Anda di halaman 1dari 7

Empoyee Relation & Industrial Relation

(Konsep Hubungan Ketenagakerjaan di Indonesia)

Terminologi employee relation di Indonesia masih sangat jarang digunakan, dimana


hingga saat ini pengusaha dan pekerja masih lebih dekat dengan istilah industrial relation.
Keduanya adalah cara bagaimana perusahaan dan pekerja menghadapi masalah-masalah yang
dihadapi terkait benturan-benturan kepentingan antara keduabelah pihak. Hal yang
membedakan keduanya terletak pada bagaimana cara yang diambil untuk menghadapi
masalah. Untuk itu, kali ini penulis akan menyajikan perbandingan antara employee relation
dan industrial relation dalam menemukan solusi yang terbaik dalam memecahkan masalah
yang muncul antara pengusaha dan pekerja.

1. Employee Relation vs Industrial Relation

Hingga saat ini masih banyak persilangan pendapat para ahli baik praktisi maupun
akademisi mengenai definisi dan perbedaan ranah antara employee relation dan industrial
relation. Sebagian berpendapat bahwa terdapat perbedaan yang substantif dan baku dalam
cara penggunaan, dan sebagian berpendapat bahwa tidak ada perbedaan dalam konteks kasus
yang ditangani oleh kedua konsep tersebut. Secara sederhana Marchington dan Wilkinson
mengatakan bahwa:

Employee relations is a study of the rules, regulations and agreements by which employees are
managed both as individuals and as a collective group, the priority given to the individual as opposed
to the collective relationship varying from company to company depending upon the values of
management. As such it is concerned with how to gain people’s commitment to the achievement of an
organisation’s business goals and objectives in a number of different situations (dalam Leat, 2011, hal.
13).

Dari pengertian yang dijabarkan Marchington dan Wilkinson diatas dapat digaris
bawahi bahwa yang menjadi fokus utama pada employee relation adalah cara untuk
meningkatkan komitmen antar individu maupun kelompok-kelompok dalam perusahaan
untuk mencapai tujuan bisnis. Kelompok-kelompok yang dimaksudkan adalah serikat
perkerja yang biasa dikenal dalam terminologi industrial relation. Sehingga cakupan
employee relation lebih luas dibandingkan industrial relation.

Blyton dan Turnbull (1994, hal. 7–9), juga menjelaskan perbedaan antara terminologi
industrial dan employee. Menurutnya ada perbedaan yang mendasar pada subjek dalam dua
terminologi tersebut. Adapun perbedaan yang dimaksud seperti tabel dibawah ini.
Aspek Industrial Relation Employee Relation
Subjek yang Serikat pekerja, Perundingan Setiap individu, kelompok,
dibahas bersama (collective bergaining), kumpulan kelompok dalam
Kegiatan industri. perusahaan.
Cara pandang Cara pandang pekerja. Cara pandang manajerial.
Industri Industri berat yang mayoritas Industri yang sudah lebih maju,
pekerja pria seperti manufaktur memiliki komposisi pekerja
dan tambang. wanita, magang, dan part time.
Tabel 1 : Perbedaan employee relation dan industrial relation menurut Blyton dan Turnbull
(hasil olahan penulis)

2. Sistem Industrial Relation

Sistem dalam ranah industrial relation lebih kearah mekanik yang terstruktur. Dunlop
(dalam Nzioki, 2013, hal. 17) menjelaskan bahwa sistem industrial relation yaitu terdiri
inputs, transformation, outputs. Sistem ini merupakan sebuah sub-sistem yang dinamai
sebagai sub-system of society, yang tidak tergabung dari sistem ekonomi yang lebih besar.

Gambar 1 : Sistem Industrial Relation menurut dunlop (dalam Nzioki, 2013, hal. 17)

Inputs merupakan elemen-elemen yang akan mempengaruhi produk industrial


relation. Elemen-elemen tersebut terbagi menjadi tiga yaitu; Aktor, Konteks lingkungan, dan
Ideologi. Ketiga elemen ini akan saling mempengaruhi dan terlibat secara langsung dalam
tahapan sistem industrial relation.

A. Aktor merupakan subjek pemangku kepentingan dalam hal ini adalah;


 Pekerja, dalam hal ini adalah yang berada pada level non-manajerial, dan
perwakilan pekerja yang mana jika di Indonesia biasa diwakili oleh serikat
pekerja/serikat buruh.
 Manajerial atas atau perwakilannya, yang biasanya diwakili oleh bagian
human resource yang bertugas menjembatani keinginan manajerial atas dan
pekerja.
 Pihak ketiga, merupakan pihak diluar perusahaan yang memiliki kepentingan
dengan sistem industrial relation seperti, pemerintahan, organisasi pekerja
yang lebih luas, Lembaga Swadaya Masyarakat, Media Massa.
B. Konteks lingkungan merupakan kondisi lingkungan tempat para aktor beraktivitas,
dalam hal ini adalah;
 Teknologi. Teknologi berperan sangat signifikan bagi para aktor dalam
memberikan masukan untuk produk industrial relation. Hal ini karena
teknologi yang dipakai akan menjadi pertimbangan atas bagaimana sistem
kerja, target pencapaian, dan kemampuan untuk orang-orang yang memakai
teknologi tersebut. Semakin tinggi tingkat teknologi yang digunakan maka
sistem kerja akan lebih cepat, target pencapaian akan semakin tinggi, dan
syarat yang dibutuhkan untuk pengguna teknologi tersebut.
 Pasar dan Anggaran. Pasar suatu produk dan anggaran perusahaan dalam
menggembangkan produknya akan menjadi landasan keputusan-keputusan
manajerial yang diambil. Oleh karena itu dua hal ini menjadi satu kesatuan
dalam mempengaruhi hasil dari produk industrial relation
 ‘Kekuatan’ di masyarakat yang lebih luas. Kekuatan yang dimaksud disini
adalah kekuatan yang mampu menggerakan sistem. Hal ini seperti kekuatan
finansial pemodal, kekuatan politik, atau pun kekuatan menggerakan massa.
C. Ideologi. Ideologi yang dimaksud oleh Dunlop adalah segala nilai, cara pandang,
kepercayaan, ide, yang disepakati bersama yang sehingga memiliki ikatan yang kuat
diantara orang-orang yang memegang ideologi tersebut. Tanda sebuah sistem
industrial relation di suatu perusahaan telah matang jika ideologi telah seragam dan
dipegang oleh aktor-aktor utama dalam sistem tersebut. Selanjutnya ideologi tersebut
telah mampu untuk memperjuangkan tujuan dan ide-ide bersama perusahaan dan
pekerja.

Transformation merupakan istilah yang dipakai untuk menyebutkan proses perubahan


inputs menjadi outputs pada sistem industrial relation. Proses transformation yang paling
umum digunakan di dunia adalah perundingan bersama (collective bargaining). Namun, di
Indonesia sendiri terdapat beberapa proses mendapatkan outputs ini sudah diatur dalam UU
No 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial. Proses transformation tersebut
diantaranya adalah perundingan bipatrit, mediasi tripatrit, Arbitrase, dan keputusan
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

A. Perundingan Bipatrit
Perundingan bipatrit adalah perundingan tahap pertama ketika terjadinya
perselisihan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha. Esensi dari perundingan
bipatrit adalah agar terciptanya suatu produk industrial relation yang disepakati bersama
baik pihak pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha yang dicapai dengan cara
musyawarah dan mufakat dalam konteks kekeluargaan. Setiap perundingan bipatrit yang
akan dilaksanakan harus memperhatikan beberapa hal berikut :
 Dihadiri oleh perwakilan pekerja/serikat pekerja dan perwakilan pengusaha.
 Membuat berita acara/risalah bipatrit
 Para peserta wajib menandatangani berita acara/risalah bipatrit
 Jika sudah mencapai kata sepakat, maka harus dibuat perjanjian bersama yang
bersifat mengikat keduabelah pihak dengan membubuhi tanda tangan
perwakilan masing-masing pihak.
 Salinan perjanjian bersama didaftarkan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pelaksanaan bipatrit.

Jangka waktu pelaksanaan perundingan bipatrit maskimal dilakukan selama 30


hari. Artinya, jika dalam kurun waktu 30 hari tidak ada kesepakatan antara pekerja dan
pengusaha, maka perundingan ini dianggap batal dan berhak masuk ke tahapan
selanjutnya yaitu lmbaga tripatrit.

B. Lembaga Tripatrit
Lembaga tripartit merupakan lembaga kerja sama yang anggota‐anggotanya
terdiri dari unsur pemerintahan, serikat pekerja dan pengusaha untuk saling bertukar
informasi, berdialog, berkomunikasi, berunding dan mengambil kesepakatan bersama.
Lembaga tripartit sebagai wadah komunikasi, konsultasi dengan tugas utama
menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah industrial
relation, diharapkan mampu merumuskan suatu produk industrial relation yang
mengikat untuk mengatasi perselisihan baik dimasa sekarang maupun yang akan datang.
Hal yang membedakan lembaga tripatrit dengan perundingan bipatrit adalah
adanya pihak ketiga yaitu pejabat pemerintah yang berwenang di daerah setempat.
Pejabat pemerintah yang dimaksudkan adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Kehadiran pejabat pemerintah merupakan untuk menjalankan fungsi
sebagai mediator, sehingga harus menjadi penengah diantara persilangan pendapat dari
pihak serikat pekerja dan pengusaha.
Selaku mediator, maka pihak pejabat pemerintah tidak memiliki kewenangan
untuk memutuskan suatu permasalahan hubungan industrial. Mediator hanya akan
mengeluarkan anjuran tertulis yang dikeluarkan dalam kurun waktu 10 hari kerja dari
pertemuan mediasi pertama diliakukan. Anjuran tertulis dari mediator tersebut boleh
diterima maupun ditolak oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini adalah serikat pekerja
dan pengusaha. Jika salah satu pihak atau keduanya menolak anjuran tersebut, maka
permasalahan tersebut akan dilimpahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

C. Keputusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)


Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah pengadilan khusus yang dibentuk
di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Pengadilan hubungan Industrial
memiliki area untuk menyelesaikan permasalahan hak, benturan kepentingan, dan
perselisihan lainnya baik antara serikat pekerja dengan pengusaha maupun permasalahan
yang muncul antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Pengadilan Hubungan Industrial akan mengeluarkan produk industrial relation
berbentuk keputusan yang mengikat berisikan hak dan kewajiban pihak-pihak yang
berselisih. Keputusan ini dikeluarkan oleh PHI selambat-lambatnya 50 hari kerja setelah
sidang pertama dilaksanakan. Jika masih ada pihak yang menolak putusan hakim PHI,
maka selanjutnya akan diberikan ke ranah pengadilan yang lebih tinggi dengan urutan
sesuai dengan tata peradilan di Indonesia.

Ke tiga tahapan diatas merupakan jenis-jenis transformation yang ada di sistem


industrial relation di Indonesia. Inti dari semua proses tersebut adalah untuk membuat
outputs yang diharapkan membawa kebaikan bagi semua aktor-aktor pada sistem industrial
relation.

Outputs pada sistem industrial relation merupakan sebuah peraturan baik dalam ranah
prosedural maupun substantif yang bersifat mengikat. Peraturan ranah substantif merupakan
peraturan yang mengatur inti dari permasalahan. Peraturan ranah substantif bisa berupa,
besaran upah, besaran upah lembur, waktu jam kerja, besaran pesangon, dan sebagainya.
Sedangkan peraturan dalam ranah prosedural adalah peraturan yang menjelaskan bagaimana
cara peraturan substantif harus dilaksanakan.

D. Konflik dan Penyelesaiannya dalam Employee Relation

Setelah membahas sistem industrial relation maka jelas terlihat bahwa dalam ranah
tersebut bahwa sistem tersebut sangatlah rigid. Masalah-masalah dan konflik dalam sistem
industrial relation dilihat sebagai suatu masalah yang besar dan harus diselesaikan dengan
cara-cara terstruktur. Sedangakan dalam employee relation Leat (2011, hal. 11) menyatakan
bahwa konflik terjadi dengan tanda-tanda individual yang awalnya dianggap tidak terlalu
penting. Tanda-tanda tersebut seperti tingkat stres pekerja, absensi, penurunan peforma kerja,
ketidak nyamanan pekerja terhadap lingkungan, dan juga tingkat trunover pekerja.

Employee relation menekankan bahwa konflik dapat diredam dengan adanya satu
ikatan diantara pekerja dan pengusaha. Ikatan tersebut bisa berupa kepentingan bersama,
tujuan bersama, nilai dan norma, kesatuan dan keharmonisan. Sehingga para praktisi
employee relation sangat menjaga ikatan-ikatan tersebut. Sering kali ikatan tersebut dikaitkan
dengan jargon-jargon yang dibuat oleh manajemen untuk menanamkan ikatan tersebut
seperti, ‘kita satu keluarga’, ‘kita adalah tim’, ‘perusahaan ini adalah milik kita bersama’.
Perspektif seperti ini disebut dengan perspektif unitarism

Cradden (2011, hal. 9) mengatakan bawa ada beberapa ciri kaum unitarism seperti,
tidak adanya standar yang permanen terkait kriteria pekerja, karena semua bisa berubah
seiring tuntutan pekerjaan. Selanjutnya, sangat mengedepankan keterbukaan pendapat yang
dapat diimplementasikan dalam diskusi terbuka dan dialog. Selain itu, peraturan dan
kebijakan perusahaan juga tidak terlalu membatasi pekerja karena lebih banyak berisikan hal-
hal yang subtantif, dibandingkan prosedural.

Bagi praktisi unitarism, konflik merupakan hal yang tidak penting dan dapat
dihindari. Konflik dipandang oleh kaum unitarisme sebagai seseuatu yang irrational dan
merupakan ‘hama’ yang seharusnya tidak terjadi. Jika terjadi konflik, maka hal itu bukanlah
karena benturan kepentingan atau kesalahan pada sistem perusahaan. Koflik terjadi karena
buruknya sistem komunikasi yang ada pada perusahaan tersebut.
Buruknya sistem komunikasi terjadi karena terlalu panjangnya dan kakunya birokrasi
perusahaan. Sehingga, manajemen perusahaan meyakini bahwa tidak perlu adanya serikat
pekerja. Hal ini dikarenakan pihak manajemen perusahaan penganut unitarisme meyakini jika
ada pekerja yang merasakan masalah, dapat langsung berdialog dengan manajemen sehingga
pesan yang disampaikan lebih tersampaikan tanpa adanya lack of messege dalam komunikasi.

E. ‘Kontrak Psikologis’ dalam Employee Relation

Gagasan mengenai kontak psikologis antara pekerja dan pengusaha pertama kali
dikeluarkan oleh Schein pada tahun 1998. Schein mengasumsikan beberapa hal terkait
kontrak psikologis ini;

 Pekerja diperlakukan dengan adil.


 Karakteristik hubungan antara pekerja dan pengusaha akan mengarah pada
konteks persamaan dan keadilan. Sehingga membutuhkan komunikasi yang
baik terkait informasi-informasi mengenai perubahan.
 Loyalitas pekerja akan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan pekerja yang
diberikan pengusaha.
 Masukan dari pekerja merupakan sesuatu yang berharga bagi pekerja.

Melalui asumsi tersebut Schein menjelaskan bahwa hubungan antara pekerja dan
pengusaha akan terjalin dengan mekanisme return and stastification. Dengan kata lain,
pekerja akan memberikan loyalitas, kinerja yang baik, dan efisiensi kepada pengusaha
tergantung dari tingkat kepuasan atas pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dari pengusaha.
Gennard dan Judge (2002), menambahkan pemenuhan kebutuhan pekerja yang dimaksudkan
bukan hanya kebutuhan primer. Namun, ada kebutuhan-kebutuhan lain diluar compentation
and benefits yang semakin meningkatkan loyalitas pekerja seperti;
 Keamanan lingkungan kerja.
 Keterbukaan dalam bersosialisasi dan atmosfir saat bekerja.
 Kemungkinan untuk promosi.
 Kejelasan jenjang karir.
 Pelatihan dan pengembangan pekerja.
 Pekerja diperlakukan sebagai manusia, bukan komoditas.
 Work-life balance, serta
 Keadilan dan konsistensi.

Semua kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang diinginkan pekerja untuk


menciptakan rasa aman dan nyaman saat bekerja. Sehingga, dengan sendirinya loyalitas
pekerja terhadap pengusaha akan didapatkan. Namun, tentunya pengusaha berhak meminta
sesuatu kepada pekerja terkait apa yang telah pengusaha berikan. Gennard dan Judge
melanjutkan apa saja hak pengusaha setelah memberikan kebutuhan pekerja, diantaranya;

 Fleksibilitas tugas
 Standar minimum kompetensi
 Keinginan pekerja untuk berubah
 Kemampuan bekerja sebagai tim
 Komitmen dalam menggapai tujuan perusahaan
 Kemampuan insisatif dan melakukan inovasi

Melalui kontrak psikologis ini, kaum employee relation, meredam perbedaan


kepentingan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja (leat, 2011, hal. 5). Sehingga, dapat
meminimalisir potensi-potensi konflik yang terjadi di lingkungan kerja.

Kesimpulan

Employee Relation dan Industrial relation adalah dua hal yang berbeda namun tidak dapat
dipisahkan. Dalam suatu perusahaan tentunya akan ada benturan kepentingan, sehingga dibutuhkan
cara-cara untuk menanganinya. Kedua konsep tersebut dapat dipadupadankan dalam melihat
konflik. Apakah pengusaha melihat konflik sebagai sesuatu yang harus diredam seperti pada konsep
employee relation ataukah harus diselesaikan secara struktural seperti konsep industrial relation. Hal
yang terpenting adalah bagaimana agar tercapai solusi terbaik bagi kedua belah pihak.

Daftar Pustaka
Blyton, P. dan Turnbull, P. (2004). The Dynamics of Employee Relations. (3rd edn).
Basingstoke: Macmillan.

Cradden, C. (2011). UNITARISM, PLURALISM, RADICALISM... AND THE REST ? Why the
frames of reference approach is still relevant to the study of industrial relations, but
why we need nine frames rather than just three. Genève : Université de Genève

Leat, M. (2011). Employee relation. Edinburgh: Edinburgh Business School

Nizoki, S. dan Mukulu, E. (2013). Industrial Relations System as a Factor of Tripartite


Consultation Influencing the Performance of State Corporations in Kenya.
International Journal of Advances in Management and Economics. Vol-2, 16 - 26

Oregon State University. (2009). Employee and Labor Relations. Oregon : OSU

Schein, E. (1988). Organisational Psychology. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 2004: Tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial

Anda mungkin juga menyukai