Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara intuisi , kita telah mengerti himpunan tak berhingga. Pengertian tersebut akan
dimantapkan dengan definisi. Dengan definisi tersebut, selanjutnya kita akan dapat
menurunkan beberapa sifat himpunan tak berhingga. Setiap himpunan berhingga merupakan
himpunan terbilang, sedangkan himpunan tak berhingga ada yang merupakan himpunan
terbilang dan ada yang merupakan himpunan tak terbilang. Pendekatan yang digunakan dalam
makalah ini ialah pendekatan fungsi (pemetaan).
Dalam makalah ini, kita akan mengklasifikasikan himpunan menjadi himpunan berhingga
dan himpunan tak berhingga atau menjadi himpunan terbilang dan himpunan tak terbilang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan himpunan berhingga ?
2. Apa yang dimaksud dengan himpunan tak berhingga ?
3. Apa yang dimaksud dengan himpunan terbilang ?
4. Apa yang dimaksud dengan himpunan tak terbilang ?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan:
1. Mengetahui yang dimaksud dengan himpunan berhingga ?
2. Mengetahui yang dimaksud dengan himpunan tak berhingga ?
3. Mengetahui yang dimaksud dengan himpunan terbilang ?
4. Mengetahui yang dimaksud dengan himpunan tak terbilang ?

1
BAB II
ISI

A. HIMPUNAN BERHINGGA DAN TAK BERHINGGA


Pandang himpunan H = {1,2,3,4,…,100}. Banyaknya elemen dari himpunan H adalah
100. Sedangkan banyaknya elemen dari himpunan A = {1,2,3,4,…} adalah tak berhingga.
Selanjutnya dikatakan bahwa H adalah suatu himpunan berhingga, sedangkan A adalah suatu
himpunan tak berhingga.
Pemahaman himpunan berhingga dan tak berhingga semacam ini disebut pemahaman
secara intuitif. Pendekatan lain untuk memahami pengertian himpunan tak berhingga dan
berhingga memerlukan pengertian ekuivalensi dua himpunan, atau pengertian dua himpunan
yang ekuivalen.

Definisi 1.1 :
Himpunan H ekivalen dengan himpunan K, dinyatakan dengan H ~ K, apabila ada suatu
pemetaan bijektif dari H ke K.

Pada definisi 1.1 tentu saja himpunan H dan K bukan himpunan kosong. Selanjutnya, suatu
pemetaan bijektif itu mendefinisikan (menentukan) suatu korespondensi satu-satu antara H dan
K. Definisi 1.1 dapat dinyatakan sebagai berikut : H ~ K bila ada suatu korespondensi satu-satu
antara himpunan H dan himpunan K.

Contoh 1 :
(i) Misalkan H = {5,3,6,7,2} dan K = {a,b,c,d,e}. Kita dapat membentuk suatu pemetaan bijektif
dari H ke K, misalnya seperti pada diagram berikut ini

f
5 a
3 b
6 c
7 d
2 e

H K

2
Nampak jelas pada diagram tersebut bahwa f : H → K adalah suatu pemetaan bijektif, sehingga
H~K.

(ii) Misalkan M = {a,b,c,d} dan N = {2,3,4}. Jika kita mendaftar semua pemetaan dari M ke
N, maka tidak ada satupun yang merupakan pemetaan bijektif sehingga M tidak ekuivalen
dengan N.

Dengan memperhatikan contoh-contoh tersebut. Dua himpunan berhingga dikatakan


ekuivalen apabila banyaknya elemen dari kedua himpunan tersebut sama. Sehingga untuk
himpunan berhingga definisi 1.1 menjadi H dan K dikatakan ekuivalen, apabila banyaknya
elemen dari H sama dengan banyaknya elemen dari K.

Contoh 2 :
(i) Misalkan G = {x | 0 ≤ x ≤ 1 dan x bilangan real} dan H = {x | 0 ≤ x ≤ 8 dan x bilangan real}.
Pemetaan f : G → H didefinisikan oleh f(x) = 8x, ∀ x ∈ G.
Kita mudah menunjukkan bahwa f suatu pemetaan bijektif.
Ambil sebarang a,b ∈ G sedemikian hingga f(a) = f(b), yaitu 8a = 8b.
Maka kita memperoleh a = b.
Hal ini menunjukkan bahwa f suatu pemetaan injektif (satu-satu).
𝑚 𝑚
Ambil sebarang m ∈ H, yaitu 0 ≤ m ≤ 8, maka 0 ≤ ≤ 1 dan f ( 8 ) = m.
8

Hal ini menunjukkan bahwa f suatu pemetaan surjektif (onto).


Jadi f suatu pemetaan bijektif, sehingga G ~ H.

(ii) Misalkan A = {1,2,3,4,…} dan D = {1,3,5,7,…}. Pemetaan θ : A→D didefinisikan oleh


θ(x) = 2x – 1, ∀ x ∈ A. Tunjukkanlah bahwa θ suatu pemetaan bijektif!
Karena ada pemetaan θ yang bijektif dari A ke D, maka A ~ D.

Dengan memperhatikan contoh 2 diatas, kita ketahui bahwa suatu himpunan dapat
ekuivalen dengan himpunan bagian sejatinya. Pada contoh 2(i) G ⊂ H dan G ~ H.

Pada contoh 2(ii), D ⊂ A dan D ~ A. Tetapi hal ini hanya terjadi pada himpunan tak berhingga.
Dengan kata lain sifat ini merupakan karakteristik dari himpunan tak berhingga. Karakteristik
inilah yang diambil untuk mendefinisikan himpunan tak berhingga.
3
Definisi 1.2 :
Suatu himpunan dikatakan tak berhingga apabila himpunan itu ekuivalen dengan suatu
himpunan bagian sejatinya. Jika tidak demikian himpunan itu disebut himpunan berhingga.

Defenisi 1.2 ini dapat pula dikatakan bahwa suatu himpunan dikatakan tak berhingga, apabila
ada suatu himpunan bagian sejatinya yang ekuivalen dengan himpunan semula. Dengan notasi
matematik, definisi tersebut ditulis sebagai berikut.
Himpunan H disebut tak berhingga, apabila ∃ G ⊂ H, G ≠ θ dan G ≠ H sehingga G ~ H.

Berdasarkan definisi di atas, relasi ekuivalensi antara himpunan-himpunan mempunyai


sifat refleksif, simetris, dan transitif, berturut-turut sebagai berikut:
(i) Untuk setiap himpunan H, berlaku hubungan H ~ K
(ii) Untuk setiap himpunan H dan K, jika H ~ K maka K ~ H
(iii) Untuk setiap himpunan H,K dan M, jika H ~ K dan K ~ M maka H ~ M.

Pada contoh 2(i) H = {x | 0 ≤ x ≤ 8 dan x bilangan real} adalah suatu himpunan tak berhingga,
sebab ada himpunan G = {x | 0 ≤ x ≤ 1 dan x bilangan real} dan G ⊂ H sedemikian hingga G~H.
Demikian pula pada contoh 2(ii), A = {1,2,3,4,…} adalah suatu himpunan tak berhingga, sebab
ada suatu himpunan D = {1,3,5,7,…} dengan D ⊂ A sedemikian hingga D ~ A.
Apakah himpunan kosong merupakan himpunan tak berhingga ? himpunan kosong tidak
mempunyai himpunan bagian sejati, maka himpunan kosong tidak merupakan himpunan tak
berhingga. Jadi himpunan kosong merupakan himpunan yang berhingga. Demikian pula
himpunan tunggal, yaitu himpunan yang hanya memuat satu elemen adalah himpunan yang
berhingga.

Teorema 1.1 :
H adalah suatu himpunan tak berhingga jika dan hanya jika ada suatu pemetaan injektif
θ : H→H sedemikian sehingga θ(H) ≠ H.
Bukti :
Misalkan H suatu himpunan tak berhingga; menurut definisi 1.1, maka ada himpunan bagian
sejati dari H, misalkan G, sedemikian hingga G ~ H. Karena G ~ H, maka H ~ G sehingga ada
suatu pemetaan ϕ : H→G dan ϕ yang merupakan pemetaan bijektif.

4
Dibentuk suatu pemetaan θ : H→H yang didefinisikan oleh θ(x) = ϕ (x), ∀ x ∈ H. Karena ϕ
suatu pemetaan bijektif, maka θ suatu pemetaan injektif dan G = θ(H) ⊂ H, tetapi G = H,
meskipun G ⊂ H.
Sebaliknya, jika ada suatu pemetaan θ : H→H, dan θ(H) ≠ H, serta θ suatu pemetaan injektif
maka kita dapat membentuk suatu pemetaan ρ : H→θ(H) yang didefinisikan oleh ρ(x) = θ(x),
∀ x ∈ H. Karena θ suatu pemetaan injektif, maka ρ suatu pemetaan injektif pula. Dan karena
ρ(x) = θ(x), ∀ x ∈ H maka ρ suatu pemetaan surjektif. Sehingga ρ suatu pemetaan bijektif.
Akibatnya H ~ θ(H). Dan karena θ(H) ⊂ H berarti ada himpunan bagian sejati dari H yaitu θ(H)
yang ekuivalen dengan H, sehingga H merupakan suatu himpunan tak terhingga.

Berikut ini akan kita pelajari sifat-sifat himpunan tak berhingga.


Misalkan H suatu himpunan tak berhingga dan himpunan K memuat H, maka secara intuisi
mudah disimpulkan bahwa K suatu himpunan tak berhingga pula.
Bagaimana membuktikan sifat ini dengan menggunakan teorema 1.1 ?
Diketahui H suatu himpunan tak berhingga dan H ⊂ K, kita harus membuktikan bahwa
K suatu himpunan tak berhingga pula. Menurut teorema 1.1 kita harus menunjukkan bahwa ada
suatu pemetaan θ : K→K yang injektif (satu-satu) sedemikian hingga θ(K) ≠ K.
H suatu himpunan tak berhingga, menurut teorema 1.1, berarti ada suatu pemetaan
σ : H→H dengan σ suatu pemetaan injektif dan σ(H) ≠ H. Selanjutnya dibentuk pemetaan
θ : K→K yang didefinisikan oleh
𝜎(𝑥), 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ∈ 𝐻
𝜃(𝑥) = {
𝑥, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ∈ 𝐾 − 𝐻
Dengan demikian kita tinggal menunjukkan bahwa:
(i) θ suatu pemetaan injektif
(ii) θ(K) ≠ K

(i) Ambil sebarang x,y ∈ K sedemikian hingga θ(x) = θ(y). Jika x,y ∈ H dan karena θ(x) = θ(y),
maka σ(x) = σ(y) sehingga x = y, sebab σ suatu pemetaan injektif.
Dan jika x,y ∈ K-H, menurut definisi pemetaan θ : K→K, dan karena θ(x) = θ(y), maka
x = y.
Jika x ∈ H dan y ∈ K-H, maka θ(x) = σ(x) ∈ H dan θ(y) = y ∈ K-H. Hal ini bertentangan
dengan ketentuan bahwa θ(x) = θ(y).
Jadi θ merupakan fungsi yang injektif.

5
(ii) θ(K) = θ(H ∪ (K – H). Menurut sifat pemetaan
θ(K) = θ(H) ∪ θ(K – H)
= σ(H) ∪ (K – H) ≠ K karena σ(H) ⊂ H dan σ(H) ≠ H

Dari (i) dan (ii) disimpulkan bahwa K suatu himpunan tak berhingga. Sifat yang telah
dibuktikan tersebut secara formal dinyatakan sebagai teorema berikut ini.

Teorema 1.2 :
Jika H suatu himpunan tak berhingga dan H ⊂ K, maka K suatu himpunan tak berhingga pula.

Misalkan K suatu himpunan berhingga dan himpunan M termuat dalam K, maka mudah
disimpulkan bahwa M suatu himpunan berhingga pula. Bagaimana membuktikan sifat ini
dengan menggunakan teorema 1.2 ?
Diketahui bahwa K suatu himpunan berhingga dan M ⊂ K. Harus dibuktikan bahwa M
suatu himpunan berhingga pula. Akan kita buktikan dengan cara bukti tak langsung, yaitu
dengan mengandaikan bahwa M suatu himpunan berhingga. Karena M ⊂ K, menurut teorema
1.2, maka diperoleh bahwa K suatu himpunan tak berhingga pula. Hal ini bertentangan dengan
ketentuan bahwa K suatu himpunan berhingga sehingga pengandaian tersebut tidak benar.
Maka pengandaian tersebut harus diingkar, jadi M suatu himpunan berhingga.
Sifat himpunan berhingga yang telah dibuktikan tersebut secara formal dinyatakan
sebagai teorema berikut ini.

Teorema 1.3 :
Jika K suatu himpunan berhingga dan M ⊂ K, maka M suatu himpunan berhingga pula.

Dengan teorema 1.3 ini, jika K suatu himpunan berhingga dan t ∈ K, maka K–{t} ⊂ K, sehingga
K–{t} merupakan suatu berhingga pula. Selanjutnya, jika H suatu himpunan tak berhingga dan
t ∈ H, apakah dapat disimpulkan bahwa H-{t} merupakan suatu himpunan tak berhingga pula?
Dapatkah teorema 1.2 digunakan untuk menarik kesimpulan tersebut ?

Pada teorema 1.2 nampak syarat cukup dari teorema itu tidak dipenuhi, sehingga teorema
tersebut tidak dapat digunakan untuk penarikan kesimpulan yang di atas. Untuk memperjelas
permasalahan tersebut kita perhatikan contoh berikut.

6
Pada contoh 2(ii), kita telah menunjukkan bahwa A~D dengan A = {1,2,3,4,…} dan
D = {1,3,5,7,…}. Mengingat D⊂A, menurut definisi 1.2, maka A suatu himpunan tak
berhingga. Apakah A - {1} merupakan himpunan tak berhingga? Demikian pula, apakah
A – {2} merupakan himpunan tak berhingga?
Hal yang sedang di bahas ini adalah suatu teorema yang dinyatakan sebagai berikut:

Teorema 1.4 :
Jika H suatu himpunan tak berhingga t ∈ H maka H – {t} adalah suatu himpunan tak berhingga
pula.
Bukti :
Kita menggunakan teorema 1.1, yaitu kita harus memperlihatkan adanya suatu pemetaan,
misalnya θ: H-{t}→ H-{t}, yang injektif dan θ(H-{t}) ≠ H-{t}.
Menurut ketentuan, H suatu himpunan tak berhingga, maka ada suatu pemetaan ϕ : H→H yang
injektif dan ϕ(H) ≠ H. karena t ∈ H maka ada dua kemungkinan, yaitu :
(i) t ∉ ϕ(H) dan
(ii) t ∈ ϕ(H)

(i) Jika t ∉ ϕ(H), kita bentuk suatu pemetaan θ : H-{t}→ H-{t} yang didefinisikan oleh
θ(x) = ϕ(x), ∀ x ∈ H-{t}. Sehingga kita tinggal memperlihatkan bahwa θ suatu pemetaan
injektif dan θ(H-{t}) ≠ H-{t}. Karena θ suatu pemetaan injektif dan θ(x) = ϕ(x),
∀ x ∈ H-{t}, maka θ suatu pemetaan injektif pula.
t ∈ H, maka ϕ(t) ∈ ϕ(H). Karena t ∉ H-{t} maka t tidak dipetakan oleh pemetaan θ. Karena
t ∉ ϕ(H), maka t ≠ ϕ(t) dan ϕ(t) ∉ θ(H-{t}) sebab θ(x) = ϕ(x), ∀ x ∈ H-{t}. Hal ini berarti
ϕ(H-{t}) ≠ H-{t}.

(ii) Jika t ∈ ϕ(H), karena ϕ pemetaan injektif dan ϕ(H) ≠ H; maka ada tepat satu a ∈ H
sedemikian hingga ϕ(a) = t dan ada b ∈ H tetapi b ∉ ϕ(H).
Kita bentuk suatu pemetaan σ : H→H yang didefinisikan oleh σ(x) = ϕ(x), ∀ x ∈ H dan
x ≠ a dan σ(a) = b.

Berdasarkan pembentukan σ, maka σ suatu pemetaan injektif dan σ(H) ≠ H sebab t ∈ H dan
t = ϕ(a) ≠ σ(t).

7
Selanjutnya dibentuk pemetaan θ : (H-{t})→(H-{t}) yang didefinisikan oleh θ1(x) = ϕ(x), ∀ x
∈ H-{t}.
Mirip seperti bukti (i), bahwa θ1(H-{t}) ≠ H-{t}. Dapat disimpulkan bahwa H-{t} suatu
himpunan tak berhingga.

Pada teorema 1.3, kita telah membicarakan salah satu sifat himpunan berhingga dan pada
contoh 2(ii) secara tak langsung kita telah menunjukkan bahwa himpunan semua bilangan asli
adalah suatu himpunan tak terhingga. Himpunan {1,2,3,4,…,n} dengan n suatu bilangan asli
dinamakan suatu segmen bilangan asli dan ditulis dengan notasi An.
Segmen-segmen bilangan asli antara lain:
A1 = {1}
A2 = {1,2}
A3 = {1,2,3}
A4 = {1,2,3,4}
A5 = {1,2,3,4,5}
dan seterusnya

Mudah kita pahami bahwa setiap segmen bilangan asli merupakan himpunan berhingga. Hal
ini dapat dibuktikan dengan induksi matematik.
(i) A1 = {1} jelas suatu himpunan berhingga.
(ii) Misalkan untuk suatu bilangan asli k, Ak suatu himpunan tak berhingga. Kita harus
memperlihatkan bahwa Ak+1 suatu himpunan berhingga.

Andaikan Ak+1 suatu himpunan tak berhingga dan Ak = Ak+1 – {k + 1}, menurut teorema
1.4, maka Ak suatu himpunan tak berhingga pula. Hal ini bertentangan dengan asumsi dalam
induksi bahwa Ak suatu himpunan berhingga. Maka pengandaian tersebut harus diingkar,
sehingga diperoleh bahwa Ak+1 suatu himpunan berhingga.
Sifat segmen bilangan asli ini secara formal dinyatakan sebagai teorema berikut:

Teorema 1.5 :
Untuk setiap bilangan asli n, maka An = {1,2,3,…,n} adalah suatu himpunan berhingga.

8
B. HIMPUNAN TERBILANG DAN TAK TERBILANG
Definisi 1.3 :
Himpunan H disebut himpunan terbilang apabila H = ϕ atau ada suatu pemetaan surjektif
f : A → H.
Dari definisi ini kita dapat menurunkan bahwa himpunan semua bilangan asli A adalah suatu
himpunan terbilang, sebab pemetaan identitas i : A→A yang didefinisikan oleh i(x) = x,
∀ x ∈ A adalah suatu pemetaan bijektif, sehingga surjektif pula.
Misalkan H suatu himpunan berhingga, apakah H suatu himpunan terbilang? Karena H
suatu himpunan berhingga maka H = ϕ atau H ≠ ϕ. Jika H = ϕ, maka menurut definisi 1.3 H
suatu himpunan terbilang. Jika H ≠ ϕ, dimisalkan H = {h1, h2, h3, …, hn}. kita bentuk suatu
pemetaan θ = A → H yang didefinisikan oleh:
ℎ , 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 < 𝑛
𝜃(𝑥) = { 𝑥
ℎ𝑛 , 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ≥ 𝑛
Nampak jelas bahwa θ suatu pemetaan surjektif, sebab θ(A) = H. Jadi H suatu himpunan
terbilang. Hal ini memperlihatkan bahwa setiap himpunan berhingga adalah suatu himpunan
terbilang.
Misalkan B menyatakan himpunan semua bilangan bulat. Pada materi sebelumnya telah
ditunjukkan bahwa B ~ A. Berarti ada suatu pemetaan yang bijektif dari A ke B. Pemetaan
tersebut surjektif pula, sehingga B merupakan suatu himpunan terbilang pula.
Catatan :
 Suatu himpunan yang ekuivalen dengan A (himpunan semua bilangan asli) disebut
himpunan denumerable.
 Himpunan countable adalah himpunan yang berhingga atau denumerable.

Berikut ini contoh-contoh lain untuk himpunan terbilang.


Contoh 3 :
(i) Kita telah mengenal barisan, yaitu pemetaan f yang domainnya (daerah asalnya) adalah A,
yaitu himpunan semua bilangan asli. Jika sebagai kodomainnya adalah himpunan lambing
{f(1), f(2), f(3),…} maka pemetaan itu surjektif, sehingga setiap barisan adalah suatu
himpunan terbilang. Misalnya :
1 1 1 1
(a) {𝑛} = {1, 2 , 3 , 4 , … } (d) {(−1)𝑛 } = {−1,1}
𝑛 1 2 3 4
(b) {𝑛+1} = {2 , 3 , 4 , 5 , … } (e) {(𝑛, 𝑛2 } = {(1,1), (2,4), (3,9), … }

(c) {3𝑛} = {3,6,9,12, … }


9
(ii) Himpunan hasilkali Certesius A × A merupakan himpunan terbilang. Hal ini dapat
diperlihatkan dengan menyusun elemen-elemen A × A sebagai suatu barisan, yaitu
A × A = {(1,1), (2,1), (1,2), (1,3), (2,2), (3,1), (4,1), (3,2), …}. Lebih jelas barisan ini dapat
dilihat pada tabel berikut ini. Barisan disusun dengan urutan mengikuti anak panah
(1,1) (1,2) (1,3) (1,4) . . .

(2,1) (2,2) (2,3) (2,4) . . .

(3,1) (3,2) (3,3) (3,4) . . .

(4,1) (4,2) (4,3) (4,4) . . .


. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .

Misalkan H suatu himpunan terbilang. Apakah setiap himpunan bagian dari H merupakan
himpunan terbilang ? Misalkan K ⊂ H, jika K = ϕ, menurut definisi 1.3, K suatu himpunan
terbilang. Selanjutnya jika K ≠ ϕ , karena H suatu himpunan terbilang (mengingat K ⊂ H,
K ≠ ϕ maka H ≠ ϕ).
Menurut definisi 1.3 ada suatu pemetaan θ : A → H yang surjektif. Seterusnya dibentuk suatu
pemetaan σ : A → K yang didefinisikan oleh:
𝜃(𝑥), 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ∈ 𝜃 −1 (𝐾)
𝜎(𝑥) = {
𝑎, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ∉ 𝜃 −1 (𝐾) dengan a suatu elemen tertentu dari K.

Maka kita memperoleh daerah hasil dari σ,yaitu :


σ (A) = σ(θ-1 (K)) ∪ σ(A - θ-1 (K))
= θ(θ-1 (K)) ∪ {a}
= K ∪ {a}, karena θ surjektif
σ (A) = K, karena a ∈ K
Hal ini berarti σ suatu pemetaan surjektif, sehingga K suatu himpunan terbilang.

10
Teorema 1.6 :
Setiap himpunan bagian dari suatu himpunaan terbilang merupakan suatu himpunan terbilang
pula.

Misalkan H suatu himpunan tak berhingga. Apabila M ⊂ H dan M suatu himpunan tak
terhingga, maka M suatu himpunan terbilang. Apakah H memuat suatu himpunan tak terhingga
yang terbilang? Perhatikan pemilihan elemen-elemen dari H berikut ini, sehingga di peroleh
suatu himpunan terbilang.
Di bentuk pemetaan f : 2H → H , yaitu suatu fungsi pilih dengan aturan sebegai berikut:
Misalkan h1 ∈ H
f(H) = h1
f (H-{h1}) = h2 ∈ H
f(H-{h1, h2}) = h3 ∈ H
.
.
f(H-{h1, h2, h3, …, hn}) = hn+1 ∈ H.

dan seterusnya, dengan hi ≠ hj jika i ≠ j untuk sebarang n ∈ A, H -{h1, h2, h3, …, hn}≠∅
sebab H suatu himpunan tak berhingga. Karena elemen- elemen h1, h2, h3, … tidak ada yang
sama, maka daerah hasil D = (h1, h2, h3, …) adalah suatu himpunan terbilang dengan D ⊂ H.
Uraian tersebut merupakan bukti dari teorema berikut ini.

Teorema 1.7 :
Setiap himpunan tak berhingga memuat himpunan bagian tak berhingga yang merupakan
himpunan terbilang.

Misalkan H1 dan H2 masing-masing adalah himpunan terbilang dan saling asing, apakah
H1 ∪ H2 merupakan himpunan terbilang pula? Kita membentuk suatu pemetaan σ:A→ H1 ∪ H2
yang didefinisikan pada diagram. Anak panah-anak panah pada diagram menunjukkan urutan
peta dari 1, 2, 3, 4, … secara urut.
H1 : h11, h12, → h13, . . .
↓ ↗ ↙ ↗
H2 : h21, h22, → h23, . . .

11
Diagram ini menunjukkan bahwa σ(1) = h11, σ(2) = h21, σ(3) = h12, σ(4) = h13, dan
seterusnya, sehingga Nampak bahwa pemetaan σ : A→ H1 ∪ H2 merupakan pemetaan surjektif.
Jadi H1 ∪ H2 merupakan suatu himpunan terbilang.
Dengan cara yang mirip dengan cara itu dapat ditunjukkan bahwa jika H1, H2, dan H3
merupakan suatu himpunan terbilang pula. Demikian pula dengan pembuktian yang mirip
dengan cara tersebut, kita dapat menunjukkan bahwa jika H1, H2, H3, … masing-masing
himpunan terbilang dan sepasang-sepasang saling asing, maka gabungan dari H1, H2, H3, …
(ditulis ∪ Hi) merupakan suatu himpunan terbilang pula.
i∈A

Bukti untuk hal ini dapat digambarkan dengan diagram berikut ini.
H1 : h11, h12, h13, h14, . .

H2 : h21, h22, h23, h24, . .

H3 : h31, h32, h33, h34, . .

H4 : h41, h42, h43, h44, . .


. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Uraian tersebut merupakan bukti dari teorema berikut ini.

Teorema 1.8 :
Jika H1, H2, H3, … adalah himpunan-himpunan terbilang yang sepasang-sepasang saling asing,
maka ∪ Hi yaitu gabungan dari H1, H2, H3, … adalah suatu himpunan terbilang pula.
i∈A

Dengan menggunakan teorema ini, kita dapat menunjukka bahwa Q, yaitu himpunan
semua bilangan rasional merupakan suatu himpunan terbilang.
Q = Q ∪ {0} ∪ Q+
Q- adalah himpunan semua bilangan rasional negatif, Q+ adalah himpunan semua
bilangan rasional positif. Jika kita dapat memperlihatkan bahwa Q- dan Q+ masing-masing
merupakan himpunan terbilang dan karena kita telah mengetahui bahwa {0} merupakan suatu

12
himpunan terbilang, maka Q merupakan gabungan dari himpunan-himpunan terbilang,
sehingga Q merupakan himpunan terbilang pula.
Untuk menunjukkan bahwa Q+ suatu himpunan terbilang dibentuk pemetaan
f : Q+ → A × A yang didefinisikan oleh
𝑝
f : (𝑞 ) = (p,q) dengan p,q adalah bilangan-bilangan asli yang prima relatif.

Mudah ditunjukkan bahwa f suatu pemetaan satu-satu. Karena f (Q+) ⊂ A × A dan kita telah
menunjukkan bahwa A × A adalah suatu himpunan terbilang maka menurut teorema 1.6 f (Q+)
suatu himpunan terbilang. Selanjutnya, karena f : Q+ → A × A suatu pemetaan injektif (satu-
satu), maka f : Q+ → f (Q+) suatu pemetaan bijektif. Sehingga Q+ ~ f (Q+).
Jadi Q+ suatu himpunan terbilang. Seterusnya akan mudah ditunjukkan bahwa Q- ~ Q+ sehingga
Q- merupakan himpunan terbilang pula. Jadi Q merupakan gabungan dari himpunan-himpunan
terbilang Q-, {0} dan Q+. Maka Q suatu himpunan terbilang.
Himpunan tak berhingga pasti memuat himpunan terbilang. Apakah setiap himpunan tak
berhingga pasti merupakan himpunan terbilang? Himpunan terbilang ditentukan dengan
definisi 1.3. Maka ingkaran dari definisi itu menentukan himpunan tak terbilang. Jadi dapat
dikatakan bahwa himpunan H disebut suatu himpunan tak terbilang, apabila H ≠ ϕ dan tidak
ada suatu pemetaan surjektif dari A ke H.
Mengingat bahwa setiap himpunan berhingga merupakan himpunan terbilang, maka
himpunan tak terbilang pasti merupakan himpunan tak berhingga. Dengan kata lain isyarat
perlu agar suatu himpunan merupakan himpunan tak terbilang adalah tak berhingga.
Selanjutnya dari teorema 1.6 dan teorema 1.7 dapat diturunkan bahwa jika H suatu himpunan
tak terbilang dan H⊂K, maka K suatu himpunan tak terbilang pula.

Berikut ini sebuah contoh himpunan tak terbilang yang dinyatakan sebagai teorema. Tanda R
menyatakan himpunan semua bilangan real.

Teorema 1.9 :
Interval terbuka (0,1) = {x ∈ R| 0 < x < 1} adalah suatu himpunan tak terbilang.
Bukti :
Andaikan himpunan {x ∈ R| 0 < x < 1} = (0,i) adalah suatu himpunan terbilang maka ada suatu
pemetaan ρ:A→(0,1) yang surjektif. Peta (bayangan) elemen-elemen dari A membentuk suatu
barisan sebagai berikut dari:

13
ρ(1) = 0, a11 a12 a13 a14 …..
ρ(2) = 0, a21 a22 a23 a24 …..
ρ(3) = 0, a31 a32 a33 a34 …..
ρ(4) = 0, a41 a42 a43 a44 …..
……………………………..
ρ(n) = 0, an1 an2 an3 an4 …..
……………………………..
Dengan aij → {0,1,2,3,…,9}

Pilihlah suatu pecahan b = 0,b1b2b3 … sedemikian sehingga b1 ≠ a11, b2 ≠ a22, b3 ≠ a33


dan seterusnya. Jelas bahwa b ∈ (0,1) dan b tidak sama dengan yang manapun dari ρ(1), ρ(2),
ρ(3), …. Hal ini berarti tidak ada bilangan asli m sedemikian hingga ρ(m) = b. Jadi ρ bukan
pemetaan surjektif. Hal ini bertentangan dengan pengandaian bahwa ρ suatu pemetaan surjektif.
Jadi tidak ada pemetaan surjektif dari A ke (0,1). Sehingga (0,1) adalah suatu himpunan tak
terbilang.
Apakah himpunan semua bilangan real R merupakan himpunan terbilang ?
Karena (0,1) ⊂ R dan (0,1) suatu himpunan tak terbilang, maka R suatu himpunan tak terbilang
pula.
Apakah himpunan semua bilangan irasional I merupakan himpunan tak terbilang? Andaikan I
suatu himpunan terbilang. Karena R = I ∪ Q sedangkan I dan Q saling asing, serta kita telah
menunjukkan bahwa Q suatu himpunan terbilang, maka menurut teorema 1.8. R merupakan
himpunan terbilang. Hal ini bertentangan dengan kenyataan di atas, bahwa R suatu himpunan
tak terbilang. Oleh karena itu pengandaian tersebut tidak benar, sehingga harus diingkar dan
diperoleh kesimpulan bahwa himpunan semua bilangan irasional I merupakan suatu himpunan
tak terbilang.
Kita telah mengetahui bahwa himpunan semua bilangan real R merupakan gabungan dari
himpunan semua bilangan rasional Q dan himpunan semua bilangan irasional I.
Pengelompokkan lain dari himpunan R adalah himpunan bilangan aljabar dan himpunan
transenden. Dua himpunan inipun juga saling asing. Berikut ini didefinisikan bilangan real yang
merupakan bilangan aljabar. Bilangan real yang bukan bilangan aljabar, disebut bilangan
transenden.

14
Definisi 1.4 :
Bilangan real a disebut bilangan aljabar bila dan hanya bila ada suatu polinom p(x) = p0 xn +
p1 xn-1 + …+ pn-1 x + pn dengan pi bilangan rasional yang tidak semuanya nol, sedemikian
sehingga p(a) = 0.

Contoh √2 − √3 adalah suatu bilangan aljabar

Misalkan x = √2 − √3. Jika kedua ruas dikuadratkan diperoleh x2 = 2 - √3


x2 – 2 = - √3
kedua dikuadratkan lagi diperoleh x4 – 4x2 + 1 = 0.

Periksalah bahwa √2 − √3 merupakan salah satu akar dari x4 – 4x2 + 1 = 0.

Definisi 1.4 secara operasional dapat diubah diturunkan sehingga diperoleh pernyataan berikut
ini.
Bilangan real a adalah bilangan aljabar bila dan hanya bila ada suatu polinom.
p(x) = p0 xn + p1 xn-1 + …+ pn-1 x + pn, dengan pi bilangan bulat yang tidak semuanya nol,
sedemikian sehingga p(a) = 0.
Misalkan p0, p1, p2, …, pn adalah bilangan-bilangan bulat tertentu, maka himpunan semua akar
(real) dari persamaan p(x) = 0, jelas merupakan himpunan terbilang …….(i).

Himpunan semua polinom berbentuk p0 xn + p1 xn-1 + …+ pn-1 x + pn, dengan pi bilangan


bulat adalah suatu himpunan terbilang pula. Karena himpunan akar-akar (real) dari setiap
persamaan polinom p(x) = 0 merupakan himpunan terbilang, maka himpunan semua bilangan
aljabar merupakan gabungan dari himpunan-himpunan yang terbilang. Sehingga himpunan
semua bilangan aljabar adalah suatu himpunan terbilang.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil perangkuman materi maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Untuk memahami konsep himpunan tak berhingga diperlukan konsep dua himpunan
ekivalen (setara). Himpunan H ekivalen dengan himpunan K, dinyatakan dengan H ~ K,
apabila ada suatu pemetaan bijektif dari H ke K.
2. H disebut himpunan tak berhingga, apabila H ekivalen dengan suatu himpunan bagian
sejatinya. Jika tidak ada himpunan bagian sejati dari H yang ekivalen dengan H, maka H
disebut himpunan tidak tak berhingga (himpunan berhingga).
3. Untuk setiap bilangan asli n, maka An = {1,2,3,…,n} adalah suatu himpunan berhingga.
4. Himpunan H dinamakan himpunan terbilang, bila H = ϕ atau ada suatu pemetaan surjektif
dari A ke H. Dari ketentuan ini langsung diperoleh bahwa A yaitu himpunan semua bilangan
asli adalah suatu himpunan terbilang. Begitu pula, setiap himpunan berhingga adalah suatu
himpunan terbilang.
5. Himpunan tak terbilang didefinisikan dengan mengingkari definisi himpunan terbilang.
Dengan definisi ini dapat diperlihatkan bahwa interval terbuka (0,1) = {x ∈ R| 0 < x < 1}
adalah suatu himpunan tak terbilang. Selanjutnya diturunkan bahwa R yaitu himpunan
semua bilangan real adalah suatu himpunan tak terbilang. Demikian pula I yaitu himpunan
semua bilangan irasional adalah suatu himpunan tak terbilang.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, banyak kekurangan dan kelemahan baik dari segi
penulisan dan penyusunannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan dukungan, kritik dan
saran dari berbagai pihak. Semua kritik dan saran yang bersifat membangun dan menunjang
perbaikan makalah ini akan kami terima dengan senang hati, agar makalah ini dapat menjadi
makalah yang mempunyai guna yang luas bagi pembaca dan penggunanya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Soebagio, Suharti, dan Sukirman. 1993. Materi Pokok Struktur Aljabar. Jakarta: Universitas
Terbuka, Depdikbud.

17

Anda mungkin juga menyukai