Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas
dari diafragma hingga pelvis (Agung, 2010). Rongga ini berisi visera dan dibungkus
dinding (abdominal wall) dari otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia (Dorland, 2002).
Pada bagian superior, dinding abdomen dibentuk oleh diafragma yang memisahkan
kavitas abdominalis dari kavitas thorakalis. Pada bagian inferior, kavitas abdominalis
melanjutkan diri menjadi kavitas pelvis melalui apertura pelvis superior. Di bagian
posterior, dinding abdomen di garis tengah dibentuk oleh kelima vertebra lumbales
dan diskus intervertebralisnya, bagian lateral dibentuk oleh 12 kosta, bagian atas oleh
muskulus psoas mayor, muskulus kuadratus lumborum, dan aponeurosis origo
muskulus transverses abdominis. Dinding abdomen dibatasi oleh selubung fascia dan
peritoneum parietale (Snell, 2006).
Berdasarkan letaknya, organ dalam abdomen terbagi menjadi dua, yaitu organ
intraperitoneal dan retroperioneal. Organ-organ intraperitoneal diantaranya gaster,
hepar, duodenum, pankreas, kolon, dan organ-organ saluran pencernaan yang lain.
Adapun organ yang terletak retroperitoneal seperti ginjal, aorta, dan vena kava
inferior (Srivathsan, 2009).

B. Trauma
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka (Amro, 2006). Trauma pada abdomen terbagi
berdasarkan kejadian, yaitu trauma tumpul dan trauma tembus (Srivathsan, 2009).
Pada trauma tembus perbedaan antara benda-benda berkecepatan tinggi dan rendah
mempunyai arti penting. Luka kecepatan rendah yang biasa terjadi ialah pada
penikaman dengan senjata tajam. Proses penikaman dapat dibedakan menjadi dua
macam berdasarkan energinya, yaitu tikaman dengan energi kinetik rendah dan energi
kinetik tinggi. Pada tikaman dengan energi kinetik yang rendah, korban sering dapat
melihat datangnya dan mengelak pada saat tikaman tersebut terjadi. Dengan
demikian, penetrasi rongga perut yang dalam jarang terjadi. Tikaman dengan energi
kinetik yang tinggi dipakai dengan maksud terang-terangan membunuh. Luka-luka
tersebut menembus dalam dan sering kompleks. Peluru berkecepatan tinggi dari
pistol atau pecahan-pecahan granat yang meledak dapat menembus dalam dan
mengikuti jalan yang aneh, secara luas merusak segala sesuatu atau apa saja di sekitar
lintasannya (Dudley, 1992).
Trauma tumpul meliputi benturan langsung, pukulan, kompresi, dan deselerasi
(cedera perlambatan). Dapat juga terjadi counter coup, yaitu trauma tumpul yang
berat, tidak ada luka di luar, tapi ada jejas organ di visera akibat desakan luka atau
organ viscera. Trauma intra abdomen karena hantaman sering dikaitkan dengan faktor
tumbukan antara orang yang cedera dan kondisi di luar tubuh individu tersebut, serta
kekuatan akselerasi dan deselerasi yang bekerja terhadap organ dalam abdomen
(Rahmawati, 2006).

C. Trauma Tumpul Abdomen


1. Mekanisme
Trauma yang didapat dari kecelakaan menjadi penyebab terbanyak dari trauma
abdomen. Kecelakaan mobil dengan mobil dan antara mobil dengan pejalan kaki
menduduki 50-75% dari keseluruhan kasus trauma tumpul abdomen (Udeani &
Steinberg,2011).
Cedera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan ke dalam 2 mekanisme
utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi. Tenaga kompresi
(compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Hal yang sering terjadi hantaman
menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan
menyebabkan ruptur (Salomone & Salomone,2011).
Tenaga deselerasi menyebabkan regangan dan sobekan linier organ-organ
yang terfiksasi. Cidera deselerasi klasik termasuk hepatic tear sepanjang ligamentum
teres dan cidera intima pada arteri renalis (Salomone & Salomone,2011).
Salomone & Salomone (2011) menyatakan bahwa trauma tumpul akibat hantaman
secara umum dibagi ke dalam 3 mekanisme, yang pertama adalah ketika tenaga
deselerasi hantaman menyebabkan pergerakan yang berbeda arah dari struktur tubuh
yang permanen. Akibatnya, kekuatan hantaman menyebabkan organ viseral yang
padat serta vaskularisasi abdomen menjadi ruptur, terutama yang berada di daerah
hantaman.
Yang kedua adalah ketika isi dari intra abdomen terhimpit antara dinding
depan abdomen dan kolumna vertebralis atau posterior kavum thorak. Hal ini dapat
merusak organ-organ padat visera seperti hepar, limpa dan ginjal.
Ketiga adalah kekuatan kompresi eksternal yang mengakibatkan peningkatan tekanan
intra abdomen secara mendadak dan mencapai puncaknya ketika terjadi ruptur organ.
Pada penderita ini terjadinya jejas pada abdomen disebabkan karena terhimpitnya
pasien saat terjadi kecelakaan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya himpitan pada
organ intra abdomen antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis.

2. Patofisiologi
a. Kehilangan darah
 Limpa dan hati memiliki banyak suplai dan simpanan darah sehingga
terjadi kehilangan darah dengan cepat.
 Konsistensi jaringan hati dan lien menyebabkan jaringan sulit
melakukan proses homeostasis.
 Perdarahan pada kavum retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan di
diagnosis.
b. Nyeri
 Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik
patologi intraabdomen.
 Nyeri tekan dan defans muscular disebabkan karena pergerakan yang
tiba-tiba dan iritasi membrane peritoneal hingga ke dinding abdomen.
 Iritasi disebabkan adanya darah atau isi lambung pada kavum
peritoneal.
 Cidera duodenum dan pankreas menyebabkan perdarahan dan berefek
mengaktifkan enzim di sekitar jaringan sehingga memicu peritonitis
kimiawi area retroperitoneal.
 Tanda dan gejalan cidera pankreas dan duodenum adalah : nyeri tekan
abdomen yang difus serta penjalaran nyeri pada area epigastrium
sampai ke punggung.
D. Manajemen trauma tumpul abdomen
Penatalaksanaan pada pasien-pasien trauma tumpul abdomen pada dasarnya
sama dengan trauma-trauma lainnya berupa primary survey yang cepat, resusitasi,
secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
a. Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenalidan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga.Tindakan primary survey dilakukan secara
berurutan sesuai prioritas tapi dalam praktenya hal-hal tersebut sering dilakukan
bersamaan (simultan).
Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas berupa obstruksi
jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula, maksila atau trakea. Membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikal dengan melakukan jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara
dapat dianggap bahwa jalan napas bersih dan tetap harus dinilai ulang.Pada pasien
yang masih sadar dapat memakai nasopharingeal airway, sedanglkan pada pasien
yang tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan oropharingeal airway.
Pasien dengan GCS kurang dari 8 atau adanya keraguan mengenai kemampuan
menjaga airway perlunya airway definitif.
Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Buka dada pasien
untuk melihat ekspansi pernapasan. Auskultasi untuk memastikan masuknya udara
ke dalam paru. Perkusi untuk menilai adanya udara atau cairan dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi untuk melihat abnormalitas gerakan atau getaran dinding dada.
Jika ada gangguan ventilasi atau gangguan kesadaran diatasi dengan face mask,
intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway atau oropharingeal airway.
Kemudian pasang pulse oximetry untuk menilai saturasi O2yang adekuat.
Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat kesadaran, warna kulit
dan nadi.
1. Volume darah
Adanya hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai
terbukti sebaliknya.3 jenis penilaian secara cepat yang dapat memberikan
gambaran keaadaan tersebut yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
2. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
3. Warna kulit
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas
jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan
kulit ekstremitas yang pucat sebagai tanda hipovolemia.
4. Nadi
Periksa pada nadi besar seperti arteri femoralis, arteri karotis, untuk kekuatan,
kecepatan dan irama nadi. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur merupakan
normovolemia (bila tidak minum beta bloker). Nadi yang cepat dan kecil
merupakan hipovolemia.Kecepatan nadi yang normal tidak menjamin
normovolemia. Nadi yang tidak tertaur biasanya tanda gangguan jantung.Tidak
ada pulsasi dari arteri besar mengindikasikan perlunya resusitasi segera.
5. Perdarahan
Perdarahan eksternal yang tampak dihentikan dengan penekanan pada luka.
Spalk udara ( pneumatic splinting device) sebagai pengontrol perdarahan yang
tembus cahaya. Torniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia distal, kecuali pada amputasi traumatik.Sedangkan
pemakaian hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan seperti saraf
dan pembuluh darah.
Jika ada gangguan sirkulasi atau syok hipovolemia minimal pasang 2 IV line
untuk resusitasi cairan kristaloid (ringer laktat / RL) 2-3 liter.Jika tidak ada
respon diberikan tranfusi darah segolongan.Jika tidak ada darah segolongan,
dapat diberikan darah tipe O rhesus negatif atau darah tipe O rhesus positif
dengan titer rendah.Jangan memberikan vasopresor, steroid atau bikarbonas
natricus.Jangan memberikan resusitasi cairan RL atau transfusi darah secara terus
menerus, karena keadaan ini harus dilakukan resusitasi operatif untuk
menghentikan perdarahan.
Sebelum resusitasi, lakukan dengan cepat pemeriksaan genitalia dan colok
dubur untuk menilai ada tidaknya tanda-tanda ruptur uretra yaitu prostat letak
tinggi atau tidak teraba. Tanda lain ruptur uretra berupa adanya darah di
orifisium uretra eksternal (metal bleeding), hematom skrotum atau di perineum.
Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka selama resusitasi, pasang kateter urin
untuk menilai perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Namun, jika diduga adanya
ruptur uretra, jangan pasang kateter urin tetapi lakukan uretrogram terlebih
dahulu.
Nasogastric tube (NGT) dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan
karena traumatik karena pemasangan NGT atau perlukaan lambung.Jika ada
dugaan patah pada lamina kibrosa, NGT yang dipasang hanya bisa yang melaluui
mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.
Disability
Pada tahap ini dilakukan penilaian neurologis secara cepat berupa tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera
spinal.
Exposure
Pada tahap ini, pakaian pasien dibuka keseluruhan kemudian dinilai kelainan
yang tampak secara cepat.Selanjutnya selimuti pasien agar tidak hipotermi.
b. Secondary survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe)
termasuk anamnesis dan reevaluasi pemeriksaan tanda vital.Tahap ini baru
dilakukan setelah primary survey dan resusitasi selesai serta pasien dipastikan sudah
membaik.Jika kondisi hemodinamik pasien sudah stabil tanpa tanda-tanda peritonitis
bisa diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada trauma spesifik atau apakah
selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan.
Anamnesis
Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang
berhubungan dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya yang berhubungan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien,
keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-hal tersebut mencakup:
a. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan
b. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
c. Apakah pasien meninggal
d. Apakah pasien terlempar dari kendaraan
e. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags
f. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol
g. Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang
h. Apakah ada masalah psikiatri
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat anti platelet (seperti pada defek jantung congenital) karena
dapat meningkatkan resiko perdarahan pada cidera intra abdomen (Wegner et
al.,2006).
Pemeriksaan fisik
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan
semua cidera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cidera kepala, sistem
respirasi, atau sistem kardiovaskular diluar cidera abdomen (Salomone & Salomone,
2011 ; Udeani & Steinberg, 2011).
Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survey
sekunder abdomen. Untuk cidera yang mengancam jiwa yang membutuhkan
pembedahan segera, survei sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai
kondisi pasien stabil. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan
pada penderita. Banyak cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
a. Inspeksi
Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera.
Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis. Catat pola cedera
yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi karena sabuk pengaman,
hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada banyak
penelitian, tanda (bekas) sabuk pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur usus
halus dan peningkatan insidensi cidera intra abdomen.
Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan
cedera medulla spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan
berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang
diakibatkan iritasi peritoneal. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di
intra peritoneal pada pasien dengan cedera trauma tumpul abdomen.
Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan
peritoneal, namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari.
Memar dan edema panggul meningkatkan kecurigaan adanya cedera retroperitoneal.
Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak,
perdarahan, dan hematom.
b.Auskultasi
Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula
arteriovenosa traumatik. Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera
diafragmatika. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan
reaksinya.
c. Palpasi
Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon
pasien. Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas. Konsistensi yang
lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan intraabdomen. Krepitasi
atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda potensial
untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang rusuk.
Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius
bagian bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka
berhubungan tingkat kematian sebesar 50%.
Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan
dan cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat
atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis dari
pasien.
Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi
adanya cedera medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan
penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.
Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena
bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara.
Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera
setelah cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.
d. Perkusi
Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal. Nyeri pada perkusi
membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar konsultasi pembedahan.
Perkusi pada dinding abdomen menyebabkan pergerakan peritoneum dan dapat
menunjukkan peritonitis. Perkusi timpani pada kuadran atas akibat dari dilatasi
lambung akut atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum
Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan untuk korban trauma biasanya termasuk glukosa serum, darah
lengkap, kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan darah,
arterial blood gas (ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia
produktif).
a. Pemeriksaan darah lengkap
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa
dijadikan acuan bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan
darah lengkap. Hingga volume darah tergantikan dengan cairan kristaloid atau efek
hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone [ACTH], aldosteron, antidiuretic
hormone [ADH]) dan muncul pengisian ulang transkapiler, anemia masih dapat
meningkat. Jangan menahan pemberian transfusi pada pasien dengan kadar
hematokrit yang relatif normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat
(seperti fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat (jumlah
trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan
hubungan antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cidera berat.
Peningkatan sel darah putih tidak spesifik dan tidak dapat menunjukkan adanya
cidera organ berongga.
b. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan jarang
menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti diuretik, pengganti
potassium). Jika pengukuran gas darah tidak dilakukan, kimia serum dapat
digunakan untuk mengukur serum glukosa dan level karbon dioksida. Pemeriksaan
cepat glukosa darah dengan menggunakan alat stik pengukur penting pada pasien
dengan perubahan status mental.
c. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting
dilakukan, namun temuan peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh beberapa alasan
(contohnya penggunaan alkohol). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar
aspartate aminotransferase (AST) atau alanine aminotransferase (ALT) meningkat
lebih dari 130 U pada koresponden dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar
Lactate Dehydrogenase (LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi indikator trauma
hepar.
d. Pengukuran Amilase
Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak sensitif
dan tidak spesifik untuk cidera pankreas. Namun, peningkatan abnormal kadar
amylase 3-6 jam setelah trauma memiliki keakuratan yang cukup besar. Meskipun
beberapa cedera pankreas dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan segera
setelah trauma, semua dapat teridentifikasi jika scan diulang 36-48 jam.
Peningkatan amylase atau lipase dapat terjadi akibat iskemik pancreas akibat
hipotensi sistemik yang menyertai syok.
e. Urinalisis
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau
panggul, gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme
deselerasi yang signifikan. Gross hematuri merupakan indikasi untuk dilakukannya
cystografi dan IVP atau CT scan abdomen dengan kontras.
f. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma
mayor. Informasi penting sekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2)
dapat digunakan untuk menilai pasien dengan kecurigaan asidosis metabolic hasil
dari asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit kadar basa sedang (>-5 mEq)
merupakan indikasi untuk resusitasi dan penentuan etiologi. Usaha untuk
meningkatkan pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan SaO2 yang adekuat
(>90%) dan pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika
diindikasikan, dengan darah.
g. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan perubahan
tingkat kesadaran. Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan
alkohol.

Pemeriksaan Radiologis
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen
adalah penilaian stabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil, evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum. Hal
ini dapat dapat dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST
(Focused Abdominal Sonogram for Trauma) scan. Pemeriksaan radiografi abdomen
perlu dilakukan pada pasien yang stabil ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan
(Hoff et al., 2001).
a. Foto polos
Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa meskipun secara keseluruhan
evaluasi pasien trauma tumpul abdomen dengan rontgen polos terbatas, namun foto
polos dapat digunakan untuk menemukan beberapa hal. Radiografi dada bisa
digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur hemidiafragmatika atau
pneumoperitoneum. Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai
fraktur vertebra torakolumbar. Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak
pada retroperitoneal dari perforasi usus kemungkinan bisa terlihat.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma (FAST) sudah
digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa. Akurasi
diagnostik FAST secara umum sama dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL).
Penelitian di Amerika dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan FAST sebagai
pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat hemoperitoneum (Feldman, 2006).
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cidera multisystem,
ultrasonografi portabel dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat
mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang
teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada beberapa kasus
(Salomone & Salomone,2011).
Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang
subxiphoid), rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada pelvis.
Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitive, terlebih jika etiologinya adalah
cairan (Jehangir et al., 2002).
Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma
abdomen. Cairan bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu
dilakukan laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi
dengan CT scan (Feldman, 2006).
c. Computed Tomography (CT) Scan
Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak
mendukung gambaran detail patologi trauma dan memberi penunjuk dalam
intervensi operatif. Tidak seperti FAST ataupun DPL (Diagnostic Peritoneal
Lavage), CT scan dapat menentukan sumber perdarahan
(Salomone&Salomone,2011).
Cidera diafragma dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat
dengan pemeriksaan CT scan, khususnya jika CT scan dilakukan segera setelah
trauma. Cidera pankreas dapat terlewatkan dengan pemeriksaan awal CT scan, tapi
secara umum dapat ditemukan pada pemeriksaan follow up yang dilakukan pada
pasien resiko tinggi. Untuk beberapa pasien, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan bersama CT scan untuk
mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l).
Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan penggunaan
sebagai petunjuk manajemen nonoperatif pada cidera organ padat (Feldman, 2006).

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk
menentukan adanya perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat
dan pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau
tidak jelas. DPL juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih
lanjut tidak dapat dilakukan (Feldman, 2006).
Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana
a. Pasien dengan cedera medulla spinalis
b. Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan
c. Pasien dengan cedera abdomen
d. Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen
e. Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang lebih
panjang untuk prosedur yang lain.
Kontraindikasi absolute untuk DPL adalah kebutuhan untuk laparotomi yang
nyata. Kontraindikasi relatif termasuk obesitas morbid, riwayat pembedahan
abdomen multipel, dan kehamilan. (Udeani&Steinberg,2011).
Variasi metode kateterisasi ke dalam rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu
metode terbuka, semi terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan
insisi kulit infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum dibuka dan
kateter dimasukkan dibawah visualisasi secara langsung. Metode semi terbuka
serupa, kecuali peritoneum tidak dibukan dan kateter dilewatkan perkutaneus
melewati peritoneum ke dalam kavum peritoneal. Taknik tertutup membutukan
kateter uang dimasukkan secara buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea alba, dan
peritoneum. Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra umbilical lebih banyak
dilakukan pada bagian tengah (Udeani&Steinberg,2011).
DPL bernilai postitif pada pasien trauma tumpul jika 10mL darah segar
teraspirasi sebelum infus cairan cuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl
diinfuskan ke kavitas peritoneal melalui kateter dan dibiarkan tercampur, dimana
akan dialirkan oleh gravitasi) terdapat lebih dari 100.00 sel darah merah/mL, lebih
dari 500 sel darah putih/mL, peningkatan kadar amilase, empedu, bakteri, serat
makanan, atau urin. Hanya diperlukan kira-kira 30 mL darah pada peritoneum untuk
menghasilkan hasil DPL positif secara mikroskopis (Feldman, 2006 ; Salomone &
Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,2011).
Hasil lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk
adanya empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi perforasi usus),
serat makanan, atau bakteri pada pemeriksaan bakteri (King&Bewes,2002).
Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi
(luka peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria,
usus halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada
vesika urinaria, atau cidera organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan
mengakibatkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang
tidak diperlukan (King&Bewes,2002).
Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau
syok yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman, 2006).

E. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana inisiasi (Salomone&Salomone,2011)
Fokus penatalaksanaan sebelum di rumah sakit pada penilaian dan
penangangan masalah yang mengancam nyawa, termasuk inisiasi resusitasi
dan transport ke rumah sakit terdekat. Penggunaan intubasi endotrakeal untuk
membebaskan jalan nafas pada pasien yang tidak mampu mempertahankan
jalan nafas atau yang berpotensial terjadinya gangguan pada jalan nafas.
Perdarahan eksternal jarang dihubungkan dengan trauma tumpul abdomen.
Jika ada, kontrol perdarahan dengan tekanan langsung. Perhatikan tanda-tanda
kurangnya perfusi sistemik. Inisiasi resusitasi cairan dengan cairan kristaloid.
Diagnosis tension pneumothoraks diobati dengan kompresi jarum diikuti
dengan penempatan pipa torakostomi. Faktor mekanis lain yang berhubungan
dengan ventilasi termasuk hemotorak, dan kontusio pulmonal.
2. Tatalaksana non operatif (Udeani&Steinberg,2011)
Manajemen non operatif berdasarkan diagnosis CT scan dan stabilitas
hemodinamik pasien. Pada trauma tumpul abdomen, termasuk cedera organ
padat yang parah, pilihan manajemen non operatif menjadi perawatan standar.
Angiografi merupakan modalitas manajamen non operatif pada trauma
tumpul pada organ padat dewasa. Angiografi digunakan untuk melihat
perdarahan secara non operatif.
3. Tatalaksana bedah
Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan
atau syok yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi,
ditemukannya hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL. Ketika
sudah ada indikasi untuk dilakukan laparotomi, antibiotik spektrum luas
diberikan. Insisi pada garis tengah biasanya lebih disukai. Ketika abdomen
dibuka, kontrol perdarahan dilakukan dengan mengeluarkan darah dan bekuan
darah, dan mengeklem struktur vaskuler. Setelah intra abdomen diperbaiki dan
perdarahan dikontrol,eksplorasi abdomen dilakukan untuk mengevaluasi
seluruh lapangan abdomen(Udeani&Steinberg,2011).
Setelah cedera intraperitoneal terkontrol, retroperitoneum dan pelvis harus
diperhatikan. Jangan pernah melakukan eksplorasi pada hematom pelvis.
Gunakan fiksasi eksterna pada fraktur pelvis untuk menurunkan atau
menghentikan perdarahan. Setelah sumber perdarahan dihentikan, kemudian
stabilisasi pasien dengan cairan merupakan hal penting
(Udeani&Steinberg,2011).

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma tumpul abdomen adalah cedera
yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenic, intra abdomen
sepsis dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleen yang muncul
kemudian (King et al, 2002 ; Salomone&Salomone,2011).
G. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan trauma tumpul abdomen bervariasi. Tanpa
data statistik yang menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan
jumlah pasien total dengan trauma tumpul abdomen, gambaran spesifik
prognosis untuk pasien trauma intra abdomen sulit. Angka kematian untuk
pasien rawat inap berkisar antara 5-10% (Udeani&Steinberg,2011).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008 Kegawatdaruratan Sistem Pencernaan pada Trauma Abdomen. dari


http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kegawatdaruratan.pdf

Dorland, W. A . N. 2002 Kamus Kedokteran Dorland Ed.29. Jakarta : EGC.

Dudley, H. A. F. 1992 Hamilton Bailey's Emergency Surgery. Yogyakarta : UGM


Press.

Feldman, G. 2006 Blunt Abdominal Trauma : Evaluation. Diakses pada 11 Februari


2011 dari http://www.docstoc.com/docs/30321684/Blunt-Abdominal-Trauma-
Evaluation.

Hoff. W S., Holevar M., Nagy K. K., Patterson L., Young .J S., Arrillaga A.,
Najarian M. P., Valenziano C. P. 2001 PRACTICE MANAGEMENT
GUIDELINES FOR THE EVALUATION. Coatesville : Eastern Association
for the Surgery of Trauma.

Jehangir B., Bhat A. H., Nazir, A. 2002 The Role of Ultrasonography in Blunt
Abdominal Trauma. JK-practitioner.

King M., Bewes P. 2002 Bedah Primer Trauma. Jakarta : EGC.


Salomone A. J., Salomone, J. P. 2011 Emergency Medicine: Abdominal Blunt
Trauma.Emedicine. WebMD. dari http://emedicine.
medscape.com/article/433404-print .

Snell, R S. 2006 Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.

Srivathsan. 2009 Abdominal Trauma. Scribd.


http://www.scribd.com/doc/15565439/Abdominal-Trauma- .

Udeani, J., Steinberg S. R. 2011 Trauma Medicine: Blunt Abdominal


Trauma.Emedicine. WebMD. dari http://emedicine.
medscape.com/article/821995-print

Wegner, S., Colleti, J E., Wie, D V. 2006 Pediatric Blunt Abdominal Trauma.
Pediatric clinics. dari http://hsc.unm.edu/emermed
/ped/physicians/residents/articles/Pediatric%20Blunt%20Abdominal%20Trau
ma.pdf.

Anda mungkin juga menyukai