“Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak dapat imbalan
(tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong,
penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang
keuangan negara”.
Dari definisi di atas Erly Suandy dalam bukunya yang berjudul hukum pajak
(2005:9-10) menjelaskan sebagai berikut :
1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.
2. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
1. Pendekatan keadilan.
Keadilan mengarah pada adanya keadaan adil dan pemerataan. Dan howell
H. zee, dalam bukunya taxation and equity, berbagai permasalahan dalam
konsep keadilan, yaitu apakah perbedaan-perbedaan yang paling mendasar
dalam berbagai konsep keadilan yang selama ini, dan bagaimana konsep
tersebut diterjemahkan dalam primsip-prinsip pemungutan pajak yang
berbeda-beda. Selain itu masalah keadilan lainnya, adalah bagaimana
mengukur penghasilan dan bagai mana keadilan harus didistribusikan serta
apa implikasi terhadap keadilan dalam pemungutan pajak. Pendekatan yang
digunakan dalam asas yakni benefits received priciples dan the ability to pay
princciple.
Asas ini meliputi asas certainty, efficiency, convenience dan simplicity. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
a. Asas certaity.
Harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak
dan seluruh masyarakat. Prof. Mansury, empat pertanyaan pokok,
mengenai kepastian yaitu:
b. Asas efficiency.
Dilihat dari dua sisi, yakni:
d. Asas simplicity.
Kesederhanaan dalam aturan-aturan, ketentuan penghitungan sehingga
memudahkan wajib pajak untuk menunaikan kewajiban perpajakannya.
5. Asas neutrality.
Asas neutrality mengatakan bahwa pajak itu harus bebas dari distorsi
terhadap produksi serta faktor-faktor ekonomi lainnya. Artinya pajak tidak
mempengaruhi masyarakat dalam melakukan konsumsi, dan juga tidak
mempengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang-barang dan
jasa serta tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja.
Menurut Novak yang dikutif oleh Haula Rosdiana dan R. Tarigan dalam
bukunya yang berjudul perpajakan teori dan aplikasi (2005:123-125)
Sistem perpajakan yang baik harus ditopang oleh tiga hal berikut:
c. Administrasi pajak.
Administrasi pajak, dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan organisasi/
kelembagaan. Administrasi pajak memegang peranan sangat penting karena
seharusnya bukan saja sebagai perangkat laws enforcement, tetapi lebih penting
dari itu sebagai service point yang memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat sekaligus pusat informasi perpajakan.
A.4. Peristilahan
Pengadilan Pajak adalah lembaga yang bernaung di bawah lembaga hukum
Indonesia yaitu Mahkamah Agung. Untuk lebih memahami putusan Pengadilan
Pajak yang diambil atas sengketa pajak, maka perlu terlebih dahulu memahami
istilah serta adagio yang ada dalam proses peradilan menurut Apeldoorn
(1987:37-206), Lamintang (1997:21-98), Tjandra (2002:54-77), dan Malimar
(1998:5-12) adalah:
1. Pemohon Banding: adalah pihak yang mengajukan permohonan banding atas
ketetapan fiskus, dalam hal ini adalah Wajib Pajak
2. Terbanding: adalah pihak yang bertanggung jawab atas keputusan yang
diajukan banding.
a. Pemeriksaan pajak, sengketa bisa timbul ketika Wajib Pajak diperiksa oleh
fiskus, dalam rangka menguji kepatuhan perpajakannya,
b. Keputusan atau ketetapan, sengketa pajak timbul karena adanya suatu
keputusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh fiskus sebagai suatu produk
hukum dari proses pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap Wajib Pajak.
Fiskus adalah seorang pejabat Negara maka tidak tertutup kemungkinan
sengketa pun muncul dari tindakan sang pejabat secara administrasi kepada
seseorang yang terikat dalam administrasi tersebut berupa perselisihan karena
a. Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran formal, yaitu sengketa ini terjadi
jika perundang-undangan atau peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai
perpajakan tidak dipatuhi, misalnya tidak membuat faktur pajak, atau nota
retur, tidak membuat pemberitahuan impor barang definitif, dan sebagainya.
Pelanggaran peraturan formal ini dapat menjadi sengketa, jika pihak pejabat
perpajakan menerapkan koreksi dan atau sanksi administrasi berupa denda
berdasarkan peraturan yang berlaku. Sengketa formal biasanya disebabkan
karena terdapat perbedaan persepsi, penafsiran ketentuan perundang-
undangan ataupun penerapan peraturan yang tidak diterima oleh Wajib Pajak.
Hal itu dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan penagihan hutang pajak, sita
atau lelang.
b. Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran material, kemungkinan lebih
disebabkan kesalahan bersifat kuantitatif misalnya dalam perhitungan,
kesalahan pemberitahuan mengenai pajak-pajak terutang, tidak terdapat data
pembanding untuk nilai pabean atau nilai transaksi, perbedaan dalam
penafsiran dan penerapan klasifikasi barang atau perhitungan besarnya denda
administrasi, penghitungan menurut norma dengan besaran presentase yang
diterapkan dan lainnya.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sengketa pajak
adalah perselisihan antara Wajib Pajak, pemotong atau pemungut pajak, serta
Jika ditinjau dari substansi sengketa tata usaha negara, sengketa pajak tidak
hanya terjadi antara pejabat negara dengan wajib pajak, sengketa pajak bisa juga
terjadi antara Wajib Pajak dengan pemotong pajak atau pemungut pajak. Dan
sengketa pajak tidak hanya dibatasi antara orang atau badan hukum perdata saja
tetapi yang bukan badan hukum perdata pun dapat mengajukan sengketa pajak
tersebut ke Peradilan Pajak. Dengan demikian sengketa pajak bukan merupakan
sengketa tata usaha negara pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Djafar
Saidi dalam bukunya perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa pajak
(2007:97-98)..
Pada tahap keberatan yang menjadi obyek seperti yang ditentukan oleh undang-
undang adalah pertama, surat pemberitahuan pajak terhutang yang diterapkan
dalam penagihan pajak bumi dan bangunan. Kedua, ketetapan pajak (tax
baschikking) yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan
kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat ketetapan
pajak nihil. Ketiga, pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan
berdasarkan peraturan undang-undang perpajakan.
Dalam tahap banding, maka yang menjadi obyek sengketa pajak tertuju pada
surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh pejabat pajak selaku pihak
pemutusan yang dianggap oleh pihak-pihak yang bersengketa tidak mencerminkan
keadilan, kemanfaatan atau kepastian hukum.
Lain halnya pada tahap gugatan, tidak memiliki keterkaitan dengan obyek pajak
sengketa pajak pada tahap keberatan dan tahap banding mengingat sengketa
pajak pada tahap gugatan memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan
dengan sengketa pajak pada tahap keberatan dan tahap banding karena yang
dipersengketakan bukan materi atau isi suatu tax beschikking.
• Proses melalui sidang pengadilan atau proses intigasi pada umumnya sangat
lambat, dianggap membuang waktu, kemungkinan akan terjadi ketidak pastian.
Hal ini disebabkan karena proses pemeriksaan yang sangat formalistik, teknis,
waktu yang panjang dan berbelit-belit. Serta memerlukan biaya yang tidak kecil
(tingkat efisiensi yang rendah). Dikhawatirkan, kalau lembaga keberatan tidak
terbentuk, perkara-perkara sengketa akan menumpuk di pengadilan dan tidak
akan mampu menampung serta menyelesaikan perkara dalam waktu yang
pendek atau seperti yang diharapkan.
• Lembaga keberatan diadakan, karena keputusan atas pelanggaran,
penyimpangan atau ketidak patuhan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada belum final dan belum terdapat bukti bahwa
pelanggaran tersebut mengarah kepada tindak pidana, atau masih dapat
dianggap sebagai conflict atau dispute. Dalam asas praduga tidak bersalah,
mengandung arti belum ada kesengajaan (opzetelijk) dan mungkin masih dalam
taraf kelalaian (culpa) yang hanya ada dalam hukum pidana dari salah satu
pihak atau lebih. Kepentingan dalam arti sempit dapat diartikan, sebagai upaya
Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak-pajak yang harus dibayar dan
memaksimalkan profit. Sebaliknya Wajib Pajak memandang fiskus terlalu
Pejabat administratif itu sendiri kompeten untuk menegakkan hukum tata usaha
negara, mereka sendiri harus menjatuhkan sanksi administratif. Fungsi dari organ-
organ administratif ini sama persis dengan fungsi pengadilan, walaupun fungsi
organ pengadilan “eksekutif” atau “administratif”. Pemindahan kompetensi demikian
dari pengadilan kepada organ-organ administratif hanya dimungkinkan sepanjang
fungsi dari keduanya adalah sama.
Menurut Leon Yudkin dalam bukunya a legal structure for effective income tax
administration (1971 : 47), dalam perpajakan, fungsi pengadilan pada lembaga
administratif dikenal ada dua macam upaya administratif, yakni:
1. Prosedur keberatan
Dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi yang sama yaitu badan
atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha
negara.
2. Banding administratif
Dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi atasan atau instansi
lain.
“merupakan upaya hukum biasa dalam hukum pajak yang dapat digunakan wajib
pajak untuk memohon keadilan atas kerugian, baik yang dilakukan oleh pejabat
pajak maupun oleh pemotong atau pemungut pajak yang melakukan pemotongan
atau pemungutan pajak. Keberatan bukan merupakan kewajiban melainkan hak
yang diberikan oleh hukum pajak kepada wajib pajak, termasuk pemotong atau
pemungut pajak sebagai upaya untuk mendapatkan atau memperoleh
perlindungan hukum melalui lembaga keberatan.”
Dalam hal ketidak setujuan atau protes dari wajib pajak diterjemahkan dalam
upaya administrasi, maka keberatan tidak mempunyai ciri-ciri seperti pada
peradilan pada umumnya. Terutama dalam hal pihak yang bersengketa hanya ada
2 (dua) pihak dan salah satu pihak adalah pihak yang harus memutuskan
sengketa tersebut. Dengan sifat yang unik tersebut lembaga keberatan dalam
pelaksanaannya harus juga mengadopsi peran seperti hakim-hakim dalam
peradilan pada umumnya. Perbedaan khusus lain bahwa hakim dalam lembaga
keberatan disebut hakim doleansi, tetapi peranan hakim hanya dalam
d. Semi Peradilan
Menurut Rochmat Sumitro dalam bukunya pajak ditinjau dari segi hukum
(1991:6-7), kepastian hukum dalam hukum publik cq hukum pajak yang
merupakan yang wajib dipatuhi oleh umum/semua orang. Ketentuan undang-
undang harus jelas dan tegas, dan tidak memberikan peluang kepada siapa pun
untuk memberikan penafsiran lain daripada pembuat undang-undang
(pemerintah). Kepastian hukum ini perlu diperhatikan ada beberapa faktor yaitu:
a. Materi obyek
b. Subyek yang tersangkut
c. Tempat
d. Waktu
e. Pendefinisian
f. Penyempitan/perluasan
g. Ruang lingkup
h. Penggunaan bahasa hukum
i. Penggunaan istilah yang baku
j. Syarat-syarat yang lain
Jadi Value added (pertambahan nilai) dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi
pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi
input, yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah value added
(pertambahan nilai atau nilai tambah), istilah atau terminologi yang digunakan
adalah Value Added Tax (Pajak Pertambahan Nilai). Smith dkk dalam bukunya
what you should know about the VAT (1973:3), mendefinisikan Vale Added Tax
sebagai berikut.
“ The VAT is a tax on the value added by a firm to its product in the course of its
operation. Value added can be viewed either as the difference between a firm’s,
sales and its purchase during an accounting period or as the sum of its wagws,
profits, rent, interest and other payment not suject to the tax during that periode”.
Nilai Tambah dari suatu barang atau jasa oleh Henry Aaron (1982:14)
didefinisikan sebagai berikut.
"Value Added is the difference between me value of a firms sales and the value
of the purchase material inputs used in production goods sold”.
Nilai tambah (value added) juga sama dengan jumlah dari upah atau gaji
(wages/salaries), bunga (intersest) yang dibayar dan laba (profit) sebelum pajak
yang diperoleh oleh perusahaan, sehingga "nilai tambah" dapat dilihat dari sisi
penambahan (theadditive side) atau dari sisi pengurangan (the subtractive side)
atau dalam bentuk formulasi dapat dilihat sebagai berikut : Value added =
wages + profits = output - input
Menurut Alan A. Tait Jika tarif pengenaan pajak (tax rate) adalah " t ", yang akan
c. The Tax Credit Method, merupakan suatu rnetode penghitungan VAT dengan
cara mengurangkan value added tax sa at pembelian dari value added tax
yang harus dibayar pada saat penjualan, metode ini disebut juga dengan
metode yang menggunakan faktur (invoice method), cara ini hampir mirip
dengan metode subtraksi. Metode kredit mempunyai kelebihan dari metode
a. Consumption Type VAT. Dalam consumption type value added tax semua
pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk pembelian barang modal
dikurangkan dari perhitungan nilai tambah, jadi sasaran pengenaan pajaknya
terbatas pada pembelian untuk keperluan konsumsi sedangkan pembelian
barang produksi dan barang modal dikeluarkan, pembelian barang modal
dikeluarkan dari dasar pengenaan pajak, maka tidak terjadi pengenaan pajak
lebih dari satu kali terhadap barang modal. Hal ini memberi sifat netralitas
Pajak Pertambahan Nilai terhadap pola produksi, karena pengusaha bebas
untuk memilih apakah mau menggunakan padat modal atau padat karya,
Pajak Pertambahan Nilai tidak akan ikut menentukan.
b. Income Type VAT. Dalam income type value added tax, pembelian barang
modal tidak boleh dikurangkan dari penghitungan dasar pengenaan pajak
pada tahun perolehan, pembelian barang modal hanya boleh dikurangkan
sebesar prosentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung
hasil bersih dalam rangka penghitungan Pajak Penghasilan, oleh karena itu
dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan sama dengan dasar
pengenaan Pajak Penghasilan.
c. Product Type VAT. Dalam product type value added tax, pembelian barang
modal sama sekali tidak boleh dikurangkan dari penghitungan dasar
pengenaan pajak, hal ini mengakibatkan barang modal dikenakan pajak dua
kali yaitu pada saat dibeli, kemudian pemajakan yang kedua dilakukan
Sistem Tarif Pajak Pertambahan Nilai, menurut Alan A. Tait (1988:42-48), tarif
pajak dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai secara umum terdapat dua macam
tarif yaitu ; single rate dan multiple rate, dalarn kasus tertentu sistem Pajak
Pertambahan Nilai menerapkan effective rate, geographical rate atau zero rate.
a. Single Rate, disebut juga dengan flat rate atau ad valorem, yaitu hanya ada
suatu tarif tunggal yang diterapkan di dalam sistem pemungutan pajak.
Dengan menerapkan tarif tunggal tersebut pada dasar pengenaan pajak
maka jumlah pajak yang terhutang akan semakin besar jika jumlah dasar
pengenaan pajaknya semakin besar, maka penerapan single rate mempunyai
sifat yang proposional terhadap jumlah pajak yang terhutang jika jumlah
dasar pengenaan pajaknya semakin besar.
b. Multiple Rate, disebut juga dengan dual rate atau plural rate, yaitu terdapat
beberapa tarif yang berbeda terhadap obyek yang berbeda, sehingga
terdapat beberapa tingkatan, tarif dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai
yang digunakan. Tingkatan tarif tersebut biasanya dibedakan dengan cara
membedakan untuk barang kebutuhan pokok diterapkan tarif yang lebih
rendah (low rate), dan untuk barang mewah diterapkan tarif yang lebih tinggi
(high rate), sedangkan untuk barang yang umum diterapkan tarif standar
(normal rate), sehingga penerapan multiple rate merupakan penerapan tarif
yang proposional terhadap objek pajak yang berbeda.
c. Effective Rate, merupakan suatu cara penerapan tarif yang dianggap lebih
eftektif untuk tujuan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Tarif efektif dalam
Pajak Pertambahan Nilai timbul karena alasan bahwa adanya sistem dengan
multiple rate adalah lebih sulit. yaitu karena kompleknya permasalahan
dengan struktur tarif yang banyak. Sedangkan dilihat dari sudut single rate,
tarif efektif timbul karena di dalam sistem tarif tunggal sering juga diterapkan
b. Zero Rate, pada umumnya dianut oleh semua negara dalam hal transaksi
ekspor, hal ini sesuai dengan prinsip tujuan (destination principle) dimana
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas
konsumsi barang dan atau jasa yang pemanfaatan di dalam negeri atau
domestik, sehingga pada saat suatu barang atau jasa akan dimanfaatkan di
luar daerah pabean maka atas barang atau jasa tersebut diterapkan tarif 0 %
agar penyerahan atau pemanfaatan barang atau jasa di luar daerah pabean
tidak termasuk nilai PPN. Sehubungan dengan pergertian pengecualian
(exemption) Pajak Pertambahan Nilai, maka zero rate mempunyai perbedaan
dengan exemption, dimana zero rate diterapkan atas Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak (BKP dan atau JKP) yang penggunaan atau
pemanfaatanya di luar daerah pabean, sedangkan exemption diterapkan
sebagai bentuk pengecualian atas barang dan atau jasa yang tidak
dikenakan pajak (Non BKP dan atau Non JKP) atau pengusaha yang
dikecualikan dari kewajiban PPN (Non PKP).
b. Imports and Exports, value added tax sebagai pajak atas konsumsi dalam
negeri (domestik), maka untuk menjamin netralitas atas transaksi yang
melibatkan negara lain (neutral border, tax adjustment), untuk kegiatan
ekspor, sesuai dengan prinsip destinasi maka semua pajak- konsumsi yang
telah melekat akan dibebaskan dengan menerapkan tarif 0 % atas jumlah
ekspor tersebut. sedangkan atas barang yang di impor, dimana saat barang
dikirim dari negara asalnya (originai principle) tidak termasuk PPN, sehingga
saat barang akan masuk ke suatu daerah pabean dikenakan PPN sehingga
dapat dibandingkan dengan produk domestik.
B. Kerangka Teori
Kerangka Teori dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
1 Untuk menganalisis perbedaan keputusan keberatan dan putusan banding atas
SKPKB PPN pada studi kasus di PT. Adhimix Precast Indonesia.
2 Untuk menganalisis keputusan keberatan yang didasarkan atas legal formal dan
putusan banding yang didasarkan atas legal formalnya serta teori dan konsep.
KERANGKA TEORI
C. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, secara deskriptif karena tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi atau lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat. Penelitian bertema adanya perbedaan keputusan proses keberatan dan
putusan banding pada studi kasus proses penyelesaian sengketa SKPKB PPN
melalui lembaga keberatan dan banding, sehingga peneliti mampu memberi
penilaian tentang adanya perbedaan keputusan tersebut dari dua sisi, pertama dari
sisi legal formal yang ada dan kedua dari sisi teori dan konsepnya. Fred N Kerlinger
dalam bukunya asas-asas penelitian behavioral (2004:17) memberikan definisi
mengenai penelitian ilmiah yaitu :
“Penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris dan kritis tentang fenomena alami
dengan dipandu teori – teori dan hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat
dalam fenomena itu”
Penelitian ini menggunakan pendekatan apa yang disebut sebagai studi kasus,
dalam menuangkan fenomena yang ada kedalam narasi deskriptif. Hal ini dijelaskan
oleh Prasetya Irawan dalam bukunya metode penelitian kualitatif dan kuantitatif
untuk ilmu-ilmu sosial (2006:38) bahwa metode penelitian kualitatif cenderung
bersifat deskriptif, naturalistik dan berhubungan dengan sifat “data” yang murni
kualitatif. Contoh metode kualitatif adalah etnografis, studi kasus, observasi dan
histories. Penelitian kualitatif tidak mengenal populasi dan tidak pula sample.
Kalaupun kata sampe muncul dalam metode kualiotatif maka sample ini tidak
bersifat mewakili (representatif) populasi, tetapi lebih diperlakukan sebagai kasus
yang mempunya ciri khas tersendiri, yang tidak harus sama dengan ciri populasi
yang mewakilinya . Karena itu tidak ada gunanya berbicara soal “generalisasi
temuan” di dalam penelitian kualitatif. Temuan dalam penelitian kualitatif bersifat
kasuistik, unik, dan tidak dimaksudkan untuk digeneralisasikan ke konteks lain.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan dalam penyusunan tesis ini adalah deskriptif
analitis. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta
tata cara yang berlaku dalam masyarakat pada situasi tertentu, termasuk tentang
sikap-sikap dan pandangan-pandangan yang sedang berlangsung dari suatu
fenomena. Untuk memperoleh fakta secara faktual mengenai suatu keadaan yang
sedang berlangsung maka metode pengumpulan data dilakukan dengan metode
studi kasus.
Analisis data, menurut Prasetya Irawan dalam bukunya metode kualitatif dan
kuantitaif untuk ilmu-ilmu sosial (2006:38), dalam penelitian kualitatif bersifat induktif
(grounded). Peneliti membangun kesimpulan penelitiannya dengan cara
“mengabstraksikan” data-data empiris yang dikumpulkannya dari lapangan, dan
mencari pola-pola yang terdapat dalam data-data tersebut. Karena itu, analisis data
dalam penelitian kualitatif tidak perlu menunggu sampai seluruh proses
a. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan melalui studi literatur dan mendalami teori-teori baik
yang menyangkut administrasi, hukum dan kebijakan pajak, dalam penyelesaian
sengketa melalui keberatan dan banding. Studi ini dilaksanakan dengan maksud
melalui pemahaman akan teori-teori tersebut dapat memberikan pedoman yang
mampu mengantarkan pada penerapan hukum maupun kebijakan yang dibuat
dalam proses pelaksanaa keberatan dan pelaksanaan banding serta
memutuskan keputusan keberatan dan putusan banding dengan asas-asas
keadilan dalam pemenuhan hak-hak Wajib Pajak.
b. Studi lapangan
Studi lapangan dilakukan melalui cara-cara:
Wawancara
Dengan mewawancarai para ahli perpajakan yang berkompeten di bidangnya
untuk memberikan pendapat dalam kaitannya dengan proses keberatan dan
banding PT. Adhimix Precast Indonesia, diharapkan diperoleh data primer
yang cukup valid. Penulis menyadari bahwa wawancara merupakan suatu
proses interaksi dan komunikasi. Oleh karena itu perlu memperhatikan
beberapa faktor antara lain: pewawancara, key informan, topik penelitian
yang tertuang dalam daftar pertanyaan.
Pengamatan langsung
Dalam pengumpulan data primer ini penulis juga melakukan pengamatan
langsung antara lain dengan cara ikut serta didalam pelaksanaan proses
keberatan dan banding dimana dalam hal ini penulis diberi kuasa oleh
pengurus dalam hal ini Direktur keuangan PT. Adhimix Precast Indonesia
untuk mengurus proses keberatan di Kantor Pusat DJP dan menghadiri
sidang pada banding di Pengadilan Pajak
Strategi mengolah dan menganalisa data yang diperoleh dalam penelitian ini
ditempuh melalui cara melihat fenomena yang ada. Fenomena tersebut dianalisa
dengan membandingkan dengan pemahaman-pemahaman dari teori dan
konsep-konsep yang ada. Dalam hal ini fenomena mengenai proses lembaga
keberatan serta respon wajib pajak yang menggunakan lembaga tersebut.
Analisa dikembangkan dengan teori-teori penerapan lembaga keberatan dan
tujuan penggunaannya.
4. Hipotesis Kerja
HIPOTESIS KERJA
5. Nara Sumber
Dalam penelitian ini yang menjadi nara sumber dalam pemberian informasi
mengenai proses keberatan dan banding dalam penyelesaian sengketa pajak adalah
informan yang menguasai masalah ini dan terlibat langsung dalam penanganan
proses keberatan dan banding ini, antara lain :
1. Dosen perpajakan
2. Praktisi Perpajakan, sekaligus dosen perpajakan
3. Direktur Keuangan PT. Adhimix Precast Indonesia
4. Manajer Akuntansi PT. Adhimix Precast Indonesia
5. Kantor Konsultan Pajak PT. Hari Reksa Inti Counsulting
7. Batasan Penelitian
Penyelesian sengketa pajak atas proses keberatan SKPKB PPN PT. Adhimix
Precast Indonesia dilaksanakan pada kantor pusat direktorat jenderal pajak Jakarta
dan proses banding atas ketidakpuasan wajib pajak terhadap putusan keberatan
dilaksanakan di Pengadilan Pajak dalam hal ini sengketa pajak hanya terbatas atas
SKPKB PPN
Penelitian ini hanya menyoroti dan mengkaji mengenai penyelesaian sengketa pajak
untuk proses keberatan dan banding, untuk jenis pajak pertambahan nilai terutama
SKPKB PPN. .
8. Keterbatasan Penelitian
Penelitian masih mengacu pada Undang-undang nomor 16 tahun 2000 tentang
perubahan kedua atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum
dan tata cara perpajakan beserta peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang
nomor 14 tentang Pengadilan Pajak penelitian ini juga terbatas pada pendapat
informan dan teori yang telah diuraikan.
57
58
59
60
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai (SKPKB PPN )
Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2003 Nomor 00121/207/03/051/05,
tanggal 13 Juli 2005, yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Badan
Usaha Milik Negara (KPP BUMN), berdasarkan Laporan Pemeriksa Pajak yang
diterbitkan oleh Fungsional Pemeriksa Direktorat P4 DJP-TOPN Nomor:
LAP-96/TOPN/PJ.701/2005, tanggal 7 Juli 2005, dan dibuat berdasarkan Surat
Perintah Pemeriksaan Pajak dan termasuk dalam kategori Laporan Hasil
Pemeriksaan Lengkap yang sebelum dibuat didahului closing conference
61
62
B.4. Keputusan DJP atas Keberatan SKPKB PPN PT. Adhimix Precast Indonesia
Keputusan DJP nomor KEP-117/PJ.54/2006 tanggal 4 Agustus 2006, yang
isinya menolak, Surat Keberatan PT. Adhimix Precast Indonesia nomor: 05-0812/
API-SRN/75, tanggal 12 Agustus 2005, surat keberatan ini ditujukan terhadap
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak
Januari sampai dengan Desember 2003 Nomor 00121/207/03/051/05, tanggal 13
Juli 2005, diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik
Negara. Keputusan DJP atas keberatan PT. Adhimix Precast Indonesia
tersebut memenuhi azas satu keputusan atau satu balasan, bahwa keputusan
DJP atas keberatan PT. Adhimix Precast Indonesia tersebut termasuk dalam
kategori keputusan yang sebelum diterbitkan telah didahului dengan
pemberian kesempatan kepada PT. Adhimix Precast Indonesia untuk
menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis, bahwa tanggal
penerbitan keputusan DJP atas keberatan PT. Adhimix Precast Indonesia
tersebut adalah 4 Agustus 2006, sedang tanggal Surat Keberatan PT.
Adhimix Precast Indonesia adalah 12 Agustus 2005, sehingga DJP memenuhi
ketentuan mengenai kewajiban membalas dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, keputusan DJP atas kebaratan PT. Adhimix Precast Indonesia
tidak mengandung kesalahan tulis pada subyek, jenis dan tahun pajak yang
ditunjuk oleh keputusan, yang dapat mengakibatkan PT. Adhimix Precast
63
C.1.1. PT. Adhimix Precast Indonesia mengajukan Surat Banding dengan nomor:
06-1003/API-SRN/199, tanggal 4 Oktober 2006, yang ditandatangani oleh
Surakhman, berdasarkan bukti berupa Akta Notaris Ny. Chairunnisa Said
Selenggang, SH., Nomor 2.- tanggal 22 Mei 2002, menyatakan bahwa
Surakhman adalah sebagai Direktur, Surat Banding tersebut ditujukan kepada
64
C.1.2. Surat Banding diterima oleh Pengadilan Pajak pada hari Rabu, 4 Oktober 2006
diantar lansung, sedangkan tanggal penerbitan keputusan Terbanding atas
keberatan Pemohon Banding adalah 4 Agustus 2006, sehingga
pengajuan banding memenuhi ketentuan mengenai jangka waktu 3 (tiga)
bulan pengajuan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
C.1.3 Surat Banding, menyatakan tidak setuju terhadap Keputusan Terbanding Nomor
KEP- 177/PJ.54/2006 tanggal 4 Agustus 2006, mengenai Keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak
Januari sampai dengan Desember 2003 Nomor 00121/207/03/051/05,
tanggal 13 Juli 2005, dengan demikian Surat Banding ini memenuhi persyaratan
satu Surat Banding untuk satu keputusan Terbanding sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
C.1.4 Surat Banding, memuat alasan-alasan banding yang jelas dan tidak
mencantumkan tanggal diterima Surat Keputusan Terbanding Nomor
KEP-177/PJ.54/2006 tanggal 4 Agustus 2006, walaupun Pemohon Banding
tidak mencantumkan tanggal diterimanya Keputusan Terbanding tersebut tapi
jika dihitung dari tanggal penerbitan Keputusan tersebut sampai dengan
tanggal diterimanya Surat Banding tidak melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan,
sehingga pengajuan banding memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2002.
C.1.5 Surat Banding ini dilampiri dengan keputusan yang dibanding, sehingga
pengajuan banding memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (3) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2002;
65
C.3. Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktorat PPN dan PTLL mengirim SUB ke
Pengadilan Pajak
66
C.4. Pengadilan Pajak mengirim fotocopy SUB ke PT. Adhimix Precast Indonesia
C.5. PT. Adhimix Precast Indonesia mengirim surat bantahan ke Pengadilan Pajak
67
Seperti diatur dalam Pasal 34, tentang kuasa hukum, banding (Pasal 35 sampai
dengan Pasal 39), Gugatan (Pasal 40 sampai dengan Pasal 43), Persiapan
persidangan ) Pasal 44 sampai dengan Pasal 48), telah dibicarakan
terdahulu dalam pemenuhan syarat formal pengajuan banding. Adanya
keterkaitan antara Hukum Acara dengan Tata Tertib Persidangan, di bawah ini
akan dibicarakan mengenai Hukum Acara yang berkaitan dengan
pemeriksaan. Sebagai konsekuensi dari kekhususan Pengadilan Pajak, seperti
diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, dan mempunyai hukum
acara tersendiri, secara keseluruhan pemeriksaan:
68
69
70
71
Buku "Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek", halaman 152,
Retnowulan Sutantio, disebutkan bahwa: untuk pengajuan permohonan
banding, terutama oleh kuasa hukum, surat kuasa khusus merupakan syarat
yang mutlak harus ada. Apabila Wajib pajak telah lupa untuk memberikan surat
kuasa khusus kepada kuasanya, atau dalam surat kuasa khusus tersebut
terdapat suatu kesalahan, permohonan masih dapat diterima, anal dalam surat
kuasa yang diserahkan dalam persidangan itu, memuat pemberian kuasa juga
untuk permohonan banding;
(i) Dalam hal persidangan untuk Acara Cepat, Hakim Ketua akan mengarahkan
jalannya sidang dan membuka berkas perkara serta mempersilahkan
kepada Pemohon Banding untuk mengemukakan dan menjelaskan pokok
masalah sengketa, agar majelis dapat mengerti, memahami apa yang
72
• Dalam praktek persidangan, dapat ditemui bahwa berkas baru terdapat dua
kemungkinan, yaitu disidangkan dalam sidang acara cepat atau dalam
sidang acara biasa. Penggabungan acara cepat dan biasa dalam risalah
sengketa banding dari panitera terjadi jika berkas perkara saat penelitian
oleh yang diserahi kewenangan untuk mendistribusikan perkara sengketa,
menganggap bahwa berkas yang seharusnya diperiksa untuk sidang acara
cepat tetapi dapat langsung dibuat Berita Acara Biasa apabila formal
pengajuan sudah dipenuhi. Pemohon banding dapat menyiapkan diri untuk
pemeriksaan materinya;
• Tahap berikutnya dimintakan kepada Pemohon banding mengenai surat
keberatannya dan dilakukan penelitian, apakah surat keberatan tersebut
73
74
75
76
Pengalihan acara sidang dari cepat ke sidang acara biasa, dapat diputuskan
jika Hakim Ketua menganggap semua ketentuan formal sebagaimana
ditentukan oleh undangundang sudah dipenuhi. Hakim Ketua menyatakan
persidangan untuk sengketa yang telah diperiksa tersebut cukup dan
77
78
79
(1) Sengketa Pajak yang diajukan alas Hama (WP, Pengguna Jasa/Pengusaha
Pabrik) NPWP, Alamat, Jenis Dan Tahun Pajak, Nomor sengketa, nomor
keputusan dan tanggal keputusan. Atau STKPBM—nomor, tanggal, tahun;
(2) Pertimbangan atas dasar pasal-pasal tentang tugas dan wewenang majelis
hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak serta kekuatan
putusan pengadilan pajak.
(2) Penghitungan tagihan pajak yang kurang bayar dan adanya keberatan
pemohon banding atas tagihan termaksud, serta alasan-alasan penolakan
pemohon banding serta perhitungan pajak yang terutang menurut
pemohon bandingan masalah yang disengketakan.
(3) Lampiran yang disertakan dalam surat permohonan banding berupa
80
81
C.8. Putusan Pengadilan Pajak atas Banding SKPKB PPN PT. Adhimix Precast
Indonesia
Keputusan Pengadilan Pajak No: Put.11690/PP/M/VI/16/2007, Tanggal 18
September 2007, mengenai surat banding PT. Adhimix Precast Indonesia dengan
nomor : 06-1003/API/199 tanggal 03 Oktober 2006, penerbitan keputusan tersebut
telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, karena keputusan terbit kurang dari
12 bulan dari tanggal surat banding yang diajukan oleh PT. Adhimix Precast
Indonesia, Keputusan pengadilan Pajak tersebut memutuskan : Menerima
Sebagian permohonan banding dan mengubah keputusan Direktur Jenderal
Pajak No. KEP-177/PJ.54/2006 tanggal 04 Agustus 2006 tentang SKPKB PPN
Nomor : 00121/207/03/051/05, tanggal 13 Juli 2005 Atas putusan tersebut PT.
Adhimix Precast Indonesia masih tidak puas akan keputusan banding yang
diterbitkan oleh Pengadilan Pajak tersebut dan proses selanjutnya mengajukan
Peninjauan Kembali Ke Mahkamah Agung.
Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba membandingkan keputusan keberatan
dan putusan Banding dalam bentuk tabel dibawah ini :
Tabel IV.1
Keputusan Keberatan DJP Nomor : KEP – 177 /PJ.54/2006
Uraian Mata Semula Dikurangi/ Menjadi
Uang Ditambah
Dasar Pengenaan Rp 279.068.269.602 0 279.068.269.602
Pajak
Pajak yang Kurang Rp 14.386.937.443 0 14.386.937.443
Dibayar
Bunga Pasal 13 (2) Rp 5.919.605.141 0 5.919.605.141
UU KUP
82
Tabel IV.1
Putusan Banding Pengadilan Pajak No: Put.11690/PP/M/VI/16/2007
Uraian Mata Semula Dikurangi/ Menjadi
Uang Ditambah
Dasar Pengenaan Rp 279.068.269.602 (28.739.104) 279.039.530.498
Pajak
Pajak yang Kurang Rp 14.386.937.443 (2.873.911) 14.384.063.532
Dibayar
Bunga Pasal 13 (2) Rp 5.919.605.141 (7.755.030) 5.919.605.141
UU KUP
Jumlah Yg Rp 20.306.542.584 (10.628.941) 20.295.913.643
Kurang/Lebih Dibayar
Dilihat dari tabel diatas ada Pos Koreksi Pendapatan Sewa Apartemen sebesar
Rp.28.739.104,00, sehingga ada perbedaan keputusan keberatan dengan
keputusan banding pada Pengadilan Pajak, untuk lebih jelasnya penulis akan
mencoba menganalis dari pendapat Peneliti Keberatan, pendapat Wajib Pajak,
pendapat Majelis dan pendapat para ahli dan pakar di bidang perpajakan yang
akan di bahas pada BAB. IV
Yang menjadi pokok sengketa dalam keberatan dan banding ini adalah
koreksi DJP atas Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp 143.869.374.432,00 yang
tidak disetujui oleh PT. Adhimix Precast Indonesia, yang terdiri dari:
83
84