Anda di halaman 1dari 110

“NIEUW BRUSSEL” DI KALIMANTAN:

PERAN STRATEGIS SUKADANA PADA ABAD KE-19

Yusri Darmadi
Ika Rahmatika Chalimi
“NIEUW BRUSSEL” DI KALIMANTAN:
PERAN STRATEGIS SUKADANA PADA ABAD KE-19

© Penerbit Kepel Press

Penulis :
Yusri Darmadi
Ika Rahmatika Chalimi

Desain Sampul :
Peta Sukadana pada tahun 1890 yang dibuat oleh Topographisch Bureau
Batavia
(Sumber: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) Inset: Beberapa
foto Objek Sejarah di Sukadana saat ini (Koleksi Tim Peneliti)

Desain Isi :
Safitriyani

Cetakan Pertama, Desember 2017

Diterbitkan oleh Penerbit Kepel Press


Puri Arsita A-6, Jl. Kalimantan, Ringroad Utara, Yogyakarta
Telp/faks : 0274-884500
Hp : 081 227 10912
email : amara_books@yahoo.com

Anggota IKAPI
ISBN :
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku,
tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.
Percetakan Amara Books
Isi diluar tanggung jawab percetakan
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur tim peneliti ucapkan


kepada Allah SWT yang memberikan waktu dan kesehatan untuk
dapat menyelesaikan kajian jalur perdagangan dengan judul
“Nieuw Brussel” di Kalimantan: Peran Strategis Sukadana pada
Abad ke-19.
Penelitian ini dapat diselesaikan atas kerja sama dan bantuan
dari berbagai pihak, oleh karena itu tim peneliti mengucapkan
terima kasih dan apresiasi atas bantuan berbagai pihak tersebut,
khususnya kepada sejarawan Kalimantan Barat bapak almarhum
Drs. H. Sudarto, dan seluruh informan di Ketapang, Sukadana,
Jakarta, dan Pontianak.
Tidak ada gading yang tak retak, pepatah ini menunjukkan
bahwa tidak ada segala sesuatu yang sempurna, termasuk hasil
penelitian ini. Dengan demikian, saran dan masukan dalam rangka
penyempurnaan hasil penelitian ini merupakan keniscayaan.
Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah penulisan sejarah lokal di Indonesia khususnya di
wilayah Kalimantan.

Pontianak, 18 Desember 2017

Tim Peneliti

iii 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................. iii

Daftar Isi ....................................................................................... v

Daftar Tabel ................................................................................. vii

Daftar Gambar ............................................................................. ix

BAB I Pendahuluan ............................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................ 1
B. Permasalahan .......................................................... 5
C. Ruang Lingkup ....................................................... 5
D. Tujuan ...................................................................... 5
E. Manfaat .................................................................... 6
F. Tinjauan Pustaka .................................................... 7
G. Metode ..................................................................... 8
H. Sistematika .............................................................. 13

BAB II Gambaran Umum........................................................ 15


A. Keadaan Geografis ................................................. 15
B. Keadaan Penduduk dan Pola Permukiman ...... 18
a. Suku Dayak................................................... 20

v 
vi | “Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

b. Suku Melayu ............................................... 25


c. Suku Bugis ................................................... 25
d. Cina ............................................................... 27

BAB III Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 ...... 29


A. Perdagangan di Sukadana sebelum dan sesudah
Traktat London (1800-1828) ................................. 29
B. Perdagangan pada masa “Nieuw Brussel” (1828-
1845) ......................................................................... 36
C. Perdagangan pasca “Nieuw Brussel” (1845-1900) 49

BAB IV Penutup ........................................................................ 53


A. Kesimpulan ............................................................. 53
B. Saran ......................................................................... 54

Daftar Pustaka .............................................................................. 55

Daftar Informan ........................................................................... 59

Lampiran-Lampiran .................................................................... 61

Foto-Foto ........................................................................................ 81
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Penduduk Sukadana Berdasarkan Pekerjaan dan


Etnis tahun 1855 .......................................................... 19

vii 
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perubahan Nama Kerajaan Tanjungpura .............. 2

Gambar 2. Silsilah Keluarga Kerajaan Siak .............................. 36

ix 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penulisan sejarah maritim di Pulau Kalimantan masih


dirasakan sangat kurang apabila dibandingkan pulau lainnya di
Indonesia khususnya Pulau Jawa. Sebagai negara bahari1, pulau-
pulau di Indonesia dihubungkan oleh Laut dan Selat dimana
posisi Pulau Kalimantan menempati lokasi yang sangat strategis
khususnya dalam jalur perdagangan.
Penulisan Sejarah kerajaan Sukadana tidak bisa dilepaskan
dari sejarah kerajaan Tanjungpura bahkan kerajaan Ulu Aek.
Namun kerajaan Ulu Aek untuk saat ini masih sebatas tradisi
lisan, oleh karena itu kronologi perdagangan di Sukadana penulis
jelaskan secara garis besar dimulai dari kerajaan Tanjungpura.
Perjalanan sejarah Kerajaan Tanjungpura mengalami beberapa
kali perubahan nama karena berpindahnya pusat kerajaan.
Perubahan tersebut secara ringkas dapat dilihat pada gambar
berikut:

1 Kata archipel atau archipelago sesungguhnya adalah laut yang ditaburi sekumpulan
pulau, yang pada hakekatnya berbeda dengan pengertian ‘kepulauan’ yang merupakan
kelompok pulau yang dikelilingi laut. Jadi, istilah archipelagic state sebaiknya
diterjemahkan dengan ‘negara laut’ atau ‘negara bahari’ daripada ‘negara kepulauan’
karena yang dasar adalah laut dan pulau-pulau terletak di dalamnya. Lihat A.B. Lapian,
Laut, Pasar dan Komunitas Budaya, Makalah Kongres Nasional Sejarah 1996 Sub
Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 1997, hal. 141.

1 
2 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19


Gambar 1. Perubahaan Nama Kerajaan Tanjungpura
Sumber: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/kalimantan-4/sultan-
of-matan tanjungpura/attachment/1000000000000000000000/ akses tanggal
17/04/2017 jam 09.14

Pulau Kalimantan pertama kali dikunjungi oleh orang-orang


Eropa dari Portugis pada tahun 1518 yaitu Lorenzo de Gomes
dalam perjalanannya ke Tiongkok. Kemudian dikunjungi oleh
George de Meneses dalam perjalanannya ke Maluku pada tahun
1526. Sementara orang Belanda yang pertama kali menginjakkan
kaki di Kalimantan yaitu Olivier van Noort yang mengunjungi
Kerjaan Brunai pada tanggal 26 Desember 1600. Selanjutnya
Wijbrang van Warwijck yang melakukan perjalanan dari Gresik
ke Johor, istirahat di Pulau Karimata dan mengirimkan salah
satu kapalnya ke Sukadana, ketika kembali membawa hasil
perdagangan intan dan lapis besar2 dengan nilai sekitar 100 dolar
Spanyol (Ismail 1985: 33-34).
Hans Roef melanjutkan estafet orang Belanda untuk berdagang
dengan Kerajaan Sukadana. Saat itu Sukadana dipimpin oleh Prabu
Giri Kusuma yang beristerikan Ratu Bungku, putri Raja Landak.

2 Lapis besar berasal dari bahasa Persia. Orang Eropa menyebutnya Bezoar, orang
Melayu menyebutnya dengan nama: Geliga, Guliga, Mestika, Batu Ular atau Buntat
Gemala. Lihat I.H. Burkhill, A Dictionary of the Economic Products of the Malay
Peninsula, Kuala Lumpur, 1966.
Pendahuluan | 3 

Pada bulan Januari 1609, Ratu bungku mengkudeta suaminya dan


menjadi penguasa di Sukadana dan Landak. Beliau juga terlibat
peperangan dengan Kesultanan Palembang dan Kesultanan
Sambas. Meskipun tanpa bantuan Belanda, Ratu Bungku berhasil
mempertahankan diri dari serangan Kesultanan Palembang dan
Sambas (Ismail 1985: 35-37).
Menurut Kapten Daniel Beckman (dalam Victor T. King
2013: 100), ada empat dermaga perdagangan utama di pulau
Kalimantan. Kota Borneo (Brunei), terletak di sebelah utara pada
garis lintang utara 4°30’; Passer (Pasir) di sebelah timur pada garis
lintang selatan 1°15’; Succadana (Sukadana) di sebelah barat pada
garis lintang selatan 0°5’; Banjar Masseen di sebelah selatan pada
garis lintang selatan 3°18’.
Lebih lanjut Mary Somers Heidhues (2008: 4) dengan merujuk
pada Jacob Ozinga (1940: 27-28) menjelaskan:

“Pada abad ke-17, kerajaan Sukadana adalah pelabuhan yang


paling penting di Barat, karena pelabuhan ini menguasai jalan
masuk ke sistem aliran Sungai Kapuas yang besar dan mendominasi
bagian barat pulau. Kerajaan Landak, di daerah pedalaman Sungai
Landak, anak sungai utama dari Sungai Kapuas, menguasai sumber
intan di daerah tersebut. Dua kerajaan ini telah berhubungan dengan
kerajaan Majapahit di Jawa, dan di abad ke-17, Kesultanan Banten
di Jawa Barat menyatakan kekuasaannya atas daerah tersebut.
Sukadana, pelabuhan yang didiami oleh tidak lebih dari lima ribu
penduduk pada masa jayanya, tidak pernah menjadi sebuah kota
besar”.
Sementara Anthony Reid (2014: 126) mengaskan peran strategis
Sukadana dalam perdagangan
Sekitar tahun 1600, pusat ekspor Borneo yang utama ialah Pulau
Karimata, di bawah kekuasaan kerajaan kecil Sukadana di Borneo
bagian barat laut. Orang melayu dari wilayah Melaka memakai
keris “yang berasal dari Karimata” (Eredia 1600: 232). Banten, yang
ketika itu merupakan pelabuhan terbesar di Jawa, mengimpor
“besi dalam jumlah besar dari Karimata” (Lodewyeksz 1598: 119).
Armada Jawa yang merebut Sukadana pada tahun 1622, petualangan
Mataram satu-satunya di luar Jawa, pastilah dimaksudkan untuk
4 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

mengamankan sumber besi dan permata ini. Orang Belanda membeli


hampir sepuluh ribu kampak dan parang Karimata di tahun 1631
(Dagh-Register 1631-1634: 28,47) dan delapan ribu di tahun 1637, serta
menyadarinya sebagai suatu kebutuhan dalam perdagangan lokal
Indonesia, bahkan hingga sejauh Timor (van Diemen 1637: 629)

Pada akhir abad ke-18, banyak para pedagang Islam


terutama pedagang dari Palembang yang singgah di Sukadana,
di samping berniaga mereka juga mengajarkan agama Islam
bahkan kedatangan Syech Maghribi membawa nuansa tersendiri
bagi Sukadana, dan pada masa inilah agama Islam berkembang
dengan pesat. Selain itu juga diperkenalkan sistem takaran beras,
bagi penduduk menyebutnya “gantang”. Barang ini terbuat dari
kayu, takaran 1 gantang = ± 4,5 kg. Kemudian raja mengeluarkan
suatu peraturan untuk menyeragamkan isi takaran tersebut, setiap
gantang harus disahkan oleh kerajaan dengan cetakan “gantang
Pangeran Jaya Anom” (Hasanuddin 2000: 53).
Seiring berjalannya waktu, sejarah Indonesia mulai banyak
menyebut Sukadana ketika dihubungkan dengan kerajaan Islam
Makasar. Dengan jatuhnya Kerajaan Islam Makasar (1669), maka
Sukadana menjadi Bandar perniagaan yang ramai dan menjadi
salah satu pusat perdagangan, sehingga mulai banyak dikenal
(Mulia 2007: 11). Pada tahun 1724 Sukadana dikosongkan sama
sekali karena penduduk pindah ke Simpang dan sebagian besar
pindah mengikui sultan ke Inderalaya (D Has 2014: 11). Kemudian
pada tahun 1786 Sukadana dipindahkan ke Matan karena
perselisihan dengan Kesultanan Pontianak, akhirnya Sukadana
menjadi tempat tinggal para perampok (Soedarto 1989: 126).
Berdasarkan fakta-fakta sejarah di atas, tampak Sukadana
sebagai entrepot3 (Pelabuhan Pengumpul) dalam jalur perdagangan.

3 Entrepot berasal dari kata Latin inner (di antara) dan postitum (lokasi), berarti sebuah
tempat yang berada di antara. Dalam konteks tulisan ini, entrepot adalah kota-
kota pelabuhan yang terbentuk dan berkembang di kawasan pantai Asia Tenggara
akibat dari jaringan perdagangan internasional dan persimpangan antara Cina, India,
Persia, Arab, dan Eropa. Sebuah entrepot adalah sebuah kota kecil dengan beberapa
komoditas lokal. Hampir seluruh barang yang diperdagangkan adalah barang dagangan
internasional yang transit di tempat tersebut. Lihat Peter J. M. Nas, Masa Lau dalam
Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal. 81.
Pendahuluan | 5 

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengelaborasi lebih jauh


peran strategis Sukadana pada abad abad ke-19.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan muncul


beberapa pertanyaan:
1. Mengapa Sukadana memiliki peran strategis dalam jalur
perdagangan pada abad ke-19?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan Sukadana memiliki
peran strategis dalam jalur perdagangan tersebut?

C. Ruang Lingkup

Periode penelitian mengenai peran strategis Sukadana


dibatasi pada abad ke-19 (1800-1900). Beberapa peristiwa yang
mempengaruhi peran strategis Sukadana dalam jalur perdagangan
pada adab ke-19 yaitu: Perjanjian Traktat London (1816) yang
membagi wilayah kekuasaan bekas dua serikat dagang yakni VOC
(Belanda) dan EIC (Inggris), Perubahan nama Sukadana menjadi
“Niuew Brussels” (1828-1845), pada masa ini Sukadana dipimpin
oleh keturunan Kerajaaan Siak bernama Sultan Abdul Jalil Syah
atau dikenal dengan Raja Tengku Akil. Kemudian periode setelah
meninggalnya Raja Tengku Akil dan nama Sukadana kembali
digunakan (1845-1900).

D. Tujuan

Sukadana mempunyai makna dalam arti yang luas mencakup


semua aktivitas pada masa lampau serta peranan para pedagang
dari nusantara dan luar nusantara yang dapat membentuk dan
mengembangkannya menjadi salah satu jalur perdagangan,
sehingga perlu mendapat kajian secara menyeluruh dan dalam
penelitian ini yang ingin dicapai adalah:
6 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

a. Sebagai metode pelengkap untuk memperluas bahan-


bahan dokumen sehingga rekonstruksi tentang peristiwa
sejarah di Sukadana menjadi luas dimensinya.
b. Menggali dan mengungkap sejauh mungkin peran
jaringan sungai yang mengalir ke Sukadana pada abad
ke-19 sehingga hasil yang diharapkan dari pengungkapan
tersebut adalah bertambahnya pemahaman mengenai
proses-proses yang melandasi maju mundurnya peran
Sukadana sebagai jalur perdagangan di nusantara
khususnya pada abad ke-19.
c. Memberikan sumbangan pengetahuan, sehingga dapat
dipergunakan sebagai bahan pelengkap atau bahan
pembanding terhadap studi tentang sejarah Sukadana.

E. Manfaat

Hasil penelitian ini bias memberikan manfaat bagi beberapa


pihak, antara lain;
1. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk
menyempurnakan penelitian selanjutnya agar lebih
mendalam dan komprehensif serta mampu menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan bagi tim peneliti.
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi dalam mengambil kebijakan khususnya dalam
pengembangan sejarah lokal dan menambah koleksi
kearsipan sejarah lokal terutama daerah Sukadana.
3. Bagi masyarakat, sebagai bahan pengetahuan dalam
meningkatkan kesadaran sejarah (Historical Counciousness)
sehingga dapat direfleksikan dalam pikiran dan tindakan.
Serta menambah wawasan dan ilmu mengenai kejadian
di masa lampau dari peninggalan yang ada di daerah,
khususnya di Sukadana.
Pendahuluan | 7 

F. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian atau tulisan mengenai Sukadana


Kalimantan antara lain:
1. Hasil penelitian berjudul Sukadana: Suatu Tinjauan
Sejarah Kerajaan Tradisional Kalimantan Barat oleh
Hasanuddin pada tahun 2000. Penelitian ini menjelaskan
secara kronologis awal terbentuknya kerajaan Sukadana
hingga diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda,
namun belum spesifik membahas jalur perdagangan di
Kerajaan Sukadana.
2. Catatan seorang Controleur de 2de klasse di Afdeeling
Soekadana (1890), J.P.J. Barth berjudul Overzicht der
Afdeeling Soekadana (1896). Ringkasan disertasi berbahasa
Belanda ini secara rinci menjelaskan masa-masa akhir
kerajaan Sukadana pada abad ke-19 dampak dari
pelaksanaan Traktat London (1814). Tulisan ini lebih
banyak menyorot aspek politik dalam kaitannya dengan
ekonomi (Ekonomi Politik).
3. Tulisan P.J. Veth berjudul Boreno’s Wester-Afdeeling:
Geographisch, Statistisch, Historisch (1854). Tulisan yang
terdiri dari dua buku ini, beberapa babnya secara terpisah
menjelaskan tentang kerajaan Sukadana. Tulisan ini
melengkapi penjelasan mengenai kerajaan Sukadana
khususnya dalam jalur perdagangan pada abad ke-19.
4. Tulisan H. Von Dewal berjudul Matan, Simpang, Soekadana,
de Karimata-Einlanden en Koeboe (Wester-Afdeeling van
Borneo). Yang menjelaskan dinamika sejarah Sukadana
pada abad ke-19, khususnya pasca Nieuw Brussel. Dalam
tulisan ini banyak data perdagangan berupa tabel ekspor
& impor.
5. Tulisan Georg Muller berjudul Proeve Eener Geschiedenis
van Een Gedelte der West-Kust van het Eiland Boreno.
Catatan perjalanan Muller saat menjadi inspektur daerah
pedalaman.
8 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

6. Tesis Fakultas Pascasarjana Studi Bidang Ilmu Sejarah


Pengkhususan Sejarah Indonesia UI oleh Muhammad
Gade Ismail berjudul “Politik Perdagangan Melayu di
Kesultanan Sambas Kalimanan Barat: Masa Akhir
Kesultanan (1808-1818). Tesis ini menjelaskan cupilkan
Sejarah Sukadana dari abad ke-17 sampai abad ke-18.
7. Tulisan E. Netscher, Kronijk van Sambas en Soekadana.
Menjelaskan silsilah keturuanan dua kerjaan yaitu
Kerajaan Sambas dan Kerajaan Sukadana.

G. Metode

Metode yang digunakan untuk mengkaji penelitian yaitu


menggunakan metode historis yang dibantu dengan studi
dokumentasi dan studi literatur. Sebagai teknik penelitian, metode
sejarah digunakan untuk menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschlak, 1986:32).
Metode historis merupakan cara mengkaji suatu peristiwa, tokoh
atau permasalahan yang dianggap layak dan penting yang terjadi
pada masa lampau secara deskriptuf, kritis dan analitis. Penulisan
sejarah tidak hanya mengungkap peristiwa secara kronologis, lebih
dari itu perlu adanya kajian dan analisis tajam yang didukung
dengan teori yang relevan.

Teknik Penelitian
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia definisi teknik
penelitian yaitu cara untuk melakukan suatu pemeriksaan
yang teliti, penyelidikan, kegiatan pengumpulan, analisis dan
penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif
untuk memecahkan persoalan atau menguji suatu hipotesis
untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamisa, 1997:532
dan 536). Sedangkan teknik penelitian yang digunakan peneliti
selama proses penelitian yaitu studi literatur, studi dokumentasi
dan wawancara. Teknik tersebut digunakan dalam upaya
Pendahuluan | 9 

mengumpulkan informasi berkaitan dengan masalah penelitian


yang dikaji, teknik tersebut ialah:
a. Studi literatur, taknik ini dilakukan dengan
mengumpulkan sumber-sumber berupa buku yang
relavan dengan permasalahan. Berkaitan dengan ini
penulis melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan.
Termasuk mengumpulkan buku-buku sejarah, ekonomi,
politik, jurnal serta berbagai artikel baik pada media cetak
maupaun online. Semua itu harus berkaitan dengan tema
yang dikaji.
b. Studi dokumentasi, teknik ini dilakukan dengan
mengumpulkan artikel dan arsip-arsip. Peneliti berkunjung
pula pada instansi-instansi pemerintah yang memiliki
arsip dengan masalah penelitian yang dikaji.
c. Wawancara, peneliti mengumpulkan informasi yang
relevan melalui beberapa informan melalui proses
interview. Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan
berbagai informasi perihal peran strategis Sukadana
pada abad ke-19. Wawancara dilakukan dengan memilih
narasumber yang menguasai keilmuan sesuai dengan
topik penelitian. Dalam hal ini, peneliti dapat mengajukan
pertanyaan kepada informan tentang fakta mengenai topik
penelitian. Pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini
adalah Sejarawan, Budayawan, dan Tokoh Masyarakat.

Pelaksanaan Penelitian
Menurut Kuntowijoyo (2013:69), penelitian sejarah
memupunyai lima tahap, yaitu pemilihan topik, pengumpulan
sumber, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi:
analisis dan sintesis, dan yang terakhir ialah penulisan
(historiografi). Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu
pada proses metodologi penelitian sejarah, yaitu:
10 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

1. Pemilihan Topik
Sebagai langkah awal dalam penelitian ini, peneliti melakukan
persiapan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa di Sukadana pada masa lalu yaitu dimulai dari
pemilihan topik dan aspek-aspek lainnya. Menurut Kuntowijoyo
(2013:70) pemilihan topik didasarkan pada kedekatan emosional
dan kedekatan intelektual. Dua syarat ini, subyektif dan obyektif,
sangat penting karena peneliti akan bekerja dengan baik jika merasa
senang dan mampu. Alasan pemilihan topik dalam penelitian ini
sesuai dengan program pemerintah yakni memperkuat jati diri
sebagai negara maritim sehingga topik penelitian ini yaitu sejarah
maritim.

2. Pengumpulan Sumber (Heuristik)


Pengumpulan sumber atau heuristik merupakan langkah awal
yang dilakukan peneliti dalam upaya mencari, menemukan dan
mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber informasi yang
diperlukan dari sumber-sumber sejarah. Sumber yang ditemukan
harus relevan dengan permasalahan penelitian sehingga dapat
menceritakan secara langsung maupun tidak langsung terkait
aktivitas manusia pada periode yang telah lalu. Kegiatan peneliti
untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber
sejarah dalam penelitian dengan menggunakan literatur (sumber
tertulis). Pada tahap ini, peneliti mencari dan mengumpulkan
sumber tertulis berupa Arsip-arsip VOC dan catatan kontrolir.
Dalam pengumpulan sumber ini, peneliti menggunakan teknik
studi kepustakaan dan studi dokumentasi dengan mengunjungi
ANRI dan PNRI di Jakarta serta langsung terjun ke lokasi penelitian
yaitu Sukadana.

3. Kritik
Setelah berbagai sumber berhasil dikumpulkan, peneliti tidak
langsung menerima dengan begitu mudah yang tercantum dan
tertulis pada sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber sejarah
Pendahuluan | 11 

mengenai Sukadana pada abad ke-19 yang telah ditemukan akan


diteliti lebih lanjut baik berupa konten tulisan maupun bentuknya
yaitu dilakukannya kritik internal dan eksternal. Tahapan ini lebih
dikenal sebagai proses kritik sumber yang merupakan proses
analisis terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh bisa dikatan
relevan dengan masalah, baik sumber tulisan maupun lisan. Kritik
internal dilakukan peneliti untuk melihat kelayakan konten dari
sumber-sumber Arsip Negara dan catatan kontrolir mengenai
Sukadana pada abad ke-19 yang telah didapatkan dan selanjutnya
dijadikan bahan penelitian dan penulisan. Sedangkan kritik
eksternal digunakan peneliti untuk melihat sumber-sumber yang
ditemukan bukan dari kontennya, akan tetapi sumber tersebut
merupakan sumber yang sejaman atau sumber primer yang dilihat
dari tahun pembuatannya. Dalam proses kritik eksternal, peneliti
melakukan uji kelayakan terhadap sumber lisan maupun literatur.
Baik itu tahun penerbitan sumber tertulis maupun bentuk fisik
sumber tertulis.

4. Interpretasi (Penafsiran Sumber)


Peneliti memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber
arsip negara dan catatan kontrolir mengenai Sukadana abad
ke-19 yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung.
Dalam tahap ini, peneliti membuat deskripsi, analisis kritis
serta pemilahan fakta-fakta mengenai peran strategis Sukadana.
Kegiatan penafsiran dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta
dan data dengan konsep dan teori yang telah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya. Peneliti juga memberikan makna terhadap
fakta dan data kemudian disusun, ditafsirkan, dan dikorelasikan
satu dengan yang lain. Fakta dan data yang telah diseleksi dan
ditafsirkan menjadi ide pokok sebagai kerangka dasar penelitian.
Dalam kegiatan ini, peneliti memberikan penekanan penafsiran
terhadap fakta dan data yang diperoleh dari sumber-sumber
primer dan sekunder yang berkaitan dengan peran strategis
Sukadana pada abad ke-19.
12 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

5. Historiografi
Kegiatan terakhirdalam penelitian ini ialah melaporkan
seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Dalam tahap ini seluruh kemampuan peneliti dikerahkan,
bukan hanya kemampuan teknis penggunaan kutipan-kutipan
dan catatan-catatan dari sumber Arsip Negara, catatan kontrolir,
dan wawancara mengenai peran strategis Sukadana pada abad
ke-19, tetapi yang terutama ialah pengguanaan pikiran-pikiran
kritis dan analisis sehingga menghasilkan sintesis dari seluruh
hasil penelitian atau dalam suatu penemuan utuh. Sistematika
penulisan dibagi kedalam lima bagian yang memuat pendahuluan,
gambaran umum wilayah Sukadana, perdagangan di Sukadana
abad ke-19, pembahasan, dan terakhir adalah kesimpulan.
Penggunaan metode historis dalam penelitian didukung
juga dengan pendekatan interdisipliner, dalam hal ini sebagai
alat bantu dalam menganalisis suatu permasalahan. Pendekatan
interdisipliner adalah pendekatan yang menggunakan disiplin
ilmu sosial secara berimbang, tanpa ada yang dominan. Oleh
karena itu, penelitian ini memerlukan ilmu bantu, yaitu ekonomi,
politik dan geografi.
Peranan ilmu bantu dalam penelitian ini, yaitu:
a. Ekonomi, konsep ekonomi dalam penelitian ini digunakan
untuk menjelaskan mengenai transaksi perdagangan yang
terjadi di Sukadana sebagai daerah transito perdagangan
baik dari timur maupun barat Nusantara.
b. Politik, bahasan utama penelitian ini adalah mengenai
peran strategis Sukadana sebagai daerah transito
perdagangan baik dari timur maupun barat yang terletak
pada jalur pelayaran dan perdagangan di Nusantara.
Maka kacamata politik harus digunakan untuk mengkaji
mengenai persaingan dalam merebut daerah perdagangan.
c. Geografi, konsep geografi diperlukan dalam penelitian
ini karena terdapat penjelasan mengenai lokasi penelitian
yaitu Sukadana yang terletak pada jalur pelayaran dan
Pendahuluan | 13 

perdagangan di Nusantara. Selain itu, konsep kewilayahan


Sukadana perlu dikaji untuk mengetahui peran strategis
Sukadan sebagai daerah transito perdagangan (salah
satunya dari wilayah pedalaman) pada abad ke-19.

H. Sistematika

Penelitian tentang peran strategis Sukadana pada abad ke-19


merupakan suatu penulisan sejarah sehingga untuk memudahkan
dalam memaparkan mengenai keberadaan dari jalur perdagangan
serta segala sesuatu yang berhubungan dengan Sukadana, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

1) Bab I : PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang memaparkan latar
belakang masalah penelitian yang diangkat oleh peneliti.
Selain itu, pada bagian ini juga terdapat rumusan masalah,
tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, ruang
lingkup penulisan dan manfaat penelitian serta sistematika
dari penulisan juga dimuat pada bab pendahuluan.
2) Bab II : GAMBARAN UMUM WILAYAH
Merupakan penjelasan mengenai letak geografis wilayah
Sukadana pada abad ke-19.
3) Bab III : PERDAGANGAN DI SUKADANA PADA ABAD
KE-19
Merupakan hasil penelitian dengan sub bab 1.)
Perdagangan di Sukadana sebelum dan sesudah Traktat
London (1800-1828), 2.) Perdagangan pada masa “Nieuw
Brussel” (1828-1845), dan sub bab 3.) Perdagangan pasca
“Nieuw Brussel” (1845-1900)
4) Bab IV : KESIMPULAN
Bab ini merupakan bab terakhir yang akan mengungkapkan
kesimpulan dan juga saran dari penelitian yang telah
dilakukan.
BAB II
GAMBARAN UMUM

A. Keadaan Geografis

Sukadana merupakan daerah yang berada dalam wilayah


administratif Kabupaten Kayong Utara4. Menurut Undang-undang
RI No 6 Tahun 2007 dan Surat Mendagri No. 135/439/SJ Tanggal
27 Februari 2007, luas wilayah Kabupaten Kayong Utara adalah
4.568,26 km2. Luas wilayah ini relatif kecil jika dibandingkan
wilayah Kabupaten / Kota di Kalimantan Barat.
Secara geografis, Kabupaten Kayong Utara berada di sisi selatan
Provinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0°43’5,15’’
Lintang Selatan - 1°46’35,2’’ Lintang Selatan dan 108°40’58,88’’
Bujur Timur - 110°24’30,50’’ Bujur Timur. Untuk Sukadana sendiri
berada pada posisi 1°08’00’’ Lintang Selatan - 1°20’00’’ Lintang
Selatan dan 109°52’24’’ Bujur Timur - 110°09’48’’ Bujur Timur.
Sebagian besar daerah Kabupaten Kayong Utara, salah
satunya Sukadana,terdiri atas tanah kuarter (322.040 Ha atau

4 Saat proses pemekaran, setiap kecamatan mengajukan nama untuk diusulkan sebagai
calon nama kabupaten baru. Kecamatan Sukadana mengusulkan nama Muara Palung,
Kecamatan Pulau Maya juga mengusulkan nama yang sama yaitu Muara Palung.
Kecamatan Teluk Batang mengusulkan nama Kayong Utara, dan Kecamatan Simpang
Hilir mengajukan nama Matan Raya. Pencabutan undi dilakukan dua kali. Pada
penarikan yang pertama keluarlah nama Kayong Utara. Kemudian dilakukan lagi
penarikan yang kedua, dan lagi lagi keluar nama Kayong Utara. Sehingga panitia
menetapkan Kayong Utara sebagai nama kabupaten yang akan diusulkan ke tingkat
lebih lanjut (Berdasarkan pernyataan Andi Rahman, Ketua Tim Pemekaran Kecamatan
Pulau Maya).

15 
16 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

76,30%), intrusif dan plutonik asam (68.145 Ha atau 16,14%),


efusif tak dibagi (24.825 Ha atau 5,88%), intrusif dan plutonik basa
menengah (6.325 Ha atau 1,50%). Luas wilayah Sukadana saat ini
mencapai 1.027,07 km2.
Menurut Woordenboek (Veth, 1869: 362) Sukadana merupakan
daerah kaya yang berada di bawah salah satu Panembahan,
di bagian barat Kalimantan. Sukadana di sebelah timur laut
berbatasan dengan Simpang, sebelah tenggara dan selatan
berbatasan dengan Matan dan sebalah barat berbatasan dengan
tepi laut. Luas wilayah Sukadana sepanjang jalan masuk Simpang
sampai dengan batas Sungai Siduk.
Mengenai daerah Sukadana (termasuk Kepulauan Karimata)
digambarkan Barth, yang batas bagian baratnya adalah laut, sedang
bagian daratannya dibatasi oleh daerah Simpang (di sebelah utara)
dan daerah Matan (sebelah Selatan dan Timur). Bentuk daerah
ini semacam jajaran genjang, dimana Kuala Melia, Pegunungan
Palungan (asal dari Sungai Melia), belokan arah barat Sungai
Siduk, menjadi titik-titik sudutnya.
Sedang batas resmi afdeeling ini adalah:
• Bagian utara : Sungai Melia
• Bagian timur : Sungai Siduk dan belokan arah barat dari
padanya
• Bagian selatan: Sungai Siduk dari belokan arah baratnya
hingga muaranya
• Bagian barat : garis pantainya.

Veth dalam Borneo Wester-Afdeeling (1854: 128-129)


menggambarkan bahwa Sukadana merupakan daerah pesisir
pantai di Kalimantan Barat dengan pasir halus yang disekitarnya
memanjang perbukitan yang indah. Adanya kawasan perbukitan
di Sukadana menyebabkan tanah di kawasan ini termasuk
kategori tanah yang subur dan cocok sebagai kawasan pertanian
dan dulu terkenal sebagai penghasil lada terbesar di Kalimantan.
Letak geografis yang strategis dengan daerah pesisir pantai dan
teluk yang baik sampai di sepanjang tepi sungai menyebabkan
Gambaran Umum | 17 

Sukadana dulu terkenal sebagai kawasan perdagangan sehingga


menjadikannya sebagai kawasan pasar terbesar di Kalimantan
Barat.
Sungai di Soekadana berukuran 80 kaki dan beberapa sedimen
dalam yang banyak menghasilkan udang. Di sekitar tepian sungai
banyak terdapat pepohonan sehinggasungai bisa menahan banyak
usaha. Di sekitar sungai terdapat lapisan rawa yang terletak di
1°10’ Lintang Selatan terbentang luas dengan tingginya 3.000 depa
dan lebar 1.200 depa yang digunakan penduduk untuk mengairi
tanah persawahan. Pada bagian utara dibatasi oleh Tanjung Malain
dan bagian selatan dibatasi oleh Tanjung Grenot yang membentuk
belahan bumi memanjang dan dikelilingi oleh bukit-bukit yang
bercahaya lembut yang ditutupi pepohonan. Sungai utama yang
mengalir ke teluk ini adalah Mendauw, Simpang dan Sukadana.
Penghasilan terbesar daerah Sukadana merupakan kebutuhan
sehari-hari penduduk seperti beras, tepung sagu, akar-akaran,
sayuran dan buah-buahan. Sampai saat ini, menurut (Kabupaten
Kayong Utara dalam Angka 2017), Sukadana masih menjadi
daerah yang paling banyak produksi bidang pertanian. Padi masih
menjadi komoditi utama di bidang pertanian, disusul peringkat
kedua terbesar setelah padi adalah komoditi ubi kayu. Sedangkan
dari hasil perikanan laut seperti ikan, udang dan kura-kura dalam
jumlah yang besar.
Perkembangan daerah Sukadana dalam jalur pelayaran dan
perdagangan semakin menarik para pedagang dengan banyaknya
kedatangan kapal-kapal Nusantara dan kapal-kapal asing ke
Sukadana dengan membawa barang dagangan untuk dipasarkan.
Barang-barang komoditi yang dipasarkan berupa beras, tepung
sagu, lada dan hasil perikanan. Selanjutnya digambarkan oleh
Veth (1869: 362-363), Sukadana mengekspor ke Jawa terdiri dari
rotan, lilin, trasi dan kulit kayu, dan impornya menjadi tembakau,
linewrap, tembaga dan tembikar. Ke Singapura, sarang burung,
rotan, getah perca, kura-kura dan damar diekspor, dengan imbalan
Sukadana membawa sarung tangan, tembaga, tanah dan besi,
koin sutra dan perak. Sukadana adalah salah satu pasar opium
18 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

terpenting di seluruh Nusantara. Selain itu, perdagangan didorong


dengan adanya barang seperti kamper, kayu, emas debu, berlian,
timah, benzoin, darah naga dan rotan.
Tidak sedikit para pedagang yang kemudian tertarik untuk
dating dan bermukim di Sukadana. Adanya para pedagang dari
luar Sukadana dapat memberikan arti penting dalam proses
perkembangan Sukadana sebagai daerah transito pelayaran dan
perdagangan Nusantara ke Malaka maupun pedagang asing yang
masuk ke Nusantara.

B. Keadaan Penduduk dan Pola Permukiman

Pada tahun 1855, 10 desa didiami oleh 1.044 jiwa, tanpa


penduduk Kepulauan Karimata, termasuk: 55 keluarga kerajaan,
17 pengikut, 727 Melayu, 193 penghuni pegunungan, 25 orang
Jawa, 18 orang Bugis, 1 orang Bali dan 6 orang Cina (Veth, 1869:
362). Berikut, oleh penguasa sipil Sukadana, setelah 24 November
1855 dibentuk keadaan penduduk yang akurat menunjukkan
penduduk dan tanah penghuninya.
Gambaran Umum | 19 

Tabel 1. Jumlah Penduduk Sukadana Berdasarkan Pekerjaan dan Etnis


tahun1855
Jumlah rumah tangga dan Jumlah penduduk dan tanah yang sama
pekerjaan mereka
Keluarga kerajaan

Keluarga kerajaan
Pengikut keluarga
Tanpa pekerjaan
Nama

pegunungan
Pedagang

Penduduk
Pengrajin

kerajaan
Pendeta
Nelayan
Kampung

Jumlah

Melayu

Jumlah
Petani

Bugis
Jawa

Cina
Bali
Sukadana 12 16 2 7 31 2 7 77 50 19 319 12 21 10 1 6 438
Pulau Dato - 9 - - - - - 9 - - 14 3 3 1 - - 21
Pekajangan - 6 - - - - - 6 - - 24 - - - - - 24
Setegar - 9 - - - - - 9 - - 55 - - - - - 55
Taba - 16 - 2 - - - 18 - - 98 2 - 5 - - 105
Rawang
Mulia - 30 - 2 2 - - 34 - - 179 - 1 2 - - 182
Pelirangan - 10 - - 10 - - 20 - - 13 110 - - - - 123
Sedahan, - 5 - - - - - 5 - - 4 17 - - - - 21
juga
Pasedahan
Senebing - 7 - - - - - 7 - - 21 22 - - - - 43
Lobang - 6 - - - - - 6 - - - 32 - - - - 32
Tedung

Jumlah 12 114 2 11 43 2 7 191 50 19 727 198 25 18 1 6 1044

Di bawah keluarga kerajaan dihitung Syarif Ismail (juga Tengku


Muda) dan 8 anaknya. Dia adalah ibu sepupu dari penambahan.
Nampaknya begitu, 3/5 penduduk petani; - memang pertanda
positif, di suatu negara, itu bukan dayak.
Selanjutnya jumlah penduduk pada tahun 1891 menjadi 2.311
orang, terdiri dari orang Melayu, yang disebut “Orang Bukit”
atau penduduk pegunungan, beberapa orang Jawa, Bugis dan
Cina (Lith, 1896: 643). Penduduk Sukadana dapat dibagi menjadi:
penduduk pegunungan dan orang asing.
1. Penduduk pegunungan, orang bukit, adalah garis keturunan
yang sama dengan Matan dan berada di empat dusun,
Pelirangan, Sedahan, Senebing dan Lobang Tedung.
2 Perilaku orang asing, yang harus dipahami semua bangsa
lain, dilihat setelah berdirinya kerajaan “Nieuw Brussel”, pada
20 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

tahun 1828, telah menjadi Siak (termasuk keluarga kerajaan),


Minang (penghuni Tamba-Rawang), bangka, lingga dan
melayu lainnya; apalagi orang bugis, jawa dan cina. Penduduk
Mulya sebagian besar terdiri dari Simpang.

Masalah penduduk sudah tentu berkaitan erat dengan


pemukiman. pola pemukiman penduduk yang mengarah ke pantai
dan sepanjang aliran sungai sehingga memudahkan hubungan
komunikasi dengan daerah lain.

a. Suku Dayak
Suku Dayak di Kabupaten Ketapang dapat dikelompokkan
daya Kelemantan yang tersebar pada wilayah aliran sungai.
1. Dayak Pesaguan, yang berada di wilayah Sungai Pesaguan.
Sub suku dayak Pesaguan mendiami wilayah di sekitar
aliran sungai pesaguan. Beberapa diantaranya adalah desa
kemuning (biutak) di Kec. Matan Hilir Selatan. Di Kec.
Tumbang Titi seperti Jelayan, Tumbang Titi, Lalang Panjang,
Batumas, Beringin, Serengkah. Kec. Malyu rayak dan Kec.
Pemahan. Menurut Yan Sukanda dan F. Raijin (dalam Dinas
Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga, Kabupaten Ketapang,
2010:36) Dayak Pesaguan adalah sebuah kelompok masyarakat
yang tinggal di sepanjang sungai pesaguan bagian hulu dan
sekitarnya termasuk anak-anak sungai. Ada kelompok kecil
yang termasuk wilayah pemukiman mereka antara lain 1)
Kelompok Sorongkah Onam (pesaguan hulu) salah satu
daerah tua dan berpengaruh di seluruh kelompok masyarakat
dayak pesaguan, 2) kelompok Kekubang Jelayan (pesaguan
tengah) mendiami wilayah sekitar sungai pesaguan mulai
dari Tumbang titi sampai dengan sukadamai, 3) Kelompok
Batu tajam mendiami wilayah sebelah barat Tumbang titi, 4)
Kelompok Mahawa (pesaguan kanan) mendiami daerah paling
selatan dari Kec. Tumbang Titi yang berbatasan langsung
dengan Kec. Jelai hulu.
Gambaran Umum | 21 

2. Dayak Jelai, yang mendiami sungai Jelai. Dayak Jelai mendiami


sungai sepanjang sungai Jelai, yang berada di Kec. Jelai Hulu,
Manismata, Marau, Airupas dan Singkup. Sub suku dayak
yang mendiami sungai jelai ini sering disebut dayak Jelai
Tembiruhan. Jon Bomba (dalam Dinas Kebudayaan Pariwisata
dan Olahraga, Kabupaten Ketapang, 2010:37) Dayak Jelai
dipersimpangan jalan mengelompokkan dayak jelai menjadi
sebagai berikut: 1) kusik pakit, sungai kiriq, pasir mayang,
Arai duaq, Benatuq, (Bindai), 2) ambui, pangkalan pakit,
tanjung, pengerawan, sungai jering, parigiq (bindaq), 3) riam,
asam buah (kabaq), 4) batu basiq, kusik bulin, setipaiyan,
semantun, tembiruhan, batu menang, kusik huban (oiq), 5)
terusan, airupas, dibau, pulai laman, sungai resak, sungkai,
sifat, pakit, selebag, punggur (candag), 6) tanjung jalai,
semanjawat, pasir linggis, karangan dangin, kabag barirama,
7) deranuq, selingan, sengkuang merabung, bayam, sungai
lalang, (puang).
3. Dayak Kendawangan, yang mendiami sungai pesaguan.
Dayak Kendawangan termasuk sub suku dayak pesisir karena
letak wilayahnya di sungai Kendawangan relatif dekat dengan
pesisir pantai. Diantaranya adalah Kendawangan kanan.
Dayak Jalai Sekayuk dan Kendawangan seakar, kedua sub
suku ini diberi nama setelah 2 sungai utama yang melewati
daerah pemukiman mereka, yaitu sungai Jalai dan sungai
Kendawangan.
4. Dayak Kayong, yang mendiami Sungai Muara Kayong. Dayak
Kayong mendiami sungai Muara Kayong di Kec. Nanga
Tayab. Bahasa dayak Kayong sangat terpengaruh dengan
bahasa melayu tayab, dayak delang kalteng karena wilayah
ini berbatasan dengan Kalteng. Dayak Kayong seperti halnya
sub suku dayak lainnya juga memiliki adat yang hampir sama
seperti babukung, betipa dan juga melakukan perladangan
berpindah pada natai natai (lahan kering). Dayak Kayong juga
dikenal memiliki ilmu yang tinggi, beberapa pedesaan seperti
22 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

bayangan, cahali, teluk parak juga termasuk daerah yang dulu


terisolir tetaoi kini sudah terbuka.
5. Dayak Simpakng, yang mendiami sungai Kualan di Kec.
Simpang Hulu. Dayak Simpakng berasal dari tambak rawang
(sekarang desa Gunung Sembilan, Kec. Sukadana). Mereka
pindah dan masuk ke dalam hutan menyusuri sungai untuk
menghindari dari serangan musuh (Belanda) pada waktu itu
menyerbu Tambak Rawang hingga sampailah mereka sekarah
di daerah Kroyab, mereka mencari daerah baru menyusuri
sungai. Semakin kearah hulu menemukan banyak anak cabang
sungai sehingga mereka menamainya dengan nama Simpakng.
Mereka menyebut Benua Simpakng sebagai kampong halaman
mereka. Wilayah ini terdiri dari yaitu: 1) wilayah sungai banjur
yang meliputi bakung, banjur, dan gerai, 2) wilayah sungai
Semandang yang meliputi kukot komi, sapo sajan, pantong
parugung, setutuh deraman, peninjau sungai marau, 3)
wilayah kualan meliputi piyansak lemayong, kujau belonseh,
langkar, kek kayong, dakan kayu bunga, pendaun patobang,
meraban melawi, 4) wilayah lebai meliputi kedabang pelanjau,
sekucing bantelingin.
6. Dayak Kerio, yang mendiami sungai Kerio di Kec. Hulu Sungai.
Suku ini bertutur dalam bahasa Krio. Dayak Kerio tersebar di
12 kampung yang terbagi dalam 5 desa yaitu mariangin, desa
Sengkuang, desa Menyumbung, desa Senduruhan, Tanung
Lambai, Tanjung Bunut, Sungai Bengaras, Congkokng baru,
kenyabur yang berdekatan dengan sungai nanga mahab
Sekadau. Suku dayak Kerio ini juga sebagian berasal dari
Sekadau. Dayak Kerio diyakini merupakan tempat asal Raja
Ulu Aik yang berlokasi di Pupu Tagua. Desa Sengkuang yang
didiami oleh suku dayak Kerio merupakan desa tua. Beberapa
situs sejarah seperti batu lingga yang juga diseut Butuh
Sengkumang yaitu tokoh legenda masyarakat Kerio.
7. Dayak Bihak, yang mendiami aliran sungai Bihak. Dayak
Bihak wilayahnya lebih ke pedalaman. Mereka berhubungan
erat dengan sub suku dayak lainnya seperti dayak kerio dan
Gambaran Umum | 23 

desa-desa di sepanjang riam Makita. Ciri khas yang paling


tampak adalah desa-desa yang berada di pedalaman. Mulai
dari penggunaan adat, adanya pempaguk (patung) pada
perkampungan, jurung dan rumah adat dayak yang memiliki
arsitektur khas. Dayak Bihak juga memiliki tradisi adat
manganjan, upacara pemberkatan padi dan membersihkan
kampong.
8. Dayak Manjau, yang mendiami di Kec. Matan Hilir dan Kec.
Sukadana. Sering juga disebut Dayak Satog, Dayak Siduk,
Dayak Tolak dan ada juga yang menyebut Dayak Kecurab.
Nama-nama tersebut adalah nama dusun dan desa tempat
pemukiman dayak di wilayah ini. Mereka mendiami aliran
sungai tulak. Bebeapa dusun asli yang mereka diami misalnya
Laman satong, kecurab, manjau, nekdoyan, laman randau
(kepayang). Pendapat lain suku dayak manjau ini berasal
dari Sukadana, yaitu desa Gunung Sembilan yang dulunya
bernama Tambak Rawang. Desa yang berdekatan dengan
pantai di Sukadan ini diyakini merupakan asal muasal suku
dayak Manjau dan Gorai.
9. Dayak Semandang dan Kualan, yang mendiami wilayah Kec.
Simpang Hulu. Dayak Kualan dan Semandang Simpakng
termasuk gorai berdiam di Kec. Simpang Hulu dan Simpang
Dua. Beberapa dusun dan pedesaan yang termasuk di wilayah
ini antara lain lelayang, gemusuk, merebau, mungus, petebang,
pendaun, belantik, balai pinang, taha, kayu bungu, poso,
kebodang, loko dan botong. Ada perbedaan sedikit antara
dayak Semandang dan dayak Kualan yaitu pada aksen dalam
berbicara. Tempat yang pernah dihuni yang menjadi tempat
tinggal Siak Benggang dan Tobing layar meliputi gunung
tujuh (sekarang telok batang), maya karimata keturunan Jawa,
sukadana, tambak rawang batu bekajang, labai (berumbun),
labai lawai (sungai labai), sungai kualan, sungai gensaok
(hilir meraban) munggok Sanggau, pindah ke pangkut hilir
kampong petebang, pindah ke mentawa.
24 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

10. Dayak Laur, yang mendiami sungai Laur yang bermuara


di sungai Sandai. Dayak Laur yang menjadi mayoritas
masyarakat di Kec. Sungai Laur masih memegang teguh tradisi
peninggalan leluhur mereka. Agama katholik masih menjadi
mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Dayak Laur.
Beberapa desa dan dusunnya antara lain Sepotong, semampau,
kepari, sungai daka, kalam, sungai bengaras, entinap, tanjung
beringin, landau limat, merabu yang berbatasan dengan
Sekadau sehingga pengaruh dayak Sekadau juga Nampak
pada ritual, bahasa dan bertutur. Di tanjung maju, bahasanya
hampir mirip dengan dayak Kualan dan dayak Simpakng.
Bahasa Dayak Laur dengan istilah kerabat menggunakan
dialek Lamau.
11. Dayak Jekak, yang mendiami Randau Jekak, beberapa dusun
dan pedesaan mereka adalah Jekak Besar, Jekak Kecil dan
Bayur. Desa Muara Jekak berjarak 23 km dari Kec. Sandai dan
terletak di tepi jalan lintas provinsi trans Kalimantan. Menurut
Harita (dalam Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga,
Kabupaten Ketapang, 2010:46) masyarakat Randau Jekak
mayoritas adalah warga Dayak Jekak yang beragama Katholik.
Pemimpin wilayah disebut Manter Adat dan pemimpin rohani
disebut Manter Keramat. Sebuah keyakinan masih dipegang
teguh oleh warga Dayak Jekak di desa Randau, seperti pada
halnya keyakinan terhadap “Tinggang” yang melangkah
kekuasaan (penguasa hungambu), “Jatta” yang melambangkan
penguasa di bumi dan kehidupan yang merupakan kekuasaan
Dwi Tunggal.
12. Dayak Gorai, yang mendiami Desa Gema, Dusun Temiang,
Gerai Mato. Konon Dayak Gorai ini meski mendiami wilayah
Kec. Simpang Hulu tetapi bahasanya berbeda. Bahkan
bahasanya mirip dengan bahasa dayak di Sepotong dan
Tanjung Bunga Kec. Laur. Menurut tokoh masyarakat Gorai
konon nenek moyang mereka berasal dari Sukadana, yaitu di
desa Gunung Sembilan atau Tambak Rawang. Bukti ini dapat
Gambaran Umum | 25 

dilihat dari arsitektur pintu dan bentuk rumah yang mirip


dengan arsitektur masyarakat dayak Sukadana tempo dulu.

b. Suku Melayu
Melayu di wilayah ini dikenal dengan nama Melayu Kayung.
Menurut beberapa tradisi lisan (D. Has 2005: 4) seperti kisah Tuk
Upui dan Tuk Bubud yang dipercaya sebagai nenek moyang
Tanah Kayung, dengan demikian Melayu maupun Dayak adalah
dari keturunan yang sama. Sementara dari kisah danau Pateh
Inte dan Demung Juru menjelaskan bahwa terpisahnya orang
Darat (Ulu) dengan orang Laut saat malapetaka di pemukiman
yang sekarang menjadi danau Demung Juru dan Pateh Inte yang
terletak di desa Ulak Medang Kecamatan Muara Pawan. Orang-
orang mengungsi ke hilir, inilah yang menjadi cikal bakal Melayu
Kayung. Sedangkan yang mengungsi ke hulu merupakan cikal
bakal orang Darat (Ulu) saat abad ke-18 disebut Dayak oleh orang
Inggris.
Kemudian terjadi percampuran dengan penduduk pendatang
karena orang Melayu menetap di pesisir pantai. Oleh karena
itu, saat ini Melayu Kayung merupakan gabungan dari beberapa
suku, antara lain: pendatang dari Jawa (Prabu Jaya), pendatang
dari Palembang (Sang Maniaka), pendatang dari Bugis (Daeng
Manambon), pendatang dari Brunai (Raja Tengah), pendatang dari
Arab, pendatang dari Siak (Tengku Akil), dan para pendatang lain
yang bergabung dan mengaku dirinya Melayu Kayung (D. Has
2005: 6).

c. Suku Bugis
Di Sukadana terdapat desa Pangkalan Buton yang di duga
merupakan tempat pertama kali suku Bugis datang di Kalimantan
Barat. Kampung Bugis tersebut didirikan seorang kerabat
Kesultanan Pontianak, Syarif Achmad yang mempersunting Daeng
Madiana, seorang gadis Bugis (Sudarto 2010: 51).
Berdasarkan Het Kronijk van Sambas en Soekadana, Sultan
Mohamad Tsafiudin adalah saudara Ratu Suria Kusuma, yang
26 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

menikah dengan Raja Tengah, anak Pangeran Brunai. Raja Tengah


menundukkan Radin Soleiman. Dia mendapat gelar Sultan
Mohamad Tsafiudin di Sambas, membawa gelar pamannya (saudara
ibu) untuk Sukadana. Sultan Mohamad Tsafiudin ke Sukadana
meneruskan Sultan Muhamad Zainudin, yang meneruskan Putri
Kasumba. Menikahi Pangeran Bugis Opu Daeng Manambon, yang
menjadi pangeran Mampawa, karena Putri Kasumba turunan dari
sisi ibu dari penguasa Mempawah, yang disebut Panembahan
Sangkawak.
Opu Daeng Manambon bersama empat saudara laki-laki dari
satu ibu dan satu ayah; yang tertua adalah Opu Daeng Prani,
yang merupakan ayah dari daeng Kamboja, raja kerajaan Riau,
dan bergelar Marhum Jangkut; yang kedua Daeng Menambon,
yang bergelar Panembahan Adi-jaya dari Mempawah; ketiga Opu
Daeng Mario, pertama kali dibawah raja Riau dan memiliki dua
anak perempuan, yang tertua Ongku Puan dan termuda Ongku
Fatimah; Opu Daeng Calak yang keempat, yang, setelah kematian
Daeng Mario, menggantikannya sebagai raja muda Riau dan
memiliki tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki. - Putri
tertua adalah Tengku Putih dan menikahi Sultan Abdul Jalil, yang
bergelar Marhum di Baruh, di Riau. Yang oleh Sultan Mahhmud,
diangkat menjadi pangeran (Baginda Ratu). Putri kedua Opu
Daeng Calak adalah Tungku Hitam, yang menikahi Tuan Said.
Putra Opu Daeng Calak disebut Raja Haji, menjadi Daeng Kamboja
raja muda Riau. Raja Haji bergelar Marhun di telok Katapang.
Putri ketiga Daeng Calak bernama Raja Halimah dan menikahi
seorang bugis bernama Daeng Langa.
Saudara laki-laki Opu Daeng Menambon yang kelima bernama
Opu Daeng Pamasih, yang bergelar Pangeran Mangku-Bumi di
Sambas dan menikahi seorang adik perempuan dari Marhum
Adil. Ia membesarkan tiga anak, yaitu Amas Satia, Amas Saja, dan
Daeng Bukha (Netscher 1853: 15-16).
Gambaran Umum | 27 

d. Cina
Berdasarkan Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1895,
masyarakat Cina di afdeling Soekadana dipimpin oleh seorang
Laothaij5 der Chinezen bernama Hioe Thai Long. Berdasarkan data
yang telah dijelaskan dalam tabel jumlah penduduk Sukadana
pada tahun 1855, jumlah orang Cina ada 6 orang. Dengan
demikian, terjadi pertambahan jumlah penduduk Cina selama 40
tahun sekitar 100-200 orang.
Menurut Ketua Majelis Umat Khong Fu Tsu Apeng Sanjaya,
marga-marga Cina yang tercatat pada tahun 2007 ada 18 marga,
antara lain: Lim, Tan, Lie, Tio, Can, Ng, Kang, Iap, Heng, Huang,
Jie, Lai, Teng, Io, Cua, Kho, Ciu, dan Cu (Ikhsan 2007: 32).

5 Laothaij atau Laothai (M: laoda) adalah kepala pemukiman kecil Cina, lihat Heidhues
2003: 280.
28 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19
BAB III
PERDAGANGAN DI SUKADANA PADA
ABAD KE-19

A. Perdagangan di Sukadana sebelum dan sesudah Traktat


London (1800-1828)

Kerugian perdagangan antara Jawa dan Borneo mungkin


menjadi alasan mengapa pemerintah Hindia Belanda memutuskan
mencoba membuka pelabuhan Sukadana pada tahun 1797. Sebagai
perwakilan untuk pemerintahan, ditunjuk Mas Jurit dengan gelar
Pangeran Muda Jaya Kusuma, anak ke-4 Panembahan Mempawah.
Netscher (1853: 16) menyebutnya Amas Djurib. Ia diberi modal
awal untuk mulai berdagang. Tetapi rencana ini gagal dan harus
pulang ke Mempawah tanpa hasil (Veth 1854: 360-362).
Pada periode ini, Sultan Matan mengabaikan Sukadana dan
Sultan Pontianak. Dengan kehancuran Sukadana, perdagangan
seluruh kerajaan Matan berantakan. Akibat dari jatuhnya
Sukadana, tempat dagang lainnya di muara-muara sungai Matan,
khususnya di Mendouw, ditinggalkan oleh para pedagang. Sisa
penduduknya tinggal sedikit dan miskin, sehingga tidak ada
pilihan lain akhirnya menjadi bajak laut. Mereka mulai bekerjasama
dengan Rayat (Orang Laut)6 dari Belitung dan perampok asing
yang mencari tempat persembunyian di sini (Veth 1854: 360).

6 Orang Laut (orang Portugal menyebutnya: Cellati atau Sallati, dari kata Melayu salat
atau selat) kadang-kadang disebut Rayat, dalam arti bawahan dari kerajaan Johor,
dan nama terakhir ini disamakan oleh orang Melayu dengan bajak laut. Terutama

29 
30 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Di Kampung Palembang Kepulauan Karimata Besar, beberapa


penduduk Cina menetap sejak awal abad ini. Setelah tahun 1808,
hanya sedikit pondok-pondok yang dihuni oleh orang-orang
Rayats tersisa. Pekejaan mereka mencari Tripang yang setiap tahun
menghasilkan 200 pikul serta mencari madu, lilin, dan sarang
burung. Hasil dari sarang burung harus dibagi dengan raja-raja
Matan dan Simpang. Pekerjaan tersebut membuat mereka bertahan
hidup, tetapi karena kekuarangan pendapatan, mendorong mereka
bergabung dengan bajak laut (Veth 1854: 362).
Untuk razia mereka hanya memiliki dua kapal yang masing-
masing memiliki 2 meriam. Mereka menggunakan kapal ini
bersama dengan Orang Laut dari Belitung melakukan perampokan
di Pantai Utara Jawa setiap tahun saat angin muson Timur.
Pimpinan mereka Batin Galang,7 kabarnya dilindungi oleh raja-raja
Matan dan Simpang. Putranya Gelon dan Singon, atau adiknya
Ringom, menjadi panglima kapal ini. Oleh karena pernikanahan
anak perempuan Ringom, Bica, dengan Uwan Ismail, mereka
memiliki hubungan dengan perampok dari Kendawangan.
Putrinya Gelon, Mas Addi kawin dengan Raden Nalar, putra
Panembahan Simpang, terbunuh oleh Inceh Ali pada tahun 1813,
sebagai bukti mayatnya dibawa ke Pontianak (Veth 1854: 362-363).
Sementara Barth (1896: 7) mengawali catatannya tentang
pengembalian hak negeri Belanda atas koloninya sejak 1 Januari
1803 yang berlaku setelah ditandatanganinya traktat London pada
13 Agustus 1814, termasuk Borneo Barat. Kedatangan pejabat
dari Komisaris Jendral Belanda George Muller yang ditugasi
berbicara dengan raja-raja Borneo Barat dan Riau serta menduduki
Kepulauan Karimata, mendahului Mayor Farquhar (Residen
Malaka yang oleh Gubernur Pulau Pinang diangkat sebagai wakil

tinggal di Kepulauan Riau, juga tersebar di Bangka, Belitung, Pantai Barat Borneo, dan
Kepulauan Karimata. Lihat Pieter Johannes Veth, Ibid., hal. 345 – 349. Sedangkan AB
Lapian merujuk David E. Sopher menjelaskan dalam hubungan dengan Kerajaan Riau
dan Johor, Suku Laut ini dikenal dengan nama ‘Rakyat’, untuk membedakan mereka
dari rakyat lainnya mereka juga disebut Rakyat Laut. Lihat AB Lapian, Orang Laut Bajak
Laut Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu,
2011, hal. 109.
7 Batin adalah gelar pemimpin Orang Laut.
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 31 

Inggris untuk membuat perjanjian-perjanjian dengan raja-raja


Borneo Barat, Sumatra Timur dan Kepulauan Riau), menyebabkan
perjanjian-perjanjian dengan sultan-sultan Pontianak, Sambas,
dan Mempawah diperbaharui yang isinya mengakui kekuasaan
Belanda pada awal 1819, sedangkan untuk kerajaan-kerajaan yang
terletak dibagian selatan Borneo Barat pada tahun 1822.
Hubungan ini mulai dijalin dengan pengiriman sebuah
delegasi oleh Komisaris Tobias, dengan Ketua Wan Hasan (saudara
dari Sultan Usman dari Pontianak) dengan membawa surat dan
hadiah-hadiah untuk sultan Matan, Mohammad Jamaludin, dan
untuk saudaranya Pangeran Surianingrat, yang waktu itu menjabat
perdana menteri Kerajaan Matan, sekaligus juga penguasa daerah
Simpang dengan gelar Panembahan. Komisaris itu menitik
beratkan perhatiannya kepada upaya pencegahan perompakan di
laut dan juga keinginannya untuk meneliti Kepulauan Karimata
untuk mengetahui apakah tempat ini baik untuk menjadi daerah
permukiman. Usul-usul Komisaris itu semuanya diterima oleh
raja-raja itu, hanya mereka keberatan menandatangani perjanjian
dengan segera, namun berharap agar pemberantasan perompak di
laut bisa segera dilakukan (Barth 1896: 8).
Di sisi lain, terjadi konflik antara Pontianak dan Sambas pada
periode ini. Georg Muller (1843: 21) mencatat:
Khususnya antara Sambas dan Pontianak adalah perang yang
panjang dan menghancurkan, dimana SARIF KASSIM, putra
ABDOEL RACHMAN dan Sultan Pontianak, paling disalahkan.
Untuk menghancurkan Sambas, yang dengannya dia sendiri
merasa tidak cukup kuat, SARIF KASSIM (disebut juga SAID
KASSIM) mencari bantuan dari pemerintah Eropa. Sebuah kapal
Inggris, terdampar di Karimata, dimana Sultan Sambas, telah
menjanjikan barangnya untuk Pontianak. Itu menyorot yang terakhir
menawarkan kesempatan yang menguntungkan untuk membalas
dendam. Sementara Pangeran dari Sambas (pada saat itu Pangeran
ANOM) disalahkan atas mengambil barang kapal ini, SAID KASSIM
tahu kasusnya seperti itu pada saat yang menguntungkan, bahwa
di tahun 1812 beberapa kapal Inggris tak terduga Sambas kuasai.
Dengan Pangeran ANOM, Inggris kembali pada tahun 1813
32 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

dengan kekuatan yang lebih besar, Ditaklukkan, setelah beberapa


pertempuran, akhirnya Sambas menurut daftar dan menetap di sini
dan di Pontianak. Menurut perjanjian damai tahun 1814, mereka
meninggalkan bangsa ini lagi di tahun 1816.

Lebih lanjut dikluarkan instruksi pada tahun 1818 yang isinya:


a. Menanam bendera Belanda di bangsa pangeran, memohon
perlindungan dari pemerintah
b. Pertarungan dan pemusnahan pembajakan, beban perdagangan
barang dagangan, perbaikan dan memastikan ketenangan dan
perdamaian di semua wilayah, di mana penghuni yang lemah
oleh begal yang berani dan pembunuh mereka terus-menerus
tertekan dan ditekan,
c. Beban seperti itu hanya berlaku pada orang-orang yang
menguntungkan, yang tidak mendorong mereka, dan, menurut
pengakuan mereka sendiri, jauh lebih buruk untuk perang,
dengan perlindungan dan keamanan kepemilikan dan memiliki
orang-orang mereka (Muller 1843: 21-22).

Keinginan Thomas Stamford Raffles untuk menguasai Pulau


Karimata, menyebabkan Belanda secepatnya mengirimkan utusan
ke Simpang dan Matan, Barth (1896: 9) menjelaskan:
Dua kejadian itu adalah intrik yang dilakukan oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, Gubernur Inggris di Bengkulu; dan keterlibatan
raja-raja Simpang dengan Matan dalam kegiatan perompakan di laut.
Kedatangan Belanda di Borneo Barat, seperti telah kita sebutkan,
menghalangi pelaksanaan rencana-rencana yang dibuat pemerintah
Inggris.
Rencana yang dibuat gubernur Bengkulu ini setelah mengalami
kegagalan pelaksanaannya di Banjarmasin, di arahkan ke arah
penguasa-penguasa di daerah pantai dan kepulauan, dan rencana
ini mengarah pada terjadinya ikatan perdagangan dengan Inggris.
Raffles melihat Kepulauan Karimata sebagai tempat yang bagus
untuk penimbunan barang dagangan Inggris. Barangkali berkat
adanya sikap penentangan yang terbuka yang ditunjukkan oleh raja-
raja Pontianak dan Sambas, upaya pemerintah Belanda (terhadap
Matan dan Simpang) tidak lagi terhalangi.
Sementara itu pemilikan Singapura oleh Inggris di tahun 1819
menyebabkan rencana pengadaan penimbunan barang dagang di
Kepulauan Karimata menjadi tidak penting.
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 33 

Kondisi Simpang dan Matan, yang belum terikat dengan perjanjian


dengan pemerintah Belanda, telah mendorong Raffles berpikir
mendapatkan rekan yang cocok untuk mengusahakan hubungan
dagang.
Hal lain bahwa pemerintah Belanda juga kurang waspada,
menjadikan Simpang dan Matan itu menunjukkan kesediaan
menerima tawaran Raffles.

Georg Muller dikirim sebagai utusan ke Sukadana pada akhir


tahun 1822. Selain bertugas mengusahakan agar penguasa daerah-
daerah pedalaman mau menerima perlindungan kekuasaan
pemerintah Belanda. Serta berusaha membicarakan kondisi orang-
orang Dayak yang tertindas, tidak hanya dengan para penguasa
Melayu, tetapi juga dengan para pemimpin sukunya sendiri, Ia
juga ditugasi menyelidiki bagaimana cara pengiriman barang-
barang yang diperdagangkan; baik melalui jalan darat maupun
melalui sungai-sungai.
Muller menerima instruksi pada 6 November 1822 dan berlayar
selama 2 hari dari Sambas ke Pontianak.
Di sana telah menunggu kapal sekunar “Emma” untuk membawanya
ke Matan, sementara itu pada 10 November 1822, 6 perahu perang
pribumi dengan komandan Mayor Raja Akil berangkat mengikutinya.
Ketika Muller tiba di Simpang, terlihat bahwa perundingan yang
dilakukan dengan orang-orang Inggris masih berlangsung.
Ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kedatangan kapal-kapal
Inggris ditunggu di sana; dan dengan kedatangan utusan kita itu,
utusan bisa melihat bahwa Inggris nampak tidak rela membiarkan
Belanda menanamkan kekuasaannya kembali.
Pembicaraan yang dilakukan Muller dengan Panembahan Simpang
dan Sultan Matan yang kebetulan ada di sana, menghasilkan
kesepakatan yang menjadi dasar dari kontrak-kontrak, yang akan
dibuat dengan Komisaris sendiri.
Raja-raja itu bisa mengharapkan bantuan pemerintah Belanda
untuk melindungi pelayaran, mengembangkan perdagangan dan
memberantas perompakan di laut; serta mereka menyerahkan
kekuasaan pertuanan kepada pemerintah Belanda (Barth 1896: 10-
11).
34 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Setelah terjadi kesepakatan pada tanggal 23 November


1822, dikibarkanlah bendera Belanda di depan Istana Simpang.
Kemudian bendera Belanda juga dikibarkan di kediaman Sultan
Matan. Pada tanggal 18 Desember 1822 di hadapan wakil
Mangkubumi Matan, Pangeran Jaya di Laga dan Pangeran Daeng
Cela; dilakukan pengibaran bendera Belanda di sisi kiri muara
sungai di Sukadana. Sedangkan pemancangan bendera Belanda
di Kepulauan Karimata Besar dilakukan oleh Wan Hasan (saudara
dari Sultan Usman dari Pontianak).
Demikianlah, sebagai akibat kunjungan Muller maka kekuasaan
Belanda di kerajaan-kerajaan yang ada di bagian Selatan Borneo
barat diakui dan tertanam. Pada bulan Juni 1823 kesepakatan yang
dibuat Muller dengan pemerintahan, secara defenitif di jadikan
kontrak yang dibuat komisaris Tobias pada kunjungannya ke daerah
pantai selatan, sedangkan kontrak dengan Matan dibuat oleh C. L.
Hartmann yang menggantikan Tobias setelah Tobias kembali ke
Jawa (Barth 1896: 11-12).

Setelah Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya di Pantai


Selatan Borneo, perampokan kapal-kapal yang berlayar di wilayah
tersebut masih tetap berjalan.
Dalam hal ini Raja Akil bersama Batin Galang yang merupakan
pengabdi pada pemerintahan belanda menjalankan tugas dengan
perahu-perahu mereka mencegah terjadinya perampokan. Namun
dalam hal ini Sultan Matan yang telah menandatangani kontrak
dengan pemerintah Belanda tidak menunjukkan sikapnya yang
membantu. Pada masa ketika keterbatasan dana dan kekuatan
terjadi seperti di masa itu. Sudah seharusnya kepada Sultan
Matan, Muhammad Jamaluddin diberi tindakkan karena berupaya
melakukan pelanggaran. Tindakan keras ini baru bisa dilakukan
setelah terjadinya penghinaan bendera Belanda.
Sebuah kapal Belanda terdampar di Karimata. Batin Galang
Setia Raja, yang menjalankan pemerintahan memutuskan untuk
menyelamatkan muatan sebanyak yang ada. Sultan Matan menuntut
agar muatan diberikan kepadanya, dan ketika Batin Raja menolak
tuntutan ini, ia diserang oleh 22 perahu bersenjata di pulau Karimata
pada Desember 1827. Para penyerang membunuh Batin Raja dan
Panglima Raja (yang merupakan saudaranya), karena keduanya
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 35 

mempertahankan bendera Belanda kepala kedua orang ini di


pancangkan pada tombak-tombak dan dibawa ke ibukota kerajaan,
besereta barang muatan kapal tadi dan sobekan bendera Belanda
(Barth 1896: 12).

Dampak peristiwa ini menjadi titik balik sejarah Sukadana


selama abad ini
Atas kejadian jahat ini, komisaris jendral Du Bus memutuskan tidak
hanya akan menghukum Sultan Matan, tetapi juga memakzulkannya,
dan sebagai penghargaan atas jasa yang ditunjukkan kepada
pemerintah. Menunjuk Mayor Raja Akil untuk menggantikannya.
Maka sebuah ekspedisi dikirim, terdiri dari sebuah fregat (kapal
perang), dan 3 kapal meriam dibawah Kapten Laut Dibbetz dan
dibantu armada Raja Akil yang terdiri atas 9 perahu. Kapten Dibbetz
berangkat pada 16 Juli 1828 dari Pontianak, namun berbagai kendala
menyebabkan pendaratan baru dapat dilakukan 2 September dikedua
cabang sungai pawan (kandang kerbau dari Ketapang) dimana
pertempuran terjadi dan berkat bantuan Raja Akil kemenangan
dapat dicapai.
Upaya mengejar musuh yang lari ke Kayong tidak dapat dilakukan
karena hujan lebat menyebabkan banjir di sungai. Sebuah
pengumuman kemudian dibuat untuk rakyat yang memberitahukan
bahwa karena Sultan telah menghina kontrak yang dibuatnya
dengan Belanda dan merobek bendera Belanda, ia dimakzulkan
dari tahtanya. Raja Akil ditunjuk sebagai kepala pemerintahan dan
mereka yang keluar dari persembunyiannya dan mengakui kepala
pemerintahan itu akan di ampuni.
Di bawah pemerintahan Raja Akil, pemerintahan atas Sukadana dan
Kepulauan Karimata maka jelas terselesaikan. Namun mengenai
urusan pemerintahan Matan dan Simpang cukup sulit, karena sultan
Djamaluddin bersama putra dan keluarganya tidak memenuhi
janjinya dan tetap bersembunyi di pedalaman. Sementara keputusan
mengenai sultan baru untuk matan dan simpang berada ditangan
Residen Gronovius, Raja Akil memohon agar ia dan pengikutnya
tetap berkuasa di Sukadana.
Negeri baru, yang dibangun kembali (tentu sebagai peringatan
kemenangan komisaris jendral Du Bus) diberi nama “Nieuw Brussel”
(Barth 1896: 13).
36 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

B. Perdagangan pada masa “Nieuw Brussel” (1828-1845)

Raja Akil memerintah dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan


Syah di Bruseel. Pertama kali mendarat di Tanjung Kerenot dekat
Pulau Salah Nama8 (Sarifuddin: 13). Denys Lombard menyatakan
bahwa Raja Akil mantan lanun “yang kemudian bergabung” dan
dianugerahi pangkat Mayor dalam tentara Belanda (Lombard 2010:
266). Sedangkan Goudie Donald melalui artikelnya tentang Syair
perang Siak menjelaskan bahwa Raja Akil merupakan generasi
ke-4 dalam silsilah keluarga Kerajaan Siak.
Gambar 2. Silsilah Keluarga Kerajaan Siak

Sumber: Goudie Donald. Syair Perang Siak. An Example of a misunderstood but


rewarding eighteenth Century Malay Text. In: Archipel, volume 20, 1980. De la
philologie à l’histoire. pp. 241.

Berdasarkan silsilah tersebut, Goudie Donald menjelaskan:


Keturunan MAHMUD menghabiskan waktu setelah 1789
di pengasingan di berbagai tempat di sekitar Laut Cina Selatan

8 Mengenai Pulau Salah Nama, berdasarkan tradisi lisan, sebelumnya nama pulau
tersebut merupakan nama ujung daging alat kelamin perempuan (K*****t) karena pulau
tersebut menjadi tempat pembuangan daging tersebut setelah Islam masuk yang
mewajibkan sunat bagi perempuan. Tetapi karena penamaan tersebut tidak pantas,
maka digantilah nama pulau tersebut menjadi Pulau Salah Nama. Versi lainnya menrut
Gusti Nukmah (Anak Gusti Mulia/Raja Simpang), dahulu Pulau tersebut bernama Pulau
Butuh yang artinya alat kelamin laki-laki. Konon alat kelamin Tumenggung Kendal
Bahurekso di buang di Pulau ini.
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 37 

terutama di Kalimantan Barat. Di antaranya adalah YAHYA, anak


dari ISMAIL yang meninggal dunia 1791 di Dungun dan AKIL, anak
MUSA. AKIL menjadi Sultan Sukadana (1827-1849) (Donald 1980:
242).

Selama Raja Akil memerintah, terjadi ketegangan dengan


Panembahan Matan
Dengan pengambilalihan kekuasaaan di Matan maka ini merupakan
pukulan berat bagi perompak laut; namun belum sepenuhnya
mereka hilang. Segera akan terlihat bahwa dengan diangkatnya Raja
Akil, pemerintah Belanda terjebak dalam jaringan kesultanan. Sultan
Jamaluddin tidak memenuhi janjinya, namun dengan meninggalnya
pada tahun 1829, salah satu penghalang bagi penyelesaian masalah
Matan dapat disingkirkan.
Yang lebih penting untuk dibicarakan adalah sikap dari Raja Akil
karena pengetahuannnya mengenai asal pemerintahan tidak cukup,
meskipun ia oleh pemerintah Belanda diserahi kekuasaan setelah
dimakzulkannya Sultan Jamaluddin, ia Nampak sulit mengurusi
pemerintahan yang selama berabad-abad diperintah olehnya dengan
tradisi yang turun temurun.
Kesulitan ini amat besar sehingga residen Gronovius terpaksa harus
melapor kepada pemerintah pusat, agar tidak dibuat kontrak dengan
Raja Akil. Sikap Raja Akil terhadap rakyat dan para pemimpinnya
kurang baik, sehingga kekuasaan pemerintahannya tidak dirasakan
rakyat (Barth 1896: 14).

Bukan hanya di Matan, di Simpang juga terjadi ketegangan


Meskipun Residen telah memberikan instruksi kepada panembahan
baru ini agar ia bersikap menghormatinya, namun masih terdapat
ganjalan yang berisi pengaturan hubungan dengan Sultan Nieuw
Brussel, dan untuk itu dan bahkan pada 1830 perintah Residen agar
panembahan datang menghadap Sultan di Brussel, tidak ditaati, oleh
karena Panembahan merasa bahwa kedudukannya tidak dibawah
Sultan, dan hanya ingin menjalin persahabatan dengan pemerintah
Belanda. Panembahan menjawab tindakan Sultan Brussel ini dengan
mengemukakan bahwa Raja Akil melanggar janjinya. Memang
dimasa lalu, diwaktu Raja Akil dalam permusuhannya dengan
Matan, tertangkap, ia dibebaskan setelah berjanji bahwa ia dan
tujuh turunannya tidak lagi akan memusuhi matan. Mengingat Raja
38 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Akil telah melanggar janjinya sewaktu ekspedisi Kapten Dibbetz


berlangsung, panembahan menyatakan lebih merasa tunduk kepada
pemerintah, tetapi tetap menolak untuk menempati posisi dibawah
Raja Akil; betapapun resiko yang harus ia hadapi (Barth 1896: 15-16).

Sementara Veth menjelaskan, Sultan tidak hanya mengabaikan


adat, berulang kali atas nama pemerintahan menuntut rakyat
untuk melakukan pekerjaan yang sangat berat sebagai kuli, yaitu
menuntut 20 kati9 sarang burung walet, untuk 14 kati dibayar
hanya ƒ60/kati, meskipun di Pontianak dijual ƒ100/kati. Sultan
menculik nakhoda Bugis untuk mengamankan satu bola opium,
Panembahan menggantinya, isinya telah disesuaikan. Sultan
memaksa untuk memiliki 4 koyan garam dan berulang kali 200-
300 gantang, harganya ƒ160/koyan, dia juga membiarkan ini terjadi
dengan senang hati (Veth 1856: 460).
Ketegangan-ketegangan yang terjadi di Simpang dan Matan
sampai ke telinga Gubernur Jendral Hindia Belanda, yang saat
itu dijabat oleh Johannes van den Bosch (1830 – 1833) (Almanak
van Nederlandsch Indie voor het jaar 1831: 6) dan menginstruksikan
anggota Dewan Hindia (Raden van Indie) J.C. Goldman untuk
mengadakan pertemuan.
Di tahun 1831 di Batavia diadakan konperensi dengan Residen dan
Sultan yang dihadari Goldman, anggota Dewan Hindia. Konperensi
ini menghasilkan kontrak politik dengan Sultan Nieuw Brussel,
tertanggal 10 maret 1831, dan dikuatkan dengan keputusan Gubernur
Jenderal pada 12 Maret 1831.
Selain memuat ketentuan-ketentuan yang biasa (larangan untuk
membuat kontrak dengan negara-negara Eropa; pemberantasan
perompakan di laut, larangan perbudakan, perlindungan terhadap
perdagangan; upaya memajukan kerajinan, dsb). ada ketentuan lain
yang penting untuk kita kemukakan:
1. Mengenai hubungan antara Sultan dengan pemerintah
Sultan Brussel mengakui bahwa pemerintah Belanda adalah
penguasa yang sah dan satu satunya penguasa atas Matan, Simpang
dan Brussel serta daerah yang termasuk dinyatakan bagi diri mereka

9 1 kati = 6¼ ons.
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 39 

(raja-raja) dan keturunannya, untuk tetap menjaga perdamaian dan


menjamin apa yang dilakukan pemerintah, khususnya mengenai
tindakan pemerintah menyangkut raja Sultan di daerah-daerah
tersebut (Pasal 1).
Pemerintah Belanda menyatakan bahwa Sultan memerintah daerah
pinjaman itu dengan baik sebagaimana ditentukan pemerintah
Belanda, dan berjanji melindungi kehormatannya dan keturunannya,
selama mereka menghormati adanya perlindungan itu daerah Matan
diperintah oleh seorang raja yang bergelar panembahan, yang
ditunjuk pemerintah Belanda, namun Sultan tetap berjanji sebagai
penguasa atasannya (Pasal 2).
Sultan terikat untuk tetap menaati ketentuan pemerintah dan
keturunannya
Memberi bantuan kepada pemerintah, tanpa harus diminta (pasal
10)
2. Mengenai Hukum
Di Brussel akan dibentuk sebuah badan pengadilan, di mana Sultan
bisa menyatakan hak-hak hukumannya. Tentang hukuman Mati,
pelaksanaanya harus seizin Residen (Pasal 12)
3. Tentang Pemerintah Eropa
Pemerintah Belanda akan menempatkan di Brussel, seorang
pemegang kuasa, yang langsung berada di bawah perintah Residen
tugasnya melepaskan segala sesuatu pelaksanaan tugas yang
dilakukan oleh Sultan, terutama tentang jalannya pemerintahan
(Pasal 16).
Sejalan dengan kontrak ini, pemerintah menerbitkan penetapan
Pangeran Adi Mangkurat sebagai panembahan matan dan
menetapkan instruksi-instruksi yang telah diberikan pemerintah
kepadanya.
Agar sultan juga merasa puas, ditentukan oleh pemerintah bahwa
ia akan menerima ƒ 30.000 sebagai uang muka “pengembangan
perdagangan dan kerajinan” antara bulan April 1828 hingga akhir
1830, ia akan menerima beras dari persediaan beras pemerintah
sebanyak 42900 pound (Barth 1896: 16-17).

Sedangkan ketentuan-ketentuan yang terkait perdagangan


dijelaskan oleh Veth sebagai berikut:
• Segala pendapatan-pendapatan lain dari Matan, Simpang
dan Brussel akan dinikmati oleh Sultan, kecuali setengah dari
sarang-sarang burung dan setengah dari pendapatan Matan
40 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

ditentukan teruntuk Panembahan dari distrik itu, tetapi dengan


mengecualikan pajak-pajak tahunan dari orang-orang Dayak,
yang bersama dengan penguasaan langsung atas sekitar 200 –
300 keluarga Dayak, hanya diperuntukkan kepada Sultan (Pasal
6).
• Dia berjanji untuk melindungi perdagangan, khusus dibawah
bendera Belanda, dan pada segala cara memajukan idustri dari
bawahannya (Pasal 8).
• Dia mengikat diri tidak mengizinkan garam lain masuk dalam
kerajaannya, yang tidak diimpor atas rekening Gubernemen
dari Jawa dan Madura (Pasal 9).
• Dari pihak Gubernemen diberi kepada Sukadana untuk kurun
waktu dua tahun kebebasan dari segala pajak, termasuk bea
impor dan ekspor barang-barang asal dari tempat-tempat yang
termasuk Gubernemen Belanda, atau dari tempat-tempat milik
raja-raja yang bersahabat dengan Gubernemen, walaupun hal
itu datarik di lain pelabuhan negara (Pasal 11).
• Segala jenis uang yang diakui oleh Gubernemen, juga sah di
kerajaan Sultan (Pasal 17).
• Tanpa izin khusus dari Gubernemen tidak akan dibuka
Pertambangan-pertambangan (Pasal 18).
• Hak “Tawan Karang” yaitu hak atas barang-barang dan kapal-
kapal yang kandas di wilayah kerajaan, untuk ditiadakan
selama-lamanya. Sebaliknya Sultan harus berjanji bahwa segala
penumpang kapal yang karam diizinkan bebas kembali ke
tempatnya (Pasal 19) (Veth 1856: 463-464).

Kontrak-kontrak yang telah dibuat, tidak berjalan sebagaimana


mestinya. Setelah sultan kembali ke Sukadana, ia meminta
Panembahan Matan datang ke Sukadana untuk bertemu Sultan.
Namun permintaan ini tidak terpenuhi karena Panembahan Sakit
(Barth 1896: 18) atau pura-pura sakit (Veth 1856: 497). Oleh karena
itu, Sultan mengirimkan surat kepada Dewan Hindia Belanda
Goldman pada Februari 1832 tentang keluhan-keluhannya kepada
Residen, yang tidak diperhatikan, dengan usul agar pemerintah
Belanda melakukan tindakan keras untuk menjamin hak-haknya.
Surat ini dikirim sebagai berita untuk Residen, namun
penggantinya baru bekerja di bulan Januari 1833 untuk
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 41 

mempertemukan Sultan dengan Panembahan, sementara itu


di Sukadana dibuat permufakatan dimana panembahan wajib
menjalin hubungan baik dengan Sultan namun panembahan
nampak berusaha untuk tidak menjalankan permufakatan itu
dan menghindari pertemuan dengan Sultan. Ia kemudian malah
menyingkir ke Ibu Kota yang ada di daerah pedalaman dan tidak
pernah menjawab undangan Sultan untuk datang di Sukadana.
(Barth 1896: 18).
Pada tanggal 20 Juni 1833 Sultan bertemu Residen di Ketapang
tanpa dihadiri oleh Panembahan. Residen memberikan informasi
pada pertemuan tersebut tentang rencana pemerintahan dan
berharap kerjasama Sultan untuk membatasi pengeluaran bagi
keperluan pemerintah, terutama untuk jaminan adanya lembaga
kepolisian, yang selama 5 tahun ini menjadi beban pemerintah;
juga mengenai penarikan dan penghapusan pos militer dan
menggantikannya dengan penempatan seorang komandan pos
(dengan gaji ƒ 150 sebulan) dan 5 orang oppas yang bersenjata
di Sukadana. Hal ini bisa terjadi jika Sultan bersedia memikul
biayanya. Oleh karena itu, Sultan diberi hak memungut biaya
“pacht” atas perdagangan candu (Barth 1896: 19).
Untuk pembentukan pos di Sukadana menggunakan biaya
penjualan garam.
Sementara itu Residen Ritter yang menyadari bahwa penarikan pos
militer di Sukadana tidak bisa dilakukan karena keberatan dari
Sultan Nieuw Brussel dalam penyediaan sarana untuk pos baru;
menyarankan kepada Pemerintah Pusat melalui surat tertanggal 20
Juni 1833 agar biaya untuk pos ini bisa diambilkan dari penjualan
garam, yang untuk Sukadana, Matan dan Simpang di hitung sejumlah
45 koyan, yang menghasilkan untung bersih ƒ 4530; sementara biaya
untuk seorang kepala pos dan 16 orang opas berjumlah ƒ 4108 (Barth
1896: 22).

Pada tanggal 24 Juni 1833 terjadi pertemuan antara Pangeran


Cakra Negara (Abang Panembahan) dengan para menteri dari
Matan dan Residen. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan
dengan persetujuan Gubernur Jendral, antara lain:
42 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

1. Panembahan Anom Kusuma Negara di cabut kekuasaan


yang ada padanya, namun kepadanya di beri pensiun
sebesar ƒ 2000 (atau setara 30 kati sarang burung
putih) setahun sama seperti yang dituntut Sultan dari
panembahan Matan di masa lalu.
2. Pengawasan oleh Sultan, dan pendapatan yang dinikmati
panembahan Matan atas dasar kontrak, diserahkan kepada
Pangeran Cakra Negara.

Kesepakatan ini diumumkan ke masyarakat pada tanggal 25


Juni 1833, selnjutnya Residen kembali ke Pontianak (Barth 1896:
20).
Pembentukan pos di Sukadana baru terealisasi pada tanggal
11 Mei 1834. Kepala pos dijabat oleh H. Von Dewall (sebelumnya
menjabat kepala penjaga Jayang Sekar di Cirebon). Ia dibantu 5
orang opas dengan anggaran yang kecil yaitu ƒ 2900. Kemudian
pada bulan Oktober 1834 terjadi serah terima jabatan komandan
sipil dan militer dari sersan L.M. Blok kepada H. Von Dewall
(Barth 1896: 23).
Tidak terjadi perubahan dalam hubungannya dengan Sultan
setelah pengangkatan Pangeran Cakra Negara. Panembahan
memberitahukan pemegang kuasa sipil bahwa ia tidak akan
taat kepada perintah Sultan Nieuw Brussel dan siap untuk
mengahadapinya bila sultan bertindak bermusuhan, ia hanya
akan taat kepada perintah yang dikeluarkan pemerintah, dan
ia berharap pemerintah Belanda akan mengangkat saudaranya,
Pangeran Cakra ataupun dirinya sebagai sultan mandiri dari
kerajaan Matan dan abdi setia dari pemerintah Belanda. Ia
menyatakan bahwa ia secara pribadi tidak membenci Sultan Nieuw
Brussel. Ia mengemukakan memberi bantuan, bahkan separuh dari
pendapatan Kerajaan Matan, asalkan Sultan tidak mengemukakan
diri bertindak sebagai kepalanya, melainkan sebagai kawan. Ia
berharap bisa memberikan khotbah sendiri di masjid dan akhirnya
ia minta agar keputusan pemecatan panembahan bisa ditarik
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 43 

kembali (laporan pemegang kuasa sipil No 50, 24 Maret 1835


dalam Barth 1896: 23).
Pemegang kuasa sipil melaporkan bahwa bahwa bagi
Pangeran Cakra Negara sulit untuk mengizinkan Sultan Brussel
mengambil bagian dalam perdangangan sarang burung, sementara
saudaranya mantan panembahan tidak bersedia melepaskan
empat desa yang menghasilkan sarang burung. Ia sendiri telah
dengan sia-sia meminta saudaranya itu untuk menaati ketentuan
yang ada, dan ia khawatir bila agar saudaranya itu taat digunakan
kekerasan, sebagai akibatnya akan terjadi huru hara di negeri ini,
dan pemerintah (mantan Residen Ritter) telah mengemukakan
agar dalam menyelesaikan sesuatu persoalan tidak digunakan
kekerasan.
Bahwa ia sendiri mendapat 18 kati sarang burung setahunnya
dari desa Kendawangan, serta sedikit beras dari desa-desa lainnya,
pendapatan mana sebenarnya tidak mencukupi keperluan hidup
sebagai kepala kerajaan Matan. Bila Residen di Pontianak tidak
segera memberikan bantuan, ia merasa tidak sanggup bertahan
pada kekuasaan yang sekarang ia pegang dan akan mengundurkan
diri.
Ia merasa lebih baik menyerahkan kekuasaan kepada
saudaranya, dan ia juga berharap seperti halnya harapan mantan
panembahan dengan harapan rakyat bahwa kerajaan Matan
merupakan kerajaan yang mandiri, bebas dari penguasaan Sultan
Brussel dan hanya tunduk pada pemerintah (laporan No. 51
tertanggal 24 Maret 1835 dalam Barth 1896: 24).
Sementara pemegang kuasa sipil menyerahkan agar kedua raja
menyampaikan keluhannya pada Asisten Residen di Pontianak,
ia berpendapat bahwa pengasingan mantan panembahan keluar
dari kerajaan Matan, merupakan “satu-satunya cara” untuk
menjadikan Matan berada dibawah perintah Sultan (Brussel),
sebab meskipun banyak ucapan mengenai ketaatan dan kesalahan
kepada pemerintah dikeluarkan, ada perilaku pemerintahan
terhadap Sultan selama 6 tahun ini menunjukkan bahwa janji-
janjinya tidak bisa dipercaya.
44 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Asisten Residen menanggapi laporan-laporan itu dengan


bertindak akan secara pribadi datang menyelesaikan masalah
(laporan No. 122 tanggal 10 April 1835) dan berangkat ke Sukadana
(Barth 1896: 24).
Pembatalan atau pembekuan Pangeran Cakra Negara sebagai
Panembahan Matan akhirnya diputuskan pemerintah pada tanggal
12 Agustus 1835 (Barth 1896: 25, Veth 1856: 547). sedang kepada
Asisten Residen diberikan tugas menyatukan kembali kondisi
Matan dalam hubungannya dengan Sultan. Tugas ini segera
dijalankan. Pada bulan November, Asisten Residen menerima
surat dari Sultan dimana ia mengusulkan pemberhentian kedua
Panembahan Matan dan menempatkan seorang pemegang kuasa
sipil di Kayung. Ia pun minta untuk secara damai mendapatkan
bagian dari pendapatan Kerajaan Matan, sebesar ƒ 50000 setahun.
Setelah itu ia minta persekot ƒ 10000 dan memberi kepada
Sukadana hak menyangkut perdagangan bebas, seperti yang
diberikan kepada Sambas dan Pontianak. Ia pun menyatakan siap
menumpas pembajakan di laut bila pemerintah bisa menyediakan
beberapa perahu penjelajah dan sebuah sekunar. (Barth 1896: 25).
Asisten Residen mengirim surat ini pada 11 Nopember 1835
ke Batavia, disertai laporan yang menyebut bahwa ia berpendapat,
usul tentang pemberhentian dan pengasingan kedua Panembahan
Matan itu tak akan mengakibatkan kedudukan atas Sultan Matan
tidak terganggu. Ia mengusulkan agar mantan Panembahan Anom
Kusuma Negara bisa diangkat kembali dan di Kayung ditempatkan
seorang pemegang kuasa sipil. Pemegang kuasa sipil itu mesti
juga didukung oleh detasemen militer. Sementara itu Asisten
Residen diharapkan membuka sebuah badan penjualan garam
di Kayung, agar orang-orang Dayak yang hingga kini membeli
garam dari pedagang-pedagang Melayu, dapat membeli garam
dengan harga wajar. Orang-orang Dayak di Matan yang jumlahnya
sekitar 2000-3000 keluarga, ia harapkan agar dapat diperintah
langsung oleh pemerintahan. Ini merupakan upaya agar mereka
tidak tertindas dan terpaksa membayar ƒ 5 setahunnya untuk
setiap rumah. Selanjutnya biaya pemerintah bisa diperoleh dari
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 45 

pungutan bea berlabuh, pajak tembakau, pengaturan penjualan


candu, pajak atas tempat-tempat perjudian. Perhitungan Sultan
atas pendapatan Kerajaan Matan oleh Asisten Residen dipandang
terlalu besar. Usul menjadikan Sukadana pelabuhan dagang bebas,
dapat didukung karena tempat itu cocok dan dapat menghasilkan
bea berlabuh sekitar ƒ 150 setahun (Barth 1896: 26).
Pos di Sukadana perlu di bantu oleh militer dan permintaan
persekot ƒ 10000 dari Sultan, secepat mungkin dipenuhi. Nasehat
ini yang didasarkan pada surat-surat dari Sultan dan asisten
Residen, bersama dengan surat itu dikirimkan kepada Inspektur
keuangan, J.B Linge yang berdasar keputusan tanggal 25 September
1835 diangkat sebagai Komisaris Pemerintah Pusat untuk Borneo
Barat. (Barth 1896: 27).
Sementara itu di Sukadana terjadi keadaan kekacauan
pemerintahan. Mantan Panembahan telah mempercayakan
Asisten Residen untuk bersama saudaranya memerintah Matan
(lihat laporan no 101 pemegang kuasa sipil Sukadana 13 Juli 1835).
Penguasa Matan itu memakai gelar “Kalifah Panembahan Matan”
dan memberi tahu hal ini kepada Pontianak. Maka tidak bisa
dihindari, karena keadaan seperti ini dalam tahun 1835 dan 1836
surat-surat dari pemegang kuasa sipil dikuasai kepada mantan
Panembahan dan Pangeran Cakra di Kendawangan. Bahwa terjadi
keadaan tidak baik terlihat akhirnya di akhir tahun 1835 ketika
para perompak laut ingin menetap di Kendawangan. Pada saat
itu pemegang kuasa sipil meminta agar jasa kepala kelompok
perompak itu dikenakan di Sukadana, sedangkan anggota-anggota
di awasi.
Pemegang kuasa itu sia-sia menunggu berita sampai akhirnya
seorang penduduk Brussel memberi tahu Panembahan bahwa
para perompak laut menetap di Kendawangan mengabaikan
(kekuasaan) panembahan. Mereka berada disana dan Panembahan
Pangeran Cakra menunggu perintah dari pemegang kuasa sipil
untuk dengan kekerasan mengirim mereka ke Brussel (Laporan 2
September 1835, Huruf C). Pemegang kuasa sipil juga mengeluh
46 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

akan kurangnya kerja sama dari raja-raja Matan (laporan 29 April


1836 No 52 dan 26 Desember 1836 No 100 dalam Barth 1896: 27).
Maka ketika ia (Sultan) menerima berita tentang adanya
serangan bajak laut, ia hanya bisa mengirim 4 buah perahu bidar
untuk melakukan penjagaan (laporan pemegang kuasa sipil, 31
Desember 1836 no 103) Asisten Residen mengakui kondisi Sultan
memang menyedihkan (laporan 18 januari 1837 no 16).
Bahwa dalam keadaan seperti itu sejumlah pembesar
melakukan tindakan pemerasan kepada rakyat, bisa dimengerti.
Kemiskinan dan kesengsaraan semestinya tidak terjadi pada
rakyat. Salah satu tugas yang pertama dilakukan oleh komisaris
Linge adalah mengatur urusan pemerintahan bagian selatan dari
Borneo Barat ini.
Hasil dari padanya adalah kontrak tanggal 24 April 1837
yang ditandatangani di kampung Mariana (Pontianak) dengan
Sultan Sukadana, mengenai pemisahan kerajaan Matan dari
Sukadana; sehingga Sukadana tinggal memiliki daerah Simpang
dan Sukadana tua (Brussel) (Barth 1896: 28).
Dalam bulan Desember 1836 ia menanyakan tentang tujuan
mantan Panembahan kepada pemerintahan, uang sebesar ƒ 2000
setahun untuknya, mulai tahun 1835. Sejak mengalami kondisi
pendapatan yang tidak menentu, kecuali bagian dari biaya
berlabuh di pelabuhan, Sultan bersama keluarga berada dalam
kemiskinan yang amat sangat; suatu hal yang juga di saksikan
oleh pemegang kuasa sipil.
Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, J. B de Linge, yang
bertemu Sultan Brussel, Abdul Jalil Syah, di kampung Mariana
(Pontianak) sebelum Sultan berangkat ke Batavia dengan
mengajukan usul-usulnya mengenai persoalan matan, Simpang
dan Brussel (Sukadana), kontrak yang dibuat pada 5 Maret 1831
antara pemerintahan dan sultan Abdul Jalil Syah, dinyatakan
tidak berlaku lagi, dan keduanya berpendapat bahwa harus segera
ada solusi mengenai persoalan-persoalan yang sifatnya tidak
terselesaikan selama ini (Barth 1896: 28).
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 47 

Sultan telah melapor komisaris pemerintah tentang


keluhan-keluhan dan keberatannya terhadap pemerintah Anom
Kusumanegara, penguasa Matan serta saudaranya Pangeran
Cakra Negara, yang sejak 1834 menolak datang di Sukadana,
meskipun mereka diundang Asisten Residen untuk ditetapkan
Panembahan Matan (Laporan Resolusi pemerintah No. 30 tahun
1834). Resolusi pemerintahan No. 20, tanggal 12 Agustus 1835
tidak bisa dilaksanakan.
Laporan Asisten Residen Pontianak tanggal 16 Mei 1836 No.
14, menyebabkan Panembahan menitipkan uang sebesar ƒ 2000
kepada pemerintah, yang diperuntukkan bagi Sultan. Hal ini
diulang lagi pada tahun 1836.
Namun Panembahan menolak permintaan Sultan untuk
mendapat bagian dari pendapatan kerajaan Matan, sebagai mana
ditetapkan kembali 5 Maret 1831.
Sultan memohon kepada komisaris pemerintah, agar apa yang
disebut dalam kontrak itu dapat dipenuhi.
Sebuah bukti ditemukan dari pengamatan yang dilakukan
selama 10 tahun, bahwa rakyat Matan memang tidak menyukai
kekuasaan Sultan Sukadana (Brussel) dan mereka ingin langsung
dibawah pemerintah (Belanda).
Komisaris minta agar Sultan bersedia meniadakan kontrak itu
dan diganti dengan sebuah perjanjian, dimana pemerintah akan
menjamin Sultan apa dapat menjalankan pemerintahan dengan
damai dan baik serta di hormati dan ia dapat menunjukkan
kesetiaannya kepada pemerintah. Sultan setuju untuk menarik
kembali kontrak 5 Maret 1831, dan nanti setelah ada penetapan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, membuat kontrak baru
dengan pemerintah, yang diwakili oleh komisaris pemerintah J.B.
De Linge (Barth 1896: 29).
Kekuasaan Sultan sangat dikurangi (kontrak 5 Maret 1831,
isi pasal-pasal kontrak selengkapnya lihat lampiran); baik hal itu
mengenai luasnya kerajaannya maupun (lihat pasal 9 dan 14) hak
untuk memungut pajak dan pengadilan, dua hal yang merupakan
kekuatan dari raja-raja pribumi.
48 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Juga diberitahukan bahwa pendukung militer atas Matan,


karena bertentangan dengan jiwa kebijakan pejabat pemerintah
pusat sekarang; tidak lagi terjadi. Selanjutnya, masih di kampung
Mariana, sebuah kontrak tertanggal 26 Mei 1837 (isi pasal-pasal
kontrak selengkapnya lihat lampiran) dibuat dengan kedua orang
raja Matan. Hal yang penting dari isi kontrak itu adalah bahwa
mantan penembahan Anom Kusuma Negara yang diangkat
kembali menjadi raja yang bebas dari pengawasan Sultan Sukadana
(Barth 1896: 32).
Sebelum Raja Akil meninggal pada tahun 1849, Simpang
menjadi daerah yang mandiri berdasarkan kontrak 15 Juli 1845.
Meskipun pendirian kerajaan Nieuw Brussel yang hanya didasari
atas pemikiran pendek dan tindakan yang tidak tuntas, hanya terlihat
sebagian, ini belum merupakan keseluruhan dari apa yang terjadi.
Daerah Simpang, yang di umumkan berdiri pada 1823 dan kemudian
digabung dibawah kerajaan Matan, kini ditetapkan digabungkan
dengan Sukadana.
Namun, sama seperti Sukadana, yang tidak dapat mempertahankan
kekuasaannya atas Matan, demikian pula halnya yang terjadi dengan
Simpang.
Akhirnya, justru sebelum wafatnya sultan Abduljalil Syah, Simpang
menjadi daerah yang mandiri.
Hal ini terlihat dari kontrak yang dibuat tertanggal 15 Juli 1845
(Barth 1896: 39).

Sejarawan Kalimantan Barat alm. Soedarto secara ringkas


menyimpulkan dinamika sejarah Sukadana pada masa “Nieuw
Brussel”:
Rakyat dan para bangsawan Matan dan Sukadana walau
bagaimanapun tidak pernah merasa bahwa kekuasaan yang ada itu
merupakan kekuasaan yang syah menurut mereka, biarpun pihak
Belanda merestui penguasa di Matan dan Sukadana. Perkembangan
kerajaan keduanya itu semakin hari semakin tidak bergairah. Rakyat
dan para bangsawan melakukan apapun juga hanya berdasarkan
“rasa terpaksa”. Rakyat dan Bangsawan selalu melawan Belanda
dengan “sultan boneka”nya itu secara halus, yaitu “masa bodoh”,
tidak mau banyak peduli. Mereka sadar untuk melawan secara fisik,
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 49 

mereka tidak mampu dan jika jalan itu ditempuh, maka pengorbanan
itu sia-sia (Soedarto 1989: 127).

Kerajaan “Nieuw Brussel” dibubarkan pada tanggal 1


September 1845, sementara Matan, Sukadana dan Simpang
ditempatkan di bawah perintah seorang penguasa sipil (gezaghebber)
Belanda. Ketiga kerajaan tersebut membuat kontrak sendiri-sendiri
dengan Pemerintah Belanda (Sartono 1973: CI).

C. Perdagangan pasca “Nieuw Brussel” (1845-1900)

Setelah dibubarkan, Penamaan “Nieuw Brussels” kembali


menjadi Sukadana. Berdasarkan laporan Von dewall (1862: 107),
penduduk pegunungan harus membayar 5 jenis pajak kepada
kerajaan Matan. Kelima jenis pajak tersebut yaitu:
1. Jasa Kesehatan (De bepetie)
2. Pamalaman. Pajak ini diberikan kepada pangeran pada
hari ke-27 bulan Ramadhan, jadi beberapa hari sebelum
akhir puasa. Apakah pajak ini dilaksanakan atau tidak
tergantung kebijaksanaan setiap orang.
3. Kabaharuan (Pajak hasil sawah yang harus dibayar pada
waktu mulai panen) (Soekanto 1978: 107). Mengantarkan
1 gantang beras per rumah tangga, selama atau sesaat
setelah panen padi. Pajak ini dilaksanakan secara longgar.
4. Serah handel (Perdagangan paksa). Maksimal 18 gantang
beras per rumah tangga.
5. Pajoe handel (Tempat berdagang). Maksimal 18 gantang
beras per rumah tangga.
Pamalalaman dan Kabaharuan merupakan pajak langsung,
sedangkan Serah handel dan Pajoe handel adalah pajak tidak
langsung (Dewall 1862: 93)

Kerja wajib negara, yang dilakukan oleh penduduk gunung,


setidaknya. Mereka diwajibkan saat pangeran bepergian
menyediakan sejumlah pendayung, dijaga oleh pangeran selama
50 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

seluruh perjalanan. Kedua, mereka dipanggil saat atap atau lantai


rumah penambahan harus diperbaharui, tapi hanya untuk atap
nipah atau bilah lainnya dan untuk lantai bilah. Penambahan
kemudian memasok bahan, kecuali akar bambu, dan memberi
para pekerja biaya. Jika wadah itu mengambil lantai papan bambu,
penduduk pegunungan juga memasok bahan-bahan tersebut
(Dewall 1862: 108).
Satu-satunya pekerjaan kotor yang dilakukan penghuni
gunung untuk kepala mereka adalah membantu mereka untuk
menanami sawah.
Penduduk pegunungan Sukadana berada di bawah kendali
penambahan, yang, selain itu, telah menyumbang sedikit pada
kedekatan otoritas Eropa. Oleh karena itu, keadaan tersebut
memindahkan suku-suku mereka di Tjali, di bawah Matan, menuju
pegunungan Sukadana, yang disebut “Bukit laut”, -gunung di
laut, sehingga sekarang sebagian besar penghuni distrik Matan
tersebut adalah subyek dari penambahan Sukadana (Dewall 1862:
108).
Seluruh Sukadana terbuka untuk perdagangan laut di bagian
selatan, begitu juga semua kapal dari seluruh afdeeling, untuk
berdagang dan itu tidak terjadi di Pontianak atau Sambas, wajib,
ke Sukadana masuk dan keluar.
Perdagangan luar negeri didorong secara khusus ke Jawa dan
Singapura.
Untuk Jawa terutama: rotan, lilin, pohon semak dan terasi.
Impor dari sana terutama terdiri: tembakau, tembaga, tembikar
dan Singapura menerima dari Sukadana: rotan, getah perca, sarang
burung walet, kura-kura, besi, kain sutra, koin perak.
Sukadana hanya memiliki dua kapal untuk perdagangan luar
negeri.
Perdagangan pesisir sangat diminati Pontianak dan Matan.
Produk dari Sukadana sendiri kurang penting. Beras tidak
cukup untuk konsumsi. Ditahun-tahun yang baik pegunungan
Sukadana menyediakan 4 – 5 pikul lilin. Tanahnya mengandung
emas, namun itu tidak di eksploitasi. Nampaknya sekarang sudah
Perdagangan Di Sukadana Pada Abad Ke-19 | 51 

terbukti, bahwa tidak ada timah. Di Palungan ada sarang burung


putih. Delapan rumah tangga milik Syarif Hasan bin Husin bin
Syahab, mantan kepala tanah Mulya, pemiliknya, jauh sebelum
pembangunan kembali Sukadana, pada 1828, membuat sebuah
kampung baru, di Belaban, hasil utama sungai besar Mulya, dan
membuka sawah disana, di sungai Penyeberangan, sebuah cabang
kiri sungai besar Mulya, bertemu di kaki Palungan. Syarif Hasan
tak berani memanfaatkan penemuan itu, tanpa menghiraukan
bekas panembahan Simpang, Suria Ning-Rat, yang berakhir
dengan setengah hasil penjualan (Dewall 1862: 110-111).
Maka sebelum dan nanti Syarif Hasan bisa saja melakukan
sesuatu, meninggal kepala mendirikan yang baru, khususnya
Sengkulang, dan dua hari setelah kematiannya, semua rumah
tangga meninggalkan kampung dan kembali ke Mulya,
mengatakan bahwa seekor naga besar di kampung adalah tujuh
rumah tangga lainnya:
Sukur, menantu laki-laki Pa-Sengkulang,
Pimpin, dito dito
Kadir, saudara ipar laki-laki Pa-Sengkulang
Ince Mutul, menikah dengan wanita dayak Kendawangan
Pudji, dari Bangka
Pa-Pelupung, dari Blitong
Ma-Jering, wanita dayak Kendawangan.
Pa-Sengkulang sendiri adalah seorang dayak Kendawangan
dan sebelumnya mantan penjaga tebing sarang burung
walet dan dijual untuk keperluan sihir.
Setelah kematiannya, tak ada yang berani mencari sarang
burung walet lagi. Penghulu Karimata ingin melakukan ini,
jika dia bisa membuat kesepakatan dengan panembahan, yang
nampaknya jauh dari tidak adanya panembahan (Dewall 1862:
111-112).
52 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah Maritim khususnya perdagangan di Sukadana pada


abad ke-19 dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan. Beberapa
tahapan tersebut yaitu: 1. Perdagangan sebelum dan sesudah
Traktat London (1800-1828), 2. Perdagangan pada Masa “Nieuw
Brussel” (1828-1845), dan 3. Perdagangan pasca “Nieuw Brussel”
(1845-1900).
Penjelasan fase-fase tersebut berusaha menjawab masalah
penelitian yang diangkat dalam penelitian ini yakni mengapa
Sukadana memiliki peran strategis dalam jalur perdagangan pada
abad ke-19? Dan faktor-faktor apa saja yang menjadikan Sukadana
memiliki peran startegis dalam jalur perdagangan tersebut?
Pada penjelasan tahapan perdagangan sebelum dan sesudah
Traktat London, Gubernur Bengkulu Thomas Stamford Raffles
menginginkan Kepulauan Karimata sebagai tempat menimbun
barang dagangan karena poisinya yang strategis yakni terletak
di antara Pulau Sumatra dan Kalimantan dan terhubung ke jalur
lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa faktor geografis Kepulauan
Karimata yang merupakan wilayah Kerajaan Sukadana memiliki
peran strategis dalam jalur perdagangan. Ketika penjelasan
perdagangan Sukadana pada masa Nieuw Brussel sangat kuat
sekali faktor politik dalam pengaturan perdagangan atau disebut

53 
54 | “Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

dengan Ekonomi-Politik Perdagangan. Begitu juga perdagangan


pasca Nieuw Brussel, dampak dari ketidakstabilan politik ini
menyebabkan perdagangan di Sukadana semakin meredup dan
peran tersebut diambil alih oleh Pontianak yang hingga saat ini
menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Barat.
Dengan demikian penelitian sejarah peran setrategis Sukadana
pada abad ke-19 ini dapat menambah khasanah dalam penulisan
sejarah lokal di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan pada
khususnya, serta menjadi inspirasi bagi stakeholder di Sukadana
yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU)
bahwa pada masa lalu Sukadana merupakan pelabuhan yang besar
dan strategis sehingga kegemilangan masa lalu dapat terwujud
kembali di masa yang akan datang.

B. Saran

Penulisan sejarah tentang peran Strategis Sukadana pada


abad ke-19 masih perlu dieksplorasi oleh peneliti-peneliti lainnya.
Penelitian sejarah yang bersifat multidimensional bisa menjelaskan
peran Strategis Sukadana dengan berbagai perspektif. Beberapa
fakta yang ditemukan oleh tim peneliti dapat diperkaya dengan
perspektif Arkeologi, Sosiologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya,
bahkan dapat juga dijelaskan dengan ilmu-ilmu eksak seperti
Teknik Arsitektur. Oleh karena itu, kajian lintas disiplin ilmu
perlu dilakukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Begitu
juga dengan periode penelitian, masih bisa diteliti lebih lanjut
pada masa sebelum abad ke-19. Beberapa stakeholder bisa berperan
untuk melakukan penelitian lanjutan seperti Pemerintah Daerah,
Akademisi, maupun peneliti dari berbagai lintas displin ilmu baik
yang ada di Kementerian maupun yang ada di tingkat Provinsi
dan Kabupaten atau kota.
DAFTAR PUSTAKA

Arsip
Almanak van Nederlandsch Indie voor het jaar 1831, Batavia:
Ter Lands Drukkerij.
Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1895, Tweede Gedeelte,
Kalender en Personalia, Batavia: Landsdrukkerij.
Buku dan Laporan Penelitian
Barth, J.P.J., 1896. Overzicht der Afdeeling Soekadana, Verhandelingen
van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen (VBG), Deel L. 2ᵉ Stuk. Batavia: Albrecht
& Cᵒ ‘S Hage: M. Nijhoff.
Dewall, H. Von, Matan, 1862. Simpang, Soekadana, de Karimata-
eilanden en Koeboe (Wester-afdeeling van Borneo), dalam
Mr. J. A. Van der Chijs, Tijdschrift voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen (TBG), Deel XI, Batavia: Lange & Co ‘Shage:
M. Nijhoff.
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda & Olahraga Kabupaten
Ketapang, 2010, Kumpulan Adat Istiadat & Hukum Adat
Dayak Kabupaten Ketapang, Ketapang: CV. Madya Jasa.
Has, M. Dardi D. 2014, Sejarah Kerajaan Tanjungpura, Ketapang:
Yayasan Sultan Zainuddin I dan Smart Educational Center.

55 
56 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Hasanuddin, 2000. Sukadana: Suatu Tinjauan Sejarah Kerajaan


Tradisional Kalimantan Barat, Pontianak: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Heidheus, Mary Somers, 2008. Penambang Emas, Petani dan Pedagang
di “Distrik Tionghoa” di Kalimantan Barat, Indonesia, Jakarta:
Yayasan Nabil.
Ikhsan, dkk., 2007. Puncak-puncak Kebudayaan Tionghoa di Kabupaten
Ketapang, Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional.
Kamisa, 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Penerbit
Kartika.
Kartodirdjo, Sartono, 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda
Tahun 1839 – 1848, Jakarta: Arsip Nasional Republik
Indonesia.
King, Victor T., (Ed.), 2013. Kalimantan Tempo Doeloe, Jakarta:
Komunitas Bambu.
Kuntowijoyo, 2001. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Lapian, A.B., 2011. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu.
Lith, P.A. Van der en Snelleman, Joh. F., 1896, Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indie, ‘S- Gravenhage: Martinus Nijhoff
Leiden: E.J. Brill.
Lombard, Denys, 2010. Pandangan Baru terhadap “Lanun Melayu”
(Separuh Pertama Abad ke-19), dalam Mohd Azmi Mohd
Yusuf, Selat Melaka di Persimpangan Asia, Artikel Pilihan
daripada Majalah Archipel, Melaka: Percetakan Surya Sdn
Bhd.
Louis Gottschalk, 1986. Mengerti Sejarah, (diterjemahkan oleh
Nugroho Notosusanto), Jakarta: Yayasan Penerbit UI.
Mulia, Gusti Mhd. 2007, Sekilas Menapak Langkah Kerajaan
Tanjungpura. Pontianak: Percetakan Firma Muara Mas.
Daftar Pustaka | 57 

Nas, Peter J. M., 2009. Masa Lau dalam Masa Kini: Arsitektur di
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Netscher, E., 1853. Kronijk van Sambas en van Soekadana; in
het Oorspronkelijk Maleisch, Voorzien van de Vertaling
en Aanteekeningen, dalam Dr. P. Bleeker, Mr. L. W. C.
Keuchenius, J. Muunicli en E. Netscher, Tijdschrift voor
Taal-, Land- en Volkenkunde, Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (TBG), Deel I, Batavia: Lange &
Co.
Sarifuddin, tanpa tahun, Sebuah Kota Tua di Kaki Bukit Laut.
Soedarto. 1989, Naskah Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat
1908-1950, Pemerintah Daerah Tk. I Kalimantan Barat.
Soekanto, Soerjono, 1978. Kamus Hukum Adat, Bandung: Penerbit
Alumni.
Sudarto, Yudo, 2010, Catatan Warisan Budaya (Cultural Heritage)
di Kerajaan Tanjungpura, Ketapang: Dinas Kebudayaan
Pariwisata Pemuda dan Olahraga.
Veth, Pieter Johannes, 1854. Borneo’s Westerafdeeling Geographisch,
Statistich, Historisch, voorafgegaan door eene algemeene schets
des ganschen eilands, Eerste deel. Met platen. Zaltbommel,
Joh Noman en Zoon.
_________________, 1856, Borneo’s Westerafdeeling Geographisch,
Statistich, Historisch, voorafgegaan door eene algemeene schets
des ganschen eilands, Tweede deel. Met platen. Zaltbommel,
Joh Noman en Zoon.
_________________, 1869. Aardrijksundig en Statistisch Wordenboek
van Nederlandsch Indie R-Z, Amsterdam: P.N. Van Kampen.
58 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Tesis & Disertasi


Muhammad Gade Ismail, Politik Perdagangan Melayu di Kesultanan
Sambas Kalimantan Barat: Masa Akhir Kesultanan (1808
– 1818), Tesis Fakultas Pascasarjana Studi Bidang Ilmu
Sejarah, Pengkhususan Sejarah Indonesia Universitas
Indonesia, Jakarta, 1985.

Jurnal
Donald, Goudie, Syair Perang Siak. An Example of a misunderstood
but rewarding eighteenth Century Malay Text. In: Archipel,
volume 20, 1980. De la philologie à l’histoire.

Makalah
Lapian, A.B., Laut, Pasar dan Komunitas Budaya, Makalah Kongres
Nasional Sejarah 1996 Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi
III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1997.

Internet
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/
kalimantan-4/sultan-of-matan tanjungpura/
attachment/1000000000000000000000/ akses tanggal
17/04/2017 jam 09.14.
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Agus Kurniawan


Pekerjaan : Budayawan Ketapang

2. Nama : Uti Sajimin M.


Pekerjaan : Juru Pelihara Makam Keramat 7
Ketapang

3. Nama : Tengku Mohtar


Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Sukadana

4. Nama : Sarifuddin
Pekerjaan : Sejarahwan Sukadana

5. Nama : Raden Jamrudin


Pekerjaan : Budayawan / Sekretaris IKKRAS

6. Nama : Gusti Arifin


Pekerjaan : Budayawan Simpang Hilir

7. Nama : Tedi Setiawan


Pekerjaan : Ulu Balang Kerajaan Simpang

8. Nama : Miftahudin
Pekerjaan : Kayong TV

59 
60 | “Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

9. Nama : Yudo Sudarto


Pekerjaan : Mantan Kadisbudparpora Ketapang

10. Nama : Gusti Carma


Pekerjaan : Sejarahwan Ketapang

11. Nama : Lufti Akbar


Pekerjaan : Sejarahwan

12. Nama : Tubagus Najib


Pekerjaan : Arkeolog Puslit Arkeologi Nasional

13. Nama : Gusti Muhamad Hukma


Pekerjaan : Putra Mahkota Kerajaan Simpang

14. Nama : Prof. Dr. Dien Madjid


Pekerjaan : Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

15. Nama : Pak Cik Usuf


Pekerjaan : Tokoh Masyarakat
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Peta Sukadana pada tahun 1846 – 1848 yang dibuat oleh Von Gaffron
(Sumber: J. Pijnappel, 1860, Bechrijving van Het Westelijke Gedeelte van de Zuid-
en Oosterafdeeling van Borneo (de Afdeeling Sampit en de Zuidkust), Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7de Deel, [Nieuwe
Volgreeks, 3e Deel], pp. 243-346, Brill)

61 
62 | “Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Peta Tematik Sukadana pada tahun 1858 yang dibuat oleh R. Everwijn
(Sumber: http://maps.library.leiden.edu/apps/s7#focus)

Peta Sukadana pada tahun 1890 yang dibuat oleh Topographisch Bureau
Batavia
(Sumber: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Lampiran-Lampiran | 63 

Peta Jalur Sungai Tanjong Poerie


(Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia)
64 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Kontrak 5 Maret 1831


(Barth 1896: 29-32)

Pasal 1
Sultan mengakui bahwa pemerintah Belanda merupakan
penguasa tunggal dan penuh negeri Matan, Simpang dan Brussel
(Sukadana) dan menyatakan dirinya memiliki kewajiban untuk
setia kepada pemerintah, khususnya karena peningkatan martabat
dirinya.
Pasal 2
Daerah matan tidak lagi termasuk dalam gabungan negeri
Matan, Simpang dan Brussel (Sukadana) yang disebut sebagai
“Nieuw Brussel” sehingga negeri ini hanya meliputi negeri
Simpang dan Sukadana tua (Brussel) dan berada di bawah
kekuasaan Residen Pontianak. Batas-batas negeri yang benar akan
ditentukan kemudian hari antara daerah-daerah tersebut.
Pasal 3
Raja Pribumi yang akan diakui pemerintah sebagai raja matan,
adalah orang yang mau datang di daerah yang termasuk kerajaan
Nieuw Brussel, menghormati Sultan, menunjukkan sikap ramah
dan bersahabat dengan Sultan.
Pasal 4
Pelabuhan Brussel (Sukadana) akan menjadi pelabuhan
yang statusnya sama dengan pelabuhan Sambas dan Pontianak,
sebagaimana yang ditentukan oleh Residen resolusi 18 Februari
1833, Staatsblad no 8 pasal 9.
Pasal 5
Semua jenias pajak, tanpa kecuali dibayar kepada pemerintah
dan dikumpulkan oleh seorang pejabat, yang ditempatkan di
Brussel, atau oleh pembesar-pembesar orang pribumi, yang diakui
secara tertulis memiliki kemampuan mengumpulkan pajak.
Lampiran-Lampiran | 65 

Pasal 6
Perolehan bruto dari semua pendapatan juga biaya
pengumpulan dan pengeluaran untuk sipil, militer, dan pengadilan,
menjadi hak dari pemrintah (Belanda) yang ada di Brussel.
Pemerintahlah yang akan menetapkan penggunaannya dan
untuk ini pemegang kuasa sipil akan membukukan pendapatan,
menghitungkan mencatat pengeluaran dan membuat laporan
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Asisten Residen.
Tentang saldo yang ada setelah perhitungan selesai; setelah
verifikasi dan eksaminasi oleh Asisten Residen, disimpan oleh
pejabat (pemegang kuasa sipil), oleh Sultan bisa memperoleh dana
untuk mencukupi kebutuhannya.
Pasal 7
Saldo bersih dari anggaran tadi, dibagi sama besar antara
pemerintah dan Sultan dan dibayarkan oleh pemegang kuasa sipil,
tanpa melihat berapa besar naik turunnya jumlah uang.
Pasal 8
Untuk menjamin agar Sultan tidak mengalami kehidupan
yang miskin, sebagimana hal ini menjadi tujuan dari kesepakatan
ini, kepada Sultan. Selain bagian yang bisa ia terima dari saldo
anggaran : ia beri oleh pemerintah pendapatan pasti sebesar
F.7000 setahun. Jadi jumlah itu F.5040 berupa garam, yang dapat
dijual oleh Sultan. Namun harga garam yang dijual itu tidak
boleh lebih rendah dari harga garam yang dilelapkan pemerintah.
Sultan harus berusaha agar garam itu sampai di tangan penduduk
daerah pedalaman dan ditukar dengan hasil-hasil yang akan bisa
menghidupkan pendapatan dalam negeri dengan Brussel.
Pasal 9
Sultan mengikat diri tidak mengizinkan garam lain masuk
dalam kerajaannya, yang tidak diimpor atas rekening Gubernemen
dari Jawa dan Madura.
66 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Pasal 10
Sultan terikat untuk tetap menaati ketentuan pemerintah dan
keturunannya memberi bantuan kepada pemerintah, tanpa harus
diminta.
Pasal 11
Dari pihak Gubernemen diberi kepada Sukadana untuk kurun
waktu dua tahun kebebasan dari segala pajak, termasuk bea impor
dan ekspor barang-barang asal tempat-tempat yang termasuk
Gubernemen Belanda, atau dari tempat-tempat milik raja-raja
yang bersahabat dengan Gubernemen, walaupun hal itu ditarik di
lain pelabuhan negara.
Pasal 12
Di Brussel akan dibentuk sebuah badan pengadilan, di mana
Sultan bisa menyatakan hak-hak hukumnya. Tentang hukuman
mati, pelaksanaannya harus seizin Residen.
Pasal 13
Tidak penting
Pasal 14
Sultan tidak mempunyai kewenangan dalm hal hukum
masalah-masalah kejahatan kecil sekalipun harus diselesaikan
oleh pemegang kuasa sipil, pejabat pemerintah.
Pasal 15 dan 16
Tidak penting
Pasal 17
Sultan dan penerusnya terikat kepada pemerintah. Ia dengan
segala kekuatan yang ada akan mengikuti peperangan dan
ekspedisi, apabila pemerintah merasa perlu dengan memintanya.
Ia dan pasukan harus menaati perintah-perintah yang dikeluarkan
panglima-panglima darat maupun laut, menunjukkan sikap setia
sebagai seorang vasal yang gagah berani, dan semua itu akan
diperhitungkan (oleh pemerintah).
Lampiran-Lampiran | 67 

Pasal 18 dan 19
Tidak penting
Pasal 20
Sejak 1 Juli 1839 Sultan harus mencicil F.2000 setiap tahunnya
kepada pemerintah sebagai cicilan hutangnya. Uang itu bisa
diambil dari pendapatannya yang ditentukan pada pasal 8
Pasal 21
Sementara menunggu pengesahan korak oleh pemerintah,
pembina bagian pendapatan sebagaimana disebut dalam pasal 8
berlaku mulai 1 Mei 1837
Pasal 22
Tidak penting
Pasal 23
Setelah kontrak berjalan 5 tahun lamanya, maka pada 1 Mei
1842 kontrak akan di tinjau kembali dan bila perlu ada perubahan
jika ada semua yang disepakati dan berfaedah.
Demikianlah kontrak ini ditutup.
68 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Kontrak 26 Mei 1837


(Barth 1896: 33-39)

Komisaris pemerintah Hindia Belanda, J.B de Linge, atas


seizin dan sepengetahuan yang mulia Gubernur jenderal ingin
memberikan pandangan baru tentang pentingnya ketertiban dan
kesejahteraan di kerajaan matan, kepada raja-raja matan.
Maka bersama dengan panembahan Anom Kusuma Negara
dan pangeran Cakra Negara, di buatlah kesepakatan ini.
Pasal 1
Negeri matan akan tetap terpisah dari kerajaan Nieuw Brussel,
serta berada langsung dibawah kekuasaan pemerintahan Belanda.
Pasal 2
Pangeran Cakra Negara yang sejak dahulu meminta agar
kekuasaan Kerajaan Matan diberikan kepada saudaranya,
Panembahan Anom Kusuma Negara, dengan berapa sekedar
bisa mendapat sekedar uang pensiun, mendorong Komisaris
dengan dukungan kekuataan pemerintahannya atas wilayah
Matan yang diakui oleh Pangeran dan Panembahan, menetapkan
bahwa pemerintahan matan berada di tangan panembahan Anom
Kusuma Negara, di bawah kuasa pemegang kuasa sipil di Nieuw
Brussel, atau dibawah Asisten Residen Pontianak, bila pejabat
yang disebut terakhir ini berpendapat bahwa ia ingin langsung
memberi perintah kepada panembahan.
Pasal 3
Dalam menjalankan pemerintahan dikuasakan kepadanya,
serta kekuasaan yang ia miliki, panembahan akan tetap tertunduk
atas nama pemerintah Hindia Belanda.
Pasal 4
Panembahan akan menghormati pemegang kuasa sipil yang
ditempatkan pemerintah Belanda di Nieuw Brussel dan pejabat
yang ditempatkan di matan, serta memberi laporan tentang apa
yang dilakukan berkat arahan pejabat-pejabat itu.
Lampiran-Lampiran | 69 

Pasal 5
Panembahan beserta raja-raja lain dan pembesar-pembesar
Matan, diwajibkan sering berkunjung ke wilayang kerajaan Nieuw
Brussel unutk menunjukkan penghormatannya kepada Sultan.
Pasal 6
Pendapatan Kerajaan Matan yang berasal dari sarang burung
dengan pendapatan lain tanpa kecuali, demikian pula pajak yang
dibayar orang Dayak untuk penggunaan tanah, akan dibagi sama
antara kerajaan dengan pemerintah.
Sementara itu dari pendapatan negeri Matan yang tidak
berada langsung dibawah pengaturan panembahan; panembahan
harus menyetor uang sejumlah F.5000 setahunnya ke kas Negara
yang ada di Nieuw Brussel atau ke Pontianak. Penyetoran
dilakukan setiap enam bulan, terhitung mulai 1 Juli 1837. Pajak,
yang akan dipungut dari penduduk Dayak, tidak boleh lebih dari
ƒ 5 dalam bentuk uang perak, untuk setiap keluarga, dan pajak
ini menggantikan semua jenis pajak dan pungutan monopoli atas
barang-barang kebutuhan hidup mereka, pakaian dan keperluan
lain.
Pajak ini dapat juga diganti dengan pekerjaan yang dilakukan
bagi kepentingan pemerintah; dan untuk itu pembayar pajak
hanya perlu membayar ƒ 2,50 setiap keluarga.
Pasal 7
Untuk semua pendapatan, yang dikumpulkan dengan seizing
atau perintah pemerintah, Panembahan diminta membuat dengan
menyampaikan laporan perhitungan kepada pemegang kuasa sipil
pemerintah yang berada di Nieuw Brussel, setiap 1 Januari dan 1
Juli setiap tahunnya.
Laporan ini disertai penjelasan yang diperlukan, apakah
pendapatan tadi berada di atas ƒ 10.000, dalam mana sebagai
ditetapkan dalam pasal 6, pemerintah dapat bagian dari
pendapatan kerajaan, dan apabila terjadi kenaikan pendapatan,
Pemerintah juga mendapat bagiannya dari kenaikan itu.
70 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Pasal 8
Untuk mengakhiri dan menghindari perselisihan, yang
terutama terjadi karena masalah batas kerajaan; batas antara
kerajaan Matan dan kerajaan Nieuw Brussel akan segera ditetapkan.
Untuk itu, Panembahan atau pembesar yang dipercaya
akan dipertemukan dengan pejabat yang mewakili Sulatan
Nieuw Brussel dan wakil Pemerintah di suatu tempat yang akan
ditentukan oleh pemerintah.
Pasal 9
Dalam ketentuan ini diharapkan agar jalannya aliran sungai-
sungai diperhatikan dan diikuti; pelaksanaan atas akhir dari pasal
5 instruksi dari Panembahan yang tertahan oleh Resolusi Gubernur
Jenderal no. 8 tertanggal 5 Maret 1831 dilakukan, agar sekitar 200-
300 keluarga Dayak dapat dikeluarkan dari daerah kerajaan Matan
dan dimasukkan ke dalam daerah Kerajaan Nieuw Brussel.
Pasal 10
Panembahan harus siap menerima bantuan pemegang kuasa
sipil dalam membuat statistik kerajaan Matan, statistik mana akan
berlaku sebagai dasar yang diakui untuk mengetahui semua tugas
dan keadaan, agar kedamaian hidup dan rasa tentram rakyat
terjamin, dan kesejahteraan rakyat tercapai.
Pasal 11
Panembahan mempunyai kewajiban untuk membayar pension
tahunan kepada saudaranya, Pangeran Cakra Negara, uang sebesar
f1800 selama yang bersangkutan masih hidup.
Separo dari uang itu dibagikan pada keturunan derajat satu
dari Pangeran, dan Panembahan wajib membantu saudaranya itu
untuk mendapatkan penghasilan dari tanah-tanah pertanian yang
diberikan kepadanya; untuk menjamin pendapatan bagi anak-
anaknya.
Pasal 12
Dengan penerimaan uang pension dan ketentuan yang
menguntungkan bagi anak-anaknya, Pangeran Cakra Negara wajib
Lampiran-Lampiran | 71 

melepaskan haknya untuk mendapat pendapatan dari sarang


burung, pajak dan hak monopoli, tanpa kecuali.
Semua pendapatan ini akan dikumpulkan oleh Panembahan
sebagai pendapatan Kerajaan Maran, sebagaimana disebut dalam
pasal 6 dan 7 dan dicatat serta dilaporkan.
Pangeran (Cakra Negera) juga harus berjanji tidak akan
menunjukkan pengaruh ataupun kekuasaan yang pernah
dimilikinya kepada siapapun.
Pasal 13
Panembahan bersama pemegang kuasa sipil akan menetapkan
tanah-tanah mana yang paling cocok untuk tanaman produksi
yang bisa dipasarkan pada pasar Eropa, dan ia wajib berjanji
untuk memberitahukan kepada rakyat akan hasil-hasil yang
menguntungkan dari produk-produk itu.
Maka untuk ini Panembahan harus mengeluarkan perintah
agar rakyat membuka, menanam, memelihara kebun-kebun kopi
dan lada.
Instruksi lanjutan yang diberikan kepada pemegang kuasa
sipil, akan menetapkan tanaman apa saja yang harus ditanam dan
penetapan upah kerja penduduk.
Untuk tanaman kopi, bagi kualitas pertama ditetapkan F.6 dan
bagi kualitas kedua F.5 perpikulan (100 kati), dibayarkan dalam
bentuk uang tembaga. Hasil perkebunan ini harus dalam keadaan
kering, bersih dan diterima di gudang penyimpanan milik negara.
Pasal 14
Kepada Panembahan dan sejumlah kepala/tokoh yang
diangkat olehnya sebagai mandor dan pengawas terhadap kebun
dan produnya, diberikan imbalan sebesar F.1,25 untuk tiap pikul
kopi dan F.0,75 untuk tiap pikul lada, yang masing-masing
beratnya 100 kati, dalam keadaan kering, bersih dan diterima di
gedung penyimpanan pemerintah.
72 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Bagaimana menetukan pembagian ini, akan diatur bersama


antara Asisten Residen Pontianak atau pemegang kuasa sipil
dengan Panembahan setelah panen pertama dilakukan.
Pasal 15
Mengurus pengaturan penjagaan terhadap perompakan laut
Pasal 16
Mengurus pengaturan pencegahan penindasan dan penipuan
Pasal 17
Dengan istilah “penindasan” termasuk juga perdagangan
yang dilakukan dengan orang-orang Dayak yang disebut “dagang
serahan” serta monopoli-monopoli lain yang sangat dilarang;
Bila perdagangan dengan penduduk pedalaman dibuka bagi
siapapun juga, maka peraturan-peraturan yang bersifat umum
maupun khusus, haruslah ditaati.
Pasal 18
Pengurusan kampung-kampung Dayak, oleh pemegang
kuasa sipil yang bersepakat dengan Panembahan, serta disahkan
oleh Asisten Residen Pontianak, diserahkan kepada ketua-ketua
mereka sendiri, demi terwujudnya harapan untuk tercapainya
kesejahteraan.
Pasal 19
Untuk kerajaan Matan akan dibuat peraturan mengenai
pengadilan dan kepolisian, yang harus dilaksanakan oleh
Panembahan.
Pasal 20
Panembahan harus menjaga dan menjamin:
1. Bahwa pemasukan budak dan juga menjadikan orang Dayak
menjadi budak berdasar hukum-hukum yang dahulu berlaku,
sangat dilarang.
2. Tidak ada pangkat atau gelar diberikan, tanpa persetujuan
pemerintah.
Lampiran-Lampiran | 73 

3. Hanya mata uang yang oleh pemerintah dinyatakan berlaku,


dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
4. Bahwa di Matan, tidak boleh ada garam yang dimasukkan,
kecuali garam dari pemerintah atau dari orang / pembesar
Belanda yang diberi kewenangan. Pembeli dapat langsung
membeli pada gudang penyimpanan dan penjualan garam
yang ada di daerah Borneo Barat dan Panembahan wajib
memberitahukan hal ini kepada pemegang kuasa sipil.
5. Tidak ada perdagangan candu yang boleh dijalankan, kecuali
oleh mereka yang berstatus sebagai “pachter”.
6. Tidak boleh ada perahu, kecuali yang asalnya dari daerah
ini sendiri, boleh singgah di pelabuhan, muara sungai,
dan di Kerajaan Matan. Panembahan punya kewenangan
untuk merampas perahu itu Karen amelanggar resolusi 18
Februari 1833; dan menyerahkan perahu yang dirampas itu
ke NieuwBrussel untuk diserahkan kepada pemegang kuasa
sipil, bilamana ia tidak berada di Kayung.
7. Tidak ada kain-kain buatan Eropa, kecuali yang disertai
surat izin yang diberikan oleh pembesar Belanda yang diberi
wewenang; boleh diimpor Matan. Bila terjadi pelanggaran
dalam hal ini, kata-kata itu harus disampaikan dan dikirimkan
kepada pemegang kuasa sipil.
Pasal 21
Panembahan akan mendapat bagian sepertiga (1/3) dari denda
atas segala kejadian pelanggaran yang dilaporkan kepadanya, dan
dari bagian itu, ia sesuai dengan aturan yang dibuat pemegang
kuasa sipil, dapat juga membari imbal jasa kepada mereka yang
melaporkan terjadinya kejadian itu.
Pasal 22
Kepada Panembahan diperingatkan dengan keras untuk
tidak menjadikan orang-orang yang terdampar sebagai budak;
sebagaimana yang terjadi dan menjadi hak penduduk Matan,
yang menebut orang-orang terdampar tadi dengan istilah tawanan
karang.
74 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Pasal 23
Orang-orang Jawa yang dimasukkan oleh perompak laut ke
kerajaan Matan, harus dibebaskan. Mereka yang masih menahan
orang-orang Jawa ini harus dihukum dengan hukuman denda ƒ 50
untuk setiap budak orang Jawa yang dimiliki.
Pasal 24
Di Kayung, Panembahan harus menyediakan sebuah rumah
di dekat rumah kediamannya. Rumah ini yang dilengkapi perabot
rumah tangga, dapat menjadi tempat menginapnya pemegang
kuasa sipil dan menjadi tempat kerjanya.
Didepan rumah harus ada tiang bendera, dan manakala
pemegang kuasa sipil berada ditempat itu, bendera Belanda
dikibarkan.
Demikian pula bendera Belanda dikibarkan pada hari ulang
tahun Raja atau Ratu Belanda, Putra Mahkota Kerajaan dan pada
26 Mei untuk memperingati tercapainya kesepakatan antara
Pemerintahan Belanda dan Kerajaan Matan guna mengakhiri
situasi Matan tanpa pemerintahan dan melindungi keluarga raja,
serta mem memenuhi harapan Panembahan agar Matan menjadi
kerajaan yang mandiri.
Juga oleh pemegang kuasa sipil pada saat seperti itu, akan
dibacakan kontrak yang dihadiri oleh Panembahan dan seluruh
keluarganya.

Demikian kontrak ini ditutup/diakhiri


Lampiran-Lampiran | 75 

SUKADANA, MATAN DAN SIMPANG


Penugasan impor dan ekspor sepanjang tahun 1854
Pemasukan
Diimpor dari

Ukuran,

bawahannya
Lingga dan

Singapura
Pontianak
Karimata
Belitung
Penyebutan Berat, Jumlah

Jawa
dll.

Tembikar buah ─ 5360 ─ 120 50 5960 11490


Opium bola ─ ─ ─ ─ 18 ─ 18
Panci (besi) buah ─ ─ ─ ─ 45 2215 2260
Kapak buah ─ ─ ─ ─ ─ 60 60
Kurma pikul ─ ─ ─ ─ 1 12 13
Gambir pikul ─ ─ ─ ─ 4 5 9
Benang (Katun) helai ─ 600 ─ 9 ─ 20 629
Emas (serbuk) thail ─ ─ ─ ─ 2 ─ 2
Sayuran (berlapis) pot ─ ─ ─ ─ 20 ─ 20
Anak Sapi ekor ─ 8 ─ ─ ─ ─ 8
Kapuk pikul ─ 54 ─ ─ ─ ─ 54
Kacang pikul ─ 31 ─ ─ 6 ─ 37
Kapas (lijnwad) kodi 25 65 ─ 18 27 212 308
Karet kati ─ ─ 8 ─ ─ ─ 8
Kelapa buah ─ ─ ─ 2000 8500 ─ 10500
Kawat Tembaga kati ─ 100 ─ ─ 50 1250 1400
Barang Tembaga pikul ─ 4 ─ 1 1 18 348
Karang (Cina) pikul ─ ─ ─ ─ ─ 2 2
Seperai ellen ─ ─ ─ ─ ─ 140 140
Pernis (Palemb.) buah ─ 14 ─ ─ ─ 83 94
Timah kati ─ ─ ─ ─ ─ 250 250
Tikar (jerami Jawa) buah ─ 6 ─ ─ ─ ─ 6
Koin (tembaga) gulden ─ ─ ─ ─ 400 ─ 400
─ (wadah) “ 1530 600 ─ ─ ─ ─ 600
─ (perak) “ ─ 455 ─ 200 255 5970 8410
Minyak (jarak) kaleng ─ 50 ─ ─ ─ ─ 50
─ (kelapa) “ ─ 100 ─ 750 662 ─ 1512
Padi pikul ─ ─ ─ ─ 10 ─ 10
Beras “ ─ 231 ─ ─ 30 150 411
Domba ekor ─ 36 ─ ─ ─ ─ 36
Sirup (lokal) botol ─ 60 ─ ─ ─ ─ 60
Cermin buah ─ 1 ─ ─ ─ ─ 1
Paku kati ─ 501 ─ ─ ─ 100 610
Baja “ ─ ─ ─ ─ ─ 750 750
Kursi buah ─ 4 ─ ─ ─ ─ 4
Gula (bubuk) pikul ─ 15 ─ ─ 6 1 23
─ (anaun) paket ─ ─ ─ ─ 300 ─ 300
Tembakau krandj ─ 697 ─ ─ 34 ─ 731
Asam pikul ─ ─ ─ ─ 1 ─ 1
Tripang “ ─ ─ ─ ─ 1 ─ 2
Tulip (Arab) buah ─ ─ 1 ─ ─ 20 20
Bawang pikul ─ 14 ─ ─ ─ ─ 14
Gemuk (babi) kati ─ 20 ─ ─ ─ ─ 20
Ikan (kering) pikul ─ ─ ─ ─ ─ ─ 9
Sarang burung kati ─ ─ 9 ─ ─ ─ 6
Wayang (Jawa) buah ─ 1 6 23 ─ ─ 1
Tali penyeret kati ─ 148 ─ ─ ─ ─ 148
76 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Besi pikul ─ 8 ─ ─ ─ ─ 8
Sutra, Chin. Celana lembar ─ ─ ─ 23 ─ 340 363
Sutra (kasar) pak ─ ─ ─ ─ ─ 2 2
Lembaran sutra lembar ─ ─ ─ 28 ─ 93 121

EKSPOR

Diekspor ke
Ukuran,

bawahannya
Lingga dan
Berat,

Singapura
Pontianak
Karimata

Serawah
Penyebutan

Sambas
Belitung

dll.
Jawa

Jumlah

Opium bola ─ ─ ─ ─ 3 ─ ─ ─ 3
Kulit pohon pikul ─ 160 ─ ─ ─ ─ ─ ─ 160
Damar ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ 33 33
Kayu gaharu kati ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ 3 3
Getah perca pikul ─ ─ ─ 31 304 ─ ─ 918 1316
Madu ─ ─ 1 ─ ─ ─ ─ ─ 1
Karet kati ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ 17
Kelapa buah ─ ─ 480 ─ 20 ─ ─ ─ 37
Tembaga kati ─ 60 ─ ─ ─ ─ ─ ─ 480
(tua) buah ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ 60
Tikar (Dayak) gulden ─ ─ ─ ─ 60 ─ ─ ─ 60
Koin ─ ─ ─ ─ ─ 350 ─ ─ ─ 350
(tembaga) ─ ─ ─ ─ ─ 200 ─ ─ 2754 200
─ (wadah) kaleng ─ 33745 ─ ─ 425 ─ ─ ─ 3179
─ (perak) hutan ─ ─ ─ ─ 60 10 ─ 10400 60
Minyak buah ─ ─ ─ 130 ─ ─ ─ 300 44164
(kelapa) pikul 25 ─ 68 ─ 150 150 ─ 6 450
Tebu ─ ─ ─ ─ ─ 2 ─ ─ ─ 381
─ (semambu) Paket ─ ─ 433 29 70 ─ ─ ─ 70
Beras krandj ─ ─ 1 ─ 130 ─ 6 ─ 560
Kerang pikul ─ 271 ─ ─ ─ 10 ─ ─ 36
Gula (anaun) ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ 10
Tembakau ─ ─ ─ ─ ─ 13 ─ ─ 284
Tripang ─ ─ 3 ─ ─ ─ 25 ─ ─
Terasi Kati ─ ─ ─ ─ ─ 10 ─ 14 25
Dipan Pikul 2 6 ─ ─ 41 3 ─ ─ 68
(roggen) ─ ─ ─ ─ 36 ─ ─ ─ 41
Ikan (kering) 37 93
Sarang
burung walet
Buah-buahan
Lilin

NB. Ada klarifikasi yang dilakukan di Pontianak, selain


Sukadana, langsung ke Matan dan Simpang untuk pergi, serta
Lampiran-Lampiran | 77 

dari orang-orang kaya ke Jawa dan tempat lain untuk pergi dan
kepala pedalaman di Ketapang dan Koewalan juga langsung ke
Pontianak, tugas ini bisa dilakukan- tidak semua barang yang
diimpor dan diekspor.

SUKADANA, MATAN DAN SIMPANG


Penugasan impor dan ekspor sepanjang tahun 1855
PEMASUKAN
Diimpor dari
Banjarmasiin

Ukuran,

Singapura
Lingga
Penyebutan Berat, Jumlah
Jawa
Bali

dll.

Tembikar buah ─ 3000 300 400 18120 18820


Kapak pikul ─ ─ ─ ─ 6 6
Telur, asin butir ─ 3000 ─ ─ ─ 3000
Getah perca pikul ─ ─ ─ ─ 3 3
Kapuk id. ─ ─ 4 ─ ─ 4
Katun lijnwaden kodi ─ ─ 13 448 461
Bunga terompet buah ─ ─ ─ ─ 1 1
Kawat tembaga kati ─ ─ 1 ─ ─ 1
Barang tembaga pikul ─ ─ 11 10 21
Kain ellen ─ ─ ─ ─ 2 2
Padi pikul ─ 22 ─ ─ ─ 22
Beras id 30 ─ 32 105 260 427
Baja kati ─ ─ ─ ─ 8 8
Cerutu buah ─ ─ ─ ─ 500 500
Butiran gula pikul ─ ─ 3 ─ 4 7
Tembakau krandj ─ ─ 83 ─ 161 144
Bawang pikul ─ ─ 2 ─ ─ 2
Ikan (kering) id ─ ─ ─ ─
Sutra Chin. celana lembar ─ ─ ─ ─ 60 60
─── bantal id ─ ─ ─ ─ 12 12
─── potongan id ─ ─ ─ ─ 15 15
78 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

EKSPOR

Diekspor ke

Ukuran,

Banjarmasin

Singkawang
Semarang

Singapura
Kotaringin

Pontianak
Penyebutan Berat, Jumlah

Belitung
dll.

Tembikar buah ─ ─ ─ 3000 ─ ─ ─ 3000


Kayu gaharu kati ─ ─ ─ ─ 180 ─ 40 220
Getah perca pikul ─ ─ ─ 327 ─ ─ 619 946
Madu id ─ ─ ─ ─ ─ ─
Karet kati ─ ─ ─ ─ ─ ─ 13 13
Kelapa buah 100 900 1000 ─ ─ ─ ─ 2000
Tembaga (tua) kati ─ ─ ─ ─ 20 ─ ─ 20
Bahan tembaga id ─ ─ 30 ─ ─ ─ ─ 30
Jati liar pikul ─ ─ ─ 5 ─ ─ ─ 5
Koin (tembaga) gulden ─ 150 ─ ─ ─ ─ ─ 150
─── (perak) id. ─ ─ ─ ─ ─ ─ 1275 1275
Minyak (kelapa) kaleng 20 100 300 ─ ─ ─ ─ 520
Kacang pinang buah ─ ─ ─ ─ 2000 ─ ─ 2000
Tebu hutan ─ ─ ─ 2840 22000 ─ 36100 60940
── semambu buah ─ ─ ─ ─ 600 ─ ─ 600
Beras pikul ─ 24 ─ 136 ─ 80 ─ 240
Gula (anaun) paket ─ 1250 ─ ─ ─ ─ ─ 1250
Tembakau krandj ─ ─ 40 ─ ─ ─ ─ 40
Terasi pikul ─ ─ ─ ─ 166 ─ ─ 166
Sarang burung walet kati ─ ─ ─ 43 ─ ─ 15 58
Lilin kati ─ 17 ─ 170 558 ─ ─ 745

NB. Ada klarifikasi yang dilakukan di Pontianak, selain


Sukadana, langsung ke Matan dan Simpang untuk pergi, serta
dari orang-orang kaya ke Jawa dan tempat lain untuk pergi dan
kepala pedalaman di Ketapang dan Koewalan juga langsung ke
Pontianak, tugas ini bisa dilakukan- tidak semua barang yang
diimpor dan diekspor.
Lampiran-Lampiran | 79 

Silsilah Kerajaan Sukadana


(Sumber: Kratz E.U. Silsilah Raja-Raja Sambas as a Source of History. In:
Archipel, volume 20, 1980. De la philologie à l’histoire. pp. 263.)

Hubungan Silsilah Kerajaan Sukadana, Kesultanan Sambas, & Kesultanan


Brunei
(Sumber: Kratz E.U. Silsilah Raja-Raja Sambas as a Source of History. In:
Archipel, volume 20, 1980. De la philologie à l’histoire. pp. 265.)
80 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Mercusuar di Kepulauan Karimata


(Sumber: http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/start/1?f_
trefwoord%5B0%5D=Ketapang)

Kondisi Mercusuar saat ini


(Sumber: Jejak Cagar Budaya Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan KKU)
FOTO-FOTO

Bersama Agus Kurniawan (Budayawan Ketapang / Informan) & Gusti


Carma (Sejarahwan Ketapang)

Keraton Kerajaan Matan Ketapang

81 
82 | “Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Komplek Makam Keramat Tujuh Ketapang

Salah satu nisan batu makam keramat tujuh


Foto-Foto | 83 

Salah satu makam kayu makam keramat tujuh

Komplek Makam Keramat Sembilan Ketapang


84 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Beberapa nisan makam keramat sembilan

Gerbang Makam Raja Tengku Akil


Foto-Foto | 85 

Makam Raja Tengku Akil

Komplek makam Ratu Soraya (Istri Raja Tengah dari Brunei Darussalam)
86 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Pemandangan Kabupaten Kayong Utara dari Komplek Makam Ratu Soraya

Nisan makam Ratu Soraya


Foto-Foto | 87 

Nisan Makam Ratu Nirmala

Masjid Jami’ Al-Qudsy (Masjid tertua di Sukadana)


88 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Masjid Jami’ Al-Qudsy saat ini

Masjid Osman Al-Khair, sebelumnya lokasi ini adalah Benteng (Redoute)


Nieuw Brussel bedasarkan peta Sukadana pada tahun 1890
Foto-Foto | 89 

Kondisi Gudang Garam di Sukadana

Bekas Rumah Kontrolir (Rumah ini terbakar pada tanggal 3 Juli 2017)
90 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Bersama Kabid Kebudayaan KKU & Penghuni rumah

Kayu-kayu bekas pondasi yang terdapat disekitar Rumah Kontrolir


Foto-Foto | 91 

Rumah Kontrolir yang terbakar pada tanggal 3 Juli 2017

Bapak Sarifudin dengan dua pusaka wayang


(Informan / Tokoh Masyarakat Sukadana)
92 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Sekretariat Ikatan Kekerabatan Keraton Simpang (IKKRAS)

Pak Cik Usuf menunjukkan Foto Raja Simpang-Matan Gusti Mesir


(Informan / Tokoh Masyarakat Simpang)
Foto-Foto | 93 

Bersama Almarhum Gusti Mohd. Mulia (Informan / Raja Simpang-Matan)


& Gusti Muhammad Hukma (Informan / Putra Mahkota Kerajaan Simpang-
Matan)

Bersama Almarhum Gusti Mohammad Mulia


(Raja Kerajaan Simpang-Matan)
94 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Proses wawancara bersama Bapak Tengku Najib


(Informan / Arkeolog Puslit Arkeologi Nasional Jakarta)

Bersama Prof. Dr. Dien Madjid


(Informan / Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Foto-Foto | 95 

Peneliti saat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta

Anggota tim peneliti saat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia


(PNRI) Jakarta
96 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Anggota tim peneliti saat di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)


Jakarta

Titik persimpangan jalur perdagangan dari pedalaman ke Sukadana yang


terletak di Sukalanting
Foto-Foto | 97 

Klenteng Sukalanting sebagai penanda jalur sungai dari pedalaman


98 | ’’Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19
BIODATA TIM PENELITI

Yusri Darmadi

Lahir di Dumai (Riau), 30


Juli 1981. Menamatkan
pendidikan S1 di Universitas
Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta jurusan Ilmu
Sejarah. Saat ini berkerja
sebagai peneliti sejarah di
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan Balai
Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalimantan Barat. Adapun karya
Ilmiah penulis dalam bentuk penelitian atau makalah dan buku
diantaranya: Terorrism in Southeast Asia: Unique Characteristics and
Appropriate Solutions (HPAIR Seoul paper, 2003), Menjelajah Tafsir
Sejarah (Majalah TEMPO, 30 Maret 2008), Kuntowidjojo: Sebuah
Biografi (1943-2005) (Skripsi, 2009), Sejarah Pelabuhan Silo di
Teluk Bayur Berau (1912-1957) (Bersama Tim, Kepel Press, 2015),
110 Tahun Dokter Mas Soedarso (Pontianak Post, 30 November
2016), Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai
1942 (Bersama Tim, Kepel Press, 2017). Penulis dapat dihubungi di
alamat surat elektronik: yusri.darmadi@kemdikbud.go.id

99 
100 | “Nieuw Brussel’’ Di Kalimantan: peran strategis sukadana pada abad ke-19

Ika Rahmatika Chalimi

Lahir di Pontianak, 21 Februari


1989. Menamatkan pendidikan S1 di
Universitas Negeri Malang dan S2 di
Universitas Sebelas Maret Surakarta
bidang pendidikan sejarah. Saat ini
bekerja sebagai Dosen di Universitas
Tanjungpura Pontianak sejak 2014.
Konsentrasi dalam bidang pendidikan
sejarah. Mengajar Mata Kuliah
Kajian Kurikulum dan Buku Teks
Sejarah, Strategi Pembelajaran sejarah,
Perencanaan dan evaluasi Pembelajaran
sejarah serta mata kuliah keilmuan Sosiologi-Antropologi,
Geohistori, Sejarah Asia timur dan Sejarah Australia dan Oceania.
Karya ilmiah dalam bentuk penelitian diantaranya Pengembangan
Bahan Ajar Mata Pelajaran Sejarah di SMA dengan pendekatan
Multikultural, Implementasi Nilai-Nilai Multikultural dalam
Pembelajaran Sejarah di Singkawang dan Analisis Kesesuaian
Buku Teks Mata Pelajaran Sejarah dengan Standar Isi Kurikulum
2013 Edisi Revisi di Kota Pontianak. Penulis dapat dihubungi
melalui alamat surel ir.chalimi@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai