Anda di halaman 1dari 16

Faktor resiko penyebab batu

Batu kalsium (70-80 % dari semua jenis batu)

1. Hiperkalsiuri
Yaitu kadar kalsium didalam urine lebih besar dari 250-300 mg/24
jam. Dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
a. Hiperkalsiuri absorbtif : terjadi karena peningkatan absorbs
kalsium melalui usus.
b. Hiperkalsiuri renal : terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
c. Hiperkalsiuri resorptif : terjadi karena adanya peningkatan resorpsi
kalsium tulang ( banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer
atau tumor paratiroid).
2. Hiperoksaluria
Eksresi oksalat urine yang melebihi 45 gram perhari. Peningkatan
absorbsi oksalat disebabkan oleh pengikatan kalsium bebas dengan asam
lemak pada lumen intestinal dan peningkatan permeabilitas kolon terhadap
oksalat. Biasanya dapat dijumpai pada pasien yang menjalani pembedahan
usus dan pasien yang banyak mengkonsumsi makanan yang kaya oksalat.
Sumber oksalat : teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei,
jeruk siturn, dan sayuran bewarna hijau terutama bayam.
3. Hiperurikosuria
Kadar asam urat didalam urine melebihi 850 mg/ 24 jam. Asam urat
bertindak sebagai nidus untuk presipitasi kalsium oksalat atau kalsium fosfat.
4. Hiporsitraturia
Sitrat pada lumen tubulus akan mengikat kalsium membentuk larutan
kompleks yang tidak terdisiosiasi, sehingga kalsium bebas yang mengikat
oksalat berkurang. Jika sitrat berkurang maka terjadi penurunan eksresi
inhibitor pembentukan kristal pada saluran kemih. Penurunan jumlah air yang
diminum dapat menimbulkan batu karena peningkatan reaktan dan penurunan
aliran kemih.
5. Hipomagnesuria
Seperti halnya sitrat, penurunan kadar magnesium dapat memperbesar
timbulnya batu. Magnesium merupakan inhibitor terbentuknya batu Karena
bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah
ikatan antara kalsium dengan oksalat.

Infeksi pada saluran kemih

1. Pielonefritis
a. Definisi
Adalah suatu peradangan supuratif yang umum terjadi di ginjal dan pelvis
ginjal. Pielonefritis akut disebabkan oleh infeksi bakteri. Pielonefritis hampir selalu
berkaitan dengan infeksi saluran kemih bawah.
b. Etiologi
Penyebab utama peradangan ini adalah bakteri gram-negatif enterik.
Escherichia coli merupakan penyebab tersering. Selain itu, ada Proteus, Klebsiella,
Enterobacter, dan Pseudomonas; bakteri ini biasanya infeksi rekuren. Kadang
Staphylococcus dan Streptococcus faecalis juga bisa menyebabkan penyakit ini.
c. Epidemiologi
Swedia, 47/1719 (2,7%) pada perempuan dan 19/1834 (1%) pada laki-laki
yang masing-masing mengalami akut pielonefritis (ISK) pada umur 7
tahun.berdasarkan pada riwayat penyakit yang pernah mengalaminya, perempuan
(32%) dan pada ank laki-laki (59%).
Korea selatan berdasrkan dari asuransi didapat perempuan 0,15% dan pada
anak laki-laki 0,07%. Itali 0,13% pada anak perempuan dan 0,02% pada anak laki-
laki.
d. Patofisiologi
Ada 2 rute yang dapat ditempuh oleh bakteri untuk menginfeksi tubuh
seseorang :
1. Jalur Hematogen, bakteri menginfeksi melalui aliran darah.
2. Jalur Ascendens
Pada jalur ini, bakteri menginfeksi melalui saluran kemih bagian bawah. Jalur ini
merupakan jalur paling sering. Mekanisme masuknya bakteri dengan jalur ini adalah
pertama, terjadi perlekatan bakteri di permukaan mukosa, lalu bakteri melakukan
kolonisasi di uretra distal, seiring dengan banyaknya jumlah bakteri akibat kolonisasi
tersebut, bakteri bergerak melawan arus urin menuju vesica urinaria. Kateterisasi dan
sistoskopi dapat menjadi faktor predisposisi penyakit ini. Selain itu, perempuan
paling sering terkenan karena letak uretra yang dekat dengan rectum dan uretra yang
pendek, serta trauma uretra saat berhubungan intim juga dapat menjadi faktor
predisposisi penyakit ini.
Urin vesica urinaria steril dikarenakan oleh sifat antimikroba mukosa vesica
urinaria dan efek pembilasan yang timbul secara periodik. Obstruksi dan disfungsi
vesica urinaria dapat menyebabkan mekanisme pensterilan urin vesica urinaria tidak
terjadi. Obstruksi ini dapat terjadi karena infeksi saluran kemih. Obstruksi dan
disfungsi setinggi vesica urinaria dapat menyebabkan pengosongan yang inkomplit
dan peningkatan volume urin sisa. Setelah terjadi obstruksi setinggi vesica urinaria,
bakteri dapat naik ke ureter dan menyebabkan infeksi pelvis. Dapat disimpulkan
obstruksi di vesica urinaria sering menyebabkan infeksi saluran kemih. Selain itu,
inkompetensi orifisium vesikoureter dapat menyebabkan refluks urin vesika urinaria
kembali ke ureter. Refluks vesika urinaria terdapat pada 35-45% anak dengan infeksi
saluran kemih.
e. Gejala klinis
Onset mendadak nyeri di sudut kostovertebra disertai tanda sistemik infeksi
seperti menggil, demam, dan malaise. Kelainan kemih berupa piuria dan bakteriuria.
Selain itu, biasanya ada tanda iritasi kandung kemih dan uretra (disuria, polakisuria,
perasaan ingin kencing yang kuat). Gejala klasik : Demam dan menggigil yang terjadi
tiba-tiba, nyeri pinggang unilateral atau bilateral. Sering disertai gejala sistitis berupa
frekuensi, nokturia, disuri, dan urgensi. Kadang-kadang menyerupai gejala
gastrointestinal berupa nausea, muntah, diare atau nyeri perut. Sebanyak 75%
penderita pernah mengalami riwayat ISK bagian bawah.
Secara klinis didapatkan demam (38,5-40OC), takikardi, nyeri ketok pada
sudut kostovertebra. Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi karena nyeri tekan dan
spasme otot. Dapat terjadi distensi abdomen dan ileus paralitik.

f. Diagnosis
Diagnosis dapat diambil kesimpulan dari simtom yang ditunjukan atau
penemuan dari hasil pemeriksaan urin atau kedua-duanya. Tetapi kultur urin sangat
penting untuk menentukan terapi yang tepat.
Urinalisis dilakukan untuk mencari piuria dan hematuria. IDSA melaporkan
sebanyak 80 % pyelonefritis akut ditegakkan dengan bakteriuri bermakna > 105
koloni/ml, sedangkan 10-15 % lagi didapatkan dengan bakteriuri bermakna antara 104
- 105 koloni /ml. Oleh karena itu direkomendasikan bakteriuri bermakna untuk
pielonefitis akut adalah > 104 koloni /ml.
Pemeriksaan radiologis
Evaluasi saluran kemih bagian atas dengan USG dan kemungkinan foto
BNO untuk menyingkirkan obstruksi atau batu saluran kemih. Pemeriksaan
tambahan, seperti IVP, CT-scan, seharusnya dipertimbangkan bila pasien masih tetap
demam setelah 72 jam untuk menyingkirkan faktor komplikasi yang lebih jauh
seperti abses renal. IVP rutin pada pielonefritis akut non komplikata kurang
memberikan nila tambah karena 75% menunjukkan saluran kemih normal.
g. Tata laksana
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap
untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48
jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti di bawah ini:
1. Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotika
oral.
2. Pasien sakit berat atau debilitasi.
3. Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami kegagalan.
4. Diperlukan investigasi lanjutan.
5. Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi.
6. Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, usia lanjut.
Terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih
parah dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan pemberian
antibiotika. Antibiotika yang dipergunakan pada keadaan ini adalah yang bersifat
bakterisidal, dan berspektrum luas, yang secara farmakologis mampu mengadakan
penetrasi ke jaringan ginjal dan kadarnya di dalam urine cukup tinggi. Golongan
obat-obatan itu adalah: aminoglikosida yang dikombinasikan dengan aminopenisilin
(ampisilin atau amoksilin), aminopenisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat
atau subaktam, karboksipenisilin, sefalosporin, atau fluorokuinolon.
Jika dengan pemberian antibiotika itu keadaan klinis membaik, pemberian
parenteral diteruskan sampai 1 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian
peroral selama 2 minggu berikutnya. Akan tetapi jika dalam waktu 48-72 jam setelah
pemberian antibiotika keadaan klinis tidak menunjukkan perbaikan, mungkin kuman
tidak sensitif terhadap antibiotika yang diberikan.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga
alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui
mikroorganisme penyebabnya:
1. Fluorokuinolon
2. Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
3. Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.1
Pengobatan pielonefritis akut, untuk bayi dan anak dengan ISK disertai
gejala sistemik infeksi, setelah sampel urin diambil untuk biakan, diberikan
antibiotika parenteral (tanpa menunggu hasil biakan urin) untuk mencegah terjadinya
parut ginjal.
h. Prognosis
Baik jika faktor penyebab dan pencetus teratasi.
i. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
1. Nekrosis papil ginjal
2. Fionefrosis (terdapat pus pada ginjal)
3. Abses perinefrik

2. Uretritis
a. Definisi
Merupakan peradangan uretra dan jaringan periuretra pada pria dan wanita.
Ini dapat dihubungkan dengan berbagai macam infeksi atau gangguan noninfeksius.
b. Etiologi
Etiologi dari uretritis ini dapat disebabkan karena infeksi baik seksual
maupun nonseksual dan juga bukan diakibatkan dari infeksi, seperti yang dapat
dilihat pada tabel berikut:
c. Epidemiologi
Uretritis dapat terjadi pada berbagai umur, hubungan seksual, dan
kerbesihan seseorang. Pada masa remaja, uretritis biasa disebabkan infeksi Clamydia
dan gonorrhea. Infeksi gonocochus pada anak dengan usia 2 hingga 10 tahun dapat
timbul kemungkinan adanya kekerasan seksual. Uretritis pada anak-anak juga dapat
ditimbulkan akibat infeksi bakteri fecal selama awal tahun toilet training.
d. Patofisiologi
Infeksi yang disebabkan oleh N. gonorrhoeae biasanya terletak di uretra
pada laki-laki dan vagina pada perempuan muda, Faktor virulensi gonokokal
termasuk pili, kemampuan untuk menempel pada sel epitel uretra, dan produksi
protease ekstraseluler yang membelah IgA.
Infeksi Chlamdia adalah penyebab paling sering penyakit menular seksual
di Amerika Serikat. Chlamdia adalah organisme struktural kompleks parasit obligat
intraseluler yang mengandung DNA dan RNA. Langkah pertama dalam proses
infeksi dari sel pejamu yang rentan. Hal ini diikuti oleh fagositosis dan kemudian
kegagalan lisosom seluler untuk memadukan dengan phagosome berisi badan
elementar, yang dapat dimediasi sebagian oleh makromolekul dalam selubung sel
chlamdia. Setelah dua peristiwa penting terjadi, badan elementer mengalami
perubahan biologis, dan setelah sekitar 72 jam, mereka dilepaskan dari sel inang
sebagai infeksi tubuh dasar baru.

e. Faktor resiko
1. Perempuan di tahun-tahun produksi
2. Memiliki banyak pasangan seksual
3. Sejarah penyakit menular seksual
4. Perilaku seksual beresiko tinggi ( anal seks )
f. Gejala klinis
1. Discharge
2. Menyengat atau terbakar saat BAK
3. Terbakar, kesemutan atau iritasi di dalam penis
4. Frekuensi BAK sering
5. Nyeri saat berkemih
6. Nyeri di perut kanan bawah
g. Diagnosis
Kebanyakan pasien dengan uretritis tidak muncul sakit dan tidak hadir
dengan tanda-tanda sepsis. Fokus utama dari pemeriksaan adalah pada alat kelamin.
Pemeriksaan pada pasien pria dengan uretritis meliputi:
 Periksa pakaian untuk melihat sekresi
 Penis: Perhatikan lesi kulit yang dapat menunjukkan PMS lainnya (misalnya,
kondiloma acuminatum, herpes simpleks, sifilis), pada pria yang tidak disunat,
tarik kulup untuk menilai lesi dan eksudat.
 Uretra: Periksa lumen meatus uretra distal untuk lesi, striktur, atau keluarnya
cairan dari uretra, palpasi sepanjang uretra untuk wilayah fluktuasi, nyeri, hangat
yang menujukkan abses atau untuk mempertegas kemungkinan benda asing.
 Testis: Periksa adanya bukti massa atau peradangan, palpasi korda spermatika,
lihat adanya pembengkakan, nyeri, atau hangat yang menunjukan orkitis atau
epididimitis.
 Limfatik: Periksa adenopati inguinal
 Prostat: Palpasi untuk melihat nyeri atau tanda prostatitis
 Rektal: Selama pemeriksaan colok dubur, perhatikan setiap lesi perianal
Pemeriksaan pasien wanita dilakukan dalam posisi litotomi. Sertakan
evaluasi berikut:
 Kulit: Menilai untuk lesi yang dapat menunjukkan PMS lainnya
 Uretra: lihat cairan
 Pelvis: Pemeriksaan panggul lengkap, termasuk leher rahim
Uretritis dapat didiagnosis berdasarkan adanya satu atau lebih dari berikut
ini:
1. Sebuah debit uretra mukopurulen atau purulen
2. Uretra smear yang menunjukkan setidaknya 5 leukosit per bidang minyak imersi
pada mikroskop
3. Spesimen urin pertama yang menunjukkan esterase leukosit pada tes dipstick atau
setidaknya 10 leukosit / hpf pada mikroskop
Semua pasien dengan uretritis harus diuji untuk Neisseria gonorrhoeae dan
C. trachomatis. Studi laboratorium mungkin termasuk yang berikut:
1. Pewarnaan Gram
2. Kultur Endourethral dan / atau endoserviks untuk N gonorrhoeae dan C
trachomatis
3. Urinalisis: Bukan tes yang berguna dalam uretritis, kecuali untuk membantu
menyingkirkan sistitis atau pielonefritis
4. Tes dasar asam nukleat: Untuk C trachomatis dan N gonorrhoeae (spesimen
urin) dan spesies Chlamydia lainnya (sampel endourethral)
5. Tes amplifikasi asam nukleat (misalnya, PCR untuk N gonorrhoeae, Chlamydia
spesies)
6. KOH: untuk mengevaluasi organisme jamur
7. Wert mount preparation: Untuk mendeteksi gerakan / kehadiran Trichomonas
8. Tes STD untuk serologi sifilis (VDRL) dan HIV serologi
9. Nasofaring dan / atau rektal swab: Untuk skrining gonore pada pria yang
berhubungan seks dengan laki-laki
10. Uji kehamilan: Pada wanita yang telah memiliki hubungan seks tanpa kondom
Imaging studies
Urethrography retrograde khusus, tidak diperlukan pada pasien dengan uretritis,
kecuali dalam kasus-kasus trauma atau mungkin adanya benda asing.
Prosedur
Pasien dengan uretritis dapat menjalani prosedur sebagai berikut:
 Kateter: Dalam kasus trauma uretra, untuk menghindari retensi urin dan
perdarahan uretra tamponade
 Sistoskopi: Dalam kasus ketika kateter tidak mungkin, untuk penempatan
kateter, untuk menghilangkan benda asing atau batu di saluran kencing
 Pelebaran striktur uretra oleh filiforms dan pengikutnya
 Penempatan suprapubik tube: Pada kasus trauma uretra yang parah, dapat
mencegah pada pemasangan kateter uretra atau tidak adanya fasilitas yang
memadai untuk cystoscopy darurat; mengurangi ketidaknyamanan pasien
h. Tata laksana
Gejala uretritis spontan hilang melalui waktu, terlepas dari pengobatan.
Mengelola antibiotik yang mencakup kedua GU dan NGU. Terlepas dari gejala,
antibiotik diberikan kepada individu berikut:
 Pasien dengan positif Gram stain atau kultur positif
 Semua pasangan seksual dari pasien
 Pasien dengan hasil negatif Gram stain dan riwayat uretritis konsisten yang tidak
kembali untuk tindak lanjut dan / atau cenderung terus menerus mengalami
transmisi infeksi
Antibiotik digunakan dalam pengobatan uretritis meliputi:
 Azitromisin
 Ceftriaxone
 Cefixime
 Ciprofloxacin
 Ofloksasin
 Doxycycline

3. Sistitis
a. Definisi
Sistitis adalah peradangan kandung kemih.
b. Etiologi
E. coli (merupakan mikroorganisme paling sering diisolasi dari pasien
dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik), Proteus sp, Klebsiella sp,
Enterobacter sp, Citrobacter sp. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas sp dan
mikroorganisme lainya seperti Staphylococcus jarang dijumpai kecuali pasca
kateterisasi. Mikroorganisme lain yang kadang-kadang dijumpai menyebabkan ISK
adalah Chlamydia dan Myeoplasma.
Sistitis juga dapat disebabkan oleh virus (adenovirus).
c. Epidemiologi
Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis daripada pria karena uretra
wanita lebih pendek daripada pria. Di samping itu, getah cairan prostat pada pria
mempunyai sifat bakterisidal sehingga relatif tahan terhadap infeksi saluran kemih.
Diperkirakan bahwa paling sedikit 10-20% wanita pernah mengalami serangan sistitis
selama hidupnya dan kurang lebih 5% dalam satu tahun pernah mengalami serangan
ini.

d. Patofisiologi
Inflamasi pada vesika urinaria dapat disebabkan oleh bahan kimia, seperti
pada detergent yang dicampurkan ke dalam air untuk rendam duduk, deodorant yang
disemprotkan pada vulva atau obat-obatan yang dimasukkan intravesika untuk terapi
kanker vesika urinaria (cth: siklofosfamid).
Sistitis merupakan asending infection dari saluran perkemihan. Pada wanita
biasanya berupa sistitis akut karena jarak uretra ke vagina pendek (anatomi), kelainan
periuretral, rektum (kontaminasi) feses, efek mekanik coitus, serta infeksi kambuhan
organisme gram negatif dari saluran vagina, defek terhadap mukosa uretra, vagina,
dan genital eksterna memungkinkan organisme masuk ke vesika perkemihan. Infeksi
terjadi mendadak akibat flora (E. coli) pada tubuh pasien.
Pada laki-laki abnormal, sumbatan menyebabkan striktur uretra dan
hiperplasi prostatik (penyebab yang palin sering terjadi). Infeksi saluran kemih atas
penyebab penyakit infeksi kandung kemih kambuhan.
e. Faktor resiko
1. Bersetubuh ( berhubungan seksual)
2. Kehamilan pada wanita
3. Kandung kemih neurogis
4. Keadaan-keadaan obstruktif
5. Riwayat penyakit kronis (Gout, DM)
6. Setiap pasien yang terpasang kateter mempunyai resiko tinggi terkena
sistitis
7. Laki-laki yang belum disirkumsisi
8. Jarang minum atau suka menahan kencing (refleks vesiko-ureter)
f. Gejala klinis
Reaksi inflamasi menyebabkan mukosa vesika urinaria menjadi kemerahan
(eritema), edema dan hipersensitif sehingga jika vesika urinaria terisi urin akan
mudah terangsang untuk segera mengeluarkan isinya, hal ini menimbulkan gejala
frekuensi (adanya peningkatan pengeluaran urin saat siang hari). Kontraksi vesika
urinaria akan menyebabkan rasa sakit/nyeri di daerah suprapubik dan eritema.
Mukosa vesika urinaria mudah berdarah dan menimbulkan hematuria. Tidak seperti
gejala pada infeksi saluran kemih sebelah atas, sistitis jarang disertai demam, mual,
muntah, badan lemah, dan kondisi umum yang menurun. Jika disertai dengan demam
dan nyeri pinggang, perlu dipikirkan adanya perjalanan infeksi ke saluran kemih
sebelah atas.
Pasien sistitis mengalami urgency, sering berkemih, rasa panas dan nyeri
pada saat berkemih, nokturia, dan nyeri atau spasme pada area kandung kemih, dan
suprapubis. Piuria (adanya sel darah putih dalam urin), bakteri, dan sel darah merah
(hematuria) ditemukan pada pemeriksaan urine. Kit kultur memberikan informasi
kualitatif yang umum mengenai jumlah koloni bakteri dan mengidentifikasi apakah
organisme gram negatif atau positif.
g. Diagnosis
Anamnesis
1. Terdapat gejala frekuensi, karena buli-buli mengalami hipersensitif akibat
reaksi inflamasi.
2. Rasa nyeri/ sakit pada daerah suprapubik akibat kontraksi buli-buli.
3. Terdapat riwayat hematuria akibat eritema pada mukosa buli-buli mudah
berdarah.
4. Riwayat kebersihan alat kelamin yang tidak bersih.
5. Riwayat kencing yang berbau
6. Jarang/ tidak ada terdapat gejala seperti pada infeksi saluran kemih bagian atas
seperti demam, mual, muntah, badan lemas, dan kondisi umum yang
menurun.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tentang keadaan
umum pasien dan pemeriksaan urologi. Hal ini dilakukan karena sering kelainan-
kelainan di bidang urologi memberikan manifestasi penyakit sistemik, atau
kebalikannya. Tetapi khusus pada kasus ini kita menitik beratkan pemeriksaan
System saluran kemih bagian bawah khususnya buli-buli, dikarenakan didukung oleh
manifestasi klinis yang ada.

Pada pemeriksaan buli akan didapatkan :


1. Adanya edema pada buli-buli
2. Nyeri di daerah suprapubik
3. Nyeri juga sering dirasakan di punggung sebelah bawah
Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
 Makroskopik: urine berwarna keruh dan berbau
 Mikroskopik: piuria, hematuria, dan bakteriuria
2. Kultur Urine, dilakukan untuk mengetahui jenis kuman penyebab infeksi
3. Sistografi, dilakukan jika sistitis sering mengalami kekambuhan, sehingga perlu
difikirkan adanya kelainan lain pada buli-buli seperti keganasan dan urolitiasis.
4. Rontgen, untuk menggambarkan ginjal, ureter dan kandung kemih
5. Sistouretrografi, untuk mengetahui adanya arus balik air kemih dari kandung
kemih dan penyempitan uretra
6. Uretrogram retrograd, untuk mengetahui adanya penyempitan, divertikula atau
fistula.
7. Sistoskopi, untuk melihat kandung kemih secara langsung dengan serat optik.
h. Tata laksana
Pada sistitis tanpa komplikasi cukup diberikan terapi dengan antimikroba
dosis tunggal atau jangka pendek (1-3 hari). Tetapi, jika hal ini tidak memungkinkan,
dipilih antimikroba yang masih cukup sensitif terhadap kuman E. coli, antara lain:
nitrofurantoin, trimetoprim-sulfametoksazol, atau ampisilin. Kadang-kadang
diperlukan obat-obatan golongan antikolinergik (propantheline bromide) untuk
mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptik
pada saluran kemih.
i. Prognosis
Prognosis pada kasus sistitis akut tergantung penanganan yang diberikan.
Apabila penanganan yang diberikan cepat dan tepat maka akan mendapatkan
prognosis yang baik, namun bila penanganannya salah dan buruk maka prognosisnya
akan kurang baik.

j. Komplikasi
Pada umumnya sistitis yang merupakan tipe ISK uncomplicated yaitu non-
obstruksi dan bukan terjadi pada wanita hamil merupakan penyakit ringan (self
limited disease) dan tidak menyebabkan akibat lanjut jangka panjang. Akan tetapi
apabila sistitis terjadi pada wanita hamil, akan menyebabkan berbagai komplikasi
khususnya akan terjadi pada bayi yang dilahirkan seperti:
1. Pielonefritis
2. Bayi premature
3. Anemia
4. Pregnany-induced hypertension
5. Retardasi mental
6. Pertumbuhan lambat
7. Cerebral palsy
8. Fetal death
Daftar Pustaka
Chernecky CC & Berger BJ. 2008. Laboratory Test and Diagnostic Procedure.
Philadelphia: Saunders Elsevier.
Dimitrakov J, MD, et al, Management of Chronic Prostatitis/Chronic Pelvic Pain
Syndrome: an evidencebased approach, In: Journal of Urology, 67(5): 881–
8, 2006. (http://www.pubmedcentral.nih.gov/
articlerender.fcgi?tool=pubmed&pubmedid=16698346)
Domingue GJ, Hellstrom WJG. Clinical Microbiology Review. Dept of Urology and
Dept of Microbiology and Immunology. Tulane New Orleans: University
School of Medicine; 1998.
Dorland, W.A. Newman.2008. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC
Elseria, R. N. et al. 2010. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: EGC
Hedayati T, MD, Prostatitis, American Academy of Emergency Medicine, 2007.
(http://www.emedicine. com/emerg/topic488.htm).
http// www. umm. edu/ency
Ivo Tarfusser, MD, Treatment, In: Chronic Prostatitis, 1996.
(http://www.prostatitis.org/tarf/p5.ht m.)
Kliegman, R. M. 2008. Nelson Textbook of Pediatrics 18th edition. US: Elsevier
Koullis HJ and Lam HT, Prostatitis: A Review of Clinical Management, US.
Pharmacy, Chicago, 2006.
(http://www.uspharmacist.com/print.asp?page=ce/105301/default.htm).
Krieger JN, Prostatitis Syndrome, In: Holmes KK, editor. Sexually Transmitted
Diseases 3 rd. New York: McGraw-Hill Comp; 1999. p. 859–68.
Kumar, Vinay et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume II. Edisi 7. Jakarta:
EGC
Mitchell, Kumar,dkk. 2009. Buku Saku Patologis Penyakit Ed. 7. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai