Anda di halaman 1dari 126

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA

TENTANG GEJALA AUTIS PADA BATITA DI WILAYAH


KERJA UPT PUSKESMAS CIPUTAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :

PUJI ASTUTI

NIM 11151040000065

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019 M
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Puji Astuti
NIM : 11151040000065
Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini merupakan jiplakan dari
karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2019

Puji Astuti

ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG


GEJALA AUTIS PADA BATITA DI WILAYAH KERJA UPT
PUSKESMAS CIPUTAT

Telah Disetujui dan Diperiksa oleh Pembimbing Skripsi


Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

Puji Astuti
NIM 11151040000065

Pembimbing

Ratna Pelawati, S.Kp., M Biomed


NIP 197802152009012005

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H / 2019

iii
PERNYATAAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG


GEJALA AUTIS PADA BATITA DI WILAYAH KERJA UPT
PUSKESMAS CIPUTAT

Telah disusun dan dipertahankan di hadapan penguji oleh:

Puji Astuti
NIM : 11151040000065

Pembimbing

Ratna Pelawati, S.Kp., M Biomed


NIP : 197802152009012005
Penguji I Penguji II

Yenita Agus, M.Kep., Sp.Mat., Ph.D Ns. Mardiyanti, M.Kep., MDS


NIP : 197206082006042001 NIP : 198102082011012006
Penguji III

Ratna Pelawati, S.Kep., M Biomed


NIP : 197802152009012005

iv
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG


GEJALA AUTIS PADA BATITA DI WILAYAH KERJA UPT
PUSKESMAS CIPUTAT

Disusun oleh:
Puji Astuti
NIM : 11151040000065

Jakarta, Juli 2019

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Yenita Agus, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat., Ph.D


NIP : 197206082006042001

PLH Dekan

Dr. Yuli Amran, S.KM., M.KM.


NIP : 198005062008012015

v
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

Skripsi, Juli 2019


Puji Astuti, NIM 11151040000065
Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Gejala Autis Pada
Batita di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat
Xviii + 84 Halaman + 13 tabel + 2 bagan + 8 lampiran

ABSTRAK
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan abnormalitas
perkembangan yang muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Gangguan
perkembangan terjadi pada tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi dan
perilaku yang terbatas dan berulang. Pengetahuan orang tua sangat penting dalam
membantu proses deteksi dini gejala autis pada anak. Sehingga penanganan awal
dapat dilakukan untuk mendukung tumbuh kembang anak lebih baik. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang gejala
autis pada batita. Metode penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain
deskriptif. Sampel penelitian adalah 96 orang tua di Puskesmas Ciputat yang
diperoleh dengan cara purposive sampling. Pengambilan data kuantitatif dengan
menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan orang tua yang memiliki
pengetahuan kurang sebanyak 48 responden (50%), tingkat pengetahuan cukup
sebanyak 29 responden (30,2%), dan tingkat pengetahuan baik sebanyak 19
responden (19,8%). Tingkat pengetahuan orang tua tentang gejala autis pada batita
termasuk dalam kategori kurang sehingga dapat dijadikan masukan untuk
pelayanan kesehatan dengan cara promosi kesehatan terkait dengan autis pada anak
untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Puskesmas Ciputat.
Kata kunci : Gambaran, Tingkat Pengetahuan Orang tua, Gejala Autis

Referensi : 60 (1982 – 2018)

vi
FACULTY OF HEALTH SCIENCES
NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

Undergraduate Thesis, July 2019


Puji Astuti, NIM 11151040000065
Description of Parents' Knowledge Levels on Symptoms of Autism in
Toddlers in the Working Area of the Center UPT Puskesmas Ciputat
Xix + 84 pages + 13 table + 2 achemes + 8 attachment

ABSTRACT
Autism is a development disorder characterized by developmental abnormalities
that occur before a three-year-old child. Developmental disorders occur in three
areas, that is social interaction, communication and behavior. Knowledge of parents
is very important in helping the process of early detection of symptoms of autism
in children. Early handling can be done to support better child development. The
pupose of this research is to know the description of level of knowledge of parents
about the symptoms of autism in toddlers. The method of this research is
quantitative research with descriptive design. The research sample was 96 parents
in Puskesmas Ciputat which were obtained by purposive sampling. Quantitative
data retrieval by questionnaire. The results of this research is parents had less
knowledge are 48 respondents (50%), enough level of knowledge are 29
respondents (30,2%), and the level of good knowledge are 19 respondents (19,8%).
The level of knowledge of parents about the symptoms of autism in toddlers is
included in the less category can be used as input for health services by means of
health promotion related to autism in children to improve the quality of health in
Puskesmas Ciputat.
Keywords: Description, Level of Knowledge of Parents, Symptoms of Autism.

Reference: 60 (1982 – 2018)

vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Puji Astuti

Tempat, Tanggal Lahir : Karang Binangun, 26 Maret 1998

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Karang Binangun, RT/ RW 001/001, Kec.


Belitang Madang Raya, Kab. OKU TIMUR
Sumatera Selatan

Telepon : 085607401391

Email : pujiastuti080@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. SDN Karang Binangun : 2003 – 2009


2. SMP N 1 Belitang Madang Raya : 2009 – 2012
3. SMA N 1 Belitang : 2012 – 2015
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Ilmu Keperawatan : 2015 – 2019

Riwayat Organisasi :

1. Anggota PASKIBRA SMPN 1 Belitang Madang Raya : 2010 – 2011


2. Anggota Paduan Suara SMAN 1 Belitang : 2012 – 2013
3. KOMDA FIKES UIN Jakarta : 2015 – 2016
4. Anggota Junalistik PSIK UIN Jakarta : 2017 – 2018

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat


Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayahnya. Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga terang benderang seperti pada
saat ini, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua tentang Gejala Autis pada Batita
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak mengalami


kesulitan, hambatan dan tantangan yang tak terkira, namun syukur Alhamdulillah
berkat doa, usaha dan kerja keras, kesungguhan, kesabaran, dan pertolonganMu
Yaa Allah, serta bantuan bimbingan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali
ini saya menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Zilhadia, M. Si. Apt, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Yenita Agus, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat., Ph.D dan Ibu Ratna Pelawati,
M.Kp., M Biomed, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan dan
Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ratna Pelawati, S.Kp., M Biomed selaku Dosen Pembimbing yang


telah sabar dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga serta pikiran selama
membimbing peneliti.

4. Ibu Uswatun Khasanah, S.Kep., MNS selaku Dosen Penasehat


Akademik peneliti, yang telah membimbing dan memberikan nasehat
selalu kepada peneliti selama melaksanakan pendidikan di Program

ix
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf pengajar, pada lingkungan
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas dan tulus
memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga
kepada peneliti selama menjalankan perkuliahan.

6. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik dan Perpustakaan


Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi
sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Kedua orang tua saya, Bapak Wahyono dan Ibu Purwanti yang telah
mendidik, mencurahkan kasih sayang yang tiada tara, mendoakan,
memberikan motivasi dan dukungan baik moril maupun materil yang
tidak pernah habis dari mulai saya dilahirkan hingga sekarang. Tak lupa
adikku Edy Pramuja dan seluruh keluarga yang mendoakan dan
memberikan semangat tanpa henti.

8. Sahabat-sahabat terbaikku Syifa Chairunisa, Sela Sadewa, Nurul


Fadillah, Fuja Amanda, Sherly Mulya Pratiwi, Desi Kurniawati, Siti
Mutiarani Dewi yang selalu menyemangati, menghibur, membantu serta
memberi referensi terbaik bagi penelitian ini.

9. Keluarga kedua di Kost Dalima, Elina Sofiyan, Gema Putri Handayani,


Yasni Maulidatun Nisya, Kak Citra Dewi Murni, Damayanti, Syarifah
Aini yang telah membantu, menyemangati dan mendoakan selama
penyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman satu bimbingan, Nor Aidatul Khikmah, Ana Rizwanah


Harun, Ani Selfi Yuliani, Siti Rosyidah, Nida Fauziah, Farah Nur
Azizah yang telah berjuang bersama dan saling menyemangati hingga
penyelesaian skripsi ini.

x
11. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2015 PSIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang senantiasa berbagi suka duka, canda tawa,
ilmu dan pengalaman berharga selama pembelajaran kuliah maupun
kegiatan lainnya.

12. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, telah
mendukung kelancaran proposal skripsi ini hingga selesai.

Sangat besar harapan saya skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi penelitian ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu penulis berharap adanya
kritik serta saran yang membangun dari semua pihak. Semoga kita semua
senantiasa diberikan petunjuk, limpahan rahmat, hidayah serta inayah yang tak
terhingga oleh Allah SWT.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, Juli 2019

Puji Astuti

xi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii


PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii
PERNYATAAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xviii
BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................6
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................7
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................................8
E. Ruang Lingkup .................................................................................................8
BAB II ......................................................................................................................9
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................9
A. Perkembangan Anak ........................................................................................9
1. Definisi Anak ........................................................................................... 9
2. Teori Perkembangan Anak ....................................................................... 9
3. Gangguan Perkembangan pada Anak ..................................................... 14
4. Angka Kejadian Penyimpangan Perkembangan ..................................... 15
5. Skrining Perkembangan .......................................................................... 16
B. Autisme ..........................................................................................................17
1. Definisi Autisme..................................................................................... 17
2. Penyebab ................................................................................................ 18

xii
3. Kriteria Diagnosis Autisme .................................................................... 23
4. Gejala Klinis ........................................................................................... 24
5. Deteksi Dini Autisme ............................................................................. 29
6. Klasifikasi Autisme ................................................................................ 31
7. Pencegahan Autisme .............................................................................. 32
8. Dampak Autisme .................................................................................... 35
9. Penatalaksanaan Autisme ....................................................................... 38
C. Pengetahuan ...................................................................................................41
1. Definisi ................................................................................................... 41
2. Tingkat Pengetahuan .............................................................................. 41
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan ................................... 42
4. Cara Memperoleh Pengetahuan .............................................................. 43
6. Pengetahuan Orang Tua tentang Autis ................................................... 44
D. Anak dalam Kajian Islam ..............................................................................45
E. Penelitian Terkait ..........................................................................................47
E. Kerangka Teori ..............................................................................................50
BAB III ..................................................................................................................51
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .................................51
A. Kerangka Konsep ..........................................................................................51
B. Definisi Operasional ......................................................................................52
BAB IV ..................................................................................................................54
METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................54
A. Desain Penelitian ...........................................................................................54
B. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................54
C. Populasi dan Sampel ......................................................................................54
D. Kriteria Responden ........................................................................................56
E. Pengumpulan Data .........................................................................................56
F. Pengolahan Data .............................................................................................61
G. Analisis Data .................................................................................................62
H. Etika Penelitian ..............................................................................................63
BAB V....................................................................................................................65
HASIL PENELITIAN ............................................................................................65
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian ......................................................65
B. Hasil Analisa Univariat ...........................................................................66
xiii
1. Gambaran Karakteristik Responden ....................................................... 66
2. Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua .......................................... 68
BAB VI ..................................................................................................................71
PEMBAHASAN ....................................................................................................71
A. Analisa Univariat .....................................................................................71
1. Karakteristik Responden ........................................................................ 71
2. Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua .......................................... 73
B. Keterbatasan Penelitian ...........................................................................77
BAB VII .................................................................................................................78
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................78
A. Kesimpulan ..............................................................................................78
B. Saran ........................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................80
LAMPIRAN ...........................................................................................................84

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Perbandingan Berbagai Teori Perkembangan ...................................... 12


Tabel 3. 1 Definisi Operasional ............................................................................ 52
Tabel 4. 1 Besar Sampel Minimal ......................................................................... 56
Tabel 4. 2 Hasil Validitas Kuesioner .................................................................... 58
Tabel 5. 1 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita berdasarkan
Jenis Kelamin di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat.................................... 66
Tabel 5. 2 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita berdasarkan Usia
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat ........................................................... 66
Tabel 5. 3 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita berdasarkan
Pendidikan Terakhir di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat.......................... 67
Tabel 5. 4 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita berdasarkan
Pekerjaan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat........................................... 67
Tabel 5. 5 Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita berdasarkan
Tingkat Pengetahuan Orang Tua di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat ...... 68
Tabel 5. 6 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita mengenai
Tingkat Pengetahuan Orang tua berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
UPT Puskesmas Ciputat ........................................................................................ 68
Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita mengenai Tingkat
Pengetahuan Orang Tua berdasarkan Usia Orang Tua di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Ciputat ................................................................................................ 69
Tabel 5. 8 Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita mengenai Tingkat
Pengetahuan Orang Tua berdasarkan Pendidikan Terakhir di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Ciputat ................................................................................................ 69
Tabel 5. 9Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita mengenai Tingkat
Pengetahuan Orang tua berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas
Ciputat ................................................................................................................... 70

xv
DAFTAR BAGAN

Bagan 2 1 Kerangka Teori .................................................................................... 50


Bagan 3 1 Kerangka Konsep ................................................................................. 51

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Studi Pendahuluan dan Pengambilan Data ....................... 86


Lampiran 2 Lembar Informed Concent................................................................. 88
Lampiran 3 Identitas Responden ........................................................................... 89
Lampiran 4 Kuesioner ........................................................................................... 90
Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ................................................... 93
Lampiran 6 Hasil Olahan SPSS Univariat ............................................................ 99
Lampiran 7 Surat Keterangan Validitas Judgement Exspert .............................. 103
Lampiran 8 Surat Persetujuan Etik .................................................................... 107

xvii
DAFTAR SINGKATAN

ABA : Applied Behavior Analysis

ABK : Anak Berkebutuhan Khusus

ADOS : Autism Diagnosis Observation Schedule

ASD : Autism Spectrum Disorder

APA : American Psyvhiatric Association

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

BPS : Badan Pusat Statistik

CARS : Childhood Autism Rating Scale

CNS : Central Nervous System

CFD : Cerebral Folate Deficiency

M- CHAT : Modified - Checklist for Autism in Toddlers

CDC : Centre of Disease Control and Prevention

DIR : Developmental, Individual-difference, Relationship-based

DSM-IV : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth


Edition

DSM-V :Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Five


Edition

GPPH : Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas

IMS : Infeksi Menular Seksusal

KB : Keluarga Berencana

KIA : Kartu Identitas Anak

Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

xviii
KemenPPPA : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

SDIDTK : Stimulasi Deteksi Dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang

SLB : Sekolah Luar Biasa

TEACCH : Treatment and Education of Autistic and Related Communication


Handicapped Children

YCHI : Yayasan Cinta Harapan Indonesia

xix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan karunia dari Allah SWT yang perlu disyukuri. Anak
merupakan dambaan setiap pasangan. Setiap pasangan pasti menginginkan anak
lahir dengan sehat dan normal. Mendapatkan anak ialah amanah yang harus
dirawat, dijaga dan dibesarkan. Allah berfirman dalam dalam Al-Quran surah
Al-Kahfi Ayat 46 yang artinya “Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia, namun amal yang kekal dan sholih adalah lebih baik
pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”(Harmaini,
2013)

Setiap anak akan mengalami proses tumbuh dan berkembang. Dalam


proses pertumbuhan dan perkembangan anak terkadang anak mengalami
perkembangan normal dan abnormal. Laju tumbuh kembang tiap anak berbeda-
beda, tidak semua anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara
normal. Anak yang mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembang itu
biasanya karena anak mengalami gangguan. Gangguan tumbuh kembang pada
anak salah satunya adalah Autis. Autis merupakan kelainan neurobiological
yang terjadi pada awal kehidupan anak, dimana terjadi gangguan perkembangan
yang ditandai dengan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi,
interaksi sosial, dan perilaku yang terbatas. Autis dapat dideteksi saat anak
menginjak usia 18 sampai 30 bulan (Soetjiningsih & Ranuh, 2016).

Menurut data dari CDC (Center of Disease Control and Prevention ) di


Amerika pada bulan Maret 2014 menunjukkan prevalensi (angka kejadian) Autis
adalah 1 dari 68 anak. dilaporkan bahwa penyandang autis 5 kali lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan, yaitu 1 dari 42 anak
laki-laki dibandingkan 1 dari 189 anak perempuan penyandang Autis. Terjadi
perbedaan yang amat jauh antara anak laki-laki penyandang autis dibandingkan
perempuan.

1
2

Untuk mengidentifkasi gejala-gejala autis dan mendiagnosis autis pada


anak sejak dini dapat dilakukan dengan metode skrining. Skrining merupakan
metode deteksi secara dini untuk mengetahui lebih awal dalam meningkatkan
prognosis bagi anak dengan ASD (Autism Spectum Disorder) dan memberikan
intervensi awal pada anak yang sudah terdeteksi ASD. Anak yang sudah
dideteksi dini dengan prognosis autis diharapkan dengan dilakukannya
intenvensi awal dapat meningkatkan komunikasi sosial dan mengurang
kecemasan dan agresi. Deteksi dini Autis dapat dimulai sejak anak menginjak
usia 12-28 bulan. Autism Diagnosis Observation Schedule (ADOS)
mengeluarkan modul yang dapat mendeteksi secara dini anak autis sejak usia 12
bulan dengan menggunakan beberapa instrument diantaranya Alat Skrining
untuk Autis pada anak usia 2 tahun dan M-CHART (Modified - Checklist for
Autism in Toddlers) untuk Autisme pada Balita (Hinnebusch, Miller, & Fein,
2017).

Pemantauan perkembangan sangat penting dilakukan pada anak dalam


tiga tahun pertama kehidupan. Kebanyakan anak memulai proses perkembangan
sosial di usia 12 bulan. Dan anak-anak yang tampak mengalami keterlambatan
perkembangan pada usia 12 atau 18 bulan akan mengalami perbaikan saat
menginjak usia 36 bulan. Beberapa anak yang menunjukkan keterlambatan
perkembangan dapat terdiagnosis ASD (Autism Spectrum Disorder) apabila
perkembangannya tidak mengalami perubahan. Terdapat tiga perilaku yang
menandai adanya gangguan autisme, pertama adalah interaksi sosial,
kemampuan anak unuk berinteraksi dengan teman sebaya dan orang tua. Kedua
pada interaksi verbal, anak-anak mungkin mengalami kesulitan dalam
menyuarakan kebutuhan dan percakapan dan biasanya bergantung pada
dengkuran, ketiga melihat ada perilaku berulang dan jika anak memiliki bidang
minat yang sempit atau berfokus pada pada satu bidang (America, 2019).

Penelitian dari Omigbodun, Bakare, & Adewuya (2017) menjelaskan


bahwa mereka melakukan penelitian “Pattern of impairments and late diagnosis
of autism spectrum disorder among a sub-Saharan African clinical population of
children in Nigeria” pada 60 anak-anak Nigeria usia 2-17 tahun dengan diagnosis
ASD yang direkrut dari klinik perkembangan syaraf untuk menentukan pola
3

gangguan dan usia saat diagnosis di ASD. Penelitian ini menggunakan kriteria
DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Five Edition)
membuat diagnosis ASD dan checklist gejala untuk ASD digunakan untuk
menentukan pola penurunan ASD. Hasil dari penelitian ini semua anak-anak
(100%) dengan ASD menunjukkan kontak mata yang buruk, kesulitan dalam
bergaul dengan anak-anak lain dan ketidakmampuan untuk secara konsisten
menanggapi namanya. Lebih dari setengahnya (55%) tidak memiliki komunikasi
verbal. Kerusakan yang tidak umum adalah di bidang lampiran objek (20,0%),
postur aneh (26,7%) dan ekspresi wajah yang tidak sesuai (30,0%).

Deteksi dini atau skrining merupakan hal yang sangat penting dalam
menunjang intervensi atau terapi sedini mungkin. Anak dengan kebutuhan
khusus, sama dengan anak manapun yang mengalami perkembangan otak yang
cepat pada usia dibawah 5 tahun, dan usia yang paling ideal untuk melakukan
intervensi dini adalah usia 2-3 tahun karena otak anak berkembang paling cepat
(Mulyadi & R, 2014).

Deteksi dini atau skrining autis dapat dilakukan dengan peran serta orang
tua. Sebagai orang tua perlu mengetahui dan memperhatikan tumbuh kembang
anaknya. Sering kali orang tua tidak menyadari memiliki anak autis, orang tua
baru akan menyadari ketika anaknya memiliki perbedaan dengan anak lainnya.
Penting bagi orang tua mengetahui tanda dan gejala yang ditimbulkan pada anak
autis. Karena orang tualah yang paling dekat dengan anak. Orang tua menjadi
bagian penting dalam proses skrining atau deteksi dini anak. Pengetahuan orang
tua dalam proses ini juga sangat penting untuk menunjang proses skrining
(Suteja, 2014).

Kurangnya pengetahuan dari orang tua terhadap tanda dan gejala autis
menyebabkan anak dengan resiko autis terlambat untuk didiagnosa dan
terlambat diberikan intervensi awal atau terapi. Hal tersebut dapat berdampak
pada perkembangan anak dan orang tua itu sendiri. Menurut Luleci & Karavus
(2017) orang tua yang terlambat menyadari anaknya mengalami perilaku yang
berbeda dari anak pada umumnya akan menyebabkan adanya perasaan tidak
menerima sehingga orang tua menarik diri dari lingkungan sosial. Stigma yang
4

muncul dimasyarakat mengenai autis membuat orang tua enggan memeriksakan


anaknya ke pusat pelayanan kesehatan dan itu akan berdampak keparahan dari
gejala yang ditimbulkan. Penelitian dari Smith & Dozier (2019) orang tua yang
memiliki anak dengan gangguan spectrum autis (ASD) memiliki tingkat stress
yang tinggi yang dapat mempengaruhi perawatan pada anak dalam keluarga.

Penelitian dari Wetherston et al (2017) di Afrika Selatan dengan judul


“Pandangan dan Pengetahuan dari orang tua dari anak-anak dengan gangguan
spectrum autisme pada berbagai perawatan”. Penelitian ini mengumpulkan
responden 46 orang. Hasil penelitian didapatkan lebih dari setengah orang tua
53% tidak terbiasa atau hanya mendengar pengobatan yang ditanyakan, 33,3%
orang tua mengenal tentang perawatan, 13,4% memiliki pemahaman tentang
perawatan. Dan dari semua perawatan, orang tua menilai pengetahuan mereka
tentang terapi wicara-bahasa (SLT) paling tinggi. Mayoritas 68% orang tua
menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas
perawatan ASD dan professional kesehatan, dan mengganggap perawatan ASD
tergolong mahal. Meski begitu, ada 74% orang tua melaporkan bahwa mereka
memiliki hubungan yang baik dengan professional kesehatan mereka.

Penelitian lain oleh P, Abirami (2018) di India dengan judul “A Study to


Assess the Knowledge to Autism Among Parents Attending at SRM General
Hospital, Kattankulatur”, diantara 50 orang tua didapatkan hasil 26 (52%) orang
tua mempunyai pengetahuan yang cukup memadai, 21 (42%) orang tua memiliki
pengetahuan yang tidak memadai, dan 3 (6%) orang tua memiliki pengetahuan
yang memadai tentang autis. (Abirami, G, Usha, & Mareeswari, 2018).

Penelitian oleh Ernie, (2012) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan


Sikap Orangtua Tentang Autisme Dengan Tingkat Stres Orang Tua di SLB
Khusus Autistik Fajar Nugraha Sleman Yogyakarta” dengan 52 responden
didapatkan hasil yaitu distribusi responden pengetahuan baik sebanyak 19 orang
(36%), kurang 18 orang (34,6%) dan sedang sebanyak 15 orang (28,5%).

Di Indonesia sendiri untuk mengetahui berapa banyak anak penyandang


autis masih belum dapat diketahui secara spesifik karena tidak ada data statistik
yang menunjukkan jumlah anak penyandang autis. Anak dengan gangguan
5

Spektrum Autis diperkirakan terus mengalami peningkatan. Ini dilihat dari hasil
angka dari kunjungan di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa pada klinik tumbuh
kembang anak yang menunjukkan angka peningkatan dari tahun ke tahun. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa di Indonesia sangat amat diperlukan ada perhatian
lebih dalam specific prevention and protection dalam upaya pencegahan dan
pengendalian autis di Indonesia (Kemenkes RI, 2016).
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penderita gangguan
autis di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 2,4 juta jiwa. Pada
tahun tersebut jumlah penduduk di Indonesia mencapai 237,5 juta jiwa dengan
laju pertumbuhan 1,14%. Dan jumlah gangguan penderita autis setiap tahunnya
diperkirakan mengalami peningkatan sekitr 500 orang setiap tahunnya, lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 4:1
(KemenPPPA, 2018).
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan dari tahun 2007 sampai dengan
2018 prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk di Indonesia
tampak dari grafik terus mengalami peningkatan (Riskesdas, 2018). Gangguan
mental emosional termasuk dalam gejala yang ditimbulkan pada anak dengan
autisme, Autisme merupakan gangguan perkembangan syaraf yang ditandai
dengan gangguan dalam komunikasi, interaksi serta perilaku terbatas dan minat
berulang(Guthrie, Swineford, Nottke, & Wetherby, 2014). Data dari YCHI
(Yayasan Cinta Harapan Indonesia) didapatkan jumlah autis tahun 2018 ada 150
anak autis dan ABK. YCHI merupakan pelayanan terapi gratis bagi yang tidak
mampu untuk anak autis dan ABK. Di Tangerang Selatan sendiri ada sekitar 27
anak autis yang di terapi disana. Maka dari itu harus anak yang dideteksi autis
harus mendapatkan intervensi awal. Intervensi yang dilakukan seperti terapi.
Terapi sebagai salah satu penanganan bagi anak autis untuk mengurangi
keparahan dari gejala yang ditimbulkan (YCHI, 2018).

Data dari Puskesmas Ciputat tahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah


anak usia dibawah tiga tahun yang tercatat berjumlah 3464 anak yaitu laki-laki
1532 anak dan perempuan berjumlah 1932 anak. Puskesmas Ciputat melakukan
skrining perkembangan SDIDTK di 10 Taman Kanak-kanak di wilayah Ciputat
pada tahun 2018 didapatkan data jumlah anak autis diwilayah Ciputat ada sekitar
6

23 anak usia prasekolah (3 – 5 tahun). Menurut pihak puskesmas, kurangnya


pengetahuan orang tua terhadap tanda dan gejala autis pada anak dampaknya
orang tua terlambat dalam melakukan penanganan terapi untuk anaknya yang
terdiagnosa autis. Berdasarkan data tersebut, supaya lebih dini diketahui gejala
autis pada anak dan sebelum anak terdiagnosis autis maka perlu dilakukan
deteksi dini saat anak berusia kurang dari tiga tahun dan bagaimana gambaran
orang tua tentang gejala autis. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti
melalui wawancara dengan 10 orang tua yang berkunjung di puskesmas Ciputat,
mengenai konsep autisme seperti definisi, gejala, penyebab, penanganan,
dampak dan skrining autisme didapatkan hasil 8 dari 10 orang tua hanya
menjawab beberapa poin yang ditanyakan peneliti yaitu autis merupakan
penyakit gangguan mental, dan penyakit yang mengalami keterlambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangan serta tidak mengetahui penanganan untuk anak
autis dan bagaimana cara skrining atau mendeteksi anak autis.

Berdasarkan uraian diatas, dari penelitian sebelumnya menunjukkan


bahwa tingkat pengetahuan orang tua tentang autis masih kurang baik. Di
Indonesia sendiri tingkat pengetahuan orang tua terkait autis pada anak usia
dibawah tiga tahun belum tergali. Serta mengingat sangat banyaknya jumlah
anak di wilayah Ciputat Tangerang Selatan, peneliti ingin mengetahui
bagaimana tingkat pengetahuan orang tua tentang autis diwilayah tersebut.
Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran
Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Gejala Autis pada Batita di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Ciputat”

B. Rumusan Masalah
Hasil data Riskesdas tahun 2018 masalah gangguan mental emosional di
Indonesia dari tahun 2007 sampai dengan 2018 menunjukkan prevalensi yang
semakin meningkat. Autis adalah salah satu gangguan mental emosional. Data
dari Puskesmas Ciputat tahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah anak usia
dibawah empat tahun berjumlah 3464 anak yaitu laki-laki 1532 anak dan
perempuan berjumlah 1932 anak. Dan jumlah anak autis diwilayah Ciputat ada
sekitar 23 anak usia prasekolah. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti
melalui wawancara dengan 10 orang tua yang berkunjung di puskesmas Ciputat,
7

mengenai konsep autisme seperti definisi, gejala, penyebab, penanganan,


dampak dan skrining autisme didapatkan hasil 8 dari 10 orang tua hanya
menjawab beberapa poin yang ditanyakan peneliti yaitu autis merupakan
penyakit gangguan mental, dan penyakit yang mengalami keterlambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangan serta tidak mengetahui penanganan untuk anak
autis dan bagaimana cara skrining atau mendeteksi anak autis. Untuk
mengetahui lebih awal anak menderita autis dapat dilakukan dengan deteksi dini
atau skrining autis. Peran orang tua sangat penting dalam membantu proses
deteksi dini pada anak. Sehingga penanganan untuk mendukung tumbuh
kembang anak lebih baik. Pengetahuan dan pemahaman dari orang tua terutama
ibu adalah hal yang utama yang harus dimiliki. Karena orang tua yang memiliki
anak dengan gangguan spectrum autis (ASD) memiliki tingkat stress yang tinggi
yang dapat mempengaruhi perawatan pada anak dalam keluarga. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana gambaran tingkat pengetahuan
orang tentang autis pada anak usia dibawah tiga tahun.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Tingkat
Pengetahuan Orang Tua Tentang Gejala Autis Pada Batita di Puskesmas
Ciputat
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakter responden meliputi jenis kelamin, usia,
pekerjaan, pendidikan orang tua di Puskesmas Ciputat
b. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang
gejala autis pada batita tahun di Puskesmas Ciputat
c. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang
gejala autis pada batita berdasarkan usia, pendidikan terakhir, dan
pekerjaan orang tua diwilayah kerja Puskesmas Ciputat.
8

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Penelitan ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan pendidikan kesehatan mengenai autis pada batita di
Puskesmas Ciputat
2. Bagi Institusi
Penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk metode pembelajaran
informasi yang berkaitan dengan autis pada anak
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi orang tua tentang gejala
autis pada batita.
4. Bagi Penelitian yang akan datang
Penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan gejala autis pada batita.

E. Ruang Lingkup
Penelitian ini bersifat kuantitatif yang dilakukan pada bulan Mei hingga
Juni 2019, sasaran penelitian ini adalah ditujukan kepada orang tua yang
memiliki anak batita menggunakan instrument kuesioner sebagai alat ukur.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan orang tua
tentang gejala autis pada batita di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Anak
1. Definisi Anak
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 2002 tentang
Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1, anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Sedangkan menurut WHO, batasan usia anak adalah sejak
dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak
Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada
tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990,
Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia
dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi
anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Kemenkes, 2014).

2. Teori Perkembangan Anak


Perkembangan adalah perubahan bentuk yang dimulai saat konsepsi
dan terus berlanjut sepanjang masa kehidupan. Bentuk ini meliputi
perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang terjadi pada masing-
masing individu. Proses biologis menghasilkan perubahan dalam
pertumbuhan dan perkembangan fisik individu. Perubahan ini merupakan
hasil penurunan genetik dan pengaruh dari luar seperti makanan, olahraga,
tekanan, budaya dan iklim (Berger, 2005) dalam (Potter & Perry, 2010).
Tinggi badan dan berat badan, pekembangan pergerakan motorik kasar dan
halus, serta maturasi seksual yang merupakan hasil dari perubahan hormonal
selama masa pubertas

Proses Kognitif terdiri dari perubahan intelegensi, kemampuan untuk


mengerti dan menggunakan bahasa, perkembangan pikiran yang dapat
membentuk sikap, kepercayaan, dan tingkah laku individu (Berger, 2005;
Santrock, 2007). Gen yang diturunkan dari orang tua, pengalama hidup, dan
lingkungan dapat mempengaruhi perubahan dalam proses kognitif individu.
9
10

Mempelajari bagaimana ikut serta dalam suatu pembicaraan, permainan, dan


belajar saat akan menghadapi ujian semuanya melibatkan proses kognitif.

Proses Sosioemosional terdiri atas keberagaman dalam kepribadian


individu, emosi, dan hubungannya dengan individu yang lain selama masa
hidupnya. (Santrock, 2007). Lingkungan individu dan penurunan genetik
berperan dalam perubahan ini. Temperamen atau tabiat didefinisikan sebagai
dasar biologis dari perkembangan kepribadian. Sebagian besar orang tua
menyadari bahwa bayinya memiliki kepribadian berbeda dan segera
bertindak untuk mengubahnya. Pengetahuan mengenai temperamen bayi
anak membantu dalam menyediakan pengajaran promosi kesehatan sehingga
orang tua dapat memahami tingkah laku anaknya (Potter & Perry, 2010).

a. Teori Perkembangan Biofisik (Arnold Gesell 1880-1961)


Gesell membuat teori tentang tingkah laku normal yang dijadikan
sebagai sumber informasi untuk perkembangan anak. Dalam teori Gesell
terdiri dari empat kategori tingkah laku, yaitu motoric, bahasa, adaptasi
dan pribadi-sosial. Dasar teori perkembangan Gesell adalah bahwa pola
perumbuhan (perkembangan) setiap anak mempunyai ciri khas yang
diatur oleh aktivitas genetik. Faktor lingkungan dapat mendukung,
mengubah dan memodifikasi pola tersebut, tetapi tidak menyebabkan
kemajuan perkembangan (Gesell.1948). Gesell menemukan pola
maturasi sebagai suatu rangkaian perkembangan manusia. Rangkaian
perkembangan dimulai saat menjadi janin, dimana terjadi urutan khusus
dalam perkembangan sistem organ. Setelah lahir, anak akan tumbuh
sesuai dengan genetiknya dan memperoleh keterampilan sesuai dengan
tahapannya, namun dengan kecepatan masing-masing.
Sebagai contoh, sebagian besar anak-anak awalnya belajar
bagaimana cara memegang cangkir dengan jarinya pada usia 15 bulan
dan memegang cangkir dengan baik, mengangkat, minum, dan
meletakkan kembali pada usia 21 bulan. Gesell juga menjelaskan bahwa
tidak semua anak memiliki perkembangan sesuai waktunya. Lingkungan
juga berperan dalam perkembangan abak, tetapi tidak pada
perkembangan berikutnya (Potter & Perry, 2010).
11

b. Teori Psikoanalitik/Psikososial (Sigmund Freud 1856-1939)


Freud merupakan orang pertama yang mengemukakan teori
perkembangan kepribadian secara formal dan terstruktur. Model
psikoanalitik Freud tentang tahapan perkembangan kepribadian individu
melalui lima tahap perkembangan psikoseksual dan tiap tingkatan
ditandai dengan kesenangan seksual pada bagian tubuh, seperti mulut,
anus, dan genital. Freud mempercayai bahwa kepribadian dewasa
merupakan hasil dari bagaimana seorang individu menyelesaikan konflik
antara sumber kesenangan dan kenyataan (Potter & Perry, 2010).
Tahapan perkembangan menurut Freud terdiri dari :
1) Tahap Oral (Lahir sampai usia 12-18 bulan)
Pada awalnya, menghisap jari dan kepuasan oral adalah hal sangat
penting tetapi juga merupakan kesenangan yang aneh. Akhir dari
tahap ini adalah bayi mulai bahwa ibu atau orang tua nya adalah
sesuatu yang terpisah dari dirinya. Gangguan dalam kemampuan fisik
dan emosional orang tua (misalnya ikatan yang tidak adekuat atau
penyakit kronik) akan mempengaruhi perkembangan bayi.
2) Tahap Anal (Usia 12-18 bulan sampai 3 tahun)
Fokus kesenangan berubah ke area anal. Anak-anak semakin tertarik
pada sensasi kesenangan pada daerah anal. Melalui proses toilet-
training, anak menunda kepuasan sesuai keinginan orang tua dan
masyarakat.
3) Tahap Phallic atau Oedipal (3 sampai 6 tahun)
Organ genital menjadi fokus kesenangan pada tahap ini. Menurut
Freud, anak laki-laki menjadi tertarik dengan penis, anak perempuan
menyadari tidak memiliki penis, atau dikenal dengan penis envy.
Pada tahap ini, anak berfantasi mencintai orang tua yang berbeda
gender, atau dikenal dengan Oedipal atau Electra complex. Akhir
dari tahap ini adalah anak berusaha mengurangi konflik dengan cara
lebih mengenali dan menerima orang tua yang sama gender.
4) Tahap Laten (6 sampai 12 tahun)
12

Freud mempercayai bahwa pada fase ini keinginan seksual dari tahap
oedipal dini ditekan dan disalurkan kepada aktivitas sosial yang
produktif. Dalam dunia pendidikan dan sosial anak, banyak yang
harus dipelajari dan dikerjakan, dimana anak membutuhkan energi
dan usaha.
5) Tahap Genital ( Masa pubertas sampai dewasa)
Merupakan tahap akhir dari Freud. Pada periode ini anak mengalami
ketertarikan seksual dengan individu diluar lingkungan keluarga.
Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan timbul saat remaja. Saat
individu menyelesaikan konflik, individu tersebut akan mendapatkan
kematangan hubungan seksual dewasa (Potter & Perry, 2010).

Tabel 2. 1 Perbandingan Berbagai Teori Perkembangan

Tahap/usia Freud Ericson Plaget Kohlberg


perkem- (Perkem- (Perkembangan (Kognitif/Perkem (Perkem-bangan
bangan bangan Psikososial) -bangan Moral) Pertimbangan
Psikoseksual) Moral)

Bayi (saat Tahap oral Kepercayaan Periode


lahir versus motorsensorik
sampai 18 ketidakpercayaan Kemajuan dari
bulan) untuk reflex sampai
mempercayai tindakan
orang lain sederhana yang
berulang

Masa anak- Tahap anal Otonomi versus Periode Tingkat


anak dini/ rasa malu ragu, preoperasional- prakonvensional
balita (18 control diri dan berfikir dengan orientasi
bulan kebebasan menggunakan terhadap
sampai 3 symbol, hukuman
tahun) egosentrik kepatuhan
13

Pra sekolah Tahap Phallic Inisiatif versus Menggunakan Tingkat


(3 sampai 5 rasa bersalah symbol, prakonvemsiona
tahun) Khayalan tingkat egosentrik l premoral
tinggi orientasi alat

Masa anak- Tahap Laten Industri versus Periode operasi Tingkat


anak rendahnya mutu konkret berpikir konvensional
pertengaha melakukan tugas logis orientasi
n (6 sampai dan kegiatan menjadi anak
12 tahun) yang baik

Remaja (12 Tahap Genital Identitas versus Periode operasi Tingkat pasca-
sampai 19 mencari jati diri formal berpikir konvensional
tahun) kematangan abstrak orientasi kontak
seksual, “siapa sosial
saya?”

Sumber: (Potter & Perry, 2010)

Pertumbuhan dan perkembangan bersifat multidimensi. Teori-teori


yang ada merupakan dasar pengamatan pola pertumbuhan dan
perkembangan individu. Teori-teori merupakan petunjuk yang penting
untuk memahami proses perkembangan manusia sehingga dapat
memperkirakan respon manusia dan mengetahui penyimpangan atau
gangguan dari bentuk yang normal (Potter & Perry, 2010).

Menurut Fowler (1981) tahapan perkembangan dibagi menjadi:

a) Bayi-balita : 0 – 3 tahun
b) Anak usia prasekolah : 3 – 6 tahun
c) Anak usia sekolah : 7 – 12 tahun
d) Remaja : 13 – 17 tahun
e) Dewasa Muda : 18 – 25 tahun
f) Dewasa Pertengahan : 26 – 38 tahun
g) Dewasa Akhir : 39 – 65 tahun
h) Lanjut usia : 66 tahun sampai meninggal
14

(Kozier, 2010)

3. Gangguan Perkembangan pada Anak


a. Gangguan bicara dan bahasa
Kemampuan berbahasa nerupakan indicator seluruh perkembangan
anak. Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau
kerusakan pada sistem lainnya, sebab melibatkan kemampuan kognitif,
motorik, psikologis, emosi, dan lingkungan sekitar anak. Kurangnya
stimulasi dapat menyebabkan gangguan bicara dan berbahasa bahkan
gangguan ini dapat menetap.
b. Cerebral Palsy
Merupakan suatu kelainan gerakan dari postur tubuh yang tidak
progresif, yang disebabkan oleh suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel
motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai
petumbuhannya.
c. Sindrom Down
Anak dengan down sindrom adalah individu yang dapat dikenal dari
fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat
adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih. Perkembangannya lebih lambat
dari anak yang normal. Beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital,
hipotonia yang berat, masalah biologis atau lingkungan lainnya dapat
menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan keterampilan
untuk menolong diri sendiri.
d. Perawakan Pendek
Short Stature atau perawakan pendek merupakan suatu terminology
mengenai tinggi badan yang berada dibawah persentil 3 atau 2 SD pada
kurva pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut. Penyebabnya
dapat variasi normal, gangguan gizi, kelainan kromosom, penyakit sistemik
atau karena kelainan endokrin.
e. Gangguan Autisme
Merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
gejalanya muncul sebelum anak berumur tiga tahun. Pervasif berarti
meliputi seluruh aspek perkembangan sehingga gangguan tersebut sangat
15

luas dan berat, yang mempengaruhi anak secara mendalam. Gangguan


perkembangan yang ditemukan pada anak autisme mencakup bidang
interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
f. Retardasi mental
Merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensia yang
rendah (IQ, 70) yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar
dan beradaptasi erhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang
dianggap normal.
g. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
Merupakan gangguan dimana anak mengalami kesulitan untuk
memusatkan perhatian yang seringkali disertai dengan hiperaktivitas
(Kemenkes, 2012).

4. Angka Kejadian Penyimpangan Perkembangan


Angka kejadian penyimpangan perkembangan pada anak adalah sekitar
10-17 persen. Diagnosis dini sulit dilakukan, padahal diagnosis dini penting
untuk mencari etiologi, merencanakan program penatalaksanaan, dan
mempunyai banyak keuntungan dari segi akademik, sosial, dan ekonomi.
Berdasarkan berbagai penelitian, penyimpangan perkembangan yang sering
ditemukan adalah retardasi mental 3%, palsi serebral 1 diantara 200, kesulitan
belajar dan sindrom yang menyangkut konsentrasi dan perhatian anak sekitar 5-
7%.

Tenaga medis terutama dokter spesialis anak, merupakan sumber


informasi yang terbaik tentang perkembangan anak, karena mereka sering
melakukan kontak dengan anak, terutama anak usia 5 tahun pertama (BALITA).
Orang tua mengharapkan dokter spesialis anak tidak hanya memperhatikan
penyakit anaknya saja, melainkan juga tumbuh kembangnya. Tanpa petunjuk
yang benar dari dokter, dapat terjadi keterlambatan diagnosis maupun
intervensinya. Karena itu, deteksi dini penting dilakukan untuk mengetahui
penyimpangan perkembangan anak dengan skrining secara rutin pada setiap kali
melakukan pelayanan kesehatan (Soetjiningsih & Ranuh, 2016)
16

5. Skrining Perkembangan
a. Tujuan Skrining

1) Mengetahui kelainan perkembangan anak dan hal-hal lain yang


merupakan resiko terjadinya kelainan perkembangan tersebut.

2) Mengetahui berbagai masalah perkembangan yang memerlukan


pengobatan atau konseling genetik.

3) Mengetahui kapan anak perlu dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan


yang lebih tinggi (Soetjiningsih, 2016).

b. Manfaat Skrining

1) Awal kehidupan merupakan periode kritis atau golden period yang


dapat mempengaruhi keberhasilan anak di sekolah nantinya.
2) Awal kehidupan merupakan window of opportunity. Jika tidak
dimanfaatkan akan kehilangan masa tersebut.
3) Pada awal kehidupan, plastisitas otak anak tinggi, dan merupakan
waktu yang tepat untuk melakukan intervensi.
4) Deteksi dini dapat mencegah masalah sekunder yang mungkin terjadi
seperti masalah gangguan kepribadian atau rasa percaya diri.
5) Secara hukum sah, anak memiliki hak untuk mendapat perhatian
melalui deteksi dan intervensi dini.
6) Deteksi dini menguntungkan karena dapat meningkatkan fungsi
keluarga, sehingga menurunkan kelainan fisik atau retardasi mental,
serta resiko lingkungan berkurang sehingga angka kejadian tidak naik
kelas, putus sekolah, atau anak yang berkebutuhan khusus dapat
diturunkan.
7) Dapat mengetahui pengaruh buruk, seperti dampak lingkungan yang
kurang sehat seperti kontaminasi logam berat, hubungan orang tua dan
anak yang kurang baik, penelantaran anak dan perlakuan salah terhadap
anak (child abuse and neglect).
17

8) Orang tua dapat dilibatkan dalam melakukan skrining dengan cara


menggunakan instrument yang diisi oleh orang tua (Soetjiningsih &
Ranuh, 2016)

B. Autisme
1. Definisi Autisme
Autisme merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani “auto”
yang berarti sendiri, yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan
gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Pemakaian istilah autis
diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard
(Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943,
berdasarkan pengamatannya terhadap 11 penderita yang menunjukkan
gejala sulit berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku tidak
biasa, dan cara berkomunikasi yang aneh. Umumnya, penderita autis
mengacuhkan suara, penglihatan, maupun kejadian yang melibatkan
mereka. Jika ada reaksi, biasanya reaksinya tidak sesuai dengan situasi atau
mungkin tidak ada reaksi sama sekali (Huzaemah, 2010).
Menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan 1993
dan merupakan terjemahan dari ICD-X (International Classification of
Diseases-X) yang diterbitkan WHO 1992 dan DSM-IV, Autisme masa anak
adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan
abnormalitas perkembangan yang muncul sebelum anak berusia tiga tahun.
Gangguan perkembangan terjadi pada tiga bidang yaitu interaksi sosial,
komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang(Soetjiningsih &
Ranuh, 2016)
Berdasarkan konsep dan definisi yang awalnya dikembangkan oleh
Ritvo dan Freeman (1978) dan The Autism Society of America (2004)
mendefinisikan bahwa autism merupakan gangguan perkembangan yang
komplek dan muncul saat usia tiga tahun kehidupan pertama sebagai akibat
gangguan neurologis yang mempengaruhi fungsi otak (Yuwono, 2009)
Autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi
beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan belajar dari
18

pengalamannya. Pada umumnya anak-anak kurang minat dalam melakukan


kontak sosial dan tidak adanya kontak mata. Anak autis juga memiliki
kesulitan dalam perkembangan bicara dan berkomunikasi. Ciri lainnya
tampak pada perilaku yang stereotype seperti mengepakkan tangan secara
berulang-ulang, mondar-mandir tidak bertujuan, menyusun benda berderet
dan terpukau terhadap benda yang berputar dan banyak lagi ciri lainnya dari
anak autis, karena setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda
(Yuwono, 2009)

2. Penyebab
Penyebab pasti autism belum diketahui, tetapi diketahui bahwa
penyebabnya sangat kompleks dan multifactorial yaitu :
a. Faktor Pranatal, Perinatal dan Pascanatal

Komplikasi prenatal, perinatal dan pascanatal sering


ditemukan pada anak yang menderita autisme, seperti perdarahan
setelah kehamilan trimester pertama serta mekoneum pada cairan
amnion sebagai tanda adanya fetal distress dan preklamsia.
Komplikasi lainnya adalah penggunaan obat-obatan tertentu pada
ibu, infeksi rubella pada ibu, inkompatibilitas rhesus, fenilketonuria
yang tidak diobati, asfiksia atau gangguan pernafasan lainnya,
anemia pada janin dan kejang pada neonates. Semua komplikasi itu
menyebabkan gangguan fungsi otak yang diduga sebagai penyebab
autis.

b. Teori Imunologi

Penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1, artritis


rheumatoid, hipotiroid dan lupus eritematosus sistemik, banyak
ditemukan pada keluarga yang anaknya menderita autism. Autisme
terjadi 8,8 kali lebih banyak pada anak yang ibunya menderita
penyakit autoimun. Ditemukan antibodi ibu terhadap antigen
tertentu yang menyebabkan penyumbatan sementara aliran darah ke
otak janin. Selain itu, antigen tersebut juga ditemukan pada sel otak
janin, sehingga antibodi ibu dapat merusak jaringan otak janin.
19

Keadaan tersebut memperkuatteori peranan imunologi pada


terjadinya autisme.

c. Teori Infeksi
Angka kejadian autism mengalami peningkatan yaitu pada
anak-anak yang lahir dengan rubella kongenital, ensefalitis herpes
simpleks dan infeksi sitomegalovirus sebagai akibat dari kerusakan
otak anak. Pernah dilaporkan bahwa overgrowth jamur Calbicans
dapat menyebar keseluruh tubuh termasuk ke otak anak, sehingga
mengganggu fungsi otak. Calbicans juga mengeluarkan enzim
fosfolipid dan protease yang menyebabkan permeabilitas usus
meningkat sehingga mudah dilalui protein yang belum sempurna
dipecah seperti gluten dan kasein.
d. Faktor Genetik
Pada pasangan anak kembar satu telur (monozygot),
ditemukan kejadian autism sebesar 36-95%, sedangkan pada anak
kembar dua telur (dizygot) kejadiannya 0-23%. Pada penelitian
keluarga dari anak yang autism, ditemukan autism pada saudara
kandungnya 2,5-3%. Dikatakan pula bahwa autism adalah salah satu
kemungkinan yang timbul pada anak secara genetik pada
keluarganya terdapat masalah belajar dan kumunikasi.
Komponen genetik autism cenderung heterogen, melibatkan
sekitar 100 gen. Kelainan genetik pada autism ditemukan pada
hampir semua mitokondria dan semua kromosom, kecuali
kromosom 14 dan 20. Diketahui bahwa terjadinya gejala autisme
terlihat gen majemuk yang berinteraksi dengan berbagai faktor
lingkungan sekitar. Kromosom yang sangat terikt dengan autism
adalah kromosom 7q, 2q, 15q 11-13.
e. Faktor Neuroanatomi
Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan dan penelitian di
bidang neurobiologis dan genetika, ditemukan adanya kerusakan
didaerah sistem limbik (pusat emosi), yaitu pada bagian otak yang
disebut hipokampus dan amigdala. Pada anak dengan autis
20

ditemukan neuron dalam hipokampus dan amigdala sangat padat dan


kecil-kecil.
Amigdala adalah pengendali fungsi emosi dan agresi. Anak
autis umumnya tidak bisa mengendalikan emosinya. Mereka
seringkali agresi terhadap orang lain atau pada dirinya sendiri; atau
sangat pasif seolah-olah tidak memiliki emosi. Amigdala peka
terhadap berbagai rangsang sensori seperti suara, penglihatan,
penciuman, dan emosi yang berhubungan dengan rasa takut. Pada
penderita autis sering mengalami gangguan pada hal-hal tersebut.
Sedangkan hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi
belajar dan daya ingat. Keusakan pada hipokampus menyebabkan
kesulitan menyerap dan mengingat informasi baru dan dapat
menimbulkan perilaku stereotipik, stimulasi diri dan hiperaktivitas.
Pada penelitian dengan menggunakan pemeriksaan MRI (Magnetic
Resonance Imaging), didapatkan lesi pada lobus temporalis,
parietalis, frontalis, dan serebelum pada anak autis. Kelainan di
serebelum ditemukan pada 30-50% anak, berupa hypoplasia atau
hyperplasia pada lobus ke VI dank e VII. Ditemukan jumlah sel-sel
purkinye di serebelum sangat sedikit dan mempunyai kandungan
serotonin, yang tinggi. Keseimbangan antara neurotransmitter
serotonin dan dopamine sangat diperlukan untuk penyaluran impuls
dari neuron satu ke neuron yang lain. Sementara itu, kerusakan pada
lobus frontalis mengakibatkan terbatasnya perhatian terhadap
lingkungan.
f. Faktor Neurokimiawi/Neurotransmiter
Teori ini mengacu pada ditemukannya peningkatan kadar
serotonin pada sepertiga anak autisme. Sejak itu, peranan
neurotransmitter pada autisme mendapat banyak perhatian. Diduga
gangguan fungsi transmitter inilah yang mendasari terjadinya
gangguan fungsi perilaku dan kognitif pada autisme. Neurotramsiter
yang dapat menimbulkan gangguan autisme adalah :
1) Serotonin
21

Hiperserotoninemia didapatkan pada sepertiga anak


autistik, separuh anak autistic dengan retardasi mental, serta pada
keluarga anak autistik.
2) Dopamin
Adanya Hiperdopaminergik pada susunan saraf pusat
diduga sebagai penyebab hiperaktivitas dan stereotip pada
autisme. Meskipun tidak terdapat perbedaan antara kadar asam
homovalinik cairan serebrosinal dan perifer, terbukti bahwa
penghambatan reseptor dopamine dapat mengurangi gejala
hiperaktivitas dan stereotipi pada beberapa kasus autisme.
3) Opiat Endogen
Penderita autism memproduksi ensefalin dan beta-endorfin
dalam jumlah banyak. Ditemukan persamaan tingkah laku antara
anak autisme dengan anak dengan ketergantungan opiate yaitu
terdapat gangguan interaksi sosial dan kurang sensitif terhadap
rasa sakit (Soetjiningsih & Ranuh, 2016).
g. Gangguan Metabolisme (Sistem Pencernaan)
Ada hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala
autis. Suntikan sekretin dapat membantu mengurangi gangguan
pencernaan.
h. Peradangan Dinding Usus
Sejumlah anak penderita gangguan autis umumnya memiliki
pencernaan yang buruk dan ditemukan adanya peradangan usus.
Peradangan tersebut diduga disebabkan oleh virus yaitu virus yang
berasal dari virus campak. Hal ini yang mengakibatkan banyak orang
tua menolak imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) karena
diduga menjadi penyebab autis pada anak (Prasetyono, 2008).
i. Mikrobiota
Sumbu usus-otak dianggap sebagai jalur komunikasi antara
usus dan otak yang merupakan sistem komunikasi dua arah. Banyak
bukti yang menunjukkan bahwa sumbu usus-otak berperan dalam
patogenesis ASD. Mikrobiota usus mempengaruhi fungsi otak
22

melalui sistem saraf neuroendokrin, neuroimun dan otonom dan


melalui produksi toksin mikrobiotik (Grenham et al, 2011). Mukosa
saluran pencernaan mengandung jutaan neuron yang merupakan
sistem saraf enteric (ENS) dan mengatur fungsi pencernaan. Karena
itu usus dianggap sebagai “otak kedua”.
Potensi hubungan antara mikrobiota dan ASD (sumbu usus-
otak). Produksi metabolit, seperti SCFA dan metabolit toksin, oleh
mikrobiota tertentu (mis., Lactobacillus) dapat melintasi "usus
bocor" untuk memengaruhi fungsi otak. Beberapa mikrobiota dapat
menghasilkan senyawa neuroaktif (mis., 5-HT dan GABA) yang
melintasi "usus bocor" dan memengaruhi fungsi otak dan memicu
perilaku abnormal. Senyawa neuroaktif ini dapat secara langsung
mempengaruhi sumbu HPA dan meningkatkan kadar kortisol yang
bersirkulasi. Metabolit, mikrobiota dan senyawa neuroaktif tertentu
dapat mengaktifkan neuron enterik dan memengaruhi fungsi otak
melalui saraf vagus. Beberapa mikrobiota dan metabolit dapat
mengaktifkan sel imun usus, yang dapat melepaskan sitokin ke
dalam sirkulasi. 4-EPS, 4-etilfenil sulfat; 5-HT, serotonin; HPA,
hipotalamus-hipofisis-adrenal; SCFAs, asam lemak rantai pendek;
BBB, sawar darah-otak; 5-HT, 5-hydroxytryptamine; ENS, sistem
saraf enterik; GABA, asam γ-aminobutyric; DA, dopamine (Li, Han,
Dy, & Hagerman, 2017)
j. Acetaminophen
Hubungan antara acetaminophen dan autisme pertama kali
diidentifikasi pada 2008 oleh Schultz et al. Ditemukan bahwa
penggunaan acetaminophen pada anak-anak secara signifikan terkait
dengan autisme pada anak-anak berusia 5 tahun atau kurang (OR =
6,11, CI 95% = 1,42-26,3) . Selanjutnya, beberapa peneliti mencatat
bahwa peningkatan autisme, asma, dan ADHD yang ditandai pada
awal 1980-an berhubungan dengan penggantian aspirin dengan
asetaminofen .Selain itu, Schultz mencatat bahwa peningkatan
jangka panjang yang stabil dalam prevalensi autisme diselingi oleh
23

penurunan jangka pendek bertepatan dengan kasus keracunan


acetaminophen yang dipublikasikan secara luas yang sementara
menghalangi masyarakat untuk menggunakan obat. Selanjutnya,
bukti telah muncul yang menunjukkan bahwa jalur saraf yang
dipengaruhi oleh asetaminofen mungkin "berbeda" dalam beberapa
hal pada orang dengan autisme (Parker, Hornik, & Bilbo, 2017)

3. Kriteria Diagnosis Autisme


Kriterian diagnosis autisme berdasarkan DSM-IV (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition ) yang diterbitkan
oleh American Psyvhiatric Association (APA) yaitu :
a. Harus ada 6 gejala atau lebih dari satu, dua dan tiga dibawah ini :

1) Gangguan kualitatif pada interaksi sosial (minimal dua gejala)

a) Terdapat kelaianan pada berbagai perilaku non verbal, seperti


kontak mata, ekspresi wajah, sikap dan isyarat tubuh dalam
melakukan interaksi sosial.
b) Tidak mampu bermain dengan teman sebaya.
c) Tidak mampu berbagi secara spontan dengan orang lain dalam
hal kesenangan, minat dan prestasi (misalnya, anak tidak
mampu memperlihatkan, membawa atau menunjuk benda
yang diinginkan).
d) Tidak mampu melakukan hubungan sosial dan emosional
timbal balik.
2) Gangguan kualitatif komunikasi (minimal satu gejala)
a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak
berkembang dan tidak ada usaha anak untuk berkomunikasi
dengan cara lain (sikap tubuh, ekspresi wajah, dll)
b) Bila anak sudah dapat berbicara, kemampuannya itu tidak
digunakan untuk berkomunikasi.
c) Anak menggunakan bahasa atau bahasa-aneh yang berulang-
ulang.
24

d) Cara bermain tidak bervariasi, kurang sopan, atau tidak dapat


bermain imitasi sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3) Ada suatu pola perilaku, minat dan aktivitas yang dipertahankan dan
diulang-ulang (minimal satu gejala)
a) Asyik dengan satu atau beberapa kegiatan yang terbatas dan
diulang-ulang, intensitas maupun yang menjadi pusat
perhatiannya abnormal.
b) Terpaku pada satu kegiatan ritualistic atau rutinitas yang tidak
ada gunanya.
c) Terdapat gerakan motorik yang diulang-ulang, misalnya: tepuk
tangan, memutar-mutar tangan/jari atau gerakan-gerakan tubuh
yang lebih kompleks.
d) Sangat asyik dengan bagian-bagian suatu benda tertentu.
b. Keterlambatan atau fungsi abnormal tersebut terjadi sebelum umur 3
tahun, dengan disertai gangguan dalam 3 bidang, yaitu interaksi sosial,
penggunaan bahasa untuk komunikasi sosial dan bermain simbol atau
imajinasi.
c. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau gangguan
disintegrative (sindrom Heller). (Tiel, 2007)

4. Gejala Klinis
Autisme atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder)
merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat
bervariasi (spectrum), yang terjadinya atau gejalanya timbul sebelum anak
berusia tiga tahun. Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara
berkomunikasi, interaksi sosial, dan kemampuan berimajinasi. Dan dari data
para ahli diketahui penyandang autisme atau ASD pada anak laki-laki empat
kali lebih banyak dibandingkan dengan penyandang autisme anak
perempuan (Hendita, Kusuma, & Oktana, 2012)
Menurut (Soetjiningsih & Ranuh, 2016), Gejala autism dibagi berdasarkan
umur anak, yaitu :
a. Masa Bayi
25

Sebenarnya gejala autisme sudah dapat diamati pada masa bayi


dibawah usia setahun, karena sebagian besar anak autistik berbeda dari
anak yang normal sejak dari lahir. Gejala utama yang khas adalah selalu
membelakangi/ tidak berani menatap mata pengasuh untuk menghindari
kontak fisik atau kontak mata. Agar tidak diangkat, bayi
memperlihatkan sikap yang diam atau asyik bermain sendiri berjam-jam
diranjangnya tanpa menangis atau membutuhkan pengasuhnya,
sehingga pada awalnya orang tua akan mengira bayi yang manis dan
mudah diatur. Gejala lainnya adalah bayi menolak untuk dipeluk atau
disayang, tidak menyambut ajakan ketika kedua tangannya diangkat,
kurang bisa meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal
menunjukkan suatu objek kepada orang lain, dan kurang responsive
terhadap isyarat sosial seperti kontak mata atau senyuman. Bergumam
yang biasanya muncul sebelum anak dapat berbicara, sedangkan pada
anak yang autis mungkin tidak tampak.
b. Masa Anak
Selama masa anak ini, perkembangan anak autis dibawah rata-
rata anak sebayanya dalam bidang komunikasi, inetraksi sosial, kognitif,
dan gangguan perilaku mulai tampak.
1) Gangguan perilaku
Gangguan perilaku antara lain adalah stimulasi diri (gerakan
aneh yang diulang-ulang atau tanpa tujuan, seperti menggoyang-
goyangkan tubuhnya ke depan dan belakang, tepuk-tepuk tangan,
dll), mencederai diri sendiri (menggigit-gigit tangannya, melukai
diri, membentur-benturkan kepalanya), gangguan tidur dan makan,
tidak sensitif terhadap nyeri, hiper/hipoaktivitas, gangguan
pemusatan perhatian.
Karakteristik lainnya adalah insistence on sameness atau
perilaku perseverative, yakni sikap yang sangat rutin (ada perubahan
sedikit saja anak akan marah dan tantrum). Anak dapat memaksakan
suatu kegiatan yang rutin seperti dalam suatu upacara, dapat terjadi
preokupasi yang stereotipik dengan perhatian yang khusus terhadap
26

tanggal, rute, dan jadwal, sering terdapat stereotip motorik, sering


memperhatikan unsur suatu benda (seperti bau dan rasa) dan
terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau tata ruang
di lingkungannya.
2) Gangguan Interaksi Sosial
Gangguan interaksi sosial antara lain adalah tidak berespon
bila dipanggil sehingga orangtua mengira anaknya tuli. Anak senang
menyendiri, tidak tertarik bermain dengan anak yang lain, tidak
mampu memahami aturan-aturan yang berlaku, dan menghindari
kontak mata. Meskipun mereka berminat berhubungan sosial
dengan yang lain namun sering terjadi hambatan karena kurangnya
kesadaran sosial. Hal ini yang menyebabkan mereka tidak bisa
memahami ekspresi wajah yang baik. Dengan demikian, ia tidak
mempunyai rasa empati yang dibutuhkan dalam interaksi sosial.
Sering dikatakan hidup didunianya sendiri. Perhatian pada orang
lain sebatas memakainya sebagai alat untuk mencapai tujuan,
misalnya mengambil tangan ibunya untuk memperbaiki mainan
yang rusak. Anak tampak acuh tak acuh terhadap pendekatan yang
dilakukan orang tuanya. Menghindari sentuhan fisik, dengan cara
membuat tubuhnya kaku, lari, stress saat disentuh, atau bahkan tidak
bereaksi kalau disentuh. Namun, ada juga anak autis yang cemas bila
berpisah dengan orangtuanya dan menempel terus.
3) Gangguan Komunikasi
Hampir sekitar 40 sampai 50 % anak autis tidak memiliki
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, baik itu secara verbal
ataupun nonverbal. Gangguan ini Nampak pada kurangnya
penggunaan bahasa untuk bersosialisasi, seperti kendala dalam
permainan imaginatif dan imitasi, buruknya keserasian dan
kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan, buruknya
fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurangnya kreativitas
dan fantasi dalam berpikir, kurangnya respon emosional terhadap
ungkapan verbal dan nonverbal dari orang lain, terkendala dalam
27

menggunakan irama dan tekanan modulasi komunikatif, dan


kurangnya isyarat untuk mengartikan komunikasi lisan.
Pada anak dengan autis perkembangan berbahasanya sangat
lambat atau tidak ada sama sekali. Kata-kata yang dikeluarkan tidak
dapat dimengerti (bahasa planet), meniru tanpa mengetahui arti
(ekolali), nada suaranya monoton seperti suara robot, tidak dapat
memenyampaikan keinginannya dengan kata-kata atau dengan
bahasa isyarat. Sukar memahami arti kata baru didengar. Anak
sering mengulang kata yang baru/pernah didengar tanpa maksud
untuk berkomunikasi. Saat bertanya, mereka sering menggunakan
kata ganti orang yang terbalik, misalnya menyebut dirinya “kamu”
dan menyebut orang lain “saya”. Komunikasi non verbal seperti
ekspresi wajah dan gerakan tubuh juga sering tidak ditemukan pada
anak autis. Anak autis sulit menggunakan bahasa tubuh untuk
berkomunikasi, seperti menggelengkan kepala, melambaikan
tangan, mengangkat alis,. Biasanya tidak menunjuk atau memakai
gerakan tubuh untuk menyampaikan maksudnya, tetapi mengambil
tangan orang lain untuk menunjuk onjek yang ditiru.
4) Gangguan Kognitif
Semua tingkatan IQ dapat diketemukan pada pada autis,
tetapi sekitar 70% anak autis mengalami retardasi mental. Derajat
dari retardasi mental beriringan dengan beratnya gejala autis.
Kemampuan memahami apa yang dipikirkan orang lain sangat
rendah dan menetap sepanjang hidup. Gangguan kognitif pada anak
autis tidak terjadi pada semua sektor perkembangan kognitif, karena
ada sebagian kecil anak autis mempunyai kemampuan yang luar
biasa, misalnya dalam bidang music, matematik, kemampuan visuo-
spatial, disamping kekurangannya yang berat dibidang lainnya.
Anak ini disebut sebagai autistic savant (dulu disebut idiot savant)
5) Respon Abnormal terhadap Perangsangan Indera
28

Pada anak autis, mungkin terjadi respons yang hipo-/


hipersensitif terhadap perangsangan penglihatan, pendengaran,
perabaan/sentuhan, penciuman, dan pengecapan.
6) Gangguan Emosi
Beberapa anak menunjukkan perubahan perasaan yang tiba-
tiba (tertawa atau menangis) tanpa alasan yang jelas. Terkadang
timbul rasa takut yang sangat terhadap objek yang sebenarnyatidak
menakutkan atau terdapat keterikatan pada benda-benda tertentu,
atau ada cemas/depresi berat terhadap perpisahan. Anak juga
menunjukkan respon yang kurang terhadap emosi orang lain dan
tidak bisa menunjukkan empati, sehingga tidak terdapat respons
timbal balik sosio-emosional (Soetjiningsih & Ranuh, 2016)
c. Masa Pubertas
Manifestasi autism dapat berubah seiring dengan tumbuh
kembang anak, tetapi deficit tetap berlanjut sampai dengan usia dewasa
dengan pola yang sama dalam hal sosialisasi, komunikasi, pola minat.
Terkadang anak dengan autisme mengalami kesulitan pada masa transisi
ke pubertas. Sekitar sepertiga mendapatkan kejang untuk pertama
kalinya pada masa pubertas, yang mungkin disebabkan oleh adanya
pengaruh hormonal. Disamping itu, banyak masalah perilaku yang
menjadi lebih sering dan lebih berat pada masa pubertas. Tetapi pada
anak autisme yang ringan dapat melewati masa pubertas dengan relatif
mudah.
Anak-anak autis dapat tinggal bersama keluarga, kecuali pada
kasus yang berat bahkan banyak orang dewasa autis yang mempunyai
IQ yang normal dan dapat menamatkan pendidikan tinggi dan
berkeluarga. Pada lingkungan kerja, orang dewasa autis dapat menjadi
pekerja tetapi harus dengan bimbingan. Namun, pada kenyataannya
orang dewasa dengan autis sulit mendapatkan pekerjaan, karena tampak
berbeda dan sering mengalami kesulitan pada saat melakukan
wawancara pekerjaan (Soetjiningsih & Ranuh, 2016)
29

5. Deteksi Dini Autisme


Tujuan dilakukan deteksi dini adalah untuk mengetahui secara dini
adanya autis pada anak umur 18 bulan sampai 36 bulan. Alat yang
digunakan untuk deteksi dini autis adalah CHAT (Checklist for Autism in
Toddlers).
CHAT ini ada 2 jenis pertanyaan, yaitu:
a. Ada 9 pertanyaan yang dijawab oleh orang tua/pengasuh anak.
pertanyaan diajukan secara berurutan, satu persatu. Jelaskan kepada
orang tua untuk tidak ragu-ragu atau takut menjawab.
Pertanyaannya yaitu:
1) Apakah anak senang diayun-ayun atau diguncang-guncang naik
turun (bounched) dipaha anda?
2) Apakah anak tertarik (memperhatikan) anak lain?
3) Apakah anak suka memanjat-manjat, seperti memanjat tangga?
4) Apakah anak suka bermain “ciluk ba”, “petak umpet”?
5) Apakah anak pernah bermainseolah-olah membuat secangkir teh
menggunakan mainan berbentuk cangkir dan teko, atau permainan
lain?
6) Apakah anak pernah menunjuk atau meminta sesuatu dengan
menunjukkan jari?
7) Apakah anak pernah menggunakan jari untuk menunjuk kesesuatu
agar anda melihat kesana ?
8) Apakah anak dapat bermain dengan mainan yang kecil (mobil atau
kubus)?
9) Apakah anak pernah memberikan suatu benda untuk menunjukkan
sesuatu?
b. Ada 5 perintah bagi anak, untuk melaksanakan tugas seperti yang
tertulis CHAT.
1) Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata) dengan
pemeriksa?
2) Usahakan menarik perhatian anak, kemudian pemeriksa menunjuk
sesuatu diruangan pemeriksaan sambil mengatakan: “Lihat itu ada
30

bola (atau mainan lain)” ?, Perhatikan mata anak, apakah ia melihat


ke benda yang ditunjuk, bukan melihat tangan pemeriksa?
3) Usahakan menarik perhatian anak, berikan mainan gelas/cangkir dan
teko. Katakan pada anak: “Buatkan secangkir susu buat mama” !
4) Tanyakan pada anak : “Tunjukkan mana gelas”! (gelas dapat diganti
dengan nama benda lain yang dikenal anak dan ada di sekitar kita).
Apakah anak menunjukkan benda tersebut dengan jarinya? Atau
sambil menatap wajah anda ketika menunjuk ke suatu benda?
5) Apakah anak dapat menumpuk beberapa kubus/balok menjadi suatu
menara?
c. Cara menggunakan CHAT :
1) Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu persatu
perilaku yang tertulis pada CHAT kepada orang tua atau pengasuh
anak.
2) Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan tugas pada
CHAT.
3) Catat jawaban orang tua/ pengasuh anak dan kesimpulan hasil
pengamatan kemampuan anak, YA atau TIDAK. Teliti kembali
apakah semua pertanyaan telah dijawab.
d. Interprestasi :
1) Resiko tinggi menderita autis : bila jawaban “Tidak” pada
pertanyaan A5, A7, B2, B3dan B4.
2) Resiko rendah menderita autis: bila jawaban “Tidak” pada
pertanyaan A7 dan B4.
3) Kemungkinan gangguan perkembangan lain: bila jawaban
“Tidak” jumlahnya 3 atau lebih unutk pertanyaan A1-A4, A6,
A8-A9, B1, B5.
4) Anak dalam batas normal bila tidak termasuk dalam kategori 1,
2, dan 3.
Intervensi : Apabila anak resiko menderita autis atau
kemungkinan ada gangguan perkembangan, Rujuk ke Rumah
31

Sakit yang memiliki fasilitas kesehatan jiwa/tumbuh kembang


anak (Kemenkes RI, 2012).

6. Klasifikasi Autisme
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian
berdasarkan gejalanya. Pengklasifikasian dilakukan setelah anak didiagnosa
autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating
Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut:

a. Autisme Ringan

Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak


mata walaupun tidak berlangsung lama. Dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, dan menunjukkan ekspresi-ekspresi
muka dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya
sesekali.

b. Autisme Sedang

Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak


mata namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil.
Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan
gangguan motoric yang stereopik cenderung agak sulit untuk
dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.

c. Autisme Berat
Anak dengan Autisme pada kategori berat menunjukkan
tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis
memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan
terus-menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun
anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam
kondisi bersama dengan orang tuanya, anak autis tetap memukul-
mukulkan kepalanya. Anak akan berhenti setelah merasa lelah dan
kemudian akan tertidur (Mujiyanti, 2011).
32

7. Pencegahan Autisme
Penyebab dan faktor resiko autis masih belum jelas, jadi pencegahan
mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam kondisi ini, upaya
pencegahan nampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku yang
terjadi tidak semakin parah dan bukan untuk mencegah terjadinya autis.
Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan berdasarkan teori penyebab
ataupun penelitian faktor resiko autis. Pencegahan ini dapat dilakukan
sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat kehamilan, persalinan
dan periode usia anak.
a. Pencegahan sejak kehamilan
Dengan melakukan pemeriksaan dan konsultasi ke dokter
spesialis kandungan dan kebidanan lebih awal, bila perlu
berkonsultasi sejak merencanakan kehamilan. Melakukan
pemeriksaan screening secara lengkap terutama infeksi virus
TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, Herpes, atau
Hepatitis). Periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kandungan
secara rutin dan berkala.
Bila terdapat perdarahan selama kehamilan segera periksa ke
dokter kandungan. Perdarahan selama kehamilan lebih sering
disebabkan karena kelainan plasenta. Kondisi tersebut
mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi,
yang bisa mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan
pada awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran premature
atau bayi lahir berat rendah. Premature dan berat bayi lahir rendah
berpotensi tinggi resiko terhadap terjadinya autis dan gangguan
bahasa lainnya.
Selama kehamilan berhati-hatilah dalam meminum obat, bila
perlu konsultasikan ke dokter terlebih dahulu. Terutama obat yang
diminum selama kehamilan trimester pertama. Peneliti di Swedia
melaporkan pemberian obat Thaliodomide (sejenis zat yang
berfungsi mengikat protein cereblon yang dapat menyebabkan cacat
embrio) pada awal kehamilan yang dapat mengganggu
33

pembentukan sistem susunan saraf pusat yang mengakibatkan autis


dan gangguan perkembangna lainnya termasuk gangguan bicara.
b. Pencegahan saat persalinan
Pada periode persalianan adalah yang paling menentukan
dalam kehidupan bayi selanjutnya. Beberapa komplikasi yang
timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi bayi yang akan
dilahirkan. Apabila terjadi gangguan dalam persalinan, yang paling
berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh
tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling
sensitive dan peka terhadap gangguan ini. Jika otak terganggu, dapat
mempengaruhi kualitas hidup anak, baik dalam perkembangan dan
perilaku anak nantinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam meminimalisir
terjadinya gangguan perkembangan dan perilaku anak:
1) melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan
tentang rencana persalianan
2) dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang resiko yang
dapat terjadi selama persalianan
3) apabila terdapat resiko dalam persalinan harus diantisipasi
sebelumnya, baik itu bantuan dokter spesialis anak saat
persalinan maupun sarana perawatan NICU (Neonatal Intensive
Care Unit) bila dibutuhkan.
c. Pencegahan sejak usia bayi

Langkah awal dalam pencegahan usia bayi adalah


mengamati gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir.
Gangguan tersebut meliputi sering muntah, tidak buang air besar
setiap hari, terlalu sering buang air besar (lebih dari 3 kali setiap
hari), sulit buang air besar, sering kembung, rewel setiap malam
hari (kolik), hiccup (cegukan) berlebihan dan sering buang
angina. Apabila terdapat keluhan tersebut penyebabnya paling
sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Untuk
mengatasinya bukan dengan obat terapi dengan mencari dan
34

menghindari makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan


saluran cerna berkepanjangan akan mempengaruhi
perkembangan dan perilaku anak.

Apabila terdapat kesulitan dalam kenaikan berat badan,


harus diwaspadai. Pemberian vitamin nafsu makan bukan jalan
terbaik dalam pengobatan, tetapi harus dicari tahu dulu
penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan, misalnya kelainan
jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik maka harus
dilakykan perawatan oleh dokter ahli. Perlu diamati juga tanda
dan gejala autis secara cermat sejak dini.

Demikian pula bila terjadi gangguan neurologi atau syaraf


seperti trauma kepala, kejang (bukan kejang demam sederhana)
atau gangguan kelemahan otot, maka harus lebih cermat
mendeteksi secara dini gangguan perkembangan. Pada bayi
permatur, bayi dengan riwayat sakit kuning tinggi
(hiperbilirubinemi), dan bayi yang pernah terkena infeksi berat,
maka pemberian antibiotic tertentu saat bayi harus diamati
tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat, terutama gangguan
perkembangan dan perilaku pada anak.

Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai


alergi atau riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya tunda
pemberian makanan yang beresiko alergi hingga usia anak 2
sampai 3 tahun keatas. Makanan yang harus ditunda adalah telur,
ikan laut, kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju, dan
sebagainya. Bayi yang mengalami ganggguan pencernaan
sebaiknya harus menghindari monosodium glutamate (MSG),
anmines, tartar zine (zat warna makanan). Bila gangguan
pencernaan dicurigai sebagai tanda-tanda seliak atau intoleransi
casein dan gluten, makan dilakukan diet bebas casein dan gluten.

Jika terdapat faktor resiko pada periode kehamilan atau


persalian tersebut harus diwaspadai. Menurut beberapa
35

penelitian, resiko tersebut akan semakin besar kemungkinan


terjadinya autis. Selanjutnya kita harus mengamati secara cermat
tanda dan gejala autis sejak usia 0 bulan. Dan bila didapatkan
gejala autis pada usia dini, maka perlu dilakukan intervensi sejak
dini dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini dalam
melakukan intervensi, kejadian autis dapat dicegah atau paling
tidak dapat meminimalkan keluhan yang akan timbul (Fadhli,
2010).

8. Dampak Autisme
Menurut (Randolph-Gips & Srinivasan, 2012) dampak autis pada
sistem tubuh antara lain:
1) Imunologi System (Sistem Kekebalan)
Anak dengan autisme didapatkan peningkatan angka penyakit
autoimun. Ketidakseimbangan sel sistem kekebalan tubuh dan sitokin
banyak ditemukan bagian yang berbeda dari sistem kekebalan tubuh
orang autisme. Total kadar limfosit berkurang itu menunjukkan suptipe
immunoglobulin serum menunjukkan pola abnormal. Secara khusus
sering ada Th1-Th2 helper ratio. Kebanyakan orang dengan autis
menunjukkan dominasi Th2 yang menghasilkan peningkatan antibodi
yang dapat memicu alergi dan reaksi autoimun. Th2 miring juga
membuat infeksi virus kronis lebih mungkin terjadi. Kemiringan juga
terjadi dalam subtipe imunoglobulin serum. Imunoglobulin adalah
antibodi yang dibentuk oleh sel B untuk dibuat kekebalan humoral,
persisten. Imunoglobulin IgM, IgA, dan IgG total mengalami depresi
sementara subtipe IgG IgG2 dan IgG4, dan IgE total meningkat.
Peningkatan sitokin pro-inflamasi bersamaan dengan pengurangan
sitokin pengatur telah ditemukan. Sistem kekebalan memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi mitokondria. Sitokin seperti TNFα
dan IL6 dapat memfasilitasi masuknya kalsium dan berkontribusi
terhadap disfungsi mitokondria mungkin berkontribusi pada defisit
autisme melalui sistem mitokondria. Ekstraseluler DNA mitokondria
36

dan antibodi anti-mitokondria telah ditemukan dalam serum anak-anak


dengan autisme.
Alergi makanan sering terjadi pada anak-anak dengan autisme.
Antibodi anti-otak telah ditemukan pada anak-anak dengan autisme.
Sebuah studi terhadap 93 anak autis menemukan bahwa 75% memiliki
autoantibodi terhadap reseptor folat di Central Nervous System (CNS).
Kerusakan ini akan menyebabkan penurunan kadar folat di Central
Nervous System (CNS) dan Cerebral Folate Deficiency (CFD).
b. Neurology System (Sistem Saraf)
Diantara sistem tubuh yang terlibat dalam penyakit autisme yang
paling utamanya adalah otak. Perbedaan anatomi diotak kecil dan
amigdala telah dicatat dalam banyak penelitian dan telah diidentifikasi
secara tidak konsisten sebagai penyimpangan rata-rata. Penurunan di
purkinje dan sel granular juga telah dicatat. Makrosefali muncul pada
sekitar 20% orang dengan autisme yang diteliti dengan tren umum
ukuran otak pada orang lain dengan autisme. Penyebab makrosefali
tidak diketahui, meskipun otak yang lebih besar tidak ada pengaruhnya.
Peradangan pada sistem saraf adalah salah satu penyebabnya.
Minicolumns di neocortex telah dipostulatkan sebagai unit dasar
kognisi. Kolom dalam otak autis tampak lebih sempit, dengan jarak
yang sempit dan kepadatan neuron yang lebih tinggi.
Autisme memang lebih sering terjadi pada keluarga atau ahli
matematika, insinyur dan fisikawan. Ini telah menjadi teori bahwa
minicolumns yang sempit memudahkan diskriminasi dan kegiatan yang
lebih sesuai, sementara minicolumns yang lebih luas akan memfasilitasi
generalisasi. Ini merupakan pengamatan perilaku stimulus
overselektivitas dalam autisme. Stimulus overselektivitas adalah
mengabaikan beberapa fitur dan perhatian yang terlalu focus pada fitur
lain, sehingga merugikan pengamatan keseluruhan. Untuk peningkatan
rangsangan/aktivitas neuron penghambat di otak autistik. Hioperfusi
otak juga telah tercatat dalam bebrapa penelitian subyek dengan
autisme. Hipoperfusi dapat terjadi akibat struktural kelainan atau dari
37

efek global seperti oksidatif stress. Kejang muncul pada 30% orang
dengan autisme. Selain itu kejang subklinis juga sering terjadi.
Pengobatan dengan anti-epilepsi dapat memperbaiki mental.
c. Gastrointestinal System (Sistem Pencernaan)
Diantara penyakit gastrointestinal (GI) dengan autisme sangat
bervariasi, tergantung pada kriteria eksklusi. Sebuah studi prospektif
menunjukkan gejala GI pada 80% pasien dengan autisme. Gejala yang
ditimbulkan yaitu sakit perut, diare kronis, sembelit, dan penyakit
refluks gastroesofagus. Peningkatan permeabilitas usus bahkan
ditemukan pada 43% anak autis tanpa tanda-tanda klinis disfungsi usus.
Konsentrasi oksalat plasma dan urine meningkat pada anak-anak autis
yang memungkinkan meningkatkan penyerapan usus. Meningkatnya
permeabilitas dapat menyebabkan alergi dan proses autoimun. Ada
laporan anekdotal tentang perbaikan autis perilaku pada diet terbatas.
Beberapa eksperimental penelitian telah melaporkan peningkatan yang
dilaporkan termasuk sosialisasi, ucapan, perilaku aneh dan tidak biasa,
perilaku stereotip, perhatian / hiperaktif dan gejala fisiologis.
Satu studi tentang diet bebas kasein / gluten dianggap anak-anak
dengan dan tanpa gejala GI secara terpisah. Mereka menemukan yang
lebih besar meningkatkan perilaku autistik pada anak-anak dengan
gastrointestinal gejala dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Peningkatan yang dilaporkan mungkin karena beberapa alasan.
Penghapusan alergen dapat menyebabkan berkurangnya autoimun
reaksi. Penghapusan gluten dapat mengurangi permeabilitas usus.
Penghapusan diet protein yang aktivitas enzimnya tidak mencukupi
dapat mengurangi dysbiosis. Otak memiliki potensi untuk secara
langsung memengaruhi fungsi usus. Stres telah terlibat dalam lekas
marah Sindrom usus dengan perubahan-perubahan dari penghalang
usus fungsi, keseimbangan diubah dalam mikroflora enterik, berlebihan
respon stres dan hipersensitivitas visceral. Antidepresan dan terapi telah
ditemukan sebagai pengobatan yang efektif untuk sindrom iritasi usus
besar (IBS) dan penyakit radang usus (IBD).
38

9. Penatalaksanaan Autisme
Autisme merupakan gangguan neurobiologis yang menetap, yang
menunjukkan gejala gangguan komunikasi dan bahasa, interaksi sosial dan
perilaku. Meskipun gangguan neurobiologis tidak dapat diobati namun
gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi, sehingga tampak tidak ada
beda antara anak yang autisme dan non autisme.
Tujuan utama penatalaksanaan anak autisme adalah :
a. Memaksimalkan kualitas hidup, kemandirian, dan tanggung jawab.
b. Meminimalkan gejala-gejala autism, mengurangi masalah komunikasi,
interaksi sosial, perilaku maladaptif dan serotif.
c. Memfasilitasi perkembangan anak dan belajar
d. Memberi pengertian, dukungan dan mentoring kepada keluarga untuk
intervensi tambahan dirumah (Soetjiningsih & Ranuh, 2016)
Intervensi dini ini bersifat preventif, supportif, thepeutic dan
remedial. Keuntungan dari melakukan intervensi dini ini adalah untuk
memaksimalkan dan menormalkan perkembangan anak dan memberikan
dukungan keluarga yang memungkinkan mereka untuk membuat anaknya
lebih produktif dan menjadi individu yang mandiri (Jagan & Sathiyaseelan,
2016).
Intervensi dini dilakukan dengan fungsi utamanya adalah untuk
membantu anak mencapai keberhasilan dan kemajuan atas perkembangan
selayaknya anak-anak seusianya. Tahapan yang paling penting bagi orang
tua untuk dapat membantu anaknya yang autis adalah memulai intervensi
dini setelah diagnosis diberikan. Jika berbagai intervensi dini yang
dibutuhkan diberikan sebelum usia tiga tahun, maka tidak menutup
kemungkinan perkembangan anak autis (Yuwono, 2009).
Semakin dini terdiagnosis dan segera dilakukan intervensi dini,
maka semakin besar kesempatan untuk “sembuh” (menjadi lebih baik dari
kondisi sebelumnya). Penyandang autis dianggap sembuh apabila gejala-
gejalanya tidak terlihat lagi sehingga dapat berbaur secara normal dengan
masyarakat luas. Namun gejala yang ada pada setiap anak sangat bervariasi,
dari yang berat sampai yang ringan. Kesembuhan dipengaruhi oleh berbagai
39

faktor misalnya berat ringannya gejala yang dimiliki, kecerdasan,


kemampuan berbicara, berapa lama ditangani, sejak kapan/usia ditangani
dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan intensif (Yuwono, 2009)
Terapi Autisme
Menurut Danuatmaja (2012) ada beberapa jenis terapi autis, yaitu :
1) Terapi Medikamentosa
Terapi ini dilakukan dengan menggunakan obat-obatan
yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki
respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh dan
berulang. Dalam kasus ini gangguan terjadi di otak sehingga obat-
obatan yang dipakai adalah yang bekerja diotak.
2) Terapi Biomedis
Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolism tubuh
melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan
berdasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh, seperti gangguan
pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam
berat. Dari berbagai gangguan fungsi tubuh ini mempengaruhi
fungsi otak.
3) Terapi Wicara
Merupakan terapi yang utama dan menjadi keharusan bagi
anak autis karena mereka mengalami keterlambatan dalam
berbicara dan kesulitan bahasa.
4) Terapi Okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autisme dalam
perkembangan motorik yang kurang baik, seperti gerak-geriknya
kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan menguatkan,
memperbaiki koordinasi, dan keterampilan otot halus anak
(Danuatmaja, 2012)
5) Terapi Perilaku
Terapi ini dilakukan agar anak autis dapat mengurangi
perilaku tidak wajar dan mengubahnya dengan perilaku yang dapat
diterima di masyarakat. Contoh terapi perilaku adalah :
40

a) ABA (Applied Behavior Analysis)


Terapi ini merupakan intervensi pendidikan untuk mengubah
perilaku anak secara sistematis dan untuk memperbaiki
perilaku. Tujuan terapi ini adalah untuk memperbaiki perilaku
adaptif yang sudah ada dan mengurangi perilaku maladaptive
dengan memberikan perilaku baru sehingga anak lebih adaptif
dengan kondisi rumah, sekolah atau lingkungan lain di
sekitarnya.
b) TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related
Communication Handicapped Children)
Terapi ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan anak
autis, dan memodifikasi lingkungan sesuai dengan kelainan
pada anak. Terapi ini disebut sebagai pendidikan yang
terstruktur.
c) Developmental, Individual-difference, Relationship-based
(DIR) / “Floortime model”
Terapi ini membantu professional, guru, orang tua untuk
membuat penilaian yang komprehensif dan memilih intervensi
yang sesuai dengan potensi dan kelainan disetiap anak. Tujuan
terapi ini adalah meningkatkan kemampuan sosial, emosional
dan intelektual anak. Fokus terapi ini adalah hubungan
interpersonal, yaitu: teknik floor time dan strategi lain yang
meningkatkan hubungan emosi dan interaksi sosial; terapi
untuk meningkatkan kemampuan proses biologi, seperti
mendengar, bicara, motoric, sensorik, dan visual spatial
(Soetjiningsih, 2016).
6) Social Skill Instruction
Terapi ini dilakukan untuk memberikan respon terhadap
perilaku sosial dari anak lain. Dan diharapkan anak akan mulai
mempunyai perilaku sosial, dan perilaku repetisi menjadi minimal
(Soetjiningsih, 2016).
7) Terapi Lain
41

Sekitar 70 persen anak autis mengalami gangguan kognitif,


40 persen diantaranya adalah gangguan kognitif berat. Untuk anak
yang dicurigai mengalami retardasi mental, perlu diberikan
dukungan untuk pemecahan masalah, regulasi diri sesuai umurnya,
dan diperlukan tes IQ.
Untuk keluarga anak autisme diberikan dukungan emosi,
dukungan kesehatan fisik, penjelasan yang rinci tentang autismee
dan prognosisnya, pelatihan sebagai co-therapist, dan membentuk
kelompok pendukung orang tua dari anak autis (parent support
group) agar orang tua saling bertukar pengalaman dan meberikan
dukungan (Soetjiningsih, 2016).

C. Pengetahuan
1. Definisi
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan
telinga (Fitriani, 2011).

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh


manusia melalui pengamatan indra. Pengetahuan muncul ketika seseorang
menggunakan indera dan akalnya untuk mengenali benda atau kejadian
yang belum pernah dilihat atau dialami sebelumnya (Mahmud, 2017).

2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Bloom 1956 dalam(Potter & Perry, 2012), pengetahuan
merupakan termasuk ke dalam perilaku kognitif yang memiliki hirarki
sebagai berikut :
a. Tahu (Know)
Tahu berarti mengingat suatu materi yang sebelumnya telah
dipelajari. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah
karena tingkat pengetahuan ini mencakup mengingat kembali (recall)
sesuatu spesifik dari seluruh bahan yang telah diterima.
42

b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara
benar dan mampu menginterpretasikan secara benar tentang materi atau
objek yang diketahui.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi berarti sebagai kemampuan menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi
dan satu sama lain masih terkait.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu kemampuan untuk
menyusun formasi baru dari formasi-formasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merujuk pada kemampuan melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan


a. Faktor Internal
1) Usia
Proses perkembangan mental seseorang bertambah baik
seiring bertambahnya usia dan akan menurun kembali pada lansia
tertentu.
2) Pengalaman
Pengalaman dapat menjadi sumber pengetahuan yang dapat
digunakan dengan cara mengulangi kembali apa yang diperoleh
secara langsung sebelumnya.
3) Intelegensia
Intelegensia merupakan kemampuan untuk belajar, berpikir,
dan mengolah berbagai informasi secara terarah.
b. Faktor Eksternal
43

1) Pendidikan
Tingkat pendidikan turut mempengaruhi pengetahuan
kerana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin banyak dan
mudah seseorang menyerap dan memperoleh materi.
2) Pekerjaan
Secara tidak langsung pekerjaan mempengaruhi
pengetahuan dikarenakan pekerjaan berhubungan erat dengan
hubungan sosial dan kebudayaan yang menyebabkan terjadinya
proses pertukaran informasi.
3) Sosial Budaya dan Ekonomi
Sosial budaya mempengaruhi pengetahuan melalui proses
belajar dari berhubungan dengan orang lain sedangkan status
ekonomi mempengaruhi pengetahuan menentukan ketersediaan
suatu fasilitas pembelajaran.
4) Lingkungan
Sifat kelompok dalam lingkungannya akan membawa
pengaruh pengetahuan kepada seseorang.
5) Informasi
Informasi memberikan pengaruh pada pengetahuan
seseorang, banyak informasi yang didapatkan seseorang berbanding
lurus dengan tingkat pengetahuannya (Notoatmodjo, 2011).

4. Cara Memperoleh Pengetahuan


Cara memperoleh pengetahuan, yakni:
a. Cara Tradisional atau Non Ilmiah
merupakan cara memperoleh pengetahuan tanpa sebuah penelitian :
1. Cara coba salah (trial error)
2. Secara kebetulan
3. Cara kekuasaan atau otoritas
4. Berdasarkan pengalaman pribadi
5. Cara akal sehat (common sense)
6. Kebenaran melalui wahyu
7. Kebenaran secara intuitif
44

8. Melalui jalan pikiran


9. Induksi
10. Dedukasi
5. Kriteria Tingkat Pengetahuan
Menurut Arikunto (2010) mengkategorikan pengetahuan dengan
tingkatan yaitu
a. Baik : presentase 76% – 100%
b. Cukup : presentase 56% – 75%
c. Kurang : presentase < 56%

6. Pengetahuan Orang Tua tentang Autis


Orang tua sangat berperan penting dalam progresivitas gangguan
yang terjadi, baik itu dalam gangguan komunikasi, learning disabilities,
maupun autis. Untuk itu, orang tua perlu meningkatkan pengetahuan
tentang kelainan-kelainan pada anaknya. Dan jika anaknya sudah
diketahui memiliki gangguan maka orang tua perlu melakukan tindakan
penanganan dengan bekerja sama dengan terapis dan berbagi
pengalaman dengan membentuk parent support group. Dan yang
terpenting orang tua tetap menjaga keseimbangan hidup dalam keluarga
(Fadhli, 2010)

Sebenarnya tidak hanya orang tua saja yang harus mengetahui dan
memahami tentang autisme, tetapi semua yang terlibat mengetahui dan
mengerti teori tentang autisme dan metode penanganannya serta cukup
trampil dalam berinteraksi dengan anak. Cara yang salah dalam
merespon anak autis tentu akan merusak seluruh proses terapi. Dan
pengetahuan orang tua tentang autisme ini sangat penting karena saat
orang tua sudah mengetahui tentang autisme akan semakin mudah untuk
menerima keadaan anak yang autis dan akan semakin cepat untuk
melakukan penanganan yang tepat. Pengetahuan tentang autisme ini
biasanya didapatkan dengan membaca buku, sharing dengan orang tua
penyandang autistic lainnya, dari media cetak atau elektronik, dan
seminar-seminar tentang autisme atau bertanya kepada ahlinya:
45

Bentuk-bentuk pengetahuan orang tua tentang autisme diantaranya


adalah memiliki informasi dan pengalaman mengenai autis, mengetahui
apa yang dimaksud dengan autis, mengetahui ciri-ciri anak autis, dan
mengetahui dengan cara apa saja kebutuhan anak autis dapat terpenuhi

D. Anak dalam Kajian Islam


Anak merupakan karunia Allah SWT yang sangat istimewa. Imam Al-
Ghazali mengatakan bahwa anak adalah amanah dan hatinya yang suci
merupakan mutiara. Jika orang tua membiasakan anak untuk melakukan hal-hal
yang baik, ia pasti akan tumbuh menjadi anak yang shaleh dan sholehah. Tetapi
jika ia diajarkan hal-hal yang tidak baik maka akan sengsara di masa depan.
Karena itu, periharalah anak yang dititipkan Allah kepada kita dengan mendidik
mereka budi pekerti yang luhur.

Setiap pasangan pasti mendambakan kehadiran seorang anak dalam


keluarganya. Anak membawa kebahagiaan tersendiri dan akan lengkap rumah
tangga dengan adanya anak. tanpa anak, banyak keluarga yang merasa kurang
bahagia. Akan tetapi, kehadiran anak juga bisa membawa kesedihan jika orang
yang diberi karunia tidak bisa menjadi orangtua yang amanah. Orang yang
bersikap ihsan meyakini bahwa anak merupakan amanah atau titipan Allah SWT
yang harus dijaga, dididik, dan dipelihara sesuai tuntunan-Nya, sehingga kelak
akan menjadi orang yang sukses, baik di dunia maupun diakhirat (Syarbini, A.,
Jamhari, S, 2013)

Jika kita menganggap bahwa anak autis sebagai musibah dan kutukan,
kita tidak akan dapat menghargai dan menerima kehadiran anak itu dalam
lingkungan keluarga kita. Menurut (Harmaini, 2013) dalam Al Qur’an dijelaskan
tentang arti dan keberadaan anak bagi orang tua, yaitu:

1. Anak sebagai perhiasan orang tua


Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 46:
46

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, namun


amal yang kekal dan sholih adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan”
Kemudian dalam Surat Al-Furqan ayat 74:

Artinya: “Wahai Tuhan Kamil, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri


kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.
2. Anak sebagai cobaan atau ujian
Hal ini diterangkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat

28:
Yang artinya “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang
besar. Dalam Surat At-Taghaabun ayat 15

َّ ‫ِإنَّ َما ٓ أ َ ْم َٰ َولُ ُك ْم َوأ َ ْو َٰلَدُ ُك ْم فِتْنَةٌ ۚ َو‬


‫ٱَّللُ ِعندَ ٓۥهُ أ َ ْج ٌر َع ِظي ٌم‬
Yang artinya “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.

3. Anak adalah tanggung jawab orang tua


Anak adalah amanah dari Allah SWT kepada setiap pasangan untuk
menjaganya dan kelak akan dipertanggungjawabkan. Firman Allah dalam
Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 9:
47

Yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.
Generasi yang kuat akan mucul jika dibesarkan diatas pijakan
ketaqwaan kepada Allah serta berkata dengan perkaataan yang benar.
Dengan dua “guide line” insyaalah akan terbentuk anak-anak dengan
karakter yang kuat dan yang mampu berperan sebagai geneari sholih
pewaris semangat para Nabi dan golongan orang-orang yang shalih.

4. Anak menjadi musuh


Allah SWT telah menerangkan dalam Al-Qur’an Surah At-

Taghabun Ayat 14 :
Yang artinya “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya diantara isteri-
isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-
hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

E. Penelitian Terkait
1. Penelitian dari Wetherston et al (2017) di Afrika Selatan dengan judul “The
views and knowledge of parents of children with autism spectrum disorder
on a range of treatments”. Penelitian ini mengumpulkan responden 46
orang. Hasil penelitian didapatkan lebih dari setengah orang tua 53% tidak
terbiasa atau hanya mendengar pengobatan yang ditanyakan, 33,3% orang
tua mengenal tentang perawatan, 13,4% memiliki pemahaman tentang
perawatan. Dan dari semua perawatan, orang tua menilai pengetahuan
mereka tentang terapi wicara-bahasa (SLT) paling tinggi. Mayoritas 68%
48

orang tua menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam


mengakses fasilitas perawatan ASD dan professional kesehatan, dan
mengganggap perawatan ASD tergolong mahal. Meski begitu, ada 74%
orang tua melaporkan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan
professional kesehatan mereka.
2. Penelitian Denicola (2016) di Canada dengan judul “Parents Knowledge of
Autism” dengan responden 30 ibu yang setidaknya memiliki satu anak.
Penelitian ini menggunakan kuesioner pengetahuan. Skor rata-rata
kuesioner adalah 8,1 yang menunjukkan pengetahuan autis diatas rata-rata.
Dari 30 responden, 28 responden mendapatkan score diatas tujuh, ini
menunjukkan pengetahuan ibu rata-rata dan hanya dua yang mendapat score
dibawah tujuh, ini menunjukkan pengetahuan tentang autisnya dibawah
rata-rata (Denicola, 2016)
3. Penelitian lain oleh P, Abirami (2018) di India dengan judul “A Study to
Assess the Knowledge to Autism Among Parents Attending at SRM General
Hospital, Kattankulatur”, diantara 50 orang tua didapatkan hasil 26 (52%)
orang tua mempunyai pengetahuan yang cukup memadai, 21 (42%) orang
tua memiliki pengetahuan yang tidak memadai, dan 3 (6%) orang tua
memiliki pengetahuan yang memadai tentang autis. (Abirami et al., 2018).
4. Penelitian oleh (Ernie, 2012) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan
Sikap Orangtua Tentang Autisme Dengan Tingkat Stres Orang Tua di SLB
Khusus Autistik Fajar Nugraha Sleman Yogyakarta” dengan 52 responden
didapatkan hasil yaitu distribusi responden pengetahuan baik sebanyak 19
orang (36%), kurang 18 orang (34,6%) dan sedang sebanyak 15 orang
(28,5%). Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk responden perlu
meningkatkan pemahaman tentang autisme, bisa melalui diskusi kelompok
dengan dokter maupun perawat, atau menacari informasi melalui buku
majalah maupun televisi.
5. Penelitian yang dilakukan oleh (Rahman, 2017) dengan judul “Gambaran
tingkat pengetahuan ibu yang mempunyai anak autisme tentang perawatan
anak autisme di rumah di SLB autisma YPPA Padang”. Penelitian ini adalah
penelitian deskriptif dengan besar sampe sebanyak 55 responden. Dengan
49

hasil sebagian besar responden tingkat pengetahuan tinggi yaitu sebanyak


32 orang (58,1%) dan responden berpengetahuan rendah sebesar 23 orang
(41,9%). Berdasarkan hasil penelitian disaran kepada orang tua untuk selalu
meningkat perhatian yang lebih kepada anak yang menderita autisme baik
dalam pendidikan maupun pergaulannya sehingga mereka bisa hidup
berdampingan dengan anak normal lainnya.
E. Kerangka Teori

Bagan 2 1 Kerangka Teori

Gejala Autis

Gangguan Interaksi Sosial Masa Bayi


Gangguan komunikasi Masa Anak
Gangguan perilaku - Gangguan Perilaku
- Gangguan Interaksi Sosial
- Gangguan Komunikasi
DSM-IV,1994 dalam Tiel (2007)
- Gangguan Kognitif
- Respon abnormal terhadap
perangsangan indera
- Gangguan emosi
Deteksi dini
Masa Pubertas
( Soetjiningsih & Ranuh, 2016)

Autisme  Terapi Medikamentosa


pada Anak
Intervensi  Terapi Biomedis
 Terapi wicara
 Terapi okupasi
 Terapi perilaku (ABA,
TEACCH, DIR)
Keterangan :
: Diteliti

: Tidak diteliti

Sumber : (Soetjiningsih & Ranuh, 2016), (Danuatmaja, 2012), (Tiel, 2007)

50
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan satu atau
lebih variabel independen dengan satu variabel dependen. Variabel independen
adalah faktor yang dapat di operasionalkan, sedangkan variabel dependen
adalah situasi masalah yang dapat dioperasionalkan dalam penelitian (Lapau,
2013). Dalam sebuah penelitian sangat memerlukan sebuah kerangka konsep
yaitu suatu model pendahuluan dari sebuah masalah penelitian yang akan
dilakukan dan menjadi refleksi dari hubungan variabel-variabel yang akan
diteliti. Kerangka konsep dibuat sesuai dengan literatur dan teori yang sudah
ada (Swarjana, 2016).

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah gambaran tingkat


pengetahuan orang tua tentang autis pada batita di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Ciputat.

Bagan 3 1 Kerangka Konsep

Gambaran Tingkat Pengetahuan


Orangtua tentang Gejala Autis pada
Batita
 Gangguan Interaksi Sosial
 Gangguan Komunikasi
 Gangguan Perilaku

51
52

B. Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah suatu definisi dengan cara mengubah konsep yang akan diteliti dengan kata-kata yang dapat
menggambarkan perilaku yang dapat diamati dan dapat diuji, sehingga peneliti dapat mengobservasi suatu gejala atau objek (Zulfikar &
Budiantara, 2014).

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Tingkat Pengetahuan Kemampuan orang tua Menggunakan Skala Kuesioner 1 = Baik (76-100%) Ordinal
dalam mengetahui: Guttman Benar = 1 2 = Cukup (56-75%)
a. gangguan komunikasi Salah = 0 3 = Kurang (<56%)
b. gangguan perilaku (Arikunto, 2010)
c. gangguan interaksi sosial
Karakteristik Responden
1. Usia Orang tua Pertanyaan responden - Kuesioner 1 = 18 – 25 Ordinal
terhadap usianya terhitung demografi 2 = 26 – 38
sejak lahir hingga ulang 3 = 39 – 65
tahun terakhir
2. Jenis Kelamin Status gender yang dibawa - Kuesioner 1 = Laki-laki Nominal
sejak lahir demografi 2 = Perempuan
53

2. Pendidikan Pertanyaan responden - Kuesioner 1 = Tidak Sekolah Ordinal


tentang pendidikan formal demografi 2 = SD
terakhir yang ditamatkan 3 = SMP
4 = SMA
3 = Pendidikan Tinggi
3. Pekerjaan Kegiatan rutin yang - Kuesioner 1 = Tidak Bekerja Nominal
dilakukan dalam upaya demografi 2 = Bekerja
mendapatkan penghasilan
untuk pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan proporsi atau
rerata suatu variabel (Dahlan, 2013). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang gelaja autis pada
anak. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui pertanyaan
terstruktur atau kuesioner penelitian.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Kota
Tangerang Selatan.
2. Waktu
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Mei hingga bulan juni 2019.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah sekelompok elemen (individu, objek, peristiwa)
yang berhubungan dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Hamdi, 2014). Populasi dalam
penelitian ini adalah ibu yang membawa anak usia dibawah tiga tahun yang
berkunjung di Puskesmas Ciputat.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang
terdapat pada populasi sebagai perangkat elemen yang akan dipilih untuk
dipelajari(Sugiyono, 2014). Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah
ibu yang membawa anak usia dibawah tiga tahun yang berkunjung ke
Puskesmas Ciputat.
a. Pengambilan Sampel

54
55

Dalam penelitian ini pengambil sampel menggunakan teknik non


probability sampling atau sampel bukan secara acak atau tidak
didasarkan atas kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata-
mata hanya berdasarkan kepada segi-segi kepaktrisan (Notoatmodjo,
2012) dan dengan tipe purposive sampling. Purposive sampling adalah
suatu metode pengambilan sampel dengan cara memilih sampel diantara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam
penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi yang telah dikehendaki sebelumnya (Nursalam, 2013). Peneliti
ingin meneliti tingkat pengetahuan orang tua tentang gejala autis pada
batita.

b. Besar Sampel
Untuk mengetahui besar sampel minimal dalam penelitian ini
menggunakan rumus (Dahlan, 2013) :

𝑍²1 − ⍺/2(1 − 𝑃)
𝑛 =

Keterangan :

n = Jumlah sampel

Z1-⍺/2 = Derajat Kepercayaan 95% (1,96)

P = Proporsi populasi

d² = Presisi mutlak sebesar 10%

Dari rumus diatas, bahwa nilai P didapatkan dari proporsi penelitian


sebelumnya yang dilihat dari beberapa variabel. Hasil perhitungan besar
minimal sampel adalah:
56

Tabel 4. 1 Besar Sampel Minimal

No Variabel Peneliti P N
1. Pengetahuan Abirami, 2018 0,52 96
2. Jenis Kelamin Stuart, 2008 0,88 41
3. Usia responden Denicola, 2016 0,27 76
4. Pendidikan Abirami, 2018 0,30 81
5. Pekerjaan Abirami, 2018 0,34 87

Berdasarkan hasil perhitungan besar minimal sampel, maka sampel


minimal dari penelitian ini yaitu 96 sampel. Pada wilayah kecamatan
Ciputat, data ibu yang memiliki anak usia dibawah tiga tahun pada tahun
2018 tercatat sebanyak 3464 anak.

D. Kriteria Responden
1. Kriteria Inklusi
a. Responden merupakan orang tua yang memilik anak usia dibawah tiga
tahun yang berkunjung dan tercatat di wilayah kerja Puskesmas Ciputat.
b. Tinggal di wilayah setempat.
c. Orang tua bersedia berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian ini.
2. Kriteria Eklusi
a. Orang tua yang memiliki yang memiliki anak dengan kelainan mental
seperti cacat mental.
b. Orang tua yang memiliki anak autis.

E. Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan jenis instrument kuesioner yaitu
merupakan daftar pertanyaan yang telah disusun untuk memperoleh data
sesuai yang diinginkan peneliti (Wasis, 2008).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang terdiri
dari dua bagian, yaitu; kuesioner bagian I berupa pertanyaan tentang
demografi yang berjumlah 5 item pertanyaan terbuka. Pertanyaan tersebut
mengenai jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, dan pekerjaan.
57

Kuesioner bagian II yang berisi pernyataan untuk mngetahui tingkat


pengetahuan orang tua tentang gejala autis. Peneliti mengembangkan
kuesioner berdasarkan teori dari kriteria diagnosis autisme berdasarkan
DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth
Edition ) yang diterbitkan oleh American Psyvhiatric Association (APA)
dan beberapa teori lain dan didapatkan hasil 30 soal pernyataan tentang
gejala autisme. Kuesioner ini telah dilakukan uji validitas judgement
exspert, 1 soal di exclude dikarenakan tidak sesuai dengan teori dan 3 soal
lainya di exclude dikarenakan teori yang didapatkan kurang kuat sehingga
hanya 26 soal pernyataan yang dipakai. Dari 26 soal dilakukan uji validitas
dan reliabilitas kepada 30 responden dan didapatkan hasil 25 soal
pernyataan.
Pertanyaan dinilai dengan jawaban dari skala Guttman dengan
menggunakan kriteria penilaian jika Benar diberi skor 1, Salah diberi skor
0 dan Tidak tahu diberi skor 0. Skor diperoleh masing-masing responden,
dijumlahkan dan dibandingkan dengan skor maksimal kemudian dikalikan
100. Hasil perhitungan terakhir menunjukkan nilai pengetahuan yang
dimiliki responden tentang autis. Skor yang diperoleh kemudian
dikategorikan sesuai dengan kategori pengetahuan yang dikemukakan oleh
(Arikunto, 2010) menjadi pengetahuan baik skor >76%, pengetahuan cukup
apabila skor 56-76%, pengetahuan kurang apabila skor <56%.
2. Validitas Dan Reliabilitas Kuesioner
Validitas adalah sebuah tes yang dilakukan untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur. Sebuah instrument dikatakan valid jika instrument
tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur berdasarkan situasi
dan kondisi tertentu (Swarjana, 2016). Untuk mengetahui validitas suatu
intrumen dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara skor masing-
masing variabel dengan menggunakan rumus Product Moment dari Karl
Pearson (Sugiyono, 2014) sebagai berikut:

𝑁(Ʃ𝑥𝑦) − (Ʃ𝑥 Ʃ𝑦)


𝑟=
√{𝑁Ʃ𝑥 2 − (Ʃ𝑥)2 } {𝑁Ʃ𝑦 2 − (Ʃ𝑦)2 }.
58

Keterangan:
rxy = koefisien korelasi antara x dan y
∑x = jumlah nilai variabel x
∑y = jumlah nilai variabel y
∑ xy = jumlah hasil perkalian antara variabel x dan y
∑ x2 = jumlah kuadrat nilai variabel x
∑ y2 = jumlah kuadrat nilai variabel y
N = jumlah responden dalam penelitian

Keputusan uji validitas, bila rhitung (rpearson) ≥ rtabel maka pernyataan


tersebut valid. Apabila rhitung (rpearson) ≤ rtabel maka pernyataan tersebut tidak
valid (Sugiyono, 2014).
Tabel 4. 2 Hasil Validitas Kuesioner

Item Nilai r tabel Nilai r hitung Keterangan


Q1 0,361 0,588 Valid
Q2 0,361 0,583 Valid
Q3 0,361 0,465 Valid
Q4 0,361 0,439 Valid
Q5 0,361 0,404 Valid
Q6 0,361 0,479 Valid
Q7 0,361 0,504 Valid
Q8 0,361 0,750 Valid
Q9 0,361 0,443 Valid
Q10 0,361 0,504 Valid
Q11 0,361 0,412 Valid
Q12 0,361 0,465 Valid
Q13 0,361 0,431 Valid
Q14 0,361 0,439 Valid
Q15 0,361 0,390 Valid
Q16 0,361 0,568 Valid
Q17 0,361 0,514 Valid
Q18 0,361 0,448 Valid
Q19 0,361 0,403 Valid
59

Q20 0,361 0,527 Valid


Q21 0,361 0,478 Valid
Q22 0,361 0,504 Valid
Q23 0,361 0,052 Tidak Valid
Q24 0,361 0,488 Valid
Q25 0,361 0,520 Valid
Q26 0,361 0,438 Valid

Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan rumus Pearson


Product Moment, dimana suatu pertanyaan dianggap valid jika nilai r
hitung > r tabel, sedangankan pertanyaan tidak valid maka r hitung < r tabel
(0.361) pada n= 30 (Notoatmodjo, 2012) .
Uji validitas ini dilakukan pada 30 orang tua yang memiliki anak
batita di Puskesmas Ciputat. Selanjutnya dari hasil jawaban dari kuesioner
pengetahuan gejala autis 26 pertanyaan hanya 1 pertanyaan yang tidak valid.
Satu pertanyataan yang tidak valid kemudian di exclude dari penelitian
sehingga kuesioner yang di pakai hanya 25 soal pernyataan terkait
pengetahuan tentang gejala autis.
Reliabilitas merupakan gambaran seberapa jauh pengukuran yang
diperoleh dengan menggunakan instrumen (termasuk kuesioner) jika
diulang akan menghasilkan hasil yang sama atau konsisten.
Uji reliabilitas dilakukan dengan rumus cronbachs alpha ≥ 0,6
(Sugiyono, 2014) . Hasil Reliabilitas suatu kuesioner adalah dengan
membandingkan r hasil dengan r tabel. R hasil adalah nilai atau cronbachs
alpha per item kuesioner. Jika r hasil . r tabel, maka pernyataan dalam
instrument tersebut adalah reliabel (Hastono, 2006). Pengukuran reliabilitas
menggunakan rumus Alpha Cronbach adalah sebagai berikut:

k ∑ 𝑆𝑖2
𝑟𝑖𝑖 = ( ) (1 − 2 )
k−1 𝑆𝑡

Keterangan:
rii = koefisien reliabilitas instrumen
60

Si2 = varian skor item


St2 = varian skor total

Keputusan uji diambil bila nilai cronbachs alpha ≥ konstanta (0,6),


maka pernyataan reliabel. Sedangkan apabila nilai cronbachs alpha ≤
konstanta, maka pernyataan tersebut tidak reliabel (Hidayat, 2010).

Pada penelitian ini hasil uji reliabilitas kuesioner adalah 0,848


sehingga dinyatakan reliabel karena > dari cronbachs alphanya > 0,60.

3. Prosedur pengumpulan data


Proses-proses dalam pengumpulan data pada penelitian ini melalui
beberapa tahap antara lain:
a. Meminta surat pengantar dari Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk melakukan penelitian setelah proposal
disetujui pembimbing.
b. Mengajukan dan menyerahkan surat permohonan izin kepada pihak
puskesmas untuk melaksanakan penelitian.
c. Peneliti terlebih dahulu melakukan uji validitas judgement exspert
kuesioner dengan Ibu Ns Mardiyanti S.Kep., M.Kep., M.D.S.
d. Melakukan uji validitas dan reabilitas kuesioner kepada 30 responden.
e. Setelah instrument dinyatakan valid dan reliabel, peneliti mencari
responden sesuai dengan kriteria inklusi.
f. Mendatangi responden untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerahasiaan informasi yang diberikan responden kepada
peneliti serta meminta kerjasama responden untuk menjawab
pertanyaan dalam kuesioner secara jujur sesuai dengan keadaan
responden.
g. Memberikan daftar pertanyaan dan menyerahkan kepada responden
kemudian meminta responden untuk menandatangani lembar
persetujuan sebelum mengisi lembar pertanyaan.
h. Memberikan penjelasan kepada responden tentang cara pengisian
kuesioner.
61

i. Memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya kepada


peneliti apabila ada yang tidak jelas dengan kuesioner
j. Memberikan waktu selama 10-15 menit kepada responden untuk
mengisi kuesioner.
k. Responden menyerahkan kembali kuesioner yang telah diisi kepada
peneliti untuk selanjutnya diolah dan dianalisis.
l. Peneliti memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner oleh responden.
4. Data yang dikumpulkan
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
data primer dan sekunder:
a. Data Primer
Data primer adalah sumber-sumber dasar yang terdiri dari bukti-bukti
atau saksi utama dari kejadian (fenomena) objek yang diteliti dan gejala
yang terjadi saat dilapangan (Sumantri, 2011). Data primer pada
penelitian ini diperoleh langsung dari responden yang melakukan
pengisian kuesioner yang telah disiapkan.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber selain dokumen langsung yang
menjelaskan tentang suatu gejala. Data sekunder adalah data yang
sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan
(Sumantri, 2011).

F. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah suatu rangkaian dari kegiatan penelitian yang
dilakukan setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah harus diolah
menjadi suatu informasi yang nantinya dapat digunakan dalam menjawab tujuan
penelitian. Proses pengolahan data tersebut dapat dilakukan dengan beberapa
tahapan, yaitu: tahap editing, coding, prosesing, cleaning (Hastono, 2006)

1. Editting
Pada tahap ini peneliti telah memeriksa kembali pengisian kuesioner
yang telah dijawab oleh responden, dengan memperhatikan kelengkapan
jawaban, kesalahan pengisian dan karakteristik dari setiap jawaban dan
daftar pernyataan.
62

2. Codding
Setelah data diedit atau disunting, selanjutnya adalah mengkoding
data yaitu dilakukan dengan cara memberi kode pada setiap jawaban yakni
dengan mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka
atau bilangan. Misalnya untuk variabel pendidikan diberikan koding 1= SD,
2= SMP, 3= SMU, dan 4= PT. Proses koding ini berguna untuk
mempermudah peneliti pada saat menganalisis data dan mempercepat pada
saat entry data.
3. Entry
Entry data hasil jawaban dari masing-masing responden yang dalam
bentuk “kode” dimasukkan ke dalam program atau “software” computer
dengan menggunakan perangkat lunak SPSS.
4. Cleaning
Pada tahap ini setelah peneliti memasukkan semua data dari
responden kemudian mengecek kembali untuk memastikan bahwa data
tersebut telah bersih dari kesalahan dalam pengkodean maupun kesalahan
dalam membaca kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, selanjutnya
dilakukan pembenaran atau koreksi.

G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah digunakan untuk menjabarkan secara
deskriptif mengenai distribusi frekuensi dan proporsi masing-masing
variabel yang diteliti. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Sumantri, 2011).
Pada penelitian ini, peneliti menyajikan analisis univariat yaitu
mengidentifikasi gambaran karakteristik yang meliputi usia orang tua,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat pengetahuan orang
tua mengenai autis pada anak serta tabulasi silang antara pengetahuan
dengan orang tua, pengetahuan dengan pendidikan orang tua dan
pengetahuan dengan pekerjaan orang tua di Puskesmas Ciputat.
63

H. Etika Penelitian
Etika dalam Bahasa Yunani, yakni ethos, yang berarti “adat istiadat” atau
yang berkaitan dengan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
suatu kelompok/masyarakat. Dalam kegiatan penelitian, etika penelitian
bertujuan untuk menjamin bahwa tidak seorangpun yang dirugikan atau
menanggung konsekuensi yang merugikan dari kegiatan penelitian (Adi, 2015).

Prinsip etika dalam penelitian / pengumpulan data yang dapat dipahami


oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)


Peneliti telah mengusahakan senantiasa menghormati harkat dan
martabat responden dengan menjelaskan manfaat penelitian, menjelaskan
resiko yang mungkin muncul serta ketidakamanan, membuat persetujuan
peneliti dengan menjawab pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan
dengan prosedur penelitian, tanpa ada unsur paksaan dengan cara sebelum
dilakukan pengisian kuesioner peneliti menjelaskan terlebih dahulu
mengenai penelitian yang dilakukan, kemudian dilakukan pengisian
informed consent bagi yang bersedia menjadi responden.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy
and confidentiality)
Peneliti telah memperhatikan kerahasiaan data individu, karena
tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain.
Dalam pelaksanaannya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi
mengenai identitas baik nama maupun alamat dalam kuesioner serta alat
ukur apapun dalam menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subjek.
Peneliti menggunakan koding sebagai pengganti identitas.
3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)
Penelitian ini dilakukan secara jujur, hati-hati, professional,
berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,
keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius dari
subjek penelitian. Prinsip keterbukaan mencakup kejelasan prosedur
penelitian. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana penelitian
membagikan keuntungan dan beban secara merata.
64

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harm


and benefits)
Peneliti telah melakukan penelitian sesuai dengan proses dan
prosedur penelitian untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal
mungkin bagi subjek penelitian dan dapat digeneralisasikan dalam tingkat
populasi.
BAB V

HASIL PENELITIAN

Bab ini menyajikan data hasil penelitian yang meliputi karakteristik


responden, gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang gejala autis pada batita
di wilayah kerja Puskesmas Ciputat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni
2019 dengan pembagian kuesioner yang dilakukan di poli anak Puskesmas Ciputat.

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian


Puskesmas Ciputat terletak ± 6 km sebelah Utara Kota Tangerang Selatan.
Puskesmas Ciputat terletak dijalan Ki Hajar Dewantara No. 7 Kelurahan
Ciputat, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten.
Puskesmas Ciputat merupakan salah satu dari 3 Puskesmas yang ada di
wilayah Kecematan Ciputat. Letaknya berbatasan dengan sebelah utara yaitu
Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah, sebelah selatan yaitu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang, sebelah barat yaitu Wilayah Kerja Puskesmas
Benda Baru, dan sebelah timur yaitu Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Timur. Wilayah kerja Puskesmas Ciputat terdiri dari 2 kelurahan yaitu
kelurahan Ciputat dan Kelurahan Cipayung. Puskesmas Ciputat terletak di
tepi jalan raya, sehingga akses menuju lokasi relative mudah karena dilalui
oleh kendaraan umum dan dapat pula ditempuh dengan berjalan kaki.
Pelayanan kesehatan yang terdapat di Puskesmas Ciputat yaitu pengobatan
umum, pengobatan gigi dan klinik IMS (Infeksi Menular Seksual), poli BPJS
(Badan penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan), pelayanan KIA (Kartu
Identitas Anak) / KB (Keluarga Berencana), posyandu yang dilaksanakan
setiap bulannya dan juga program lansia yang diupayakan melalui kegiatan
penjaringan usia lanjut di Posbindu.
Tujuan Umum dari Puskesmas Ciputat adalah mengoptimalkan
kemampuan Puskesmas dalam mengelola program – program kegiatan dalam
upaya peningkatan peran serta Puskesmas sebagai salah satu pusat
pengembangan, Pembinaan, dan Pelaksanaan Upaya Kesehatan agar misi
Indonesia sehat dapat dicapai. Sedangkan Tujuan khusus dari Puskesmas

65
66

Ciputat adalah meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan sesuai


dengan kebutuhuan dan keadaan di Puskesmas wilayah kerjanya, mengolah
potensi SDM yang ada di Puskesmas itu sendiri, dan lebih meningkatkan dan
mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat.

B. Hasil Analisa Univariat


1. Gambaran Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin Orang Tua

Tabel 5. 1 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita


berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)


Laki-laki 17 17,7
Perempuan 79 82,3
Total 96 100

Berdasarkan tabel 5.1 distribusi frekuensi responden yang


memiliki batita berdasarakan jenis kelamin di Puskesmas Ciputat dari
96 responden didapatkan bahwa sebagian besar responden adalah jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 79 orang (82,3%) dan jenis kelamin
laki-laki sebanyak 17 orang (17,7%).

b. Usia

Tabel 5. 2 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita


berdasarkan Usia di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Usia Frekuensi Persentase


(%)
Dewasa Awal (18 – 25 tahun) 14 14,6
Dewasa Pertengahan (26 – 35 tahun) 65 67,7
Dewasa Akhir (> 35 tahun) 17 17,7
Total 96 100

Berdasarkan tabel 5.2 distribusi frekuensi responden yang memiliki


batita berdasarakan usia di Puskesmas Ciputat dari 96 responden
didapatkan bahwa sebagian besar usia responden yaitu dewasa
pertengahan (26-35 tahun) sebanyak 65 orang (67,7%), kemudian
67

diikuti dewasa akhir (>35 tahun) sebanyak 17 orang (17,7) dan terakhir
dewasa awal (18-25 tahun) sebanyak 14 orang (14,6%).

c. Pendidikan Terakhir

Tabel 5. 3 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita


berdasarkan Pendidikan Terakhir di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Ciputat

Pendidikan Terakhir Frekuensi Presentase (%)


Tidak Sekolah 0 0
SD 7 7,3
SMP 12 12,5
SMA 61 63,5
Perguruan Tinggi 16 16,7
Total 96 100

Berdasarkan tabel 5.3 distribusi frekuensi responden yang


memiliki batita berdasarakan pendidikan terakhir di Puskesmas
Ciputat dari 96 responden didapatkan bahwa sebagian besar
pendidikan terakhir responden adalah SMA yaitu sebanyak 61 orang
(63,5%), diikuti Perguruan Tinggi sebanyak 16 orang (16,7%), SMP
sebanyak 12 orang (12,5%) dan terakhir SD sebanyak 7 orang
(7,3%).

d. Pekerjaan

Tabel 5. 4 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita


berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Pekerjaan Frekuensi Presentase (%)


Tidak Bekerja 63 65,6
Bekerja 33 34,4
Total 96 100

Berdasarkan tabel 5.4 distribusi frekuensi responden yang


memiliki batita berdasarakan pekerjaan di Puskesmas Ciputat dari
96 responden didapatkan bahwa sebagian besar pekerjaan responden
adalah Tidak Bekerja yaitu sebanyak 63 orang (65,6%), dan Bekerja
sebanyak 33 orang (34,4%).
68

2. Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua


a. Pengetahuan Orang Tua Tentang Gejala Autis

Tabel 5. 5 Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita


berdasarkan Tingkat Pengetahuan Orang Tua di Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Ciputat

Tingkat Frekuensi Presentase (%)


Pengetahuan
Baik 19 19,8
Cukup 29 30,2
Kurang 48 50
Total 96 100

Berdasarkan tabel 5.5 distribusi frekuensi responden yang memiliki


batita berdasarkan tingkat pengetahuan di Puskesmas Ciputat dari 96
responden yang diteliti didapatkan bahwa sebagian besar tingkat
pengetahuan orang tua tentang gejala autis adalah Kurang sebanyak 48
orang (50%), sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan cukup
sebanyak 29 orang (30,2%) dan tingkat pengetahuan Baik hanya 19 orang
(19,8%).
b. Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5. 6 Distribusi Frekuensi Responden yang memiliki Batita


mengenai Tingkat Pengetahuan Orang tua berdasarkan Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Jenis Tingkat Pengetahuan Total


Kelamin Baik Cukup Kurang
N % N % N % N %
Laki-laki 4 23,4 6 35,3 7 41,2 17 100
Perempuan 15 19 23 29,1 41 51,9 79 100
Total TP 19 19,8 29 30,3 48 50 96 100

Berdasarkan tabel 5.6 distribusi frekuensi responden yang memiliki


batita di Puskesmas Ciputat pada tingkat pengetahuan orang tua tentang
gejala autis berdasarkan jenis kelamin dari 97 responden yang diteliti
didapatkan tingkat pengetahuan orang tua yang memiliki pengetahuan
kurang perempuan sebanyak 41 orang (51,9%), sedangkan laki-laki
sebanyak 7 orang (41,2%).
69

c. Pengetahuan Berdasarkan Usia

Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita


mengenai Tingkat Pengetahuan Orang Tua berdasarkan Usia Orang Tua
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Usia Orang Tingkat Pengetahuan Total


Tua Baik Cukup Kurang
N % N % N % N %
Dewasa Muda 1 7.1 6 42,9 7 50 14 100
Dewasa
15 23,1 19 29,2 31 47,7 65 100
Menengah
Dewasa Akhir 3 17,6 4 23,5 10 58,8 17 100
Total TP 19 19,8 29 30,2 48 50 96 100

Berdasarkan tabel 5.7 distribusi frekuensi responden yang memiliki


batita di Puskesmas Ciputat pada tingkat pengetahuan orang tua tentang
gejala autis berdasarkan usia dari 97 responden yang diteliti didapatkan
tingkat pengetahuan yang memiliki pengetahuan kurang yaitu terdapat
pada usia dewasa akhir yaitu sebanyak 10 orang (58,8%), pada dewasa
awal sebanyak 7 orang (50%) dan pada dewasa menengah sebanyak 31
orang (47,7%).
d. Pengetahuan Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Tabel 5. 8 Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita


mengenai Tingkat Pengetahuan Orang Tua berdasarkan Pendidikan
Terakhir di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Pendidikan Tingkat Pengetahuan Total


Terakhir Baik Cukup Kurang
N % N % N % N %
Tidak Sekolah 0 0 0 0 0 0 0 0
SD 2 28,6 0 0 5 71,4 7 100
SMP 4 33,3 0 0 8 66,7 12 100
SMA 8 13,1 25 41 28 45,9 61 100
Perguruan
5 31,3 4 25 7 43,8 16 100
Tinggi
Total TP 19 19,8 29 30,2 48 50 96 100

Berdasarkan tabel 5.8 distribusi frekuensi responden yang memiliki


batita di Puskesmas Ciputat pada tingkat pengetahuan orang tua tentang
gejala autis berdasarkan pendidikan terakhir dari 97 responden yang
diteliti didapatkan tingkat pengetahuan kurang yaitu SD dengan hasil 5
70

orang (71,4%), kemudian SMP sebanyak 8 orang (66,7%), SMA


sebanyak 28 orang (45,9%) dan pada perguruan tinggi sebanyak 7 orang
(43,8%).
e. Pengetahuan Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 5. 9Distribusi Frekuensi responden yang memiliki Batita


mengenai Tingkat Pengetahuan Orang tua berdasarkan Pekerjaan di
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ciputat

Pekerjaan Tingkat Pengetahuan Total


Baik Cukup Kurang
N % N % N % N %
Tidak
11 17,5 16 25,4 36 57,1 63 100
Bekerja
Bekerja 8 24,2 13 39,4 12 36,4 33 100
Total TP 19 19,8 29 30,3 48 50 96 100

Berdasarkan tabel 5.6 distribusi frekuensi responden yang memiliki


batita di Puskesmas Ciputat pada tingkat pengetahuan orang tua tentang
gejala autis berdasarkan pekerjaan dari 97 responden yang diteliti
didapatkan sebagian responden yang memiliki pengetahuan kurang
adalah yang tidak bekerja yaitu sebanyak 36 orang (57,1%), dan
responden yang bekerja sebanyak 12 orang (36,4%).
BAB VI

PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan pembahasan mengenai data yang telah didapat dari
penelitian. Pembahasan akan menguraikan makna hasil penelitian yang dilakukan
tentang gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang gejala autis pada Batita di
wilayah kerja Puskesmas Ciputat. Pembahasan ini membahas mengenai hasil
penelitian yang dikaitkan dengan konsep teoritis sebelumnya. Bab ini juga akan
menjelaskan tentang keterbatasan penelitian yang telah dilaksanakan.

A. Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian jenis kelamin didapatkan
sebagian besar responden pada penelitian ini berjenis kelamin
perempuan sebanyak 79 orang (82,3%) dan laki-laki sebanyak 17
orang (17,7%). Hal ini menunjukkan orang tua yang memiliki anak
batita yang datang berkunjung di Puskesmas Ciputat adalah
perempuan.
Orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan,
peran serta orang tua dalam memberikan penanganan kepada anak
autis secara tepat, terarah dan sedini mungkin. Menurut Cohen &
Volkmar menyatakan bahwa ibu merupakan sosok yang banyak
terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karena
ayah berperan sebagai pencari nafkah utama sehingga mereka tidak
terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari maka ibu lebih
dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan anak Nurul
‘Azizah Rahmawati,Machmuroch, (2015).
Berdasarkan penelitian dari Deeb (2016) bahwa ibu lebih
banyak menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak mereka

71
72

sedangkan ayah menghabiskan sebagian besar waktu mereka di


tempat kerja sehingga ibu lebih mengikuti perkembangan anak-
anaknya daripada ayahnya.
b. Usia Orang Tua
Berdasarkan hasil penelitian ini usia orang tua distribusi
responden mayoritas usia dewasa pertengahan (26-35 tahun) 67 orang
(67,7%), kemudian dewasa akhir (>35 tahun) 17 orang (17,7%) dan
dewasa awal sebanyak 14 orang (14,6%). Dimana usia merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Notoatmodjo,
2011).
c. Pendidikan Terakhir
Kualitas pendidikan kota Tangerang Selatan, tergambar dari
Angka Partisipan Murni (APM) sebanyak 72,43 dan Angka Partisipasi
Kasar (APK) 92,65 pada jenjang SMA. (Badan Pusat Statistik,
2018b). Berdasarkan hasil penelitian ini tingkat pendidikan orang tua
didapatkan distribusi responden mayoritas berpendidikan menengah
(SMA atau sederajat) yaitu sebanyak 61 orang (63,5%), sedangkan
yang berpendidikan perguruan tinggi 16 orang (16,7%) dan untuk
yang berpendidikan SMP 12 orang (12,5%) serta SD 7 orang (7,3%).
d. Pekerjaan
Menurut data dari BPS bahwa jumlah pencari kerja di
Kecamatan Ciputat setiap tahunnya semakin bertambah. Selama tahun
2017 terdaftar pada Disnakertrans Kota Tangerang Selatan khusus
daerah Ciputat mencapai 147 orang, didominasi oleh pencari kerja
laki-laki diantaranya laki-laki 84 orang dan perempuan 63 orang.
(Badan Pusat Statistik, 2018a).
Berdasarkan hasil penelitian ini pekerjaan orang tua
didapatkan mayoritas responden orang tua tidak bekerja atau hanya
sebagai ibu rumah tangga diwilayah Puskesmas Ciputat yaitu
sebanyak 63 orang (65,6%) dan responden yang bekerja sebanyak 33
orang (34,4%). Hal ini menunjukkan orang tua yang memiliki anak
batita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Ciputat banyak yang
73

tidak bekerja. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rini,


2012) didapatkan hasil sebagian besar responden sebanyak 62 orang
(67%) orang tua tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.

2. Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua


Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui
mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011).
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat pengetahuan orang
tua tentang gejala autis pada batita di wilayah kerja Puskesmas Ciputat
melalui kuesioner pengetahuan. Pengetahuan responden dinilai
berdasarkan 25 pernyataan yang mencakup informasi yang diketahui
responden mengenai gejala yang ditimbulkan dari autis.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil dari penelitian
tingkat pengetahuan orang tua mengenai gejala autis pada batita mayoritas
tingkat pengetahuan orang tua kurang yaitu sebanyak 48 orang (50%),
pengetahuan cukup 29 orang (30,2%), dan pengetahuan baik 19 orang
(19,8%).
Pada penelitian sejenis juga dilakukan oleh Abirami et al (2018)
dengan judul A Study to Assess the Knowledge to Autism Among Parents
Attending at SRM General Hospital, Kattankulatur”, diantara 50 orang tua
didapatkan hasil 26 (52%) orang tua mempunyai pengetahuan yang cukup
memadai, 21 (42%) orang tua memiliki pengetahuan yang tidak memadai,
dan 3 (6%) orang tua memiliki pengetahuan yang memadai tentang autis.
Karena di India memiliki tingkat kesadaran yang rendah dan stigmatisasi
yang tinggi ada peningkatan kebutuhan akan program pendidikan publik
tentang pengasuhan anak autis. Tidak ada penelitian yang dilakukan pada
tingkat pengetahuan dan pendapat pengasuh tentang pengasuhan anak
dengan autisme dan juga sangat sedikit penelitian dilakukan pada
efektivitas intervensi pendidikan orang tua. Keluarga anak autis
membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang perawatan anak autis.
74

Di negara seperti India, di mana kesadaran tentang autisme masih muncul,


dan ketersediaan layanan agak terbatas, peran penyedia layanan akan lebih
baik digambarkan sebagai multifaset - penyedia informasi, pemimpin,
pendukung dan panduan. Jadi program intervensi pendidikan yang efektif
perlu direncanakan dan diimplementasikan.
Dengan pengetahuan autisme kita dapat menghindari memperparah
situasi untuk anak-anak dengan autisme. Pengetahuan pengasuh mengenai
perawatan anak autis sangat penting dalam membesarkan anak autis.
Pengetahuan tentang pengasuh penting dalam menilai tanda dan gejala,
kondisi saat ini, risiko kambuh, melaksanakan instruksi dan intervensi
yang ditentukan oleh dokter, mengidentifikasi efek samping obat dan
menangani masalah perilaku umum di rumah. Tetapi pengetahuan
pengasuh tentang perawatan anak autis tidak memadai. Melalui
pendidikan dan pengetahuan, orang dengan autisme dapat secara
signifikan meningkatkan tingkat fungsi dan kualitas hidup mereka.
Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Wetherston et al (2017)
dengan judul “The View and Knowledge of Parent of Children with Autism
Spectrum Disorderon a range of Treatment” , didapatkan hasil lebih dari
separuh 53% orang tua tidak memiliki pemahaman tentang perawatan
Autis. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa orang tua menganggap
perawatan autisme itu mahal dan sulit untuk mendapatkan informasi
terkait perawatan. Orang tua tidak diberitahu tentang pilihan sebelum
perawatan, atau tidak menerima panduan mengenai fasilitas perawatan.
Oleh karena itu, sangat penting bahwa profesional kesehatan terlibat
melanjutkan pendidikan profesional untuk memperbarui pengetahuan
mereka tentang perawatan berbasis bukti terbaru.
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ernie (2012) tentang gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang
autis di SLB Khusus Autistik Fajar Nugraha Sleman Yogyakarta yaitu
distribusi responden pengetahuan baik sebanyak 19 orang (36,5%), kurang
18 orang (34,6%) dan sedang sebanyak 15 orang (28,8%). Dan penelitian
yang dilakukan oleh (Rahman, 2017) tentang gambaran tingkat
75

pengetahuan ibu yang mempunyai anak autisme tentang perawatan anak


autisme di rumah di SLB autisma YPPA Padang dengan hasil sebagian
besar responden tingkat pengetahuan tinggi yaitu sebanyak 32 orang
(58,1%).
Usia mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Dalam
perkembangan mental seseorang bertambah baik seiring bertambahnya
usia dan akan menurun kembali pada lansia tertentu (Notoatmodjo, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil usia dewasa akhir (>35
tahun) memiliki pengetahuan kurang sebanyak 10 orang (58,8%). Hal ini
sejalan dengan penelitian Abirami et al (2018) mayoritas responden dalam
penelitian ini adalah usia dewasa akhir (>35 tahun) yaitu sebanyak 23
orang (46%).
Menurut Mubarak (2011) umur responden dapat mempengaruhi
tingkat pengetahuan sesorang karena semakin cukup umur seseorang maka
pola pikirnya akan semakin matang dan tingkat pengetahuan semakin baik.
Dengan demikian responden juga akan semakin mudah memahami
pengetahuan tentang autis. Namun, umur yang reproduktif tidak dapat
menjamin pola pikir seseorang semakin matang dan tingkat pengetahuan
tinggi. Menurut Notoatmodjo (2011) tingkat pengetahuan sesorang tidak
hanya dipengaruhi oleh umur saja tetapi banyak faktor lain yang
mempengaruhinya.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan juga
sangat berkaitan erat dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang
dengan pendidikan tinggi, maka semakin luas pengetahuan yang orang
tersebut miliki (Notoatmodjo, 2011). Berdasarkan hasil penelitian ini
didapatkan sebagian besar orang tua yang memiliki pengetahuan kurang
tentang gejala autis pada batita adalah orang tua yang berpendidikan SD
yaitu sebanyak (71,4%). Penelitian ini sejalan dengan teori dari Entjang
(1985) dalam Asiah, (2013) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi pola pikir sesorang. Apabila tingkat pendidikan seseorang
76

tinggi, maka cara berpikir sesorang lebih luas. Dengan pendidikan


sesorang dapat meningkatkan kematangan intelektual.
Pendidikan adalah proses membimbing manusia dari kegelapan,
kebodohan dan kecerdasan pengetahun. Pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, yang mempunyai tujuan
lebih tinggi dari sekedar untuk tetap hidup, sehingga manusia menjadi
lebih terhormat mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang
tidak berpendidikan. Seseorang melakukan praktek atau tindakan
disebabkan karena adanya pengetahuan dan sikap yang dimilikinya.
Pendidikan dapat mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin mudah orang tersebut menerima
informasi. Dan semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak
pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Sebaliknya, jika
sesorang tingkat pendidikannya rendah, maka akan menghambat
perkembangan sikap seseorang ( Notoatmodjo, 2011)
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan menurut
teori Lukman (2006) yaitu faktor pekerjaan dan media informasi bukan
hanya tingkat pendidikan saja seseorang yang bekerja dengan profesi
tertentu akan memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang segala hal
yang berkaitan dengan profesinya, dan tidak menjamin seseorang tersebut
akan mengetahui banyak hal diluar profesinya. Sama halnya pengetahuan
tentang dunia kesehatan dan kedokteran bagi mereka yang tidak terjun
didunia kesehatan atau tidak berprofesi sebagai tenaga kesehatan mereka
dapat disebut sebagai orang awam dalam dunia kesehatan yang tidak
sepenuhnya mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan
termasuk tentang autis dan gejala-gejalanya. Oleh karena itu faktor
pekerjaan juga memiliki peranan penting dalam mengukur tingkat
pengetahuan seseorang tidak hanya tingkat pendidikan saja. Berdasarkan
hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar orang tua yang memiliki
pengetahuan kurang tentang gejala autis pada batita adalah orang tua yang
tidak bekerja yaitu sebanyak 36 orang (57,1%). Penelitian ini sejalan
77

dengan penelitian (Oktaviana, 2015) yaitu mayoritas responden tidak


bekerja sebanyak 38 orang (65,5%).

B. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini,
keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis banyak masalah yang harus diteliti dalam masalah autis,
tetapi karena keterbatasan waktu, tenaga dan dana penelitian, maka
peneliti hanya meneliti satu variabel saja yaitu tingkat pengetahuan orang
tua mengenai gejala autis pada batita.
2. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup
sehingga hanya bisa menjawab benar dan salah sehingga jawaban
responden belum bisa untuk mengukur secara mendalam.
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti mengenai gambaran tingkat pengetahuan orang
tua tentang gejala autis pada batita di wilayah kerja Puskesmas Ciputat, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik orang tua dari jenis kelamin
yaitu mayoritas perempuan sebanyak 82,3%, sedangkan dari segi usia
responden yaitu usia dewasa menengah (26-35 tahun) sebanyak 67,7% ,
tingkat pendidikan responden pada penelitian ini sebagian besar adalah
SMA sebanyak 63,3% dan pekerjaan responden sebagian besar adalah
tidak bekerja/IRT 65,6%.
2. Hasil penelitian berdasarkan gambaran tingkat pengetahuan orang tua
tentang gejala autis pada batita adalah mayoritas responden
berpengatahuan kurang yaitu sebanyak 50%.
3. Hasil penelitian berdasarkan tabulasi silang responden yang
berpengetahuan kurang berdasarkan jenis kelamin adalah mayoritas
perempuan sebanyak 51,9%, sedangkan responden yang berpengetahuan
kurang berdasarkan usia mayoritas pada usia dewasa akhir (>35 tahun)
sebanyak 58,8%, dan responden yang berpengetahuan kurang berdasarkan
tingkat pendidikan mayoritas orang tua yang berpendidikan SD
sebanyak71,4% dan responden yang berpengetahuan kurang berdasarkan
pekerjaan adalah mayoritas orang tua yang tidak bekerja sebanyak 57,1%.

78
79

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat
diajukan antara lain:
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan khususnya Puskesmas Ciputat dapat memberikan
pendidikan kesehatan secara merata di wilayah kerja Puskesmas Ciputat
terutama pada orang tua yang memiliki anak batita tentang gejala autis
secara dini untuk mencegah tingkat keparahan yang ditimbulkan dan
memberikan sehingga dapat memberikan penanganan lebih awal pada
anak yang terdiagnosis atau beresiko autis.
2. Bagi Institusi
Institusi diharapkan dapat menjadikan penelitian ini sebagai referensi dan
sumber infromasi untuk menunjang penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan autis.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat memiliki pengetahuan yang baik terkait
gejala autis pada batita, apabila anaknya terdapat gejala autis dapat segera
melakukan penanganan awal seperti terapi untuk mengurangi keparahan
dari gejala yang ditimbulkan.
4. Bagi Peneliti
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian kualitatif
secara kualitatif. Dimana, hal ini bertujuan untuk memperoleh hasil
penelitian lebih mendalam mengenai pengetahuan terkait autis.
DAFTAR PUSTAKA

Abirami, P., G, R. V., Usha, G., & Mareeswari, M. (2018). A Study to Assess the
Knowledge on Autism Among Parents Attending at SRM General Hospital ,
Kattankulathur, 10(3), 57–61.

Adi, R. (2015). Aspek Hukum dalam Penelitian. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

America, A. T. C. of. (2019). Autism Symptoms & Characteristics Checklist.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Asiah. (2013). Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Pengetahuan Kesehatan


Reproduksi Ibu Rumah Tangga Di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala
Banda Aceh. Jurnal Biologi Edukasi, 1(2), 1–4.

Badan Pusat Statistik. (2018a). Kecamatan Ciputat Dalam Angka 2018.

Badan Pusat Statistik. (2018b). Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2018.

Dahlan, M. S. (2013). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel (3rd ed.).
Jakarta: Salemba Medika.

Danuatmaja, B. (2012). Terapi Anak Autis Di Rumah. Jakarta: Puspa Swara.

Deeb, R. M. A. (2016). Knowledge of Parents of Children with Autism Spectrum


Disorder of Behavior Modification Methods and Their Training Needs
Accordingly, 9(10), 141–154. https://doi.org/10.5539/ies.v9n10p141

Denicola, C. (2016). Parent ’ s Knowledge of Autism. Gwynedd Mercy University.

Ernie, F. N. (2012). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Tentang Autisme


Dengan Tingkat Stres Orang Tua di SLB Khusus Autistik Fajar Nugraha
Sleman Yogyakarta.

Fadhli, A. (2010). Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.

80
81

Fitriani, S. (2011). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Guthrie, W., Swineford, L. B., Nottke, C., & Wetherby, A. M. (2014). change in
clinical diagnosis and symptom presentation, 54(5), 582–590.
https://doi.org/10.1111/jcpp.12008.Early

Hamdi, A. S. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi Dalam Pendidikan.


Yogyakarta: Deepublish.

Harmaini. (2013). Keberadaan Orang Tua Bersama Anak. Jurnal Psikologi, 9(2),
80–93. https://doi.org/10.24014/jp.v9i2.170

Hastono, S. (2006). Analisis Data. 1-121.

Hendita, G., Kusuma, A., & Oktana, L. (2012). Sistem Identifikasi Penyakit Autis
Anak Berbasis Web, 1(1), 29–41.

Hinnebusch, A. J., Miller, L. E., & Fein, D. A. (2017). Autism Spectrum Disorders
and Low Mental Age: Diagnostic Stability and Developmental Outcomes in
Early Childhood. Journal of Autism and Developmental Disorders, 47(12),
3967–3982. https://doi.org/10.1007/s10803-017-3278-y

Huzaemah. (2010). Kenali Autis Sejak Dini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Jagan, V., & Sathiyaseelan, A. (2016). Early intervention and diagnosis of autism,
7(12), 2016.

Kautsar, D., Suryani, Y. D., & Yasmina, M. (2017). Gambaran Tingkat


Pengetahuan dan Pola Asuh Orangtua Anak Penyandang Autis di Rumah
Autis Hasanah Bandung, (2), 738–744.

Kemenkes, R. (2012). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dan Intervensi


Dini Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes, R. (2014). Info Datin Kemenkes RI Kondisi Pencapaian Program


Kesehatan Anak Indonesia. Journal of Chemical Information and Modeling,
53, 160. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
82

Kemenkes RI. (2016). Kenali dan deteksi dini individu dengan spektrum autisme
melalui pendekatan keluarga untuk tingkatkan kualitas hidupnya. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 1–2. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/article/view/16041300001/kenali-dan-deteksi-dini-
individu-dengan-spektrum-autisme-melalui-pendekatan-keluarga-untuk-
tingkatka.html

KemenPPPA. (2018). Hari Peduli Autisme Sedunia: Kenali Gejalanya Pahami


Keadaannya.

Kozier, B. (2010). Fundamental Of Nursing (7th ed.). Jakarta: EGC.

Lapau, B. (2013). Metode Penelitian Kesehatan : Metode Ilmiah Penulisan Skripsi,


Tesis dan Disertai. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Li, Q., Han, Y., Dy, A. B. C., & Hagerman, R. J. (2017). The Gut Microbiota and
Autism Spectrum Disorders. https://doi.org/10.3389/fncel.2017.00120

Luleci, N. E., & Karavus, M. (2017). Autism Awareness: An Overview, 1–10.

Mahmud. (2017). Psikologi Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.

Mulyadi, K., & R, S. (2014). Autism is Curable. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Notoatmodjo, S. (2011). Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktik


Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Nurul ‘Azizah Rahmawati,Machmuroch, A. A. N. (2015). Hubungan antara


Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki
Anak Autis di SLB Autis di Surakarta, 16–29.

Oktaviana, W. (2015). Identifikasi tingkat pengetahuan ibu tentang diet casein free
dan gluten free pada anak autis, 1–6.

Omigbodun, O. O., Bakare, M. O., & Adewuya, A. O. (2017). Pattern of


impairments and late diagnosis of autism spectrum disorder among a sub-
83

Saharan African clinical population of children in Nigeria.


https://doi.org/10.1017/gmh.2016.30

Parker, W., Hornik, C. D., & Bilbo, S. (2017). The role of oxidative stress ,
inflammation and acetaminophen exposure from birth to early childhood in
the induction of autism. https://doi.org/10.1177/0300060517693423

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan. Singapore:


Elsevier.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2012). Fundamentals of Nursing. Singapore: Elsevier.

Prasetyono. (2008). Serba-serbi Anak Autis. Yogyakarta: DIVA Press.

Rahman, N. (2017). Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Yang Memiliki Anak


Autisme Tentang Perawatan Anak Autisme Di Rumah Di SLB Autisma YPPA
Padang, XI(78), 147–151.

Randolph-Gips, M., & Srinivasan, P. (2012). Modeling autism: a systems biology


approach. Journal of Clinical Bioinformatics, 2(1), 17.
https://doi.org/10.1186/2043-9113-2-17

Rini, I. D. (2012). Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Perkembangan


Bicara dan Bahasa Serta Stimulasinya Pada Anak Usia Dini Di RW 09
Kelurahan Tugu Depok.

Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018 (p. 102). Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. https://doi.org/10.1177/109019817400200403

Smith, T., & Dozier, A. (2019). Understanding stress in parents of children with
autism spectrum disorder: a focus on under-represented families, 65(1).

Soetjiningsih, & Ranuh, I. N. G. (2016). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta.

Sumantri, A. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.
84

Suteja, J. (2014). Bentuk dan Metode Terapi Terhadap Anak Autisme Akibat
Bentukan Perilaku Sosial. Edueksos : Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi,
3(1), 119–133. https://doi.org/10.1002/hast.449

Swarjana, I. K. (2016). Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset.

Tiel, J. M. V. (2007). Anakku Terlambat Bicara. Jakarta: Prenada.

Wasis. (2008). Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC.

Wetherston, V., Gangat, S., Shange, N., Wheeler, K., Karrim, S. B. S., & Pahl, J.
(2017). The views and knowledge of parents of children with autism spectrum
disorder on a range of treatments. South African Journal of Child Health,
11(3), 117. https://doi.org/10.7196/SAJCH.2017.v11i3.1274

YCHI. (2018). Yayasan cinta harapan indonesia. Data Anak Di Yayasan Cinta
Harapan Indonesia. Retrieved from http://ychiautismcenter.org/id/ychi-
autism-center/data-anak

Yuwono, J. (2009). Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik).


Bandung: Alfabeta.

Zulfikar, & Budiantara, I. N. (2014). Manajemen Riset dengan Pendekatan


Komputasi Statistik. Yogyakarta: Deepublish.

LAMPIRAN
85

LAMPIRAN
86

Lampiran 1 Surat Izin Studi Pendahuluan dan Pengambilan Data


87
88

Lampiran 2 Lembar Informed Concent Kode


Responden :

LEMBAR INFORMED CONSENT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Alamat :

Setelah membaca surat permohonan dan mendapat penjelasan tentang


penelitian yang dilakukan oleh saudari Puji Astuti, Mahasiswi Program Studi Ilmu
Keperawatan Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Gambaran
Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Gejala Autis pada Batita di Wilayah Kerja
UPT Puskesmas Ciputat”. Saya dapat memahami dan mengerti tujuan serta manfaat
peneliti yang akan dilakukan ini. Saya mengerti dan yakin peneliti akan
menghormati hak-hak saya dan kerahasiaan saya sebagai responden. Saya
memahami penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan kualitas pelayanan
yang diberikan oleh perawat.

Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, saya bersedia menandatangani


lembar persetujuan untuk menjadi responden pada penelitian ini.

Ciputat, 2019

Responden

(……………………………………..)
89

Lampiran 3 Identitas Responden

Identitas Responden (IR)

Petunjuk Pengisian Kuesioner :


1. Bacalah setiap pernyataan dibawah ini dengan baik dan benar
2. Pernyataan dibawah ini mohon diisi semuanya
3. Jika kurang mengerti atau ragu, tanyakan pada peneliti
4. Untuk pilihan jawaban, ber tanda ceklis (√) dan tulis jawaban pada kotak yang
tersedia
5. Nomor Responden diisi peneliti

Identitas Hari/Tanggal:
Responden
IR1 Nama (Inisial)
IR2 Usia
IR3 Jenis Kelamin 1. Laki-laki ( )
2. Perempuan ( )
IR4 Pendidikan 1. Tidak Bersekolah ( )
Terakhir 2. SD ( )
3. SMP Sederajat ( )
4. SMA Sederajat ( )
5. Perguruan Tinggi ( )
IR5 Pekerjaan 1. Tidak Bekerja / IRT ( )
2. Buruh ( )
3.Wiraswasta/Pedagang/ ( )
Pelayan/ jasa ( )
4. PNS ( )
5. Pegawai Swasta ( )
90

Lampiran 4 Kuesioner

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG


GEJALA AUTIS PADA BATITA DI WILAYAH KERJA UPT
PUSKESMAS CIPUTAT

Petunjuk Pengisian Kuesioner :


1. Bacalah setiap pernyataan dibawah ini dengan baik dan benar
2. Pernyataan dibawah ini mohon diisi semuanya
3. Jika kurang mengerti atau ragu, tanyakan pada peneliti
4. Untuk pilihan jawaban, ber tanda ceklis (√) dan tulis jawaban pada kotak yang
tersedia
5. Nomor Responden diisi peneliti

No Pernyataan Benar Salah


1. Bila diajak bicara, anak autis tidak melihat mata lawan √
bicara
2. Anak autis tidak tertarik dengan lingkungan sekitar √
3. Anak autis dapat bermain dengan baik bersama teman √
sebayanya
4. Anak autis memiliki rasa empati yang tinggi terhadap √
orang lain
5. Anak autis sering merasa cemas bila berpisah dengan √
orang tuanya
6. Anak autis mudah mengerti setiap intruksi yang √
diberikan orang tuanya maupun orang lain
7. Anak autis tidak mampu mengekspesikasi apa yang √
sedang dirasakan
8. Saat dipanggil namanya, anak autis cenderung tidak √
berespon
91

9. Anak autis menyukai kontak fisik seperti digendong dan √


diayun
10. Anak autis dapat menunjukkan suatu objek kepada orang √
lain
11. Anak autis menunjukkan perilaku berulang-ulang tanpa √
tujuan seperti tepuk tangan, menggerakkan tubuhnya ke
depan dan belakang
12. Anak autis memiliki kesenangan pada satu objek tertentu √
13. Anak autis sangat senang bila dipeluk √
14. Anak autis sering mengalami kesulitan tidur √
15. Anak autis mudah marah (temperamen tantrum) √
16. Anak autis lekat dengan benda-benda tertentu seperti: √
kartu, kertas yang terus dipegang dan dibawa kemana-
mana
17. Anak autis suka memperhatikan sesuatu dengan focus √
seperti: jari-jari tangannya sendiri, kipas yang berputar-
putar
18. Anak autis sering tidak mau menggunakan kemampuan √
berbicaranya untuk berkomunikasi
19. Bahasa anak autis mudah dimengerti lawan bicaranya √
20. Anak autis dapat memberi respon terhadap pembicaraan √
dengan orang lain
21. Anak autis tidak mengerti isyarat sosial seperti kontak √
mata dan senyuman
22. Pada anak autis perkembangan bahasanya sangat lambat √
atau tidak ada sama sekali
23. Untuk menyampaikan maksud, anak autis sering √
menggunakan tangan orang lain untuk menunjukkan
suatu objek
24. Anak dengan autis hanya berbicara dengan orang yang √
dia kenali
92

25. Anak autis tidak dapat bermain imitasi seperti bermain √


seolah-olah membuat secangkir teh menggunakan
mainan bentuk cangkir dan teko, atau permainan lainnya
93

Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas


A. Hasil Uji Validitas Kuesioner
Q1 Q1 Q1 Q1 Q1 Q1 Q1 Q1 Q1 Q1 Q2 Q2 Q2 Q2 Q2 Q2 Q2 TOT
Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 AL
Q1 Pearson
Correla - -
.25 .21 .17 .33 .44 .25 .41 .08 .28 .15 .58 .14 .13 .23 .04 .06 .29 .44 .35 .21 .22 .44 .29 .588*
tion 1 .06 .08
3 7 6 7 7* 3 8* 9 0 5 8** 9 5 9 0 3 9 7* 1 1 4 7* 3 *
7 3

Sig. (2- .17 .72 .25 .35 .06 .01 .17 .02 .63 .66 .13 .41 .00 .43 .47 .20 .83 .74 .10 .01 .05 .26 .23 .01 .11
tailed) .001
7 3 0 2 9 3 7 1 8 3 4 4 1 2 7 3 4 0 9 3 7 4 5 3 6
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q2 Pearson
Correla -
.25 .21 .04 .11 .37 .35 .40 .09 .42 .26 .25 .09 .19 .23 .37 .37 .44 .10 .18 .28 .34 .35 .35 .15 .583*
tion 1 .09
3 3 9 1 3* 4 0* 4 4* 3 3 8 6 6 3* 8* 3* 0 9 3 7 4 4 4 *
5

Sig. (2- .17 .25 .79 .55 .04 .05 .02 .61 .01 .16 .17 .60 .30 .21 .04 .03 .01 .59 .31 .13 .06 .61 .05 .05 .41
tailed) .001
7 8 7 8 2 5 9 9 9 1 7 7 0 0 2 9 4 9 7 0 1 7 5 5 6
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q3 Pearson
Correla - - -
.21 .32 .02 .07 .37 .26 .45 .30 .13 .14 .16 .05 .14 .14 .33 .37 .34 .15 .20 .26 .07 .09 .465*
tion .06 1 .02 .08
3 3 4 5 3* 2 2* 8 5 6 7 0 8 1 7 3* 2 1 7 4 5 9 *
7 3 1

Sig. (2- .72 .25 .08 .90 .90 .69 .04 .16 .01 .09 .47 .44 .37 .79 .43 .45 .06 .04 .06 .42 .27 .67 .15 .69 .60
tailed) .010
3 8 1 1 5 2 2 2 2 8 7 1 8 2 6 7 9 2 4 6 2 0 9 2 4
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q4 Pearson
Correla - - - - - -
.21 .04 .32 .07 .32 .31 .34 .01 .48 .40 .43 .42 .20 .32 .07 .03 .12 .31 .10
tion 1 .14 .09 .06 .09 .17 .03 .439*
7 9 3 1 3 1 2 8 4** 2* 5* 6* 8 3 4 1 0 1 6
1 8 9 5 2 5

Sig. (2- .25 .79 .08 .71 .08 .09 .06 .92 .00 .45 .02 .01 .01 .27 .08 .69 .87 .60 .52 .71 .61 .36 .09 .85 .57
tailed) .015
0 7 1 0 1 4 4 3 7 6 8 6 9 1 1 8 1 7 7 6 8 3 4 6 8
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q5 Pearson
Correla - - - -
.17 .11 .02 .07 .20 .27 .35 .07 .33 .17 .09 .07 .34 .55 .48 .38 .11 .23 .24 .11 .31
tion 1 .07 .04 .31 .01 .404*
6 1 4 1 2 9 8 9 7 6 3 1 2 8** 4** 8* 1 6 7 8 5
9 2 3 7

Sig. (2- .35 .55 .90 .71 .28 .67 .13 .05 .67 .06 .35 .62 .71 .06 .00 .00 .03 .55 .82 .20 .18 .09 .53 .09 .92
tailed) .027
2 8 1 0 4 9 6 2 9 9 2 6 0 5 1 7 4 8 5 8 8 2 4 0 8
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
94

Q6 Pearson
Correla - - - - - -
.33 .37 .32 .20 .26 .53 .26 .15 .33 .14 .16 .30 .48 .14 .13 .04 .30 .07 .45 .479*
tion .02 1 .11 .10 .01 .08 .06
7 3* 3 2 4 3** 2 1 7 6 7 2 9** 1 5 0 2 5 2* *
3 2 7 5 1 6

Sig. (2- .06 .04 .90 .08 .28 .15 .00 .16 .42 .55 .06 .44 .37 .10 .00 .45 .47 .57 .83 .10 .93 .67 .69 .01 .73
tailed) .007
9 2 5 1 4 9 2 2 6 6 9 1 8 5 6 7 7 5 3 5 8 0 2 2 0
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q7 Pearson
Correla - - - -
.44 .35 .07 .31 .26 .53 .13 .16 .44 .20 .31 .26 .22 .00 .20 0.0 .04 .10 .37 .37 .40 .504*
tion .07 1 .09 .16 .13
7* 4 5 1 4 0** 4 7 7* 8 1 4 4 0 0 00 9 1 5* 5* 0* *
9 3 7 4

Sig. (2- .01 .05 .69 .09 .67 .15 .00 .48 .37 .62 .01 .27 .09 .37 .15 .48 .23 1.0 .28 1.0 .79 .59 .04 .04 .02
tailed) .005
3 5 2 4 9 9 3 1 9 6 3 1 4 9 9 1 5 00 8 00 7 6 1 1 8
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q8 Pearson
Correla .25 .40 .37 .34 .27 .53 .53 .23 .28 .26 .44 .39 .04 .23 .53 .37 .44 .25 .33 .28 .13 .04 .35 .35 .30 .750*
tion 1
3 0* 3* 2 9 3** 0** 6 3 3 3* 1* 9 6 3** 8* 3* 0 1 3 9 8 4 4 9 *

Sig. (2- .17 .02 .04 .06 .13 .00 .00 .20 .13 .16 .01 .03 .79 .21 .00 .03 .01 .18 .07 .13 .46 .80 .05 .05 .09
tailed) .000
7 9 2 4 6 2 3 9 0 1 4 2 7 0 2 9 4 3 4 0 5 3 5 5 7
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q9 Pearson
Correla - - -
.41 .09 .26 .01 .35 .26 .13 .23 .17 .23 .15 .08 .11 .25 .23 .09 .07 .40 .36 .12 .30 .32
tion 1 .13 .15 .03 .443*
8* 4 2 8 8 2 4 6 4 9 7 9 1 0 9 4 1 1* 7* 6 1 1
4 7 3

Sig. (2- .02 .61 .16 .92 .05 .16 .48 .20 .48 .35 .20 .40 .40 .64 .56 .18 .20 .61 .70 .02 .04 .50 .86 .10 .08
tailed) .014
1 9 2 3 2 2 1 9 1 9 3 7 7 0 0 3 3 9 8 8 6 8 1 6 4
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q10 Pearson
Correla - -
.08 .42 .45 .48 .07 .15 .16 .28 .18 .08 .48 .20 .33 .30 .26 .08 .28 .26 .20 .19 .16 0.0 .07 .504*
tion .13 1 .20
9 4* 2* 4** 9 1 7 3 6 9 4** 8 3 2 7 9 3 7 0 6 7 00 3 *
4 2

Sig. (2- .63 .01 .01 .00 .67 .42 .37 .13 .48 .32 .63 .00 .27 .07 .10 .15 .63 .13 .15 .28 .29 .28 .37 1.0 .70
tailed) .005
8 9 2 7 9 6 9 0 1 6 8 7 1 2 5 3 8 0 3 9 9 5 9 00 2
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q11 Pearson
Correla - - - - - - -
.26 .30 .33 .26 .17 .18 .14 .55 .30 .69 .41 .26 .19 .18 .47 .37 .37 .28
tion .08 .14 .11 .09 1 .08 .14 .21 .412*
3 8 7 3 4 6 1 7** 8 5** 5* 3 9 6 3** 1* 1* 4
3 1 2 3 3 1 2

Sig. (2- .66 .16 .09 .45 .06 .55 .62 .16 .35 .32 .66 .45 .45 .00 .09 .00 .02 .16 .29 .32 .00 .26 .04 .04 .12
tailed) .024
3 1 8 6 9 6 6 1 9 6 3 6 6 1 8 0 3 1 3 6 8 0 3 3 9
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
95

Q12 Pearson
Correla - - - - -
.28 .25 .13 .40 .17 .33 .44 .44 .23 .08 .40 .14 .33 .23 .52 .06 .12 .22 .22 .09 .465*
tion .08 1 .03 .08 .17 .15
0 3 5 2* 6 7 7* 3* 9 9 2* 9 7 9 0** 3 0 4 4 8 *
3 1 9 5 0

Sig. (2- .13 .17 .47 .02 .35 .06 .01 .01 .20 .63 .66 .87 .02 .43 .06 .20 .00 .74 .52 .63 .35 .42 .23 .23 .60
tailed) .010
4 7 7 8 2 9 3 4 3 8 3 1 8 2 9 3 3 0 9 8 4 8 5 5 8
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q13 Pearson
Correla - - - - -
.15 .09 .14 .43 .09 .14 .20 .39 .48 .14 .00 .25 .30 .20 .24 .43 .34 .09 .20 .04
tion .15 .03 1 .03 .10 .13 .431*
5 8 6 5* 3 6 8 1* 4** 1 5 4 2 3 5 4* 6 5 8 5
7 1 1 7 8

Sig. (2- .41 .60 .44 .01 .62 .44 .27 .03 .40 .00 .45 .87 .98 .17 .10 .28 .87 .19 .01 .06 .61 .57 .27 .46 .81
tailed) .018
4 7 1 6 6 1 1 2 7 7 6 1 0 6 4 1 1 3 6 1 8 4 1 6 2
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q14 Pearson
Correla - - -
.58 .19 .16 .42 .07 .16 .31 .04 .15 .20 .40 .00 .16 .07 .21 .04 .25 .06 .10 .31 .31 .10
tion .14 1 .02 .17 .439*
8** 6 7 6* 1 7 1 9 7 8 2* 5 7 4 7 9 9 9 9 1 1 6
1 3 2

Sig. (2- .00 .30 .37 .01 .71 .37 .09 .79 .40 .27 .45 .02 .98 .90 .37 .69 .25 .79 .16 .71 .56 .36 .09 .09 .57
tailed) .015
1 0 8 9 0 8 4 7 7 1 6 8 0 4 8 8 0 7 7 6 8 3 4 4 8
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q15 Pearson
Correla - - - -
.14 .23 .05 .20 .34 .30 .23 .08 .33 .55 .14 .25 .55 .80 .44 .00 .11 .19 .11 .11 .02
tion .16 .02 1 .08 .38 .390*
9 6 0 8 2 2 6 9 3 7** 9 4 3** 2** 7* 0 1 6 1 1 4
7 3 9 1*

Sig. (2- .43 .21 .79 .27 .06 .10 .37 .21 .64 .07 .00 .43 .17 .90 .00 .00 .01 1.0 .64 .55 .29 .03 .55 .55 .89
tailed) .033
2 0 2 1 5 5 9 0 0 2 1 2 6 4 2 0 3 00 0 9 9 8 9 9 9
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q16 Pearson
Correla - - -
.13 .37 .14 .32 .55 .48 .26 .53 .11 .30 .30 .33 .30 .16 .55 .44 .53 .05 .04 .00 .45 .26 .568*
tion 1 .01 .38 .06
5 3* 8 3 8** 9** 4 3** 1 2 8 7 2 7 3** 3* 9** 3 0 0 2* 4 *
5 5* 6

Sig. (2- .47 .04 .43 .08 .00 .00 .15 .00 .56 .10 .09 .06 .10 .37 .00 .01 .00 .78 .83 1.0 .93 .03 .01 .15 .73
tailed) .001
7 2 6 1 1 6 9 2 0 5 8 9 4 8 2 4 2 0 3 00 8 5 2 9 0
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q17 Pearson
Correla - -
.23 .37 .14 .07 .48 .14 .37 .25 .26 .69 .23 .20 .07 .80 .44 .59 .09 .01 .26 .28 .20 .20 .11 .514*
tion .13 1 .30
9 8* 1 4 4** 1 8* 0 7 5** 9 3 4 2** 3* 8** 4 8 7 8 0 0 7 *
4 6

Sig. (2- .20 .03 .45 .69 .00 .45 .48 .03 .18 .15 .00 .20 .28 .69 .00 .01 .00 .61 .92 .15 .12 .10 .28 .28 .53
tailed) .004
3 9 7 8 7 7 1 9 3 3 0 3 1 8 0 4 0 9 5 3 2 1 8 8 9
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
96

Q18 Pearson
Correla - - - -
.04 .44 .33 .03 .38 .13 .22 .44 .23 .08 .41 .52 .21 .44 .53 .59 .06 .08 .22 .22 .09
tion .03 1 .06 .08 .51 .448*
0 3* 7 1 8* 5 4 3* 9 9 5* 0** 7 7* 9** 8** 3 8 ** 4 4 8
1 0 9 1

Sig. (2- .83 .01 .06 .87 .03 .47 .23 .01 .20 .63 .02 .00 .87 .25 .01 .00 .00 .74 .75 .63 .64 .00 .23 .23 .60
tailed) .013
4 4 9 1 4 7 5 4 3 8 3 3 1 0 3 2 0 0 4 8 5 4 5 5 8
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q19 Pearson
Correla - -
.06 .10 .37 .11 .00 .25 .09 .28 .26 .06 .24 .04 .00 .05 .09 .06 .75 .14 .55 .04 .00 .00 .30
tion .09 .10 1 .403*
3 0 3* 1 0 0 4 3 3 3 5 9 0 3 4 3 6** 1 5** 8 0 0 9
8 7

Sig. (2- .74 .59 .04 .60 .55 .57 1.0 .18 .61 .13 .16 .74 .19 .79 1.0 .78 .61 .74 .00 .45 .00 .80 1.0 1.0 .09
tailed) .027
0 9 2 7 8 5 00 3 9 0 1 0 3 7 00 0 9 0 0 6 1 3 00 00 7
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q20 Pearson
Correla - - -
.29 .18 .34 .12 .04 .20 .33 .07 .26 .19 .12 .43 .25 .04 .01 .75 .26 .41 .14 .20 .20 .26 .527*
tion .04 .08 .06 1
9 9 2 0 0 0 1 1 7 9 0 4* 9 0 8 6** 7 9* 4 0 0 2 *
2 9 0

Sig. (2- .10 .31 .06 .52 .82 .83 .28 .07 .70 .15 .29 .52 .01 .16 .64 .83 .92 .75 .00 .15 .02 .44 .28 .28 .16
tailed) .003
9 7 4 7 5 3 8 4 8 3 3 9 6 7 0 3 5 4 0 3 1 8 8 8 1
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q21 Pearson
Correla - - -
.44 .28 .15 .23 .30 0.0 .28 .40 .20 .18 .34 .06 .11 .00 .26 .14 .26 .39 .20 0.0 .33 .21 .478*
tion .06 .08 .08 1
7* 3 1 6 2 00 3 1* 0 6 6 9 1 0 7 1 7 2* 2 00 3 8 *
9 9 9

Sig. (2- .01 .13 .42 .71 .20 .10 1.0 .13 .02 .28 .32 .63 .06 .71 .55 1.0 .15 .63 .45 .15 .03 .28 1.0 .07 .24
tailed) .008
3 0 6 6 8 5 00 0 8 9 6 8 1 6 9 00 3 8 6 3 2 5 00 2 7
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q22 Pearson
Correla - - - -
.35 .34 .20 .24 .04 .13 .36 .19 .47 .09 .10 .19 .28 .08 .55 .41 .39 .14 .04 .29 .59 .504*
tion .09 .01 .17 .01 1
1 7 7 7 9 9 7* 6 3** 5 9 6 8 8 5** 9* 2* 5 9 4 9** *
5 5 5 5

Sig. (2- .05 .06 .27 .61 .18 .93 .79 .46 .04 .29 .00 .35 .61 .56 .29 .93 .12 .64 .00 .02 .03 .44 .79 .11 .00
tailed) .004
7 1 2 8 8 8 7 5 6 9 8 4 8 8 9 8 2 5 1 1 2 4 7 5 0
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q23 Pearson
Correla - - - - - - - - - - - - - - - -
.21 .10 .04 .12 .04 .14 .20 .14 .13
tion .09 .08 .17 .31 .08 .20 .21 .15 .10 .17 .38 .38 .30 .51 1 .06 .06 -.052
1 1 8 6 8 4 2 5 2
5 1 2 3 1 2 2 0 7 2 1* 5* 6 1** 7 7

Sig. (2- .26 .61 .67 .36 .09 .67 .59 .80 .50 .28 .26 .42 .57 .36 .03 .03 .10 .00 .80 .44 .28 .44 .72 .72 .48
tailed) .787
4 7 0 3 2 0 6 3 8 5 0 8 4 3 8 5 1 4 3 8 5 4 4 4 6
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
97

Q24 Pearson
Correla - -
.22 .35 .26 .31 .11 .07 .37 .35 .16 .37 .22 .20 .31 .11 .45 .20 .22 .00 .20 0.0 .04 .37 .21 .488*
tion .03 .06 1
4 4 4 1 8 5 5* 4 7 1* 4 8 1 1 2* 0 4 0 0 00 9 5* 8 *
3 7

Sig. (2- .23 .05 .15 .09 .53 .69 .04 .05 .86 .37 .04 .23 .27 .09 .55 .01 .28 .23 1.0 .28 1.0 .79 .72 .04 .24
tailed) .006
5 5 9 4 4 2 1 5 1 9 3 5 1 4 9 2 8 5 00 8 00 7 4 1 7
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q25 Pearson
Correla - - -
.44 .35 .07 .31 .45 .37 .35 .30 0.0 .37 .22 .31 .11 .26 .20 .22 .00 .20 .33 .29 .37 .21 .520*
tion .03 .13 .06 1
7* 4 5 5 2* 5* 4 1 00 1* 4 1 1 4 0 4 0 0 3 4 5* 8 *
5 8 7

Sig. (2- .01 .05 .69 .85 .09 .01 .04 .05 .10 1.0 .04 .23 .46 .09 .55 .15 .28 .23 1.0 .28 .07 .11 .72 .04 .24
tailed) .003
3 5 2 6 0 2 1 5 6 00 3 5 6 4 9 9 8 5 00 8 2 5 4 1 7
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Q26 Pearson
Correla - - -
.29 .15 .09 .10 .40 .30 .32 .07 .28 .09 .04 .10 .02 .11 .09 .30 .26 .21 .59 .13 .21 .21
tion .01 .06 .06 1 .438*
3 4 9 6 0* 9 1 3 4 8 5 6 4 7 8 9 2 8 9** 2 8 8
7 6 6

Sig. (2- .11 .41 .60 .57 .92 .73 .02 .09 .08 .70 .12 .60 .81 .57 .89 .73 .53 .60 .09 .16 .24 .00 .48 .24 .24
tailed) .015
6 6 4 8 8 0 8 7 4 2 9 8 2 8 9 0 9 8 7 1 7 0 6 7 7
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
TOT Pearson
AL Correla -
.58 .58 .46 .43 .40 .47 .50 .75 .44 .50 .41 .46 .43 .43 .39 .56 .51 .44 .40 .52 .47 .50 .48 .52 .43
tion .05 1
8** 3** 5** 9* 4* 9** 4** 0** 3* 4** 2* 5** 1* 9* 0* 8** 4** 8* 3* 7** 8** 4** 8** 0** 8*
2

Sig. (2- .00 .00 .01 .01 .02 .00 .00 .00 .01 .00 .02 .01 .01 .01 .03 .00 .00 .01 .02 .00 .00 .00 .78 .00 .00 .01
tailed) 1 1 0 5 7 7 5 0 4 5 4 0 8 5 3 1 4 3 7 3 8 4 7 6 3 5
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
98

B. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the


procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.848 26
99

Lampiran 6 Hasil Olahan SPSS Univariat


Hasil Olahan SPSS Univariat

Statistics

Pendidikanterak
Kat_TP Jeniskelamin Usia hir Pekerjaan

N Valid 96 96 96 96 96

Missing 0 0 0 0 0

A. Tingkat Pengetahuan
Kat_TP

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Baik 19 19.8 19.8 19.8

Cukup 29 30.2 30.2 50.0

Kurang 48 50.0 50.0 100.0

Total 96 100.0 100.0

B. Jenis Kelamin

Jeniskelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-laki 17 17.7 17.7 17.7

Perempuan 79 82.3 82.3 100.0

Total 96 100.0 100.0

C. Usia

Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Dewasa Muda 14 14.6 14.6 14.6

Dewasa Pertengahan 65 67.7 67.7 82.3

Dewasa Akhir 17 17.7 17.7 100.0

Total 96 100.0 100.0


100

D. Pendidikan Terakhir

Pendidikanterakhir

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid SD 7 7.3 7.3 7.3

SMP 12 12.5 12.5 19.8

SMA 61 63.5 63.5 83.3

Perguruan Tinggi 16 16.7 16.7 100.0

Total 96 100.0 100.0

E. Pekerjaan

Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Bekerja 63 65.6 65.6 65.6

Bekerja 33 34.4 34.4 100.0

Total 96 100.0 100.0

Proporsi Distribusi Karakteristik Responden Terhadap Tingkat Pengetahuan

Jeniskelamin * Kat_TP Crosstabulation

Kat_TP

Baik Cukup Kurang Total

Jeniskelamin Laki-laki Count 4 6 7 17

% within Jeniskelamin 23.5% 35.3% 41.2% 100.0%

% within Kat_TP 21.1% 20.7% 14.6% 17.7%

% of Total 4.2% 6.3% 7.3% 17.7%

Perempuan Count 15 23 41 79

% within Jeniskelamin 19.0% 29.1% 51.9% 100.0%

% within Kat_TP 78.9% 79.3% 85.4% 82.3%

% of Total 15.6% 24.0% 42.7% 82.3%


Total Count 19 29 48 96
101

% within Jeniskelamin 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%

% within Kat_TP 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%

Usia * Kat_TP Crosstabulation

Kat_TP

Baik Cukup Kurang Total

Usia Dewasa Muda Count 1 6 7 14

% within Usia 7.1% 42.9% 50.0% 100.0%

% within Kat_TP 5.3% 20.7% 14.6% 14.6%

% of Total 1.0% 6.3% 7.3% 14.6%

Dewasa Pertengahan Count 15 19 31 65

% within Usia 23.1% 29.2% 47.7% 100.0%

% within Kat_TP 78.9% 65.5% 64.6% 67.7%


% of Total 15.6% 19.8% 32.3% 67.7%

Dewasa Akhir Count 3 4 10 17

% within Usia 17.6% 23.5% 58.8% 100.0%

% within Kat_TP 15.8% 13.8% 20.8% 17.7%

% of Total 3.1% 4.2% 10.4% 17.7%


Total Count 19 29 48 96

% within Usia 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%

% within Kat_TP 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%

Pendidikanterakhir * Kat_TP Crosstabulation

Kat_TP

Baik Cukup Kurang Total

Pendidikanterakhir SD Count 2 0 5 7

% within
28.6% 0.0% 71.4% 100.0%
Pendidikanterakhir

% within Kat_TP 10.5% 0.0% 10.4% 7.3%

% of Total 2.1% 0.0% 5.2% 7.3%

SMP Count 4 0 8 12

% within
33.3% 0.0% 66.7% 100.0%
Pendidikanterakhir

% within Kat_TP 21.1% 0.0% 16.7% 12.5%


% of Total 4.2% 0.0% 8.3% 12.5%
102

SMA Count 8 25 28 61

% within
13.1% 41.0% 45.9% 100.0%
Pendidikanterakhir

% within Kat_TP 42.1% 86.2% 58.3% 63.5%

% of Total 8.3% 26.0% 29.2% 63.5%

Perguruan Count 5 4 7 16
Tinggi % within
31.3% 25.0% 43.8% 100.0%
Pendidikanterakhir

% within Kat_TP 26.3% 13.8% 14.6% 16.7%

% of Total 5.2% 4.2% 7.3% 16.7%


Total Count 19 29 48 96

% within
19.8% 30.2% 50.0% 100.0%
Pendidikanterakhir

% within Kat_TP 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%

Pekerjaan * Kat_TP Crosstabulation

Kat_TP

Baik Cukup Kurang Total

Pekerjaan Tidak Bekerja Count 11 16 36 63

% within Pekerjaan 17.5% 25.4% 57.1% 100.0%

% within Kat_TP 57.9% 55.2% 75.0% 65.6%

% of Total 11.5% 16.7% 37.5% 65.6%

Bekerja Count 8 13 12 33

% within Pekerjaan 24.2% 39.4% 36.4% 100.0%

% within Kat_TP 42.1% 44.8% 25.0% 34.4%

% of Total 8.3% 13.5% 12.5% 34.4%


Total Count 19 29 48 96

% within Pekerjaan 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%

% within Kat_TP 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 19.8% 30.2% 50.0% 100.0%


103

Lampiran 7 Surat Keterangan Validitas Judgement Exspert


104
105
106
107

Lampiran 8 Surat Persetujuan Etik

Anda mungkin juga menyukai