Anda di halaman 1dari 18

Sumber gambar: freepik.

com

1
I. LATAR BELAKANG
Sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Masing-
masing provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri serta mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan urusan pemerintahan dan
pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya (expenditure assignment). Untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat tersebut,
Daerah diberikan sumber-sumber pendanaan (revenue assignment). Sebagai daerah
otonom, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak daerah dan
retribusi daerah (tax assignment). Pelaksanaan tax assignment tersebut diamanatkan
dalam Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang, yang saat ini
diimplementasikan melalui UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRD).
Salah satu basis pajak daerah dalam UU PDRD adalah konsumsi, yaitu basis
pemajakan yang dikenakan terhadap konsumen akhir atas konsumsi barang/jasa berupa:
a. Makanan/minuman yang diserahkan restoran (Pajak Restoran);
b. Jasa Perhotelan (Pajak Hotel);
c. Jasa Hiburan (Pajak Hiburan);
d. Jasa Parkir (Pajak Parkir); dan
e. Tenaga Listrik (PPJ).
Pajak-pajak daerah berbasis konsumsi tersebut memiliki nature yang sama
dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut Pemerintah Pusat (Pajak Pusat),
dengan perbedaan bahwa Pajak daerah berbasis konsumsi dipungut pada level konsumen
akhir saja dan hanya atas barang/jasa tertentu saja, sedangkan PPN dipungut pada setiap
jalur distribusi barang/jasa (multi stage) atas seluruh barang/jasa yang tidak dikecualikan
dalam UU PPN.
Dari sisi filosofis penyusunan peraturan perundang-undangan, penentuan objek-
objek pajak daerah berbasis konsumsi dalam UU PDRD pada prinsipnya telah selaras
dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), mengingat:
 UU PPN bersifat negative list, yaitu seluruh barang/jasa merupakan Barang Kena
Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), kecuali untuk barang dan jasa yang diatur
sebagai non-objek PPN dalam UU PPN.
 Sementara UU PDRD bersifat positive list yaitu konsumsi barang/jasa yang
merupakan objek pajak daerah hanya barang/jasa yang disebutkan dalam UU PDRD
dan yang telah dikecualikan dalam UU PPN (non-objek PPN).

2
 Oleh karena itu, pada prinsipnya kedua UU tersebut telah disusun harmonis satu sama
lain dan telah ditujukan untuk tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda antara
PPN dan pajak daerah.
Namun demikian, dalam praktek pemungutan pajak di daerah, terdapat beberapa
persinggungan PPN dan pajak daerah atas konsumsi barang/jasa, yang menyebabkan
adanya perbedaan sudut pandang antara fiskus pajak pusat (KPP) dan fiskus pajak daerah
(Dispenda/Dinas Pajak/ Bapenda), antara lain:
a. PPN dan Pajak Restoran atas toko roti (bakery);
b. PPN dan Pajak Hotel atas persewaan ruangan di dalam hotel;
c. PPN dan Pajak Hotel atas persewaan ruangan untuk kos/kontrakan; dan
d. PPN dan Pajak Parkir atas penyelenggaraan jasa valet parking.
Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Wajib
Pajak (pengusaha) di daerah, dan menunjukkan masih kurangnya sinergi pemungutan
pusat-daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut, serta memperhatikan rekomendasi Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan tahun 2020 dari pelaksanaan audit kinerja efektivitas
kebijakan PAD pada Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) tahun 2019, perlu disusun
kajian singkat yang membahas mengenai batasan objek pajak pusat dan objek pajak
daerah atas keempat persinggungan pajak-pajak berbasis konsumsi dimaksud.
Sehubungan dengan hal tersebut, kajian singkat ini akan berfokus pada: (1) filosofi
pajak daerah berbasis konsumsi; (2) batasan pajak pusat dan pajak daerah berbasis
konsumsi; serta (3) aspek keunggulan dan kelemahan pengenaan pajak daerah atas
persinggungan objek dengan PPN.

3
II. PEMBAHASAN
A. Teori Perpajakan
1. Prinsip dan Asas Perpajakan Yang Baik
Pada prinsipnya pembedaan pajak daerah maupun pajak pusat hanya merupakan
distribusi kewenangan pemungutan antar level pemerintahan dalam kerangka
desentralisasi fiskal untuk menjalankan amanat otonomi daerah, sedangkan prinsip umum
dan asas pemajakan kedua kategori pajak dimaksud sama.
Terdapat beberapa prinsip (rambu-rambu) pemungutan pajak yang baik dalam
rangka meminimalkan dampak negatif pemungutannya. Prinsip-prinsip tersebut awalnya
dikodifikasi oleh Adam Smith, yang dikenal dengan istilah Four Maxim, yang terdiri atas:
 Efficiency (efisiensi)
 Adequacy (kecukupan)
 Fairness (keadilan)
 Simplicity (kesederhanaan)

Melalui prinsip efisiensi, Smith (1976) menyatakan bahwa pajak yang dipungut
harus serendah mungkin dan tidak membuat Wajib Pajak merasa tidak nyaman, dengan
uraian penyataan sebagai berikut:
“Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets
of the people as little as possible, over and above what is brings into the public
treasury of the state.”

Secara umum istilah efisiensi merujuk pada besaran pajak yang dipungut tidak boleh
menyebabkan masyarakat/perekonomian secara umum terbebani. Sebagai
konsekuensinya, besaran/tarif pajak yang dipungut haruslah mempertimbangkan
kemampuan masyarakat. Pajak seharusnya tidak menimbulkan distorsi yang
menyebabkan masyarakat membatalkan keputusan ekonominya untuk melakukan
konsumsi dan investasi.

Prinsip yang kedua adalah kecukupan (adequacy). Prinsip ini dapat diartikan
bahwa besaran penerimaan pajak harus mencukupi beban pembiayaan pelayanan
masyarakat (public service). Oleh karena itu, jenis pajak yang penerimaannya terlalu kecil
sebaiknya tidak dipungut.

Berikutnya, rambu yang ketiga adalah keadilan (fairness). Smith (1998)


menyatakan rambu ini sebagai berikut:
“The subjects of every state ought to contribute towards the support of the
government, as nearly as possible, in proportion to their respective abilities; that is,
in proportion to the revenue which they respectively enjoy under the protection of the

4
state. The expense of government to the individuals of a great nation, is like the
expense of management to the joint tenants of a great estate, who are all obliged to
contribute in proportion to their respective interests in the estate.”

Keadilan dalam hal ini dapat diartikan sebagai keadilan horizontal dan keadilan vertikal.
Keadilan horizontal dimaknai agar setiap warga negara yang memiliki kemampuan
membayar, wajib memenuhi kewajiban pajaknya tanpa memandang agama, suku, ataupun
strata sosial. Sementara keadilan vertikal dimaknai bahwa pajak yang dipungut harus
memperhatikan kemampuan masyarakat, yang berkemampuan rendah dikenai pajak yang
lebih rendah, yang berkemampuan tinggi dikenai pajak yang lebih tinggi. Sebagian ahli
menafsirkan kemampuan masyarakat sebagai pendapatan, sementara yang lain
menafsirkan sebagai konsumsi, dan ada pula yang menafsirkan dengan perkiraan total
pendapatan seumur hidup.

Dalam tataran praktis, keadilan vertikal diejawantahkan dengan pengenaan tarif


progresif dan adanya fasilitas pajak (tax allowance). Selain menciptakan rasa keadilan di
tengah-tengah masyarakat, secara ekonomis implementasi prinsip ini juga berdampak
pada berkurangnya tingkat kesenjangan pendapatan masyarakat.

Prinsip ke-4 yang harus diperhatikan dalam penentuan jenis pajak adalah
kesederhanaan (simplicity), yang diuraikan sebagai berikut:
“The tax which each individual is bound to pay ought to be certain, and not arbitrary.
The time of payment, the manner of payment, the quantity to be paid, ought to be
clear and plain to the contributor, and to every other person.”
“Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to
be convenient for the contributor to pay it.”

Dalam rambu pemajakan ini, yang dimaksud dengan kesederhanaan adalah pajak yang
dipungut haruslah mudah dipungut (sehingga biaya administrasinya rendah) dan mudah
dibayar (sehingga biaya ketaatannya rendah). Prinsip ini diimplementasikan dengan
menciptakan sistem administrasi perpajakan yang mudah dan sederhana. Dampak dari
pelaksanaan prinsip ini adalah tingginya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan peningkatan
penerimaan pajak.

2. Teori Kewenangan Pemungutan Pajak Daerah

Isu utama dalam literatur desentralisasi fiskal adalah pertanyaan tentang


bagaimana sebaiknya pemerintah daerah didanai. Kewenangan perpajakan daerah (tax
assignment) sangat terkait dengan tanggung jawab pengeluaran (expenditure assignment)

5
antar level pemerintahan. Dengan demikian, pemberian tanggung jawab pengeluaran
harus diikuti dengan pemberian kewenangan dalam penerimaan (perpajakan).
Prinsip umum desentralisasi harus mengarahkan pemberian kewenangan
perpajakan antar tingkat pemerintahan. Menurut literatur keuangan negara, pemerintah
daerah idealnya memprioritaskan pemenuhan fungsi alokasi dengan menyediakan
pelayanan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat yang biayanya ditanggung oleh
masyarakat setempat, sehingga dibutuhkan instrumen perpajakan yang bersifat lokal.
Sementara itu, karena tingkat keterbukaan ekonomi daerah, literatur desentralisasi fiskal
mendukung pembatasan peran pemerintah daerah dalam menciptakan stabilisasi ekonomi
dan kebijakan distribusi pendapatan.
Tax assignment dikaitkan dengan otonomi fiskal dapat dibedakan menjadi 3, yaitu
terkait dengan penentuan basis pajak, penetapan tarif, dan administrasi pajak. Untuk
mewujudkan kepentingan keadilan dalam perpajakan dan agar tidak menimbulkan distorsi
yang berlebihan maka penentuan basis pajak biasanya tidak diserahkan kepada daerah.
Demikian juga dengan administrasi perpajakan diatur secara seragam untuk
mempermudah pemungutan pajak dan untuk menekan biaya administrasi pemungutan
pajak, yang inline dengan administrasi perpajakan pusat. Kewenangan dalam menetapkan
tarif pajak diberikan kepada daerah melalui peraturan daerah dengan batasan tarif tertinggi
yang ditetapkan pemerintah pusat dalam undang-undang.
Berkaitan dengan konteks perpajakan Indonesia, Sidik (2007) mengutarakan
bahwa secara luas pajak daerah yang baik harus memenuhi ketiga belas kriteria ini:
a. The tax must be suitable as a regional government tax;
b. The tax must be politically acceptable at national and regional levels;
c. The tax base must not overlap (double taxation);
d. There is wisdom in avoiding very high tax rate;
e. The estimated potential yield of the new revenue source should represent a
substantial additional contribution to the present total of local revenue;
f. The gross costs of collecting the revenue must be acceptably small compared to the
yield of the revenue;
g. The tax must not prejudice national economic policies or is not heavily redistributive;
h. The tax must not seriously change the allocation of economic resources within the
regional government area or between regions, nor disrupt intra-or inter-regional trade;
i. The tax burden must be affordable;
j. The tax must not be regressive;
k. The tax must not unfairly discriminate between particular sections of the
community;
l. Ease of administration; and

6
m. The tax must not deter taxpayers from taking proper action to comply with
environmental conservation needs.
Ketiga belas kriteria pajak daerah yang secara luas telah diterima di Indonesia
tersebut adalah bahwa pajak berada atau timbul secara lokal dalam wilayah pemerintah
daerah tersebut, diterima secara politis pada level nasional dan regional, tidak
tumpang tindih dengan jenis pungutan pajak lain, ada kebijakan untuk
menghindari tarif pajak yang sangat tinggi, estimasi penerimaan pajak memberikan
kontribusi yang berarti bagi penerimaan daerah, total biaya pemungutan lebih rendah
dibandingkan penerimaannya, tidak merugikan kebijakan ekonomi, tidak mengubah
alokasi sumber daya ekonomi dan mengganggu perdagangan dalam atau antar
wilayah, beban pajak terjangkau, tidak harus bersifat regresif, tidak diskriminatif,
administrasi yang mudah, dan pajak tidak menghalangi Wajib Pajak dalam mengambil
tindakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan konservasi lingkungan.

B. Batasan Pajak Pusat-Pajak Daerah


1. Profil Pajak Daerah Berbasis Konsumsi
UU PDRD mengatur 16 jenis pajak daerah, yang dapat dikelompokkan menjadi 5
jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota sesuai kewenangan
pemungutannya, yang terdiri dari:
a. Pajak Provinsi
1) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB);
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB);
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB);
4) Pajak Air Permukaan (PAP); dan
5) Pajak Rokok.
b. Pajak Kab/Kota
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran;
3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Parkir;
5) Pajak Penerangan Jalan (PPJ);
6) Pajak Reklame;
7) Pajak Air Tanah (PAT);
8) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pajak MBLB);
9) Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2);
10) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
11) Pajak Sarang Burung Walet.

7
Sementara itu, dari sisi basis pemajakan, 16 jenis pajak daerah dimaksud dapat
dikelompokkan ke dalam 3 basis perpajakan, yaitu:
a. Property (PKB, BBNKB, PBB-P2, BPHTB)
b. Natural resources (PAP, PAT, Pajak MBLB, Pajak Sarang Burung Walet)
c. Consumption (PBBKB, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Parkir, PPJ, Pajak Reklame).
Di antara jenis-jenis pajak daerah berbasis konsumsi (consumption-based)
dimaksud, yang saat ini menimbulkan dispute persinggungan dengan PPN adalah Pajak
Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Parkir. Ketiga jenis pajak tersebut merupakan kontributor
penerimaan Pajak Daerah yang cukup penting saat ini sebagaimana dapat dilihat pada
tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kontribusi Pajak-pajak Berbasis Konsumsi Yang Bersinggungan Dengan PPN


terhadap PDRD (dalam triliun rupiah)
% Thd Pajak % Thd
NAMA PAJAK 2017 2018 2019
Daerah PDRD
Pajak Hotel 6.48 7.43 8.10 9.02% 8.18%
Pajak Restoran 8.35 10.19 12.25 12.57% 11.39%
Pajak Parkir 1.20 1.28 1.38 1.58% 1.43%
TOTAL 16.03 18.89 21.73 23.18% 21.00%
Sumber: Data Realisasi APBD TA 2017-2019 (diolah)

Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat dilihat dalam kurun waktu 2017 sampai dengan
2019, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Parkir telah memberikan kontribusi rata-rata
sebesar 23,18% dari total penerimaan pajak daerah kabupaten dan kota secara nasional
per tahunnya atau rata-rata sebesar 21% dari penerimaan PDRD kabupaten/kota nasional
pertahun.
Sementara itu dari sisi perkembangan penerimaan (trend), ketiga jenis pajak
daerah berbasis konsumsi (Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Parkir) tersebut mengalami
rata-rata pertumbuhan masing-masing 11,51%, 21,09%, 7,19% sebagaimana ditunjukkan
pada Grafik 1. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) nonmigas secara nasional dalam kurun waktu yang sama (pertumbuhan
rata-rata 12,4% per tahun), hanya Pajak Restoran yang performanya melebihi peningkatan
aktivitas ekonomi di daerah, secara nasional selama kurun waktu 2017-2019.
Pajak-pajak daerah berbasis konsumsi pada hakikatnya merupakan jenis pajak
yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi perputaran barang dan jasa (aktivitas ekonomi)
yang di-proxy dengan PDRB. Dengan kata lain, peningkatan pajak-pajak daerah dimaksud
sangat berhubungan dengan level aktivitas ekonomi di daerah.

8
Grafik 1. Perkembangan Penerimaan Pajak Hotel, Pajak Restoran,
dan Pajak Parkir (dalam triliun rupiah)

1,20

Pajak Parkir 1,28 annual growth = 7,19%

1,38

8,35
annual growth = 21,09%
Pajak Restoran 10,19

12,25
PDRB Nonmigas
6,48 35,00
Growth = 12,48%
annual growth = 11,51%
Pajak Hotel 7,43 30,00

8,10 25,00

20,00
- 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 2017 2018 2019

2017 2018 2019

` Sumber: Data Realisasi APBD TA 2017-2019 (diolah)

2. PPN dan Pajak Restoran Atas Toko Roti (Bakery)


Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 dan angka 23 UU PDRD, Pajak
Restoran adalah pajak yang dikenakan atas penyediaan fasilitas pelayanan makanan
dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan,
kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/ katering. Pada
prinsipnya, dari sisi muatan rumusan peraturan perundang-undangan, pengaturan UU
PDRD ini telah selaras dengan pengaturan non-objek PPN dalam Pasal 4A ayat (2) huruf
c UU PPN, yang berbunyi:
“makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering”

Dengan pengaturan kedua UU tersebut, pada prinsipnya batasan objek Pajak


Restoran dengan objek PPN adalah apakah suatu pengusahaan makanan/minuman
menyediakan pelayanan restoran atau tidak. Dengan batasan dimaksud, penjualan
makanan/minuman pada pengusahaan berbentuk toko, kios, swalayan, atau sejenisnya
merupakan objek PPN sepanjang penjualan makanan/minuman dimaksud tidak
menyediakan pelayanan dan fasilitas penyediaan makanan sebagaimana pelayanan
restoran.
Namun demikian, dalam prakteknya bentuk pengusahaan penjualan
makanan/minuman pada toko (khususnya toko roti) berkembang untuk mengakomodasi

9
kebutuhan dan kenyamanan konsumen, sehingga menyediakan juga fasilitas menyantap
makanan berupa peralatan makan/minum, meja, dan kursi. Bentuk pelayanan hybrid
dimaksud dalam implementasinya menimbulkan dispute Pajak Restoran dan PPN.
Dari sisi Wajib Pajak (WP), terdapat kecenderungan preferensi WP untuk memilih
dikenakan PPN dibandingkan Pajak Restoran, mengingat:
a. Dalam mekanisme PPN terdapat skema pengkreditan Pajak Masukan dari Pajak
Keluaran, sehingga PPN yang dibayarkan pengusaha toko roti dalam proses
penyediaan makanan/minuman (dalam proses produksi dan distribusinya) dapat
dikreditkan (dikurangkan) dari PPN yang dipungut dari konsumen roti (bakery) pada
setiap masa pajak, dengan asumsi pengusaha restoran dimaksud merupakan
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
b. Sementara dengan mekanisme Pajak Restoran, PPN yang dibayarkan pengusaha
dalam proses penyediaan makanan/minuman (dalam proses produksi dan distribusi)
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Restoran yang dipungut dari konsumen.

Hal ini diperkuat dengan terbitnya PMK Nomor 18/PMK.010/2015 tentang Kriteria
Jasa Boga atau Katering yang Termasuk Dalam Jenis Jasa yang Tidak Dikenai Pajak
Pertambahan Nilai, yang pada intinya menegaskan bahwa penjualan makanan/minuman
pada toko, kios, gerai, dan sejenisnya merupakan objek PPN, bukan objek Pajak Restoran.
Oleh karena itu, dalam prakteknya beberapa pengusaha toko roti yang menjual
makanan/minuman dengan menyediakan pelayanan seperti restoran (menyediakan
tempat makan/minum, peralatan makan, dsb) memilih untuk dikenakan PPN dan
mendaftarkan diri menjadi Pengusaha Kena Pajak, serta mengajukan penghapusan
NPWPD Pajak Restoran ke Pemda.
Di lain sisi, perlu kiranya disadari bahwa pemilihan batasan/kriteria pengenaan
Pajak Restoran dan PPN seharusnya tidak didasarkan pada preferensi WP, melainkan
berdasarkan filosofi aktivitas pelayanan restoran sebagaimana diatur dalam UU PDRD.
Mengingat objek Pajak Restoran adalah aktivitas (perbuatan hukum/taatbestand) berupa
penyediaan makanan/minuman, maka pada saat pengusaha toko melakukan perbuatan
hukum pelayanan restoran – terlepas dari bentuk izin usahanya – pada dasarnya telah
memenuhi persyaratan objektif untuk dikenakan Pajak Restoran. Dengan demikian, atas
penjualan makanan/minuman oleh toko bakery, pada hakekatnya dapat menjadi WP Pajak
Hotel atau WP PPN, tergantung pada bentuk aktivitas pelayanan yang dilakukan. Untuk
menerapkan sudut pandang tersebut, sinergi antara Badan Pendapatan Daerah (atau OPD
dengan nama lain yang melakukan pemungutan pajak daerah) dengan Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) setempat perlu ditingkatkan. Pengawasan terhadap bentuk aktivitas

10
(pelayanan) usaha WP perlu dilaksanakan bersama oleh fiskus antar level pemerintahan
(pusat-daerah).
Selain atas toko bakery, terdapat beberapa dispute lain antara PPN dan Pajak
Restoran pada aktivitas penjualan makanan/minuman oleh swalayan yang menyediakan
tempat menyantap dan lounge bandara. Dengan memperhatikan filosofi aktivitas
pelayanan restoran namun tetap menjaga kondusivitas iklim berusaha, diusulkan beberapa
kriteria khusus untuk menilai apakah suatu toko makanan/minuman memenuhi unsur
subjektif dan objektif untuk menjadi WP Pajak Restoran, untuk menjadi bahan
pertimbangan perumusan kebijakan di masa mendatang:
a. toko tersebut kegiatan usaha utamanya menjual makanan/minuman;
b. toko tersebut menyediakan tempat menyantap makanan/minuman dan peralatan
makan/minum; dan
c. pembayaran yang dilakukan konsumen ditujukan untuk pembayaran atas
makanan/minuman dan pelayanan penyajian makanan.
Dengan demikian, khusus untuk pengusahaan penjualan makanan/minuman
berbentuk toko, untuk dapat menjadi WP Pajak Restoran harus memenuhi ketiga kriteria
dimaksud secara kumulatif. Kriteria tersebut akan memisahkan:
a. toko swalayan meskipun menyediakan kursi dan meja bagi pengunjung (misal alfamart,
Circle K, dsb) bukan merupakan WP restoran mengingat kegiatan usahanya bukan
hanya menjual makanan/minuman melainkan juga beragam barang lainnya (tidak
memenuhi kriteria a);
b. lounge bandara yang menyediakan makanan/minuman bukan merupakan WP restoran
mengingat kegiatan usaha utamanya merupakan penyediaan fasilitas menunggu
pesawat, sedangkan penyediaan makan/minum merupakan pelayanan komplementer,
sehingga pembayaran yang dilakukan konsumen tidak ditujukan hanya untuk biaya
makanan/minuman dan penyajian makanan (tidak memenuhi kriteria c).

3. PPN Dan Pajak Hotel Atas Persewaan Ruangan Di Dalam Hotel


Aktivitas penyediaan barang/jasa lainnya yang bersinggungan dengan PPN adalah
pengusahaan jasa perhotelan. Dalam Pasal 1 angka 20 dan 21, dan Pasal 32 ayat (1) UU
PDRD, Pajak Hotel dikenakan atas aktivitas pelayanan yang disediakan oleh Hotel
(termasuk di dalamnya motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan,
rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10)
dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Inline
dengan pengaturan tersebut, Pasal 4A ayat 3 huruf l juga mengecualikan jasa perhotelan
dari objek PPN.

11
Lebih lanjut dalam penjelasan umum UU PDRD alinea ke-10 mengenai penjelasan
perluasan basis pajak dalam UU PDRD, disebutkan bahwa salah satu perluasan objek
Pajak Hotel dalam UU 28 Tahun 2009 yang sebelumnya belum diatur dalam UU 34 Tahun
2000 adalah seluruh persewaan di hotel menjadi objek Pajak Hotel. Berdasarkan
pengaturan tersebut, secara prinsip, penyusun UU 28 Tahun 2009 menyepakati bahwa
seluruh bentuk persewaan ruangan di dalam hotel merupakan objek Pajak Hotel, bukan
PPN.
Namun, merujuk pada Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana terakhir kali diubah menjadi UU Nomor 15
Tahun 2019 dijelaskan bahwa penjelasan umum seharusnya hanya menjelaskan latar
belakang pemikiran, maksud, dan tujuan atas yang telah diatur dalam batang tubuh (bukan
menambah norma baru). Sementara itu, pengaturan pengenaan Pajak Hotel atas seluruh
persewaan di hotel tidak dimuat dalam batang tubuh UU PDRD. Oleh karena itu, dalam
prakteknya amanat dalam penjelasan umum tersebut tidak diterapkan sehingga
persewaan ruangan di hotel masih dipungut PPN oleh Pemerintah Pusat (KPP). Hal ini
diperkuat dengan dibentuknya PMK Nomor 43/PMK.010/2015 tentang Kriteria dan/atau
Rincian Jasa Perhotelan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, yang pada intinya
menegaskan batasan objek Pajak Hotel dan PPN pada jasa perhotelan, yaitu:
a. Jasa akomodasi dan persewaan ruangan pertemuan dikenakan Pajak Hotel;
b. Jasa persewaan ruangan lain selain akomodasi dan ruangan pertemuan dikenakan
PPN.
Sehubungan dengan kondisi pengaturan tersebut, terdapat kelebihan dan
kelemahan pengenaan Pajak Hotel atas persewaan ruangan (selain akomodasi dan
kelengkapannya) di hotel, sebagai berikut:
a. Kelebihan:
1) mewujudkan simplifikasi (asas simplicity) administrasi perpajakan pengusaha
hotel, sehingga pengusaha hotel yang menyediakan jasa akomodasi dan
persewaan ruangan di dalam hotel cukup membayar dan melaporkan 1 jenis pajak
(Pajak Hotel) untuk setiap masa pajak (saat ini masih 2 jenis pajak: Pajak Hotel
untuk jasa akomodasi dan kelengkapannya, PPN untuk persewaan ruangan); dan
2) sifat lokalitas dan pengawasan yang dapat dilakukan Pemda secara terpadu
dengan pengawasan pengusahaan jasa akomodasi di hotel.
b. Kelemahan:
Dapat menimbulkan distorsi perpajakan yaitu suatu kondisi dimana pengaturan
perpajakan menyebabkan masyarakat mendistorsi pilihan ekonomisnya karena
pengaturan dalam perpajakan, misalnya Bank akan lebih memilih untuk menyewa
space ruangan di luar hotel (misalnya mall, supermarket, dsb) daripada di dalam hotel

12
untuk menempatkan mesin atm, karena penyewaan di luar hotel akan dikenakan PPN
(dimana perusahaan perbankan dapat mengkreditkan pajak masukannya), sedangkan
penyewaan di dalam hotel akan dikenakan Pajak Hotel (pengusaha tidak dapat
mengkreditkan pajak masukannya).
Pada dasarnya, distorsi perpajakan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat
dihindarkan khususnya kepada konsumen akhir, namun pengaturan-pengaturan
perpajakan sebaiknya meminimalisir distorsi perpajakan pada level pengusaha non-
konsumen akhir.
Berdasarkan pandangan tersebut, diusulkan beberapa kriteria yang dapat
digunakan untuk memilah objek pajak pusat dan pajak daerah atas penyelenggaraan
usaha perhotelan, yang kiranya dapat menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan
di masa yang akan datang, yaitu:
a. Business to Consumer
Persewaan ruangan yang merupakan konsumsi akhir (dinikmati konsumen akhir)
menjadi objek Pajak Hotel, meliputi jasa akomodasi (yang saat ini telah menjadi objek
Pajak Hotel), dan persewaan ruangan rapat/meeting room/ballroom yang secara
umum digunakan oleh konsumen akhir untuk penyelenggaraan kegiatan.
b. Business to Business
Persewaan ruangan yang dinikmati oleh bisnis (bukan konsumen akhir), seperti
persewaan ruangan untuk kantor, space ruangan mesin atm untuk perbankan, toko
souvenir, dsb merupakan objek PPN untuk menghindari distorsi perpajakan bagi
pengusaha yang menyewa ruangan.

4. PPN dan Pajak Hotel Atas Rumah Kos


Perkembangan trend urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia serta peluang
bisnis pada area kampus/universitas dan perkantoran, mendorong peningkatan usaha
kos-kosan yang saat ini merupakan salah satu bentuk bisnis yang menjanjikan.
Pengenaan Pajak Hotel atas kos-kosan merupakan bentuk hubungan antara masyarakat
dan pemda berupa benefit sharing pengusahaan kos-kosan dari pengusaha kos dalam
bentuk pembayaran pajak daerah, dan di sisi lain sebagai salah satu bentuk pelayanan
pemda untuk menjaga kepentingan umum dan sosial dampak dari pengusahaan kos-
kosan (aspek pengendalian), serta mengingat nature pengusahaan kos yang pada
dasarnya sama dengan pelayanan penyediaan akomodasi yang dikenakan Pajak Hotel.
Ketentuan dalam UU PDRD Pasal 1 angka 21 menjelaskan bahwa definisi hotel
adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan

13
jumlah kamar lebih dari 10. Pertimbangan batasan 10 kamar adalah untuk melindungi
pengusaha kos yang skalanya kecil, sehingga yang dikenakan pajak daerah hanya
pengusaha kos yang telah menerima benefit lebih dari usahanya. Permasalahan yang
timbul dalam praktek pemungutan pajak daerah adalah bagaimana perlakuan perpajakan
atas pengusahaan kos yang kurang dari 10 kamar namun omsetnya relatif besar karena
harga sewa per kamar yang tinggi, yang biasa dijumpai pada kos-kosan mewah pada
daerah-daerah pusat perkotaan. Apabila pengusahaan kos mewah yang kurang dari 10
kamar tidak dikenakan pajak, maka akan menimbulkan unequal treatment perpajakan
antar pengusaha kos.
Di sisi lain, pengusahaan kos-kosan (persewaan kamar kos) bukan merupakan
jasa yang dikecualikan dalam negative list UU PPN dalam Pasal 4A ayat (3), sehingga
pada dasarnya merupakan objek PPN. Namun demikian, meskipun merupakan objek
PPN, untuk dapat dilakukan pemungutan PPN melalui penerbitan faktur pajak,
pengusaha kos harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sementara itu,
pengusaha kos-kosan pada umumnya tidak mencapai kriteria omset 4,8 miliar per tahun
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (kecuali pengusaha memilih untuk
menjadi Pengusaha Kena Pajak dengan alasan tertentu). Oleh karena itu, masih terdapat
loophole pengaturan pengenaan pajak pada pengusahaan kos.
Berangkat dari kondisi-kondisi tersebut, diusulkan agar dalam perumusan
kebijakan pajak daerah ke depan, pengenaan pajak atas rumah kos tidak digabungkan
dengan pajak daerah atas jasa perhotelan, melainkan di-capture melalui pembedaan
dasar pengenaan atau tarif pada property tax (PBB-P2), misalnya bangunan-bangunan
yang bersifat komersil (bangunan usaha, termasuk untuk usaha kos-kosan) dapat
dibedakan tarif atau cara penghitungan dasar pengenaan pajaknya dengan bangunan
residensial (perumahan dan permukiman). Dengan skema tersebut, permasalahan
loophole pengenaan pajak atas pengusahaan rumah kos yang kurang dari 10 kamar
dapat teratasi dan tetap memberikan equal treatment perpajakan bagi setiap pengusaha
kos. Aspek fairness pemajakan rumah kos melalui property tax juga akan terwujud
misalnya dengan perbedaan NJOP antara bangunan kos mewah dan bangunan kos
sederhana, sehingga tetap melindungi pengusaha-pengusaha kos yang dari sisi jumlah
kamar dan omset masih relatif rendah yang berbanding lurus dengan nilai bangunan yang
dihitung sebagai komponen dasar pengenaan PBB-P2. Selain itu, pengenaan property
tax atas persewaan kamar kos juga dapat menghindari potensi timbulnya pengenaan
pajak berganda antara Pajak daerah dengan PPN, karena basis pemajakan PBB dan
PPN berbeda. PBB dikenakan atas properti (nilai properti yang dimiliki/dikuasai),
sementara PPN dikenakan atas basis konsumsi (penyerahan barang/jasa).

14
5. PPN dan Pajak Parkir Atas Valet Parking
Pajak Parkir merupakan salah satu jenis pajak daerah yang dirancang bukan
hanya sebagai instrumen budgetair (sumber penerimaan) melainkan juga regulerend
(pengendalian/pengaturan). Dalam Pasal 1 angka 31, angka 32, dan Pasal 62 ayat (1) UU
PDRD, Pajak Parkir dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Secara paralel
dalam Pasal 4A ayat (3) huruf n UU PPN, jasa penyediaan tempat parkir diatur sebagai
non-objek PPN. Dalam perkembangannya, objek Pajak Parkir tersebut dipertegas kembali
dalam PMK Nomor 122/PMK.03/2012 tentang Kriteria Jasa Penyediaan Tempat Parkir
yang Termasuk dalam Jenis Jasa yang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai, yang pada
intinya menegaskan bahwa:
a. Penyediaan tempat parkir merupakan objek Pajak Parkir (bukan objek PPN); dan
b. Pengelolaan tempat parkir merupakan objek PPN (bukan objek Pajak Parkir).

Perbedaan kedua objek di atas adalah pada alur penyediaan jasa parkir. Jasa
penyediaan tempat parkir yang merupakan objek Pajak Parkir adalah penggunaan tempat
parkir oleh konsumen (pengguna) parkir, sedangkan pengelolaan tempat parkir yang
merupakan objek PPN adalah sebagai berikut:
a. Penyewaan space tempat parkir kepada pengelola tempat parkir.
Contoh: sebuah pusat perbelanjaan (mall) menyewakan space tempat parkir kepada
perusahaan pengelola parkir dengan basis pembayaran tahunan. Maka pembayaran
sewa dari pengelola parkir kepada perusahaan pemilik/pengelola mall merupakan
objek PPN, sedangkan penyelenggaraan parkir dari pengelola parkir kepada
konsumen merupakan objek Pajak Parkir.
b. Jasa pengelolaan tempat parkir oleh pengelola parkir.
Contoh: sebuah pusat grosir (pertokoan) melakukan kontrak kerja sama dengan
pengelola parkir untuk mengelola tempat parkir di dalam pusat pertokoan tersebut.
Atas jasa pengelolaan parkir yang dilaksanakan pengelola parkir dikenakan PPN,
sementara penyediaan tempat parkir dari pengelola parkir kepada konsumen
merupakan objek Pajak Parkir.
Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk penyelenggaraan parkir mengalami
beberapa modifikasi, salah satunya adalah jasa memarkirkan kendaraan (valet parkir).
Menurut cambridge dictionary, definisi parkir valet adalah sebagai berikut:

“valet parking is the service offered by a restaurant, hotel, etc. of putting your car in a parking
space”

15
Sementara menurut laman hukumonline.com, parkir valet adalah suatu bentuk
pelayanan jasa parkir, dengan pelaksanaan parkir dilakukan oleh petugas parkir, sehingga
memberikan kemudahan bagi pengguna jasa parkir. Oleh karena itu, pada hakekatnya
parkir valet merupakan salah satu variasi bentuk penyediaan parkir kepada konsumen
(pengguna) parkir, sehingga memenuhi nature objek Pajak Parkir sebagaimana dijelaskan
sebelumnya.
Pola penyediaan valet parkir dalam skema penyediaan jasa parkir dapat dilihat
pada Bagan 1 di bawah ini. Dari bagan tersebut, dapat dilihat secara jelas pemisahan
domain PPN (pusat) dan domain Pajak Parkir (daerah) atas alur pengusahaan parkir.
Segala bentuk penyelenggaraan tempat parkir kepada konsumen akhir (termasuk valet
dan variasinya) merupakan objek Pajak Parkir.

Bagan 1. Alur Penyediaan Jasa Parkir dan Konsekuensi Perpajakan

Pengelola
Parkir
Bentuk Jasa: Konsumen
Pemilik
Gedung/  Penyediaan (pengguna
lahan parkir tempat parkir)
Penyewa  valet
space parkir
untuk dikelola

Domain PPN Domain Pajak Parkir

Oleh karena itu, diusulkan agar valet parkir menjadi bagian dari perluasan objek
Pajak Parkir dalam perumusan kebijakan pajak daerah ke depan. Selain nature-nya
sebagai penyediaan jasa kepada konsumen akhir (pengguna parkir) sebagaimana
ditunjukkan pada bagan 1, pengaturan tersebut juga akan memudahkan administrasi
pembayaran dan pelaporan perpajakan (simplicity) pengelola parkir, sehingga atas seluruh
pengusahaan jasa parkir dari pengelola parkir kepada konsumen akhir dikenakan 1 jenis
pajak (Pajak Parkir).

16
III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bagian II di atas, dapat
disampaikan beberapa masukan dan simpulan untuk menghindari dispute pengenaan PPN
dan pajak daerah berbasis konsumsi di daerah, yaitu:
1. Pada prinsipnya dispute pemungutan PPN dan pajak daerah terjadi pada tataran
implementasi, mengingat pengaturan kebijakan besar pajak daerah dalam UU PDRD
dan PPN dalam UU PPN saat ini telah harmonis;
2. Namun demikian, untuk memberikan kepastian hukum bagi WP, fiskus pajak pusat
(KPP), dan fiskus pajak daerah (Bapenda/ OPD Pengelola PDRD), diperlukan
penegasan kriteria/batasan pengaturan-pengaturan dalam perumusan kebijakan
pajak daerah dan PPN di masa mendatang;
3. Terkait persinggungan PPN dan Pajak Restoran atas toko roti (bakery) dan bentuk
penjualan makanan/minuman lainnya melalui toko, diusulkan penggunaan 3 kriteria
yang memperhatikan: (a) bentuk kegiatan usaha utama toko; (b) penyediaan fasilitas
tempat makan/minum dan peralatan makan; (c) pembayaran konsumen yang
ditujukan untuk biaya makanan/minuman dan biaya jasa terkait penyediaan
makanan/minuman.
4. Terkait persinggungan PPN dan Pajak Hotel atas persewaan ruangan di hotel,
diusulkan agar dibagi ke dalam 2 kriteria:
a. Business to Business (misalnya persewaan untuk space kantor, atm, toko di dalam
hotel) merupakan objek PPN untuk menghindari distorsi terhadap pengusaha yang
menyewa ruangan di hotel;
b. Business to Consumer (jasa akomodasi dan persewaan ruangan
meeting/ballroom) merupakan objek Pajak Hotel.
5. Terkait persinggungan PPN dan Pajak Hotel atas Kamar Kos, diusulkan agar
dihapuskan baik untuk kos dengan jumlah kamar di bawah 10 kamar maupun 10
kamar ke atas, dan dikompensasi melalui pembedaan pengenaan PBB atas bangunan
residensial dan bangunan komersial (bangunan yang digunakan untuk usaha,
termasuk usaha kos-kosan). Melalui usulan kebijakan ini, dapat dihindari terjadinya
potensi double taxation antara pajak daerah berbasis konsumsi (Pajak Hotel) dengan
PPN.
6. Terkait persinggungan PPN dan Pajak Parkir atas Valet Parking, diusulkan agar parkir
valet menjadi perluasan objek Pajak Parkir, dengan pertimbangan bahwa parkir valet
pada dasarnya hanya merupakan variasi dari bentuk penyelenggaraan parkir kepada
konsumen akhir.
7. Meskipun pada prinsipnya dispute pemungutan pajak pusat-daerah perlu diselesaikan
dengan memperjelas pengaturan-pengaturan pajak daerah dan PPN dalam peraturan

17
perundang-undangan di masa mendatang, salah satu aspek yang krusial untuk
melengkapi perbaikan implementasi pemungutan pajak pusat-pajak daerah di daerah
adalah sinergi antar level pemerintahan. Sinergi yang baik antara fiskus pajak pusat
dan fiskus pajak daerah harus menjadi wajah perpajakan Indonesia yang selaras dan
mendukung kepastian serta kemudahan berusaha bagi WP dan dunia usaha.

Menyetujui,

Ditandatangani secara elektronik


(Nugroho Iman Santosa)

18

Anda mungkin juga menyukai