rezim Soeharto, menjadi satu titik penting dalam kontinum perkembangan bahasa Indonesia
ragam kaum muda. Titik penting itu ditandai dengan dikenalnya istilah bahasa gaul dengan
penerbitan Kamus Bahasa Gaul karya debby Sahertian. Memasuki abad-21, dukungan
penyebaraluasan bahasa gaul menjelang 2000-an itu, selain datang dari industry penerbitan,
berasal dari industry pertelevisian yang “memasarkan” bahasa gaul melalui iklan, sinetron, dan
acara-acara berita-hiburan (infotainment). Industri film remaja tak mau kalah mencotohkan
pemakaian bahsa gaul melalui produksi film-film remaja seperti Ada Apa Dengan Cinta (2005)
dan Heart (2006). Diluar tiga industri yang sangat cepat meraih hati kaum muda, media
komunikasi melalui komputer (computer-mediated communication) menjadi wadah penyuburan
pemakaian bahasa gaul. Aneka fasilitas yang tersedia pada internet, seperti Friendster, milis, dan
blog, dimanfaatkan oleh masyarakat melek-e untuk berkomunikasi dalam bahasa gaul.
Tak lama kemudian perkembangan ragam bahasa di tengah-tengah euphoria kebebasan
berkomunikasi itu menjadi perhatian masyarakat, terutama para pengamat bahasa.
Perkembangan bahasa gaul yang demikian pesat telah membuktikan bahwa bahasa gaul diterima
oleh masyarakat luas. Di pihak lain, ada pula yang mengkhawatirkan perkembangan yang
demikian. Ambillah contoh yang dilakukan para ahli bahasa di Bali menjelang akhir tahun 2007
yang mendesak media massa untuk menggunakan bahasa gaul dalam suatu diskusi yang
diselenggarakan oleh Forum Media Massa Bali. Para linguis yang turut serta dalam diskusi itu
menyatakan bahwa saat ini kaum muda sedang mengalami krisis yang diatndai dengan
pemakaian bahasa gaul yang tidak apada tempatnya, yaitu di hadapan umum atau pemirsa.
Sebagian masyarakat menganggap bahasa gaul sebagai bahasa yang tidak baik. Pemicu anggapan
yang demikian adalah karena salah satu ciri bahasa gaul adalah kekayaan ungkapan serapah.
Secara umum dikatakan bahwa ungkapan serapah tidak baik. Namun, pendapat “ketidakbaikan
ungkapan serapah” itu mengundang ketidaksetujuan. Menurut Andersson dan Trudgill
(1990:35), yang dikutip oleh Stentrom (1996:77), menyatakan bahwa ungkapan serapah yang
tidak baik adalah ungkappan serapah yang tidak pada tempatnya dilontarkan, yang penting
diperhatikan adalah pragmatic pemakaian yang alih-alih kategori etimologis dan susunan
gramatikalnya.
Bahasan bahasa gaul dalam bahasa apapun di dunia kini tidak lagi menjadi peripheral. Bagi
pakar dan pengamat bahasa, bahasa gaul menjadi subjek pengamatan yang menarik. Sneddon
(2002), misalnya, yang termasuk pembahas perintis bahasa Indonesia ragam nonformal,
membahas bahasa kaum muda dalam kerangka bahasa Indonesia Jakarta. Dalam penelitian
berancangan kualitatif yang juga diarahka terhadap kaum muda untuk mengamati tingkat
perbedaan bahasa Indonesia formal dan nonformal, Sneddon menemukan bahwa tidak ada batas
yang tegas antara kenyataan berbahasa yang menunjukkan, misalnya, bahwa kosa kata bahasa
nonformal dapat muncul pada konteks formal. Sementara itu, Budiman (2006), seorang
pengamat muda bahasa Indonesia, yang mengadakan studi kasus pemakaian bahasa gaul di
kalamgan mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, memperlihatkan
secara menarik aneka gejala pemakaian bahasa gaul secara umum di kalangan mahasiswa dalam
situasi nonformal.
Tulisan ini sebenarnya melanjutkan bahasan bahasa gaul dengan penyempitan bahsan pada
ungkapan serapah (swearing words) dalam bahasa gaul tulis mutakhir. Titik mutakhir ditekankan
pada pemanfaatan data dari bermacam-macam sumber data tulis terbaru, terutama media
komunikasi melalui computer dalam wujud milis dan blog, yang kini mengakomodasikan
pemakaian bahasa gaul dan menjadi salah satu sarana utama penyebarluasan bahasa gaul secara
tertulis untuk tujuan komunikasi. Bahasan tentang ungkapan serapan dalam bahasa gaul
dipersempit pada klasifikasi ungkapan serapah dari sudut medan makna ungkapan serapah sebgai
salah satu kategori etimologis dan cara-cara spesifik pembentukan ungkapan serapah. Dalam
definisi operasional, ungkapan yang bersifat ofensif dan mengejutkan, sejalan dengan pendapat
Stenstrom (1996).
Bahasan tentang kebutuhan pragmatic yang memicu pemakaian ungkapan serapah telah
dikemukakan oleh Ljung (1986). Ljung (1986:14-15), yang dikutip oleh Stenstrom (1996:76),
membedakan ungkapan serapah menjadi dua jenis, yaitu ungkapan serapah yang bersifat agresif,
yang mencerminkan emosi penutur dan ungkapan serapah yang bersifat sosial, yang
memperintim hubungan antarpeserta komunikasi. Sementara itu, Stenstrom (1996:77) yang
mengadakan sintetis atas pendapat para peneliti terdahulu mengadakan klasifikasi ungkapan
serapah atas tiga jenis berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai penekan (intensifiers), penyerang
(abusives), dan pengutuk (expletives).
Pembahsan ungkapan serapah secara sosiolinguistis seperti yang dikatakan oleh Stenstrom itu
memang amat menarik. Namun, kreativitas penciptaan ungkapan serapah, terlebih jika
didudukan pada kerangka pengamatan atas perkembangan pemakaian bahasa mengikuti tema
besar buku ini, juga tidak kalah menarik. Dalam tulisan ini, menampilkan bentuk-bentuk
ungkapan serapah sebagai hasil pengemabngan ungkapan serapah secara kreatif. Dari sudutt
pandang itu, kategori-kategori etimologislah yang diperhatikan, namun bukan dari sudut siapa
dan kapan ungkappan serapah itu peryama kali dikatakan atau dipopulerkan, melainkan
bagaimana potensi kebahasaan dimanfaatkan untuk membangkitkan, bahkan memproduksi,
ungkapan serapah yang lain.
1. Perkembangan Ungkappan Serapah Bahsa Gaul dalam Media Tulis: Dari Prosa Cetak ke
Media Komunikasi melalui Komputer
Mengulas balik pemakaian ungkapan serapah pada masa silam ketika bahasa gaul masih
digunakan secara terbatas dalam istilah “bahasa preman” atau “bahasa prokem”, kreativitas
pengembangan ungkapan serapah tidak sepesat saat ini. Media tulis umum membatasi
pemakaian ungkapan serapah. Setidaknya, genre media tulis umum yang
mengakomodasikan pemakaian bahasa gaul adalah karya sastra, baik puisi maupun prosa.
Temuan pada data prosa (novel) modern yang dapat saya kumpulkan sementara ini, paling
tidak, dapat menggambarkan perkembangan pemakaian ungkapan serapah dalam media
tulis umum.
Pada tahun 1970-an melesat nama Motinggo Busye sebagai penulis novel popular. Dalam
roman-romannya dapat ditemukaan pemakaian satu atau duaa ungkapan serapah-
sebagaimana berikut dengan ungkapan serapah bercetak miring.
(1) Ireng mendjalankan mobilnja kembali sambil mnggerutu :
“Badjingan”.
“Kamu jang badjingan, ler!” balas Kirti.
“Kita semua badjingan”, kata Ireng.
(Musim Bunga Njonya Sonja 1970:28)
Khazanah novel populer pada 1970-an bertambah kaya dengan kehadiran Ashadi Siregar
yang sukses dengan novel Cintaku di Kampus Biru (1974), menyusul kesuksesan karya-
karya Motingo Busye. Di dalam Cintaku di Kampus Biru ditemukan pula pemakaian
ungkapan serapah seperti berikut.
(2) “Bagaimana?” Tanya bu Yushinta.
“Ah ya. Begini. Garis ini menunjukkan bahwa umur bu Nita panjang. Artinya, bu Nita
akan berkeluarga besar, dan suami bu Nita lebih dulu meninggal pada usia tua!”
“Ah gila kau!”
“Lho kok gila? Ini lagi, keturunan bu Nita akan banyak yang jadi orang besar.”
“Ah, kau mengada-ada. Brengsek!”
(Cintaku di Kampus Biru 1974:79)
Bentuk-bentuk bajingan, gila, dan brensek dapaat dikatakan sebagai ungkapan serapah yang
mendominasi dalam novel-novel 1970-an. Tingginya produktivitas pemakaian bentuk-bentuk
ungkapan serapah itu membuat pakar bahasa memuat bentuk-bentuk itu dalam kamus bahasa
Indonesia dan buku-buku tata bahasa baku, seperti yang dimuat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia edisi pertama, 1988.
Pada pertengahan tahun 1980-an hingga 1990-an, dunia novel remaja dihentakkan oleh
kehadiran serial Lupus, karya Hilman, yang dipenuhi dengan bahasa gaul, termasuk ungkapan
serapah di dalamnya, sebagaimana beberapa contoh berikut ini.
(3) “Ah, enggak. Saya justru mau ikutan Jumpa Fifi. Eh, si Boi, mana, Nto?”
“Lho? Payah. Kok malah ikut-ikutan Jumpa Fifi? Ayo dong, kamu bikin Jumpa Lupus.
Kita cari fans anak-anak baru, Pus. […]” (Lupus 1989:37)
(4) Tapi Fifi emang dasar gokil. Dan kalau udah gokil begitu, penyakit aphasia-nya emang
suka kumat. (Lupus 1989:53)
(5) “Dasar orang nggak tahu diri. Naik motor pelan banget, suaranya doing kayak jet.
Siaalan, aye udah minggir, motornya belon lewat. […]”(Lupus 1989:59)
(6) “Kamu liat tingkaah laku tetangga sebelah kita akhir-akhir ini, Fi. Uh, norak!
[…]”(Lupus 1989:77)
Memasuki abad ke-21, novel populer remaja membanjiri pasar buku. Melanjutkan gaya
penulisan Lupus yang kaya dengan kosa kata bahasa gaul, bentuk-bentuk ungkapan serapah yang
baru digunakan. Ambillah contoh Jomblo, karya Adhitya Mulya (2003), yang memakai bentuk-
bentuk baru ungkapan serapah bercetak miring berikut.