Oleh :
1. Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang
sama.
2. Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang. UU
Pajak yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada
wajib pajak, kapan ia harus membayar, apa hak-hak dan kewajiban mereka,
siapa subjek dan objek pajak dan berapa besarnya pajak.
3. Convenience of payment, maksudnya adalah pajak harus dikenakan pada
saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang atau saat
sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. Economics of collection, maksudnya dalam membentuk undang-undang
pajak yang baru para konseptor wajib mempertimbangkan bahwa biaya
pengenaannya harus relatif lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang
masuk. (Wijiraharjo, 2008)
Ditinjau dari keempat perinsip di atas, apakah PPh Pasal 4 ayat (2) telah
memenuhi syarat keadilan? Dalam hal ini penulis berusaha mealakukan analisa,
mengenai konsep keadlian dalam PPh Pasal 4 ayat (2), sehingga penulis berharap
dengan makalah ini dapat membantu pengembangan perpajakan di Indonesia
menjadi lebih berkeadilan.
Dari uraian latar belakang di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut
:
1. Apakah PPH Pasal 4 ayat (2) sudah menerapkan equality dan equity dalam
penerapannya?
2. Bagaimanakah kepastian hukum atau certainty dalam PPH Pasal 4 ayat (2)?
4. Apakah biaya pengenaan PPh Pasal 4 ayat (2) sudah memenuhi asas
economics of collection?
Dalam makalah ini , memiliki tujuan yang hendak dicapai . Adapun yang menjadi
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. mengetahui apakah PPh Pasal 4 ayat (2) sudah menerapkan Equality dan
Equity.
2. Untuk mengetahui certainty atau kepastian hukum dalam PPH Pasal 4ayat (2).
3. Untuk mengetahui apakah PPh pasla 4 ayat (2) sudah memenuhi asas
convenience of payment dalam pengenaannya.
4. Untuk mengetahui apakah PPh pasl 4 ayat (2) sudah memenuhi asas economics
of collection.
IV. Pembahasan
A. Equality dan Equity
Dalam pengenaan PPh Pasal 4 ayat (2), kedua asas tersebut tercermin
dalam penetapan subjek, objek, tarif dan dasar pengenaan pajak dari PPh Pasal
4 ayat (2) itu sendiri. Subjek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) sama seperti pajak
penghasilan lainnya, yaitu orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan dan
bentuk usaha tetap. Subjek pajak PPh tercantum dalam UU No 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan pada Pasal 2 ayat (1). Dari sisi subjek pajak, PPh
pasl 4 ayat (2) sudah sesuai dengan asas equality dan equity, dimana subjeknya
tidak dibedakan dengan subjek pajak PPh lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pengenaannya, objek dari PPh Pasal 4 ayat (2) ini telah memenuhi
asas equity dan equality. Objek pajak ini dikenakan sesuai dengan pertimbangan
kemampuan administrasi dan kemampuan pembayaran dari WP menurut
Kementrian Kuangan dan Direktorat Jendral Pajak.
Sedangkan dari sisi tarif dalam PPh Pasal 4 ayat (2) ini tidak menggunakan
tarif progressif, tarif yang dipakai untuk mendapatkan tarif efektif di PPh final
Pasal 4 ayat (2) adalah tarif tunggal. Bagi sebagian ahli, tarif tunggal tidak
mencerminkan keadilan vertikal. Seharusnya menggunakan tarif progressif
seperti: 5%, 15%, 25%, dan 30%, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU.
Artinya, wajib pajak kecil membayar pajak lebih kecil karena tarifnya lebih kecil.
Sebaliknya, wajib pajak besar akan membayar lebih besar karena tarifnya lebih
besar. Semakin besar penghasilan, besaran tarif semakin besar pula. Inilah yang
dimaksud keadilan vertical. Sehingga, pengenaan tarif tunggal dalam PPh Pasal
4 ayat (2) belum mencerminkan asas Equality dan Equity.
Kemudian dari sisi dasar pengenaan pajak, PPh Pasal 4 ayat (2)
menganggap semua usaha memiliki laba, tetapi pada kenyataannya tidak semua
usaha menghasilkan keuntungan. Hal ini dapat dilihat dari basis pajak PPh Pasal
4 ayat (2) yang menggunakan penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan
pajaknya sehingga dari segi dasar pengenaan pajak, PPh Pasal 4 ayat (2) juga
belum mencerminkan asas Equality dan Equity.
B. Certainty
Dalam PPh final Pasal 4 ayat 2, peraturan perundang-undangannya sudah
sangat jelas. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan, UU no 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, PP 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dan lain lain. Setiap penerapan PPh Pasal 4
ayat (2) memiliki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dengan
jelas sehingga PPh Pasal 4 ayat 2 sudah memenuhi asas kepastian
hukum/certainty.
C. Convenience of Payment
Dalam PPh Pasal 4 ayat 2, saat penyetorannya bergantung pada objek pajak
dari PPh Pasal 4 ayat 2 itu sendiri. Contohnya pajak pada bunga,
deposito/tabungan, diskonto SBI, bunga/diskonto paling lambat disetorkan pada
tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Kemudian penyetoran
pajak pada jasa konstruksi paling lambat tanggal 10 (bagi Pemotong Pajak) dan
tanggal 15 (bagi WP jasa konstruksi) bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Jangka waktu dari penyetoran pajak ini sudah cukup dekat dengan saat
penerimaan penghasilan tersebut. Oleh karena itu, PPh Pasal 4 ayat 2 telah
memenuhi asas convenience of payment.
D. Economics of Collection
Dalam PPh Pasal 4 ayat 2, biaya pengenaan pajaknya cenderung kecil
karena proses administrasi yang mudah dan penghitungan yang sederhana.
Proses administrasi yang sederhana mengurangi kemungkinan kesalahan baik
dari wajib pajak maupun dari pihak DJP sendiri. Jarangnya terjadi kesalahan
dalam administrasinya juga berdampak pada sedikitnya tuntutan yang diajukan
oleh wajib pajak sehingga tidak perlu ada biaya untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan. Oleh karena itu, PPh Pasal 4 ayat 2 sudah cukup memenuhi asas
economis of collection dalam penerapannya.
Daftar Pustaka