Anda di halaman 1dari 128

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF


CARE PADA PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN
BATUPUTIH KABUPATEN SUMENEP

FAKHIRUL ATHFAL
NPM. 716.6.2.0723

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
2020

i
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF CARE
PADA PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN BATUPUTIH
KABUPATEN SUMENEP

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)


Dalam Program Studi Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Wiraraja

Oleh:
FAKHIRUL ATHFAL
NPM. 716.6.2.0723

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
2020

ii
HALAMAN PERNYATAAN OROSINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Fakhirul Athfal


NPM : 716.6.2.0723
Tanda tangan

Tanggal : 16 Februari 2020

iii
HALAMAN PENGESAHAN BIMBINGAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF CARE PADA


PENDERITA KUSTA DI WILAYAH KECAMATAN BATUPUTIH
KABUPATEN SUMENEP

SKRIPSI

FAKHIRUL ATHFAL
NPM : 716620723

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 07 FEBRUARI 2020

Oleh :

Pembimbing Utama

( Mujib Hannan, S.K.M., Kep., Ns., M.Kes. )


NIDN : 0718088202

Pembimbing Ke Dua

( Zakiyah Yasin, S.kep., Ns., M.Kep. )


NIDN : 0720108501

Mengetahui,

Ketua Program Studi Keperawatan

( Zakiyah Yasin, S.Kep., Ns., M. Kep. )


NIDN : 0720108501

iv
MOTTO

NOTHING IS IMPOSSIBEL, DO YOUR BEST AND


GOD WILL TAKE CARE OF THE REST
By : Fakhirul Athfal

v
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Fakhirul Athfal


Npm : 716.6.2.0723
Program studi : Keperawatan.
Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self
Care Pada Penderita Kusta di Kecamatan
Batuputih Kabupaten Sumenep.

Skripsi ini telah diajukan dan dinilai Oleh Dewan Penguji Skripsi Program Studi
Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Wiraraja
Pada tanggal Februari 2020

DEWAN PENGUJI
Ketua Penguji : Mujib Hannan, S.KM., S.Kep., Ns., M. Kes (..........................)
Anggota Penguji : Syaifurrahman Hidayat, S.Kep., Ns., M.Kep (..........................)
Anggota Penguji : Zakiyah Yasin, S.Kep., Ns., M. Kep (..........................)

Mengetahui
Ketua Program Studi Keperawatan

(Zakiyah Yasin, S.Kep., Ns., M. Kep)


NIDN : 0720108501

Disetujui Oleh
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

(Dr. Eko Mulyadi, S.Kep., Ns., M. Kep)


NIDN : 0718017901

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan atas kehadirata Allah S.W.T berkat Rahmat

dan Karunia-Nya yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah, dan Inayah-Nya

sehingga saya dapat menyelesaikan SKRIPSI ini dengan judul “Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Self Care Pada Penderita Kusta Di Kecamatan

Batuputih Kabupaten Sumenep”.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, serta

dukungan yang telah diberikan dari berbagai pihak, untuk itu ijinkan peneliti

menyampaikan terimakasih kepada :

1. Dr. Sjaifurrachman, S.H., C.N., M.H, selaku Rektor Universitas Wiraraja.

2. Dr. Eko Mulyadi, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Wiraraja.

3. Ibu ZakiyahYasin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Prodi Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Wiraraja.

4. Selaku Direktur RSUD Dr. Moh Anwar Sumenep.

5. Bapak Mujib Hannan, S.K.M., Ns., M.Kes., selaku pembimbing utama yang

telah memberikan arahan selama proses skripsi ini.

6. Ibu ZakiyahYasin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku pembimbing kedua yang telah

memberikan arahan selama proses skripsi ini.

7. selaku penguji yang telah memberikan saran pada saat proses ujian.

8. Jajaran Dosen Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Wiraraja

dan semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan laporan

penelitian ini.

9. Orang tua yang selalu memberikan motivasi.

vii
10. Melliyana Suci Ramadani yang selalu memberi support dan motivasi selama

penyusunan laporan penelitian ini.

11. Terimakasih kepada BisSquad sekaligus keluarga saya yang telah memberi

support kepada saya, terimakasih Dedy, Aldo, Aldi, Ipong, Adit, Mayank dan

Indah.

12. Teman-teman angkatan 2016 A Prodi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Wiraraja.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Untuk itu saya sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari

segenap pembaca. Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan

ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.

Sumenep, 16 Februari 2020

Peneliti

viii
ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF CARE
PADA PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN BATUPUTIH
KABUPATEN SUMENEP

Oleh : Fakhirul Athfal


Penderita kusta dapat mengalami masalah fisik berupa lagophthalamos,
mutilasi, absorbsi, kebutaan, jari kriting, infeksi sekunder pada luka yang dialami
dan kelainan fisik atau kecacatan serta dapat menularkan penyakitnya pada orang
lain apabila tidak ditangani secara dini dan melakukan perawatan diri (self care).
Self care bertujuan membantu diri untuk mengelola kehidupan yang di inginkan,
kesehatan, perkembangan, dan kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan self care pada
penderita kusta di Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep.
Desain yang digunakan yaitu deskriptif analitik dengan menggunakan
rancang bangun cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan
Batuputih Kabupaten Sumenep pada bulan Maret 2020 sebanyak 15 responden.
Teknik sampel yang digunakan purposive sampling dan didapat 32 responden.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner.
Hasil penelitian dari 15 responden diperoleh berdasarkan umur sebanyak
15 responden didapat masing-masing 5 responden pada setiap kategori usia
(33,3%), sebagian besar jenis kelamin penderita kusta adalah perempuan (53,3%),
sebagian besar penderita kusta tidak bersekolah (87,6%), sebagian besar penderita
kusta sebagai petani (93,3%), keluarga yang berperan dalam perawatan penderita
kusta sebanyak 10 responden (66,7%), petugas kesehatan yang berperan dalam
perawatan penderita kusta sebanyak 13 responden (86,7%), self care (perawatan
diri) cukup sebanyak 12 responden (80,0%).
Diharapkan peran petugas kesehatan lebih ditingkatkan lagi dalam
mempromosikan self care (perawatan diri) kepada penderita kusta supaya
mendukung proses penyembuhan penderita kusta dan lebih aktif dalam
mensosialisasikan penyakit kusta sebagai langkah pencegahan dan menurunkan
angka penyebaran penyakit kusta.

Kata kunci : Penyakit kusta, self care, faktor-faktor.

ix
ABSTRACT
THE FACTORS THAT RELATING TO SELF CARE IN PEOPLE WITH
LEPROSY IN KECAMATAN BATUPUTIH KABUPATEN SUMENEP

By : Fakhirul Athfal
Leprosy patients can suffer physical problems of lagophthalamos ,
mutilation , absorption , blindness , the kriting , secondary infection in an
experienced and abnormalities of physical or disability and can transmit disease to
others if not tackled early and do self care ) ( self care .Self care aimed at helping
themselves to manage life is in want , health , the development of , and
welfare .The study aimed to identify faktor-faktor anything that deals with self
care of leprosy in kecamatan batuputih sumenep district.
Design used the descriptive analytic using rancang wake up cross
sectional.This study was conducted in kecamatan kabupaten batuputih sumenep in
march 2020 as many as 15 respondents.Technique used sampling purposive
sample from respondents and 32. Data collection using a questionnaire.
Data collection on the use of questionnaires .Research stretching as far
back as many as 15 said that they had obtained by age 15 said that they had each
man obtained--articles of 5 respondents in each category of age (33.3%) , of most
kinds of sex leprosy patients are women (53,3%), the majority of leprosy patients
do not attend school (87,6%), the majority of people with leprosy as farmers
(93.3%), the family had played a role in the treatment of people with leprosy as
many as 10 respondents (66.7%), health workers who had played a role in the
treatment of as much as 13 people with leprosy respondents (86,7%), self care
enough as many as 12 respondents (80,0%).
Expected the role of health workers be improved in promoting self care to
leprosy patients that support the healing process of leprosy and more active to
familiarize leprosy as a precautionary measure and to reduce the spread of the
disease of leprosy.

Keywords : Leprosy, self care, fectors.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN GELAR................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN OROSINALITAS...............................................iii
HALAMAN PENGESAHAN BIMBINGAN......................................................iv
MOTTO..................................................................................................................v
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI..............................................................vi
KATA PENGANTAR..........................................................................................vii
ABSTRAK.............................................................................................................ix
ABSTRACT............................................................................................................x
DAFTAR ISI..........................................................................................................xi
DAFTAR TABEL.................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiii
DAFTAR SINGKATAN.....................................................................................xiv
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................7
1.3.1 Umum.........................................................................................................7
1.3.2 Khusus...............................................................................................................7
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................................8
1.4.1 Manfaat Teoritis................................................................................................8
1.4.2 Manfaat Praktis.................................................................................................8
BAB 2 TINJAUAN TEORI.................................................................................11
2.1 Konsep Kusta..............................................................................................11
2.1.1 Definisi......................................................................................................11
2.1.2 Penyebab Kusta........................................................................................15
2.1.3 Gambaran Klinis........................................................................................16
2.1.4 Klasifikasi..................................................................................................21
2.1.5 Faktor-Faktor Resiko Klien di Komunitas.................................................26

xi
2.1.6 Kelainan Saraf pada Penyakit Kusta..........................................................31
2.1.7 Etiologi atau Patofisiologi Kerusakan Saraf...............................................35
2.1.8 Klasifikasi Kerusakan Saraf........................................................................37
2.1.9 Cara atau Tempat Masuknya M.leprae ke dalam Saraf............................38
2.1.10 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Sel Schwann oleh M.leprae...............38
2.2 Konsep Self Care.........................................................................................39
2.2.1 Paradigma Self Care..................................................................................39
2.2.2 Konsep Nursing System............................................................................41
2.2.3 Keyakinan dan Nilai-Nilai dalam Teori Orem............................................43
2.2.4 Definisi Self Care.......................................................................................44
2.2.5 Bentuk-Bentuk Teori Self Care..................................................................45
2.2.6 Teori Self Care..........................................................................................46
2.2.7 Teori Self Care Defisit...............................................................................50
2.2.8 Teori Tentang Sistem-Sistem Keperawatan..............................................51
2.2.9 Diagram Teori Orem.................................................................................52
2.2.10 Model Konseptual Keperawatan Mandiri Menurut Orem........................52
2.2.11 Kebutuhan Dasar Menurut Orem.............................................................53
2.2.12 Teori Self Care Menurut Orem Dalam Proses Keperawatan.....................54
2.2.13 Tujuan Keperawaran Dorothea E. Orem...................................................56
2.2.14 Aplikasi Self Care......................................................................................57
2.2.15 Tahap Evaluasi..........................................................................................59
BAB 3....................................................................................................................61
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN.............................61
3.1 Kerangka Konsep.......................................................................................61
BAB 4....................................................................................................................63
METODE PENELITIAN....................................................................................63
4.1 Desain dan Rancangan Penelitian.............................................................63
4.2 Kerangka Kerja (frame work)...................................................................64
4.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling..................................................65
4.3.1 Populasi....................................................................................................65
4.3.2 Sampel......................................................................................................65
4.3.3 Teknik Sampling........................................................................................65
4.4 Identifikasi Variabel...................................................................................66

xii
4.4.1 Variabel Independen................................................................................66
4.4.2 Variabel Dependen...................................................................................66
4.5 Defini Operasional......................................................................................66
4.6 Pengumpulan Data dan Pengolahan Data................................................68
4.6.1 Instrumen Penelitian................................................................................68
4.6.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.....................................................................69
4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data....................................................................69
4.6.4 Pengolahan Data......................................................................................70
4.7 Analisis Data...............................................................................................74
4.7 Masalah Etika.............................................................................................75
4.7.2 Informance Consent.................................................................................75
4.7.3 Anomity (Tanpa Nama).............................................................................75
4.7.4 Confidentiality (Kerahasiaan)....................................................................75
BAB 5....................................................................................................................76
HASIL PENELITIAN.........................................................................................76
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian........................................................76
5.2 Hasil Penelitian...........................................................................................76
5.2.1 Data Umum..............................................................................................76
BAB 6....................................................................................................................80
PEMBAHASAN...................................................................................................80
6.1 Umur............................................................................................................80
6.2 Jenis Kelamin..............................................................................................81
6.3 Pendidikan...................................................................................................82
6.4 Pekerjaan.....................................................................................................83
6.5 Peran Keluarga...........................................................................................84
6.6 Peran Petugas..............................................................................................85
6.7 Self Care.......................................................................................................86
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................88
7.1 Kesimpulan..................................................................................................88
7.2 Saran............................................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................90
LAMPIRAN..........................................................................................................92

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Kasus Kusta Yang Terdaftar dan Angka Prevalensi / 10.000
Penduduk Menurut Provensi Dan Jenis Kelamin Tahun 2018...............3

Table 4.1 Definisi Operasional Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dengan


Self Care Pada Penderita Kusta di Kecamatan Batuputih Kabupaten
Sumenep................................................................................................65

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan umur 15 responden penderita kusta di


Kecamatan Batuputih............................................................................76

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin 15 responden penderita


kusta di Kecamatan Batuputih..............................................................77

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan 15 responden penderita


kusta di Kecamatan Batuputih..............................................................77

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan 15 responden penderita


kusta di Kecamatan Batuputih..............................................................77

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan peran keluarga 15 responden penderita


kusta di Kecamatan Batuputih..............................................................78

Tabel 5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan peran Petugas 15 responden penderita


kusta di Kecamatan Batuputih..............................................................78

Tabel 5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan self care 15 responden penderita kusta
di Kecamatan Batuputih........................................................................78

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Jummlah Data Penderita Kusta di Kabupaten Sumenep 2015-2018..4

Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Dengan Self Care Pada Penderita Kusta di Kecamatan
Batuputih Kabupaten Sumenep..........................................................63

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat menyurat

Lampiran 2 : Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 3 : Kusioner

Lampiran 4 : Documentasi

Lampiran 5 : Rekap Data

Lampiran 6 : Analisa SPSS

Lampiran 7 : Lembar Konsul

xvi
DAFTAR SINGKATAN

PB : Pausy Bacilarry
MB : Multi Bacilarry
M.Leprea : Mycobacterium Leprea
WHO : World Health Organization
BT : Bordertine Tuberkuoid
TT : Tipe Tuberkuloid
BL : Bordertine lepromatous
LL : Tipe Lepromatous
BB : Tipe Borderline
BTA : Basil Tahan Asam
ASI : Air Susu Ibu
BAK : Buang Air Kecil
BAB : Buang Air Besar

xvii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta merupakan salah satu penyakit yang menular sehingga dapat

menyebabkan masalah yang sangat kompleks pada masyarakat. Masalah ini

dapat ditimbulkan bukan hanya dapat terjadi dari segi medis saja, akan

tetapi masalah meluas ke masalah budaya, ekonomi, sosial, dan ketahanan

nasional. Kusta adalah penyakit infeksi granulo-matosa menahun yang

disebabkan oleh suatu organisme intraseluler obligat M.leprae. pertama kali

kuman ini menyerang susunan syaraf tepi, lalu kuman ini menyerang

integumen, mukosa, saluran napas, sistem retikuloeendotelial, otot, tulang,

mata serta testis. Penyakit kusta di berbagai tempat istilahnya berbeda-beda,

salah satu contoh istilah lain tentang kusta seperti lepra,Hanseniasis,

Satyriasis, morbos Hansen, Elephantiasis Graecorum, Lepra Arabum,

Leontiasis, Mal de San Lazaro dan Melaats (Amirudin M.D, 2019)

Penderita kusta pada umumnya mengalami masalah fisik berupa

lagophthalamos, mutilasi, absorbsi, kebutaan, jari kriting, infeksi skunder

pada luka yang dialami dan kelainan fisik, sehingga kecacatan pada

penderita kusta dapat menimbulkan stigma buruk dan menyebabkan klien

kusta dikucilkan, diabaikan, serta dijauhi oleh keluarga dan sulit untuk

mendapatkan pekerjaan. Apabila tidak dilakukan pengobatan dan

penanganan secara dini maka akan menimbulkan kecatatan pada penderita

kusta (Eldiansyah F, Wantia, Siswoyo, 2016). Selain pengobatan dirumah

sakit klien juga bisa melakukan Self care dirumah.

1
2

Self care adalah suatu bentuk kontribusi berkelanjutan orang

dewasa bagi eksistensinya, kesejahteraannya serta kesehatannya. Self care

menjelaskan dan mengambarkan manfaat perawatan diri guna

mempertahankan kesehatan, hidup dan kesejahteraan. Ketika ini dikerjakan

secara efektif maka upaya perawatan diri akan memberi konstribusi bagi

integritas struktural fungsi dan perkembangan manusia (Asmadi, 2008).

Menurut Orem, kebutuhan self care berupa pemeliharaan air atau cairan,

udara, proses eliminasi normal, makanan serta keseimbangan antara

aktivitas dan istirahat, pencegahan bahaya bagi kehidupan, keseimbangan

antara solitud dan intreraksi sosial, danjuga kesejahteraanbagi manusia, dan

upaya meningkatkan fungsi dan perkembangan individu dalam kelompok

sosial sesuai dengan potensi, keinginan untuk normal serta keterbatasan

manusia. Kemampuan individu dalam melaksanakan perawatn diri

merupakan kemampuan individu yang berhubungan dengan perkiraan dan

esensial operasi produksi perawatan diri (Nursalam, 2017).

Kasus kusta di dunia pada saat tahun 2015 berjumlah 210.758. Dari

jumlah itu paling banyak terdapat pada regional Asia Tenggara (156.118)

diikuti regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), Dan sisa tersebut

ada pada regional lain (www.who.int, Leprosy Fact Sheet, 2018).

Sedangkan angka kejadian kasus kusta baru di Indonesia pada tahun 2015

menduduki peringkat ketiga di dunia yaitu sebanyak 17.202 penderita

setelah Brazil dengan jumlah kasus kusta baru sebanyak 26.395 penderita

(Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018).


3

Tabel 1.1 Jumlah Kasus Kusta Yang Terdaftar Dan Angka Prevalensi /
10.000 Penduduk Menurut Provinsi Dan Jenis Kelamin Tahun 2018

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018

Berdasarkan tabel di atas pada tingkat provinsi yang ada di

Indonesia jumlah penderita kusta baru sebanyak 19.033 penderita. Provinsi

Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus baru

terbanyak dari 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2018 dengan tipe Pausy

Bacillary (PB) sebanyak 199 penderita sedangkan Multi Bacillary (MB)

sebanyak 3.348 penderita. Sehingga jumlah kasus kusta baru sebanyak

3.547 penderita.
4

Gambar 1.1. Jumlah data penderita kusta di Kabupaten Sumenep 2015-2018.

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, 2019

Berdasarkan diagram di atas di jelaskan bahwa penderita kusta di

Kabupaten Sumenep masih tinggi dari data Dinkes Kabupaten Sumenep

pada tahun 2015 jumlah penderita kusta terdaftar PB amaupun MB 424 jiwa

dengan prevalensi/10.000 penduduk 3,95% dan CDR 4,38%, pada tahun

2016 jumlah penderita kusta 470 jiwa dengan prevalensi/10.000 adalah

4,36% dan CDR 4,28%, pada tahun 2017 penderita kusta berjumlah 429

jiwa dengan prevalensi/10.000 adalah 3,97% dan CDR 4,21%, dan pada

tahun 2018 sebanyak 369 jiwa dengan prevalensi / 10.000 adalah 3,40%.

Dari data tersebut dari data 2018 kecamatan tertinggi adalah Kecamatan

Gayam dengan jumlah penderita 40 penderita, pada posisi kedua di duduki

oleh Kecamatan Talango dengan jumalah penderita 39 penderita dan yang

terakhir di posisi ketiga di duduki oleh Kecamatan Batuputih dengan 26

penderita (Dinkes Kab. Sumenep, 2018).


5

Setelah dilakukan studi pendahulian pada bulan November 2019

dan februari 2020 dengan cara wawancara dan mengisi kusioner dengan

penderita kusta di dua desa yaitu di Desa Gadang-Gadang sebanyak 7

penderita dan di Desa Badur sebanyak 9 orang di Kecamatan Batu Putih

Kabupaten Sumenep. Dari 16 penderita kusta 14 penderita mengatakan

kurang paham mengenai kusta dan cara melakukan self care (perawatan

diri) dan ada yang tidak melakukan self care (perawtan diri) sama sekali,

sebagian mengatakan penyakit mereka sudah kehendak Allah S.W.T.

mereka belum meyakini bahwa mereka mampu melakukan self care

(perawtan diri) terhadap dirinya sendiri. Ditandai dengan 1 penderita kusta

yang mempunyai luka di bagian kaki tidak dirawat tapi dibiarkan, kemudian

penderita mengatakan bahwa tidak dilakukan pemisahan alat mandi, baju,

dan lainnya dengan anggota keluarganya, jarang sekali membersihkan

kamar sedangkan yang 2 penderita lainnya cukup bisa melakukan self care

(perawtan diri), penderita mengatakan setiap 1 minggu sekali membersihkan

kamar dan membedakan baju dan alat mandi dengan anggota keluarganya

dan serta rutin meminum obat yang diberikan oleh petugas puskesmas.

Kusta dapat berkembang dan ditularkan tergantung dua hal, yaitu

jumlah valensia/virulensia M.Leprae dan juga ketika system imun tubuh

penderita. Selain itu, faktor saat berperan dalam penularan kusta yaitu usia,

jenis kelamin, ras, lingkungan, dan juga kesadaran sosial. Ada Sekian faktor

lain yang juga berperan dalam penyebaran dan kejadian kusta yaitu iklim

(iklim panas serta lembab), Status gizi, Status social ekonomi, genetic, serta

juga diet (Amirudin M.D, 2019). Self care pada kusta juga dipengaruhi
6

beberapa faktor yaitu umur, pendidikan, Jenis kelamin, pekerjaan, peran

petugas, serta tugas dari peran keluarga. Jika penderita ztidak melakukan

perawatan diri maka dapat menyebabkan kecacatan bahkan jika sudah

terjadi kecacatan maka kecacatannya akan semakin berat (Mahanani N,

2013).

Self care yang dilakukan dapat membuat manusia mandiri serta

mampu mengendalikan dirinya sendiri dan mengoreksi dirinya dalam

mencegah penyakit. Self care diorientasikan dengan tujuan yang fokus pada

isi kapasitas individu itu sendiri serta mengatur dirinya, lingkungan dengan

cara sedemikian rupa. Sehingga dapat mempertahankan kehidupan,

menikmati kesehatan, kesejahteraan serta berkontibusi dalam perkembangan

diri. Penyimpangan status kesehatan seperti kecelakaan, luka atau sakit yang

dapat menurunkan individu dalam pemenuhan self care-nya, baik secara

temporer atau permanen (Aini N, 2018). Sehingga self care pada penderita

kusta harus diterapkan untuk mencegah penularan kusta, mencegah

terjadinya kecacatan pada penderita kusta serta agar tidak memperparahnya,

dengan demikian memberikan pendidikan dan informasi self care pada

penyakit kusta sangat perlu agar penyakit tersebut tidak meluas dan tidak

tertular pada yang lain.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self

Care Pada Penderita Kusta Di Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep”.


7

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana faktor umur pada penderita kusta di Kecamatan Batu Putih

Kabupaten Sumenep 2019.

2. Bagaimana faktor Jenis Kelamin pada penderita kusta di Kecamatan Batu

Putih Kabupaten Sumenep 2019.

3. Bagaimana faktor Pendidikan pada penderita kusta di Kecamatan Batu

Putih Kabupaten Sumenep 2019.

4. Bagaimana faktor Pekerjaan pada penderita kusta di Kecamatan Batu

Putih Kabupaten Sumenep 2019.

5. Bagaimana faktor peran keluarga pada penderita kusta di Kecamatan

Batu Putih Kabupaten Sumenep 2019.

6. Bagaimana faktor peran petugas pada penderita kusta di Kecamatan Batu

Putih Kabupaten Sumenep 2019.

7. Bagaimana self care pada penderita kusta di Kecamatan Batu Putih

Kabupaten Sumenep 2019.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Umum
Tujuan umum dalam penelitian umum ini adalah untuk mengetahui

Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan self care pada penderita

kusta di Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep 2019.

1.3.2 Khusus
1. Mengidentifikasi faktor umur pada penderita kusta di Kecamatan Batu

Putih Kabupaten Sumenep 2019.


8

2. Mengidentifikasi faktor Jenis Kelamin pada penderita kusta di

Kecamatan Batu Putih Kabupaten Sumenep 2019.

3. Mengidentifikasi faktor Pendidikan pada penderita kusta di Kecamatan

Batu Putih Kabupaten Sumenep 2019.

4. Mengidentifikasi faktor Pekerjaan pada penderita kusta di Kecamatan

Batu Putih Kabupaten Sumenep 2019.

5. Mengidentifikasi faktor peran keluarga pada penderita kusta di

Kecamatan Batu Putih Kabupaten Sumenep 2019.

6. Mengidentifikasi faktor peran petugas pada penderita kusta di Kecamatan

Batu Putih Kabupaten Sumenep 2019.

7. Mengidentifikasi self care pada penderita kusta di Kecamatan Batu Putih

Kabupaten Sumenep 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


1. Manfaat penelitian difokuskan dengan menganalisis dan membuktikan

teori tentag adanya hubungan faktor-faktor dengan self care kusta pada

penderita kusta.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan

tentang faktor-faktor self care kusta pada penderita kusta bagi

masyarakat secara umum, baik dari tingkat dasar sampai dengan tingkat

tertinggi.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Bagi Profesi keperawatan
9

Sebagai tambahan informasi dan pengetahuan dalam mencegah

penyebaran dan penanggulangan penyakit kusta.

2. Bagi Masyarakat atau Responden

Sebagai suatu informasi supaya masyarakat dapat melakukan

preventif dalam penyebaran penyakit kusta di lingkungan sekitar

masyarakat. Sedangkan untuk penderita penelitian ini dapat membuat

suatu peningkatan kesadaran sehingga mampu memasksimalkan

kekuatan diri dalam upaya mencegah kecacatan serta berperan aktif

dalam melakukan self care.


10

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai sumber informasi atau referensi dalam mengembangkan

metode penelitian ini akan dilakukan terkait dengan segala Sesuatu faktor

yang berhubungan dengan self care penderita kusta.


BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Kusta

2.1.1 Definisi
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulimatosa

menahun yang disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M.leprae.

Awalnya, keman ini menyerang sususan saraf tepi, lalu menyerang kulit,

mukosa, saluran napas, system retikuloendetolial, mata, otot, tulang, dan

testis (Amirudin M.D, 2019).

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang

kulit, membrane mukosa dan saraf perifer yang disebabkan oleh bakteri

aerob dan tahan asam M.Leprae Kusta adalah penyakit bakteri kronis pada

manusia yang disebabkan oleh M.Laprea yang menyerang kulit, saraf

perifer dan mukosa hidung. Kusta apabila tidak didiagnosis dan di obati

secara dinidapat menyebabkan cacat pada mata, tangan, dan kaki (Susanto

T, dkk, 2013).

Penyakit kusta dimamakan juga sebagai Lepra, Morbus Hansen,

Hanseniasis, Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum,

Leontiasis, Kushta, Melaats, dan Mal de San Lazaro. Di bagian tempat

istilah kusta berbeda-beda, misalnya Jerman dengan Aussatz, Prancis

dengan Lepre, Rusia dengan Prokaza, Cina dengan Mafung, Jepang dengan

Raibyo, Arab dengan Judham, India dengan kushtha, Makassar dengan

Kandala, dan Bugis dengan Kandalakeng atau Malasauli.

11
12

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang

kulit, membrane mukosa dan saraf perifer yang disebabkan oleh bakteri

aerob dan tahan asam yaitu mycobacterium leprae. Kusta merupakan

penyakit kronis yang disebabkan oleh mycobacterium leprae (M.leprae)

atau bisa disebut juga dengan Morbus Hansen yang menyerang saraf perifer,

kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati dan

sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat (Susanto T, dkk, 2013).

Suatu sistem klasifikasi mempunyai nilai yang penting dalam

berbagai penyakit. Ini sangan penting dalam penyakit kronis, misalnya

penyakit kusta yang mempunyai manifestasi klinis yang sangat bervariasi

yang berhubungan dengan pembedaan dalam imunologis, hitologis, evolusi,

dan epidemiologis.

Tujuan klasifikasi ini adalah :

1. Untuk menentukan strategi pemberantasan.

2. Pemilihan rajimen kemotrapi yang tepat yang dibutuhkan untuk

pengobatan.

3. Identifikasi penderita yang menular sangat penting secara epidemologis

sehingga hal ini merupakan target utama dalam kemotrapi.

4. Identifikasi penderita yang cendering yang mengalami deformitas.

5. Untuk memperkirakan prognosis dari penyakit kusta.

6. Untuk meramalkan tipe reaksi kusta yang akan timbul.

7. Untuk tujuan penelitian.

Dasar utama dari klasifikasi sebaiknya memperhatikan manifestasi

klisnis yang berhubungan dengan marfologi lesi kulit, manifestasi


13

neurologis, dan pemeriksaan Bakteriologi dari apusan lesi kulit. Juga perlu

duperhatikan hubungan antara imunologis dengan gambaran histopatologis.

Terdapat berbagai kalsifikasi kusta seusai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan. Mulai dari kalsifikasi Pre Manila, Manila, Pan Amerika,

Havana, Madrid, Indian, Job dan Chacko, Ridley dan Jopling, serta

kalsifikasi menurut WHO.

Sampai saat inin untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian

banyak adalah kalsifikasi Ridley dan Joping. Klasifikasi ini berdasarkan

gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan mempunyai korelasi

dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit kusta menjadi 5 tipe

yaitu:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bias satu

atau beberapa dengan ukuran 3-30 cm, dapat berupa makula atau plakat,

batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau

central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang

meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat disetai

penebalan saraf perifer yang bias teraba, kelemahan otot dan sesikit rasa

gatal. Anastesi atau hipertensi merupakan karakteristik mayor pada tipe

ini. Keterlibatan saraf perifer sering terjadi. Tipe TT iini sering

menyebabkan kecacatan yang berat. Adanya inflitrasi tuberkuloid dan

kurang atau tidak adanya basil merupakan adanya tanda respon imun

pejamu yang adekuatterhadap basil kusta.


14

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ono menyerupai tipe TT yakni berupa makula

atau plakat yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu

atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau

skuama yang tidak jelas seperti pada tipe TT, adanya gangguan saraf

tidak seberat pada tipe IT, biasanya asimetris.lesi satelit biasanya ada dan

terletak dekat saraf perifer yang menebal. Sitology dan komposisi dari

granuloma biasanya susah dibedakan dengan tipe TT, tetapi ini bias

dilihat dengan adanya zona subepidermal walaupun sangat sempit.

Granuloma dapat dibedakan dengan tipe BB dengna melihat adanya

limpofit pada zona perifer atau adanya sel raksasa langhans yang

kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang banyak. Sel makrofag

menunjukkan derajat yang bervariasi mulai dari deferensasi epiteloid

sampai sel raksasa. BTA didapat dalm jumlah sedikit 0,1 atau 2+ di

dalam granuloma, dan biasanya 1+ sampai 3+ pada serabut saraf yang

terkena. Uji lempromin positif tetapi tidak terlalu kuat.

3. Tipe Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum

penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk makula infiltrat. Permukaan

lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelasdengan jumlah lesiyang

melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik

dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bias disapatkan adanya lesi

puched-out yaitu hipopigmentasi yang oval yang bagian tengah, batas

jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.


15

Yang paling spedifik yaitu adanya sel epiteloid yang difus dan

tersebar kedalam granuloma dan tidak terfokusdalam zona sel epiteloid,

sel epiteloid menjadi lebih besar tetapi tidak seberat pada tipe BT, tanpa

sel raksasa Langhans. Limfosit sedikit dan kelompok. Mulai Nampak

daerah-daerah epidermal clear zone. Saraf tanpak normal, perineurium

mengadakan laminasi. BTA 3+ sampai 4+. Reaksi Mitsudanegatif dan

uji transformasi limfosit sangat lemah dan negate.

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

5. Tipe Lepromatous (LL)

Dalam pemakaian obat kombinasi (MDT) untuk memberanta

penyakit kusta, maka WHO mengelompokan penyakit kusta ats dua

kelompok berdasarkan jumlah lesi kulit, yaitu:

1. Tipe Pausibasiler (PB) terdiri ats tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid

(TT), Borderline Tuberkuloid (BT). Jumlah lesi sebanyak 1 sehingga 5

lesi kulit. Hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) negatif

2. Tipe Multibasiler (MB) terdiri atas tipe Borderline (BB), Borderline

Lepromatous (BL), Lepromatous (LL). Jumlah lesi lebih atau sama

dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA positif.

2.1.2 Penyebab Kusta


Penyakit kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh

M.Leprae yang bersifat tahan asam dan garam positif. M.Leprae merupakan

parasite obligat itraseluler dan terutama berada pada magrofag (Ramme et

al, 2006 dalam Susanto et al, 2013). M.Leprae memiliki ukuran panjang 2-7

mikrometer dan lebar 0,3-0,4 mikrometer. M.Leprae mempunyai dinding sel


16

yang mengandung banyak lemak dan lapisan lilin, sehingg mengakibatkan

bakteri ini tahan asam. Penentuan M.Leprae tahan asam atau tidak, dengan

cara pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen dengan menggunakan larutan Karbon

Fuhsin, asam Alkohol, dan Metilen Blue (Sehgal, 2006 dalam Susanto et al,

2013). Factor penyebab penyakit kusta tersebut ditunjang oleh beberapa hal

dalam proses penularan penyakit kusta.

1.

2.

2.1.

2.1.1.

2.1.2.

2.1.3.

2.1.3 Gambaran Klinis


Manifestasi klisnis penyakit biasanya menunjukkan gambaran yang

jelas pada stadium yang lanjut, dan diagnosis cukup ditagakkn dengan

pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta adalah seorang yang menunjukkan

gejala klinis kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bacteriologi dan

memerlukan suatu pengobatan.

Ada 3 tanda kardinal yang salah satunya ada sudah cukup untuk

menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni:

1. Lesi Kulit yang Anestesi

Makula atau plakat atau lebih jarangpada papul atau nodul

dengan hilangnya rasa raba, rasa sakit dan suhu yang jelas. Kelainan pada
17

kulit yang spesifik berupa perubahan warna berupa lesi hipopigmentasi

atau eritem dan tekstur kulit serta kalinan pertembuhan rambut.

2. Penebalan Saraf Perifer

Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada

penyakit kusta. Pada daerah endemic kusta temuan adanya penebalan

saraf perifer dipakai untuk menegakkan diagnosis. Untuk mengevaluasi

ini diperlukan latihan yang terus menerus cara meraba saraf dan pada saat

pemeriksaan perlu dibandingkan dengan saraf.

Penebalan saraf (awal biasanya asimetris) pada daerah yang

berdekatan dengan lesi kulit seperti auricular, ulnar, radial, peroneal

superfisial, dan tibial posterior. Penebalan saraf ini dapat atau tidak

disertai adanya rasa nyeri dan menyababkan ganguan sensori dan motoris

pada saraf yang terkena.

3. Terdapat M.Lerpae

M.Lerpae dimasukkan dalam genus Mycobacterium, family

Mycrobacteriaceae, ordo Actionmycetales, klas Schyzomycetes.

Berbentul pleomorf, lurus, batang ramping, dan sisanya berbentuk

parallel dengan kedua ujungnya bulat, ukuran panjang 1-8 mm dan lebar

0,3-0,5 mm. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang Gram

positif, tidak bergerak, dan tidak berspora. Genom M.Leprae lebih

pendek bila dibandingkan dengan M.tubercolosis, dimana genom

M.Leprae mengkode hanya sebnayak 1.600 gen sementara

M.tubercolosis mengkode sebanyak 4.000 gen.


18

M.Leprae terutama terdapat pada kulit, mukosa hidung, dan

saraf perifer yang super fisial dan dapat ditunjukkan dengan apusan

sayatan kulit atau kerokan mukosa hidung. Secara klinis telah dibiktikan

bahwa basil ini biasanya tumbuh pada daerah temratur kurang dari 37 o C.

hal ini dibuktikan oleh Rees pada mencit. Pada suatu penelitian in vitro

pada mencit didapatkan bahwa pertumbuhan oktimum basil M.Leprae

pada temperatur 27-30o C.

Kelainan kulit dapat berupa macula hipopigmentasi, eritema,

infiltrat atau nodul. Jumlah lesibisa satu, beberapa atau hamper mengenai

seluruh tubuh, dapat simetris atau asimetris. Bila ditemukan gangguan

pembentukan keringat dan kerokan rambut akibat gangguan saraf

otonom.

4. Port of exit M.leprae

Yang dimaksud Port of exit M.leprae adalah tempat di mana

M.leprae keluar dari tubuh manusia yaitu kulit dan mukosa hidung.

Masih diperdebatkan apakah M.leprae terdapat pada deskuamasi sel

epitel kulit yang intak, namun yang jelas bahwa M.leprae dikeluarkan

dari kulit yang terluka, cairan/discharge yang keluar dari ulkus penderita

dan melalui kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Mukosa nasal

melepaskan paling banyak M.leprae di mana mampu melepaskan 10

miliar organisme hidup perhari dan mampu hidup lama di luar tubuh

manusia sekitar 7-9 hari di daerah tropis.

Pada saat berbicara, batuk, dan bersin, M.leprae juga

dikeluarkan dari penderita di mana sekali bersin mampu melepaskan


19

110.000 basil. Penularan melalui droplet infeksi memegang peranan

yang cukup besar, di samping penularan melalui kontak erat dari kulit ke

kulit. Darah penderita kusta juga memegang banyak M.leprae. pada

penderita kusta tipe lepromatosa mengandung lebih dari 105 bakteri per

milliliter darah.Fases penderita kusta juga dikatakan mengandung

M.leprae yang hidup dan dianggap mungkin bisa menular.

Pada wanita hamil penderita kusta lepromatosa yang belum

diobati, sejumlah besar bakteri dapat melewati plasenta dan menginfeksi

janin yang dikandungnya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya kadar IgA

anti M.leprae pada janin dari ibu yang menderita kusta, yang

menunjukkan adanya paparan bakteri pada janin yang akan merangsang

respon imun janin. IgA mendeteksi reaksi imonologi janin terhadap

paparan bakteri karena IgA tidak dapat melewati plasenta, sedangkan

yang dapat melewati plasenta adalah IgG. Apakah infeksi transplasental

dapat mengakibatkan janin nantinya akan menderita penyakit kusta,

masih dipertanyakan, karena masa inkubasi kusta yang lama sehingga

sulit ditentukan apakah bayi terinfeksi sewaktu masih dalam kandungan

atau setelah lahir melalui air susu atau kontak langsung dan secara

inhalasi. Di samping itu, tidak ada laporan tentang kejadian kusta pada

1,5 tahun pertama kehidupan menyebabkan lemahnya teori penularan

melalui plasenta, walaupun paparan bakteri transplasental dapat

dibuktikan.

Air susu dinyatakan sebagai sumber pelepasan M.leprae,

walaupun kemungkinan penularan kepada bayi sampai saat ini masih


20

dipertanyakan. Sekali minum air susu ibu (ASI) yang menderita kusta

tipe lepromatosa bayi akan meminum sebanyak lebih kurang 2 miliar

bakteri. Walaupun belum ada studi epidemiologi yang menyebutkan

apakah bayi yang minum air susu yang mengandung begitu banyak

bakteri akan menderita kusta. Penularan terhadap bayi melalui air susu

pada penderita kusta yang telah diberi pengobatan depson/DDS tidak

perlu dikhawatirkan, karena DDS dapat membunuh bakteri dalam air

susu dalam beberapa minggu. Di samping itu, obat tersebut juga

disekresikan melalui air susu satu atau dua jam setelah ibu meminumnya,

sehingga bayi secara tidak langsung menjadi terapi profilaksis.

5. Post of entry M.leprae

Post of entry M.leprae adalah tempat masuknya kuman

M.leprae ke dalam tubuh manusia. Ada beberapa cara masuk M.leprae ke

dalam tubuh yaitu:

a. Penularan melalui kontak

Kontak kulit dengan kulit secara langsung yang erat, lama,

dan berulang. M.leprae terutama memasuki tubuh manusia melalui

lesi kulit atau setelah trauma, walaupun dikatakan bahwa penularan

melalui kulit yang intak juga mungkin tetap lebih sulit. Menggunakan

pakaian pelindung dan alas kaki dapat membantu mengurangi

kemungkinan penularan kusta pada Negara berkembang di mana kusta

masih endemis, mengingat kuman ini dapat hidup pada lingkungan

diluar tubuh manusia atau tanah selama lebih dari 46 hari.

b. Penularan melalui inhalasi


21

Penularan melalui saluran pernafasan yaitu seperti percikan

ludah, di mana M.leprae tidak mengakibatkan lesi pada paru-paru

karena suhu pada paru-paru yang tinggi tetapi langsung masuk ke

aliran darah. Dari aliran darah M.leprae kemudian dapat mencapai

saraf tepi dan difagosit sel Schwann dan multiplikasi di dalamnnya.


22

c. Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan

Air susu ibu yang menderita kusta lepromatosa mengandung

sangat banyak bakteri yang hidup, namun insiden kusta pada bayi

yang minum air susu dari ibu yang menderita kusta lepramatosa hanya

setengah bila dibandingkan dengan bayi yang minum susu botol. Hal

ini menunjukkan bahwa air susu masih dipertanyakan.

d. Penularan melalui gigitan serangga

Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan

serangga. Untuk terjadinya penularan, ada 3 hal yang diperlukan :

1) Adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah cukup banyak.

2) Adanya makan yang cukup untuk bakteri, sampai akhirnya dapat

ditularkan kepada host.

3) Bakteri harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.

2.1.4 Klasifikasi
Adapun klasifikasi yang dapat dipakai pada bidang penelitian

adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan

penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis,

bakteriologis, histopatologis, dan imonologis dan sekarang klasifikasi ini

juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu

atau beberapa dengan ukuran 3-30 cm, dapat berupa macula atau plaktat,

batas jelas, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi

atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
23

meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat disertai

penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sediki

rasa gatal. Anestesi atau hiperestesi merupakan karakteristik mayor pada

tipe ini. Keterlibatan saraf perifer sering terjadi. Tipe TT ini sering

menyebabkan kecacatan yang berat. Adanya infiltrasi tuberkoloid dan

kurang atau tidak adanya basil merupakan tanda adanya respon imun

penjamu yang adekuat terhadap basil kusta. Granuloma epiteloid ini

terdapat pada sebagian besar atau seluruh dermis yang dikelilingi oleh

infiltrasi limfosit yang meluas. Granuloma sering meluas ke sel basal

epidermis sehingga tidak ada daerah clear zone dan dapat berpenetrasi ke

dermis bagian bawah. Pada berkas saraf dapat terjadi nekrosis kaseosa

atau fibrinoid di daerah dermis. Banyak sel raksasa langhans yang

dikelilingi oleh limfosit dalam perineurium. Pada penderita dengan tipe

ini biasanya hasil mitsuda positif kuat dan uji in vitro untuk SIS pada

M.leprae positif pada bagian besar kasus. BTA tidak ditemukan dalam

jumlah yang kecil dengan biopsi pada tepi lesi yang aktif.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT yakni berupa makula atau

plakat yang sering disertai lesi satelit dipinggirnya, jumlah lesi satu atau

beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama

yang tidak jelas seperti pada tipe TT, adanya gangguan saraf tidak

seberat pada tipe TT, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan

terletak dekat saraf perifer yang menebal. Sitologi dan komposisi dari

granuloma biasanya susah dibedakan dengan tipe TT, tetapi ini bisa
24

dilihat dengan adanya zona subepidermal walaupun sangat sempit.

Granuloma dapat dibedakan denagn tipe BB dengan melihat adanya

limfosit pada zona perifer atau adanya sel raksasa langhans yang kadang-

kadang terdapat dalam jumlah yang banyak. Sel makrofag menunjukkan

derajat yang bervariasi mulai dari diferensiasi epiteloid sampai sel

raksasa. BTA di dapat dalam jumlah sedikit 0,1 atau 2 + di dalam

granuloma, dan biasanya 1+ sampai 3+ pada serabu saraf yang terkena.

Uji lepromin positif tetapi tidak terlalu kuat.

3. Tipe Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spektrum

penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini

jarang dijumpai. Lesi dpat berbentuk makula infiltrate. Permukaan lesi

dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi

tipe BT dan cendrung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran,

bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan adanya lesi punched-out

yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang

merupakan ciri khas tipe ini.

Yang paling spesifik yaitu adanya sel epiteloid yang difus dan

tersebar ke dalam granuloma dan tidak berfokus dalam zona sel epiteloid,

sel epitoloid menjadi lebih besar tetapi tidak seberat pada tipe BT, tanpa

sel raksasa langhans. Limfosit sedikit dan berkelompok. Mulai Nampak

daerah-daerah epidermal clear zone. Saraf tampak normal, perineurium

menggandakan laminasi. BTA 3+ sampai 4+. Reaksi mitsuda negative

dan uji transformasi limfosit sangat lemah atau negative.


25

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya

dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar keseluruh badan.

Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih

kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hamper

simetris dan beberapa nodus Nampak melekuk pada bagian tengah. Lesi

bangian tengah sering Nampak normal dengan pinggir dalam infiltrat

lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak seperti

punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat

muncul disbanding tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba

pada tempat predileksi. Tampak bentuk granuloma dari makrofag yang

tidak berdeferensiasi. Vakuolisasi sel sedikit dan dapat ditemukan sedikit

makrfag dengan sel busa dan dapat dengan atau tanpa sel busa. Biasanya

uji Mitsuda negative. Basil tahan asam dapat mencapai 3+ sampai 4+.

5. Tipe Lepromatous (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas dengan tepi yang kabur dan

cenderung menyatu serta tidak ditemukan gangguan anestesi dan

anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas yakni di wajah, dahi,

pilipis, dagu, cuping telinga sedangkan dibadan mengenai bagian

belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan

ekstensor tungkai bawah. Nodul dan papul yang merupakan karakteristik


26

tipe LL biasanya berjumlah banyak. Nodul tersebut terutama terdapat

pada cuping telinga.

Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif,

cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung

membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis yang dimulai

pada bagaian lateral alism iritis dan kertititis. Lebih lanjut dapat terjadi

deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe,

orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf

dermis menyebabkan gejalah stocking ang glove anaesthesia.

Bila penyakit ini menjadi progresif, makula dan papula baru

muncul sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodul. Pada

stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin

atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot-otot tangan

dan kaki. Tampak granuloma makrofag tanpa sel epitoloid dan sangat

sedikit limfosit. Ditemukan granuloma yang terdiri atas histiosit yang

menunjukkan perubahan degenerasi lemak yang bervariasi dengan

dibentuknya sel-sel busa. Makrofag dengan sitoplasma yang berbusa atau

vakuolisasi disebut sebagai “sel lepra” atau sel Virchow. Potongan saraf

yang nampak berbentuk kulit bawang tanpa infiltrasi sel atau dapat

normal. BTA mencapai 5+ sampai 6+. Uji Mitsuda negative.

Salah satu penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi

Ridley dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu

tipe indeterminate (I) yang merupakan stadium awal kusta yang terdiri

atas lesi hipopigmentasi atau eritem dengan sisik yang sedikit dan dapat
27

saja masih sensitif. Lokasinya biasanya dibagian ekstensor ekstremitas,

bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi

atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat diteggakan

bila dengan pemeriksaan histopatologis didapatkan basil atau terdapat

infiltrate di sekitar saraf. Pada 20-80 % kasus penderita kusta, tipe ini

merupakan tanpa pertama. Sebagian besar akan sembuh spontan. Secara

histopatologis tidak dapat dibedakan dengan dermatitis kronik, bila

didapatkan kepadatan sel meningkat pada satu berkas saraf (perineural

cuffing) maka ini bersifat spesifik. Basil tahan asam tidak didapatkan atau

hanya sedikit. Bila hanya ditemukan sebukan sel makrofag yang banyak

maka kemungkinan perkembangan akan kea rah tipe LL, sedangkan bila

didapatkan beberapa granuloma sel epitoloid maka perkembangana ke

arah tipe TT.

2.1.5 Faktor-Faktor Resiko Klien di Komunitas


Faktor-faktor resiko yang dapat diidentifikasi untuk menempatkan

populasi penderita kusta adalah sebagai berikut (Susanto dkk, 2013) :

1. Umur

Faktor umur merupakan at risk pada populasi penderita kusta.

Penyakit kusta pada populasi berresiko berkembang karena faktor umur

penderita dengan karakteristik yang beragam dari mulai anak-anak

sampai dengan lanjut usia. Faktor umur yang sangat beresiko untuk

tertular pada populasi kusta adalah kelompok usia anak dan dewasa.

Umur anak dan dewasa sangat rentan untuk mengalami masalah

kesehatan.
28

Kerentanan populasi anak terhadap kusta dipengaruhi daya

imunitas tubuh dalam melawan bibit penyakit. Populasi anak yang masih

muda menyebabkan kecacatan yang cepat bila dibandingkan dengan anak

yang lebih tua. Hasil penelitian retrospektif pada kasus kusta anak di

Divisi Morbus Hansen Unit Rawat Jalan Kesehtan Kulit dan Kelamin

RSU Dr. Soetomo Surabaya dari tahun 2002 sampai tahun 2005

menunjukkan 2,6% dari total penderita kusta yang datang adalah anak-

anak. Data tersebut diambil dari status penderita yang berumur kurang

dari 14 tahun. Hasil penelitian ini juga menunjjukan perbandingan

penderita laki-laki: perempuan adalah 1,6:1 umur terbanyak penderita

adalah umur 10-14 tahun sedangkan umur termuda adalah 4 tahun.

Perkembangan umur yang rentan pada anak terkait juga dengan daya

tahan tubuh.

2. Daya Tahan Tubuh

Daya tahan tubuh atau imunitas pada populasi penderita kusta

merupakan suatu resiko. Populasi penderita kusta pada umumnya

memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang sangat rendah. Imunitas

pada penderita kusta sangat dibutuhkan untuk menjaga status

kesehatannya dan mengurangi progrisifitas penyakit. Imunitas penderita

kusta yang rendah akan mengakibatkan percepatan kecacatan pada

penderita (Boggild, 2004 dalam Susanto, dkk, 2013). Imunitas yang baik

dan stabil pada populasi kusta akan dapat mencegah terjadinya kerusakan

pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata serta munculnya lesi pada kulit

yang bisa diamati dari luar. Imunitas yang baik perlu ditunjang dengan
29

adanya faktor nutrisi yang cukup. hasil penelitian ini di India

menunjukkan 63% kasus penularan kusta terjadi antara rumah ke rumah

dan umumnya berkaitan dengan ketersediaan nutrisi yang kurang

mencukupi (Kumar, 1999 Susanto, dkk, 2013).

3. Nutrisi

Nutrisi pada populasi penderita kusta merupakan suatu faktor

resiko terutama penderita kusta anak. Nutrisi merupakan unsur yang akan

membantu pertumbuhan dan pencegahan terhadap penyakit. Nutrisi pada

anak juga akan meningkatkan status imunitas anak serta mencegah

terjadinya anemia. Nutrisi pada populasi penderita kusta dibutuhkan

untuk meningkatkan daya tahan imunitas. Nutrisi yang adekuat akan

meningkatkan kadar albumin dan Fe dalam tubuh sehingga mengurangi

progresifitas penyakit kea rah kecacatan. Pemenuhan kebutuhan nutrisi

yang cukup umumnya berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi klien

kusta. Penelitian retrospektif terhadap penderita kusta rawat jalan.

4. Sosial ekonomi dan pendidikan

Sosial ekonomi dan pendidikan pada populasi penderia penyakit

kusta merupakan faktor resiko. Penderita kusta sebagian besar

merupakan masyarakat dengan status ekonomi dan berpendidikan

rendah. Kelompok penderita yang berasal dari keluarga miskin sangat

rentan terkena penyakit menular terutama anak-anak. Anak dari keluarga

miskin memiliki dua kali atau lebih beresiko untuk mengalami beberapa

masalah seperti keterbatasan fisik dan mental, serangan asma, defisiensi

zat besi, dan injuri dibandingkan dengan kelompok anak lainnya.


30

Masalah kemiskinan berkaitan dengan masalah ekonomi pada

suatu keluarga penderita kusta. Masa penyembuhan penderita kusta dapat

berlangsung lama. Kondisi ekonomi yang cukup sangat diperlukan oleh

penderita kusta dalam masa penyembuhan tersebut. Ekonomi yang

memadai diperlukan dalam mencukupi kebutuhan nutrisi dalam

mengurangi keterbatasan kelainan yang dialami terutama pada pasien

anak. Populasi kusta yang berasal dari keluarga miskin umumnya

meningkat dan mengarah kepada kelainan fisik dan kecacatan.

Kondisi kelainan fisik dan kecacatan pada klien kusta dewasa

mengakibatkan klien kusta tidak dapat bekerja sehingga secara faktor

ekonomi mengakibatkan klien kusta sebagai populations at risk. Klien

kusta yang tidak bekerja maka secara pemasukan pendapatan keluarga

akan berkurang sehingga kebutuhan ekonomi keluarga menjadi

berkurang. Kondisi kecacatan dan keterbatasan fisik yang dimunculkan

pada klien kusta di komunitas juga diperburuk oleh faktor lingkungan.

5. Lingkungan

Faktor lingkungan pada populasi penderita kusta merupakan

factor resiko. Penderita kusta sangat rentan terhadap paparan lingkungan

yang kurang mendukung dalam masa pertumbuhan dan

perkembangannya sehingga beresiko untuk terkena penyakit infeksi

dalam jangka waktu cepat maupun lambat dan tergantung pada status

nutrisi dan imunitas.

Penderita dalam satu rumah atau keluarga umumnya tertular

kusta dari kontak dan tinggal serumah dengan penderita kusta. Muchtar
31

(2007), dalam Susanto, dkk, (2013) menyebutkan hasil tes MLPA

penderita kusta di Sulawesi Selatan memberikan hasil positif 65% pada

penderita kusta anak dan 34% positif ada kontak serumah. Kontak

serumah akan dapat menularkan kusta lebih cepat apabila didukung

dengan perilaku higienitas individu yang buruk yang akan menempatkan

ke kondisi at risk yang lebih tinggi.

6. Perilaku hygiene individu

Perilaku hygiene personal pada populasi penderita kusta

merupakan faktor at risk. Penderita kusta umumnya memiliki personal

hygiene buruk. Penderita kusta kurang menjaga kebersihan tubuh.

Perilaku kebersihan diri penderita kusta memerlukan intervensi dari

keluarga dalam memonitoring dan bimbingan untuk pemenuhan

kebersihan diri. Penderita minimal mandi tiga kali segari dengan sabun

maka kemungkinan besar akan terhindar dari penyebaran kuman kusta.

Tindakan tersebut dapat menghindarkan penularan kusta karena

penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit yang

kontak lama dan terus-menerus. Kondisi terentanan individu yang kurang

menjaga perilaku hidup bersih sehat dalam keluarga terutama keluarga

dengan kusta akan mengakibatkan individu beresiko untuk terkena kusta

lebih cepat. Kecacatan penderita dari keluarga kusta yang kurang

mendapatkan perhatian dalam pemenuhan kebersihan kulit dan

kebersihan diri akan lebih dini terjadi dari pada penderita dengan

kebersihan yang adekuat (Yumarlis, 2007, dalam Susanto, dkk, 2013).


32

Peningkatan perilaku klien kusta dalam menjaga kebersihan diri

membutuhkan intervensi yang baik dari pelayanan kesehatan.

7. Pelyanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan suatu kebutuhan

yang sangat dibutuhkan pada populations at risk kusta. Pelayanan

kesehatan yang tidak terjangkau oleh penderita kusta umumnya terjadi

karena tempat tinggal terpencil sehingga akan menambah resiko masalah

pada populasi kusta tersebut. Pelayanan kesehatan yang di berikan oleh

petugas kesehatan harus di upayakan menjadi strategi pelayanan

kesehatan primer (primary heath care) dan berfokus pada kebutuhan

komunitas, memaksimalkan keterlibatan komunitas, meliputi seluruh

sector terkait, serta menggunakan teknologi kesehatan yang dapat diakses

(acessible), dapat diterima, terjangkau, dan sesuai.

Pelayanan kesehatan primer sebagai upaya pelayanan pada

populations at risk kusta dapat diupayakan melalui keperawatan

komunitas. Perawat komunitas bertanggung jawab untuk melakukan

identifikasi kubutuahn, sumber, dan nilai yang dibutuhkan pada populasi

kusta terkait dengan aspek promosi, proteksi, dan prevensi. Perawat

komunitas dapat menyusun pelayanan kesehatan bagi populasi kusta dan

mengimplementasikan serta mengevaluasi terhadap program yang

disusun bersama masyarakat (Helvie, 1997 dalam Susanto, dkk, 2013).

2.1.6 Kelainan Saraf pada Penyakit Kusta

Semua bagian dari sistem saraf berasal dari ectoderm bagian tengah

belakang dan area germinalis. Ectoderm kemudian menebal membentuk


33

neural plate. Karena bagian lateralnya tumbuh lebih cepat dari pada bagian

tengahnya, mak terbentuk neural grove dan neural fold, yang akhirnya

membentuk sistem syaraf yang terdiri atas susunan saraf pusat (SSP) dan

saraf perifer. Saraf perifer terdiri atas serabut saraf dan ganglion di luar

SSP. Serabut saraf terdiri atas myelinated (bermielin) dan unmyelinated

(tidak bermielin).

Sesuai dengan fungsi serabut saraf terdiri atas :

1. Serabut afferent yang berasal dari neuroblas Krista neuralis, yang

tugasnya membawa rangsang sensori ke SSP.

2. Serabut efferent yang berasal dari basal neural tube yang tugasnya

membawa rangsang motoris ke SSP.

Jaringan saraf terdiri atas berjuta-juta unit primer yang di sebut

neuron (sel saraf dan cabang-cabangnya) dan sheath (pembungkus saraf).

Pada saraf perifer terdapat penyokong khusus yang mengandung makanan

saraf, yang disebut neurilemma = lapisan schwann. Akson adalah cabang-

cabang saraf yang panjang, merupakan unit pengahantar. Serabut saraf

dikelilingi oleh beberapa lapisan yang disebut perineurium.

Untuk menyatakan kelaianan saraf pada kusta, dipakai istilah

neuritis leprosa atau neuropathy laprosa, yaitu nyeri pada saraf yang

terkena disertai edema dan tanderness yang memberei resiko gangguan

fungsi saraf. Hal tersebut bergantung pada jenis saraf yang terkena,

bersama-sama dengan otonom. Jarang ada kerusakan motoris tanpa

gangguan sensoris.
34

Kerusakan saraf pada penyakit kusta awalnya melibatkan saraf

sensoris. Selain itu, juga dapat menyebabkan kerusakan fungsi motorik dan

otonom dari saraf perifer. Diantara keriga fungsi saraf tersebut, kerusakan

fungsi saraf sensori merupakan gejalah klinis yang paling sering ditemukan.

M.leprae mempunyai afinitas selektif terhadap saraf perifer. Ini

dibuktikan dengan banyaknya basil pada saraf disbanding jaringan laian.

Dalam hal ini, sel schumann yang disukai karena merupakan sel host yang

paling cocok untuk keselamatan dan multiplikasinya, stadium lanjut akan

mengakibatkan kerusakan saraf. Gangguan saraf dapat terjadi mulai dari

hipestesi sampai anastesi, gangguan rasa terhadap temperature dan akhirnya

hilang rasa sakit, saraf perifer yang paling sering terlihat adalah n. ulnaris, n.

medianus, n. radialis, n. radialis kutaneus, n. peroneus komunis, n. tibialis

posterior, n. tibialis anterior, n. aurikularis magnus dan n. supraorbital.

Adanya kerusakan saraf yang dipengaruhi oleh :

1. M.leprae menyukai tempat yang bersuhu rendah.

2. Saraf superficial mudah terkena trauma.

3. Adanya reasi immunitas tubuh.

4. Saraf superfisialis terletak dekat artikulasi.

5. Meningkatnya tekanan intraneural menimbulkan iskemia pada saraf,

timbul edema dan infiltrasi sel ke dalam saraf sehingga saraf tetekan.

6. Saraf superfisialis yang terletak dalam kanalis sering bersilangan

sehingga saraf yang rusak karena trauma akan merusak saraf sekitarnya.

Saraf yang rusak bila cepat terdeteksi masih reversible. Terapinga

berupa terapi umum, lokal dan operasi. Perkembangan deficit neurologis


35

berhubungan dengan jenis kusta, pasien dengan basil yang lebih sedikit (TT

dan BT) umumnya neuropati yang tampak lebih awal adalah sensori dan

motorik. Sedangkan pasien LL neuropati berkembang lebih lambat

meskipun kanyataanya bahwa infksi saraf lebih berat. Menariknya, pasien

BL dilaporkan memiliki keterlibatan saraf paling luas. Meskipun untuk

sebagian besar jenis lesi penyakit kulit di atas batang saraf yang

berhubungan dengan peningkatan resiko yang signifikan gangguan saraf,

adalah bentuk lepra disebut neuretik lepra murni (PNL, Neural Leprosy),

gejalah yang mempengaruhu batang saraf tanpa kulit selanjutnya, pasien

mungkin mengalami neuropati yang disertai penurunan fungsi sensori atau

motoris tanpa tanda-tanda atau gejalah peradangan. Factor yang

berkontribusi pada neuropati ini diperantarai sel inflasi, disfungsi sel

schwann, dan fibrosis pasca-inflamasi.

Perkembangan neuropati sensorik dan motorik memberikan

kontribusi signifikan terhadap morbiditas kusta yang menempatkan pasien

pada peningkatan resiko untuk kecacatan dan deformitas. Ada tiga faktor

utama yang bertanggung jawab untuk peningkatan resiko ini. Pertama,

gangguan sensori pada pasien trauma dan infeksi yang menyebabkan

kerusakan jaringan. Kedua, adanya cacat bawaan yang menyebabkan

penurunan fungsi motorik, yang dapat menganggu cara berjalan atau

peenaganan benda. Ketiga, kerusakan saraf dermal menyebabkan

peningkatan kekeringan kulit lebih rentan terhadap kerusakan permukaan.

Efek dari prinsip-prinsip ini sangat merusak sehubungan dengan

mata. Kebutaan diperkirakan mempengaruhi 3,2% dari pasien kusta,


36

terutama bagi pasien yang mengalami hilangnya sensasi. Kerusakan mata

dapat terjadi baik dari kerusakan saraf atau invasi basiler dari kulit atau

mata itu sendiri. Empat penyebab utama kehilangan penglihatan termasuk

lagoftalmus, ulserasikornea, irisidosiklitis akut atau kronis, dan katarak.

Lagoftalmus sekunder, ketidak mampuan untuk menutup mata dengan

benar, hasil dari kerusakan pada saraf wajah baik karena penyakit itu sendiri

maupun reaksi kekebalan. Demikian pula, ulserasi kornea bagian besat hasil

dari kerusakan mata cabang saraf trigeminal. Keterlibatan mukosa hidung

juga dapat mempengaruhi infeksi kronis pada sistem mata.

2.1.7 Etiologi atau Patofisiologi Kerusakan Saraf


Etiologi arau patofisiologi kerusakan saraf dapat dibagi dalam 3

bentuk:

1. Lesi intrafasikuler

Lesi intrafasikuler diakibatkan oleh pengaruh basil secara

langsung pada sel schwann. Ini merupakan tanda khas tipe lepromatosa

walaupun tidak semua kerusakan saraf pada tipe L disebabkan oleh

infiltrasi basil. Serangan saraf tersembunyi dan lambat walaupun

terjadinya sangat dini dan menimbulkan gangguan fungsi saraf yang

berat. Keadaan ini dapat berlangsung tanpa ras nyeri tanda gejala awal

suatu neuritis akut. Pada batang saraf yang mengalami infiltrasi basil,

terbentuk sikatriks yang menyebabkan fibrosis dan saraf kaku seperti tali.

Saraf tidak menebal, tetapi ada gangguan konduksi. Pada keadaan raeksi

(tidak tergantung derajat kerusakan saraf sebelumnya) dapat timbul nyeri


37

saraf akut akibat kompresi intraneural yang cepat atau fenomena

ekstraneural.

2. Lesi intraneural-ekstrafasikuler

Epineuron sering mengalami profilerasi fibrosa sehingga saraf

mnebal dan kaku. Dalaam keadaan reaksi kusta oleh karena fenomena

imun, terjadi gejala radang pada batang saraf berupa edema interfasikuler

yang sangat nyeri. Fungsi saraf tiba-tiba berkurang. Fibrosis epineural

mencegah perluasan sekunder dari edema interfasikuler, meningkatkan

tekanan intraneural dan iskemik batang saraf yang telah mengalami

vaskulitis leprosa yang khas memperberat pengurangan fungsi saraf.

3. Lesi ekstraneural

Lesi ekstraneural terjadi karena penekanan dalam saluran

osteofibrosa dan jalan myelin yang sempit seperti epitrocharolecranon

dan guyon canal untuk n.ulnaris dan carpal tunnel unuk n. medianus,

supinator tunnel untuk lengan atas dan alur retromaleolar medialis dan

richet untuk n. tibialis posterior, kerusakan saraf proksimal dari zone

saluran osteofibrosa (tunnel). Diagnosis berdasarkan gejalah nyeri atau

iritatif saraf pada lokasi tersebut. Gejalah yang timbul dapat disebabkan

oleh :

a. Menurunnya isi (fibrosis myelin, mikrohematom oleh karena trauma)

jarang terjadi.

b. Meningkatnya isi (edema dan pembengkakan saraf).


38

2.1.8 Klasifikasi Kerusakan Saraf


Terdapat bermacam-macam kerusakan saraf yang didasarkan atas

hal-hal berikut:

1. Pelangsungan klinis: akut, subakut, kronis.

2. Gangguan fungsi: iritatif, mielin.

3. Anatomi saraf: ulnaris, medianus, radialis, cabang nervus radialis,

tibialis posterior, tibialis myelin, aurikularis, supraorbital, poplitea

lateralis, dan fasialis.

4. Topografi : lesi tunggal, myelin.

5. Batas atau lokasi kerusakan : cabang subkutan, batang saraf, pluksus

saraf.

a. Perlangsungan klinis

Gejalah yang timbul pada perlamgsungan klinis seperti berikut ini:

1) Neuropati akut: terjadi nyeri spontan.

2) Neuropati subakut: timbul nyeri bila dirangsang.atau palpasi.

3) Neuropai kronis: tidak memberikan keluhan nyeri

b. Gangguan fungsi

Gejala-gejalah periode iritatif sebagai berikut :

1) Sensoris: disestesi, parestesi, hiperalgesi.

2) Motoris: fibrilasi, otot, kram otot.

c. Anatomi saraf

Pada penyakit kusta terdapat predileksi khusus dari saraf-saraf yang

diserang, yaitu:
39

1) N. ulnaris

2) N. medianus

3) N. radialis

4) N. peroneus komunis

5) N. tibialis posterior

6) N. fasialis

Namum perna dilaporkan menyerang n. aurikularis magnus dan N.

VIII.

2.1.9 Cara atau Tempat Masuknya M.leprae ke dalam Saraf


Masuknya M.leprae kedalam saraf melalui cara atau tempat berikut :

1. Melalui akson yang terbuka kedalam epidermis/dermis superfisialis

diikuti dengan penembusan epitel. Kemudian M.leprae berjalan

sepanjang aksoplasma.

2. Difagositosis oleh sel perineurium, lalu menyebrangi endoneurium dan

sel schwann.

3. Melalui pembulu darah endoneural selama bakteriemia. Cara ini kurang

penting dibandingkan mielin mional kedua cara di atas.

2.1.10 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Sel Schwann oleh M.leprae

1. Pada tipe tuberkuloid : karena M.leprae pada sel schwann terjadi reaksi

radang hebat oleh karena reaksi immonologik di dalamnya, timbul edema,

lesi vasikuler, iskemi, nekrosis atau perkejuan parenkim saraf (abses).

2. Sel schwann bukan fagosit myelin mional, tetapi fungsi utmanya adalah

sintesis myelin.
40

3. Sel schwann memiliki kesanggupan invitro untuk membuat sejumlah

besar komponen myelin dan lemak-lemak lainnya yang dapat dipakai

oleh M.lepraeI.

4. Sel schwann yang mengandung M.leprae dapat menjadi sumber infeksi

primer dan persisten untuk kebocoran basil atau antigen basil yang terus-

menerus kedalam sirkulasi, yang bertanggung jawab terhadap infeksi

yang menetap atau kambuh pada beberapa kasus tipe L.

5. Sel schwann dari serabu yang tidak bermielin memperlihatkan afinitas

yang lebih besar terhadap M.lepae darp pada serabu yang bermielin.

6. Mekanisme fagositosis M.leprae oleh sel schwann sama dengan

mekanisme fagositosis makrofag.

7. Beberapa bukti baru telah muncul. Suatu glikoprotein (a-dystronglican)

yang mengikat kepermukaan M.leprae juga terikat pada suatu molekul

dipermukaan dari permukaan sel schwann dan menyediakan mekanisme

potensial untuk internalisasi dari basil oleh sel schwann.

2.2 Konsep Self Care

2.2.1 Paradigma Self Care

Tuntutan akan pelayaan keperawatan yang bermutu, telah

memotivasi pakar-pakar keperawatan melakukan berbagai penelitiyan untuk

menemukan sebuah konsep keperawatan dalam rangka memberikan

pelayanan keperawatan yang profesionel dengan memandang bahwa

kebutuhan manusia adalah holistik yang mencangkup biopsikososio spiritual

dan cultural serta serta memperhatikan bahwa manusia adalah makhluk


41

yang unik. Salah satu model konseptual keperawatan yang terus

berkembang dan selalu di uji coba pada pemberian pelayanan keperawatan

adalah self care yang dikenalkan pertama kali oleh Dorothea E. Orem

(Wahyuningsih A, Tavianda D, 2017).

Self care merupakan suatu konribusi berkelanjutan orang dewasa

bagi ekstermitasnya, kesehatannta, dan kesejah teraannya. Self care ini

menggambarkan dan menjelaskan manfaat perawatan diri guna

mempertahankan hidup. Kesehatan dan kesejahterannya (Asmadi, 2008).

Hal ini berarti teori ini merupakan pendekatan yang dinamis

dimana pasien secara mandiri melakukan perawatan terhadap dirinya dan

tidak selalu bergantung kepada perawat. Menurut Orem memiliki

pandangan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan dalam memenuhi

kebutuhan dasar secara mandiri. perawat hanya memberikan bantuan ketika

klien tidak mampu merawat dirinya sendiri.

Hasil akhir dari tindakan perawatan menurut Orem adalah adanya

peran perawat sebagai pendidik atau konsultan dalm meningkatkan

kemampuan klien sebagai self care agent sehingga diharapkan kemandirian

peran berangsur-angsur dapat terwujut.

Orem lahir di Baltimore dan lulus dari providce Hospital Scool Of

Nursing pada 1930. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya dan meraih

gelar Bachelor of Science (BSc) dalam bidang pendidikan perawatan pada

1939, serta gelar Master of Science bidang pendidikan keperawatan tahun

1945 dari Universitas Katolik Amerika. Terakhir, ia mendapatkan gelar

doktor kehormatan dari Geogeton University, Wasington, D.C., pada tahun


42

1976. Dengan latar belakang pendidikan tingi tersebut, Orem disebut

sebagai ners teoris (Asmadi, 2008).

Orem menciptakan suatu konsep teori keperawatan dengan

pandangan bahwa tatanan pelayanan ditujukan kepada kebutuhan individu

dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta mengatur

kebutuhannya sendiri. Dalam konsep praktek keperawatan, Orem

mengembangkan teori Self Care.

2.2.2 Konsep Nursing System


1. Teori Sisterm Keperawatan

Teori Sistem Keperawatan merupakan teori yang menguraikan

secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh

perawat atau pasien sendiri. Dalam pandangan system ini, Orem

memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan di

antaranya :

1) Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory Syistem)

Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan bantuan

secara penuh pada pasien dikarnakan ketidak mampuan pasien dalam

memenuhi tindakan perawatan secara mandiri yang memerlukan

bantuan dalam pergerakan, pengontrolan, dan ambulasi serta adanya

manipulasi gerakan. Contoh : pemberian bantuan pada pasien koma.

2) Sistem Bantuan Sebagian (Partially Compensantory Sistem)

Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri sendiri secara

sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan

secara minimal. Contoh : perawatan pada pasien post operasi abdomen


43

dimana pasien tidak memiliki kemampuan untuk melakukan

perawatan luka.

3) Sstem Supportif dan Edukatif

Merupakan system bantuan yang diberikan pada pasien yang

membutuhkan dukungan pendididkan dengan harapan pasien mampu

melakukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar

pasien mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan

pembelajaran. Contoh : pasien yang memerlukan informasi pada

pengaturan kelahiran.

Teori sitem keperawatan adalah suatu system yang dibentuk oleh

perawat untuk seseorang yang memiliki gangguan kesehatan dan

keterbatasan dalam melakukan perawatan diri (Alligood, 2010) dalam

(Wahyuningsih A, Tavianda D, 2017)).

1) Wholly Compensantory System

Bantuan secara keseluruhan, dibutuhkan untuk pasien yang tidak mampu

mengontrol dan memantau lingkungannya dan berespon terhadap

rangsangan.

2) Partly Compensantory System

Bantuan sebagian, dubutuhkan bagi pasien yang mengalami keterbatasan

gerak karena sakit atau kecelakaan.

3) Supportive-edukative System

Dukungan pendidikan dibutuhkan oleh klien yang tidak mengerti

perawatan diri, agar mampu melakukan perawatan diri dengan benar.


44

4) Metode Bantuan

Perawat membantu klien dengan menggunakan system dan malalui

lima metode bantuan meliputi:

a. Melekukan sesuatu untuk klien

b. Mengajarkan klien

c. Mengarahkan klien

d. mensupport klien

e. menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbeuh dan

berkembang

2.2.3 Keyakinan dan Nilai-Nilai dalam Teori Orem

Keyakinan Orem tentang empat konsep untuk keperawatan adalah :

1. Klien : individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus menerus

mempertahankan self care untuk hidup dan sehat, pemulihan dari sakit /

trauma atau coping dan efekya.

2. Sehat : kemempuan individu atau kelompok memenuhi tentutn self care

yang berperan untuk mempertahankan dan meningkatkan inegritas

struktur fungsi dan perkembangan.

3. Lingkungan : tatana dimana klien tidak dapat memenuhi kebutuhan

keprlian self care dan perawat termasuk di dalamnya tetapi tidak spesifik.

4. Keperawatan : pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau kegiatan yang

dilakukan untuk membantu individu, keluarga, dan kelompok masyarakat

dalam mempertahankan self care yang mencangkup integritas structural.


45

Berdasarkan keyakinan empat konsep utama di atas, Orem

mengembangkan konsep modelnya hingga dapat diaplikasikan dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan.

2.2.4 Definisi Self Care


Self care (perawatan diri) merupakan suatu kontribusi

berkelanjutan orang dewasa bagi eksistansinya, kesehatannya, dan

kesejahteraanya. Self care ini menggambarkan dan menjelaskan manfaat

perawatan diri guna mempertahankan hidup, kesehatan, dan

kesejahteraannya (Asmadi, 2008).

Orem mendefinisikan self care sebagai suatu yang harus dipeajari,

kegiatan yang bertujuan membantu diri untuk mengelolah kehidupan yang

di inginkan, kesehatan, perkembangan, dan kesejahteraan (Potter dan Perry,

2009) dalam (Wahyuningsih A, Tavianda D, 2017). Pandangan teori Orem

dalam tatanan pelayanan keperawatan ditunjukkan kepada kebutuhan

individu dalam melakukan tindakan keperawatan ditunjukkan kepada

kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta

mengatur dalam kebutuhannya (Alimul, 2007) dalam (Wahyuningsih A,

Tavianda D, 2017). Orem menggambarkan filosofi tentang keperawatan

dengan cara seperti berikut (Sumijatun, 2010) dalam (Wahyuningsih A,

Tavianda D, 2017).

Keperawatan mempunyai perhatian tertentu pada kebutuhan

manusia terhadap tindakan perawatan dirinya sendiri dan kondisi serta

menatalaksanakannya secara terus menerus dalam upaya mempertahankan

kehidupan dan kesehatan, penyembuhan diri penyakit atau cedera dan


46

mengatasi hendaya yang ditimbulkannya. Perawatan diri sendiri oleh

seluruh manusia, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Ketika

perawtan diri tidak dipertahankan, akan terjadi kesakitan atau kematian.

Keperawatan kadang-kadang berupaya mengatur dan mempertahankan

kebutuhan perawatan diri secata terus menerus bagi mereka yang secara

total tidak mampu melakukannya. Dalam situasi lain, perawat membantu

klien untuk mempertahankan kebutuhan perawatan dengan melakukannya

sebagian tapi tidak seluruh prosedur, melalui pengawasan pada orang yang

membantu klien dan memberikan intruksi dan pengerahan secara individual

sehingga secara bertahap klien mampu melakukannya sendiri.

2.2.5 Bentuk-Bentuk Teori Self Care


Pandangan teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan

ditunjukan kepada individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri

serta mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktik keperawatan

Orem mengembangkan tiga bentuk teori self care (Orem dikutip oleh

Tomey dan Alligod, 2006) diantaranya :

Konsep yang dikembankan Orem meliputi tiga komponen penting,

yakni: Self care, Self care deficit dan sisitem keperawatan (Sumijatun, 2010)

dalam (Wahyuningsih A, Tavianda D, 2017).

1. Self care, merupakan konsep yang menekankan pada perawatan secara

mandiri, yang berdasarkan pada 3 komponen yang penting yaitu:

perawatan diri, agen perawatan diri dan keperluan perawatan diri.

2. Self care defisit, menekankan dalam melakukan perawatan diri terdapat

keterbatasan-keterbatasan yang dapat berasal dari penyakit, cedera, atau


47

dari efek penatalaksanaan medis. Dua variabel penting dalam

mempengaruhi defisit ini adalah kemampuan dan kebutuhan self care

secara terapeutik. Defisit perawatan diri menurut Orem menjelaskan

tidak hanya pada saat keperawatan dibutuhkan tetapi bagaimana individu

dapat dibantu melalui lima metode pertolongan yakni :

a. Membantu

b. Membimbing

c. Mengajarkan

d. Mendukung, dan

e. Menyiapkan lingkungan agar individu dapat memenuhi kebutuhan

saat ini atau masa yang akan datang.

3. Sistem kesehatan, diidentifikasikan kedalam tiga tipe, yaitu :

a. Sistem bantuan secara penuh, yang dibutuhkan untuk individu yang

tidak dapat mengontrol memonitor lingkungan dan proses informasi.

b. Sistem bantuan sebagian dirancang untuk individu yang tidak adaptif

melaksanakan beberapa aktifitas perawatan diri.

c. Sistem supportif / edukatif, dirancang untuk individu yang

memerlukan pembelajaran self care dan membutuhkan bantuan untuk

melaksanakannya.

2.2.6 Teori Self Care


Menurut Orem teori self care merupakan suatu kontribusi

berkelanjutan untuk semua orang bagi kesehatan dan kesejahteraan. Upaya

dalam self care (perawatan diri) jika dilakukan secara efektif dapat
48

memberikan kontribusi bagi integrasi struktural fungsi dan perkembangan

manusia (Asmadi, 2008). Teori self care terdiri atas :

1. Self care

Merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu serta dilaksanakan oleh

individu itu sendiri dalam memenuhi serta mempertahankan kehidupan,

kesehatan serta kesejahteraan.

2. Self care Agency

Merupakan suatu kemampuan individu dalam melakukan perawatan diri

sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia, perkembangan, sosiokurtural,

kesehatan dan lain-lain.

3. Therapeutic self care demand

Tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan

tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan

diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang

tepat.

4. Nursing Agency

Nursing agency terdiri mengembangkan kemampuan seorang pendidik

sebagai perawat yang memberdayakan mereka untuk mewakili diri

mereka sebagai perawat dan dalam kerangka hubungan interpersonal

yang sah untuk bertindak, untuk mengetahui, dan untuk membantu orang

dalam hubungan tersebut untuk memenuhi terapi perawatan diri mereka

dan mengatur perkembangan atau pelaksanaan nursing agency bagi diri

mereka. Dilihat bahwa jika kebutuhan lebih banyak dari pada

kemampuan, maka keprawatan akan dibutuhkan. Tindakan-tindakan


49

yang dapat dilakukan oleh perawat pada saat memberikan pelayanan

keperawatan dapat digambarkan sebagai domain keperawatan orem

adalah sebagai berikut :

a. Perawat mampu memelihara hubungan perawat pasien dan individu,

keluarga dan kelompok sampai pasien dapat melegitimasi

perencanaan keperawatan.

b. Menentukan jika dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui

keperawatan.

c. Bertanggung jawab terhadap permintaan pasien, keingingan dan

kebutuhan untuk kontak dan dibantu perawat.

d. Menjelaskan tentang terapi kepada pasien, memberi perawatan dan

melindungi pasien secara langsung dalam bentuk keperawatan.

e. Memberikan tindakaan keperawatan sehari-hari pasien atau perawatan

kesehatan lain jika dibutuhkan serta pelayanan sosial dan edukasional

yang dibutuhkan atau yang akan diterima seperti memberi pelayanan

kesehatan dan informasi kesehatan pada pasien dan keluarga pada

dasarnya untuk mempertahankan status kesehatan pasien dengan

meningkatkan kemampuan diri pasien.

5. Self care requisites

Kebutuhan self care merupakan suatu tindakan yang ditujukan

pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal dan

berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya

mempertahankan fungsi tubuh.


50

a. Universal self care requisites (kebutuhan universal manusia yang

merupakan kebutuhan dasar) aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Keharusan ini umum bagi

setiap orang sepanjang hidup dan disesuaikan berdasarkan usia, tahap

perkembangan, lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Keharusan

perawatandiri ini dihubungkan dengan pemeliharaan proses hidup,

integritas struktural dan fungsi. Individu yang mampu untuk

memenuhi kebutuhan perawatan diri universal menunjukan bahwa

individu tersebut sudah berada pada puncak kedewasaan.

b. Developmental self care requisites (kebutuhan yang berhubungan

dengan perkembangan individu) keharusan perawatan diri terkait

perkembangan berhubungan dengan proses dan kondisi perkembangan

yang terjadi selama siklus hidup. Dua kategori dari perawatan diri

terkait perkembangan adalah mempertahankan kondisi yang

mendukung proses hidup dan meningkatkan perkembangan.

c. Heath deviation self care requisites (kebutuhan yang timbul sebagai

hasil dari kondisi pasien) keharusan perawatan diri terkait kondisi

kesehatan pasien berhubungan dengan individu yang sakit atau cedera

atau mempunyai kondisi patologis dn menerima perawatan medis.

Orem mendefinisikan enam keharusan untuk individu dengan kondisi

kesehatan yang menyimpang :

1) Mencari dan memastikan bantuan medis yang sesuai

2) Mengenali dan merawat kondisi yang dialami oleh pasien


51

3) Menerapkan tindakan diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif yang

diharuskan

4) Memodifikasi konsep diri dan penerimaan terhadap kondisi.

2.2.7 Teori Self Care Defisit

Teori self care deficit merupakan inti dari teori umum keperawatan

Orem. Keperawatan dibutuhkan untuk orang dewasa atau orang-orang yang

ada dibawah tanggungannya dalam keadaan tidak mampu atau keterbatasan

dalam memberikan self care yang efektif secara terus menerus. Orem

mengidentifikasi lima metode bantuan :

1. Tindakan berbuat untuk orang lain,

2. Membimbing dan mengarahkan,

3. Memberikan dukungan fisik dan psikologis, memberikan dan

mempertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan individu,

4. Pendidikan, perawat dapat membantu individu dengan menggunakan

semua metode untuk memberikan bantuan self care

Aktivitas yang melibatkan perawat saat mereka memberikan

asuhan keperawatan dapat digunakan untuk menggambarkan domain

keperawatan. Lima area aktivitas untuk praktek keperawatan, yaitu :

1. Masuk ke dalam dan mempertahankan hubungan perawat-klien dengan

individu, keluarga atau kelompok sampai klien secara sah dikeluarkan

dari keperawatan.

2. Menentukan apakah bagaimana klien dapat ditolong melalui

keperawatan.
52

3. Berespon terhadap permintan, keinginan dan kebutuhan klien akan

kontak dan bantuan keperawatan.

4. Merumuskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada klien

dan orang-orang terdekat dalam bentuk bantuan keperawatan.

5. Mengkoordinasi dan mengintegrasikan keperawatan dengan kehidupan

sehari-hari klien, pelayanan kesehatan lain yang dibutuhkan atau diterima

dan pelayanan sosial dan pendidikan yang dibutuhkan dan diterima klien

(George, 2001).

2.2.8 Teori Tentang Sistem-Sistem Keperawatan

Teori sistem keperawatan merupakan teori yang menguraikan

secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh

perawat atau pasien sendiri. Dalam pandangan sistem ini, Orem

memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan diantaranya :

1. Sistem bantuan secara penuh (Wholly copensatory system)

Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan

bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan pasien

dalam memenuhi tindakan perawatan secara mandiri yang memerlukan

bantuan dalam pergerakan, pengontrolan, dan ambulasi serta adanya

manipulasi gerakan. Contoh : pemberian bantuan pada pasien koma.

2. Sistem bantuan sebagian (partially compensatory system)

Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri sendiri

secara sebagian saja dan ditunjukan kepada pasien yang memerlukan

bantuan secara minimal.


53

Contoh : perawatan pada pasien pasca operasi abdomen diaman pasien

tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perawatan luka.

3. Sistem supportif dan edukatif.

Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang

membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu

memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar pasien

mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan

pembelajaran.

Contoh : pemberian sistem ini dapat dilakukan pasien yang memerlukan

informasi pada pengaturan kelahiran.

2.2.9 Diagram Teori Orem

Defisit perawatan diri terjadi ketika permintaan terapeutik

perawatan diri melebihi lembaga perawatan diri. Sistem keperawatan

melibatkan lembaga keperawatan dan desain sistem keperawatan (wholly

compensatory, partly compensatory, dan supportif-edukif). Proses

keperawatan Orem adalah proses tiga langkah yaitu diagnosis dan resep,

desain sistem keperawatan, produksi dan pengolahan system keperawatan.

Hubungan antar konsep tersebut di atas digambarkan dalam diagram.

2.2.10 Model Konseptual Keperawatan Mandiri Menurut Orem

Tindakan keperawatan mandiri adalah suatu kemampuan yang

harus dilakukan oleh perawat guna membantu pasien dalam meningkatkan

dalam self care (perawatan diri). Tindakan keperawatan mandiri ini

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, berikut ialah dasar tindakan

keperawatan mandiri :
54

1. Keperawatan mandiri didasarkan pada tindakan dimana manusia mampu

melaksanakannya.

2. Keperawatan mandiri didasarkan pada kesengajaan dan pengambilan

keputusan sebagai pedoman sebagai pedoman tindakan.

3. Setiap orang menghendaki keperawatan mandiri dan menjadi kebutuhan

dasar manusia.

4. Orang dewasa mempunyai hak dan tanggung jawab untuk merawat diri

sendiri dan orang lain untuk memelihara kesehatan mereka agar hidup

sehat.

5. Keperawatan mandiri adalah perubahan tingkah laku secara lambat dan

terus-menerus didukung dari pengalaman sosial sebagai hubungan

interpersonal.

6. Keperawatan mandiri akan meningkatkan harga diri seseorang sehingga

mempengaruhi konsep diri. (mubarak dan chayanti, 2009)

2.2.11 Kebutuhan Dasar Menurut Orem

Orem mengemukakan beberapa kebutuhan mendasar dalam

keperawatan mandiri self care yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan

pengkajiaan dan menentukan masalah atau diagnosis keperawatan,

diantaranya yaitu :

1. Pemeliharaan dengan cukup pengambilan udara

2. Pemeliharaan dengan cukup pengambilan air

3. Pemeliharaan dengan cukup pengambilan makanan

4. Pemeliharaan proses eliminasi

5. Pemeliharaan dengan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat


55

6. Pemeliharaan dengan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi

sosial

7. Pencegahan resiko pada kehidupan dan keadaan sehat manusia

8. Perkembangan dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi

pengetahuan, dan keinginan manusia (Mubarak dan Chayanti, 2009)

dalam (Wahyuningsih A, Tavianda D, 2017).

2.2.12 Teori Self Care Menurut Orem Dalam Proses Keperawatan

Keperawatan mandiri self care menurut Orem adalah suatu

pelaksanaan kegiatan yang di prakarsai dan dilakukan oleh individu itu

sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan,

kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit.

(Orem, 1980). pada dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai

kebutuhan-kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk

mendapatkan kebutuhan itu sendiri, kecuali bila tidak mampu.

Dibawah ini merupakan contoh kasus identifikasi kebutuhan self

caren pada individu sebagai berikut. Perawatan yang dapat diberikan

berdasarkan model keperawatan Orem adalah :

1. Udara (educative/supportif)

Perawat harus mampu memberikan penjelasan Tn. Martin (50 tahun)

tentang hubungan penyakit hipertensi dengan merokok yaitu menghisap

udara udara yang mengandung zat kimia aktif dari rokok.


56

2. Air (enducative/supportif)

Perawat harus mampu meyakinkan danya hydration rist yang cukup dari

polidipsia (sering haus) yang memicu hiperglikemia (kadar gula yang

tinggi dalam darah).

3. Activity and rest (adecative/supportif)

Perawat menginformasikan pada pasien tentang kegiatan aktivitas yang

cocok untuk pasie diabetes melitus.

4. Elimination (educative/supportif)

Klien membutuhkan monitoring bagaimana melakukan buang air (BAB)

dan buang air kecil (BAK).

5. Food (educative/supportif)

Perawat menganjurkan atau mengatur pola diet yang cocok untuk pasien

dengan hipertensi dan mengalami diabetes melitus serta mengontrol gula

darah setelah makan.

6. Solitude and social interaction (partial compensatory)

Interaksi sosial dengan perawat dapat memberikan perubahan interaksi

dengan tingkah sosial yang mengarah pada perilaku yang adaptif (baik).

7. Hazard prevention (partial compensatory)

Perawat memberikan pendidikan pada pasien tentang kelebihan dan

kekurangan pengobatan yang akan diambil oleh pasien pada penyakit

yang dialaminya saat ini.

8. Promote normality (partial compensatory)

Perawat diharapkan dapat membantu pasien untuk mengembalikan diri

pada kehidupan normal pasien, sehingga menjadi norma kembali.


57

Klien dewasa dengan diabetes mellitus menurut teori self care

Orem dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk

merawat dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara

kesehatan dan mencapai kesejahteraan.

Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self care dapat berasal

dari faktor internal (dalam diri individu) dan eksternal (dari luar diri

individu), faktor internal meliputi usia, tinggi badan,berat badan,

budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan dan pekerjaan. Adapun

faktor dari luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakat dimana

klien tinggal. Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri

yang bersifat kontinun atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik

akan mencapai kondisi yang sejahtera.

Ketidak seimbangan baik secara fisik maupun mental yang dialami

oleh klien dengan diabetes mellitus menurut Orem disebut dengan self care

deficit. Menurut orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien

sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan

mengklasifikasinya sesuai dengan klasifikasi kemampuan klien.

2.2.13 Tujuan Keperawaran Dorothea E. Orem

Tujuan keperawatan Dorothea E.Orem secara umum (Padila, 2013)

1. Menurunkan tuntutan self care pada tingkat dimana pasien dapat

memenuhinya atau menurunkan self care deficit

2. Memungkinkan pasien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi

tuntutan self care.


58

3. Memungkinkan orang terdekat pasien untuk melakukan asuhan dependen

jika self care tidak memungkinkan.

Jika ketiganya tidak tercapai perawat dapat memenuhi self care

pasien secara langsung.

2.2.14 Aplikasi Self Care

Adapun proses keperawatan menurut Dorothea Orem yaitu :

1. Tahap pengkajian

a. Pengkajian data dasar (nama, umur, sex, status kesehatan, status

perkembangan, orientasi sosio-kultural, riwayat diagnostik dan

pengobatan, faktor sistem keluarga), pola hidup, faktor lingkungan.

b. Observasi status kesehatan klien untuk menemukan masalah

keperawatan berdasarkan self-care defisit, maka perawat perlu

melakukan pengkajian pada klien melalui observasi berdasarkan

klasifikasi tingkat ketergantungan klien yang terdiri dari minimal care,

partial care, total care.

c. Pengembangan teori orem dengan masalah fisiologis. Serara rinci

pengembangan teori orem mengenai kebutuhan dasr adalah sebagai

berikut:

1) Pemenuhan kebutuhan udara / oksigen.

2) Pemeliharaan kebutuhan air / cairan.

3) Pemeliharaan kebutuhan makanan / nutrisi.

4) Perawatan proses eliminasi dan eksresi

5) Pemeliharaan keseimbangan aktifitas dan istirahat.

6) Pemeliharaan keseimbangan privasi dan interaksi sosial.


59

7) Pencegahan resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan

kesejahteraan.

8) Peningkatan kesehatan dan pengembangan potensi dalam huungan

sosial.

2. Tahap diagnosa

Diagnosa keperawatan sesuai dengan self care deficit yang dialami oleh

klien. Mengacu pada diagnosa keperawatan yang aktual, resiko tinggi

dan kemungkinan. Teori orem masih lebih berfokus pada masalah

fisiologis, namun diagnosa dapat dikembangkan ke masalah lain sesuai

hirarki kebutuhan dasar yang dikembangkan Maslow.

3. Tahap intervensi

Dibuat sesuai dengan diagnosa keperawatan, berdasarkan self care

demand dan meningkatkan kemampuan self care. Membuat motode yang

sesuai untuk membantu klien.

4. Tahap implementasi

a. Merumuskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada klien

dan orang-orang terdekat dalam bantuan keperawatan.

b. Membimbing dan mengarahkan.

c. Memberi dukungan fisik dan psikologis

d. Memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung

perkembangan individu

e. Pendidikan

f. Berespon terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien akan

kontak bantuan keperawatan.


60

g. Kolaborasi, pelimpahan wewenang.

h. Melibatkan anggota masyarakat.

i. Lingkungan.

2.2.15 Tahap Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan pasien atas

tindakan yang telah dilakukan sehingga dapat disimpulkan apakah tujuan

asuhan keperawatan tercapai atau belum. Menilai keefektifan tindakan

perawatan dalam: meningkatkan kemampuan self care, memenuhu

kebutuhan self care, dan menurunkan self care deficit. Kasus penerapan

teori self care pada tahap pengkajian-evaluasi sesuai dengan tingkat

kebutuhan self care tiap individu

a. Minimal care

Dua orang perawat sedang melakukan penyuluhan kepada ibu hamil.

Perawat itu menerangkan tentang ASI eksklusif yang mencakup:

1) Manfaat ASI pada ibu dengan mengurangi penarahan dan memberi

rangsangan supaya pendarahan cepat berhenti.

2) Manfaat ASI untuk bayi sebagai nutrisi, meningkatkan daya tahan

tubuh bayi, dan meningkatkan kesehatan tubuh bayi, dan

meningkatkan kesehatan tubuh bayi.

3) Cara menyimpan ASI ibu dalam botol jika ibu sedang bekerja.

b. Partial care

Tn. Martin yang berumur 50 tahun bertempat tinggal di Sukabumi.

Menurut data diperoleh Tn. Martin mengalami diare sehingga cairan di

dalam tubuh berkurang untuk itu perawat memberikan tindakan


61

pemasangan infus. Sebelum melakukan tindakan keperawatan, perawat

mencuci tangan setelah itu perawat menyiapkan alat kemudiam

menjelaskan kepada pasien tentang prosedur tindakan yang akan

dilakukan kepada pasien, setelah pasien bersedia untuk di infus, perawat

memulai memasang infus dan setelah perawat melakukan tindakan

perawat mencuci tangan dan berpamitan.

c. Total care

Perawat membersihkan luka pasien yang mengalami Diabetes Mellitus

dengan obat cutisoft, natrium klorida, sabun antiseptik dan kapas.


BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian yang dikembangkan pada

penelitian ini ada 2 variabel yaitu variabel independen (umur, pendidikan,

jenis kelamin, pekerjaan, pelayanan kesehatan, dukungan keluarga) dan

variable dependen (Self Care).

Faktor predisposisi Self Care


(Predisposing Factor) Demand
1. Pengetahuan
2. Umur
3. Pendididkan
4. Jenis kelamin
5. Pekerjaan

Faktor pemungkin
(Enabling Factor)
1. Sarana prasarana
/fasilitas kesehatan
2. Jarak dengan
pelayanan

Faktor pendorong
(Enabling Factor)
Self Care
1. Pearan kesehatan
Klien kusta
2. Peran keluarga

Sumber : Teori Self Care ( (Nursalam, 2017))

62
63

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak Diteliti
Self Care Self Care
Self Care Defisit Agency

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Self Care Pada Penderita Kusta Di Kecamatan
Batu Putih Kabupaten Sumenep.

Self Care
Agency meningkat
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif

analitik dengan menggunakan rancang bangun Cross Sectional. Jenis

penelitian yang menekankan waktu pengukuran / observasi data variabel

independen dan dependen hanya satu kali pada satu waktu. Jadi tidak ada

tindak lanjut (Nursalam, 2016). Penelitian ini memiliki variabel independen

(umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, peran kesehatan, dan peran

keluarga) dan dependen self care kusta pada penderita kusta. Penelitian ini

menjelaskan tentang ada dan tidaknya hubungan antara dua variabel.

64
65

4.2 Kerangka Kerja (frame work)

Populasi
Semua penderita kusta baik tipe kusta Pausy Bacillary (PB) maupun
Multi Bacillary (MB) di Kecamatan Batu Putih pada tahun 2019
sebanyak 35 responden

Sampel
Kelompok kasus penderita kusta baik tipe kusta Pausy Bacillary (PB)
maupun Multi Bacillary (MB) di Puskesmas Batuputih pada tahun
2019 sebanyak 32 responden.

Teknik Sampling
Purposive Sampling

Variabel Independen Variabel Dependen


Usia, pendidikan, jenis kelamin, Self Care
pekerjaan, pelayanan kesehatan,
dukungan keluarga.

Pengumpulan Data
Koesioner

Pengolahan Data
Editing, coding, scoring, tabulating

Teknik Analisis Data


Analisis Statistik Deskriptif

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Self Care Pada Penderita Kusta Di
Kecamatan Batu Putih Kabupaten Sumenep.
66
67

4.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

4.3.1 Populasi

Populasi saat ini yaitu klien penderita kusta baik tipe Pausy

Bacillary (PB) maupun Multi Bacillary (MB) di Puskesmas Batu Putih pada

tahun 2019 sebanyak 35 responden

4.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebagian

penderita kusta yang menjalankan perawatan di puskesmas Batu Putih pada

tahun 2019 sebanyak 32 responden.

4.3.3 Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan proses menyaring populasi menjadi

sampel dengan maksud mewakili seluruh populasi penelitian (Nursalam,

2016). Teknik yang digunakan di penelitian ini adalah simple random

sampling.

1. Kriteria inklusi

a. Penderita kusta yang menjalankan perawatan self care di Puskesmas

Batu Putih.

b. Bersedia ikut serta dalam penelitian.

2. Kriteria Eklusi

a. Penderita kusta yang menajalani perawatan self care wilayah

puskesmas lain

b. Informan mengundurkan diri


68

4.4 Identifikasi Variabel

4.4.1 Variabel Independen

Varibel Independen penelitian ini yaitu umur, pendidikan, jenis

kelamin, pekerjaan, pelayanan kesehatan, dukungan keluarga.

4.4.2 Variabel Dependen

Variabel Dependen penelitian ini merupakan self care klien kusta

pada penderita kusta.

4.5 Defini Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Self Care Pada Penderita Kusta Di Kecamatan Batu Putih
Kabupaten Sumenep.

Variabel Definisi Parameter Alat Skala Skor


Operasional Ukur
Variabel Independen
Umur Jumlah tahun 1.Dewasa awal Kuesioner Nominal 1. ≤ 45 tahun
2.Dewasa akhir
responden mulai 2. 45-60 tahun
3.Lansia awal
tahun lahir sampai 3. ≥ 60 tahun
tahun terakhir saat
wawancara
Pendidikan Suatu tingkatan 1.Tidak Sekolah Kuesioner Ordinal 1. Tidak
2. SD
pembelajaran formal Sekolah
3. SMP
yang dicpai oleh 4. SMA 2. SD
5. D3-S1
responden, secara 3. SMP
signifikan dapat 4. SMA
mempengaruhi 5. D3-S1
tsuatu tingkatan
pengetahuan
penyakit serta
menyebabkan pola
respon.

Jenis Perbedaan antara 1. laki-laki Kuesioner Nominal 1. laki-laki


kelamin perempuan dan laki- 2. perempuan 2. perempuan
lakisecara biologis
sejak lahir,
69

perempuan lebih
sering mengobati
dan merawat dirinya
dibanding laki2
Pekerjaan Aktivitas yang 1.Tidak bekerja Kuesioner Nominal 1. Tidak bekerja
dijalani sehari-hari 2.Petani 2. Petani
baik dalam rumah 3.Swasta 3. Swasta
ataupun di luar 4.Wiraswasta 4. Wiraswasta
rumah 5.PNS 5. PNS
Peran Partisipasi petugas Memberikan Kuesioner Nominal Penilaian hasil
petugas P2 kusta dalam dukunag untuk dari 7 pertanyaan
berdasarkan skor
memberikan melakukan self
jawaban. Jawaban
pelayanan, csre pada benar bernilai 1,
informasi, dan penderita kusta dan salah bernilai
0.
mengawasi
1. Ya jika skor 4-
perkembangan dari 7
self care yang 2. Tidak jika skor
1-3
dilakukan penderita
kusta.
Peran semuanya tindakan Aktivitas dalam Kuesioner Nominal Penilaian jawaban
keluarga yang dilakukan oleh memeberikan dari 11 pertanyaan
berdasarkan skor
saudara /orang tua informasi
jawaban. Jawaban
untuk membantu mengenai kusta benar bernilai 1,
penderita dan salah bernilai
0.
melakukan self care,
1. Ya jika skor 6-
perikasa atau chek 11
up ke puskesmas 2. Tidak jika skor
1-5
dan mengingatkan
melakukan self care
setiap hari.
Variabel Dependen
Self Care Tindakan 1. Pengobatan Kuesioner Ordinal Penilaian jawaban
dan kontrol dari 15
merendam,
penyakit kusta pertanyaan.
menggosok, dan 2. Aktivitas
perawatan diri
mengolesi minyak Favoureble
3. Pengetahuna
atau dengan body tentang SS: 4, S: 3, TS: 2,
penularan STS: 1
lotion pada kulit
kusta
yang kering, mati
Unfavoureble
rasa serta juga SS: 1, S: 2, TS: 3,
melindungi sdan STS: 4
memerikasa mata
dari radang dan Baik :
Skor 76-100%
kering yang Cukup :
70

dilakukan setiap Skor 60-75%


hari untuk Kurang :
Skor <60%
mengurangi atau
mencegah luka
bertambah berat.

4.6 Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

4.6.1 Instrumen Penelitian


Alat ukur penelitian ini menggunakan lembar kuesioner. Variabel

independen yang diamati adalah umur, pendidikan, jenis kelamin,

pekerjaan, peran petugas, dan peran keluarga dan variable dependen adalah

Self Care kusta pada penderita kusta.

Kuesioner dalam penelitian ini yang digunakan untuk memperoleh

informasi terdiri dari :

1. Data Demografi

Berisi identitas diri responden sebagai berikut :

a. Nama dari responden

b. Alamat

c. Umur /usia

d. Jenis kelamin

e. Tingkat pendidikan (sekolah)

f. Pekerjaan

2. Kuesioner Peran Petugas

Kuesioner ini menilai peran petugas dalam self care kusta

dengan 7 pernyataaan. Berdasarkan skor jawaban. Jawaban benar bernilai


71

1, Dan ketika salah bernilai 0. Ya (berperan) jika skor 4-7 Tidak (tidak

berperan) jika skor 1-3.

3. Kuesioner Peran Keluarga

Kuesioner ini menilai peran petugas dalam self care kusta

dengan 11 pernyataaan. Berdasarkan skor jawaban. Jawaban benar

bernilai 1, Dan salah nilai 0. Ya (berperan) jika skor 6-11 tidak (tidak

berperan) jika skor 1-5.

4. Kuesioner Self Care kusta pada penderita kusta.

Kuesioner ini menilai self care penderita kusta dengan 15

pernyataaan. Pernyataan positif diberikan skor 4 poin = Sangat Yakin,

Yakin = 3 poin, 2 poin = Tidak Yakin, Sangat Tidak Yakin = 1 poin.

Pernyataan negatif diberikan skor 1 poin = Sangat Yakin, Yakin = 2 poin,

3 poin = Tidak Yakin, Sangat Tidak Yakin = 4 poin. Skor maximal 60

poin dan minimal 15 poin.

4.6.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Batu Putih. Waktu

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2020.

4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data

Setelah mendapat persetujuan dari Puskesmas Batu Putih

melakukan penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Putih, Selanjutnya

peneliti melakukan pendekatan terhadap responden sehingga mendapat

sebuah persetujuan untuk menjadi responden. Pengumpulan data penelitian

menggunakan data primer yang didapatkan melalui lembaran kuesioner.


72

Kuesioner diberikan kepada responden untuk mengetahui

hubungan umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, peran petugas, dan

peran keluarga dengan Self Care kusta. Peneliti mendatangi rumah

responden kemudian responden mengisi kuesioner dengan check list tiap

jawabanya.

Sebelum responden menuliskan persetujuan dan mengisi kuesioner,

peneliti memberikan penjelasan dahulu maksud serta tujuan diadakannya

penelitian ini setelah itu responden tata cara pengisian kuesioner kepada

responden. Peneliti memberikan peluang rsponden untuk bertanya apabila

ada hal yang kurang dimengerti. Kuesioner dikumpulkan dalam keadaan

semua pernyataan dijawab, apabila ada jawaban yang kurang lengkap,

kuesioner dilengkapi saat itu juga. Peneliti memberhentikan pertemuan

kepada responden.

4.6.4 Pengolahan Data

1. Editing

Pemeriksaan ulang kebenaran/kelengkapan data yang

didapatkan dan data yang diperoleh dikumpulkan (Hidayat, 2018). Data

dilengkapi kuesioner yang telah diisi oleh responden dengan lengkap.

2. Coding

Dalam pemberian kode numerik yang terdiri oleh beberapa

kategori (Hidayat, 2018). Pengkodean dapat mempermudah peneliti saat

mengadakan tabulasi data. Coding penelitian ini adalah :

a. Umur

1. ≤ 45 tahun : kode 1
73

2. 45-60 tahun : kode 2


3. ≥ 60 tahun : kode 3
b. Pendidikan

1. Tidak Sekolah : kode 1

2. SD : kode 2

3. SMP : kode 3

4. SMA : kode 4

5. D3 : kode 5

6. S1 : kode 6

c. Jenis kelamin

1. Laki-laki : kode 1

2. Perempuan : kode 2

d. Pekerjaan

1. Tidak bekerja : kode 1

2. Petani : kode 2

3. Wiraswasta : kode 3

4. Swasta : kode 4

5. PNS : kode 5

e. Peran petugas

1. Ya : kode 1

2. Tidak : kode 0

f. Peran keluarga

1. Ya : kode 1

2. Tidak : kode 0

g. Self Care
74

Untuk menilai Self Care dengan penilaian sesuai katagori berikut :

1. Pernyataan Positif

a. Kode 1 : Sangat Tidak Setuju

b. Kode 2 : Tidak Setuju

c. Kode 3 : Setuju

d. Kode 4 : Sangat Setuju

2. Pernyataan Negatif

a. Kode 4 : Sangat Tidak Setuju

b. Kode 3 : Tidak Setuju

c. Kode 2 : Setuju

d. Kode 1 : Sangat Setuju

Kemudian setelah dijumlah skor dikelompokkan menjadi :

a. Kode 1 untuk Self Care baik

b. Kode 2 untuk Self Care cukup

c. Kode 3 untuk Self Care kurang

3. Scoring

Memberikan skor tertentu pada kuesioner untuk mepermudah

peneliti mengelompokakan data. Scoring penelitian ini sebagai berikut:

a. Umur

b. Pendidikan

c. Jenis kelamin

d. Pekerjaan

e. Peran petugas

Skor 1 : “Ya”
75

Skor 0 : “Tidak”

Skor 4-7 : Ya (berperan)

Skor 1-3 : Tidak (tidak berperan)

f. Peran keluarga

Skor 1 : “Ya”

Skor 0 : “Tidak”

Skor 6-11 : Ya (berperan)

Skor 1-5 : Tidak (tidak berperan)

g. Self Care

1. Pernyataan Positif

a. Kode 1 : Sangat Tidak Setuju

b. Kode 2 : Tidak Setuju

c. Kode 3 : Setuju

d. Kode 4 : Sangat Setuju

3. Pernyataan Negatif

a. Kode 4 : Sangat Tidak Setuju

b. Kode 3 : Tidak Setuju

c. Kode 2 : Setuju

d. Kode 1 : Sangat Setuju

Kemudian setelah dijumlah skor dikelompokkan menjadi :

a. Self Care baik : 76-100%

b. Self Care cukup : 60-75%

c. Self Care kurang : < 60%

4. Tabulating
76

Menganalisis data ketika terkumpul serta akan disajikan dengan

berbentuk distribusi frekuensi serta presentase dengan menggunakan

aplikasi IBM SPSS Statictic version 20.

Arikunto mengatakan dari analisa data maka penelitian akan

menggambarkan hasil sesuai dengan presentase yang telah di modifikasi

yaitu:

a) Seluruhnya : Bila presentase 100%

b) Hampir seluruhnya : Bila presentase 76-99%

c) Sebagian besar : Bila presentase 51-75%

d) Setengahnya : Bila Presentase 50%

e) Hampir setengahnya : Bila presentase 26-49%

f) Sebagian kecil : Bila presentase 1-25%

g) Tidak satupun : Bila presentase 0%

4.7 Analisis Data

Analisis bivariat bertujuan melihat interkasi variable independen

(umur, pendidikan, pekerjaan,, peran kesehatan, jenis kelamin,aserta peran

keluarga) dan dependen (self care) kusta pada penderita kusta. Uji yang

digunakan yaitu uji korelasi spearman untuk mengukur kekuatan hubungan

kedua variabel (Hidayat, 2018).

Indeks tingkat kekuatan korelasi menurut hidayat, 2018 :

1. Sangat tinggi : 0,8 – 1

2. Tinggi : 0,6 – 0,79

3. Cukup tinggi : 0,4 – 0,59

4. Rendah : 0,2 – 0,39


77

5. Sangat rendah : 0,0 – 0,19

4.7 Masalah Etika

Etika penelitian yang diguankan adalah manusia sebagai subjek isu

yang masih menjadi pusat perhatian dan berkembang sekarang. Penelitian

ilmu keperawatan itu hampir 90% subjek dipergunakan yaitu manusia,

sehingga penelitian di haruskan memahami prinsip etika penelitian saat ini.

4.7.2 Informance Consent

Lembaran Informasi yang diketahui oleh peneliti serta responden

penelitian dengan diberikan persetujuan berbentuk lembaran. Informance

consent diberikan sebelum penelitian dilakukan. Sehingga subjek

memahami maksud tujuan dari penelitian.

4.7.3 Anomity (Tanpa Nama)

Bentuk jaminan dalam subjek penelitian dengan tidak memberikan

atau mencantumkan nama di lembar alat ukur melainkan peneliti menulis

tanda berupa kode pada lembar pengumpulan data/hasil penelitian.

4.7.4 Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang diberikan informan kepada peneliti

dijamin kerahasiannya oleh peneliti.


BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Batuputih Kabupaten

Sumenep di mulai pada tanggal 07 maret sampai 14 maret 2020. Kecamatan

Batuputih ini terdapat 14 desa yaitu Batuputih Daya, Badur, Batuputih

Laok, Batuputih Kenek, Juruan Laok, Juruan Daya, Tengeden, Aengmerah,

Larangan Kerta, Larangan Barma, Bantelan, Sergeng, Gedang-gedang, dan

Bulle’en dengan jumlah penduduk sebanyak 44.231 jiwa. Berikut batas

wilayah penelitian :

1. Sebelah Selatan : Kecamatan Gapura dan Kecamatan Manding

2. Sebelah Timur : Kecamatan Batang-batang

3. Sebelah Utara : Laut Jawa

4. Sebelah Barat : Kecamatan Dasuk

5.2 Hasil Penelitian

5.2.1 Data Umum

1. Umur

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan umur 25 responden


penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Usia Frekuensi %
1 < 45 tahun 7 28,0
2 46-60 tahun 7 28,0
3 > 60 tahun 11 44,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

78
79

Berdasarkan tabel 5.1 diperoleh distribusi responden menurut

usia, diperoleh sebagian besar responden penderita kusta berusia >60

tahun sebanyak 11 orang (44,0%).

2. Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin 25 responden


penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Jenis Kelamin Frekuensi %


1 Laki-laki 12 48,0
2 Perempuan 13 52,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh distribusi responden

berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 12 orang atau 48,0% dan

perempuan sebanyak 13 orang atau 52,0%

3. Pendidikan

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan 25 responden


penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Pendidikan Frekuensi %
1 Tidak Sekolah 23 92,0
2 SD 1 4,0
3 SMP 1 4,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.3 diperoleh distribusi responden berdasarkan

pendidikan hampir semua responden yang tidak sekolah sebanyak 23

orang (92,0%).

4. Pekerjaan

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan 25 responden


penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Pekerjaan Frekuensi %
1 Tidak Bekerja 3 12,0
80

2 Petani 22 88,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.4 diperoleh distribusi responden

berdasarkan pekerjaan yang tidak bekerja 3 orang (12,0%) dan petani

22 orang (88,0%).

DATA KHUSUS

5. Peran Keluarga

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan peran keluarga 25 responden


penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Peran keluarga Frekuensi %


1 Berperan 12 48,0
2 Tidak Berperan 13 52,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.5 diperoleh distribusi responden

berdasarkan peran keluarga berperan sebanyak 12 orang (48,0%) dan

tidak berperan 13 orang (52,0%).

6. Peran Petugas

Tabel 5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan peran Petugas 25 responden


penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Peran Petugas Frekuensi %


1 Berperan 16 64,0
2 Tidak Berperan 9 36,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.6 diperoleh distribusi responden

berdasarkan peran petugas berperan sebanyak 16 orang (64,0%) dan

tidak berperan 9 orang (36,0%).


81

7. Self Care
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan self care 25 responden
penderita kusta di Kecamatan Batuputih.

No Self Care Frekuensi %


1 Baik 3 12,0
2 Cukup 21 84,0
3 Kurang 1 4,0
Total 25 100
Sumber : Data Primer penelitian tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.7 diperoleh distribusi responden yang

melakukan self care baik sebanyak 3 orang (12,0%), cukup 21 orang atau

84,0%, dan kurang 1 orang atau 4,0%.


BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Umur

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

memiliki nilai frekuensi sebagian besar responden penderita kusta >60

tahun.

Umur merupakan usia penderita berdasarkan jumlah ulang tahun

yang dihitung dari kelahiran sampai saat wawancara. Semakin tua umur

penderita kusta makan motifasi untuk cepat pulih juga tidak seperti

penderita kusta yang masih muda. Usia penderita kusta berusia kurang dari

atau sama dengan (≤) 45 tahun lebih sering meluangkan waktu untuk

melakukan perawatan diri. Anjuran untuk melakukan perawatan diri setiap

hari lebih diusahakan oleh penderita kusta yang berusia lebih dari atau sama

dengan (≥) 46 karena mereka takut jika tidak segera sembuh/pulih akan

mempengaruhi pekerjaan mereka. Sedangkan penderita yang berusia lebih

dari atau sama dengan (≥) 46 walaupun melakukan perawatan diri tetapi

tidak rutin seperti penderita kusta berusia lebih dari atau sama dengan (≤) 45

tahun, karena lebih beralasan kalau sempat saja dan malas melakukan

perawatan diri. (Mahanani N, 2013)

Penelitan yang dilakukan oleh Mahanani pada tahun (2013) kepada

39 responden penderita Kusta di puskesmas Kundur Kecamatan Kundur

Kabupaten Blora sebagian besar berumur lebih dari 46 tahun.

Usia dapat mempengaruhi self care pada penderita kusta. Semakin

muda usia penderita kusta maka mereka akan lebih sering untuk

82
83

meluangkan waktu untuk melakukan self care beda dengan yang sudah

berumur lebih tua. Meskipun faktor usia merupakan salah satu yang

mempengaruhi self care tidak semua usia penderita kusta yang berusia

muda atau yang lebih tua tau tentang perawatan diri pada kusta sehingga

perawan kusta tidak dapat dijalakan dengan baik. Kurangnya pengetahuan

tentang self care juga mempengaruhi proses penyembuhan penyakit kusta.

Sehingga faktor usia juga dipengaruhi karena kurangnya pengetahuan

tentang self care.

6.2 Jenis Kelamin

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

berdasarkan jenis kelamin sebagian besar adalah perempuan.

Jenis kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku yang

berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam menjaga

kesehatan biasanya kaum perempuan lebih menjaga kesehatannya dibanding

laki-laki. Perbedaan perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin,

perempuan lebih sering mengobatkan dan merawat dirinya dibandingkan

laki-laki. (Mahanani N, 2013)

Penelitan yang dilakukan oleh Mahanani pada tahun (2013) kepada

39 responden penderita Kusta di puskesmas Kundur Kecamatan Kundur

Kabupaten Blora tidak sejalan dengan peneliti dimana sebagian besar

responden laki-laki. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yuniarasaro

pada tahun (2011) kepada 52 responden penderita kusta di wilayah kerja

Puskesmas Gunem dan Puskesmas Sarang Kabupaten Rembang sejalan


84

dengan peneliti dimana sebagian besar responden dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 30 orang (57,7%).

Jenis kelamin adalah satu yang membedakan perempuan dan laki-

laki. Jenis kelamin berpengaruh terhadap self care pada penderita kusta.

Perempuan lebih bisa menjaga kebersihan dirinya dibandingkan laki-laki

yang biasanya kurang memperhatikan kesehatan pada dirinya. Namun

kurangnya terpapar informasi juga dapat mempengaruhi hal tersebut.

Sehingga jenis kelamin tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap self care

pada penderita kusta.

6.3 Pendidikan

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

berdasarkan pendidikan sebagian besar penderita adalah tidak bersekolah

atau tidak berpendidikan.

Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan

tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih

tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut

Azwar (1996), pendidikan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi

perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta

perilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih

cepat. Dengan pendidikan yang semakin tingi maka penderita kusta dapat

memilih apa yang terbaik untuk dirinya, seperti dengan menyempatkan

melakukan perawatan diri setiap hari. (Mahanani N, 2013)

Penelitan yang dilakukan oleh Mahanani pada tahun (2013) kepada

39 responden penderita Kusta di puskesmas Kundur Kecamatan Kundur


85

Kabupaten Blora tidak sejalan dengan peneliti dimana sebagian besar

berpendidikan tinggi atau tamat SD. Dimana penelitian yang dilakukan oleh

Yuniarasari pada tahun (2011) kepada 52 responden penderita kusta di

wilayah kerja Puskesmas Gunem dan Puskesmas Sarang Kabupaten

Rembang sejalan dengan peneliti dimana sebagian besar responden

mempunyai pendidikan rendah sebanyak 30 orang (57,7%).

Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka penetahuan atau

informasi ang diterima akan semakin tinggi atau luas. rendahnya pendidikan

sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pengetahuannya tentang self care

pada penderita kusta. karena kurangnya terp (Yuniarasari, Y, 2011)apar

informasi tersebut maka proses penyembuhan akan sulit. Bukan hanya itu,

kurangnya penyuluhan mengenai self care juga mempengaruhi pemahaman

mereka tentang bagaimana celf care pada penderita kusta.

6.4 Pekerjaan

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

berdasarkan pekerjaan sebagian besar penderita dalam penelitian ini adalah

petani dan hanya beberapa responden yang tidak bekerja.

Pekerjaan terlihat dari produktivitas seseorang (dewasa) dalam

arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu untuk menyokong

hidupnya atau keluarganya secara finansial (Soekidjo Notoatmodjo, 2007)

dalam (Mahanani N, 2013). Menurut Undang- Undang RI No. 13 tahun

2003, tentang tenaga kerja, pasal 77 tentang jam kerja menyebutkan bahwa

“a. Waktu kerja 7 jam dalam 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, b. 8

jam kerja dalam 1 hari untuk 5 hari kerja dalm 1 minggu”. Kesempatan
86

meluangkan waktu untuk merawat diri, lebih banyak dimiliki oleh pekerja

yang mempunyai jam kerja kurang dari 8 jam. Sedangkan pekerja yang

memiliki waktu kerja lebih dari atau sama dengan 8 jam, hanya memiliki

waktu sedikit waktu untuk melakukan perawatan diri. Tetapi lamanya waktu

kerja belum tentu menyebabkan seseorang/penderita kusta untuk tidak

melakukan perawatan diri.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarasaro pada tahun (2011)

kepada 52 responden penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Gunem

dan Puskesmas Sarang Kabupaten Rembang sejalan dengan peneliti dimana

sebagian besar pencarian petani sebanyak 22 orang (42,3%).

Pekerajaan merupakan salah satu yang memengaruhi self care

seseoarng waktu kerjanya lebih banyak maka mereka tidak memiliki banyak

kesempatan untuk meluangkan waktu untuk merawat dirinya, berbeda

dengan yang bekerja namun waktu kerjanya tidak begitu banyak mereka

mampu meluangkan watunya untuk melakukan perawatan diri. Meskipun

penderita kusta rata-rata tidak bekerja namun hal tersebut tidak

mempengaruhi self care mereka karena kebutuhan finansialnya kurang

terpenuhi sehingga mereka tidak mampu untuk memenuhinya karena

minimnya perekonomian mereka akibat tidak bekerja.

6.5 Peran Keluarga

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

berdasarkan peran keluarga sebagian besar keluarga tidak berperan dalam

proses perawatan penderita kusta atau responden.


87

Peran aktif keluarga dalam melakukan perawatan diri penderita

kusta dapat mengurangi risiko penderita menjadi tuna sosial, tuna wisma,

tuna karya dan cenderung melakukan kejahatan atau gangguan di

lingkungan masyarakat (Mahanani N, 2013). Bantuan yang dapat diberikan

oleh anggota keluarga adalah membantu mengerjakan pekerjaan penderita

kusta yang berat dan berbahaya bagi tangan atau kaki yang mati rasa

(Mahanani N, 2013).

Penelitan yang dilakukan oleh Mahanani pada tahun (2013) kepada

39 responden penderita Kusta di puskesmas Kundur Kecamatan Kundur

Kabupaten Blora sejalan dengan peneliti dimana sebagian besar keluarga

ikut berperan dalam perawatan.

Peran keluarga sangat diperlukan dalam melakukan self care

sehingga hal tersebut akan mengurangi resiko penderita kusta. Dukungan

keluarga sangat diperlukan untuk memberi dukungan pada yang sakit.

Sehingga semangat mereka dalam melakukan self care dan semangat untuk

sembuh juga tinggi untuk sembuh. Selain itu dukungan keluarga juga akan

membangkitkan mental mereka untuk sembuh.

6.6 Peran Petugas

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

berdasarkan peran petugas sebagian besar ikut berperan dalam perawatan

penderita.

Selain menyediakan fasilitas untuk perawatan, petugas juga

mengajarkan bagaimana cara merawat diri untuk mencegah berlanjutnya

cacat ke tingkat yang lebih berat. Beberapa peran petugas antara lain
88

mengobati dan follow-up reksi kusta, dan memberikan pendidikan tentang

perawatan luka kepada penderita (Mahanani N, 2013).

Penelitan yang dilakukan oleh Mahanani pada tahun (2013) kepada

39 responden penderita Kusta di puskesmas Kundur Kecamatan Kundur

Kabupaten Blora sejalan dengan peneliti dimana sebagian besar petugas ikut

berperan dalam perawatan penderita.

Peran petugas sangat berperan dalam proses penyembuhan kusta

karena dengan adanya informasi-informasi yang mereka sampaikan akan

sangat berpengaruh untuk menambah informasi mereka mengenai self care

pada penderita kusta. Adanya penyuluhan yang sering mereka lakukan akan

mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Sehingga mereka akan memiliki

pengetahuan mengenai self care bagi penderita kusta. Sehingga hal tersebut

akan mempengaruhi penyembuhan kusta.

6.7 Self Care

Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh distribusi responden

berdasarkan self care sebagian besar responden memiliki self care yang

cukup dan terdapat penderita kusta yang kurang kurang dalam self care

(perawatan diri).

Orem mendefinisikan self care sebagai suatu yang harus dipelajari,

kegiatan yang bertujuan membantu diri untuk mengelolah kehidupan yang

di inginkan, kesehatan, perkembangan, dan kesejahteraan (Wahyuningsih A,

Tavianda D, 2017). Pandangan teori Orem dalam tatanan pelayanan

keperawatan ditunjukkan kepada kebutuhan individu dalam melakukan

tindakan keperawatan ditunjukkan kepada kebutuhan individu dalam


89

melakukan tindakan keperawatan mandiri serta mengatur dalam

kebutuhanny (Wahyuningsih A, Tavianda D, 2017). Orem menggambarkan

filosofi tentang keperawatan dengan cara seperti berikut (Wahyuningsih A,

Tavianda D, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Mahanani pada tahun (2013)

kepada 39 responden penderita kusta di Puskesmas Kundur Kecamatan

Kundur Kabupaten Blora sebagian besar penderita kusta atau responden

melakukan self care.

Self care yang baik dapat membantu proses penyembuhan pada

penderita penyakit kusta. Self care yang berpengaruh besar adalah peran

keluarga dan peran petugas karena semakin tinggi dukungan dari keluarga

maka akan semakin tinggi juga semangat untuk sembuh dan peran petugas

juga berpengaruh karena semakin sering mereka mendapatkan informasi

mengenai self care maka akan semakin tinggi pula harapan untuk segera

sembuh dari penyakinya.


BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian umur, dapat disimpulkan responden

penderita kusta memiliki nilai frekuensi diperoleh sebagian besar

responden penderita kusta berusia >60.

2. Berdasarkan hasil penelitian jenis kelamin, dapat disimpulkan sebagian

besar responden penderita kusta lebih banyak perempuan dibandingkan

laki-laki.

3. Berdasarkan hasil penelitian pendidikan, dapat disimpulkan sebagian

besar responden penderita kusta adalah tidak bersekolah atau tidak

berpendidikan.

4. Berdasarkan hasil penelitian pekerjaan, dapat disimpulkan sebagian besar

responden penderita kusta adalah petani dan hanya satu responden tidak

bekerja.

5. Berdasarkan hasil penelitian peran keluarga, dapat di simpulkan sebagian

besar keluarga tidak berperan dalam proses perawatan penderita kusta

atau responden.

6. Berdasarkan hasil penelitian peran petugas, dapat di simpulkan sebagian

besar petugas kesehatan ikut berperan dalam perawatan penderita kusta

atau responden.

90
91

7. Berdasarkan hasil penelitian self care, dapat disimpulkan sebagian besar

responden penderita kusta responden memiliki self care yang cukup.

7.2 Saran

1. Bagi Puskesmas Batuputih

Diharapkan peran petugas kesehatan lebih ditingkatkan lagi dalam

mempromosikan self care (perawatan diri) kepada penderita kusta supaya

mendukung proses penyembuhan penderita kusta dan lebih aktif dalam

mensosialisasikan penyakit kusta sebagai langkah pencegahan dan

menurunkan angka penyebaran penyakit kusta di wilayah kerja

puskesmas.

2. Bagi Kecamatan Batuputih

Diharapkan kontribusi dari kecamatan setempat dalam memberantas

penyakit kusta karena mengingat prevalensi penyakit kusta di wilayah ini

menduduki peringkat kedua pada tahun 2019.

3. Bagi Informan

Sebaiknya penderita kusta memiliki kepatuhan dalam menjalani

pengobatan dan meningkatkan kebersihan diri serta melakukan

perawatan diri dengan benar untuk proses penyembuhan.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan penelitian selanjutnya mencari faktor dominan yang

memengaruhi self care penderita kusta.


DAFTAR PUSTAKA

Aini N. (2018). teori model keperawatan : beserta aplikasinya dalam


keperawatan. malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Amirudin M.D. (2019). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Sidoarjo:
Brilian Internasional.
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: buku kedokteran EGC.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep. (2020). Situasi Penyakit Kusta Kabupaten
Sumenep Tahun 2019 (31 Desember 2019). Sumenep: Dinas Kesehatan
Kabupaten Sumenep.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. (2020). Umpan Balik Kegiatan Program
Pemberantasan Penyakit Kusta Tahun 2019 Per Kabupaten/Kota.
Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Eldiansyah F, Wantia, Siswoyo. (2016). Perbedaan Tingkat Kecacatan Klien
Kusta Yang Aktif dan Tidak Aktif Mengikuti Kegiatan Kelompok
Perawatan Diri (KPD) di Kabupaten Jember. 286-292.
FIK. (2019). Buku Pedoman Penyusunan Skripsi Program Studi Keperawatan.
Sumenep: Fakultas Ilmu Kesehatan : Universitas Wiraraja.
Hidayat, A. (2017). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Kesehatan. Jakarta
Selatan: Salemba Medika.
Kemenkes. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Kusta . Jakarta: Kemenkes .
Mahanani N. (2013). Fakto-Faktor yang berhubungan dengan perawatan diri kusta
pada penderita kusta di puskesmas kunduran kecamatan kunduran
kabupaten blora tahun 2011. 1-66.
Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan
Praktis. Jakarta Selatan: Selemba Medika.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI 2015. InfonDatin [Kusta].
http://pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/stuctur-publikasi-pusdatin-info-
datin.html. Diunduh 7 November 2019

Susanto T, dkk. (2013). Perawatan klien kusta di komunitas. jakarta timur: trans
info media.

92
93

Wahyuningsih A, Tavianda D. (2017). Mengukur self care pada pasien diabetes


mellitus tipe II. Nganjuk: Abjie media nusantara.
Yuniarasari, Y. (2011). universitas negeri semarang. faktor yang berhubungan
dengan kejasian kusta, 1-150.
Word Health Organization. (2019). WHO Multidrug Therapy (MDT). Retrieved
November 16, 2019, from Leprosy Elimination:
htpps://www.who.int/lep/mdt/en/
94

LAMPIRAN
95
96
97
98

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Peneliti : Aldo Dwi Prawira


Pembimbing : 1. Mujib Hannan., S.KM., S.Kep., Ns., M.Kes
2. Zakiyah Yasin, S.Kep., Ns., M.Kep
Saya yang bertanda tanga di bawah ini menyatakan bersedia untuk turut
berperan serta sebagai responden dalam penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Univrsitas Wiraraja Program Studi
Keperawatan yang berjudul “Analisis Faktor Berhubungan Dengan Self Efficacy
Klien TB Dalam Menjalankan Perawatan Di Kecamatan Lenteng”.
Tanda tangan saya di bawah ini menunjukkan bahwa saya diberi informasi
dalam memutuskan untuk berperan serta dalam penelitian ini secara sadar dan
sukarela serta tidak ada unsur paksaan.

Sumenep, 2020

Responden
99

KUESIONER

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF CARE PADA


PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN BATU PUTIH
KABUPATEN SUMENEP

Tgl. Pengisian : ......................................................

Petunjuk pengisian Kuesioner

1. Tulislah identitas anda pada tempat yang disediakan


2. Bacalah setiap pertanyaan dalam kolom dengan teliti sehingga anda
memahaminya, kemudian pilihlah salah satu jawaban yang paling sesuai
dengan pendapat anda.
3. Berikanlah tanda (√) yang sesuai dengan kondisi anda pada bagian
identitas responden dan berikan tanda (√) pada kolom di dalam kousioner
sesuai dengan yang anda rasakan.
4. Identitas dan data yang anda berikan akan dijamin kerahasiaannya.
5. Untuk kelancaran penelitian ini mohon semua pertanyaan anda beri
tanggapan, jangan sampai ada yang terlewatkan
6. Selamat mengerjakan dan terima kasih atas kesediaan untuk mengisi
kousioner ini.

I. DATA DEMOGRAFI
Nama : ................................................................
Umur : .......... tahun
Alamat : ................................................................
Jenis Kelamin : (Laki-laki/Perempuan)
Pendidikan : ................................................................
Pekerjaan : ................................................................
100

II. PERAN PETUGAS


1. Jika masih berobat, apakah saat memberikan obat, petugas juga memberikan
penjelasan tentang tanda-tanda reaksi dan apa yang harus dilakukan oleh
penderita ?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah setiap petugas melakukan pencegahan cacat/POD kepada bapak/ibu ?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah petugas menyarankan dan melatih cara perawatan diri ?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah petugas kesehatan memberi motivasi pasien supaya teratur merawat
diri setiap hari ?
a. Ya b. Tidak
5. Selain kepada saudara, apakah petugas juga memberitahukan cara perawatan
diri kepada keluarga saudara ?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah dilakukan pemeriksaan pada anggota keluarga penderita yang lain
(pemeriksaan kontak) ?
a. Ya b. Tidak
101

III. PERAN KELUARGA


7. Apakah keluarga anda selalu mengingatkan anda untuk rutin merawat diri
setiap hari?
a. Ya b. Tidak
8. Apakah keluarga juga mengingatkan anda untuk memperhatikan kabersihan
diri anda seperti mengganti penutup luka ?
a. Ya b. Tidak
9. Apakah keluarga mengingatkan anda untuk memeriksakan diri ke puskesmas?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah keluarga anda bersedia mengantar/menemani anda periksa ke
puskesmas?
a. Ya b. Tidak
11. Apakah keluarga anda membantu secara materi untuk pengobatan anda?
a. Ya b. Tidak
12. Apakah keluarga anda membantu dalam perawatan diri anda, seperti
membantu menutup luka?
a. Ya b. Tidak
13. Apakah keluarga anda mengingatkan tentang risiko pekerjaan yang anda
lakukan, seperti mencangkul, menggergaji, dan lain-lain?
a. Ya b. Tidak
14. Apakah anggota keluarga anda bersedia mengerjakan pekerjaan yang bias
beresiko menimbulkan luka pada anda, seperti mencangkul, menggergaji, dan
lain-lain?
a. Ya b. Tidak
15. Adakah anggota keluarga anda yang meninggalkan anda karena takut tertular
penyakit kusta?
a. Ya b. Tidak
102

VI. PERAWATAN DIRI (SELF CARE)


NO PERNYATAAN SS S TS STS
1 Saya minum obat tiap hari

2 Saya melakukan pemeriksaan atau control ke


puskesmas tiap bulan
3 Saya melakukan pembersihan luka jika terdapat luka

4 Saya melakukan perendaman dengan air jika tangan


atau kaki mengalami kering
5 Saya melakukan penggosokan dengan batu pada
bagian tangan atau kaki yang tebal dan kering
6 Saya mengolesi minyak atau body lotion pada bagian
tubuh yang kering
7 Saya melakukan peregangan untuk kekakuan otot

8 Saya mengistirahatkan tangan atau kaki jika terjadi


terdapat luka / kering / pecah-pecah
9 Saya menggunkan sarung tangan dan alas kaki saat
bekerja / melakukan aktivitas
10 Menutup luka pada bagian luka merupakan pilihan
terbaik
11 Saya tidak mencuci atau membasahi mata setelah
beraktivitas
12 Kontak langsung dengan orang lain tidak jadi
masalah
13 Saya dan keluarga sering bertukar pakaian

14 Saya mengumpulkan baju kotor dengan pakaian kotor


keluarga dalam satu tempat
15 Alat makan dan alat madi digunakan bersama (tidak
dipisah)
103

DOCUMENTASI
104
105
106

Peran Petugas
Responden p1 p2 p3 p4 p5 p6 Total
1 1 1 1 1 1 1 6
2 1 1 1 1 1 0 5
3 1 1 0 0 0 0 2
4 1 1 1 1 1 0 5
5 1 1 1 1 1 0 5
6 1 0 1 1 1 0 4
7 1 1 1 1 1 0 5
8 1 1 1 1 1 1 6
9 1 1 1 1 1 1 6
10 1 1 1 1 0 0 4
11 1 0 1 1 0 0 3
12 1 1 0 1 1 0 4
13 1 1 1 1 0 0 4
14 1 1 1 1 0 0 4
15 1 1 1 1 0 0 4
16 1 1 0 0 1 0 3
17 1 1 0 1 1 0 4
18 1 1 0 0 0 0 2
19 1 1 0 0 1 0 3
20 1 1 0 0 0 0 2
21 1 1 0 0 0 0 2
22 1 0 1 1 0 0 3
23 1 0 1 1 0 0 3
24 1 0 1 1 0 0 3
25 1 1 1 1 0 0 4

Katagori Frekuansi
Ada Peran 4-6
Tidak Ada Peran 1-3
Total 6
Peran Keluarga
Responden p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 Total
1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 6
2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8
3 1 1 1 0 0 0 1 1 0 5
4 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8
5 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5
6 1 0 1 1 1 1 0 0 0 5
7 1 1 1 0 0 1 1 1 0 6
8 1 1 1 0 0 1 1 1 0 6
9 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8
10 1 0 1 1 0 0 0 0 0 3
11 1 0 1 0 0 0 0 0 0 2
12 1 1 1 1 0 0 0 0 0 4
13 1 0 1 1 0 0 1 1 0 5
14 1 1 1 1 0 0 0 0 0 4
15 1 1 1 1 0 0 0 0 0 4
16 1 0 1 1 1 0 1 1 0 6
17 1 0 1 1 0 0 0 1 0 4
18 0 0 1 1 0 0 0 0 0 2
19 0 0 1 1 0 0 0 1 0 3
20 0 0 1 1 0 0 0 0 0 2
21 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
22 1 0 1 1 0 0 1 1 0 5
23 0 0 1 1 0 0 1 1 0 4
24 1 0 1 0 0 0 1 0 0 3
25 1 0 1 1 0 0 1 1 0 5

Katagori Frekuansi
Ada Peran 5-9
Tidak Ada Peran 1-4
Total 6

107
Self Care
Responde
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 p13 p14 p15 Total %
n
1 4 4 4 1 3 2 2 2 1 4 3 2 1 1 4 38 63.3
2 4 4 4 2 2 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4 53 88.3
3 4 4 4 2 2 2 4 3 1 3 4 4 3 2 2 44 73.3
4 4 4 4 4 2 2 3 3 3 3 2 2 4 4 4 48 80.0
5 4 4 4 3 2 2 3 2 2 2 1 3 3 2 2 39 65.0
6 4 4 3 2 1 3 2 4 4 2 3 2 3 2 2 41 68.3
7 4 4 4 3 2 2 3 3 3 3 2 2 2 1 1 39 65.0
8 3 3 3 3 2 2 3 3 3 2 2 2 3 3 3 40 66.7
9 4 4 3 4 2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 44 73.3
10 3 3 2 3 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 36 60.0
11 3 3 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 3 2 2 36 60.0
12 4 4 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 3 2 2 38 63.3
13 4 4 3 3 2 2 2 3 3 2 3 2 3 2 2 40 66.7
14 4 4 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 3 2 2 37 61.7
15 4 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3 2 2 36 60.0
16 4 2 2 2 2 4 2 4 2 3 2 1 1 1 1 33 55
17 4 4 2 2 2 2 2 3 4 2 1 1 3 1 1 34 56.7
18 4 4 2 2 2 2 2 3 4 3 2 1 3 1 1 36 60
19 4 4 2 2 2 2 2 3 4 3 3 1 3 1 1 37 61.7
20 4 4 2 2 2 2 2 3 4 2 3 1 1 1 1 34 56.7
21 4 2 2 2 2 2 2 3 4 3 4 1 1 1 1 34 56.7
22 4 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 1 1 1 34 56.7
23 4 2 2 2 2 2 2 3 4 3 3 2 1 1 1 34 56.7

108
109

24 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 1 1 1 1 30 50.0
25 4 2 2 2 2 2 2 3 4 3 3 1 1 3 3 37 61.7

Frekuens
Kategori i % SKOR TOTAL 60
75 -
Baik 2 8.0 45-60 100 %
55 - 74
Cukup 22 88.0 33-44 %
Kurang 1 4.0 < 33 < 55 %
Total 25 100
Frequencies

Statistics

umur jenis kelamin pendidikan pekerjaan peran keluarga peran petugas

Valid 25 25 25 25 25 25
N
Missing 0 0 0 0 0 0

umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

<45 tahun 7 28.0 28.0 28.0

45-60 tahun 7 28.0 28.0 56.0


Valid
>60 tahun 11 44.0 44.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Tidak Sekolah 23 92.0 92.0 92.0

SD 1 4.0 4.0 96.0


Valid
SMP 1 4.0 4.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent

Tidak Bekerja 3 12.0 12.0 12.0

Valid Petani 22 88.0 88.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

peran keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Berperan 12 48.0 48.0 48.0

Valid Tidak Berperan 13 52.0 52.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

110
111

peran petugas

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Berperan 16 64.0 64.0 64.0

Valid Tidak Berperan 9 36.0 36.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Laki-laki 12 48.0 48.0 48.0

Valid Perempuan 13 52.0 52.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

self care

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Baik 3 12.0 12.0 12.0

Cukup 21 84.0 84.0 96.0


Valid
Kurang 1 4.0 4.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Anda mungkin juga menyukai