Anda di halaman 1dari 10

CAMPUR KODE DALAM NOVEL MARIPOSA

KARYA LULUK HF: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

Yoshimi Yamada
Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran
E-mail: yoshimiyamada98@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Campur Kode dalam Novel Mariposa Karya Luluk HF: Kajian Sosiolinguistik”. Objek
penelitian yang digunakan sebagai data dalam penelitian ini adalah ujaran-ujaran yang mengandung campur
kode bahasa Indonesia-bahasa Inggris dalam novel Mariposa karya Luluk HF. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan jenis campur kode, faktor penyebab penggunaan campur kode berdasarkan fungsinya, dan
motivasinya dalam ujaran-ujaran tersebut. Data dikumpulkan dengan mengamati ujaran campur kode sesuai
klasifikasi yang dibutuhkan peneliti. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori Muysken (cited in Stam
2017) untuk menganalisis jenis campur kode, teori Appel dan Muysken (2005) untuk menganalisis faktor
penyebab penggunaan campur kode berdasarkan fungsinya, dan teori Kim (2006) untuk menganalisis faktor
penyebab penggunaan campur kode berdasarkan motivasinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis campur kode yaitu insertion, alternation,
dan congruent lexicalization; terdapat enam kategori untuk faktor penyebab penggunaan campur kode
berdasarkan fungsinya yaitu referential function, directive function, expressive function, phatic function,
metalinguistic function, dan poetic function; serta empat kategori untuk faktor penyebab penggunaan campur
kode berdasarkan motivasinya yaitu participant roles and relationship, situational factors, message-intrinsic
factors, dan language attitudes, dominance, and security.
Kata kunci: bilingualisme, campur kode, sosiolinguistik

Abstract
The title of this research is “Campur Kode dalam Novel Mariposa Karya Luluk HF: Kajian Sosiolinguistik”.
The object of this research is Indonesian-English code-mixing utterances in Mariposa novel by Luluk HF. The
aims of this research are to describe the type of code-mixing, the causal factor of using code-mixing based on its
function, and its motivation. The data are collected by observing code-mixing utterances that fit into the
theories. Furthermore, Muysken (cited in Stam 2017) theory is used to describe the type of code-mixing, Appel
and Muysken (2005) theory is used to describe the causal factor of using code-mixing based on its function, and
Kim (2006) theory is used to describe the causal factor of using code-mixing based on its motivation. The
method in this research is a qualitative method. The result of this research shows that there are three types of
code-mixing which are insertion, alternation, and congruent lexicalization; six factors of using code-mixing
based on its function which are referential function, directive function, expressive function, phatic function,
metalinguistic function, and poetic function; and four factors of using code-mixing based on its motivation
which are participant roles and relationship, situational factors, message-intrinsic factors, and language
attitudes, dominance, and security.
Keywords: bilingualism, code-mixing, sociolinguistic

I. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi terhadap


sesamanya. Terlebih pada masa kini di mana banyak orang menggunakan minimal dua bahasa di
dalam ujarannya. Penggunaan bahasa tertentu dalam sebuah tuturan umumnya dipengaruhi oleh
situasi dan juga lawan tutur tertentu sehingga penggunaan dua bahasa dalam suatu tuturan dilakukan
oleh penutur secara sadar. Fenomena menggunakan dua bahasa dalam suatu ujaran dalam ranah
sosiolinguistik disebut dengan campur kode.

Fenomena tersebut dapat ditemui dengan mudah di kehidupan sehari-hari. Tidak terkecuali
pada produk karya sastra populer seperti lagu, film, drama, dan novel. Seperti dalam sebuah novel
berjudul Mariposa karya Luluk HF yang menggambarkan kehidupan para pelajar SMA sebagai

1
kisah dominan dalam novel, tidak jarang menggunakan campur kode dalam kehidupan sehari-
harinya. Hal tersebut disebabkan oleh latar tempat mereka yang berada di kota metropolitan, Jakarta,
menjadi tempat utama terjadinya arus globalisasi dan pusat pertukaran informasi tercepat
dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

Novel tersebut menjadi menarik bagi peneliti karena dapat menggambarkan fenomena
campur kode yang digunakan oleh penduduk kota metropolitan secara intens khususnya oleh para
pelajar sebagai tokoh dominan yang menggunakan fenomena tersebut. Lebih jauh penulis akan
membahas jenis campur kode beserta faktor penyebab berdasarkan fungsi dan motivasinya dalam
novel ini. Maka dari itu penulis memilih judul “Campur Kode dalam Novel Mariposa Karya Luluk
HF: Kajian Sosiolinguistik” pada penelitian ini.

II. TINJAUAN TEORETIS

Sosiolinguistik

Menurut Wardhaugh dan Fuller (2015, p. 1), “Sociolinguistics is the study of our everyday
lives – how language works in our casual conversations and the media we are exposed to, and the
presence of societal norms, policies, and laws which address language.” Hal ini menunjukkan
bahwa sosiolinguistik merupakan kajian yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, bagaimana cara
bahasa bekerja dalam suatu percakapan, media, serta norma-norma di dalam masyarakat.

Selain itu, Radford dkk. (2009, p. 14) mengungkapkan, “Sociolinguistics is the study of the
relationship between language use and the structure of society.” Dalam hal ini, sosiolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa yang digunakan dengan struktur masyarakat
pengguna bahasa itu sendiri.

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiolinguistik merupakan
ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik adalah kajian
tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.

Bilingualisme

Weinreich (cited in Appel & Muysken 2005, p. 3) menekankan bahwa “The practice of
alternatively using two languages will be called here bilingualism, and the persons involved
bilinguals.” Seseorang yang kerap kali menggunakan dua bahasa dalam tuturannya disebut bilingual
dan tindakan dalam mencampurkan bahasa dalam ujaran tersebut disebut bilingualisme. Selain itu,
Bloomfield (cited in Hamers & Blanc 2004, p. 6) mendefinisikan bilingualisme sebagai ‘the native-
like control of two languages’. Jadi, menurut Bloomfield seseorang disebut bilingual apabila dapat
menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dengan derajat yang sama baiknya.

Maka dapat disimpulkan bahwa bilingualisme adalah kemampuan penutur dalam


memahami, mengerti, atau menggunakan dua bahasa. Seorang bilingualisme harus menguasai kedua
bahasa itu. Bahasa pertama adalah bahasa ibu (B1), dan bahasa kedua adalah bahasa lain (B2).
Weinreich (cited in Mahajani, Hilal, Astuti, Noviyanti, & Triyana 2017) mengatakan bahwa
menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa
yang sama.

Kode

Wardhaugh (2006, p. 101) mengungkapkan, “The particular dialect or language that person
chooses to use in any occasion is a code. A system used for communication between two or more
parties.” yang berarti kode adalah sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua
penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu.

2
Istilah kode menurut Suwito (cited in Simanjuntak 2016) digunakan untuk menyebut salah
satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti
bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, atau Jepang), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian
regional (bahasa Jawa dialek Cilacap, Jogja-Solo, atau Surabaya), juga varian kelas sosial yang
disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya yang
dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan
atau register (bahasa pidato, bahasa doa, atau bahasa lawak). Berdasarkan realita tersebut, hierarki
kebahasaan dapat dilihat dari bahasa/language yang berada pada level tertinggi disusul dengan
varian, ragam, gaya, dan register.

Dengan demikian, di dalam masyarakat multibahasa terdapat bermacam-macam kode, di


antaranya berupa dialek, sosiolek, serta gaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Keberadaan
kode-kode tersebut membantu penutur dalam menggunakan suatu kode tertentu berdasarkan faktor-
faktor yang memengaruhinya agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar sesuai kehendak
penutur.

Campur Kode

Muysken (2000, p. 1) menyatakan, “Code mixing is the use of lexical items and grammatical
features between two languages that appear in one sentence.” Campur kode menurut Muysken yaitu
suatu kejadian di mana dalam satu kalimat terdapat penggunaan unsur leksikal dan gramatikal dari
dua bahasa sekaligus. Selain itu, Bhatia dan Ritchie (2004, p. 337) mengemukakan definisi campur
kode sebagai “the mixing of various linguistic units (morphemes, words, modifiers, phrases, clauses
and sentences) primarily from two participating grammatical systems within a sentence”. Pengertian
campur kode menurut Bhatia dan Ritchie yaitu situasi di mana terdapat tindakan dalam
mengalihbahasakan antara bahasa satu dan lainnya di dalam sebuah kalimat. Dapat disimpulkan
bahwa campur kode terjadi ketika penutur mencampurkan dua bahasa sekaligus ke dalam suatu
ujaran atau kalimat.

Jenis Campur Kode

Menurut Muysken (cited in Stam 2017, p. 7) terdapat tiga jenis campur kode, yaitu insertion,
alternation, dan congruent lexicalization.

1. Insertion

Insertion berarti satu konstituen B (dengan kata b dari bahasa kedua) dimasukkan ke dalam
struktur yang didefinisikan sebagai bahasa A, dengan kata a dari bahasa dominan. Hal itu dapat
digambarkan sebagai berikut:

(Muysken, 2000, p. 7)
Bagan 2.1 Insertion

Campur kode insertion dapat dikatakan sebagai peminjaman sebuah konstituen dari satu
bahasa ke dalam struktur kalimat bahasa lain (Muysken, 2000). Peminjaman sebuah konstituen
tersebut dapat dikatakan sebagai embedded language atau bahasa kedua yang disimbolkan dengan
huruf b, sedangkan huruf a bermakna struktur bahasa dominan yang mendampingi konstituen b
tersebut dapat disebut matrix language.

3
2. Alternation

Alternation merupakan strategi pencampuran yang sangat umum, di mana dua bahasa hadir
sebagai pemisah antarklausa. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

A…..B

Campur kode alternation ini merupakan jenis campur kode yang paling mendekati alih kode karena
hubungan A dan B tidak terikat secara struktur gramatikal. Tidak seperti insertion, dalam alternation
tidak terdapat bahasa dominan. Hal itu disebabkan oleh masing-masing bahasa yang terlibat dapat
membentuk struktur kalimat sendiri (Stam, 2017).

(Muysken, 2000, p. 7)
Bagan 2.2 Alternation

Dalam situasi ini, konstituen dari bahasa A (dengan kata-kata dari bahasa A) diikuti oleh
konstituen dari bahasa B (dengan kata-kata dari bahasa B). Bahasa konstituen mendominasi A dan B
tidak ditentukan (Muysken, 2000).

3. Congruent Lexicalization

Selain insertion dan alternation, ada jenis ketiga dari campur kode menurut Muysken yaitu
congruent lexicalization. Struktur gramatikal congruent lexicalization dibagi oleh bahasa A dan B,
dan kata-kata dari kedua bahasa a dan b dimasukkan kurang lebih secara acak. Proses tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

(Muysken, 2000, p. 8)
Bagan 2.3 Congruent Lexicalization

Di mana A dan B adalah label bahasa untuk non-terminal node, serta a dan b adalah label untuk
terminal node (Setiadi, 2017). Selain penyisipan bahasa A dalam kalimat bahasa B maupun
sebaliknya secara acak, congruent lexicalization juga berfokus pada keterlibatan dua unsur bahasa
dalam sebuah konstituen yang saling berdekatan secara linguistik (Stam, 2017).

Pada umumnya, penggunaan congruent lexicalization yang terjadi di lingkungan masyarakat


bilingual disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1) Ada kelimpahan kata homofon dan diamorf yang berfungsi sebagai pemicu campur kode;
2) Ada struktur umum kesetaraan, baik kategori maupun linier, yang memungkinkan campur
kode tanpa perlu ada korespondensi leksikal. (Setiadi, 2017)

Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan Fungsinya

Appel dan Muysken (2005, p. 118) telah merumuskan enam faktor terjadinya campur kode
berdasarkan fungsinya, yaitu:

4
1. Referential Function

Referential function mengacu pada lack of knowledge penutur pada bahasa dominan sehingga
penutur menyisipkan bahasa kedua dalam ujarannya. Selain itu, faktor ini juga muncul karena tidak
ditemukannya leksikal yang tepat di dalam bahasa dominan atau dapat disebut lack of facility.
Peralihan bahasa juga digunakan dengan alasan penggunaan bahasa kedua lebih tepat digunakan
untuk membicarakan topik tertentu.

2. Directive Function

Fungsi ini mengacu pada peralihan bahasa yang bertujuan untuk lebih mudah dimengerti oleh
petutur atau tidak ingin dimengerti oleh selain petutur. Appel dan Muysken mendeskripsikan dengan
memberi contoh kasus komunikasi antar orang tua yang kerap kali menggunakan bahasa asing yang
tidak ingin dimengerti oleh anaknya.

3. Expressive Function

Fungsi ini menekankan pada penggunaan dua bahasa sekaligus ke dalam satu kalimat untuk
merepresentasikan diri. Selain itu, fungsi ini juga bertujuan untuk mengungkapkan perasaan atau
emosi terhadap orang lain.

4. Phatic Function

Fungsi ini mengacu pada peralihan bahasa dengan mengubah nada suara dan memberikan
penekanan yang dirasa penting agar pesan dapat tersampaikan dengan baik. Appel dan Muysken
mendeskripsikan dengan memberi contoh kasus pada stand-up comedian yang menceritakan
keseluruhan bagian leluconnya dalam variasi standar hingga pada bagian punch line disampaikan
dengan dialek lokal yang dapat mengundang tawa.

5. Metalinguistic Function

Fungsi ini digunakan untuk memberikan kesan kepada petutur mengenai kemampuan
berbahasa penutur ketika penutur menyisipkan bahasa kedua dalam ujarannya.

6. Poetic Function

Poetic function terjadi ketika terdapat cuplikan berupa cerita, lirik lagu, atau lelucon yang
disampaikan dalam bahasa tertentu dengan tujuan menghibur.

Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan Motivasinya

Kim (2006, p. 47) telah merumuskan empat faktor terjadinya campur kode berdasarkan
motivasinya, yaitu:

1. Participant Roles and Relationship

Participant roles and relationship mengacu pada penggunaan campur kode yang menekankan
pada tingkat kedekatan dan masing-masing peran pada partisipan.

2. Situational Factors

Situational factors melihat penggunaan bahasa tertentu disesuaikan dengan situasi, partisipan,
dan topik pembicaraan. Selain itu, penggunaan campur kode dalam hal ini juga dipengaruhi oleh latar
belakang partisipan seperti kelas sosial, agama atau kepercayaan, gender, dan umur. Keseluruhan
faktor tersebut dapat memengaruhi pola campur kode baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif.

5
3. Message-Intrinsic Factors

Faktor ini terjadi karena penyisipan quotations, reiteration, topic-comment or relative clauses,
hedging, interjections and idioms, dan deep-rooted cultural wisdom.

4. Language Attitudes, Dominance, and Security

Dalam hal ini, language attitudes, dominance, dan security menentukan penggunaan campur
kode baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Language attitudes bergantung pada anggapan
masyarakat yang menilai apakah penggunaan campur kode merupakan hal yang positif atau negatif
sehingga hal tersebut memengaruhi frekuensi percampuran kode dalam suatu ujaran. Selanjutnya,
dominance juga memengaruhi terjadinya campur kode. Dalam Kim (2006), Genesee, Nicoladis, dan
Paradis menyatakan anak-anak yang menguasai dua bahasa akan melakukan campur kode dengan
bahasa pertama dan bahasa kedua mereka, tetapi mereka akan cenderung menggunakan bahasa
pertama sebagai bahasa dominan. Hal ini disebabkan ketidakmampuan mereka dalam menguasai
struktur linguistik dari bahasa kedua. Terakhir, banyak orang yang melakukan campur kode untuk
memberikan rasa aman pada dirinya sebagai ciri-ciri dari security.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif yaitu metode yang menggunakan cara kerja dengan mengelompokkan data verbal
yang menghasilkan bentuk narasi deskriptif seperti catatan lapangan, rekaman, atau catatan dan
gambar atau film tertulis lainnya. Metode ini menyajikan data hasil penelitian dalam bentuk analisis
dan deskripsi yang berarti tidak menggunakan data angka dalam cara kerjanya. Dalam melakukan
penelitian ini, penulis melalui tiga tahapan yakni pengumpulan data, klasifikasi data, dan analisis
data.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Campur Kode

1. Insertion

(1) “Iqbal, Acha beli popcorn dulu, ya,” ucap Acha. (p. 70)

Analisis:

“Iqbal, Acha beli popcorn dulu, ya,” ucap Acha.


a b a

Popcorn merupakan sebuah kata berupa closed compound words yang terdiri dari dua kata
yaitu “pop” dan “corn” dalam embedded language yang disematkan ke dalam rangkaian kata-kata
matrix language. Oleh karena itu, pada data ini kata popcorn yang merupakan sebuah konstituen
(single constituent) termasuk ke dalam jenis campur kode insertion.

2. Alternation

(2) “Tenang Natasha, relax and don’t panic. Ini cuma makan malam, bukan interview untuk jadi
calon mantu.” (p. 337)

Analisis:

“Tenang Natasha, relax and don’t panic. Ini cuma makan malam, bukan interview untuk jadi
a b
calon mantu.”

6
Relax and don’t panic merupakan sebuah klausa dalam bahasa Inggris yang dipisahkan secara
struktur gramatikal dengan rangkaian kata-kata berbahasa Indonesia. Maka dari itu, data di atas
menunjukkan jenis campur kode alternation.

3. Congruent Lexicalization

(3) “Tante-Mama mau ke mana? Keluar?”


“Iya dongs, Mama mau kumpul bareng sama EXO-L, Army, ELF, VIP, dan Wannable. Ada
gathering semua fandom,” jelas Kirana penuh semangat. (p. 42)

Analisis:

“Iya dongs, Mama mau kumpul bareng sama EXO-L, Army, ELF, VIP, dan Wannable. Ada
a
gathering semua fandom,” jelas Kirana penuh semangat.
b a b

Gathering dan fandom merupakan kata-kata yang disisipkan secara acak ke dalam rangkaian
kata-kata berbahasa Indonesia. Maka dari itu, data di atas menunjukkan jenis campur kode congruent
lexicalization.

Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan Fungsinya

1. Referential Function

(4) “Kita main game, yuk.” ajak Amanda, langsung disetujui yang lainnya.
“Gimana kalau kita main Truth or Dare. Biasanya gue kalau diklat main itu. Seru banget,” usul
Juna yang akhirnya membuka suara. (p. 365)

Analisis:

Juna menggunakan ungkapan Truth or Dare karena ungkapan tersebut lebih tepat digunakan
untuk membicarakan topik tertentu. Truth or Dare merupakan nama dari sebuah permainan yang
biasa dilakukan secara beramai-ramai. Juna merasa lebih tepat menggunakan ungkapan Truth or Dare
karena lebih banyak orang yang menggunakan ungkapan tersebut. Selain itu juga, permainan Truth or
Dare tersebut lebih populer dahulu di luar negeri sehingga masyarakat juga lebih suka menggunakan
ungkapan dari luar negeri.

2. Directive Function

(5) “Ayo mulai lagi, guys! Semakin malam semakin menegangkan yesss!!” seru Amanda heboh
sendiri. (p. 370)

Analisis:

Pada ujaran di atas, Amanda menggunakan ungkapan guys bertujuan untuk mendedikasikan
ujarannya kepada teman-temannya yang sama-sama sedang bermain permainan Truth or Dare
berdasarkan usulan Juna dalam novel halaman 365, “Gimana kalau kita main Truth or Dare. Biasanya
gue kalau diklat main itu. Seru banget,” dan disetujui oleh yang lain berdasarkan narasi dalam novel
halaman 366, ‘“Oke, setuju!” jawab mereka serempak. Mereka merasa bahwa permainan ini cukup
menyenangkan.’

7
3. Expressive Function

(6) “Ya elah Bal, jangan marah dong. Kayak cewek PMS lo,” ucap Glen mengekori Iqbal.
“Iya Bal, sorry. Maafin kami, lah,” tambah Rian. (p. 23)

Analisis:

Pada ujaran di atas, Rian menggunakan kata sorry untuk mengakrabkan diri dengan Iqbal agar
mengurangi ketegangan suasana. Selain itu, Rian menggunakan kata sorry dalam bahasa Inggris
berfungsi untuk menekankan ungkapan permintaan maafnya yang diberi penjelasan pada pernyataan
setelahnya “Maafin kami, lah”.

4. Phatic Function

(7) Ando kembali memandang adik bungsunya. Ia menepuk pelan bahu Iqbal.
“Kenapa? Putus sama pacar lo?” tanya Ando sok menghibur.
“Gue nggak punya pacar.”
“Kalah lo sama si Bejo. Dia aja udah mau engagement sama si Mirna,” ledek Ando. (p. 143)

Analisis:

Pada data ini, Ando menggunakan kata engagement untuk menekankan leluconnya kepada
Iqbal. Si Bejo dan si Mirna pada ujaran di atas mengacu pada nama-nama burung peliharaan ayah
mereka. Penggunaan kata engagement pada ujaran di atas dapat meningkatkan tingkat humor menjadi
lebih tinggi dibandingkan jika hanya menggunakan padanan katanya dalam bahasa Indonesia yaitu
‘pertunangan’ atau yang lebih lazim disebut ‘tunangan’ dalam ragam informal. Pertunangan bukanlah
hal yang lazim untuk hewan, maka lelucon tersebut dilontarkan Ando dengan menarasikan
pertunangan antarsesama burung.

5. Metalinguistic Function

(8) Pak Handoko kembali ke posisinya. Beliau memperhatikan satu per satu muridnya, memastikan
tidak ada yang berbicara sendiri.
“Materi hari ini adalah special track event, lari estafet. Kalian bentuk lima kelompok dua cowok
dan tiga cewek sebagai satu tim.” (p. 204)

Analisis:

Pada data ini, Pak Handoko lebih memilih untuk menggunakan ungkapan special track event
dibandingkan dengan padanan ungkapan tersebut dalam bahasa Indonesia yaitu ‘kegiatan (olahraga)
lari spesial’. Dalam hal ini, Pak Handoko ingin memberikan kesan kemampuan berbahasa Inggris
yang dimilikinya kepada murid-muridnya.

6. Poetic Function

(9) “Kalau lo mau, kita bisa kok, Bal, joget kayak Super Junior sambil nyanyi, Sorry sorry sorry I am
sorry…,” tambah Glen makin meracau. (p. 23)

Analisis:

Pada data ini, Glen menggunakan cuplikan berupa lirik lagu boy-group asal Korea Selatan,
Super Junior, yang berjudul “Sorry, Sorry”. Cuplikan lirik tersebut dapat ditemukan pada bait pertama
sesuai yang tercantum di situs web lirik lagu AZ Lyrics, “Sorry, sorry, sorry, sorry, naega naega
naega meonjeo…” Akibat Glen yang meracau maka lirik yang dihasilkan tidak sepenuhnya sesuai
dengan lirik aslinya.

8
Faktor Penyebab Campur Kode Berdasarkan Motivasinya

1. Participant Roles and Relationship

(10) “Ya elah, Cha, gue kira apa. Dia pasti dateng. Mungkin aja dia cuma mau ngerjain lo. Terus tiba-
tiba dia datang dan ngasih surprise buat lo.” Amanda berusaha menenangkan Acha yang terlihat
sangat cemas. (p. 285)

Analisis:

Pada data ini, Amanda berperan sebagai teman sekelas sekaligus sahabat karib Acha. Amanda
menyisipkan kata surprise di tengah-tengah ujarannya yang berbahasa Indonesia karena menganggap
Acha akan memahami perkataannya. Dalam hal ini, secara tidak langsung telah disepakati oleh
keduanya bahwa ungkapan surprise yang Amanda ujarkan tersebut bermakna ‘kejutan’.

2. Situational Factors

(11) Mr. Bov tiba-tiba tersenyum teringat akan sesuatu. Ia menyuruh Iqbal untuk duduk kembali.
Iqbal pun menurut saja.
“Tadi siang Papa ketemu sama salah satu klien di kantor.”
“Terus?” tanya Iqbal tidak tertarik.
“Terus klien Papa cerita, dia punya putra yang sekarang kuliah di Bristol University jurusan
Aerospace Engineering.” (p. 20)

Analisis:

Pada data ini, Mr. Bov sedang berujar kepada Iqbal. Mereka berdua memiliki hubungan ayah
dan anak. Topik yang Mr. Bov utarakan cenderung santai namun serius yaitu memberitahu Iqbal
bahwa putra temannya sedang berkuliah di universitas dan jurusan yang Iqbal idam-idamkan. Selain
itu, penggunaan ungkapan Aerospace Engineering oleh Mr. Bov dipengaruhi oleh status sosial
keluarga mereka yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat kelas atas.

3. Message-Intrinsic Factors

(12) “Bye-bye, sapi,” pamit Acha. Acha pun keluar dari toko boneka dengan langkah yang berat. (p.
274)

Analisis:

Pada data ini, Acha menggunakan ungkapan bye-bye yang dapat dikategorikan sebagai
interjection dalam bahasa Inggris.

4. Language Attitudes, Dominance, and Security

(13) “Minggu depan ulang tahun Acha. Iqbal mau nggak jadi penerima kue pertama Acha di pesta
sweet seventeen Acha?” pinta Acha. (p. 262)

Analisis:

Pada data ini, Acha menggunakan ungkapan sweet seventeen dalam bahasa Inggris karena
kata tersebut sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terjadi karena tidak adanya
ungkapan yang setara dalam bahasa Indonesia, dan juga karena umur 17 merupakan umur yang sudah
dianggap dewasa (terbukti dengan minimal umur dalam pembuatan SIM dan KTP di Indonesia)
sehingga ungkapan sweet seventeen cepat populer dan tidak lekang oleh zaman. Oleh karena itu,
penyisipan frasa sweet seventeen yang dilakukan secara terus-menerus dapat menimbulkan dominansi

9
(dominance) pada bahasa Indonesia dalam konteks perayaan ulang tahun seseorang.

V. SIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa di dalam
novel Mariposa karya Luluk HF terdapat jenis campur kode insertion sebanyak 39 data, jenis
campur kode alternation sebanyak 11 data, dan jenis campur kode congruent lexicalization sebanyak
6 data. Selanjutnya, pada analisis data ditemukan setiap kategori pada faktor penyebab campur kode
berdasarkan fungsinya. Mayoritas data menggunakan referential function sebanyak 19 data dan
minoritas data menggunakan directive function sebanyak 1 data. Terakhir, pada analisis data
ditemukan setiap kategori pada faktor penyebab campur kode berdasarkan motivasinya. Mayoritas
data menggunakan language attitudes, dominance, and security sebanyak 21 data dan minoritas data
menggunakan message-intrinsic factors sebanyak 8 data.

REFERENSI

Appel, R., & Muysken, P. (2005). Language Contact and Bilingualism. Amsterdam: Amsterdam
University Press. Available from BookFi database.
Bhatia, Tej K., & Ritchie, W. C. (Eds.). (2004). The Handbook of Bilingualism. Oxford: Blackwell
Publishing. Available from BookFi database.
Hamers, J. F., & Blanc, M. H. A. (2004). Bilinguality and Bilingualism (2nd ed.). Cambridge:
Cambridge University Press. Available from BookFi database.
Kim, E. (2006). Reasons and motivations for code-mixing and code-switching. Issues in EFL, 4(1),
43-61. Available from https://pdfs.semanticscholar.org
Mahajani, T., Hilal, R., Astuti, R., Noviyanti, I. S., & Triyana, W. (2017). Kedwibahasaan alih kode
dan campur kode pada percakapan dalam video talk show Sarah Sechan. Pedagogia, 9(2), 523-
540. Retrieved from Universitas Pakuan Library E-Reserve.
Muysken, P. (2000). Bilingual Speech: A Typology of Code Mixing. Cambridge: Cambridge
University Press. Available from catdir.loc.gov and Google Books database.
Radford, A., Atkinson, M., Britain, D., Clahsen, H., & Spencer, A. (2009). Linguistics: An
Introduction (2nd ed.). New York: Cambridge University Press. Available from BookFi database.
Setiadi, D. (2017). Campur kode dalam lirik lagu “Kis Band”. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 3(1),
1-15. Retrieved from http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret
Simanjuntak, F. (2016). Campur kode (code mixing). Majalah Ilmiah Methoda, 6(3), 37-40. Available
from ojs.lppmmethodistmedan.net
Stam, N. (2017). A typology of code-switching in the Commentary to the Félire Óengusso. Utrecht:
LOT. Available from https://www.lotpublications.nl
Wardhaugh, R. (2006). An Introduction to Sociolinguistics. (5th ed.). Oxford: Blackwell Publishing.
Available from lx16.yolasite.com
Wardhaugh, R., & Fuller, J. M. (2015). An Introduction to Sociolinguistics. (7th ed.). Chichester: John
Wiley & Sons. Available from BookFi database.
DAFTAR SITUS

Lirik lagu “Sorry, Sorry” karya Super Junior


(https://www.azlyrics.com/lyrics/superjunior/sorrysorry.html)

10

Anda mungkin juga menyukai