Anda di halaman 1dari 14

BAB III

PEMBAHASAN

1.1 TEORI MONETER KLASIK

Suatu perekonomian tidak akan mengalami underemployment atau apa yang


oleh Malthus dinamakan underconsumption. Pengeluaran total masyarakat akan
selalu dapat mencukupi untuk menunjang produksi pada keadaan kesempatan
kerja penuh (full employment).

Menurut ekonomi klasik, adanya tabungan masyarakat tersebut tidaklah


berarti dana hilang dari peredaran, tetapi dipinjam/dipakai oleh pengusaha untuk
membiayai investasinya. Penabung mendapatkan bunga atas tabungannya, sedang
pengusaha bersedia membayar bunga tersebut selama harapan keuntungan yang
diperoleh dari investasi lebih besar dari bunga.

Adanya kesamaan antara tabungan dengan investasi (misalnya, apabila


tabungan meningkat, pengeluaran investasi juga meningkat) adalah sebagai akibat
bekerjanya rnekanisme tingkat bunga. Tingakt bunga akan berfluktuasi sehingga
keinginan (desired)mengadakan investasi oleh perusahaan sama dengan
keinginan (desired) menabung menabung dari masyarakat.

1.2 TEORI KLASIK TENTANG TINGKAT BUNGA

Tabungan menurut teori klasik adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin
tinggi tingakat bunga makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung.
Artinya, pada tingkat bunga yang lebih tinggi masyarakat akan lebih terdorong
untuk mengorbankan/mengurangi pengeluaran konsumsi guna menambah
tabungan.
Investasi jugs tergantung/merupakan fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi
tingkat bunga, keinginan untuk melakukan investasi juga makin kecil. Alasanya,
seseorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya apabila
keuntungaan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari dari tingkat bunga
yang harus dia bayar untuk dana investasi tersebut yang merupakan ongkos untuk
penggunaan dana (cost of capital). Makin rendah tingkat bunga, maka pengusaha
akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana
juga makin kecil.

Tingkat bunga dalam keadaan keseimbangan (artinya tidak ada dorongan


untuk naik atau turun) akan tercapai apabila keinginan me¬nabung masyarakat
sama dengan keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik
keseimbangan tingkat bunga dapat digambarkan dalam:

Gambar 1.1 Teori Klasik tentang tingkat bunga.

Keseimbangan tingkat bunga ada pada titik 1o. dimana jumlah tabungan
sama dengan investasi. Apabila tingkat bunga di atas 1o. jumlah melebihi
keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Para penabung akan saling
bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat
bunga turun balik ke posisi 1o.
Sebaliknya, apabila tingkat bunga di bawah ini, para pengusaha akan saling
bersaing untuk memperoleh dana Yang relatif jumlahnya lebih kecil. Persaingan
ini akan mendorong tingkat bunga naik lagi ke 1o.

Kenaikan efisiensi produksi misalnya, akan mengakibatkan ke¬untungan


yang diharapkan naik. Sehingga, pada tingkat bunga yang sama pengusaha
bersedia meminjam dana lebih besar untuk membiayai investasinya. Atau untuk
dana investasi yang sama jumlahnya, pengusaha bersedia membayar tingkat
bunga yang lebih tinggi. Keadaan ini dalam Gambar, ditunjukkan dengan
bergesernya kurva permintaan investasi ke kanan atas, dan keseimbargan tingkat
bunga yang baru pada titik i1

1.3 TEORI KUANTITAS UANG

Dari uraian di atas belum diperoleh penjelasan bagaimana peranan daripada


uang. Menurut paham klasik, uang tidak mempunyai pengaruh terhadap sektor
rill, tidak ada pengaruhnya terhadap tingkat bunga, kesempatan kerja atau
pendapatan nasional. Pendapatan nasional ditentukan oleh jumlah dan kualitas
daripada tenaga kerja, jumlah daripada modal yang dipakai serta teknologi.

Tanpa perubahan dari faktor-faktor produksi, maka pendapatan nasional


tidak akan berubah. (Namun kaum neo-klasik, yang kemudian sering disebut
dengan moneterist, tidak mempunyai pendapat yang ekstrim seperti di atas.
Menurut mereka uang mempunyai pengaruh terhadap sektor rill, terutama dalam
keadaan belum full employment.)

Uang, pengaruhnya hanyalah terhadap harga-harga barang. Bertam¬banya


uang I radar akan mengakibatkan kenaikan harga saja. Jumlah output yang
dihasikan tidak berubah. Inilah yang sering disebut dengan classical dichotomy,
merupakan pemisahan sektor moneter dengan sektor rill.
moneter tidak ada hubungan dengan sektor rill. uang hanya merupakan
suatu tudung ("veil”) saja dalam perekonomian. Teori kuantitas uang, yang pada
dasarnya menjadi tulang punggung adanya kesimpulan di atas.

 Teori Irving Fisher

Teori ini mendasarkan diri pada falsafah hukum Say tersebut di atas, bahwa
ekonomi akan selalu berada dalam keadaan full employ¬ment. Secara sederhana,
Irving Fisher merumuskan teorinya dengan suatu persamaan:

MV = PT

Dimana M adalah jumlah uang, V adalah tingkat perputaran uang


(velocity), yakni berapa kali suatu mata uang pindah tangan. (misalnya untuk
untuk transaksi) dari satu orang kepada orang lain, dalam suatu periode tertentu, P
adalah harga barang, dan T adalah volume barang yang menjadi obyek transaksi.

Persamaan di atas merupakan suatu identitas (identity), sebab selalu benar.


Artinya, jumlah unit barang yang ditransaksikan (T) dikalikan dengan harganya
(nilai barang tersebut) harus/selalu sama dengan jumlah uang (M) dikalikan
dengan perputaran ( total peneluaran transaksi). Dengan kata lain , total
pengeluaran (MV) sama dengan nilai barang yang dibeli (PT)

 Teori Kuantitas dari D.H. Roberston

Teori kuantitas dari Irving Fisher diformulasikan kembali oleh D.H.


Robertson menjadi M = kPT. Sebenarnya kedua teori ini sama, perbedaanya
terletak pada pendekatannya. Irving Fisher meninjau melaui transaction velocity
(kecepatan rata-rata transaksi uang). D.H. Robetson mendekati melaui cash
balance (lama rata-rata uang menganggur).

Oleh karena teori kuantitas dari Robetson ini disebut cash balance
equaition., Faktor V dalam transaction velocity approach oleh Robertson diganti
dengan k dalam cash balance approach. k yang menunjukkan berapa lama rata-
rata tiap rupiah mengaggur dalam cash adalah merupakan kebalikan dari V yang
menunjukkan berapa kali tiap-tiap rupiah berpindah tangan.

Jadi k = 1/V

dan kalau pada rumus

M = kPT, kita ganti k menjadi 1/V. maka diperoleh rumus;

M = TP/V atau

MV = PT.

1.4 Teori Kuantitas dari Marshall

Apakah teori-teori kuantitas di muka lebih menitikberatkan perhatian pada


hubungan antara jumlah uang dengan harga, maka Mrshall memperhatikan
hubungan antara jumlah uang dengan pendapatan nasional dengan rumus:

M= kY

Dimana:

M = Quanity of money

Y = pendapatan dalam bentuik uang

K = bagian dari pendaoatan yang tidak dibelanjakan dan ingin dikuasai

dalam bnetuk uang

Karena pendapatan uang itu berasal dari jumlah produksi dikalikan dengan
harga

(PO) maka rumus Fisher dapat dituliskan sebagai

MV= PO = Y.
Teori Marshall merupakan awal dari teori permintaan akan uang. Teori ini
masih sangat sederhana, terkandung didalamnya beberapa kelemahan, kemudian
kelemahan- kelemahan ini disempurnakan oleh teori berikutnya. Kelemahan
pertama adalah bahwa dalam kenyataannya adalah tidak tetap, baik di negara
maju maupun di negara berkembang Cenderung tidak konstan.

Kelemahan kedua adalah teori klasik mengabaikan pengaruh tingkat bunga


terhadap perimtaan uang. Teori kuantitas uang menganggap bahwa permintaan
akan uang kas tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga (sebab motif utama untuk
memegang uang adalah untuk transaksi, yang besarnya tergantung dari
pendapatan

 Cambridge/Marshell Equition

Marshall memandang persamaan Irving Fisher dengan sedikit berbeda. Dan


tidak menekankan pada perputaran uang (velocity) dalam suatu periode melainkan
pada bagian dari pendapatan (GNP) yang diujudkan dalam bentuk uang kas.
Secara matematika sedemana, teori Marshall dapat dituliskan sebagai berikut :

M = k Py

Di mana k adalah proporsi/bagian dari GNP yang diujudkan dalam bentuk


uang kas, jadi besarnya sama dengan Marshall tidak menggunakan volume
transaksi (T) sebagai alat pengukur jumlah output, tetaci diganti dengan Y (untuk
menunjukkan GNP rill).

Jadi, T pada umumnya lebih besar daripada Y, sebab dalam. pengertian T


termasuk juga total transaksi barang akhir dan atau setengah jadi yang dihasilkan
beberapa tahun lampau. Sedang, dalam GNP hanyalah mencakup barang dan jasa
yang dihasilkan pada tahun tertentu saja. Juga, dalam GNP tidak termasuk barang
setengah jadi.

Esensi dari persamaan Irving Fisher tidaklah berbeda dengan Per-samaan


Marshall ditinjau dari segi matematis, sehingga masih juga merupakan suatu
identitas. Namun demikian, orentasinya berbeda. Persamaan Marshall sudah dapat
dikatakan merupakan persamaan yang menunjukkan adanya permintaan akan
uang, di mana masyarakat meng¬hendaki sebagian tertentu dari pendapatannya
dalam bentuk uang kas (ditunjukkan dengan k).

Dengan demikian persamaan Marshall tidak lagi merupakan persamaan


pertukaran atau identitas (seperti halnya pada persamaan Irving Fisher), tetapi
telah merupakan persamaan teori kuantitas uang ( dalam arti telah terkandung di
dalamnya pengertian permintaan akan uang, yang kemudian sering disebut
persamaan cash-balance).

Menurut teori kuantitas uang, perubahan jumlah, uang yang beredar akan
mengakibatkan perubahan harga secara proporsional. artinya, kalau jumlah uang
naik dua kali, maka harga akan naik dua kali juga.

Pandangan demikian didasarkan pada anggapaan-anggapan sebagai berikut:

a. Dalam Persamaan MV = PT, T dianggap kareana selalu berada


dalam keadaan full employment (atas dasar hukum Say).

b. Velocity juga dianggap tetap. Velocity ini hannya akan berubah kalau
terjadi perubahan dalam kebiasaan masyarakat melakukan pembayaran
masyarakat melakukan pembayaran.

Seperti misalnya penggunaan alat-alat pembayaran baru akan


mempengaruhi banyaknya transaksi yang dilakukan. Demikian juga, kebiasaan
pembayaran dengan kredit, akan mendorong masyarakat masyarakat lebih banyak
melakukan transaksi sehingga velocity-nya akan naik, Biasanya, perubahan dalam
waktu yang relative lama) sehingga dengan demikina velocity dapat pula
dianggap tidak berubah. Dalam persamaan Marshall, maka sebagai
konsekuensinya (karena k = 1/v) dapat pula dianggap tetap.

Implikasi dari kedua anggapan ini adalah: bahwa jumlah uang beredar
hanyalah empengaruhi harga, dan pengaruhnya porposional. Uang, tidak dapat
mempengaruhi output rill (Y). Output rill ini hanya akan berubah kalau terdapat
perubahan dalam jumlah dan kualita dari factor-¬faktor produksi.

Dengan demikian, uang tidak dapat mempengaruhi sektor rill, pengaruhnya


terbatas pada sektor moneter saja. Pemisahan pengaruh uang terhadap sektor rill
dan moneter inilah yang sering disebut dengan classical dichotomy.

Hubungan proporsional antara jumlah uang dengan harga dapatlah


dijelaskan sebagai berikut: apabila V dan Y masing-masing tetap pada nilai 4 dan
100. Maka dengan jumlah uang yang beredar (M) = 25, harga (P)

akan sama dengan 1 : MV = PT

25x4=1 x100

Jika M naik dua kali, menjadi 50 maka. P akan naik dua kali, 50x 4 = 2 x
100. Secara ringkas proses kenaikan harga ini dapat dijelaskan demikian. Pada
permulaannya masyarakat dalam keadaan keseimbangan portfolio-nya. Kemudian
bank sentral menambah jumlah uang beredar dua kali lipat.

Akibatnya masyarakat mengalami ketidakseimbangan dalam portfolio-nya,


yakni kelebihan uang kas yang dipegang. Mereka akan membelanjakan (membeli
barang atau jasa) kelebihan uang kas yang dipegang. Karma output total tidak bisa
bertambah (dalam keadaan full employment, dengan hukum Say), maka harga
akan terdorog naik.

Masyarakat akan terus membelanjakan kelebihan, uang kasnya sampai total


pengeluaran naik dua kali lipa. Karena output rill tetap, kenaikan pengeluaran
dua kali akan menyebabkan harga juga naik dua kali. Hasil akhirnya :

- jumlah uang yang dipegang masyarakat naik dua kali.


- GNP nominal (PY) naik dua kali, harga naik dua kali, velocity dan
output rill tetap seperti semula (sebelum adanya penambahan jumlah
uang.
Hubungan yang proporsional antara jumlah uang dengan harga seperti diatas
dapat pula dijelaskan dengan menggunakan persamaan Marshall,misalnya, k ¼
berarti bagian dari GNP diujudkan dalam bentuk uang kas) apabila GNP (PY)
sama dengan RP400 maka keinginan masyarakat memegang uang kas sama
dengan Rp 100 miliar, yakni:

M = kPY

= ¼ x Rp 400 M

= Rp 100 M

Jika GNP naik menjadi Rp800 miliar, maka besarnya uang kas yang
di¬inginkan masyarakat menjadi Rp200 miliar. Dengan demikian jelas bahwa
persamaan Marshall dapat menunjukkan adanya keinginan/per¬mintaan akan
uang kas.

Permintaan uang kas ini semata-mata untuk tujuan melakukan transaksi.


Besar kecilnya k dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti misalnya, seseorang
yang mendapat pembayaran gaji 4 kali sebulan, akan lebih kecil bila dibandingkan
dengan orang yang gajinya dibayarkan sekali sebulan. Demikian juga dengan
makin majunya lalu lintas pembayaran (dengan adanya credit card, misalnya) k
akan cenderung makin kecil.

Memandang persamaan cash-balance sebagai persamaan permintaan akan


uang, maka apabila jumlah uang naik dua kali, harga juga akan naik dua kali
sampai permintaan akan uang sama dengan jumlah uang. Apabila jumlah uang
naik dua kali, maka masyarakat akan kelebihan uang yang dipegang.

Mereka akan membelanjakan kelebihan uang ini sampai jumlah yang


diinginkan untuk dipegang sama dengan jumlah uang yang ada. Ini terjadi apabila
GNP telah naik dua kali.

Keseimbangan (permintaan dan penawaran uang) ini dapat dilihat pula dari
segi nilai rill uang. Nilai rill uang adalah nilai nominal uang dibagi dengan harga
(M/P) Dalam persamaan cash balance diatas apabila M naik dua kali, maka P
juga naik dua kali. Dengan demikian permintaan uang (dalam arti rill) akan tetap
(M/P = 2M/2P). jadi persamaan cash-balance, lebih mementingkan permintaan
uang dalam arti rill bukan hanya nilai nominal uang yang dipegangnya.
1.4 Perbedaan dengan teori klasik dan teori keyness

Contoh Kasus :

Output Perusahaan (FE) Rp. 1.000,- juta (Y) dengan kasus sebagai berikut ;

1. Perusahaan Menjual 800 Persediaan Keinginan perusahaan


200 tepat sama dengan
2. Konsumen / Membeli 800 Tabungan 200 keinginan Rumah
RT Tangga

3. Konsumen / Membeli 700 Tabungan 300 Keinginan tidak sama,


RT bagaimana ?

Terhadap kasus no 3 di atas Klasik dan Keynes memiliki pendapat dan


penyelesaian yang berbeda ;

KLASIK KEYNES
Keinginan menabung > Keinginan menabung > investasi
investasi ð Output tdk terjual ð harga ð Perusahaan mengurangi produksi ð
turun sampai terjual habis ð Upah Output akan turun selama S>I, dan
turun karena produksi berkurang dan berhenti saat S=I ð Tercipta
buruh tidak beredia menganggur ð keseimbangan baru dimana Yeq baru <
Bunga turun karena S > I ð Tabungan Yeq lama
turun & konsumsi naik ð S = I dalam
keadaan FE

Tabel 1.1 Perbedaan Pendapat dan pengelesaian


Teori Klasik dan Teori Keyness
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Para tokoh utama Teori Moneter Klasik antara lain John Babtis Say, Irving
Fisher dan A. Marshall. Say terkenal karena hukum yang dikemukakannya, bahwa
penawaran akan selalu menciptakan permintaan (supply creates its own demand).
Artinya, suatu perekonomian tidak akan mengalami underemployment atau
underconsumption (Malthus). Pengeluaran total masyarakat akan selalu dapat
mencukupi untuk menunjang produksi pada keadaan kesempatan kerja penuh (full
employment).

Teori klasik tentang bunga

Menurut teori klasik, tabungan adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin
tinggi tingkat bunga makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung.
Artinya, pada pada tingkat bunga yang lebih tinggi masyarakat akan lebih
terdorong untuk mengorbankan / mengurangi pengeluaran untuk konsumsi guna
menambah tabungan.

Teori klsik tentang uang

a. Teori Irving Fisher

b. Teori Kuantitas dari Recardo

c. Teori Kuantitas dari D.H. Roberston

d. Cambridge/Marshall Equation
4.2 SARAN

Walaupun teori ini bayak digunakan orang sebagai alat untuk mempelajari
ilmu ekonomi, namun kedapatan beberapa kritik terhadap teori tersebut. Dalam
rumus Fisher MV=PT, ada dua hal yang tidak dimasukan kedalam perhatian.
Kedua hal tersebut adalah pembayaran yang dilakukan karena pembelian barang
dalam saat sebelumnya dan pembelian barang yang pembayarannya dilakukan
diwaktu kemudian. hayalah jika kedua hal ini saling menetralisir maka rumus
Fisher ini diakui kebenarannya.

Jadi MV=PT, bilamana Ev-Ee=O, dimana Ev adalah pembayaran karena


pembelian barang dalam saat-saatnya sebelumnya, dan Ee adalah pembelian
barang yang pembayarannya dilakukan diwaktu kemudian. Dus tepat menurut
pendapat ini kalau rumus Fisher diganti menjadi MV-EV+Ee=PT.

Selanjutnya dalam rumus fisher itu, tidak diperhatikan adanya pembayaran


pembayaran yang hanya dalam bidang keuangan saja tanpa disertai pertukaran
barang, misalnya perdagangan efek efek, pembayaran – pembayaran bunga, pajak
dan premi pertanggungan. Jika jumlah pembayaran –pembayaran ini misalkan Ef,
maka rumus yang tepat adalah MV = PT + Ef, sesungguhnya perbedaan rumus ini
dengan rumus fisher terletak dalam perbedaan definisi V . V dalam rumus fisher =
PT/M , sedangkan V dalam rumus MV = PT + Ef adalah ( PT + Ef)/M. V dalam
MV = PT adalah kecepatan peredaran dari uang atau trade velocity of money,
sednag V dalam MV = PT + Ef adalah kecepatan peredaran tramsaksi dari uang
atau the transaction velocity of money.

Jika diperhatikan kedua kritik di atas Nampak bahwa pembayaran –


pembayaran dalam kredit tidak diikut sertakan. Yang kedua mengkritik karena
transaksi – transaksi yang hanya dalam bidang keuangan tidak turut di hitung.
Selain itu ada pula yang beranggapan bahwa rumus fisher merupakan tautology
artinya rumus fisher bukanlah merupakan persamaan melainkan identitas..
DAFTAR PUSTAKA

Noripin, Ekonomi Moneter Buku Satu, 1984. BPFE – Yogyakarta

http://gioakram13.blogspot.com/2013/04/teori-moneter-klasik.html

https://dimasyudha1809.wordpress.com/2014/06/18/teori-ekonomi-
moneter-klasik/

Anda mungkin juga menyukai