Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya tidak akan pernah

lepas dengan bahasa, karena bahasa adalah sistem simbol bunyi yang

bermakna dan berartikulasi yang dihasilkan oleh alat ucap yang bersifat

arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh

sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Contohnya

ketika bercakap-cakap dengan masyarakat dan keluarga, membaca novel,

mendengar lagu, dan menonton film. Tidak akan terbayangkan bagaimana

jadinya apabila manusia dan kehidupannya tidak memahami bahasa. Oleh

sebab itu, bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari karena bahasa merupakan sebagai alat komunikasi. Harus

disadari bahwa Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan

etnis sehingga sangat berpengaruh terhadap munculnya berbagai macam

bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Inggris dan lain

sebagainya. Hal itu, kemudian memunculkan bahasa persatuaan yang

diikrarkan melalui Sumpah Pemuda, yaitu Bahasa Indonesia.

Saat berinteraksi antarmanusia dengan manusia lainnya, pada

keadaan tertentu akan kita temukan manusia yang mampu berbicara lebih

dari satu bahasa, disebut dengan istilah bilingual atau bahkan ada manusia

yang multilingual. Di Indonesia pada umumnya adalah masyarakat

1
bilingual, yaitu menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa

daerah sebagai bahasa pertama, banyak juga yang multilingual atau

masyarat aneka bahasa (multilingual society), yaitu masyarakat yang

menggunakan beberapa bahasa, baik menggunakan bahasa Indonesia,

bahasa daerah dan bahasa asing lainnya, masyarakat demikian terjadi

karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi

etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society).

Saat ini semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat,

semakin tingginya tingkat pendidikan dan dipengaruhi pula oleh

kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, berkembang pula dunia

kebahasaan. Oleh karena itu, muncullah bentuk bahasa campur kode.

Campur kode ini merupakan pencampuran dua atau lebih ragam bahasa

dalam satu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu

yang menuntut percampuran bahasa. Hal ini seperti menggabungkan

bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, dan bahasa Inggris. Pendapat lain

mengatakan bahwa bahasa ialah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat

ucap manusia secara sadar. Selain itu, bahasa merupakan sistem bunyi

yang bermakna dan digunakan untuk berkomunikasi oleh setiap kelompok

manusia.

Salah satu karya sastra adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang

dibangun melalui berbagai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur

tersebut sengaja dipadukan oleh pengarang dan dibuat mirip dengan dunia

yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalam kehidupan sehari-

2
hari, sehingga terlihat seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang

akan menyebabkan karya sastra seperti novel ini hadir. Unsur instrinsik

sebuah novel adalah unsur yang secara langsung membangun sebuah

cerita. Keterpaduan berbagai unsur instrinsik ini akan menjadikan sebuah

novel menjadi sangat bangus. Kemudian, untuk menghasilkan novel yang

bagus juga diperlukan pengolahan kata. Unsur ekstrinsik sebuah novel

adalah unsur luar yang berpengaruh pada novel seperti latar belakang

pengarang, kondisi sosial, dan tempat atau lokasi novel itu dikarang.

Masyarakat dan bahasa tidak dapat dipisahkan karena keduanya

saling berkaitan. Bahasa lahir dari masyarakat sebagai alat komunikasi

manusia satu dengan yang lainnya, dan masyarakat tidak dapat

berkomunikasi dengan baik tanpa bahasa. Oleh karena itu, muncullah

kajian sosiolingustik itu sendiri merupakan ilmu hibrid antara sosiologi

dan lingustik. Untuk itu, sebelum membahas lebih jauh, penulis akan

memaparkan definisi kedua ilmu tersebut. sosiologi merupakan kajian

yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-

lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat, sedangkan

lingustik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu

yang mengambil bahasa.

Setelah memaparkan definisi sosiologi di bawah ini, penulis akan

memaparkan definisi sosiolingustik sebagai berikut sosiolingustik

merupakan bidang ilmu antardisplin yang mempelajari bahasa dalam

kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

3
Dalam ilmu sosiolingustik, terdapat beberapa cabang ilmu

diantaranya adalah alih kode dan campur kode. Alih kode bukan hanya

terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau

gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Untuk itu, dapat disimpulkan

bahwa alih kode merupakan pergantian pemakaian bahasa karena situasi

tertentu. Sementara itu, campur kode merupakan pencampuran dua bahasa

atau ragam bahasa dalam satu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam

situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa.

Peristiwa campur kode bukan hanya pada karya Oda Sekar Ayu,

menurut sepengetahuan peneliti, para penulis novel yang juga pernah

melakukan peristiwa campur kode dalam karyanya, baik itu campur kode

bahasa daerah maupun bahasa asing diantaranya Andrea Hirarta dalam

karyanya “Edensor”, Habiburrahman El Shirazy dalam karyanya “Ketika

Cinta Bertasbih”, dan Asma Nadia dalam karyanya “Assalamualaikum,

Beijing!”.

Peneliti memilih campur kode dalam penelitian ini karena novel ini

sangat menarik, peneliti tertarik untuk menganalisis peristiwa campur

kode pada novel Alfa dan Omega, yaitu campur kode dalam deskripsi

cerita dan campur kode dialog tokoh yang meliputi penyisipan pada kata.

Campur kode sering terjadi di kehidupan sehari-hari dan tanpa disadari

penutur dan mitra tutur sering melakukannya. Penulis memilih novel Alfa

dan Omega sebagai objek kajian untuk dianalisis dalam penelitian ini

karena dalam novel ini banyak menggunakan campur kode dalam dialog

4
antartokohnya. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat

menambahkan pengetahuan ilmu bahasa, terutama mengenai campur kode.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi

fokus penelitian adalah pengungkapan wujud campur kode yang terdapat

di dalam novel “Alfa dan Omega” karya Oda Sekar Ayu.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka

masalah dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah

wujud campur kode yang terdapat di dalam novel “Alfa dan Omega” karya

Oda Sekar Ayu?”

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

mendeskripsikan wujud campur kode yang terdapat dalam novel “Alfa dan

Omega” karya Oda Sekar Ayu.

E. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, tentu memiliki tujuan dan manfaat penulisan.

Berikut ini merupakan uraian dari tujuan penulisan skripsi adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dari

pemahaman tentang campur kode. Khususnya wujud campur kode

yang terdapat dalam novel “Alfa dan Omega” karya Oda Sekar Ayu.

5
2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru

Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk

pembelajaran tentang campur kode untuk peserta didiknya.

b. Bagi Siswa

Bagi peserta didik, hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan

sebagai salah satu acuan bagi peningkatan prestasi belajar pada

aspek kesastraan, khususnya memahami wujud campur kode.

c. Bagi Sekolah

Bagi sekolah, pnelitian ini bisa diajukan sebagai tolak ukur dalam

mengembangkan kemampuan siswanya dan bisa meningkatkan

kualitas gurunya dalam pengajaran di sekolah.

d. Bagi Peneliti

Bagi peneliti, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu

referensi atau masalah yang relevan bagi penelitian selanjutnya.

6
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Bahasa

a. Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan satu-satunya milik manusia sebagai alat

komunikasi atau alat interaksi yang hanya di miliki oleh manusia. Di

dalam kehidupan bermasyarakat, sebenarnya manusia dapat juga

menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa. Namun, lebih

sempurna di bandingkan dengan alat-alat komunikasi lain, termasuk

juga alat komunikasi yang digunakan para hewan.

Menurut Jujun (2009) menyatakan bahwa bahasa adalah lambang

dimana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu (h.175).

Maksud pendapat tersebut bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang

berupa bunyi yang digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk

membentuk suatu arti tertentu.

Menurut Agustina dan Chaer (2010) menyatakan bahwa bahasa

adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah yang

komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan (h.11).

Maksud pendapat tersebut bahwa bahasa merupakan sistem yang

dibentuk dengan sejumlah yang berpola secara tetap dan dapat

dikaidahkan.

7
Menurut Ida (2010) menyatakan bahwa bahasa adalah alat

komunikasi yang digunakan manusia dengan sesama anggota

masyarakat lain pemakai bahasa itu (h.1). Maksud pendapat tersebut

bahwa bahasa adalah suatu lambang bunyi yang memiliki makna dan

berartikulasi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan sekelompok

manusia untuk melahirkan suatu perasaan dan pikiran.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

bahasa adalah suatu lambang bunyi yang memiliki makna dan

berartikulasi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan sekelompok

manusia untuk melahirkan suatu perasaan dan pikiran.

b. Fungsi Bahasa

Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting untuk manusia, fungsi

yang paling utama adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk

berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,

konsep atau juga perasaan..

Menurut Chaer (2011) bahasa Indonesia sendiri yang mempunyai

kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara di tengah-

tengah berbagai macam bahasa daerah, mempunyai fungsi sebagai

berikut:

(1) Alat untuk menjalankan administrasi negara. Ini berarti, segala

kegiatan administrasi kenegaraan seperti surat menyurat,

pendidikan, rapat-rapat dinas dan sebagainya harus

diselenggarakan dalam bahasa Indonesia.

8
(2) Alat pemersatu pelbagai suku bangsa di Indonesia. Komunikasi

diantara anggota suku bangsa yang berbeda kurang mungkin

dilakukan dalam salah satu bahasa daerah dari anggota suku bangsa

itu. Komunikasi lebih mungkin dilakukan dalam bahasa Indonesia.

Karena komunikasi antarsuku ini dilakukan dalam bahasa

Indonesia, maka akan terciptalah perasaan “satu bangsa” diantara

anggota suku-suku bangsa itu.

(3) Media untuk menampung kebudayaan nasional. Kebudayaan

daerah dapat ditampung dengan media bahasa daerah; tetapi

kebudayaan nasional Indonesia dapat dan harus ditampung dengan

media bahasa Indonesia (h.2).

Menurut Soeparno (2013), bahwa fungsi bahasa secara

umum adalah sebagai alat komunikasi sosial di dalam masyarakat

terdapat komunikasi atau saling hubungan antaranggota.

Menurut Santoso (2004) bahwa bahasa sebagai alat

komunkasi yang memiliki fungsi sebagai berikut:

(1) Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal

balik antaranggota keluarga ataupun anggota-anggota

masyarakat.

(2) Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap,

gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembaca.

Bahasa sebagai alat mengekspresikan diri ini dapat menjadi

media untuk menyatakan eksistensi (keberadaan) diri,

9
membebaskan diri dari tekanan emosi dan untuk menarik

perhatian orang.

(3) Fungsi adaptasi diri dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan

dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat, melalui

bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar

adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika

masyarakat. Mereka menyesuaikan diri dengan semua

ketentuan yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa.

(4) Fungsi kontrol sosial, bahasa berfungsi untuk mempengaruhi

sikap dan pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan

baik, maka semua kegiatan sosial akan berlangsung dengan

baik pula. Dengan bahasa seseorang dapat mengembangkan

kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih

berkualitas.

(5) Bahasa sebagai alat penampung dan penerus kebudayaan,

kontak manusia dengan alam sekitarnya dapat melahirkan

karya budaya. Karya budaya yang dihasilkan oleh manusia

masa lampau dapat dilestarikan dengan bahasa sehingga dapat

dinikmati dan dikembangakan oleh manusia masa kini dan

dilanjutkan atau diwariskan kepada generasi selanjutnya. (h.16-

17)

10
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan

bahwa fungsi bahasa adalah alat untuk berkomunikasi untuk

menyampaikan suatu gagasan, pikiran dan juga perasaan.

2. Campur Kode

a. Pengertian Campur Kode

Aspek lain dari ketergantungan bahasa dalam masyarakat

multilingual adalah terjadinya campur kode. Di antara sesama penutur

yang bilingual atau multilingual, sering dijumpai suatu gejala yang

dapat dipandang sebagai suatu kekacauan atau interferensi berbahasa.

Gejala inilah yang disebut campur kode.

Menurut Ohoiwutun (2007) menyatakan bahwa campur kode

adalah penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana

menurut pola-pola yang masih belum jelas (h.69). Maksud pendapat

tersebut bahwa campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa

yang tergantung pada konteks sosial.

Menurut Ibrahim dan Suparno (2007) menyatakan bahwa campur

kode adalah bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang

digunakan oleh penutur (h.16). Maksud pendapat tesebut bahwa

campur kode adalah bercampurnya unsur satu bahasa dengan bahasa

lain yang tergantung dari si penutur.

Campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah code

mixing dalam bahasa Inggris. Nababan (1993) menjelaskan campur

kode adalah suatu keadaan berbahasa lain yaitu bilamana orang

11
mencampur dua (atau lebih bahasa) atau ragam dalam suatu tindak

berbahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi

berbahasa itu menuntut percampuran bahasa itu ( Chaer dan Agustina,

2010, h.11). Maksud pendapat tersebut bahwa campur kode adalah

percampuran dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak bahasa tanpa

ada situasi yang menuntut pencampuran itu.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

campur kode adalah fonemena yang berbentuk penggunan unsur-unsur

dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain

dengan adanya unsur kesengajaan.

b. Ciri-Ciri Campur Kode

Ciri-ciri peristiwa campur kode terjadi pada situasi dan

konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang

mengutamakan peran dan fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi

pada situasi yang santai.

Menururt Warsiman (2014), terdapat beberapa ciri-ciri

campur kode yaitu sebagai berikut:

1. Adanya Hubungan Timbal-Balik antara Peranan dan Fungsi

Kebahasaan

Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu,

dalam arti, apa sifat-sifat khusus penutur (latar belakang, sosial,

tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan sebagainya),

sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai

12
oleh penutur dengan tuturannya. Fungsi menentukan sejauh

mana bahasa yang dipakai oleh penutur memberi kesempatan

untuk bercampur kode.

2. Unsur-Unsur Bahasa atau Variasi-Variasinya yang Menyisip

dalam Bahasa Lain Tidak Lagi Mempunyai Fungsi Tersendiri

Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip

di dalam bahasa lain tersebut dapat dibedakan menjadi dua

golongan yakni: (a) campur kode ke dalam (inner code-mixing)

adalah campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan

segala variasinya, dan (b) campur kode ke luar (outer code-

mixing) adalah campur kode yang bersumber dari bahasa asing

(h.96).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-

ciri campur kode adalah adanya hubungan timbal-balik antara

peranan dan fungsi kebahasaan, dan unsur-unsur bahasa atau

variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi

mempunyai fungsi tersendiri.

Terdapat beberapa ciri-ciri campur kode yaitu:

1. Campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks

pembicaraan seperti dalam gejala alih kode tetapi

tergantung kepada pembicaraan.

2. Campur kode terjadi karena kesantaian pembicaraan dan

kebiasaannya dalam pemakaian bahasa.

13
3. Campur kode pada umumnya terjadi dalam situasi tidak

resmi.

4. Campur kode berciri pada ruang lingkup klausa pada

tingkat tataran yang paling tinggi dan kata pada tataran

yang paling terendah.

Attamimi, Has’ad Rahman. (2013). Penelitian Campur

Kode. http://ilmuasastra.blogspot.com/2013/09/penelitian-

campur-kode.html (diakses tanggal 10 Desember 2018)

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa ciri-ciri campur kode yaitu Campur kode tidak

dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan, Campur

kode terjadi karena kesantaian pembicaraan dan

kebiasaannya dalam pemakaian bahasa, Campur kode pada

umumnya terjadi dalam situasi tidak resmi, Campur kode

berciri pada ruang lingkup klausa dan kata.

c. Alasan yang Mendorong Terjadinya Campur Kode

Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan

suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang

disisipi dengan unsur bahasa lainnya.

Menurut Warsiman (2014), alasan yang mendorong

terjadinya campur kode ada tiga hal yaitu: (1) identifikasi peranan,

(2) identifikasi ragam, dan (3) keinginan untuk menjelaskan atau

menafsirkan. Ketiga hal ini saling tergantung dan tidak jarang

14
bertumpang tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah

sosial, registral, dan educational. Identifikasi ragam ditentukan

oleh bahasa seorang penutur melakukan campur kode yang akan

menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya, sedangkan

keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, tampak karena

campur kode juga menandai sikap dan hubungan terhadap orang

lain dan sikap serta hubungan orang lain terhadapnya. Suatu misal,

bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Belanda di Indonesia

menunjukan bahwa penuturnya termasuk orang “tempo doeloe”,

terpelajar dan “bukan orang sembarangan”. Sementara itu,

bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa dapat memberikan

kesan bahwa penutur “orang masa kini”, berpendidikan cukup dan

mempunyai hubungan luas. Campur kode dengan unsur-unsur

bahasa Arab memberi kesan bahwa dia seorang Muslim, taat

beribadah atau pemuka agama Islam yang memadai (h.96).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

alasan yang mendorong terjadinya campur kode adalah identifikasi

peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau

menafsirkan. Ketiga hal ini saling tergantung dan tidak jarang

bertumpang tindih.

Penyebab terjadinya campur kode terjadi pada sikap

(attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur, dan

kebahasaan (linguistik type) yakni latar belakang keterbatasan

15
bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi

ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.

Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan

timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi

bahasa.

Susanto, Hadi. (2016). Alih Kode dan Campur Kode.

https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2016/01/12/alih-kode-dan-

campur-kode/ (diakses pada tanggal 10 Desember 2018).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulan bahwa

alasan yang mendorong terjadinya campur kode terjadi pada latar

belakang sikap penutur dalam kebahasaan yakni latar belakang

keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan,

identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau

menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya

hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan

fungsi bahasa.

d. Macam Wujud Campur Kode

Menurut Warsiman (2014), berdasarkan unsur-unsur

kebahasan yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan

menjadi sebagai berikut:

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.

Contoh:

16
- Mangka seringkali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa

daerah itu kurang penting (Terjemahan: Padahal

seringkali ada anggapan bahwa bahasa daerah itu

kurang penting).

- Mereka akan merried bulan depan

2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase.

Contoh:

- Nah, karena saya sudah kadhung apik sama dia ya tak

teken. (Terjemahan: Nah, karena saya sudah benar-

benar baik dengan dia, maka saya tanda tangan).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.

Contoh:

- Banyak klap malam yang harus ditutup.

- Hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali.

4. Penyisipan unsur-unsur kata berwujud perulangan kata.

Contoh:

- Sudah waktunya kita menghindari backing-backingan

dan klik-klikan.

- Saya sih boleh-boleh saja, asal dia tidak tanya-tanya

lagi.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.

Contoh:

17
- Pada zaman sekarang hendaknya kita hindari cara

bekerja alon-alon kelakon (pelan-pelan asal dapat

tecapai).

- Yah apa boleh buat, better laat dan nolt (lebih baik

terlambat daripada tidak sama sekali).

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.

Contoh:

- Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing

ngarso sun taladha, ing madya mangun karsa, tut wuri

handayani (di depan memberi teladan, di tengah

mendorong semangat, di belakang mengawasi) (h.97-

98)

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa terdapat beberapa macam wujud campur kode

yaitu penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata,

penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase,

penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster,

penyisipan unsur-unsur kata berwujud perulangan kata,

penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau

idiom.

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat

di dalamnya, terdapat beberapa macam wujud campur

kode yaitu:

18
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata

Kata merupakan unsur terkecil dalam

pembentukan kalimat yang sangat penting

peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata

adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri

dari morfem tunggal atau gabungan morfem.

Contoh :

“Mangka sering kali sok kata-kata seolah-olah

bahasa daerah itu kurang penting”. (“Padahal sering

kali ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu

kurang penting”).

2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih

yang sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat

rapat dan dapat renggang.

Contoh :

“Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia ya

tak teken”. (“Nah karena saya sudah benar-benar

baik dengan dia, maka saya tanda tangani”).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk

baster

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur

bahasa yang berbeda membentuk satu makna.

19
Contoh:

Banyak klap malam yang harus ditutup. Hendaknya

segera diadakan hutanisasi kembali.

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan

kata

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi

sebagai akibat dari reduplikasi.

Contoh:

Sudah waktunya kita menghindari backing-backing

dan klik-klikan. Saya sih boleh-boleh saja, asal tidak

tanya-tanya lagi.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan

atau idiom

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-

unsur yang saling memilih, masing-masing anggota

mempunyai makna yang ada hanya karena bersama

yang lain atau dengan pengertian lain idiom

merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama

dengan gabungan makna anggota-anggotanya.

Contoh:

20
Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja

alon-alon asal kelakon (perlahan-lahan asal dapat

berjalan).

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa

Klausa sebagai satuan gramatikal yang

berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya

terdiri dari subjek dan predikat serta mempunyai

potensi untuk menjadi kalimat.

Contoh:

Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing

ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut

wuri handayani (di depan memberi teladan, di

tengah mendorong semangat, di belakang

mengawasi). Afrianto, Irsyad. (2009). Alih Kode

dan Campur

Kode.http://wwwirsyadafrianto.blogspot.com/2009/

10/alih-kode-dan-campur-kode.html (diakses pada

tanggal 10 Desember 2018).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa jenis-jenis campur kode yaitu penyisipan

21
unsur-unsur yang berwujud kata adalah satuan

gramatikal yang bebas dan terkecil, penyisipan

unsur-unsur yang berwujud frasa adalah satuan

gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dan

tidak memiliki unsur predikat, penyisipan unsur-

unsur yang berwujud bentuk baster adalah

perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda yang

membentuk satu makna, penyisipan unsur-unsur

yang berwujud perulangan kata adalah peristiwa

pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk

dasar baik seluruhnya maupun sebagian, baik

bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi

afiks maupun tidak, penyisipan unsur-unsur yang

berwujud ungkapan atau idiom adalah bahasa yang

telah teradatkan artinya bahasa yang sudah biasa

dipakai seperti itu dalam suatu bahasa oleh para

pemakainya, penyisipan unsur-unsur yang berwujud

klausa adalah satuan sintaksis yang berbentuk

rangkaian kata-kata yang membentuk kalimat.

Berdasarkan pendapat diatas dapat

disimpulkan bahwa macam wujud campur kode

terdapat enam macam yaitu sebagai berikut:

penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata,

22
penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase,

penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk

baster, penyisipan unsur-unsur kata berwujud

perulangan kata, penyisipan unsur-unsur yang

berwujud ungkapan atau idiom, penyisipan unsur-

unsur yang berwujud klausa.

3. Novel

a. Pengertian Novel

Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni

setelah sastrawan Indnesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang

berbahasaInggris. Novel dan cerpen merupakan bentuk kesusastraan

yang secara perbandingannya adalah baru. Ia baru dikenal masyarakat

kira-kira sejak setengah abad yang lalu. Di negara Barat juga masih

baru jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang lain, seperti puisi

yang sudah dikenal sejak dua ribu tahun yang lalu, sedangkan fiksi ini

baru dikenal sejak dua ratus tahun yang lalu. Namun, masa hidupnya

yang muda itu, ia telah mengalami perkembangan yang begitu pesat.

Menurut Fithrati (2010), novel adalah sebuah karya fiksi prosa

yang tertulis dan naratif, biasanya dalam bentuk cerita. (h.36). Maksud

pendapat tersebut bahwa novel adalah karya fiksi yang berbentuk

23
prosa dan biasanya dalam bentuk cerita fiktif yang panjang bukan

hanya panjang dalam arti fisik melainkan isinya.

Menurut Nurgiyantoro (2015) menyatakan bahwa novel

merupakan bentuk karya sastra yang disebut fiksi (h.11). Maksud

pendapat tersebut bahwa novel adalah prosa naratif yang sifatnya

imajinasi yang ditulis oleh pengarang.

Menurut Aziez & Hisyam (2010), menyatakan bahwa novel adalah

sebuah genre sastra yang memiliki bentuk utama prosa, dengan

panjang yang kurang lebih bisa untuk mengisi satu atau dua volume

kecil, yang menggambarkan kehidupan nyata dalam suatu plot yang

cukup kompleks (h.7). Maksud pendapat tersebut bahwa novel adalah

karangan prosa yang panjang dan mengandung rangkaian cerita

kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan

menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

novel adalah karya sastra yang dalam penulisannya tidak terlalu

pendek dan tidak terlalu panjang dan dalam novel terdapat unsur-unsur

intrinsik dan ekstrinsik yang menyertai disetiap rangkaian ceritanya.

b. Ciri-Ciri Novel

Menurut Fithrati (2010), novel terdiri atas satu cerita

pokok, dijalani dengan beberapa cerita sampingan yang lain,

banyak kejadian dan kadang juga banyak masalah. Semuanya itu

harus merupakan sebuah kesatuan yang bulat. Novel untuk ukuran

24
Indonesia sekitar 100 halaman folio. Penulis novel dapat disebut

dengan novelis (h.36). Maksud pendapat tersebut bahwa ciri-ciri

novel saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Menurut Zulfahnur (2010), novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Mengandung sejumlah tokoh yang terdiri dari tokoh utama dan

tokoh figuran, lengkap dengan perwatakannya.

2) Mengandung serangkaian peristiwa yang terkait dalam jalinan alur.

3) Mengandung latar tempat para tokohnya bermain dan yang

melatarbelakangi tokoh-tokoh itu.

4) Mengandung unsur konflik atau tikaian antar tokoh-tokohnya

(h.13).

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri

novel itu tidak ada perbedaan yang signifikan, tetapi saling

berkaitan satu dengan yang lain.

Menurut Kosasih (2012) menyatakan bahwa tingkat

kedalaman dan keluasan cerita juga menjadikan perbedaan

kompleksitas antara latar yang digunakan dalam novel dan cerpen.

Eksplorasi cerita dalam cerpen cenderung ke dalam, penggalian

secara intensif, sedangkan dalam novel lebih kepada eksplorasi

(horizontal). Akibatnya, novel memerlukan tempat yang beragam

dan waktu yang lebih lama. Dalam cerpen umumnya waktu yang

digunakan sesaat dan sepenggal bagian tempat yang sempit (h.54).

25
Menurut Kosasih (2012) menyatakan perbedaan dari cerpen

dan novel

Tabel 2.1

Perbedaan Cerpen dan Novel

No Cerpen Novel
1. Alur lebih sederhana. Alur lebih rumit dan lebih panjang.

Ditandai oleh perubahan nasib pada diri

sang tokoh.
2. Tokoh yang dimunculkan hanya Tokohnya lebih banyak dalam beberapa

beberapa orang. berbagai karakter.


3. Latar yang dilukiskan hanya Latar meliputi wilayah geografi yang luas

sebentar dan sangat terbatas. dan dalam waktu yang lebih lama.
4. Tema mengupas masalah yang Tema lebih kompleks, ditandai oleh

relatif sederhana. adanya tema-tema bawahan (h. 60).

26
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah

ceritanya lebih panjang, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara fiksi,

serta mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel tersebut dapat

menarik pmbaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di

dalamnya akan menjadikan lebih hidup.

c. Unsur-Unsur Novel

Unsur novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur instrinsik dan unsur

ekstrinsik. Unsur instrinsik novel adalah unsur yang langsung

membangun novel tersebut dan berada di dalam novel tersebut.

Sedangkan, unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada di luar

novel tersebut. Unsur ekstrinsik tidak berhubungan secara langsung

dalam membangun suatu novel.

a) Unsur intrinsik novel antara lain sebagai berikut:

1) Tema

Menurut Kosasih (2014), tema adalah gagasan yang

menjalin stuktur isi cerita. Tema menyangkut segala persoalan,

baik itu berupa masalah, kekuasaan, kasih sayang,

kecemburuan, persahabatan, dan sebagainya. Untuk

mengetahui tema suatu cerita, diperlukan apresiasi menyeluruh

terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa saja temanya itu

dititipkan pada unsur penokohan, alur, ataupun pada latar

(h.60).

27
Menurut Soebachman (2016), tema merupakan gagasan

dasar umum yang menompang sebuah karya sastra dan yang

terkandung di dalam teks. Tema disaring dari motif-motif yang

terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan, yang

menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi

tertentu, termasuk berbagai unsur instrinsik yang lain, karena

hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema

yang ingin disampaikan (h.134).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita yang

menyangkut segala pesoalan, baik itu berupa masalah

kemanusian, kasih sayang dan persahabatan.

2) Alur

Alur menduduki tempat yang penting dalam cerita karena

tanpa alur maka bisa dipastikan sebuah kisah akan gagal

menurut waktu. Pembacaan tentu akan gagal menyukai novel

sebab alur yang berantakan akan membuat kita menjadi susah

untuk memahami sebuah cerita.

Menurut Aminuddin (2015), alur dalam cerpen atau dalam

karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang

dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin

suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu

cerita (h.83).

28
Menurut Kosasih (2014), alur merupakan sebagian dari

unsur intrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola

pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab

akibat. Pola pengembangan cerita suatu cerpen atau novel

tidaklah seragam. Pola-pola pengembangan cerita yang dapat

kita jumpai antara lain jalan cerita suatu novel kadang berbelit-

belit dan penuh kejutan, juga terkadang sederhana. Hanya saja

bagaimana pun sederhana alur suatu novel tidak akan

sesederhana jalan cerita dalam cerpen. Novel akan memiliki

jalan cerita yang lebih panjang. Hal ini karena cerita yang

dikisahkannya lebih kompleks dengan persoalan para tokohnya

yang juga lebih rumit (h.63).

Soebachman (2016), alur atau plot merupakan rangkaian

peristiwa dalam novel. Plot menampilkan kejadian-kejadian

yang mengandung konflik ataupun yang menarik, bahkan

mencekam pembaca. Alur dibedakan menjadi dua yaitu (1) alur

maju/alur progresif apabila peristiwa bergerak secara betahap

berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita (2) alur

mundur /flashback terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang

berlangsung (h.137).

Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alur

adalah rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya cerita.

3) Latar

29
Latar merupakan salah satu hal yang tidak boleh tertinggal

dalam penulisan novel. Dengan adanya latar cerita yang baik,

pembaca akan lebih mudah tertarik dengan novel.

Kosasih (2014), latar atau setting meliputi tempat, waktu,

dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita. Latar dalam

suatu cerita bisa bersifat faktual atau bisa juga yang imajiner.

Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas

keyakinan pembaca terhadap jalannya suatu cerita. Dengan

demikian apabila pembaca sudah menerima latar itu sebagai

sesuatu yang benar adanya, maka cenderung diapun akan lebih

siap dalam menerima pelaku ataupun kejadian-kejadian yang

berada dalam latar itu (h.67).

Amminudin (2015), menyatakan bahwa “setting selalu

memiliki hubungan dengan unsur-unsur signifikan lain dalam

rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan atau

unity dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang” (h.69).

Soebachman (2016), menyatakan bahwa “latar atau setting

merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan

cerita. Setting ini meliputi waktu, tempat, dan sosial budaya.

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal

ini penting untuk memberikan kesan realitis kepada pembaca”

(h.134).

30
Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

latar adalah tempat dimana sebuah cerita berlangsung dan dapat

dijelaskan secara langsung ataupun melalui dialog para

tokohnya.

4) Penokohan

Keberadaan tokoh dalam sebuah cerita sangat penting.

Dalam cerita monolog sekalipun, keberadaan tokoh adalah

mutlak. Penulis yang baik mampu menghidupkan ceria melalui

watak dan karakter tokoh tersebut. Bahkan tak jarang, tema

yang diangkat klise namun penokohan yang cerdas mampu

meningkatkan daya tarik dalam novel tersebut.

Kosasih (2014), menyatakan bahwa “penokohan

merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra, disamping

tema, alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Penokohan adalah

cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter

tokoh-tokoh dalam cerita” (h.69).

Soebachman (2016), menyatakan bahwa “penokohan

adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan mencangkup

masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya,

31
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita,

sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas pada

pembaca” (h.135).

Aminudin (2015), menyatakan bahwa para tokoh yang

terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-

beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam

suatu cerita disebut dengan inti atau tokoh utama. Sedangkan

tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena

pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung

pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pelaku (h.79).

Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

penokohan adalah penggambaran karakter oleh penulis yang

mewakili tipe-tipe manusia yang sesuai dengan tema dan

amanat, biasanya terdiri dari tokoh utama dan tambahan, serta

menggunakan teknik analitik serta dramatik untuk melukiskan

watak tokoh tersebut. Untuk menggambarkan karakter seorang

tokoh, pengarang dapat juga menyebutkannya langsung,

misalnya si A itu baik, si B itu jahat. Penjelasan karakter tokoh

dapat pula melalui gambaran perilaku seseorang melalui cara

bicranya, jalan pikirannya ataupun melalui penggambaran

tokoh.

5) Sudut Pandang/ Point of View

32
Sudut pandang merupakan salah satu unsur intrinsik yang

terdapat dalam sebuah prosa fiksi. Dalam menuliskan sebuah

cerita, pengrang biasanya mengambil posisi sebagai

penceritaan saja atau hanya masuk menjadi tokoh dalam cerita.

Secara garis besar posisi pengarang telah mengambil peran

dalam cerita. Sebelum menulis cerita, penulis harus

menentukan siapa yang menjadi subjeknya, menentukan pusat

cerita atau pusat pengkisahan berarti menentukan pertalian

antara pengarang dengan ceritanya.

Aminuddin (2015), menyatakan bahwa titik pandang atau

Point of View adalah cara pengarang menampilkan para pelaku

dalam cerita yang dipaparkan (h.90).

Kosasih (2014), menyatakan bahwa poin of view adalah

posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi yang

dimaksud adalah: berperan langsung sebagai orang pertama,

dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai

pengamat (h.69).

Soebachman (2016), menyatakan bahwa sudut pandang

(point of view) merupakan strategi, teknik, dan siasat yang

secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan

gagasan dan ceritanya. Sudut pandang dibagi menjadi tiga,

yaitu:

a) Sudut pandang orang pertama “Aku”

33
Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata

ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan

dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan

kata-katanya sendiri.

b) Sudut pandang orang ketiga “Dia”

Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia

lebih banyak mengamati dari luar dari pada terlibat di

dalam cerita, pengarang biasanya menggunakan kata ganti

orang ketiga.

c) Sudut pandang Campuran

Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia

sekali berdiri di luar cerita. Ia serba melihat, serba

mendengar, dan serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam

pikiran tokoh utama dan mampu mengisahkan rahasia batin

yang paling dalam dari tokoh (h.137).

Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa sudut pandang merupakan cara pengarang

menempatkan dirinya terhadap cerita atau sudut mana

pengarang memandang ceritanya.

6) Amanat

Dalam memahami isi novel dibutuhkan suatu kemampuan

untuk memahami isi novel agar dapat mengetahui amanat

beserta watak tokoh dari novel yang dibaca. Amanat yang

34
dimaksud adalah pesan/kesan yang dapat memberikan

tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang

bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan kepada

pembaca.

Kosasih (2014), menyatakan bahwa amanat merupakan

ajaran moral atau pesan di daktis yang hendak disampaikan

pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Tidak jauh

berbeda dengan bentuk cerita lainnya, amanat dalam novel

akan disimpan rapih dan disembunyikan pengarangnya dalam

keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukannya tidak

cukup dengan membaca dua atau paragraf, melainkan harus

menghabiskannya sampai tuntas (h.71).

Nurgiyantoro (2013), menyatakan bahwa amanat adalah

pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca

dengan bahasa yang mudah dipahami dan diterima oleh

pembaca atau pendengar (h.23).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa amanat

adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada

pembaca berupa nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan contoh

atau teladan.

7) Gaya Bahasa

Gaya bahasa mempunyai cangkupan yang sangat luas baik

itu untuk tulisan maupun pembicaraan. Gaya bahasa juga

35
berkaitan dengan situasi dan suasana dimana gaya bahasa dapat

menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, misalnya kesan

baik atau buruk, senang, tidak enak dan sebagainya yang

diterima pikiran dan perasaan melalui gambaran tempat, benda-

benda, suatu keadaan atau kondisi tertentu. Dengan demikian

bahwa fungsi gaya bahasa adalah sebagai alat untuk

meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar.

Aminuddin (2015) “dalam karya sastra istilah gaya

mengandung pengertian cara seorang pengarang

menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media

bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan

makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan

emosi pembaca” (h.72).

Kosasih (2014) dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi

untuk menciptakan suatu nada dan suasana persuasif serta

merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan

dan interaksi antara sesama tokoh. Kemampuan sang penulis

menjengkelkan, objektif atau emosional. Bahasa dapat

menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan yang

seram, adegan cinta ataupun peperangan, keputusan, maupun

harapan (h.71).

36
Gorys Keraf (2010), gaya bahasa merupakan cara

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang

memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (h.113).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa

adalah cara pengarang menguraikan cerita yang dibuatnya, atau

definisi dari gaya bahasa yaitu cara pengarang bercerita

mengungkapkan isi pemikirannya lewat bahasa-bahasa yang

khas dalam uraian ceritanya sehingga dapat menimbulkan

kesan tertentu.

b) Unsur ekstrinsik novel antara lain sebagai berikut:

Kosasih (2014), adapun yang dimaksud dengan unsur

ekstrinsik adalah unsur luar yang berpengaruh terhadap isi novel

itu. Yang termasuk ke dalam unsur ekstrinsik adalah sebagai

berikut:

1) Latar Belakang Pengarang

Menyangkut didalamnya asal daerah atau suku bangsa,

jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, dan ideologi.

Unsur ini sedikit banyak atau berpengaruh pada isi suatu novel.

Misalnya, novel yang dikarang orang Padang akan berbeda

dengan novel yang dibuat oleh orang Sunda atau orang Paris.

2) Kondisi Sosial Budaya

37
Dimaksudkan bahwa novel yang dibuat pada zaman

kolonial akan berbeda dengan novel pada zaman kemerdekaan

atau pada masa reformasi. Novel yang dikarang oleh seorang

yang hidup di tengah-tengah masyarakat metropolis akan

berbeda dengan novel yang dihasilkan oleh pengarang yang

hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional.

3) Tempat atau Kondisi Alam

Dimaksudkan bahwa novel yang dikarang oleh seorang

yang hidup di daerah agraris sedikit banyak akan berbeda

dengan novel yang dikarang oleh penulis yang terbiasa hidup di

daerah gurun (h.72).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

unsur ekstrinsik adalah unsur yang membentuk suatu karya

sastra dari luar yang dapat mempengaruhi sistem karya sastra.

Unsur-unsur yng dimaksud antara lain adalah keadaan

subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,

keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan

mempengaruhi karya yang ditulisnya, unsur berikutnya adalah

psikologi , baik yang berupa psikologi pengarang seperti sosial,

ekonomi, dan politik juga akan mempengaruhi karya sastra.

d. Jenis-Jenis Novel

Seorang penulis novel dapat mengungkapkan seluruh perasaannya

dengan apa yang dilihat, dialami, dan dirasakan melalui proses

38
imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Kategori novel dapat

didasarkan pada tinjauan historis dan teknis. Tinjauan historis

didasarkan pada unsur-unsur intrinsik novel yang biasanya

mendominasi suatu periode tertentu, sedangkan tinjauan teknis

biasanya didasarkan pada unsur-unsur ekstrinsik serta gaya narasi yang

digunakan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam banyak kasus suatu

novel dapat memiliki karakteristik yang lintas historis. Oleh karena itu,

kategori seyogianya hanya digunakan sebagai alat bantu saja dalam

ragam novel.

Menurut Azizez & Hasim (2010), menyatakan bahwa terdapat

beberapa jenis-jenis novel yaitu sebagai berikut:

a. Novel Picaresque

Novel picaresque dibangun diatas tradisi cerita-cerita picaro

Spanyol pada abad keenam belas, yang secara tipikal

melukiskan seorang picaro dengan segala kecerdikannya hidup

dari satu perjalanan ke perjalanan lainnya. Latar yang dilalui

biasanya kehidupan “rendah”, kehidupan kumal.

b. Novel Epistolari

Novel epistolari memanfaatkan surat (epistles) yang dikirim

diantara para tokoh yang ada di dalamnya sebagai media

39
penyampaian cerita melihat zamannya yang masih primitif

novel ini sudah hadir pada abad ke delapan belas.

c. Novel Sejarah

Novel yang memaparkan kejadian dan tokohnya dalam

konteks sejarah yang jelas, dan dapat pula memasukan tokoh-

tokoh rekaan dan nyata dalam rangkaian ceritanya.

d. Novel Regional

Novel regional adalah novel yang latarnya atau warna

daerahnya memainkan peran yang sangat penting. Dalam

pandangan tradisional, daerah yang dimaksud adalah daerah

terpencil atau daerah pegunungan bukan daerah perkotaan.

e. Novel Satir

Novel satir adalah novel yang tidak harus berbentuk prosa

dan bersifat rekaan, sekalipun di dalamnya terkandung makna

melebih-lebihkan yang melibatkan khayalan fiktif.

f. Novel Bildungroman

Novel bildungroman merupakan novel yang memfokuskan

dirinya pada perkembangan tokoh dari masa muda, kanak-

kanak, sampai masa dewasa. Istilah bildungroman yang berasal

dari Jerman ini sekarang umumnya digunakan dalam bahasa

Inggris.

g. Novel Tesis

40
Novel tesis yang isinya mengisyaratkan bahwa ia memiliki

argumen yang mendasari ceritanya. Dalam novel ini biasanya

terdapat gagasan yang biasanya bersifat sederhana dan tidak

rumit.

h. Novel Gotik (Roman Noir)

Novel jenis ini pada umumnya termasuk jenis novel gotik

karena lebih banyak dipakai di Inggris. Novel yang isinya

merupakan sebuah nama yang dipakai pada gaya arsitektur di

abad pertengahan kemudian digunakan oleh para penulis yang

beranggapan bahwa jenis tulisan mereka tidak klasik.

i. Roman – Fleuve

Istilah ini merujuk pada jenis novel berantai yang bisa

dibaca dan diapresiasi satu-satu, tetapi berkenanan dengan

tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa yang sama dan selalu

muncul dari satu novel ke novel berikutnya.

j. Roman Feuilleton

Novel yang diterbitkan secara “mencicil” dan tanpa

mengalami pemotongan dalam suatu surat kabar. Model

penerbitan semacam ini sangat populer di abad kesembilan

belas.

k. Fiksi Ilmiah

41
Fiksi ilmiah berkenaan dengan penggambaran ilmu

pengetahuan modern, terutama perjalanan antarplanet dan

dunia luar angkasa. Pada umumnya fiksi ilmiah merupakan

karya cerita, baik yang dituliskan maupun difilmkan.

l. Novel Baru (Nouveau Roman)

Roman baru merupakan suatu perkembangan yang relatif

baru, yang bermula dari Prancis. Dalam novel jenis ini

konvensi-konvensi penulisan fiksi yang sudah mapan secara

sengaja disimpangkan atau diperlakukan sedemikian rupa

untuk membingungkan pembaca dan untuk mencapai efek

tertentu yang berbeda.

m. Metafiksi

Secara literal metafiksi berarti fiksi tentang fiksi. Novel

jenis ini merujuk pada sejenis novel atau cerpen yang secara

sengaja mengoyak ilusi fiktif dan mengomentari secra langsung

hakikat fiktifnya sendiri atau proses penulisannya.

n. Faksi

Istilah ini diperkenalkan oleh pengarang asal Amerika,

Truman Capote dan merupakan kata portmanteau (dari fact +

fiction). Istilah ini dengan demikian bermakna suatu karya yang

keberadannya ada di antara fakta dan fiksi, yang utamanya

berurusan dengan peristiwa atau tokoh nyata tetapi dengan

42
menggunakan rincian rekaan untuk meningkatkan tingkat

kepercayaan dan keterbacaannya (h. 22-31).

Terdapat beberapa jenis novel yang mencerminkan keragaman

tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang

novel. Nurgiyantoro (2013) membedakan novel menjadi novel serius,

novel populer, dan novel teenlit.

a. Novel Populer

Menurut Nurgiyantoro (2013), novel populer adalah novel

yang populer pada masanya dan banyak penggemar, khususnya

pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah

yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada

tingkat permukaan.

Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa novel populer adalah novel yang banyak digemari oleh

kalangan remaja yang menampilkan cerita yang aktual dan

sesuai dengan zaman sekarang.

b. Novel Serius

Menurut Nurgiyantoro (2013), novel serius adalah novel

yang memberikan isi cerita yang serba berkemungkinan, jadi

dituntut untuk berkonsentrasi yang tinggi untuk dapat

memahami cerita yang dipaparkan didalamnya. Pengalaman

dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel

43
jenis ini dilihat dan diungkapkan sampai ke inti hakikat

kehidupan yang bersifat universal.

Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa novel serius adalah novel yang perlu keseriusan dalam

membacanya, pembaca dituntut dapat mengoperasikan daya

intelektualnya.

c. Novel Teenlit

Menurut Nurgiyantoro (2013), novel teenlit adalah bahwa

novel yang selalu berkisah tentang remaja, baik yang

menyangkut tokoh-tokoh utama maupun permasalahanya. Para

tokoh remaja itu hadir lengkap dengan karakter dan

masalahnya: pertemanan, kisah cinta, putus-sambung cinta,

impian, khayalan, cita-cita, konflik, dan lain-lain yang

semuanya merupakan romantika dunia remaja (h. 19-28).

Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa novel teenlit adalah novel yang bertemakan kehidupan

remaja dengan segala macam kisah yang memang dialami oleh

remaja pada umumnya, mulai dari sulitnya proses mencari jati

diri sampai dengan saat-saat merasakan jatuh cinta.

44
4. Sosiolingustik

a. Pengertian Sosiolingustik

Istilah sosiolingustik seringkali diperantikan dengan sosiologi

bahasa. Ada beberapa pihak yang menganggapnya sama saja. Ada juga

yang membedakan dan perbedaan tersebut hanyalah titik berat saja.

Fishman melihat bahwa masyarakat lebih luas dari bahasa dan dengan

demikian maka masyarakat yang menyajikan konteks, disana segala

perilaku bahasa akan dikaji. Yang lebih sejalan dengan pendekatan ini

adalah sosiologi bahasa bukan sosiolingustik yang membeikan titik

berat pendekatan sebaliknya.

45
Menurut Chaer dan Leonie (2010) menyatakan bahwa

sosiolingustik adalah ilmu antardisplin antara sosiologi dan lingustik,

dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat (h.2).

Menurut Sumarsono (2012) mendefinisikan sosiolingustik sebagai

lingustik institusional yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan

orang-orang yang memakai bahasa itu (h.2).

Menurut Wijana (2010) menyatakan bahwa sosiolingustik adalah

cabang lingustik yang memandang atau menempatkan kedudukan

bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam

masyarakat.

Maka dapat disimpulkan bahwa sosiolingustik adalah ilmu yang

mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan diantara

para pengguna bahasa dengan fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu

masyarakat bahasa.

46
b. Objek Kajian Sosiolingustik

Objek kajian sosiolingustik merupakan bahasa dalam

penggunaanya di dalam masyarakat. Menurut Chaer dan Agustina

(2010) menjelaskan bahwa dalam sosiolingustik bahasa tidak

dilihat sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh lingustik

umum, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam

masyarakat (h.3). Menurut Sumarsono (2012) menjelaskan bahwa

sosiolingustik melihat bahasa sebagai suatu sistem yang berkaitan

dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak

terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang

dipatuhi oleh penutur itu.

47
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

objek kajian sosiolingustik tidak dilihat sebagai bahasa melainkan

dilihat dari interaksi sosial di dalam masyarakat.

B. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh:

1. Sintia Yudiati Perdani. Mahasiswa Program Studi Sasatra Indonesia.

Universitas Pamulang Tangerang Selatan 2017 dengan judul penelitian

“Campur Kode Dalam Novel Magic Hours Karya Tesa Ts dan Stanley

Meulen” (Kajian Sosiolingustik). Persamaan pada penelitian ini adalah

sama-sama membahas campur kode dan menggunakan kajian

sosiolingustik, sedangkan perbedaan pada penelitian ini terletak pada judul

novel, pada skripsi Sintia Yudiati Perdani menggunakan novel Magic

Hours karya Tesa Ts.

48
2. Nila Arum Saputri. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Universitas Negeri Jakarta 2012 dengan judul penelitian

“Analisis Campur kode dan Alih Kode Pada Novel Perahu Kertas Karya

Dewi Lestari. Persamaan pada skripsi Nila Arum Saputri sama-sama

membahas campur kode dan objek yang digunakannya adalah novel,

sedangkan perbedaannya terdapat pada pembahasannya alih kode yang

terdapat pada skripsi Nila Arum Saputri, sedangkan peneliti hanya

membahas campur kode.

3. Rini Maryani. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Universitas Islam Negeri Syyarif Hidayatullah Jakarta 2011

dengan judul penelitian “Analisis Campur Kode Dalam Novel Ketika

Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy. Persamaan pada skripsi

Rini Maryani dengan penelitian yaitu sama-sama bertujuan untuk

mengetahui wujud campur kode dan metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif dengan bentuk kualitatif yaitu

mendeskripsikan wujud terjadinya campur kode yang terdapat dalam novel

Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Sharazy, sedangkan

perbedaan yang terdapat pada skripsi Rini Maryani dengan peneliti yaitu

pada skripsi Rini Maryani pada judul novel.

49
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian dan Jenis Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif.

Sugiyono (2016) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah

metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (h.9). Maksud

50
pendapat tersebut bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode yang

menggunakan obyek yang alamiah dimana peneliti sebagai instrumen,

teknik pengumpulan data yang dilakukan secara trianggulasi.

Menurut Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah (2010) menyatakan

bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang datanya dinyatakan

dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik

(h.26). Maksud pendapat tersebut bahwa penelitian kualitatif ini harus

memiliki bekal teori dan sehingga mampu bertanya, menganalisis,

memotret, dan mengkontruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas dan

bermakna.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena permasalahan

masih belum jelas, komplek, dinamis, dan langsung masuk ke obyek

melakukan penjelajahan, sehingga masalah akan dapat ditemukan dengan

jelas, dan melalui metode penelitian kualitatif ini juga penulis akan

melakukan analisis terhadap suatu obyek, serta dalam penelitian ini

objeknya yaitu novel Alfa dan Omega karya Oda Sekar Ayu.

Jenis metode penelitian ini merupakan jenis metode deskriptif,

karena dalam penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan, mencatat, dan

menganalisis campur kode pada novel Alfa dan Omega karya Oda Sekar

Ayu. Menurut Creswell (2004) penelitian kualitatif deskriptif adalah

metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan

menginterprestasikan objek apa adanya. Dan tujuannya yaitu untuk

51
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang

diteliti secara tepat (h.24). Maksud pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa penelitian kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang

menggambarkan dan menginterprestasikan objek apa adanya.

Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fonemena apa yang terjadi pada obyek penelitian dimana peneliti adalah

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Berikut langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Penulis terlebih dahulu membaca novel Alfa dan Omega karya Oda

Sekar Ayu.

2. Mengambil data subjek penulis berupa kata-kata yang diteliti.

3. Mengidentifikasi wujud campur kode yang terdapat dalam novel Alfa

dan Omega karya Oda Sekar Ayu.

4. Menandai subjek-subjek yang akan diteliti.

5. Memasukan ke dalam tabel analisis.

6. Menganalisis dan mendeskripsikan wujud campur kode yang terdapat

pada novel Alfa dan Omega karya Oda Sekar Ayu.

7. Menyimpulkan berdasarkan analisis yang dilakukan.

52
B. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan

N KEGIATAN WAKTU KETERANGAN

O
1 Pengajuan Judul Juli 2018
2 Bimbingan November-

Proposal Desember 2018


3 Seminar Proposal Desember 2018

Skripsi
4 Bimbingan dan Januari 2018

Revisi Hasil

Seminar
5 Pembuatan Januari 2019

53
Instrumen

Penelitian
6 Pengumpulan Data Febuari 2019
7 Pengelolahan dan Maret 2019

Analisis Data
8 Ujian Skripsi Mei 2019

C. Sumber Data dan Jenis Data Penelitian

Sumber data merupakan tempat diperolehnya data penelitian.

Dalam hal ini, sumber data penelitian adalah novel yang berjudul Alfa

dan Omega karya Oda Sekar Ayu. Dalam penelitian ini dibagi menjadi

dua, yaitu:

a. Data primer

Data primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini

yaitu data yang diperoleh secara sendiri dalam penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia

sehingga kita hanya mencari serta mengumpulkan. Data sekunder

dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang ada pada referensi seperti

yang tertulis pada bab II.

D. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2015) menyatakan bahwa teknik pengumpulan

data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena

54
tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak mendapatkan

data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (h.62). Maksud

pendapat diatas bahwa teknik pengumpulan data adalah langkah yang

paling strategiskarena hanya mendapatkan data saja. Menurut Sangadji,

Etta Mamang dan Sopiah (2010) menyatakan bahwa metode penelitian

data adalah cara memperoleh data dalam kegiatan penelitian (h.149).

Maksud pendapat diatas bahwa metode penelitian data adalah metode yang

dengan cara memperoleh data dalam suatu kegiatan penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan

menggunakan teknik dokumen. Dokumen merupakan teknik pengumpulan

data dengan mencatat dan menganalisis data. Salah satu dari jenis

dokumen yaitu dokumen tertulis yang berbentuk sebuah novel. Dokumen

yang sudah didapatkan, kemudian di analisis wujud campur kode.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat untuk memperoleh informasi dan

sumber data. Keberhasilan penelitian ditentukan oleh instrumen yang

digunakan. Dalam penelitian ini peneliti sendiri yang bertindak dan

melakukan pengumpulan data, pengamatan data, analisis data, dan

membuat kesimpulan atas penelitiannya. Dalam instrumen penelitian

kualitatif ini, dibantu dengan tabel pengamatan untuk mencatat kutipan

dari novel Alfa dan Omega karya Oda Sekar Ayu. Adapun format tabel

dalam instrumen penelitian ini sebagai berikut:

55
Tabel 3.2

Tabel Analisis Campur Kode

WUJUD CAMPUR KODE


1 2 3 4 5 6
NO KUTIPAN
1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
JUMLAH

Keterangan:

1. Penyisipan unsur yang berwujud kata

2. Penyisipan unsur yang berwujud frasa

3. Penyisipan unsur yang berwujud baster

56
4. Penyisipan unsur yang berwujud pengulangan kata

5. Penyisipan unsur yang berwujud ungkapan atau idiom

6. Penyisipan unsuru yang berwujudu klausa.

F. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2015) menyatakan bahwa teknik analisis data

adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh

dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-

unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang

penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga

mudah di pahami oleh diri sendiri maupun orang lain (h.335). Maksud

pendapat diatas bahwa teknik analisis data adalah proses mencari data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi.

Menurut Bogdan & Biklen (1982) menyatakan bahwa analisis data

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilih-milihnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan

apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain (Meleong, 2013, h.248). Maksud pendapat

diatas bahwa analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan cara

mengorganisasikan data, memilih-milihnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan

apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat

57
diceritakan kepada orang lain. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

analisis data berupa novel Alfa dan Omega karya Oda Sekar Ayu dan

mengelompokan wujud campur kode yang terdapat di dalam novel

tersebut.

Adapun langkah-langkah analisis data sebagai berikut:

1. Peneliti terlebih dahulu membaca novel Alfa dan Omega karya Oda

Sekar Ayu.

2. Peneliti memahami wujud campur kode yang terdapat pada novel Alfa

dan Omega karya Oda Sekar Ayu.

3. Peneliti mengelompokan kata yang termasuk wujud campur kode

tersebut.

4. Peneliti menganalisis dan mengamati wujud campur kode dalam novel

Alfa dan Omega karya Oda Sekar Ayu.

5. Peneliti membuat dan menarik kesimpulan berdasarkan analisis data

yang sudah diteliti.

G. Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari

konsep kesahihan dan keandalan. Keabsahan data adalah suatu bukti untuk

meyakinkan temuan-temuan dalam penelitian dapat dipercaya ataupun

dapat dipertimbangkan. Untuk meyakinkan deskriptif data yang di dapat

dalam penelitian dan seberapa jauh hasil penelitian dapat dipercaya,

peneliti melakukan beberapa teknik di dalam penelitian ini. Adapun

58
keabsahan data yang dilakukan peneliti untuk penelitian ini sebagai

berikut:

1. Objektivitas (comfirmability)

Bermakna sebagai proses kerja yang dilakukan untuk mencapai

kondisi objektif. Untuk mencapai keobjektifitasan maka penulis telah

membuat desain penelitian secara baik dan benar, fokus penelitian

ditetapkan, kajian teori yang serelevan mungkin, melakukan teknik

pengumpulan data yang disesuaikan dengan fokus permasalahan dalam

penelitian, melakukan analisis secara benar, dan berusaha menyajikan

hasil penelitian yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

2. Kesahihan Internal (Kredibility)

Validitas internal adalah membahas seberapa jauh hasil penelitian

dapat dipercaya, maka dari itu untuk mencapai kepercayaan peneliti

berusaha memenuhi krikteria keabsahan data dengan menggunakan

cara diskusi dengan teman sejawat untuk mendapatkan pembahasan

dalam analisis serta kesimpulan yang baik sebelum dibandingkan oleh

penulis.

Kesahihan Eksternal (tranferability)

Tahap ini berkenaan dengan hasil penelitian yang dapat ditranfers

oleh orang lain dan dapat diaplikasikan dalam situasi lain. Untuk

mencapai kesahihan eksternal penulis meneliti dengan sistematik,

rinci, jelas, dan bisa dipertanggungjawaban.

59
3. Keterandalan (dependability)

Keterandalan adalah bentuk untuk menguji dan sudah tercapainya

keterandalan data dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif, uji

dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan

proses penelitian.

60

Anda mungkin juga menyukai