Anda di halaman 1dari 9

ASAS PEMUNGUTAN PAJAK DALAM PAJAK PENGHASILAN TRANSAKSI SAHAM

DI BURSA

Bangkit Cahyono
Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak - BPPK
bangkitchyn@gmial.com

Abstract
Tax collection ideally can meet the principle of tax collection as submitted by Adam Smith is the principle
of equality, certainty principle, the principle of convinience of payment, and the principle of effeciency.
Income tax imposed on income is additional economic capability received or obtained Taxpayer. While the
provisions on the collection of Income Tax on the Sale of Stock Transactions in the Stock Exchange shall
be final and calculated with a certain percentage multiplied by the amount of transactions. It is interesting
to be analyzed on the application of the four tax collection principles according to Adam Smith against the
provision of Income Tax on the sale of shares transaction in Indonesia Stock Exchange (IDX). The results
of the analysis show that the four principles of equality tax collection are not met while the other three
principles are met. Given the tax function (budgetair) provisions on the collection of Income Tax on
transactions on stock sales in the Stock Exchange still needs to be maintained.

Keywords: tax collection principle, income tax, equality principle, certainty principle, convinience of
payment principle, effeciency principle, tax revenue, budgetair function

I. PENDAHULUAN

Pada Tanggal 13 Juli 2017, perdagangan di Bursa Efek Indonesia dibuka secara ramai-
ramai oleh para mantan direksi dan komisaris karena pada hari itu adalah ulang tahun Bursa
Efek Indoensia yang ke 25. Pada tahun 2007 pemerintah menggabungkan Bursa Efek Surabaya
yang memperdagangkan obligasi dan Bursa Efek Jakarta yang memperdagangkan saham
menjadi Bursa Efek Indonesia. Menurut mantan Dirut BEI Erry Firmansyah, ketika pertama kali
digabungkan perdagangan saham sekitar Rp300 miliar per hari. “Lalu 2009 sudah menjadi Rp2,9
triliun per hari,” kata Erry, ketika itu. Hingga awal Juni 2017, rata-rata perdagangan saham
mencapai Rp8,2 triliun per hari (tirto.id 17 Juli 2017). Sedangkan Direktur Utama PT Bursa Efek
Indonesia ( BEI) Tito Sulistio mengatakan, kontribusi industri pasar modal ke penerimaan pajak
2016 mencapai Rp 110 triliun atau sekitar 9,95 persen dari realisasi penerimaan pajak 2016 yang
mencapai Rp 1.105 triliun (kompas.com). Ditahun 2021 perdangan saham di bursa efek sudah
mencapai angka Rp14,270.42 triliun perhari di minggu ke empat bulan April 2021, tentunya
angka ini jauh meningkat dibandingkan pada tahun 2009 yang masih berkisar Rp2,9triliun per
hari (statustik OJK).
Jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia sangat beragam berdasarkan objek pajak
maupun tata cara pengenaannya. Pajak atas transaksi penjualan saham di Bursa Efek
Indonesia (BEI) merupakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Artinya penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan final tidak digabung dengan penghasilan lain yang tidak
dikenakan Pajak Penghasilan final di Surat Pemberitahuan pajak tahunan sebagaimana diatur

75
dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja (UU
PPh). Pada saat melaksanakan pemungutan pajak Pemerintah harus sesuai dengan asas-asas
Pemungutan Pajak sebagaimana pendpat Adam Smith melalui bukunya berjudul ‘The Wealth of
Nation’. Asas-asas pemungutan pajak yang dimaksud adalah asas equality (keadilan), certainty
(kepastian hukum), convenience to payment (kesenangan), dan efficiency (efisiensi). Muncul
pertanyaan apakah Pajak Penghasilan atas traksaksi penjualan saham Bursa Efek Indonesia
beserta peraturan terkait sudah sesuai dengan asas Pemungutan Pajak oleh Adam Smith ditinjau
dari asas equality, certainty, convenience of payment, dan effecieny. Dalam tulisan ini akan
dibahas dalam suatu analisis setiap asas pemungutan pajak.
Penulis telah meninjau kesesuaian ketentuan Pajak Penghasilan atas transaski di Bursa
Efek Indonesia dengan asas-asas pemungutan pajak menurut Adam Smith, sehingga tujuan
lebih jelasnya adalah mengetahui kesesuian asas equality, asas certainty, asas convineance of
payment, dan asas effeciency dengan ketentuan PPh atas transaski penjualan saham di Bursa
Efek Indonesia (BEI). Adapun manfaat dari penulisan ini adalah memberikan gambaran kepada
pembuat kebijakan di bidang perpajakan untuk tetap menjalankan kebijakan yang ada atau
merubah apabila belum sesuai dengan asas pemungutan menurut Adam Smith.

II. KAJIAN PUSTAKA


A. Pengertian pajak dan hukum pajak
Santoso Brotodiharjo, S.H., dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, mengemukakan
beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak, salah satu pakar yang paling sering dipakai
pendapatnya dalam pembahasan hukum pajak di Indonesia adalah Prof. Rochmat Soemitro,
bahwa :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Dari empat pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat
dalam pengertian pajak, yaitu:
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2. Sifatnya dapat dipaksakan;
3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak;
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak
boleh dipungut swasta); dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.”

B. Dasar Hukum Pajak Penghasilan atas Transaksi Penjualan Saham di Bursa


Berdasarkan Pasal 1 UU PPh menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan
terhadap Subjek Pajak atas Penghaislan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Sedangkan yang menjadi objek PPh berdasarkan Pasal 4 Ayat 1 UU PPh adalah sebagai berikut:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
76
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, …”
Dasar hukum pengenaan atas objek PPh bersifat final adalah Pasal 4 Ayat (2) UU PPh yang
berbunyi sebagai berikut :
“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.”

Berdasarkan pasal 4 ayat (2) huruf c UU PPh penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.
Sebagai aturan pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU PPh pengenaan PPh atas
penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek diatur tersendiri dengan Peraturan
Pemerintah Indonesia Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1994
(PP 41/1994), penghasilan dari penjualan saham di bursa merupakan objek Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Tarif pemungutan PPh yang bersifat final adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan saham. Khusus untuk transaski penjualan saham pendiri, kecuali saham
pendiri perusahaan pasangan usaha yang dimiliki oleh perusahaan modal ventura, ditambah
dengan 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.

C. Asas-asas pemungutan pajak menurut Adam Smith


Dalam abad ke- 18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nations (terkenal dengan nama The Wealth of Nations) melancarkan
ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang dinamainya “The Four Maxims” dengan
uraiannya sebagai berikut (Santoso Brotodihardjo, 1987):

1. Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan
seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya
masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan).
Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di
antara sesama wajib pajak, dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan
pajak yang sama pula.
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal
kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan
77
adalah yang mengenai subjek-objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayaraannya.
3. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be
convenient for the contributor for the contributor to pay it”. Teknik pemungutan pajak yang
dianjurkan ini (yang juga disebut “convenience of payment”) menetapkan bahwa pajak
hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-
dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. “every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the
people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the
State”. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan
sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.”

III. METODE PENELITIAN


Metodologi penelitian yang digunakan penelitian kepustakaan yang dilaksanakan dengan
cara mempelajari sejumlah literatur untuk memperoleh dasar teoritis mengenai permasalahan
yang akan dibahas. Data yang digunakan dalam penulisan adalah data sekunder, yaitu data
yang diperoleh dari bahan pustaka berupa buku, ketentuan perundang-undangan, artikel dan
lainnya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis asas equality (keadilan) dalam Pajak Penghasilan atas transaksi
penjualan saham di Bursa Efek Indonesia
Untuk melihat kesesuian asas equality akan dibahas menjadi 3 bagian yaitu dilihat dari sisi
Subjek Pajak, Objek Pajak, dan tarif pajak yang dikenakan. Berikut bahasan menurut penulis:

1. Dari sisi Subjek Pajak.


Pertama asas keadilan Pajak Penghasilan final atas transaksi penjualan saham di Bursa Efek
Indonesia dilihat dari sisi Subjek Pajak yang dikenai. Subjek Pajak menurut PP Nomor 14
Tahun 1997 tentang PPh atas transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia yaitu
dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan transaksi penjualan saham di bursa
efek. Teori Adam Smith menyebutkan pajak yang adil harus disesuaikan dengan kemampuan
membayar masing-masing orang (ability to pay). Dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas
transaksi penjualan saham di bursa efek. Semua orang, baik pribadi atau badan yang melakukan
penjualan saham di Bursa Efek Indonesia dikenakan pajak penghasilan tanpa membedakan
apakah orang tersebut mempunyai “kemampuan” (ability to pay) atau tidak. Dari hal
tersebut, penulis berpandangan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi
penjualan saham di Bursa Efek Indonesia belum memenuhi prinsip asas keadilan jika
dilihat dari sisi Subjek Pajak karena semua subjek dianggap sama, baik dia untung atau rugi
dalam melakukan transaksi penjualan saham di Bursa Efek. Hal ini tentu bertentangan dengan
teori pemungutan pajak yang disampaikan oleh Adam Smith.

2. Dari sisi Objek Pajak


Menurut PP Nomor 14 Tahun 1997, objek PPh yaitu atas penghasilan yang diterima dari

78
transaksi penjualan saham di bursa efek. Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bersifat
finaldan oleh karena itu apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang
berasal dari transaksi penjualan saham di bursa efek, penghasilan tersebut tidak digabung
dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dalam
pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Pengertian Penghasilan di dalam
Pasal 4 ayat 1 UU PPh , yaitu :
“setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun”
Dalam jual beli saham, terkadang untuk menghindari potensi kerugian yang makin besar
akibat penurunan harga saham, maka seorang investor rela menjual saham dengan harga
rendah atau disebut juga dengan istilah penghentian kerugian (cut loss). Harga saham di pasar
sekunder selalu mengalami fluktuasi dikarenakan adanya demand dan supply serta ada beberapa
faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya harga saham seperti tingkat suku bunga, inflasi,
kondisi ekonomi,politik dan lain-lain. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan subjek yang
melakukan transaksi penjualan saham akan mengalami keuntungan atau kerugian. Pengenaan
Pajak Penghasilan final menurut PP Nomor 14 tahun 1997 untuk transaksi saham di bursa adalah
berdasarkan nilai transaksi yaitu sebesar nilai bruto tanpa memperhitungkan biaya yang
dikorbankan investor. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 4 UU PPh dikatakan sebuah
penghasilan apabila dia mengalami keuntungan (adanya tambahan kemampuan ekonomis).

3. Dari sisi Tarif Pajak


Yang ketiga asas keadilan dilihat dari sisi tarif pajak. Pengenaan tarif Pajak Penghasilan atas
transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia yang bersifat final adalah sebesar 0.1% (nol
koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan sedangkan bagi pemilik saham
pendiri dikenakan sebesar 0,1% x Nilai transaksi + 0.5% dari nilai saham pada 30 Desember
1996, dalam hal saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek sebelum 31 Desember 1996
dan 0,1% x Nilai transaksi + 0.5% dari nilai saham pada saat IPO, dalam hal saham tersebut
diperdagangkan dibursa efek pada atau setelah 1 Januari 1996.
Tarif sebesar 0,1% dan 0,5% memang terlihat jauh terlihat lebih kecil daripada apabila
mengenakan pajak menggunakan tarif pajak Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu
tarif progresif 5%,15%,25% dan 30%, namun pengenaan tarif pasal 17 UU PPh tentu
didasarkan atas penghasilan kotor setelah dikurangi biaya (penghasilan bersih). Dalam
pengenaan tarif Pajak Penghasilan final atas transaksi penjualan saham di bursa ini tidak
memperhitungkan biaya yang dikeluarakan oleh investor. Biaya-biaya terkait diantaranya adalah
biaya komisi (commission fee) kepada pialang dan biaya pajak-pajak lainnya yaitu Biaya
transaksi bursa = 0,03% dari nilai transaksi, Pajak Pertambahan Nilai = 10% dari nilai transaksi,
Pajak Penghasilan final = 0,1% dari nilai transaksi.
Contoh perhitungan transaksi beli saham di Bursa Efek Indonesia untuk pasar sekunder.
Misal tuan A ingin melakukan transaksi pembelian atas saham ABC sebanyak 7 slot dimana
harga saham ABC adalah Rp3,000 per saham. Misal lagi tuan A hendak menjual saham ABC
yang dibeli tadi sebanyak 7 slot tersebut dimana harga saham ABC adalah Rp3,020 per saham.
Lebih tinggi sebesar 20 rupiah dari harga beli. Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa walaupun harga
jual saham sebesar Rp3.020 lebih tinggi dari pada harga saat melakukan pembelian saham yaitu
sebesar Rp3.000, namun pada kenyataannya tuan A tetap mengalami kerugian karena uang

79
yang dikeluarkan untuk membeli saham lebih banyak dari pada uang yang didapatkan ketika ia
menjual saham PT ABC setelah dikurangin biaya sehingga tidak dikenakan pajak menurut
ketentuan Pasal 17 UU PPh. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahawa pengenaan
Pajak Penghasilan terhadap transasksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia belum
sepenuhnya memenuhi asas keadilan (equality).

B. Analisis asas certainty (kepastian hukum) dalam Pajak Penghasilan atas


transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia
Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa sebuah hukum harus memuat unsur keadilan dan
kepastian hukum. Semua pajak yang dipungut dan dipotong oleh pemerintah harus berdasarkan
Undang-Undang, sehingga bagi yang melanggar akan dikenakai sanksi hukum. Undang-undang
yang dimaksud tentu harus jelas, logis dan tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir).
Adam Smith melalui bukunya berjudul ‘The Wealth of Nation’ mengatakan bahwa asas kepastian
hukum (certainty) dalam pemungutan pajak harus jelas mengenai subjek, objek, besarnya
pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayaraannya. Dalam penerapan asas
kepastian hukum pada pelaksanaan Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham di bursa
diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan dari transaksi penjualan
saham di bursa efek dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang
Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di
Bursa Efek.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1997 disebutkan bahwa subjek pajak
atas Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham di bursa efek adalah orang pribadi atau
badan yang melakukan penjualan saham di bursa efek. Sedangkan Objek Pajak Penghasilan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1997 sttd Peraturan pemerintah Nomor 14
Tahun 1997 tentang pajak penghasilan atas transaksi penjualan saham di bursa efek adalah atas
penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan dari setiap transaksi penjualan saham
di bursa efek baik penjualan saham biasa atau saham pendiri. Untuk ketentuan besarnya Pajak
Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek sebesar 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan. Setiap transaksi penjualan saham di bursa efek akan dikennakan Pajak
Penghasilan sebesar 0,1% (satu per seribu) baik untuk saham biasa maupun saham pendiri.
Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (setengah persen)
dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa diakhir 1996. Dalam hal saham
perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997, maka nilai saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran
umum perdana (IPO).
Ketentuan mengenai waktu pembayaran Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham
di bursa efek diatur dalam pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997
pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek yaitu wajib disetorkan kepada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tangggal 20 (dua puluh) setiap bulan atas transaksi penjualan saham yang dilakukan
sebelumnya dan wajib dilaporkan oleh penyelenggara bursa efek selambat-lambatnya tanggal 25
(dua puluh lima) pada bulan yang sama dengan bulan penyetoran. Dari penjabaran tersebut,
pengenaan Pajak Penghasilan final atas transaksi penjualan sahm di bursa efek sudah
80
memenuhi ketentuan asas kepastian hukum (centainty) menurut Adam Smith karena
Subjek Pajak, Objek Pajak, Tarif dan ketentuan mengenai pembayaran sudah diatur dengan
jelas.

C. Analisis asas convenience of payment dalam Pajak Penghasilan atas transaksi


penjualan saham di Bursa Efek Indonesia
Adam Smith melalui bukunya berjudul ‘The Wealth of Nation’ menyatakan bahwa pajak
hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, misalnya saat wajib pajak
menerima penghasilannya atau saat yang tidak menyulitkan bagi wajib pajak.
Saat terutang Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia
adalah ketika terjadi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia. Pada saat investor menerima
uang dari hasil transaksi penjualan saham. Dalam pemotongan Pajak Penghasilan final atas
transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia sudah dilakukan pada saat yang tepat yaitu
saat terjadi penjualan atas saham tersebut. Terjadi penjualan saham artinya seseorang tersebut
telah memperoleh penghasilan dari penjualan saham tersebut. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan final atas transaksi penjualan saham di Bursa
Efek Indonesia sudah memenuhi asas convenience of payment karena pemungutan
dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat nvestor menerima uang dari hasil penjualan saham.

D. Analisis asas Efesiency dalam Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham
di Bursa Efek Indonesia
Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-
hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya (Santoso
Brotodihardjo, 1987). Melihat bagaimana pemungutan PPh atas transaksi penjualan saham di
BEI berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997, pelaksanaan
pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
yaitu wajib disetorkan kepada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tangggal 20 (dua puluh) setiap bulan atas transaksi penjualan saham yang dilakukan
sebelumnya dan wajib dilaporkan oleh penyelenggara bursa efek selambat-lambatnya tanggal 25
(dua puluh lima) pada bulan yang sama dengan bulan penyetoran. Hal ini sama sekali tidak
melibatkan fiskus dalam melakukan pemungutannya karena dilakukan dengan sistem witholding
tax , tentunya ini sangat membantu fiskus dalam melakukan pemungutan pajak sebagai bagian
tugasnya. Boleh dikatakan biaya pemungutannya dari sisi fiskus sangat minim. Fiskus hanya
menerima laporan dan mengawasi pelaksanaan kewajiban pemungutan oleh penyelenggara
bursa. Penulis berpendapat bahwa asas effeciency sudah tergambarkan pada proses
pemungutan PPh atas transaksi penjualan saham di BEI karena biaya yang dikeluarkan rendah
dan juga perhitungannya sederhana.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Dari bagian pembahasan dapat disimpulkan bahwa dari keempat asas pemungutan pajak
menurut Adam Smith ada satu asas yang belum sesuai yaitu asas equality dikarena pemungutan
PPh Final atas transaksi saham di Bursa Efek menggunakan single tarif yaiyu 0,1% yang
dikenakan kepada siapapun yang bertransaksi tanpa melihat kemampuan ekonomis pelaku
transaksi sebagaimana diatur dalam UU PPh. Namun demikian, ketiga asas lainnya sudah
81
terpenuhi yaitu asas certainty, asas convinience of payment, dan asas effeciency. Adanya
aturanyang pasti pemungutan pajaknya dari UU, Peraturan Pemerintah, hingga peraturan
Menteri Keuangan sehingga ada kepastian hukum dalam pemungutan pajaknya membuktikan
adanya kepastian hukum pemungutan pajak. Pemungutan pajak pada saat transaksi atau pada
saat pelaku memperoleh penghasilan tentunya membuktikan adanya convienence of payment.
Kesederhanaan prosedur pemungutan PPh Final atas transaksi saham di Bursa Efek
membuktikan asas efeciency berlaku.
Rekomendasi penulis atas kebijakan pemungutan PPh atas transaksi penjualan saham di BEI
secara Final untuk keperluan pragmatis saat ini masih perlu dipertahanakan mengingat tingkat
kepatuhan WP di Indonesia pada umumnya masih rendah, dan terbukti penerimaan pajak dari
transaksi penjualan saham di BEI cukup besar yaitu hampir 9,9% dari total penerimaan pajak
pada tahun 2016 dan mengingat salah satu fungsi pajak adalah budgetair.
Rekomendasi kedua adalah karena kebijakan pemungutan PPh atas transaksi penjualan
saham di BEI secara Final belum sesuai asas utama dari asas pemungutan pajak menurut Adam
Smith yaitu asas equality, perlu penambahan ketentuan dalam pemungutan PPh atas transaksi
penjualan saham di BEI yang dapat mencerminkan rasa keadilan dan hal ini memang perlu
dialkukan pengujian dan penelitian lebih lanjut yaitu pemungutan PPh atas transaksi penjualan
saham di BEI dapat saja tidak dilakukan apabila WP dapat menunjukkan bahwa kondisi
keuangan WP pada akhir tahun diperkirakan dalam keadaan rugi hal ini dapat dibuktikan dengan
laporan keuangan proforma WP, sehingga WP yang dalam kondisi rugi tidak dilakukan
pemungutan PPh atas transaksi penjualan saham di BEI.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek sebagaimana telah diubah Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1994 Tentang Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. No.SE -06/PJ.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek.
Brotodiharjo, R. Santoso. 1989. Penghantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT Eresco.
Gunadi. 2013. Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta: Bee Media Indonesia.
Ilyas, Wirawan B, dan Richard Burton. Hukum Pajak. 2013. Jakarta: Salemba Empat.
Mansury, R. 2002. Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta:YP Smith, Adam.
82
2007. Wealth Of Nations. Digital Edition. Metalibri.
Sumyar, 2003. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan.Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Kiandi, Ferry. 2010.“Perlindungan Hukum terhadap Investor dalam Transaksi Efek melalui
Internet di Pasar Modal Indonesia”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Dijerja, Gahara. 2017. “Realisasi APBN Per 31 Desember 2016”. Dalam
http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/lainnya/pengumuman/153-realisasi-
apbn/2599-realisasi-apbn-per-31-desember-2016.html.
Raharjo, Budi. 2016. “Transaksi Perdagangan Saham di Bursa Efek Indonesia Capai Rekor
Tertinggi”. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/16/10/2 7/ofpn46415-
transaksi-perdagangan-saham-di-bursa-efek-indonesia-capai-rekor-tertinggi.
Candra Yan, 2017. “25 Tahun Pasar Modal Indonesia”. Dalam https://tirto.id/25-tahun-pasar-
modal-indonesia-csNe diakses 7 November 2017
Suryowaty Estu, 2017. “Kontribusi Pajak Pasar Modal Sepanjang 2016 Mencapai Rp 110 Triliun”.
Dalam http://ekonomi.kompas.com/read/2017/03/10/123108626/kontribusi . pajak.pasar.
modal.sepanjang.2016.mencapai.rp.110.triliun diakses 7 November 2017

83

Anda mungkin juga menyukai