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut
diserahkan kepada pemohon.

219
(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase
memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap
di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat
belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.

Pasal 41

Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya,
termohon akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2).

Pasal 42

(1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang


pertama, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan
terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan
untuk menanggapi.

(2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase
bersama-sama dengan pokok sengketa.

Pasal 43

Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang
menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat
tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase
dianggap selesai.

Pasal 44

(1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah tidak
datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara
patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan
pemanggilan sekali lagi.

(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua


diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak

220
datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau
tidak berdasarkan hukum.

Pasal 45

(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah
ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang
bersengketa.

(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat
suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan
perdamaian tersebut.

Pasal 46

(1) Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha


perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1)
tidak berhasil.

(2) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan


secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti
yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam
jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak
untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis,
dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 47

(1) Sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat mencabut


surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase.

221
(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau
penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan
persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau
penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan
tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar
permohonan.

Pasal 48

(1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu


paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau
majelis arbitrase terbentuk.

(2) Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai


ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diperpanjang.

Bagian Kedua
Saksi dan Saksi Ahli

Pasal 49

(1) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan
para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang
saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.

(2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli


dibebankan kepada pihak yang meminta.

(3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli


wajib mengucapkan sumpah.

Pasal 50

(1) Arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang


atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis
mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan
pokok sengketa.

(2) Para pihak wajib memberikan segala keterangan yang


diperlukan oleh para saksi ahli.

222
(3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan
saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

(4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para
pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat
didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan
dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.

Pasal 51

Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat


berita acara pemeriksaan oleh sekretaris.

BAB V
PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE

Pasal 52

Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat


yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu
dari suatu perjanjian.

Pasal 53

Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum
apapun.

Pasal 54

(1) Putusan arbitrase harus memuat:


a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;

223
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang


arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak
mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.

(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.

(4) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut


harus dilaksanakan.

Pasal 55

Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera


ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan
arbitrase.

Pasal 56

(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan


ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.

(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul
antara para pihak.

Pasal 57

Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari


setelah pemeriksaan ditutup.

224
Pasal 58

Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan


diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter
atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan
administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan
putusan.

BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

Bagian Pertama
Arbitrase Nasional

Pasal 59

(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan
pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera
Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta
pendaftaran.

(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar


asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya
kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

(5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta


pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

225
Pasal 60

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap


dan mengikat para pihak.

Pasal 61

Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara


sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.

Pasal 62

(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan


dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri.

(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4
dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum.

(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap
putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya
hukum apapun.

(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau


pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pasal 63

Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan
otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.

226
Pasal 64

Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan


Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam
perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.

Bagian Kedua
Arbitrase Internasional

Pasal 65

Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan


Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.

Pasal 66

Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat


dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai
salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan
setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.

227
Pasal 67

(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional


dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.

(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase
Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa
Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar
Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya
dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di
negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut
ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat
pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral
dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Pasal 68

(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang mengakui
dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat
diajukan banding atau kasasi.

(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak
untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase
Internasional, dapat diajukan kasasi.

(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap


pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah
permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

228
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.

Pasal 69

(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan


perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka
pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.

(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang
milik termohon eksekusi.

(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata


cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.

BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

Pasal 70

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan


permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Pasal 71

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara


tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri.

229
Pasal 72

(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan


kepada Ketua Pengadilan Negeri.

(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut
akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.

(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua


Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diterima.

(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan


permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir.

(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan


permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER

Pasal 73

Tugas arbiter berakhir karena:


a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase
atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.

Pasal 74

(1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang


telah diberikan kepada arbiter berakhir.

230
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya
salah satu pihak.

Pasal 75

(1) Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan


ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih arbiter, para pihak
harus mengangkat arbiter pengganti.

(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua
Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang
berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbiter
pengganti.

(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa


yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah
diadakan.

BAB IX
BIAYA ARBITRASE

Pasal 76

(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase.

(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:


a. honorarium arbiter;
b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh
arbiter;
c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya administrasi.

Pasal 77

(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.

231
(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase
dibebankan kepada para pihak secara seimbang.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 78

Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah


diajukan kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan
pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan
undang-undang ini.

Pasal 79

Sengketa yang pada saat undang-undang ini mulai berlaku sudah


diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama.

Pasal 80

Sengketa yang pada saat undang-undang ini mulai berlaku sudah


diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan undang-undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 81

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai


arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah
Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227), dinyatakan tidak berlaku.

232
Pasal 82

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar


setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999


MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA,

ttd

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999


NOMOR 138

233
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

I. UMUM

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan


peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang
meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata
usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang
tersendiri.

Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14


Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.

Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di


Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het
Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705
Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan


dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara
lain:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif;

234
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak
dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya


benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih
cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase
terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya
tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui
arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak
bisnis bersifat internasional.

Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di


bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta
perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat
dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering)
yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi
sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat
internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non
sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini,
perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun
substantif sudah saatnya dilaksanakan. Arbitrase yang diatur dalam
Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di
luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari
pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat
diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai
hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.

Di samping itu ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) Reglemen Acara
Perdata (Reglement op de Rechtvordering) sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat

235
dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya
mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya
dalam Undang-undang ini tidak disebut lagi bahwa wanita tidak dapat
diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam Bab I mengenai
Ketentuan Umum.

Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa


melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR)
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.

Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus
dipenuhi untuk arbitrase dan syarat pengangkatan arbiter serta
mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa.

Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di hadapan


majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil
putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan
sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang
yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi
ahli.

Seperti halnya dengan putusan pengadilan, maka dalam putusan


arbitrase sebagai kepala putusan harus juga mencantumkan "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Di samping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang berlaku
mengenai putusan arbitrase. Kemudian dalam Bab ini diatur pula
kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang
arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional
dan penolakan permohonan perintah pelaksanaan putusan arbitrase
oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir,
dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian


sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan
proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak

236
masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum
banding kasasi maupun peninjauan kembali.

Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka undang-


undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase
nasional maupun internasional.

Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan


sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat
dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang
menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal
ini secara sistem hukum dibenarkan.

Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini


dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua


Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut
hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter,


yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena
jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak
sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya
salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan
kepada arbiter berakhir.

Bab IX dari undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase


yang ditentukan oleh arbiter.

Bab X dari undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan


peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum
diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah

237
diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam
Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini
maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal
377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705
Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan
tidak berlaku.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10

238
huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Yang dimaksud
dengan "novasi" adalah pembaharuan utang. huruf d Yang
dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu
membayar. huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g
Cukup jelas huruf h Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini
menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya
obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian
putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 13

Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa
dalam praktek akan terjadi jalan buntu apabila para
pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara
baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh
dalam pengangkatan arbiter.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17

239
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah
memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi
alasan untuk mempergunakan hak ingkar. Namun
apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak,
maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak
menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang
mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut.
Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya
fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya,
sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk
mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta
baru tersebut.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

240
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar
dan jangka waktunya. Jangka waktu ini dipandang perlu
agar tidak sewaktu-waktu dapat dihambat dengan
adanya tuntutan ingkar.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)
Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar
mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut
bersifat final dan tidak ada upaya perlawanan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

241
Ayat (5)
Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti,
pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara
dan surat yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada.

Pasal 27
Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup
adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku
di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk
umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan
penyelesaian arbitrase.

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara
perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menunjuk kuasa dengan surat kuasa yang bersifat
khusus.

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka
waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak

242
membuat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka
arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33

Huruf a
Yang dimaksud dengan "hal khusus tertentu" misalnya
karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di
luar pokok sengketa seperti permohonan jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk memilih peraturan dan acara yang akan
digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka,
tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari
lembaga arbitrase yang dipilih.

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

243
Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara
tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan
dapat dilakukan secara lisan. Juga keterangan saksi ahli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat
berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 37

Ayat (1)
Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting
terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan
sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata
internasional. Seperti lazimnya tempat arbitrase
dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus
dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut jika
para pihak tidak menentukan sendiri maka arbiter yang
dapat menentukan tempat arbitrase.

Ayat (2)
Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk
mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan
arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal
saksi bersangkutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas

244
Huruf b
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan
sebagai lampiran.
Huruf c
Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan
berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang
pasti.

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)
Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang
diajukan oleh pihak termohon

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 43
Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur
apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari
pemeriksaan pertama.

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

245
Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)
Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh)
hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan
sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk
menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan
arbitrase.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat
menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang
mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai
penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau
perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan
timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya
pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak
terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak
bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
perjanjian.

Pasal 53
Cukup jelas

246
Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56

Ayat (1)
Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian
untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus
perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai
dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan
putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka
peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan.
Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa
(dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat
disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi
kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan
keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat
memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil
sebagaimana dilakukan oleh hakim.

Ayat (2)
Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk
menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam
proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan
lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat
arbitrase dilakukan.

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan
administratif" adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan
pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat
para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah
substansi putusan.

247
Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi tuntutan"
adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan
terhadap putusan apabila putusan, antara lain:
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak
lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk
diputus; atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu
sama lainnya.

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan
demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan
arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan
arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan
mengikat.

Pasal 63
Cukup jelas

248
Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum
perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain di
bidang: - perniagaan; - perbankan; - keuangan; -
penanaman modal; - industri; - hak kekayaan intelektual.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat
dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan
(eksekuatur).

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan.

249
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam
pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila
pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti
atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk
mengabulkan atau menolak permohonan.

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk
memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para
pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya
atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.

Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa


setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau
arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa
bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa
tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "banding" adalah hanya
terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

250
Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3872

251
LAMPIRAN 2
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 01 TAHUN 2008
Tentang
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses


penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses yang lebih besar
kepada para pihak menemukan penyelesaian yang
memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses


beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan
perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses
pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).

c. Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130


HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak
untuk menempuh proses perdamaian yang dapat
diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses
mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan
Negeri.

d. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-


undangan dan memperhatikan wewenang
Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan
yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-
undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan
kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak
untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata,

252
dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung.

e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap


pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan
beberapa permasalahan yang bersumber dari
Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu
direvisi dengan maksud untuk lebih mendayaguna-
kan mediasi yang terkait dengan proses berperkara
di Pengadilan.

Mengingat: 1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.

2. Reglemen Indonesia yang diperbahrui (HIR)


Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg)
Staatsblad 1927 Nomor 227.

3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang


Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 8
Tahun 2004.

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang


Mahkamah Agung, lembaran Negara Nomor 73
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Nomor
9 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No
4359 Tahun 2004.

5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang


Peradilan Umum, lembaran Negara Nomor 20 Tahun
1986, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

253
Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 34
Tahun 2004.

6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Program Pembangunan Nasional, Lembaran Negara
Nomor 206 Tahun 2000.

7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang


Peradilan Agama, Lembaran Negara Nomor 73
Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran
Negara Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4611.

MEMUTUSKAN: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK


INDONESIA TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI
PENGADILAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur


Mediasi di Pengadilan.

2. Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan


perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan
perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa
maupun luar biasa.
3. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk
oleh ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara
perdata.

4. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu


pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.

5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat-


syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri

254
sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan
bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini.

6. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam


proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.

7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses


perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator.

8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan
kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa
mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.

9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana


diatur dalam Peraturan ini.

10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak
yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian
sengketa.

11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa


seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi
yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh
Mahkamah Agung.

12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan


mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan
mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta
dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan
kepada publik terkecuali atas izin para pihak.

13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam


lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.

14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan


peradilan umum dan peradilan agama.

255
Pasal 2
Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma

(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi


yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.

(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam
Peraturan ini.

(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini


merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan
atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum.

(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan


bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian
melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk
perkara yang bersangkutan.

Pasal 3
Biaya Pemanggilan Para Pihak

(1) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi


lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang
panjar biaya perkara.

(2) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya


pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak.

(3) Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya


pemanggilan para pihak dalam proses mediasi dibebankan
kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya
perkara.

Pasal 4
Jenis Perkara Yang Dimediasi

Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga,

256
pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang
diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan
mediator.

Pasal 5
Sertifikasi Mediator

(1) Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan


Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi
mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang
diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia.

(2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat,
akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat
mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan
berwenang menjalankan fungsi mediator.

(3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi


syarat-syarat berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia;
b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah
mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan
atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau
pelatihan mediasi;
c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan
mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan;
d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di
pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia.

Pasal 6

Sifat Proses Mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak


menghendaki lain.

257
BAB II
Tahap Pra Mediasi

Pasal 7
Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum

(1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua
belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh
mediasi.

(2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi


pelaksanaan mediasi.

(3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,
mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam
proses mediasi.

(4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak


sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

(5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk


memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses
mediasi.

(6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini


kepada para pihak yang bersengketa.

Pasal 8
Hak Para Pihak Memilih Mediator

(1) Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan


berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan;
b. Advokat atau akademisi hukum;
c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai
atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
d. Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d,
atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.

258
(2) Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang
mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati
oleh para mediator sendiri.

Pasal 9
Daftar Mediator

(1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua


Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat
sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan
latarbelakang pendidikan atau pengalaman para mediator.

(2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah


memiliki sertifikat dalam daftar mediator.

(3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada


mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang
bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator.

(4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan


permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya
ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang
bersangkutan.

(5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua


Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar
mediator.

(6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui


daftar mediator.

(7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari


daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain,
karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah
penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.

Pasal 10
Honorarium Mediator

259
(1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.

(2) Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para
pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.

Pasal 11
Batas Waktu Pemilihan Mediator

(1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim
mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2
(dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih
mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan
penggunaan mediator bukan hakim.

(2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka


kepada ketua majelis hakim.

(3) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk


melaksanakan tugas.

(4) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat


(1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih
mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib
menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada
ketua majelis hakim.

(5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan


memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim
bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada
pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.

(6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan
pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa
pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh
ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
Pasal 12
Menempuh Mediasi dengan Iktikad Baik

(1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.

260
(2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi
jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik.

BAB III
Tahap-Tahap Proses Mediasi

Pasal 13
Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi

(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan
kepada mediator.

(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.

(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari


kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh
ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (5) dan (6).

(4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat 3.

(5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu


pemeriksaan perkara.

(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi
dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat
komunikasi.
Pasal 14
Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal

261
(1) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika
salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua
kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai
jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua
kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa
alasan setelah dipanggil secara patut.

(2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami


bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset
atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata
berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat
gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat
menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat
menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa
perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan
alasan para pihak tidak lengkap.

Pasal 15
Tugas-Tugas Mediator

(1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan


mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.

(2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung


berperan dalam proses mediasi.

(3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.

(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan


menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Pasal 16
Keterlibatan Ahli

(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat

262
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para
pihak.

(2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang


kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau
penilaian seorang ahli.

(3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam
proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan.

Pasal 17
Mencapai Kesepakatan

(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak


dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak
dan mediator.

(2) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum,
para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas
kesepakatan yang dicapai.

(3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator


memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari
ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang
tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik.

(4) Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari
sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian.

(5) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada


hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.

(6) Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian


dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan
perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan
atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.

Pasal 18

263
Tidak Mencapai Kesepakatan

(1) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak
mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab
yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan
secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan kepada hakim.

(2) Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim


melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum
acara yang berlaku.

(3) Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa


perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan
perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.

(4) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)


berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari
para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim
pemeriksa perkara yang bersangkutan.

Pasal 19
Keterpisahan Mediasi dari Litigasi

(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan


pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara
yang bersangkutan atau perkara lain.

(2) Catatan mediator wajib dimusnahkan.

(3) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses


persidangan perkara yang bersangkutan.

(4) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana


maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses
mediasi.

BAB IV

264
Tempat Penyelenggaraan Mediasi

Pasal 20

(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan


Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para
pihak.

(2) Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar


pengadilan.

(3) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan


Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.

(4) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain,


pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan
kesepakatan.

BAB V
PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI, DAN
PENINJAUAN KEMBALI

Pasal 21

(1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh


upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses
banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara
yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan
peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.

(2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib


disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama yang mengadili.

(3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera


memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding
yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang
kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.

265
(4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat
banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim
pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali
wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama
14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan
tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian.

(5) Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan


kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau
memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi
kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian.

Pasal 22

(1) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat


(1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama.

(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21


dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di
tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak.

(3) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan


Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim
atau lebih untuk menjadi mediator.

(4) Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak boleh


berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak
ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut.

(5) Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat


mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada
majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali
untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.

(6) Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding,


kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-

266
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register
induk perkara.

(7) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat


(5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan
perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian
tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan
kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan
tingkat banding atau Mahkamah Agung.

Bab VI
Kesepakatan di Luar Pengadilan

Pasal 23

(1) Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil


menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan
perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian
tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta
perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian
dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan
hukum para pihak dengan objek sengketa.

(3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan


kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila
kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi;
e. dengan iktikad baik.

267
Bab VII
Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif

Pasal 24

(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati


pedoman perilaku mediator.

(2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.

Pasal 25

(1) Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi


proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator.

(2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung


tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang
berhasil menjalankan fungsi mediator.

BAB VIII
Penutup

Pasal 26

Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung


Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 27

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak


tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 31 Juli 2008


KETUA MAHKAMAH AGUNG

BAGIR MANAN

268
BIODATA PENULIS

Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum, dilahirkan pada tanggal 11 Juni


1962 di Medan, agama Islam, suku Karo. Putra kelima dari tujuh
bersaudara dari pasangan Alm. H. Perdana Ginting dan Almh. Hj.
Indarsih. Istri tercinta Hj. Saskia, S.E., M.Si dan memiliki tiga orang
anak, yaitu Alm. M. Realdi Putra Ginting, Reissa Irena Perdana
Ginting, dan M. Rifqi Ananda Ginting dan tinggal di Taman Setia Budi
Indah II Blok V No. 49 Medan. Penulis menyelesaikan SD
Bhayangkari Medan (1974), SMP Persit Medan (1977), SMA
Nusantara Yogyakarta (1981), S1 pada Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta (1986), S2 pada Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan (2001) dan S3 pada Sekolah
Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2008).
Sejak tahun 1989 sampai saat ini penulis diangkat menjadi Dosen
PNS DPK di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara dengan pangkat/golongan terakhir Lektor Kepala/IV a, NIP
131860653, di Jalan Kapten Muchtar Basri No. 3 Medan. Selain itu
penulis juga mengajar di Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara, Program Pascasarjana Universitas
Medan Area Medan, dan Program Pascasarjana Universitas Dharma
Agung Medan.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

269
Nama : Dr. Surya Perdana, S.H., M.Hum

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 11 Juni 1962

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Muhammadiyah


Sumatera
Utara Medan

Alamat : Taman Setia Budi Indah II Blok V No. 49


Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Bhayangkari Medan, tamat tahun 1974


2. SMP Persit Medan, tamat tahun 1977
3. SMA Nusantara Yogyakarta, tamat tahun 1981
4. S.1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yogyakarta,tamat
tahun 1986
5. S.2 Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan,
tamat tahun 2001
6. S.3 Sekolah Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara Medan, tamat tahun 2008

Riwayat Pekerjaan :

Dosen Kopertis wilayah I DPK Fakultas Hukum Universitas


Muhammadiyah
Sumatera utara Medan sejak tahun 1989 sampai dengan

sekarang

Riwayat Keluarga :

Nama Orang Tua : a. Ayah : Alm. H. Perdana Ginting


b. Ibu : Almh. Hj Indarsih

Nama Istri : Hj. Saskia, SE., M.Si

270
Nama Anak : 1. Alm. M. Realdi Putra Ginting

2. Reissa Irena Perdana Ginting

3. M. Rifqi Ananda Ginting

271

Anda mungkin juga menyukai