Anda di halaman 1dari 9

Tahun 1999, di tengah-tengah kehausan masyarakat Indonesia akan kebebasan pasca kejatuhan

rezim Soeharto, menjadi satu titik penting dalam kontinum perkembangan bahasa Indonesia
ragam kaum muda. Titik penting itu ditandai dengan dikenalnya istilah bahasa gaul dengan
penerbitan Kamus Bahasa Gaul karya debby Sahertian. Memasuki abad-21, dukungan
penyebaraluasan bahasa gaul menjelang 2000-an itu, selain datang dari industry penerbitan,
berasal dari industry pertelevisian yang “memasarkan” bahasa gaul melalui iklan, sinetron, dan
acara-acara berita-hiburan (infotainment). Industri film remaja tak mau kalah mencotohkan
pemakaian bahsa gaul melalui produksi film-film remaja seperti Ada Apa Dengan Cinta (2005)
dan Heart (2006). Diluar tiga industri yang sangat cepat meraih hati kaum muda, media
komunikasi melalui komputer (computer-mediated communication) menjadi wadah penyuburan
pemakaian bahasa gaul. Aneka fasilitas yang tersedia pada internet, seperti Friendster, milis, dan
blog, dimanfaatkan oleh masyarakat melek-e untuk berkomunikasi dalam bahasa gaul.
Tak lama kemudian perkembangan ragam bahasa di tengah-tengah euphoria kebebasan
berkomunikasi itu menjadi perhatian masyarakat, terutama para pengamat bahasa.
Perkembangan bahasa gaul yang demikian pesat telah membuktikan bahwa bahasa gaul diterima
oleh masyarakat luas. Di pihak lain, ada pula yang mengkhawatirkan perkembangan yang
demikian. Ambillah contoh yang dilakukan para ahli bahasa di Bali menjelang akhir tahun 2007
yang mendesak media massa untuk menggunakan bahasa gaul dalam suatu diskusi yang
diselenggarakan oleh Forum Media Massa Bali. Para linguis yang turut serta dalam diskusi itu
menyatakan bahwa saat ini kaum muda sedang mengalami krisis yang diatndai dengan
pemakaian bahasa gaul yang tidak apada tempatnya, yaitu di hadapan umum atau pemirsa.
Sebagian masyarakat menganggap bahasa gaul sebagai bahasa yang tidak baik. Pemicu anggapan
yang demikian adalah karena salah satu ciri bahasa gaul adalah kekayaan ungkapan serapah.
Secara umum dikatakan bahwa ungkapan serapah tidak baik. Namun, pendapat “ketidakbaikan
ungkapan serapah” itu mengundang ketidaksetujuan. Menurut Andersson dan Trudgill
(1990:35), yang dikutip oleh Stentrom (1996:77), menyatakan bahwa ungkapan serapah yang
tidak baik adalah ungkappan serapah yang tidak pada tempatnya dilontarkan, yang penting
diperhatikan adalah pragmatic pemakaian yang alih-alih kategori etimologis dan susunan
gramatikalnya.
Bahasan bahasa gaul dalam bahasa apapun di dunia kini tidak lagi menjadi peripheral. Bagi
pakar dan pengamat bahasa, bahasa gaul menjadi subjek pengamatan yang menarik. Sneddon
(2002), misalnya, yang termasuk pembahas perintis bahasa Indonesia ragam nonformal,
membahas bahasa kaum muda dalam kerangka bahasa Indonesia Jakarta. Dalam penelitian
berancangan kualitatif yang juga diarahka terhadap kaum muda untuk mengamati tingkat
perbedaan bahasa Indonesia formal dan nonformal, Sneddon menemukan bahwa tidak ada batas
yang tegas antara kenyataan berbahasa yang menunjukkan, misalnya, bahwa kosa kata bahasa
nonformal dapat muncul pada konteks formal. Sementara itu, Budiman (2006), seorang
pengamat muda bahasa Indonesia, yang mengadakan studi kasus pemakaian bahasa gaul di
kalamgan mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, memperlihatkan
secara menarik aneka gejala pemakaian bahasa gaul secara umum di kalangan mahasiswa dalam
situasi nonformal.
Tulisan ini sebenarnya melanjutkan bahasan bahasa gaul dengan penyempitan bahsan pada
ungkapan serapah (swearing words) dalam bahasa gaul tulis mutakhir. Titik mutakhir ditekankan
pada pemanfaatan data dari bermacam-macam sumber data tulis terbaru, terutama media
komunikasi melalui computer dalam wujud milis dan blog, yang kini mengakomodasikan
pemakaian bahasa gaul dan menjadi salah satu sarana utama penyebarluasan bahasa gaul secara
tertulis untuk tujuan komunikasi. Bahasan tentang ungkapan serapan dalam bahasa gaul
dipersempit pada klasifikasi ungkapan serapah dari sudut medan makna ungkapan serapah sebgai
salah satu kategori etimologis dan cara-cara spesifik pembentukan ungkapan serapah. Dalam
definisi operasional, ungkapan yang bersifat ofensif dan mengejutkan, sejalan dengan pendapat
Stenstrom (1996).
Bahasan tentang kebutuhan pragmatic yang memicu pemakaian ungkapan serapah telah
dikemukakan oleh Ljung (1986). Ljung (1986:14-15), yang dikutip oleh Stenstrom (1996:76),
membedakan ungkapan serapah menjadi dua jenis, yaitu ungkapan serapah yang bersifat agresif,
yang mencerminkan emosi penutur dan ungkapan serapah yang bersifat sosial, yang
memperintim hubungan antarpeserta komunikasi. Sementara itu, Stenstrom (1996:77) yang
mengadakan sintetis atas pendapat para peneliti terdahulu mengadakan klasifikasi ungkapan
serapah atas tiga jenis berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai penekan (intensifiers), penyerang
(abusives), dan pengutuk (expletives).
Pembahsan ungkapan serapah secara sosiolinguistis seperti yang dikatakan oleh Stenstrom itu
memang amat menarik. Namun, kreativitas penciptaan ungkapan serapah, terlebih jika
didudukan pada kerangka pengamatan atas perkembangan pemakaian bahasa mengikuti tema
besar buku ini, juga tidak kalah menarik. Dalam tulisan ini, menampilkan bentuk-bentuk
ungkapan serapah sebagai hasil pengemabngan ungkapan serapah secara kreatif. Dari sudutt
pandang itu, kategori-kategori etimologislah yang diperhatikan, namun bukan dari sudut siapa
dan kapan ungkappan serapah itu peryama kali dikatakan atau dipopulerkan, melainkan
bagaimana potensi kebahasaan dimanfaatkan untuk membangkitkan, bahkan memproduksi,
ungkapan serapah yang lain.
1. Perkembangan Ungkappan Serapah Bahsa Gaul dalam Media Tulis: Dari Prosa Cetak ke
Media Komunikasi melalui Komputer
Mengulas balik pemakaian ungkapan serapah pada masa silam ketika bahasa gaul masih
digunakan secara terbatas dalam istilah “bahasa preman” atau “bahasa prokem”, kreativitas
pengembangan ungkapan serapah tidak sepesat saat ini. Media tulis umum membatasi
pemakaian ungkapan serapah. Setidaknya, genre media tulis umum yang
mengakomodasikan pemakaian bahasa gaul adalah karya sastra, baik puisi maupun prosa.
Temuan pada data prosa (novel) modern yang dapat saya kumpulkan sementara ini, paling
tidak, dapat menggambarkan perkembangan pemakaian ungkapan serapah dalam media
tulis umum.
Pada tahun 1970-an melesat nama Motinggo Busye sebagai penulis novel popular. Dalam
roman-romannya dapat ditemukaan pemakaian satu atau duaa ungkapan serapah-
sebagaimana berikut dengan ungkapan serapah bercetak miring.
(1) Ireng mendjalankan mobilnja kembali sambil mnggerutu :
“Badjingan”.
“Kamu jang badjingan, ler!” balas Kirti.
“Kita semua badjingan”, kata Ireng.
(Musim Bunga Njonya Sonja 1970:28)
Khazanah novel populer pada 1970-an bertambah kaya dengan kehadiran Ashadi Siregar
yang sukses dengan novel Cintaku di Kampus Biru (1974), menyusul kesuksesan karya-
karya Motingo Busye. Di dalam Cintaku di Kampus Biru ditemukan pula pemakaian
ungkapan serapah seperti berikut.
(2) “Bagaimana?” Tanya bu Yushinta.
“Ah ya. Begini. Garis ini menunjukkan bahwa umur bu Nita panjang. Artinya, bu Nita
akan berkeluarga besar, dan suami bu Nita lebih dulu meninggal pada usia tua!”
“Ah gila kau!”
“Lho kok gila? Ini lagi, keturunan bu Nita akan banyak yang jadi orang besar.”
“Ah, kau mengada-ada. Brengsek!”
(Cintaku di Kampus Biru 1974:79)
Bentuk-bentuk bajingan, gila, dan brensek dapaat dikatakan sebagai ungkapan serapah yang
mendominasi dalam novel-novel 1970-an. Tingginya produktivitas pemakaian bentuk-bentuk
ungkapan serapah itu membuat pakar bahasa memuat bentuk-bentuk itu dalam kamus bahasa
Indonesia dan buku-buku tata bahasa baku, seperti yang dimuat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia edisi pertama, 1988.
Pada pertengahan tahun 1980-an hingga 1990-an, dunia novel remaja dihentakkan oleh
kehadiran serial Lupus, karya Hilman, yang dipenuhi dengan bahasa gaul, termasuk ungkapan
serapah di dalamnya, sebagaimana beberapa contoh berikut ini.
(3) “Ah, enggak. Saya justru mau ikutan Jumpa Fifi. Eh, si Boi, mana, Nto?”
“Lho? Payah. Kok malah ikut-ikutan Jumpa Fifi? Ayo dong, kamu bikin Jumpa Lupus.
Kita cari fans anak-anak baru, Pus. […]” (Lupus 1989:37)
(4) Tapi Fifi emang dasar gokil. Dan kalau udah gokil begitu, penyakit aphasia-nya emang
suka kumat. (Lupus 1989:53)
(5) “Dasar orang nggak tahu diri. Naik motor pelan banget, suaranya doing kayak jet.
Siaalan, aye udah minggir, motornya belon lewat. […]”(Lupus 1989:59)
(6) “Kamu liat tingkaah laku tetangga sebelah kita akhir-akhir ini, Fi. Uh, norak!
[…]”(Lupus 1989:77)

Memasuki abad ke-21, novel populer remaja membanjiri pasar buku. Melanjutkan gaya
penulisan Lupus yang kaya dengan kosa kata bahasa gaul, bentuk-bentuk ungkapan serapah yang
baru digunakan. Ambillah contoh Jomblo, karya Adhitya Mulya (2003), yang memakai bentuk-
bentuk baru ungkapan serapah bercetak miring berikut.

(7) “Sampeyan pikir aku Cro-magnon?”


“Mirip sih…oke, kalo elu sendiri, buka dengan percakapan kecil. Salah satunya
mungkin dengan sesuatu yang lucu. Wanita menyukai pria humoris.”
“Langkah kelimanya apa?”
“Ya kenalan, DODOL!” ujar Doni menutup sesi pengajaran, (Jomblo 2003:85)
(8) “… Kemana aja sih elu?”
“Biawak! MANEH tah (elu tuh) yang susah dicari.”
(Jomblo 2003:142)
Inilah yang kiranya menjadi catatan penting perkembangan bahasa gaul dalam lima hingga
sepuluh tahun terakhir ini mengiringi penertiban novel-novel remaja itu. Komunikasi melalui
computer telah menjadi modus utama pengembang bahasa gaul bahasa Indonesia. Bahasa gaul
tumbuh subur melalui sarana komunikasi melalui computer, baik yang asinkronik sehingga
terekam-terjejaki, seperti Friendster, milis, dan blog, maupun yang sinkronik, seperti
chatting.komunikasi melalui computer, dengan sifat komunikasi yang tidak bersemuka,
memungkinkan pengguna bereksprei secara santai menggunakan bahasa gaul, termasuk dalam
berserapah, tanpa kekhawatiran diawasi atau dianggap tidak santun. Tidak hanya itu,
multimodalitas komunikasi melalui computer jauh melampaui multimodalitas yang ditawarkan
oleh media cetak, surat kabar atau majalah sekalipun, yang tetap terikat dengan peran penyunting
dan nilai-nilai ideologis pengelola media. Dalam internet tidak jarang terbaca satu tulisan
berbahasa formal seorang pengguna internet yang ditanggapi untuk tujuan memperkuat
solidaritas pertemanan maya maupun untuk tujuan melawan musuh maya, pun tidaklah menjadi
hal yang tabu dalam komunikasi melalui computer. Sebagai contoh adalah kasus “permusuhan”
antara Indonesia dan Malaysia dalam wacana pengakuan produk budaya Indonesia oleh Malaysia
pada akhir tahun 2007 yang mengundang perang makian antara para pengguna internet Indonesia
dan Malaysia. Mengemukakan serapah Malingsia, yang merupakan kata “plesetan” dari bahasa
Sunda (dari Maling sia! Dengan maling ‘pencuri’ dan sia [bahasa Sunda] ‘kamu (kasar)’ yang
digunakan dalam fungsi seperti umpatan brengsek, sialan dalam bahasa Indonesia) yang
mengacu pada Malaysia untuk mengimbangi kata Indon, yang mengacu pada orang Indonesia,
yang dianggap oleh sebagian masyarakat Indonesia merendahkan orang Indonesia.
Ungkapan serapah identic dengan bahasa percakapan yang terikat pada konteks situasional dan
bersifat antarpribadi. Ketika dituliskan, apalagi ditujukan secara langsung kepada orang kedua
sebagai pembaca dan terbaca oleh khalayak luas, ungkapan serapah seharusnya terkendala oleh
hubungan antarpeserta komunikasi tertulis, nilai yang dianut oleh masyarakat seperti tabu, dan
media tempat ungkapan serapah itu ditulis apakah terbuka atau tertutup.
Namun, perkembangan teknologi informasi yang pesat mengakomodasi pemakaian ungkapan
serapah dalam media komunikasi melalui computer, bahkan hingga ungkapan serapah yang
ditujukan langsung kepada orang kedua secara terbuka dalam arti dapat dibaca oleh khalayak.
Masyarakat terbiasa menggunakan computer dalam hal ini dengan ragamnya, termasuk
mengomunikasikan emosi. Komunikasi melalui computer menjadi wahana multimodal sehingga
tidak mengherankan apabila dalam milis, misalnya, antarpeserta berserapah mulai dari tujuan
fatis, yakni melancarkan komunikasi, hingga mengekspresikan perasaan. Belum lagi “konvensi”
komunikasi tertentu dalam teknologi informasi mengundang keberanian peserta komunikasi
melalui computer untuk menggunakan ungkapan serapah secara kreatif dalam bentuk lain.
Ambillah contoh emotikon ataupun bentuk-bentuk singkatan yang mewakili emosi peserta
komunkasi yang memancing kreativitas peserta komunikasi melalui computer untuk menemukan
bentuk-bentuk baru bahasa gaul, termasuk di dalamnya ungkapan serapah.
Gejala baru yang mengikuti pemanfaatan sarana komunikasi melalui computer untuk bergaul
dengan bahasa gaul pun kemudian muncul. Penerbit menangkap peluang bisnis untuk
memunggah dan menerbitkan karya remaja populer yang berupa catatan harian. Hal yang
istimewa adalah catatan harian itu berasal dari blog. Kambing Jantan,karya Raditya Dika (2005),
yang meraih Best Indonesian Blog Awards pada tahun 2003, menjadi karya perintis penerbitan
catatan harian pada blog dalam bentuk buku yang meledak di pasar buku. Sewaktu dengan
Kambing Jantan, dapat disebut di sini karya remaja populer yang berasal dari catatan harian pada
blog seperti Kok Putusin Gue?, karya Ninit Yunita (2004), Dokter Ngocol, karya Ferdiriva
(2007), dan Lemot: A Diary of Ceweq Gokil, karya Pritha Khalida (2008). Genre catatan harian
sebagai ciri khas blog di awal pemunculannya tidak terelakkan membuka kesempatan yang lebih
luas bagi pemakaian bahasa gaul. Catatan harian dalam internet itu, yang mengakomodasi
kebebasan berekspresi penulisnya, mengeksplorasi semua ciri bahasa gaul, termasuk ungkapan
serapah. Hal yang menjadi keunikan genre cattan harian dalam blog adalah, tidak seperti catatan
harian – tertuliss tangan yang pembacanya terbatas atau bahkan bersifat rahasia, catatan harian
dalam blog justru mengundang pembaca seluas-luasnya untuk membaca, bahkan menanggapu
tulisan. Dari daya tarik itulah penerbit karya cetak menangkap potensi bisnis pemasaran, sebut
saja, karya-karya internet.
Demikianlah, bahasa gaul dengan ungkapan serapah sebagai salah satu cirinya menjadi demikia
terbuka menjangkau masyarakat luas seirig dengan perkembangan sarana komunikasi melalaui
computer yang diikuti oleh penerbitan karya internet. Jika pada tahun 1980-an bahasa gaul masih
dianggap identic dengan bahasa prokem (bahasa preman), dan pada tahun 1990-an sebagian
identic dengan bahasa kalangan muda dan sebagian identic dengan bahasa binan (bahasa
kalangan banci), kini bahasa gaul makin terlihat sebagai ragam bahasa nonformal yang lebih
umum.
2. Klasifikasi Ungkapan Serapah Mutakhir Berdasarkan Medan Makna
Berikut ini disajikan klasifikasi ungkapan serapah tulis mutakhir berdasarkan bentuk.
2.1 emosi
kata emosi menunjukkan suasana hati penutur kepada kawan tutur atau diri sendiri. Dalam
hal ungkapan serapah, suasana hati itu lazimnya tidak menyenangkan. Berikut disajikan
beberapa contoh.
(9) “elu ngapain sih, Ben!” tiba-tiba Cindy membentak dan melototin gue yang masih
sibuk mencet-mencet kalkulator. “Ilfil gue sama elu!” tukas Cindy dan sehelai serbet
makan mendarat dengan mulus di muka gue. (Makan Tuh Cinta 2008:41)
(10) AAARRGGGH!!! Bete banget deh siang ini.
Jadi sepagian kan gue udah disibukkan mengejar dosen pembimbing yang menghilang
sejak seminar sebulan yang lalu. Jangankan di-SMS, ditelpon aja kagak diangkat.
(Lemot 2008:119)
(11) …. Semuanya… semuanya…. Terlintas kembali di kepalaku…. Bersama dengan
indahnya malam dan hembusan angina yang seakan bilang, “kasian deh lo…”
(Kambing Jantan 2005:33)
(12) Bagi yang ga tau susan (cucian deh lo), susan adalah boneka yang ceritanya bisa
ngomong, cukup terkenal diantara anak-anak SD geblek kurang kerjaan telat puber
(termasuk gw) pada tahun 1993-1994 dulu. (Kambing Jantan 2005:56)
Bentuk ilfil merupakan pemendekatan dari ilang filing (hilang feeling) yang digunakan ketika
penutur merasa kehilangan semangat untuk memperhatikan seseorang atau sesuatu. Bête,yang
sering juga dituliskan BT, merupakan pemendekatan dengan penyesuaian fonologis dari bad
mood yang digunakan ketika penutur merasa kesal atau jenuh atas sesuatu yang terjadi. Bentuk
kasian deh lo (kasihan deh elu), yang kemudian di “peleset” kan menjadi cacian deh lo,
digunakan untuk mengejek kawan tutur atas ketidaktahuan atau pengalaman buruk yang
menimpanya.
Sejalan dengan kebutuhan penggunaan bahasa secara efisien dalam media komunikasi
elektronik, seperti SMS (surat elektronik singkat pada telepon seluler), muncul emotikon.
Sebagian emotikon mewakili aktivitas penutur sehingga dapat ditafsirkan pula mewakili suasana
hati. Berikut disajikan beberapa contoh.
(13) Tadi sore lagi senam.. biasa kalo lagi senam biar ga boring pikiran gue suka
mengembara kesana kemari.. pokonya kemana2 deh ekkeek. Nah tadi sore itu sebelum
berangkat senam gue ada conference ama ibu2 gaul nan porno :P
(amelkiyut.blogspot.com/2007/04/setengah-gila.html, 4 April 2007)
(14) Mana sebelumnya sempet ada tragedy gue nyium cap Tiger-nya lagi. Catet yaa, gue
nyium dengan bibir, bukan idung. Yang mengakibatkan bibir gue jontor dalam
beberapa menit :( (Lemot 2008:80)
(15) Kamu koq sotoy? Udah jelas-jelas initial i, akhiran n. Emang lu kira si Ucup namanya
Itevanun? :X
Emotikon :P mewakili aktivitas menjulurkan lidah sehingga dapat ditafsirkan ekual dengan
perasaan merendahkan :( mewakili aktivitas cemberut sehingga ekual dengan kekesalan; dan :X
mewakili kemarahan, jika emotikon-emotikon itu dilihat dengan cara memirngkan kepala ke kiri
bawah, lebih jelas terliihat emotikon itu merupakan gambar simbol wajah dengan ekspresi yang
terwakili oleh gerak mulut yang disimbolkan oleh P (lidah ke luar), ( (biibir cemberut), dan X
(mulut menggeram).
2.2 Jenis Hewan yang Dekat dengan Kehidupan Manusia
Jenis hewan yang dekat dengan kehidupan manusia telah umum menjadi ungkapan
serapah, seperti anjing, babi, kampret, sapi, bangsat, monyet, dan kuda, yang ditujukan
kepada kawan tutur sebagai ungkapan kekesalan atau candaan ataupun kepada diri
sendiri saat terkejut megalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Berikut disajikan
beberapa contoh.
(16) Anaz : *BBBBRRRBROOOOT!!!!!!!!*
Eja : Anjing! Anaz… lo KENTUT yah?!!!!!!
(Kambing Jantan 2005:49)
(17) Ada benda kecil. Lumayan kecil. Berbentuk kotak. Di tengah-tengah ada bolongan.
Setelah gw mencerna gambar yang gw terima. Gw nyadar. Benda itu kamera.
JEPRET!
Telat. Gw tereak.
Gw: KUDAAAA LO JAAA!!!!!!!
(18) Entah karena kebawa suasana kangen, entah emang dasarnya udah gak niat. Dina pun
ngebatalin kuliahnya siang itu dengan alasan ambil jatah. Kampret! (Lemot 2008:95)
(19) Kalau untuk mengkeritik itu sih biasa, tapi kl sdh mengeluarkan kata2 yang tak
senonoh itu yg perlu dikasih pelajaran. Dasar bangsat lu… ngaca dulu….bangsat lu..!!!
dari anak lampung (thezoostation.wordpress.com/2007/09/18/makian-untuk-kangen-
band/feed/, 2 Mei 2008)
(20) Ngepet, bikin gue ketawa lu tor, kalo bener2 ada orang namanya Itevanun sih parah
tor, btw dah liat? (www.indotekken.com/forum/archive/index.php?-419.html, yang
diakses pada 1 Mei 2008)
Beberapa ungkapan serapah dalam klasifikasi ini dalam bahasa gaul mutakhir telah mengalami
perubahan internal dengan meninggalkan sedikit jejak asalnya. Beberapa contoh disajikan.
(21) Dan yang terjadi selanjutnya dengan si LB adalah, besoknya dia mencret spanjang di
Singapur, sampe (maaph) mengalami bercel alias berak di clana. Anjrit!!! (Lemot
2008:62)
(22) Lalu tiba” lampunya mati. Diiringi dengan suara ketawa. Gw tereak.
“WOOI….anjrot….sapa neh yang matiin lampu?!!!” lalu terdengar suara Eja yang
membahana ketawa sampe bengek. (Kambing Jantan 2005:58)
(23) Gue bingung. Untung Yogi nggak membuat kebingungan gue berlarut-larut. Ancrittt!
Setelah gue tahu apa yang terjadi, gue jadi gondok banget liat clip on gue itu. (Makan
Tuh Cinta 2008:36)
(24) Itu bukan keset tapi KUCING, Pritha bodoh!! Kya... (Lemot 2008:13)
(25) Ya elahhhhh penasaran ngliat si unzu nyrocos BoA BoA mulu. Gwa cari deh info,
poto, sekalian donlot lagunya. Tetapiiiiiiiiii….. kirain keren, suaranya biasa aja…
lagunya juga biasa aja. Nonton klipnya? Bukannya jadi kagum, malah jadi napsu.
(www.kapanlagi.com/clubbing/viewtopic.php?t=1671&start=15&sid=f24b0f29ea1521
892a45a8e9478b36, Feb 07, 2005)
Anjrit, anjrot, dan acrit berasal dari anjing, kya (pemendekan dari kuya) berasal dari
pemendekan kunyuk (‘monyet’) lu ya; kupret berasal daari kata kutu denga -pret yang merupakan
bentuk analogy dari ungkapan serapah yang memakai –pret, seperti kampret (‘kelelawar kecil’)
dan sompret (‘bunyi terompet yang mengagetkan’).

Anda mungkin juga menyukai