Hingga saat ini masih banyak persilangan pendapat para ahli baik praktisi maupun
akademisi mengenai definisi dan perbedaan ranah antara employee relation dan industrial
relation. Sebagian berpendapat bahwa terdapat perbedaan yang substantif dan baku dalam
cara penggunaan, dan sebagian berpendapat bahwa tidak ada perbedaan dalam konteks kasus
yang ditangani oleh kedua konsep tersebut. Secara sederhana Marchington dan Wilkinson
mengatakan bahwa:
Employee relations is a study of the rules, regulations and agreements by which employees are
managed both as individuals and as a collective group, the priority given to the individual as opposed
to the collective relationship varying from company to company depending upon the values of
management. As such it is concerned with how to gain people’s commitment to the achievement of an
organisation’s business goals and objectives in a number of different situations (dalam Leat, 2011, hal.
13).
Dari pengertian yang dijabarkan Marchington dan Wilkinson diatas dapat digaris
bawahi bahwa yang menjadi fokus utama pada employee relation adalah cara untuk
meningkatkan komitmen antar individu maupun kelompok-kelompok dalam perusahaan
untuk mencapai tujuan bisnis. Kelompok-kelompok yang dimaksudkan adalah serikat
perkerja yang biasa dikenal dalam terminologi industrial relation. Sehingga cakupan
employee relation lebih luas dibandingkan industrial relation.
Blyton dan Turnbull (1994, hal. 7–9), juga menjelaskan perbedaan antara terminologi
industrial dan employee. Menurutnya ada perbedaan yang mendasar pada subjek dalam dua
terminologi tersebut. Adapun perbedaan yang dimaksud seperti tabel dibawah ini.
Aspek Industrial Relation Employee Relation
Subjek yang Serikat pekerja, Perundingan Setiap individu, kelompok,
dibahas bersama (collective bergaining), kumpulan kelompok dalam
Kegiatan industri. perusahaan.
Cara pandang Cara pandang pekerja. Cara pandang manajerial.
Industri Industri berat yang mayoritas Industri yang sudah lebih maju,
pekerja pria seperti manufaktur memiliki komposisi pekerja
dan tambang. wanita, magang, dan part time.
Tabel 1 : Perbedaan employee relation dan industrial relation menurut Blyton dan Turnbull
(hasil olahan penulis)
Sistem dalam ranah industrial relation lebih kearah mekanik yang terstruktur. Dunlop
(dalam Nzioki, 2013, hal. 17) menjelaskan bahwa sistem industrial relation yaitu terdiri
inputs, transformation, outputs. Sistem ini merupakan sebuah sub-sistem yang dinamai
sebagai sub-system of society, yang tidak tergabung dari sistem ekonomi yang lebih besar.
Gambar 1 : Sistem Industrial Relation menurut dunlop (dalam Nzioki, 2013, hal. 17)
A. Perundingan Bipatrit
Perundingan bipatrit adalah perundingan tahap pertama ketika terjadinya
perselisihan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha. Esensi dari perundingan
bipatrit adalah agar terciptanya suatu produk industrial relation yang disepakati bersama
baik pihak pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha yang dicapai dengan cara
musyawarah dan mufakat dalam konteks kekeluargaan. Setiap perundingan bipatrit yang
akan dilaksanakan harus memperhatikan beberapa hal berikut :
Dihadiri oleh perwakilan pekerja/serikat pekerja dan perwakilan pengusaha.
Membuat berita acara/risalah bipatrit
Para peserta wajib menandatangani berita acara/risalah bipatrit
Jika sudah mencapai kata sepakat, maka harus dibuat perjanjian bersama yang
bersifat mengikat keduabelah pihak dengan membubuhi tanda tangan
perwakilan masing-masing pihak.
Salinan perjanjian bersama didaftarkan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pelaksanaan bipatrit.
B. Lembaga Tripatrit
Lembaga tripartit merupakan lembaga kerja sama yang anggota‐anggotanya
terdiri dari unsur pemerintahan, serikat pekerja dan pengusaha untuk saling bertukar
informasi, berdialog, berkomunikasi, berunding dan mengambil kesepakatan bersama.
Lembaga tripartit sebagai wadah komunikasi, konsultasi dengan tugas utama
menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah industrial
relation, diharapkan mampu merumuskan suatu produk industrial relation yang
mengikat untuk mengatasi perselisihan baik dimasa sekarang maupun yang akan datang.
Hal yang membedakan lembaga tripatrit dengan perundingan bipatrit adalah
adanya pihak ketiga yaitu pejabat pemerintah yang berwenang di daerah setempat.
Pejabat pemerintah yang dimaksudkan adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Kehadiran pejabat pemerintah merupakan untuk menjalankan fungsi
sebagai mediator, sehingga harus menjadi penengah diantara persilangan pendapat dari
pihak serikat pekerja dan pengusaha.
Selaku mediator, maka pihak pejabat pemerintah tidak memiliki kewenangan
untuk memutuskan suatu permasalahan hubungan industrial. Mediator hanya akan
mengeluarkan anjuran tertulis yang dikeluarkan dalam kurun waktu 10 hari kerja dari
pertemuan mediasi pertama diliakukan. Anjuran tertulis dari mediator tersebut boleh
diterima maupun ditolak oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini adalah serikat pekerja
dan pengusaha. Jika salah satu pihak atau keduanya menolak anjuran tersebut, maka
permasalahan tersebut akan dilimpahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Outputs pada sistem industrial relation merupakan sebuah peraturan baik dalam ranah
prosedural maupun substantif yang bersifat mengikat. Peraturan ranah substantif merupakan
peraturan yang mengatur inti dari permasalahan. Peraturan ranah substantif bisa berupa,
besaran upah, besaran upah lembur, waktu jam kerja, besaran pesangon, dan sebagainya.
Sedangkan peraturan dalam ranah prosedural adalah peraturan yang menjelaskan bagaimana
cara peraturan substantif harus dilaksanakan.
Setelah membahas sistem industrial relation maka jelas terlihat bahwa dalam ranah
tersebut bahwa sistem tersebut sangatlah rigid. Masalah-masalah dan konflik dalam sistem
industrial relation dilihat sebagai suatu masalah yang besar dan harus diselesaikan dengan
cara-cara terstruktur. Sedangakan dalam employee relation Leat (2011, hal. 11) menyatakan
bahwa konflik terjadi dengan tanda-tanda individual yang awalnya dianggap tidak terlalu
penting. Tanda-tanda tersebut seperti tingkat stres pekerja, absensi, penurunan peforma kerja,
ketidak nyamanan pekerja terhadap lingkungan, dan juga tingkat trunover pekerja.
Employee relation menekankan bahwa konflik dapat diredam dengan adanya satu
ikatan diantara pekerja dan pengusaha. Ikatan tersebut bisa berupa kepentingan bersama,
tujuan bersama, nilai dan norma, kesatuan dan keharmonisan. Sehingga para praktisi
employee relation sangat menjaga ikatan-ikatan tersebut. Sering kali ikatan tersebut dikaitkan
dengan jargon-jargon yang dibuat oleh manajemen untuk menanamkan ikatan tersebut
seperti, ‘kita satu keluarga’, ‘kita adalah tim’, ‘perusahaan ini adalah milik kita bersama’.
Perspektif seperti ini disebut dengan perspektif unitarism
Cradden (2011, hal. 9) mengatakan bawa ada beberapa ciri kaum unitarism seperti,
tidak adanya standar yang permanen terkait kriteria pekerja, karena semua bisa berubah
seiring tuntutan pekerjaan. Selanjutnya, sangat mengedepankan keterbukaan pendapat yang
dapat diimplementasikan dalam diskusi terbuka dan dialog. Selain itu, peraturan dan
kebijakan perusahaan juga tidak terlalu membatasi pekerja karena lebih banyak berisikan hal-
hal yang subtantif, dibandingkan prosedural.
Bagi praktisi unitarism, konflik merupakan hal yang tidak penting dan dapat
dihindari. Konflik dipandang oleh kaum unitarisme sebagai seseuatu yang irrational dan
merupakan ‘hama’ yang seharusnya tidak terjadi. Jika terjadi konflik, maka hal itu bukanlah
karena benturan kepentingan atau kesalahan pada sistem perusahaan. Koflik terjadi karena
buruknya sistem komunikasi yang ada pada perusahaan tersebut.
Buruknya sistem komunikasi terjadi karena terlalu panjangnya dan kakunya birokrasi
perusahaan. Sehingga, manajemen perusahaan meyakini bahwa tidak perlu adanya serikat
pekerja. Hal ini dikarenakan pihak manajemen perusahaan penganut unitarisme meyakini jika
ada pekerja yang merasakan masalah, dapat langsung berdialog dengan manajemen sehingga
pesan yang disampaikan lebih tersampaikan tanpa adanya lack of messege dalam komunikasi.
Gagasan mengenai kontak psikologis antara pekerja dan pengusaha pertama kali
dikeluarkan oleh Schein pada tahun 1998. Schein mengasumsikan beberapa hal terkait
kontrak psikologis ini;
Melalui asumsi tersebut Schein menjelaskan bahwa hubungan antara pekerja dan
pengusaha akan terjalin dengan mekanisme return and stastification. Dengan kata lain,
pekerja akan memberikan loyalitas, kinerja yang baik, dan efisiensi kepada pengusaha
tergantung dari tingkat kepuasan atas pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dari pengusaha.
Gennard dan Judge (2002), menambahkan pemenuhan kebutuhan pekerja yang dimaksudkan
bukan hanya kebutuhan primer. Namun, ada kebutuhan-kebutuhan lain diluar compentation
and benefits yang semakin meningkatkan loyalitas pekerja seperti;
Keamanan lingkungan kerja.
Keterbukaan dalam bersosialisasi dan atmosfir saat bekerja.
Kemungkinan untuk promosi.
Kejelasan jenjang karir.
Pelatihan dan pengembangan pekerja.
Pekerja diperlakukan sebagai manusia, bukan komoditas.
Work-life balance, serta
Keadilan dan konsistensi.
Fleksibilitas tugas
Standar minimum kompetensi
Keinginan pekerja untuk berubah
Kemampuan bekerja sebagai tim
Komitmen dalam menggapai tujuan perusahaan
Kemampuan insisatif dan melakukan inovasi
Kesimpulan
Employee Relation dan Industrial relation adalah dua hal yang berbeda namun tidak dapat
dipisahkan. Dalam suatu perusahaan tentunya akan ada benturan kepentingan, sehingga dibutuhkan
cara-cara untuk menanganinya. Kedua konsep tersebut dapat dipadupadankan dalam melihat
konflik. Apakah pengusaha melihat konflik sebagai sesuatu yang harus diredam seperti pada konsep
employee relation ataukah harus diselesaikan secara struktural seperti konsep industrial relation. Hal
yang terpenting adalah bagaimana agar tercapai solusi terbaik bagi kedua belah pihak.
Daftar Pustaka
Blyton, P. dan Turnbull, P. (2004). The Dynamics of Employee Relations. (3rd edn).
Basingstoke: Macmillan.
Cradden, C. (2011). UNITARISM, PLURALISM, RADICALISM... AND THE REST ? Why the
frames of reference approach is still relevant to the study of industrial relations, but
why we need nine frames rather than just three. Genève : Université de Genève
Oregon State University. (2009). Employee and Labor Relations. Oregon : OSU