SKRIPSI
Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
NIM 132010101018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
i
HUBUNGAN PENYAKIT KUSTA DENGAN TINGKAT DEPRESI
PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT KUSTA SUMBERGLAGAH
KABUPATEN MOJOKERTO
SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran
Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
NIM 132010101018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ dr. Ida Srisurani Wiji Astuti, M.Kes.
NIP. 196410111991032004 NIP. 198209012008122001
iii
RINGKASAN
iv
Cara peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah dengan cara
wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner diberi berurutan
dan tanpa batas waktu pengisian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari informed consent dan kuesioner Hamilton Depression Rating Scale (HDRS).
Yang melakukan wawancara adalah peneliti yang didampingi oleh Dokter
Spesialis Jiwa atau tenaga medis terlatih.
Setelah data terkumpul dilakukan pemberian skor dari setiap jawaban
responden sebagai penentuan tingkat depresi. Data yang didapat diolah dan
disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian masing-masing variabel dideskripsikan.
Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat digunakan Uji Korelasi Spearmann. Derajat kemaknaan yang
dipilih adalah α=0,05. Jika uji statistic menunjukkan p< 0,05, maka terdapat
hubungan yang signifikan antara variable bebas dan variable terikat. Uji statistik
dalam penelitian ini menggunakan program Statistical Package for the Sosial
Science (SPSS).
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.....................................................................................
i
HALAMAN JUDUL........................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................
iii
RINGKASAN...................................................................................................
iv
DAFTAR ISI.....................................................................................................
vi
BAB 1. PENDAHULUAN...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang.............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................
2
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................
3
1.4.1 Manfaat teoritis..................................................................
3
1.4.2 Manfaat praktis..................................................................
3
vi
2.1.6 Patogenesis..............................................................................
9
2.1.7 Diagnosis.................................................................................
10
2.1.8 Klasifikasi................................................................................
12
2.1.9 Pemeriksaan Klinis.................................................................
14
2.2 Depresi.........................................................................................
28
2.2.1 Pengertian Depresi.................................................................
28
2.2.2 Prevalensi................................................................................
29
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.....................................................
29
2.2.4 Klasifikasi................................................................................
31
2.2.5 Gejala Klinis...........................................................................
32
2.2.6 Diagnosis.................................................................................
33
2.2.7 Terapi.......................................................................................
34
2.3 Keterkaitan antara Kusta dengan Depresi...................................
36
2.4 Kerangka Konsep........................................................................
38
2.5 Hipotesis......................................................................................
38
BAB 3. METODE PENELITIAN....................................................................
40
3.1 Desain Penelitian.........................................................................
40
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................
40
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...................................................
40
3.3.1 Populasi...................................................................................
40
3.3.2 Sampel.....................................................................................
40
3.4 Variabel Penelitian.......................................................................
42
3.5 Definisi Operasional....................................................................
42
vii
3.5.1 Kusta........................................................................................
42
3.5.2 Depresi.....................................................................................
42
3.6 Rancangan Penelitian..................................................................
44
3.7 Instrumen Penelitian....................................................................
44
3.8 Prosedur Penelitian......................................................................
46
3.8.1 Prosedur Pengambilan Data..................................................
46
3.8.2 Analisis Data...........................................................................
47
3.8.3 Alur Penelitian........................................................................
48
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………...
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………...
viii
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1 Kusta
2.1.1 Sejarah Kusta
penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak para
ahli percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen
Papirs Mesir ditulis sekitarr tahun 1550 SM. Sekitar tahun 600 SM, ditemukan
sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta.
Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani Kuno setelah tentara
Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di roma pada 62 SM bertepatan
dengan kembalinya pasukan Pompeii dari Asia kecil.
Pada tahun 1873, Dr. Gerhard Armanuer henrik Hansen dari Norwegia
adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit
kusta dibawah miskroskop. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan
bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun menurun,
bukan dari kutukan atau dosa.
2.1.5 Epidemiologi
Sebenarnya kapan penyakit kusta ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui
dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah
kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika, dan Amerika . Penyebaran penyakit
kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia,
tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau malanesia termasuk indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap
negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda (Marwali Harahap,
2000: 260; Adhi Djuanda, 2007: 73).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi, dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah
yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi
karena faktor etnik. Kejadian kusta lepramatosa di Myanmar lebih sering terjadi
pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta lepramatosa lebih banyak pada
etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India (Depkes RI, 2007: 7).
Kapan penyakit ini menjalar ke Indonesia tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dalam buku tentang Historische Stude Of Leprae dikatakan bahwa
penduduk pertama dari Jawa mungkin berasal dari Hindia muka dan belakang
negeri yang terkenal dengan sarang kusta yang membawa ke pulau Jawa.
Dilaporkan juga bahwa orang Tionghoa yang datang berdagang ke negeri kita
pasti juga telah membawa penyakit ini ke Indonesia dan dilaporkan dalam buku
tersebut bahwa adanya 3 orang penderita kusta yang diasingkan di suatu pulau di
muka pelabuhan Jakarta pada tahun 1657 (Marwali Harahap, 2000: 261).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi, dan lingkungan varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan
adanya reservoir di luar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta
tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum
diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan
untuk pemecahannya (Adhi Djuanda, 2007:73).
Insidens tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab.
Insidens penyakit kusta di Indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000
penduduk. Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada
orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah 25-35 tahun,
sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun (Arif Mansjoer, 2000: 66).
Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban
penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga
di dunia setelah India dan Brazil. Tahun 2013, Indonesia memiliki jumlah kasus
kusta baru sebanyak 16.856 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 di antara
penderita baru sebanyak 9,86% (WHO, 2013). Penyakit kusta merupakan salah
satu dari delapan penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD)
yang masih ada di Indonesia, yaitu Filaria, Kusta, Frambusia, Dengue,
Helminthiasis, Schistosomiasis, Rabies dan Taeniasis.
Pada tahun 2000, Indonesia sudah mencapai eliminasi di tingkat nasional.
Namun saat ini, masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban tinggi yaitu
Banten, Sulteng, Aceh, Sultra, Jatim, Sulsel, Sulbar, Sulut, Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara.
Dan secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang
penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Rata-rata penemuan
penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4.000-5.000 orang. Pada
tahun 2012, penemuan penderita baru di Indonesia sebanyak 18.853 orang,
sedangkan penemuan penderita baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.807
orang (25,5% dari jumlah penderita baru di Indonesia). Perkembangan penemuan
penderita Kusta baru digambarkan seperti grafik dibawah ini (Dinkes Jatim, 2013)
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan
paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30
menit, sedangkan histopatologik 10-14 dari. Memungkinkan dapat dilakukan tes
lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat
menetapkan terapi yang sesuai (Adhi Djuanda, 2007: 75).
Penetapan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau
Cardinal sign, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan gangguan fungsi sensoris : mati rasa,
b. Gangguan gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Pareseparese)
atau kelumpuhan (Paraliseparalise),.
c. Gangguan gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak..
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari
tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar kasus dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada kasus yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut
dianggap sebagai kasus yang dicurigai/ suspek (Depkes RI, 2007: 37).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/ kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh.
b. Kulit mengkilap.
c. Bercak yang tidak gatal.
d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak
berambut.
e. Lepuh tidak nyeri.
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan
atau muka.
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.
c. Adanya cacat (deformitas).
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta, jangan
digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta belum
dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis,
frambusia).
2. Jika tidak ditemukan adanya mati rasa yang jelas maupun penebalan
saraf namun ada tanda-tanda mencurigakan seperti nodul,
pembengkakan pada wajah atau cuping telinga, atau infiltrasi pada
kulit, perlu dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear).
3. Tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya mati rasa, jika lesi
kulit tersebut benar kusta maka dalam periode tersebut mati rasa
harusnya menjadi jelas dan kita dapat memulai MDT. Jika masih
meragukan suspek perlu dirujuk.
Pewarnaan dan pemeriksaan dapat dilakukan di Puskesmas yang memiliki
tenaga serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (Depkes RI, 2007: 38).
2.1.8 Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya
harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya.
1. Dasar klasifikasi
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal
yaitu:
a. Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang
terganggu.
b. Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan
asam (BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya
dilakukan bila diagnosis meragukan.
2. Tujuan
Klasifikasi/tipe penyakit kusta penting untuk menentukan:
a. Jenis dan lamanya pengobatan penyakit.
b. Waktu penderita dinyatakan RFT.
c. Perencanaan logistik.
3. Jenis klasifikasi
Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang
cukup menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-
Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi WHO. Sebagian besar
penetuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh
(kekebalan selular) dan jumlah kuman (Depkes RI, 2007: 43).
Pedoman untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut
WHO adalah sebagai berikut:
Tanda Utama PB MB
Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi
bisa berupa kurang/mati
rasa atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
Tanda Utama PB MB
2. infiltrat
e. Pengobatan
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat
membunuh kuman kusta dengan demikian pengobatan akan:
1. Memutuskan memutuskan mata rantai penularan,.
2. mMenyembuhkan penyakit penderita,
3. mMencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan.
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta
sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit
jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang. Hancurnya kuman maka sumber
penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus (Depkes
RI, 2007: 73).
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan
hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum
obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali sehingga
timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk
keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.
Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau
bekerja seperti biasa.
1. Regimen Pengobatan MDT
MDT atau Multidrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih
obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai
anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang
bisa bersifat bakteriostatik (Depkes RI, 2007: 73).
Multy Drug Therapy (MDT) dapat menyembuhkan kusta dalam
beberapa bulan. Jika penderita diobati sedini mungkin segera setelah
tanda pertama yang merupakan gejala kusta muncul, kebanyakan
penderita tidak akan mengalami masalah serius dan dapat menjalani
kehidupannya dengan utuh dan normal. Orang lain tidak akan
mengetahui bahwa dirinya pernah menderita kusta (Hugh Cross dan
Margaret Mahato, 2006:2).
Berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang
membutuhkan MDT.:
1. Kasus baru: mereka dengan tanda kusta yang belum pernah
mendapat pengobatan MDT.
2. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:
a. rRelaps (kambuh) diobati dengan regimen pengobatan baik PB
ataupun MB,.
b. mMasuk kembali setelah default adalah penderita yang datang
kembali setelah dinyatakan default (baik PB maupun MB),.
c. pPindahan (pindah masuk): harus dilengkapi dengan surat
rujukan berisi catatan pengobatan yang telah diterima hingga
saat tersebut. Kasus ini hanya membutuhkan sisa pengobatan
yang belum lengkap,.
d. Ganti ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen
pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Penderita Pauci- Baciller (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
a. 1 tablet dapsone/DDS 100 mg
b. 1 blister untuk 1 bulan
c. Lama pengobatan: 6 blister diminum selama 6-9 bulan
2. Penderita Multi-Basciller (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)
b. 3 tablet Lampren @100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren 50 mg
b. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
c. blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan: 12 blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT menurut umur
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam
bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan.
a. Rifampisin : 10 mg/kg BB
b. DDS : 2 mg/kg BB
c. Clofazimin : 1 mg/kg BB
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi penderita
kusta digunakan bagan sebagai berikut:
Tipe Pauci-Baciller (PB)
Jenis <5 5-9 10-14 >15
Ket
obat tahun tahun tahun tahun
Ber- Minum
dasar- di
Rifam- 300 450 600
kan depan
pisin mg/bln mg/bln mg/bln
berat pe-
badan tugas
Minum
di
25 50 100
depan
mg/bln mg/bln mg/bln
pe-
DDS tugas
Minum
25 50 100
di
mg/bln mg/bln mg/bln
rumah
25 50 100 Minum
mg/bln mg/bln mg/bln di rumah
50 mg 50 mg 50 Minum
mg/hari di rumah
2 kali 2 kali
se- se-
minggu minggu
f. Pencegahan
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya.
Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau
kaki. Semakin panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda
dini hinggadimulainya pengobatan, makin besar resiko timbulnya kecacatan
akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Adanya alasan ini maka
diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat mencegah terjadinya
komplikasi jangka panjang (Depkes RI, 2007: 89).
Penting disadari bahwa kerusakan saraf juga dapat terjadi selama
pengobatan, bahkan setelah RFT, resiko ini menurun bertahap setelah 3
tahun berikutnya. Kasus-kasus MB yang pada saat dideteksi sudah
mengalami gangguan fungsi saraf akan berpeluang lebih besar mengalami
kerusakan saraf dibanding penderita lain, oleh karena itu harus dimonitor
lebih seksama. Penemuan dini dan pengobatan MDT tetap merupakan cara
terbaik dalam mencegah kecacatan.
Namun banyak penderita terlambat didiagnosis sehingga berpeluang
lebih besar mengalami kerusakan saraf (Depkes RI, 2007: 89).
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf adalah
reaksi kusta. Pada reaksi terjadi proses inflamasi akut yang menyebabkan
kerusakan saraf. Itulah sebabnya monitoring fungsi saraf secara rutin sangat
penting dalam upaya pencegahan dini cacat kusta. Kerusakan saraf yang
terjadi kurang dari 6 bulan, bila diobati prednison Prednison dengan tepat,
tidak akan terjadi kerusakan saraf yang permanen (fungsi saraf masih
refersibelreversibel). Bila kerusakan saraf ini sudah terlanjur menjadi cacat
permanen maka yang dapat dilakukan adalah upaya pencegahan cacat agar
tidak bertambah berat (Depkes RI, 2007: 89).
Pemerintah telah mencanangkan beberapa upaya yang diharapkan
dapat memutuskan mata rantai penularan penyakit kusta, upaya-upaya
tersebut antara lain sebagai berikut.:
Dilihat dari segi pejamu (host):
1. pPendidikan kesehatan dijalankan dengan cara bagaimana masyarakat
dapat hidup secara sehat (hygiene),.
2. pPerlindungan khusus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi
Bacillus Calmette Guerin (BCG), terutama pada orang yang kontak
serumah dengan penderita kusta,.
3. pPeriksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat lainnya untuk
tanda-tanda kusta (Depkes RI, 2007: 11).
Dilihat dari segi lingkungan:
1. Sesuaikan sesuaikan luas ruangan rumah dengan penghuninya,.
2. bBukalah jendela rumah agar sirkulasi udara serta suhu di dalam ruang
tetap terjaga agar terhindar berkembangnya M. leprae di dalam rumah
(Dinkes Provinsi, 2005: 6).
g. Reaksi Kusta
Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab
terjadinya cacat adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf
(neuritis). Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan
(cellulair respons) atau reaksi antigenantibodi (humoral respons) dengan
akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi/cacat (Depkes RI, 2007: 90).
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas
berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan dapat disertai gangguan fungsi
saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa. Penyebab pasti terjadinya
reaksi masih belum jelas. Diperkirakan bahwa sejumlah faktor pencetus
memegang peranan penting (Depkes RI, 2007: 89).
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada penderita-penderita yang
berada di spektrum borderline. Disebut demikian karena posisi
borderline ini merupakan tipe yang tidak stabil. Reaksi ini terutama
terjadi selama pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat
respon imun seluler secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya
respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini.
Gejala-gejalanya dapat dilihat berupa perubahan pada kulit
maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit merah, bengkak,
panas, nyeri dan panas. Pada saraf, manifestasi yang terjadi berupa
nyeri atau gangguan fungsi saraf. Kadang-kadang dapat terjadi
gangguan keadaan umum penderita (konstitusi), seperti demam, dll
(Depkes RI, 2007: 91).
2. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral
karena tingginya respons imun humoral pada penderita borderline
lepromatous dan lepromatous lepromatous, dimana tubuh
membentuk antibodi karena salah satu protein M. leprae tersebut
bersifat antigenik. Banyaknya antibodi yang terbentuk disebabkan
oleh banyaknya antigen (protein kuman). Reaksi yang terjadi (pada
kulit) nampak sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai
ENL (Erithema Nodosum Leprosum) dengan konsistensi lunak dan
nyeri (Depkes RI, 2007: 92).
2.2 Depresi
2.2.1 Pengertian Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta rasa ingin bunuh
diri. Depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya
perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood
adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan
afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010).
Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III) (2013) disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah adanya
gangguan suasana perasaan, kehilangan minat, menurunya kegiatan, pesimisme
menghadapi massa yang akan datang. Pada kasus patologi, depresi merupakan
ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksi terhadap rangsang, disertai menurunya
nilai dari delusi, tidak mampu dan putus asa.
2.2.2 Prevalensi
Dari suatu observasi universal, tanpa melihat Negara atau kebudayaan
menurut Schimeilpfering (dalam Hidayat, 2010) prevalensi gangguan depresif dua
kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Mengingat bahwa puncak
onset gangguan depresi pada perempuan bertepatan dengan reproduksi tahun
(antara usia 25 sampai 44 tahun usia), faktor resiko hormon mungkin
memainkan peran.
Pada gangguan depresi usia rata-ratanya sekitar 40 tahun, dengan 50%
pasien memiliki awitan antar usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif paling
sering terjadi pada orang tanpa hubungan antarpersonel yang dekat atau pada
orang yang mengalami perceraian atau perpisahan (Kaplan, 2010).
b. Jenis kelamin
Terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada
wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai
melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi perempuan
dan laki-laki.
c. Status perkawinan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang-
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena
perceraian atau berpisah dengan pasangan.
d. Status fungsional baru
Adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru, pekerjaan baru,
hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari beberapa
kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.
2.2.4 Klasifikasi
Purnomo et al (2010) mengklasifikasikan depresi berdasarkan etiologi
yaitu depresi endogen dan depresi reaktif. Depresi endogen sangat
ditentukan oleh faktor biologis yang sama sekali tidak ada hubungan
dengan faktor lingkungan. Sebaliknya, depresi reaktif muncul karena
adanya psychososially Psychososially Trigger (pencetus dari luar).
Pembahasan mengenai patofisiologi sindrom depresi dapat dilihat pada
berikut.
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis gangguan depresi pada kusta ditegakkan berpedoman pada
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang
merujuk pada ICD 10 (International ClassificationDiagnostic 10). Gangguan
depresi dibedakan dalam depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan
banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan
seseorang.
1. Gejala Utama, meliputi:
a. Perasaan depresif
b. Hilangnya minat dan semangat
c. Mudah lelah dan kehilangan tenaga
2. Gejala Lain, meliputi:
a. Konsentrasi dan perhatian menurun
b. Harga diri dan kepercayaan diri menurun
c. Perasaan bersalah dan tidak berguna
d. Pesimis terhadap masa depan
e. Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Gangguan tidur
g. Gangguan nafsu makan
h. Menurunnya libido
Ringan 2 2 Baik -
Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak distress
Berat 3 >4 Sangat Terganggu Sangat distress
(Sumber: Maslim, 2013)
2.2.7 Terapi
Sebagian besar klinisi dan peneliti percaya bahwa kombinasi psikoterapi
dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi.
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien
dengan gangguan depresi dengan cara membantu pasien
untuk mengubah cara pikir dalam berinteraksi denga lingkungan
sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku dilakukan
dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu (Reus, V.I.
dalam Tasmil, 2012).
c. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi
hubungan interpersonal seorang individu, yang dapat
memicu terjadinya gangguan mood. Terapi ini berfungsi untuk
mengetahui stressor pada pasien yang mengalami gangguan
(Barnett & Gotlib dalam Tasmil, 2012).
STRESSOR
HPA-Axis Interleukin-6
CRH
ACTH
Zona Fasiculata
Adrenal Gland
Cortisol
Gejala depresi
Hipotesis
Berdasarkan pendahuluan dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan, hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara penyakit kusta
dengan tingkat depresi pada pasien kusta.
BAB 3. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data
primer. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, yaitu suatu
desain penelitian yang melakukan pengukuran terhadap faktor risiko dan outcome
dalam satu waktu.
Penelitian Cross Sectional merupakan penelitian non-eksperimental dalam
rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek
yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu, dengan model pendekatan
Point Time. Variabel-variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang
termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama.
Definisi Operasional
Definisi operasional adalah seperangkat petunjuk yang lengkap tentang apa
yang harus diamati dan bagaimana mengukur suatu variabel atau konsep definisi
operasional tersebut membantu kita untuk mengklasifikasi gejala di sekitar ke
dalam kategori khusus dari variabel (Sugiyono, 2011).
3.5.1 Kusta
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorus bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Dalam penelitian ini, penderita
kusta adalah orang-orang yang telah terdiagnosis positif menderita kusta, baik
jenis MB maupun PB, oleh petugas kesehatan setempat dan terdaftar di Rumah
Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto.
3.5.2 Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta rasa ingin bunuh
diri. Individu dikatakan mempunyai depresi setelah diukur dengan memakai Hamilton
Depression Rating Scale (HDRS). Berikut cara penilaian gejala-gejala depresi untuk
menentukan tingkat depresi dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel Cara penilaian gejala depresi
Skor Gejala Keterangan
Instrumen Penelitian
a. Informed consent
Instrumen ini digunakan sebagai tanda persetujuan sampel untuk menjadi
subjek penelitian.
b. Lembar penjelasan kepada calon subyek.
Instrumen ini berisi tentang informasi yang harus diketahui oleh calon
responden, antara lain kesukarelaan responden untuk mengikuti penelitian,
prosedur penelitian, kewajiban subjek penelitian, manfaat penelitian untuk
responden, kerahasiaan identitas responden, kompensasi yang akan didapat
setelah menjadi responden, dan informasi tambahan lainnya.
c. Identitas sampel
Instrumen ini berisi identitas dari responden yang meliputi nama, tempat
tanggal lahir, status perkawinan, dan status pendidikan.
d. Alat perekam suara (voice recorder)
Instrumen ini digunakan untuk merekam jawaban responden yang akan
digunakan dalam penelitian pada kuesioner.
e. Kuesioner Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
HDRS merupakan salah satu dari berbagai instrument untuk skrining
depresi dengan reliabilitas cukup tinggi. HDRS terdiri atas 24 pertanyaan yang
berisi 24 kategori sebagai berikut.
1) Suasana perasaan depresi (sedih, putus asa, tak berdaya, tak berguna)
2) Perasaan bersalah
3) Bunuh diri
4) Initial Insomnia
5) Middle Insomnia
6) Late Insomnia
7) Gangguan kerja dan kegiatan-kegiatannya
8) Retardasi: lambat dalam berpikir, berbicara gagal berkonsentrasi, aktivitas
motorik menurun
9) Kegelisahan (agitasi)
10) Kecemasan: anxietas psikis
11) Anxietas somatik,
12) Gejala somatik (gangguan pencernaan)
13) Gejala somatik umum
14) Kotamil (gejala genital)
15) Hipokondriasis (keluhan somatik dan fisik yang berpindah-pindah)
16) Kehilangan berat badan
17) Insight (pemahaman diri/tilikan)
18) Variasi harian yang berubah
19) Depersonalisasi (perasaan diri berubah) dan Derealisasi (perasaan tidak nyata
dan tidak realistis)
20) Gejala-gejala paranoid
21) Gejala-gejala obsesif dan kompulsif
22) Ketidakberdayaan
23) Keputusasaan
24) Perasaan tidak berharga
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh
seorang peneliti secara teratur dan sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan
penelitian. Untuk mencapai tujuan dari penelitian maka dibutuhkan instrumen
penelitian yang lengkap, alur penelitian yang jelas, dan selanjutnya dapat
dilakukan analisis data (Sugiyono, 2011).
Analisis Data
Data yang didapat diolah dan disajikan dalam bentuk tabel kemudian
masing-masing variabel dideskripsikan. Dalam hal ini, untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel, yaitu penyakit kusta sebagai variabel bebas dan
adanya depresi sebagai variabel terikat digunakan Uji Korelasi Spearman yang
diolah dengan program Statistical Package for the Sosial Science (SPSS).
Alur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, harus ditentukan alur penelitian yang jelas
sesuai dengan gambar dibawah ini agar penelitian dapat dilakukan secara runtut
dan sesuai dengan peraturannya.
.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.6 Grafik distribusi usia responden berdasarkan lama mengidap kusta
Tabel 4.9. Tabulasi distribusi tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin responden
Gambar 4.9. Grafik distribusi tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin responden
Tabel 4.11 Tabulasi distribusi tingkat depresi menurut status pekerjaan responden
Tingkat Depresi Total
Tidak ada Ringan Sedang Berat
Status Pekerjaan
f % f % f % f % F %
Bekerja 21 35,0 6 10,0 3 5,0 0 .0 30 50,0
status pekerjaan
Gambar 4.12. Grafik distribusi tingkat depresi menurut status pekerjaan responden
Tabel 4.14 Tabulasi distribusi tingkat depresi menurut lama hemodialisis responden
per
sen
tas
e%
Gambar 4.14. Grafik distribusi tingkat depresi menurut lama terapi hemodialisis
Berdasarkan hasil uji statistik Spearman Rho yang dihitung dengan program
statistik. Variabel dependent dan independent dikatakan memiliki korelasi
bermakna apabila nilai P adalah <0,05 (Dahlan, 2013). Berdasarkan tabel diatas,
variabel yang diuji dalam penelitian ini memiliki nilai signifikansi (p) sebesar
0,025 yang menunjukkan 0,025<p 0,05 artinya terdapat hubungan antara penyakit
kusta dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Kabupaten Mojokerto.
Kekuatan dan arah korelasi dapat diketahui dengan melihat koefisien korelasi
(r). Rentang kekuatan korelasi menurut Dahlan (2013) adalah sebagai berikut:
a. 0 sampai <0,2 sangat lemah
b. 0,2 sampai <0,4 lemah
c. 0,4 sampai <0,6 sedang
d. 0,6 sampai <0,8 kuat
e. 0,8 sampai 1 sangat kuat
Nilai r dalam penelitian ini adalah 0,290 yang menunjukkan bahwa kekuatan
korelasi antara penyakit kusta dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit
Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto adalah lemah. Arah korelasi adalah
positif yang artinya semakin lama menderita kusta, maka akan semakin tinggi
tinggat depresinya. Begitu juga sebaliknya, semakin singkat pasien menderita
kusta maka semakin rendah tingkat depresinya.
4.3 Pembahasan
Penelitian ini merupakan penelitian tentang hubungan penyakit kusta
dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Kabupaten Mojokerto menggunakan jenis penelitian analitik observasional
dengan desain cross sectional. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan telah
diperoleh data yang dicantumkan dalam bentuk tabel dan gambar di hasil
penelitian BAB 4. Populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pasien kusta yang terdaftar di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten
Mojokerto. Metode pengambilan sampel yaitu setiap sampel yang memenuhi
kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu
sehingga jumlah sampel yang di perlukan terpenuhi.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuesioner dengan
teknik wawancara serta meberikan penjelasan singkat kepada responden. Pada
penelitian ini digunakan instrument berupa kuesioner Hamilton Depression
Rating Scale yang terdiri dari 13 kelompok gejala yang masing-masing kelompok
dirinci dengan gejala-gejala yang lebih spesifik.
Distribusi tingkat depresi menurut umur menunjukkan bahwa responden
terbanyak mengalami tidak mengalami depresi adalah pada umur 57-69 tahun.
Dimana usia tersebut merupakan kelompok golongan lansia (Depkes RI,2009).
Hasil penelitian ini terdapat perbedaan dengan teori yang dikemukakan oleh
Kaplan dan Shadock yaitu lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan. Hal ini karena pada proses penuaan
akan terjadi berbagai perubahan dimulai dari perubahan fungsi fisik, kognitif
sampai perubahan psikososial yang akan mempermudah terjadinya depresi
pada lansia. Bertambahnya usia maka secara alamiah juga akan
mempengaruhi terjadi penurunan kemampuan seperti fungsi perawatan diri
sendiri, berinteraksi dengan orang lain disekitar dan semakin bergantung
dengan yang lain (Rinajumita,2011). Hal ini mungkin disebabkan karena
adanya dukungan keluarga yang baik bagi para lansia, dimana dukungan keluarga
sangat penting bagi lansia seperti dukungan emosional, dukungan psikologis,
dukungan sosial sehinggan penekaan terhadap stress yang akan berkembang
menjadi depresi akan berkurang (Santoso & Ismail, 2009).
Pada x, distribusi tingkat depresi menurut jenis kelamin menunjukkan dari
60 responden yang diteliti ternyata laki-laki lebih banyak tidak menderita depresi
yaitu sebesar 26,7% menyatakan bahwa laki-laki banyak yang tidak mengalami
depresi dibandingkan perempuan. Hal ini menunjukkan jika laki-laki memiliki
coping mechanism yang lebih baik untuk menghadapi masalah-masalah dalam
sehari-hari yang dapat menyebabkan kecenderungan akan depresinya. Perempuan
cenderung lebih mudah terkena stress karena fluktuasi hormon saat menstruasi,
saat post partum, dan saat menoupose yang bepengaruh terhadap keseimbangan
kimiawi otak sehingga menimbulkan kecemasan (McLean, 2011). Salah satu
faktor yang menyebabkan wanita lebih rentan mengalami depresi dipengaruhi
estrogen dan progesterone (Christensen, 2005).
Distribusi tingkat depresi menurut pekerjaan menunjukkan bahwa orang
yang sakit kusta yang memiliki pekerjaan tidak memiliki depresi. Menurut teori
aktifitas menyatakan bahwa pada orang yang bekerja adalah mereka yang aktif
dan ikut banyak kegiatan sosial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wong &
Almeida (2012) bahwa status pekerjaan berhubungan depresi. Dimana
seseorang yang masih bekerja memiliki resiko rendah terhadap depresi karena
waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bekerja diluar rumah setiap
harinya, bertemu dan bersosialisai dengan lingkungan sosial. Dan di hari libur
mereka lebih banyak beraktivitas bersama keluarga, sehingga faktor pemicu
depresi akibat penyakitnya akan berkurang. Selain itu, seperti yang dikemukakan
oleh Etika (2017), pasien kusta yang tidak bekerja akan mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga dan tidak dapat
meningkatkan kualitas dalam pengobatan yang bisa dilakukan dalam proses
penyembuhan penyakit kusta.
Distribusi tingkat depresi menurut lamanya mengidap kusta menunjukkan
bahwa pasien dengan lama mengidap kusta selama 0-14 tahun paling banyak tidak
mengalami depresi yaitu sebesar 13 responden (21,7%). Hal ini menunjukkan
bahwa pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
banyak yang tidak mengalami depresi.
Pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
rutin mendapatkan pendidikan kesehatan dari pihak rumah sakit melalui
penyuluhan rutin satu kali dalam sebulan. Penyuluhan ini dapat digunakan pihak
rumah sakit untuk meningkatkan ketahanan pasien pada depresi melalui self-
efficacy sehingga mekanisme koping individu makin baik. Dalam Riyanto (2015)
disebutkan bahwa semakin tinggi tingkat self-efficacy maka semakian tinggi pula
tingkat optimisme dan kepercayaan diri pasien terhadap kemampuannya dalam
memecahkan masalahnya sendiri.
Respon koping yang dapat diterapkan pada individu adalah mekanisme
adaptif dan maladaptif (Ihdaniati dan Arifah, 2009). Salah satu cara dari respon
koping adalah mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan mekanisme
yang digunakan oleh individu umtuk menghadapi perubahan yang diterima.
Apabila mekanisme koping koping berhasil, maka individu tersebut akan dapat
beradaptasi pada perubahan yang terjadi. Namun apabila respon koping tersebut
tidak berhasil, maka akan menimbulkan episode depresi terhadap penderita kusta
yang dapat berakibat menurunnya kemampuan pasien dalam merawat diri
sehingga menimbulkan kecacatan (Hariyati dkk, 2017).
Selain itu, dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan juga
mempengaruhi kondisi psikologis penderita. Semakin baik dukungan sosial dari
keluarga dan lingkungan, maka semakin baik pula kondisi psikologis penderita
kusta. Secara fisik dukungan sosial dari keluarga berupa bantuan tenaga untuk
memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari. Sedangkan secara psikologis dukungan
sosial dapat berbentuk kasih sayang, membantu mengambangkan konsep diri
pasien kearah yang positif dan menerima pasien sesuai dengan perubahan-
perubahan yang dialami saat sakit. Dimungkinkan kondisi psikologisnya akan
lebih tahan terhadap depresi dikarenakan pasien sudah lebih siap daripada
sebelumnya dalam menghadapi penyakit ini. Pasien sudah terbiasa dengan segala
pengobatan dan pola kehidupan. Tentunya pengetahuan pasien terhadap penyakit
kusta yang dideritanya semakin lama akan semakin banyak, dan pada tahap ini
pasien tidak lagi dibingungkan oleh informasi yang simpang siur tentang
penyakitnya.
Berdasarkan hasil analisis data dengan uji statistik Spearman pada Tabel x.,
dapat diketahui bahwa hipotesis diterima dengan nilai signifikansi 0,025. Hal
tersebut berarti terdapat hubungan antara penyakit kusta dengan tingkat depresi
pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Nilai
koefisien korelasi dari kedua variabel sebesar 0,290 yang berarti terdapat korelasi
berkekuatan rendah kearah positif, yaitu semakin lama pasien mengidap kusta
maka semakin tinggi tingkat depresinya. Begitupun sebaliknya, semakin singkat
pasien menderita kusta, maka semakin rendah tingkat depresinya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a. Pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
didapatkan mayoritas (51,7%) responden dari 60 sampel tidak mengalami
depresi.
b. Pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
didapatkan mayoritas (36,7%) responden dari 60 sampel dengan lama
pengidap kusta 0-14 tahun.
c. Pada hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara mengidap kusta dengan tingkat depresi pada pasien kusta di
Rumah Sakit Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Analisis hubungan antara
kedua variabel tersebut menunjukkan nilai korelasi positif dengan kekuatan
korelasi rendah, sehingga dapat diartikan bahwa semakin lama pasien
mengidap kusta maka semakin tinggi tingkat depresinya. Begitupun
sebaliknya, semakin singkat pasien menderita kusta, maka semakin rendah
tingkat depresinya.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini sebagai berikut.
a. Perlu adanya konseling secara menyeluruh kepada pengidap kusta untuk selalu
optimis dan memperhatikan kondisi psikologisnya dalam menghadapi
masalah yang bisa menimbulkan depresi.
b. Perlunya dilakukan rawat bersama antara SMF kusta dan SMF psikiatri dalam
menangani pasien dengan diagnosis kusta agar dalam penangananya mendapat
penanganan yang kompresif baik pada gangguan fisik maupun psikisnya.
c. Perlu adanya edukasi terhadap keluarga penderita untuk selalu memberikan
dukungan terhadap pengidap kusta dan sebisa mungkin menghindarkan
pengidap kusta dari masalah-masalah berat yang dapat menimbulkan depresi.
d. Perlu adanya pemahaman dan dukungan sosial dari masyarakat terhadap para
pengidap kusta, terutama masyarakat yang tinggal berdampingan dengan
pengidap kusta agar dapat terhindar dari penyebarluasan penyakit kusta. Agar
penolakan sosial dan stigma negatif dari masyarakat dapat dihindari.
e. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,yang lebih objektif, dengan sampel
yang lebih banyak, serta memperhatikan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi depresi pada pengidap kusta sehingga didapatkan hasil yang
lebih valid.
DAFTAR PUSTAKA
Adhayani, F. 2011. “Hubungan Antara Profil Lipid Dan Gangguan Memori Pada
Usia Paruh Baya”. Tidak diterbitkan. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Adhi Djuanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
Behere, PB. 1981. Psychological reactions to leprosy. Lepr Ind. 53: 310-313.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2005, Penilaian Rumah Sehat, Semarang:
DKP Jateng.
Dinas Kesehatan. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012.
Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Hidayat, Y. 2010. “Hubungan Antara Jenis Kelamin, Usia Dan Status Pernikahan
Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Perumahan Sinar Waluyo
Semarang”. Tidak Diterbitkan. Tugas Akhir. Semarang: Fakultas
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Semarang.
Hugh Cross dan Margaret Mahato. 2006, Pencegahan Cacat Kusta, Terjemahan
Laksmi K Wardhani. Jakarta : The International Federation of Anti Leprosy
Association (ILEP).
Purnomo, B., Astuti, Y. D. 2010. “Hubungan Harga Diri dengan Tingkat Depresi
Pada Remaja Santri Pondok Pesantren”. Tidak Diterbitkan. Tugas Akhir.
Jogjakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Mojokerto,
Saksi Sukarelawan
____________________ ____________________
Saya mengerti bahwa resiko yang akan datang tidak akan membahayakan
saya, serta berguna untuk meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dalam
penegakan diagnosis depresi serta dapat mengetahui kondisi psikologis saya
melalui diagnosis dengan menggunakan kuesioner Hamilton Depression Rating
Scale (HDRS). Namun saya berhak mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa
adanya sanksi atau kehilangan hak. Saya mengerti data atau catatan mengenai
penelitian ini akan dirahasiakan. Semua berkas yang mencantumkan identitas saya
hanya digunakan untuk pengolahan data dan apabila penelitian ini selesai data
milik responden akan dimusnahkan.
Demikian secara sukarela dan tanpa unsur paksaan dari siapaun saya
bersedia berperan serta dalam penelitian ini.
____________________ _____________________
PERTANYAAN PENELITIAN
Tanggal pemeriksaan :
Pemeriksa :
Nama pasien :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir :
Status perkawinan :
Agama :
Suku bangsa :
Untuk setiap nomor di bawah ini, pilihlah keadaan yang paling tepat
menggambarkan tentang pasien.
2. Perasaan bersalah
0 = tidak ada
1 = menyalahkan diri sendiri, merasa telah mengecewakan orang lain
2= ide-ide bersalah atau renungan tentang perbuatan salah atau berdosa
pada masa lalu
3 = sakit ini merupakan suatu hukuman, waham bersalah
4 = mendengar suara-suara tuduhan atau kutukan dan/atau mengalami
halusinasi penglihatan yang mengancam
3. Bunuh diri
0= tidak ada
1= merasa hidup tidak berharga
2= mengharapkan kematian atau segala pikiran tentang kemungkinan
tersebut
3= ide-ide atau gerak-gerak isyarat tentang bunuh diri
4= percobaan bunuh diri (segala percobaan yang serius diberi nilai 4)
4. Initial insomnia
0= tidak ada kesulitan jatuh tidur
1= kadang-kadang mengeluh sulit jatuh tidur, misalnya lebih dari 15 menit
2= mengeluh sulit jatuh tidur setiap malam
5. Middle insomnia
0= tidak ada kesulitan mempertahankan tidur
1= mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam
2 = terjaga sepanjang malam (segala keadaan bangkit dari tempat tidur
diberi nilai 2 kecuali untuk buang air kecil)
6. Late insomnia
0= tidak ada kesulitan
1= bangun terlalu pagi tetapi dapat tidur kembali
2= bila telah bangun/bangkit dari tempat tidur, tidak dapat tidur kembali
15. Hipokondriasis
0 = tidak ada
1 = dihayati sendiri
2 = preokupasi tentang kesehatan diri
3 = sering mengeluh, meminta pertolongan, dan lain-lain
4 = waham hipokondriasis
17. Tilikan
0 = mengetahui dirinya depresi dan sakit
1= mengetahui dirinya sakit tetapi disebabkan oleh makanan yang buruk,
iklim, kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain.
2 = menyangkal sepenuhnya bahwa dirinya sakit
22. Ketidakberdayaan
0 = tidak ada
1 = perasaan subyektif yang diperoleh hanya bila ditanya
2 = perasaan tidak berdaya dinyatakan langsung oleh pasien
3 = memerlukan dorongan, bimbingan dan penentraman hati untuk
menyelesaikan tugas bangsal atau higiene diri.
4 = memerlukan bantuan fisik untuk berpakaian, makan, bedside tasks atau
higiene diri.
23. Keputusasaan
0 = tidak ada
1= sering-sering merasa ragu bahwa ‘keadaan akan membaik’ tetapi masih
dapat ditentramkan
2= merasa putus asa secara konsisten tetapi masih menerima
penentraman
3 = mengekspresikan perasaan putus asa, hilang harapan, pesimis
tentang masa depan, yang tidak dapat dihilangkan.
4 = keteguhan spontan dan tidak sesuai bahwa ‘saya tidak akan pernah
sembuh atau padanannya.
24. Perasaan tidak berharga (terentang dari hilangnya harga diri, perasaan
rendah diri, mencela diri yang ringan sampai waham tentang
ketidakberhargaan)
0 = tidak ada
1 = menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) hanya bila
ditanya.
2 = menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) secara
spontan
3 = berbeda dengan nilai 2 di atas berdasarkan derajat. Pasien secara
sukarela menyatakan bahwa dia ‘tidak baik’, ‘rendah’.
4 = waham tentang ketidakberhargaan, misalnya ‘Saya adalah tumpukan
sampah atau padanannya.
Interpretasi (rentang nilai 0 - 50)
Nilai keseluruhan ≤ 17 : normal
Nilai keseluruhan 18 – 24 : depresi ringan
Nilai keseluruhan 25 – 34 : depresi sedang
Nilai keseluruhan 35 – 51 : depresi berat
Nilai keseluruhan 52 – 68 : depresi sangat berat.
B.6 Lembar Wawancara Kepada Calon Subjek Menurut Kuesioner
Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
Lembar ini berisi daftar pertanyaan yang akan peneliti gunakan untuk
mewawancarai pasien kusta guna mendeteksi depresi. Aspek penilaian dalam
lembar wawancara ini berdasarkan kuesioner Hamilton Depression Rating Scale
(HDRS) yang telah distandarisasi. Peneliti diharapkan dapat membangun rasa empati dan
mengamati ekspresi pasien selama proses wawancara. Berikut pertanyaan yang akan
peneliti ajukan untuk wawancara beserta aspek yang akan dinilai.
Mengetahui,
Kepala Ruang Melati
NIP.
Distribusi Frekuensi Data Umum
Jenis kelamin
Usia
Status pekerjaan
Tingkat depresi
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis kelamin * Lama
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
mengidap kusta
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia * Lama
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
mengidap kusta
Usia * Lama mengidap kusta Crosstabulation
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status pekerjaan *
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
Lama mengidap kusta
Total Count 22 16 14 6 2 60
% of Total 36,7% 26,7% 23,3% 10,0% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Jenis Kelamin dan Tingkat Depresi
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis kelamin *
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
Tingkat depresi
Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Jenis Laki-laki Count 16 5 5 1 27
kelamin % of Total 26,7% 8,3% 8,3% 1,7% 45,0%
Perempuan Count 15 12 5 1 33
% of Total 25,0% 20,0% 8,3% 1,7% 55,0%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia * Tingkat depresi 60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
Usia * Tingkat depresi Crosstabulation
Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Usia 18-30 tahun Count 0 0 2 0 2
% of Total ,0% ,0% 3,3% ,0% 3,3%
31-43 tahun Count 7 5 0 0 12
% of Total 11,7% 8,3% ,0% ,0% 20,0%
44-56 tahun Count 11 6 2 0 19
% of Total 18,3% 10,0% 3,3% ,0% 31,7%
57-69 tahun Count 12 5 1 0 18
% of Total 20,0% 8,3% 1,7% ,0% 30,0%
70-82 tahun Count 1 1 5 2 9
% of Total 1,7% 1,7% 8,3% 3,3% 15,0%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Status Pekerjaan dan Tingkat Depresi
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status pekerjaan
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
* Tingkat depresi
Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Status Bekerja Count 21 6 3 0 30
pekerjaan % of Total 35,0% 10,0% 5,0% ,0% 50,0%
Tidak Count 10 11 7 2 30
bekerja % of Total
16,7% 18,3% 11,7% 3,3% 50,0%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Lama Mengidap Kusta dan Tingkat Depresi
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Lama mengidap kusta
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
* Tingkat depresi
Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Lama 0-14 tahun Count 13 7 2 0 22
mengidap % of Total 21,7% 11,7% 3,3% ,0% 36,7%
kusta 15-29 tahun Count 8 6 2 0 16
% of Total 13,3% 10,0% 3,3% ,0% 26,7%
30-44 tahun Count 9 4 1 0 14
% of Total 15,0% 6,7% 1,7% ,0% 23,3%
45-59 tahun Count 1 0 4 1 6
% of Total 1,7% ,0% 6,7% 1,7% 10,0%
60-74 tahun Count 0 0 1 1 2
% of Total ,0% ,0% 1,7% 1,7% 3,3%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%
Correlations
Lama
mengidap Tingkat
kusta depresi
Spearman's rho Lama mengidap kusta Correlation Coefficient 1,000 ,290*
Sig. (2-tailed) . ,025
N 60 60
Tingkat depresi Correlation Coefficient ,290* 1,000
Sig. (2-tailed) ,025 .
N 60 60
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).