Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AKUNTANSI PERPAJAKAN

KONSEP DASAR PAJAK PENGHASILAN DI


INDONESIA

DISUSUN OLEH
UMMUL KHAERIAN
201730063

KELAS E (AKUNTANSI)
MATA KULIAH : BAHASA INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS STIEM BONGAYA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas karunia, hidayah dan nikmatnya penulis
dapat menyelesaikan Makalah Akuntansi Perpajakan yang berjudul Konsep Dasar Pajak
Penghasilan di Indonesia. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen mata kuliah Bahasa Indonesia Ibu Vivit Angraeni.
Makalah ini bersumber dari buku yang berkaitan tentang Akuntansi Perpajakan, tak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Akuntansi Perpajakan atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini serta kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai sistem pemungutan pajak di
Indonesia. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya.
Aamiin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB  I   PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2     Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3     Tujuan.......................................................................................................... 2

BAB  II PEMBAHASAN
2.1     Sistematika Undang-Undang PPh............................................................... 3
2.2     Jiwa Landasan Utama Pajak Penghasilan................................................... 4
2.3     Subjek Pajak................................................................................................ 5

BAB  III PENUTUP


3.1.   Kesimpulan.................................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh 25 adalah
pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya.
Pajak penghasilan bisa diberlakukanprogresif, proporsional, atau regresif. PPh akan selalu
dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan.
Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak.
Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran(cash disbursment) tanpa adanya imbalan
langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya
untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkan.
Pada hakekatnya perpajakan di Indonesia di tetapkan berdasarkan undang-undang, hal ini
merupakan pencerminan bagian dari pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983,
kemudian mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai Undang-Undang Nomor 7 & Tahun
1991, Undang-Undang Nomor 10 & Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 & Tahun 2000,
dan terakhir Undang-Undang Nomor 36 & Tahun 2008.
Dalam undang-undang tersebut terdapat sistematika Undang-undang Pajak Penghasilan
yang memuat mengenai ketentuan-ketentuan dari pajak penghasilan tersebut. Terdapat pula jiwa
dan landasan utama pajak penghasilan dalam Bab I Pasal 1 UU PPh tentang ketentuan umum
menyatakan bahwa 'Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Wajib Pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

1.2.       Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan berbagai permasalahan yaitu:
1.        Bagaimana sistematika undang-undang pajak penghasilan di Indonesia?
2.        Apa yang menjadi jiwa landasan utama undang-undang pajak penghasilan?
3.        Apa saja yang termasuk dalam subjek pajak?
1.3.       Tujuan
Dengan adanya rumusan masalah tersebut, penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.        Menguraikan sistematika undang-undang pajak penghasilan di Indonesia.
2.        Menjelaskan jiwa dan landasan utama dalam pajak penghasilan.
3.        Menguraikan mengenai subjek pajak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Sistematika Undang-Undang Pajak Penghasilan


Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh 25 adalah
pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum
lainnya. Supaya pajak yang dipungut (pemajakan) oleh Negara dari rakyat tidak disamakan
dengan perampokan dan supaya pelaksanaan pemajakan tidak menimbulkan kesewenang-
wenangan, maka semua hal yang berkaitan dengan pemajakan harus diatur dengan undang-
undang pajak (Pasal 23 ayat 2 UUD 1945). Berkaitan dengan Pajak Penghasilan (singkat
resminya adalah PPh), segala sesuatu yang berkaitan dengan pemajakan PPh juga harus diatur
dengan undang-undang. Di Indonesia undang-undang yang mengatur pemajakan PPh disebut
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini
adalah:
1.        Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.        Undang-Undang No. 9 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang ini hanya mengubah satu dua pasal dan ayat
dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3.        Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 9 Tahun
1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.Undang-undang ini mengubah cukup banyak pasal dan ayat Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1991.
4.        Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan  Undang-Undang No
9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Undang-Undang ini mengubah sekitar 23 pasal dan ayat dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah dua kali diubah tersebut.
Dalam praktek, demi kepraktisan, keempat Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
tersebut disatukan dalam satu naskah yang disebut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 17 Tahun 2000.

2.2.            Jiwa Landasan Utama Pajak Penghasilan


Bab I Pasal 1 UU PPh tentang ketentuan umum menyatakan bahwa 'Pajak Penghasilan
dikenakan terhadap Wajib Pajak atas penghasilan yang dityerima atau diperolehnya dalam tahun
pajak. Ketentuan umum tersebut merupakan ketentuan yang menjadi dasar dan yang menjiwai
ketentuan pada pasal-pasal berikutnya.
Konsep penting yang terdapat dalam ketentuan umum Pasal 1 tersebut:
1.        Konsep 'Subjek Pajak' termasuk konsep 'Wajib Pajak',
2.        Konsep 'penghasilan yang diterima atau diperoleh' sebagai Objek Pajak,
3.        Konsep 'dikenakan', dan
4.        Konsep 'dalam tahun pajak'.
Konsep pertama, yaitu konsep Subjek Pajak dan Wajib Pajak dijabarkan dalam Bab II
UU PPh. Konsep 'penghasilan yang dirterima atau diperoleh' sebagai Objek Pajak dijabarkan
dalam Bab III. Sedangkan konsep 'dikenakan' dan Konsep 'dalam tahun pajak' dijabarkan pada
Bab IV sampai Bab VI.
Jiwa dari ketentuan Pasal I menyatakan bahwa Pajak Penghasilan termasuk dalam
kelompok pajak langsung, yaitu jenis pajak yang pengenaannya dilakukan secara periodik dan
secara yuridis beban pajaknya tidak boleh dialihkan kepada pihak lain selain pihak yang telah
ditentukan dalam UU PPh. Penggunaan frasa 'dalam tahun pajak' dalam ketentuan Pasal 1
tersebut menunjukkan bahwa PPh dikenakan secara periodik setahun sekali, tidak secara
insidentil setiap kali terjadinya peristiwa penerimaan penghasilan.
Jiwa dari ketentuan Pasal 1 juga menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan termasuk dalam
kelompok pajak subjektif, yaitu jenis pajak yang terlebih dahulu menekankan Subjek Pajak baru
kemusian Objek Pajak. Perhatian cara perumusannya: 'Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh...'. Perumusannya tidak berbunyi:
'Pajak Penghasilan dikenakan atas  penghasilan yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak...'.
Makna dari perumusan ini adalah bahwa- dalam menentukan peristiwa atau transaksi atau kasus
yang dikenai atau tidak dikenai PPh dan jika dikenai PPh berapa besar PPh itu- yang lebih
dahulu dianalisi adalah Subjek Pajak PPh baru kemudian Objek Pajak PPh. Karena itu, dalam
membahas PPh, terlebih dahulu dibahas adalah Subjek Pajak PPh baru diikuti Objek Pajak PPH,
dan penghitungan besarnya PPh

2.3.            Subjek Pajak Penghasilan


Subjek Pajak Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Undang-
undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Subjek
Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.
Subjek Pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jika Subjek Pajak telah memenuhi
kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka disebut Wajib Pajak. Pasal 1 UU No. 16
Tahun 2000 tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak tertentu.
Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No. 36 Tahun 20 08, Subjek Pajak dikelompokkan
sebagai berikut:
1.        Subjek Pajak orang pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun
diluar Indonesia.
2.        Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi
sebagai Subjek Pajak Pengganti dimaksudkan agar penggenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
3.        Subjek Pajak Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
4.        Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a.         Tempat kedudukan manajemen;
b.         Cabang perusahaan;
c.         Kantor perwakilan;
d.         Gedung kantor;
e.         Pabrik;
f.          Bengkel;
g.         Gudang;
h.         Ruang untuk promosi dan penjualan;
i.           Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j.           Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k.         Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l.           Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m.       Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n.         Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o.         Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia;
p.         Komputer, agenelektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

A.      Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri


Subjek pajak penghasilan juga dikelompokkan menjadi Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri. Pengelompokkan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 36
Tahun 2008.
1.    Subjek pajak dalam negeri, adalah:
a.              Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b.             Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1)        Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2)        Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3)        Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan funsional negara;

2.    Subjek Pajak Luar Negeri, adalah;


a.              Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia;
b.             Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

B.       Kewajiban Pajak Subjektif


Kewajiban Pajak Subjektif berarti bahwa kewajiban pajak yang melekat pada subjeknya
dan tidak dapat dilimpahkan pada orang atau pihak lain. Pada umumnya setiap orang yang
bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif. Sedangkan untuk orang
yang bertempat tinggal diluar Indonesia kewajiban pajak subjektifnya ada kalau mempunyai
hubungan ekonomi dengan Indonesia.
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif untuk setiap Subjek Pajak
diuraikan dalam tabel berikut ini.

Jenis Subjek Pajak Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban Pajak Subjektif


Dimulai Berakhir
Dalam Negeri ·  Saat dilahirkan · Saat meninggal
Orang Pribadi ·  Saat berada di Indonesia ·   Saat meninggal Indonesia
atau berniat di Indonesia untuk selama-lamanya
Dalam Negeri ·   Saat didirikan atau ·  Saat dibubarkan atau tidak
Badan bertempat kedudukan di lagi bertempat kedudukan
Indonesia di Indonesia
Luar Negeri Tidak ·   Saat menerima atau ·  Saat tidak lagi menerima
Melalui BUT memperoleh penghasilan atau memperoleh
dari Indonesia penghasilan dari Indonesia
Warisan Belum ·  Saat timbulnya warisan yang ·  Saat warisan selesai
Terbagi belum terbagi dibagikan

Apabila kewajiban pajak subjekif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada
di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut
menggantikan tahun pajak.
C.      Tidak Termasuk Subjek Pajak
Yang tidak termasuk Subjek Pajak berdasarkan Pasal 2 UU No. 36 Tahun 2008 adalah:
1.    Kantor perwakilan negara asing;
2.    Penjabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
bersangkutan memberikan perlakuab timbal balik;
3.    Organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4.    Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada nomor 3,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

D.      Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri


Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar
negeri baik orang pribasi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajin Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
1.    Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya
atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2.    Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif
pajak sepadan;
3.    Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat
final.
4.    Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini dan undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
BAB III
PENUTUP

3.1.            Kesimpulan
Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh 25 adalah
pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum
lainnya. Berkaitan dengan Pajak Penghasilan (singkat resminya adalah PPh), segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemajakan PPh juga harus diatur dengan undang-undang. Di Indonesia
undang-undang yang mengatur pemajakan PPh disebut Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Undang-undang yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan diatur dalam UU No
17 Tahun 2000 yang terdiri dan 9 bab dan 40 pasal.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pajak penghasilan, ada yang disebut dengan subjek
pajak penghasilan yaitu segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan
dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Subjek Pajak akan dikenakan Pajak
Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Jika Subjek Pajak telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif
maupun subjektif maka disebut Wajib Pajak.

Anda mungkin juga menyukai