Anda di halaman 1dari 104

HUBUNGAN PENYAKIT KUSTA DENGAN TINGKAT DEPRESI

PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT KUSTA SUMBERGLAGAH


KABUPATEN MOJOKERTO

SKRIPSI

Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
NIM 132010101018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

i
HUBUNGAN PENYAKIT KUSTA DENGAN TINGKAT DEPRESI
PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT KUSTA SUMBERGLAGAH
KABUPATEN MOJOKERTO

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
NIM 132010101018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal berjudul “Hubungan Penyakit Kusta dengan Tingkat Depresi pada


Pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto” telah disetujui
pada:
hari, tanggal : Kamis, 5 Januari 2017
tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota

dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ dr. Ida Srisurani Wiji Astuti, M.Kes.
NIP. 196410111991032004 NIP. 198209012008122001

iii
RINGKASAN

Hubungan Penyakit Kusta dengan Tingkat Depresi pada Pasien di Rumah


Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto pada Bulan Juni 2017;
Widya Ayu Putri Maharani; 132010101018; 2017; Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.

Kusta merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat interselular obligat yang menyerang
kulit, mukosa (mulut), mata, saluran pernafasan atas dan saraf, kecuali saraf pusat.
WHO pada tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat
ketiga di dunia dengan jumlah kasus kusta terbanyak setelah India dan Brazil dan
masih memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia yang menyebabkan penyakit
ini menjadi salah satu masalah kesehatan nasional.
Pada pasien yang sudah terdeteksi mengidap kusta dan muncul gejala-
gejalanya tentu akan mengalami halangan dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup alamiahnya. Hal ini disebabkan
karena stigma mengenai penyakit kusta masih melekat erat di benak masyarakat.
Adanya stigma dan terjadinya penurunan kualitas hidup penderita kusta akan
berkesinambungan dengan munculnya masalah psikis yang lebih parah, salah
satunya depresi.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta rasa ingin bunuh diri. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa resiko mengalami depresi akan meningkat sebesar
2,6 kali lipat pada orang yang memiliki suatu penyakit kronis dan tingkat depresi
akan lebih tinggi pada penderita kusta daripada masyarakat umum akibat dari
stigma negatif yang disebabkan oleh kusta.
Oleh karena itu, penulis menyusun proposal penelitian berjudul “
Hubungan Penyakit Kusta dengan Tingkat Depresi pada Pasien di Rumah Sakit
Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto” pada Bulan Juni 2017. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penyakit kusta dengan tingkat
depresi pada pasien. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi pada pasien kusta agar lebih memperhatikan kondisi psikologisnya yang
muncul akibat stigma negatif dari masyarakat dan keterbatasan yang muncul
karena penyakit kusta serta sebagai bahan pertimbangan perlunya perawatan
intensif antara bidang penyakit kulit dan psikiatri.
Jenis penelitian ini adalah uji kuantitatif dengan metode analitik
observasional. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian
ini dilakukan pada pasien yang telah terdiagnosis Kusta di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Jumlah sampel dari penelitian ini adalah 60
orang. Setiap sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi akan
dimasukkan dalam penelitian. Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi adalah
berusia 18-65 tahun, terdaftar sebagai pasien kusta di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah Kabupaten Mojokerto, dan bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini. Sedangkan kriteria ekslusi sampel adalah tidak bersedia menjadi
responden, tidak menyelesaikan proses interview atau pengisian kuesioner, dan
menderita gangguan jiwa berat.

iv
Cara peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah dengan cara
wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner diberi berurutan
dan tanpa batas waktu pengisian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari informed consent dan kuesioner Hamilton Depression Rating Scale (HDRS).
Yang melakukan wawancara adalah peneliti yang didampingi oleh Dokter
Spesialis Jiwa atau tenaga medis terlatih.
Setelah data terkumpul dilakukan pemberian skor dari setiap jawaban
responden sebagai penentuan tingkat depresi. Data yang didapat diolah dan
disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian masing-masing variabel dideskripsikan.
Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat digunakan Uji Korelasi Spearmann. Derajat kemaknaan yang
dipilih adalah α=0,05. Jika uji statistic menunjukkan p< 0,05, maka terdapat
hubungan yang signifikan antara variable bebas dan variable terikat. Uji statistik
dalam penelitian ini menggunakan program Statistical Package for the Sosial
Science (SPSS).

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................
i
HALAMAN JUDUL........................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................
iii
RINGKASAN...................................................................................................
iv
DAFTAR ISI.....................................................................................................
vi

BAB 1. PENDAHULUAN...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang.............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................
2
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................
3
1.4.1 Manfaat teoritis..................................................................
3
1.4.2 Manfaat praktis..................................................................
3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................


4
2.1 Kusta............................................................................................
4
2.1.1 Sejarah Kusta..........................................................................
4
2.1.2 Pengertian Kusta.....................................................................
4
2.1.3 Etiologi....................................................................................
5
2.1.4 Cara Penularan........................................................................
5
2.1.5 Epidemiologi...........................................................................
6

vi
2.1.6 Patogenesis..............................................................................
9
2.1.7 Diagnosis.................................................................................
10
2.1.8 Klasifikasi................................................................................
12
2.1.9 Pemeriksaan Klinis.................................................................
14
2.2 Depresi.........................................................................................
28
2.2.1 Pengertian Depresi.................................................................
28
2.2.2 Prevalensi................................................................................
29
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.....................................................
29
2.2.4 Klasifikasi................................................................................
31
2.2.5 Gejala Klinis...........................................................................
32
2.2.6 Diagnosis.................................................................................
33
2.2.7 Terapi.......................................................................................
34
2.3 Keterkaitan antara Kusta dengan Depresi...................................
36
2.4 Kerangka Konsep........................................................................
38
2.5 Hipotesis......................................................................................
38
BAB 3. METODE PENELITIAN....................................................................
40
3.1 Desain Penelitian.........................................................................
40
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................
40
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...................................................
40
3.3.1 Populasi...................................................................................
40
3.3.2 Sampel.....................................................................................
40
3.4 Variabel Penelitian.......................................................................
42
3.5 Definisi Operasional....................................................................
42

vii
3.5.1 Kusta........................................................................................
42
3.5.2 Depresi.....................................................................................
42
3.6 Rancangan Penelitian..................................................................
44
3.7 Instrumen Penelitian....................................................................
44
3.8 Prosedur Penelitian......................................................................
46
3.8.1 Prosedur Pengambilan Data..................................................
46
3.8.2 Analisis Data...........................................................................
47
3.8.3 Alur Penelitian........................................................................
48
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………...
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………...

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................


49
LAMPIRAN

viii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki angka penyebaran
penyakit kusta yang cukup tinggi. Meskipun selama periode 2008-2013, angka
penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 sudah mengalami penurunan yang
cukup signifikan dan menjadi penemuan terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000
penduduk dengan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per
10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah mencapai target < 1 per
10.000 penduduk atau < 10 per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan 2013,
Pusdatin) akan tetapi menurut WHO pada tahun 2011, Indonesia masih menjadi
tiga Negara teratas dengan kasus kusta terbanyak setelah India dan Brazil di dunia
(Oentari, 2015). Penyakit ini masih menjadi masalah nasional kesehatan
masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi.
Salah satu provinsi di Indonesia yang masih banyak ditemui penderita kusta
adalah di provinsi Jawa Timur yang pada tahun 2012 ditemukan kasus penderita
sebanyak 4.807 orang (25,5% dari jumlah penderita baru di Indonesia) dan masih
menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di Indonesia.
Laporan Program Kusta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2013)
menggambarkan persebaran penderita Kusta di Jawa Timur merata di setiap
kabupaten dan kota meskipun dengan rentang jumlah yang berbeda. Salah satu
Kabupaten yang memiliki kasus penderita kusta adalah Kabupaten Mojokerto.
Oleh karena itu, peneliti melakukan penilitan ini di Kabupaten Mojokerto. Di
kabupaten ini terdapat Rumah Sakit Kusta yaitu Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah yang berlokasi di Dsn. Sumberglagah, Ds. Tanjungkenongo, Kec.
Pacet, Kab. Mojokerto, Jawa Timur dan menjadi salah satu lokasi rujukan untuk
penderita kusta selain Rumah Sakit Kusta Kediri dan RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
Pada pasien yang sudah terdeteksi mengidap kusta dan muncul gejala-
gejalanya tentu akan mengalami halangan dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup alamiahnya. Hal ini disebabkan
karena stigma mengenai penyakit kusta masih melekat erat di benak masyarakat.
Adanya stigma dan terjadinya penurunan kualitas hidup penderita kusta akan
berkesinambungan dengan munculnya masalah psikis yang lebih parah, salah
satunya depresi.
Menurut WHO (2012), jumlah kasus depresi mencapai 350 juta kasus
diseluruh dunia dan survei yang dilakukan WHO di 17 negara menunjukkan
bahwa rata-rata dalam satu tahun, 1 dari 20 orang dilaporkan mengalami depresi.
Sedangkan di Indonesia, prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental
emosional seperti kecemasan dan depresi sebanyak 37.728 orang (Riskesdas,
2013) dan resiko mengalami depresi akan meningkat 2,6 kali lebih besar pada
orang yang memiliki penyakit kronis (Widakdo, 2013), salah satunya kusta. Hal
ini sesuai dengan data yang didapatkan oleh Tsutsumi (2003) bahwa stigma dalam
masyarakat mengenai kusta menyebabkan adanya tingkat depresi yang lebih
tinggi pada penderita kusta dibanding masyarakat umum.
Berdasarkan pertimbangan masalah psikis berupa adanya depresi pada
penderita kusta di masyarakat, maka peneliti menjadi tertarik untuk meneliti lebih
mendalam mengenai “Hubungan Penyakit Kusta dengan Tingkat Depresi pada
Pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan masalah psikis yang terdapat pada latar belakang di atas, maka
peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana kondisi psikis berupa tingkat depresi
pada penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penelitian ini adalah mencari tahu tentang tingkat depresi pada
penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai tingkat depresi yang
terjadi pada penderita kusta serta dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
khususnya untuk memanajemen masalah psikis berupa depresi. Secara akademis,
penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat praktis
- Bagi Instansi kesehatan
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Dinkes dan Rumah Sakit
dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
- Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit
kusta serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit kusta.
- Bagi penderita
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan penderita tentang penyakit
kusta dan dapat menambah pengetahuan penderita tentang penanganan gejala
depresi yang muncul.
- Bagi keluarga
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan keluarga tentang penyakit kusta
serta dapat melakukan dukungan psikologis terhadap penderita penyakit kusta.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
2.1.1 Sejarah Kusta
penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak para
ahli percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen
Papirs Mesir ditulis sekitarr tahun 1550 SM. Sekitar tahun 600 SM, ditemukan
sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta.
Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani Kuno setelah tentara
Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di roma pada 62 SM bertepatan
dengan kembalinya pasukan Pompeii dari Asia kecil.
Pada tahun 1873, Dr. Gerhard Armanuer henrik Hansen dari Norwegia
adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit
kusta dibawah miskroskop. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan
bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun menurun,
bukan dari kutukan atau dosa.

2.1.2 Pengertian Kusta


Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman (InfoDATIN, 2015)
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorus bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Adhi Djuanda, 2007: 73).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang kulit, mukosa
(mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot,
tulang dan testis (Marwali Harahap, 2000: 260).
2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk
pertama kali ditemukan oleh G. H. Armeur Hansen pada tahun 1873. M. leprae
hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan
Cell) dan sel dari sistem retikulo endotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu
2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret
nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Depkes RI, 2007: 9).
M. leprae secara morfologik, berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi
paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa ireguler besar yang
disebut sebagai globi. Pengamatan menggunakan mikroskop elektron, tampak,
M.leprae mempunyai dinding yang terdiri dari 2 lapisan, yakni lapisan
peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida
dan kompleks protein- lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini
adalah suatu arabino-galaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan
ketebalan 20 nm. Tampaknya peptidoglikan ini mempunyai sifat spesifik pada M.
lepra, yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung
alanin. (Marwali Harahap, 2000: 261).

2.1.4 Cara Penularan


Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. Mukosa hidung telah
lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita
tipe lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 1010-10.
Telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe lepromatous
merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. (Depkes RI,
2007: 9).
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat
juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar
dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui
secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini
dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang
sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada
orang lain. Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini
belum dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan
bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Hanya sedikit orang yang
akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena
adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraselular dan sistem
kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler (Depkes RI, 2007: 9).
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit (Arif Mansjoer, 2000: 66).
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi, oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer, 2000: 66).

2.1.5 Epidemiologi
Sebenarnya kapan penyakit kusta ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui
dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah
kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika, dan Amerika . Penyebaran penyakit
kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia,
tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau malanesia termasuk indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap
negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda (Marwali Harahap,
2000: 260; Adhi Djuanda, 2007: 73).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi, dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah
yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi
karena faktor etnik. Kejadian kusta lepramatosa di Myanmar lebih sering terjadi
pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta lepramatosa lebih banyak pada
etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India (Depkes RI, 2007: 7).
Kapan penyakit ini menjalar ke Indonesia tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dalam buku tentang Historische Stude Of Leprae dikatakan bahwa
penduduk pertama dari Jawa mungkin berasal dari Hindia muka dan belakang
negeri yang terkenal dengan sarang kusta yang membawa ke pulau Jawa.
Dilaporkan juga bahwa orang Tionghoa yang datang berdagang ke negeri kita
pasti juga telah membawa penyakit ini ke Indonesia dan dilaporkan dalam buku
tersebut bahwa adanya 3 orang penderita kusta yang diasingkan di suatu pulau di
muka pelabuhan Jakarta pada tahun 1657 (Marwali Harahap, 2000: 261).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi, dan lingkungan varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan
adanya reservoir di luar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta
tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum
diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan
untuk pemecahannya (Adhi Djuanda, 2007:73).
Insidens tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab.
Insidens penyakit kusta di Indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000
penduduk. Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada
orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah 25-35 tahun,
sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun (Arif Mansjoer, 2000: 66).
Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban
penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga
di dunia setelah India dan Brazil. Tahun 2013, Indonesia memiliki jumlah kasus
kusta baru sebanyak 16.856 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 di antara
penderita baru sebanyak 9,86% (WHO, 2013). Penyakit kusta merupakan salah
satu dari delapan penyakit terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD)
yang masih ada di Indonesia, yaitu Filaria, Kusta, Frambusia, Dengue,
Helminthiasis, Schistosomiasis, Rabies dan Taeniasis.
Pada tahun 2000, Indonesia sudah mencapai eliminasi di tingkat nasional.
Namun saat ini, masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban tinggi yaitu
Banten, Sulteng, Aceh, Sultra, Jatim, Sulsel, Sulbar, Sulut, Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara.
Dan secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang
penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Rata-rata penemuan
penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4.000-5.000 orang. Pada
tahun 2012, penemuan penderita baru di Indonesia sebanyak 18.853 orang,
sedangkan penemuan penderita baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.807
orang (25,5% dari jumlah penderita baru di Indonesia). Perkembangan penemuan
penderita Kusta baru digambarkan seperti grafik dibawah ini (Dinkes Jatim, 2013)

Penyebaran penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur meliputi pantai utara


Jawa dan Madura. Di tahun 2012, terdapat 16 kabupaten/kota yang memiliki
angka prevalensi di atas 1/10.000 penduduk terutama di kedua daerah tersebut.
Peta persebaran penderita Kusta digambarkan berikut ini (Dinkes Jatim, 2013).
2.1.6 Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki
mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam
spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan
spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang
disuntikan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan (Adhi Djuanda, 2000: 74).
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi
(900r), sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan
granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung,
cuping telinga, kaki, dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan
lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya
dapat dipenuhi (Adhi Djuanda, 2000: 74).
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat
reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya (Adhi Djuanda, 2000: 74).

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan
paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30
menit, sedangkan histopatologik 10-14 dari. Memungkinkan dapat dilakukan tes
lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat
menetapkan terapi yang sesuai (Adhi Djuanda, 2007: 75).
Penetapan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau
Cardinal sign, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan gangguan fungsi sensoris : mati rasa,
b. Gangguan gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Pareseparese)
atau kelumpuhan (Paraliseparalise),.
c. Gangguan gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak..
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari
tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar kasus dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada kasus yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut
dianggap sebagai kasus yang dicurigai/ suspek (Depkes RI, 2007: 37).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/ kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh.
b. Kulit mengkilap.
c. Bercak yang tidak gatal.
d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak
berambut.
e. Lepuh tidak nyeri.
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan
atau muka.
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.
c. Adanya cacat (deformitas).
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta, jangan
digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta belum
dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis,
frambusia).
2. Jika tidak ditemukan adanya mati rasa yang jelas maupun penebalan
saraf namun ada tanda-tanda mencurigakan seperti nodul,
pembengkakan pada wajah atau cuping telinga, atau infiltrasi pada
kulit, perlu dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear).
3. Tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya mati rasa, jika lesi
kulit tersebut benar kusta maka dalam periode tersebut mati rasa
harusnya menjadi jelas dan kita dapat memulai MDT. Jika masih
meragukan suspek perlu dirujuk.
Pewarnaan dan pemeriksaan dapat dilakukan di Puskesmas yang memiliki
tenaga serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (Depkes RI, 2007: 38).
2.1.8 Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya
harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya.
1. Dasar klasifikasi
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal
yaitu:
a. Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang
terganggu.
b. Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan
asam (BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya
dilakukan bila diagnosis meragukan.
2. Tujuan
Klasifikasi/tipe penyakit kusta penting untuk menentukan:
a. Jenis dan lamanya pengobatan penyakit.
b. Waktu penderita dinyatakan RFT.
c. Perencanaan logistik.
3. Jenis klasifikasi
Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang
cukup menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-
Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi WHO. Sebagian besar
penetuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh
(kekebalan selular) dan jumlah kuman (Depkes RI, 2007: 43).
Pedoman untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut
WHO adalah sebagai berikut:
Tanda Utama PB MB

Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah >5

Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi
bisa berupa kurang/mati
rasa atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
Tanda Utama PB MB

Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah >5

saraf yang bersangkutan)

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

Sumber: Depkes RI, 2007: 44


Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan
klasifikasi penyakit kusta adalah sebagai berikut:
Kelainan Kulit dan Hasil
PB MB
Pemeriksaan

1. Bercak (macula) mati


rasa
a. ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil

b. distribusi Unilateral / bila- Bilateral simetris


teral simestris

c. konsistensi Kering dan Halus, berkilat


kasar

d. batas tegasTegas Kurang tegas

e. kehilangan rasa pada Selalu ada dan Biasanta Biasanya


bercak jelas tidak jelas, jika
ada, terjadi pada
yang sudah lanjut

f. kehilangan Kemam- Selalu ada dan Biasanya tidak


puan kehilangan jelas jelas, jika ada,
kemampuan ber- terjadi pada yang
keringat, rambut sudah lanjut.
rontok pada bercak

2. infiltrat

a. kulit Tidak ada Ada, kadang-


kadang tidak ada

b. membrana Tidak pernah Ada, kadang-


mukosa (hidung ada kadang tidak ada
tersumbat,
perdarahan di
hidung)
Kelainan Kulit dan Hasil
PB MB
Pemeriksaan

c. cirri-ciri Central heading - Punched out


(penyembuhan lession (lesi
di tengah) bentuk seperti
donat)
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
3. nodulus Tidak ada Kadang-kadang
ada

4. deformitas Terjadi dini Biasanya simetris,


terjadi terlambat

Sumber: Depkes RI, 2007: 44

2.1.9 Pemeriksaan Klinis


a. Pemeriksaan
Untuk memeriksa seseorang yang dicurigai kusta harus dilakukan:
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik, yaitu:
a. Pemeriksaan kulit
b. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya
Untuk diagnosis secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga
dilakukan pemeriksaan tambahan bila ada keraguan dan fasilitas
memungkinkan, yaitu:
1. Pemeriksaan bakteriologis
2. Pemeriksaan histopatologis
3. Immunologis
Pemeriksaan tersebut umumnya dilaksanakan oleh para ahli atau
untuk keperluan penelitian (Depkes RI, 2007: 47). Pemeriksaan klinis yang
teliti dan lengkap sangat penting dalam menegakkan diagnosis kusta,
pemeriksaan tersebut meliputi:
1. Anamnesa
Pada anamnesa ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat
penyakitnya.
a. Kapan timbul bercak/keluhan yang ada.
b. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang
sama.
c. Riwayat pengobatan sebelumnya.
2. Persiapan pemeriksaan
a. Tempat
Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya di luar rumah
tetapi tidak boleh langsung di bawah sinar matahari.
b. Waktu pemeriksaan
Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan
sinar matahari).
c. Yang diperiksa
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya
tentang cara pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana
pendek, sedangkan orang dewasa (laki- laki dan wanita) memakai
sarung tanpa baju. Sedapat mungkin seluruh tubuh diperiksa
dengan memperhatikan batas-batas kesopanan (Depkes RI, 2007:
47).
3. Pelaksanaan pemeriksaan
a. Pemeriksaan Pandang
Tahap pemeriksaan
1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa berhadapan
dengan petugas dan dimulai dari kepala (muka, cuping telinga
kiri, pipi kiri, cuping telinga kanan, pipi kanan, hidung, mulut,
dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk
memejamkan mata, untuk mengetahui fungsi saraf dimuka.
Semua kelainan kulit diperhatikan.
2) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan
(penderita diminta meluruskan tangan ke depan denga telapak
tangan menghadap ke atas), telapak tangan, lengan bagian
dalam, ketiak, dada, dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan
seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu
ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu
memeriksa dada dan perut).
3) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam
dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
4) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas
dan pemeriksaan dimulai lagi dari bagian belakang telinga,
bagian belakang leher, punggung, pantat, tungkai bagian
belakang, dan telapak kaki.
5) Perhatikan setiap bercak (makula), bintil-bintil (nodulus)
jaringan perut, kulit yang keriput dan setiap penebalan kulit.
Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan-pelan dan
periksa pada jarak kira-kira setengah meter.
6) Perhatikan kelainan dan cacat yang terdapat pada tangan dan
kaki seperti atropi, jari kiting, pemendekan jari dan ulkus. Pada
pemeriksaan pandang tentukan kelainan kulit yang akan di tes
selanjutnya (Depkes RI, 2007: 48).
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa
rasa raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara
tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Sebaiknya penderita
duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari
telunjuknya, menghitung jumlah sentuhan atau dengan
menunjukkan jari tangan ke atas untuk bagian yang sulit dijangkau.
Ini dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah
jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya
ditutup dengan sepotong kain/ karton. Kelainan-kelainan di kulit
diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya
untuk mengetahui ada tidaknya anestesi. Anestesi pada telapak
tangan dan kaki kurang tepat diperiksa dengan kapas, gunakan
ballpoint seperti dijelaskan pada bagian pencegahan cacat.
c. Pemeriksaan saraf
Raba dengan teliti saraf tepi berikut, saraf aurikularis
magnus, saraf ulnaris, saraf radialis, saraf medianus, saraf peroneus
dan saraf tibialis posterior (petugas harus memperhatikan raut
muka penderita apakah dia kesakitan atau tidak waktu saraf diraba).
Kemudian lakukan pemeriksaan terhadap fungsi- fungsi saraf
tersebut.
d. Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka
catat dan gambar kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu
penderita, sesuai tanda-tanda yang telah ditentukan jumlahnya,
besarnya dan letaknya (Depkes RI, 2007: 49).
b. Perabaan (Palpasi) Saraf
Berikut adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan (palpasi saraf):
1. Pemeriksa berhadapan dengan penderita.
2. Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti
penderita.
3. Pada saat meraba saraf, perhatikan:
a. apakah ada penebalan/pembesaran,
b. apakah saraf kiri dan kanan sama besar atau berbeda,
c. apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.
Sewaktu melakukan palpasi saraf lihat juga mimik penderita, apakah
ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa saraf
yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris,
peroneus communis dan tibialis posterior (Depkes RI, 2007: 51).
c. Pemeriksaan Fungsi Saraf
Raba dengan teliti saraf tepi berikut : saraf aurikularis magnus, saraf
ulnaris, saraf radialis, saraf medianus, saraf peroneus dan saraf tibialis
posterior. Kemudian lakukan pemeriksaan terhadap fungsi saraf-saraf
tersebut (Depkes RI, 2007: 54).
d. Pemeriksaan Bakteriologis
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi
pewarnaan tahan asam untuk melihat Mycobacterium leprae. Pemeriksaan
ini beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan dalam program nasional.
Namun demikian menurut penelitian pemeriksaan skin smear banyak
berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis, karena sekitar 7-10%
penderita yang datang dengan lesi PB, merupakan kasus MB yang dini
(Depkes RI, 2007: 62).
Pada penderita yang meragukan harus dilakukan pemeriksaan apusan
kulit (skin smear). Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas terlatih. Cara
pewarnaan dilakukan sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan
dapat dilakukan di Puskesmas (PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas
untuk pemeriksaan BTA (Depkes RI, 2007: 62).

e. Pengobatan
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat
membunuh kuman kusta dengan demikian pengobatan akan:
1. Memutuskan memutuskan mata rantai penularan,.
2. mMenyembuhkan penyakit penderita,
3. mMencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan.
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta
sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit
jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang. Hancurnya kuman maka sumber
penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus (Depkes
RI, 2007: 73).
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan
hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum
obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali sehingga
timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk
keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.
Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau
bekerja seperti biasa.
1. Regimen Pengobatan MDT
MDT atau Multidrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih
obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai
anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang
bisa bersifat bakteriostatik (Depkes RI, 2007: 73).
Multy Drug Therapy (MDT) dapat menyembuhkan kusta dalam
beberapa bulan. Jika penderita diobati sedini mungkin segera setelah
tanda pertama yang merupakan gejala kusta muncul, kebanyakan
penderita tidak akan mengalami masalah serius dan dapat menjalani
kehidupannya dengan utuh dan normal. Orang lain tidak akan
mengetahui bahwa dirinya pernah menderita kusta (Hugh Cross dan
Margaret Mahato, 2006:2).
Berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang
membutuhkan MDT.:
1. Kasus baru: mereka dengan tanda kusta yang belum pernah
mendapat pengobatan MDT.
2. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:
a. rRelaps (kambuh) diobati dengan regimen pengobatan baik PB
ataupun MB,.
b. mMasuk kembali setelah default adalah penderita yang datang
kembali setelah dinyatakan default (baik PB maupun MB),.
c. pPindahan (pindah masuk): harus dilengkapi dengan surat
rujukan berisi catatan pengobatan yang telah diterima hingga
saat tersebut. Kasus ini hanya membutuhkan sisa pengobatan
yang belum lengkap,.
d. Ganti ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen
pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Penderita Pauci- Baciller (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
a. 1 tablet dapsone/DDS 100 mg
b. 1 blister untuk 1 bulan
c. Lama pengobatan: 6 blister diminum selama 6-9 bulan
2. Penderita Multi-Basciller (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)
b. 3 tablet Lampren @100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren 50 mg
b. 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
c. blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan: 12 blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT menurut umur
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam
bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan.
a. Rifampisin : 10 mg/kg BB
b. DDS : 2 mg/kg BB
c. Clofazimin : 1 mg/kg BB
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi penderita
kusta digunakan bagan sebagai berikut:
Tipe Pauci-Baciller (PB)
Jenis <5 5-9 10-14 >15
Ket
obat tahun tahun tahun tahun

Ber- Minum
dasar- di
Rifam- 300 450 600
kan depan
pisin mg/bln mg/bln mg/bln
berat pe-
badan tugas

Minum
di
25 50 100
depan
mg/bln mg/bln mg/bln
pe-
DDS tugas

Minum
25 50 100
di
mg/bln mg/bln mg/bln
rumah

Sumber: Depkes RI, 2007: 75

Tipe Multi-Baciller (MB)


Jenis <5 5-9 10-14 >15
Ket
obat tahun tahun tahun tahun

Rifam- 300 450 600 Minum


pisin mg/bln mg/bln mg/bln didepan
petugas

DDS 25 50 100 Minum


mg/bln mg/bln mg/bln didepan
petugas

25 50 100 Minum
mg/bln mg/bln mg/bln di rumah

Clo- 100 150 300 Minum


famizin mg/bln mg/bln mg/bln di depan
petugas
Jenis <5 5-9 10-14 >15
Ket
obat tahun tahun tahun tahun

50 mg 50 mg 50 Minum
mg/hari di rumah
2 kali 2 kali
se- se-
minggu minggu

Sumber: Depkes RI, 2007: 75


2. Sediaan dan Sifat Obat
1. DDS (Dapsone)
a. Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone
b. Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50
mg/tab dan 100 mg/tab
c. Bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi/ menghambat
pertumbuhan kuman kusta
d. Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 10-14 th 50 mg/hari
2. Lamprene (B663) juga disebut Clofazimine
a. Bentuk kapsul, warna coklat, dengan takaran 50
mg/kapsul dan 100 mg/kapsul
b. Sifat
1) Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman
kusta, bakterisid lemah
2) Anti reaksi (menekan reaksi sebagai anti inflamasi)
c. Cara pemberian
Secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari
gangguan gastrointestinal. Pengobatan reaksi akan
dijelaskan pada Reaksi Kusta.uraikan pada materi reaksi
3. Rifampicin
a. Bentuk : kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450
mg dan 600 mg.
b. Sifat mematikan kuman kusta secara cepat (bakterisid),
99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian.
c. Cara pemberian obat : cara oral, bila diminum setengah
jam sebelum makan penyerapan lebih baik.
4. Obat-obat penunjang (vitamin/ Roboransia)
a. Sulfat Ferrosus
Obat tambahan untuk penderita kusta yang anemia berat.
b. Vitamin A
Obat ini digunakan untuk penyehatan kulit yang berisik
(Ichtyosis).
5. Neurotropik
Penderita dengan keadaan khusus
a. Kehamilan : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan
anaknya.
b. Tuberkulosis : bila seorang anak menderita tuberculosis
(TB) dan kusta, maka pengobatan anti tuberculosis dan
MDT dapat diberikan bersamaan dengan dosis untuk
tuberculosis.
1) Untuk penderita TB yang menderita kusta tipe PB
pengobatan kustanya cukup ditambahkan dengan
DDS 100 mg karena Rifampisin sudah diperoleh dari
obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka
waktu pengobatan PB.
2) Untuk penderita TB yang menderita kusta tipe MB
pengobatan kusta cukup dengan DDS dan Lampren
karena Rifampisin sudah diperoleh dari obat TB.
Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka
waktu pengobatan MB. Catatan : jika pengobatan TB
sudah selesai maka pengobatan kusta kembali sesuai
blister MDT.
c. Untuk penderita PB yang alergi terhadap DDS, DDS
diganti dengan lampren Lampren dengan dosis dan
jangka waktu pengobatan sama.
d. Untuk penderita MB yang alergi terhadap DDS,
pengobatan hanya dengan dua macam obat saja.
Rifampisin dan Lampren sesuai dosis dan jangka waktu
pengobatan MB (Depkes RI, 2007: 76).

f. Pencegahan
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya.
Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau
kaki. Semakin panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda
dini hinggadimulainya pengobatan, makin besar resiko timbulnya kecacatan
akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Adanya alasan ini maka
diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat mencegah terjadinya
komplikasi jangka panjang (Depkes RI, 2007: 89).
Penting disadari bahwa kerusakan saraf juga dapat terjadi selama
pengobatan, bahkan setelah RFT, resiko ini menurun bertahap setelah 3
tahun berikutnya. Kasus-kasus MB yang pada saat dideteksi sudah
mengalami gangguan fungsi saraf akan berpeluang lebih besar mengalami
kerusakan saraf dibanding penderita lain, oleh karena itu harus dimonitor
lebih seksama. Penemuan dini dan pengobatan MDT tetap merupakan cara
terbaik dalam mencegah kecacatan.
Namun banyak penderita terlambat didiagnosis sehingga berpeluang
lebih besar mengalami kerusakan saraf (Depkes RI, 2007: 89).
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf adalah
reaksi kusta. Pada reaksi terjadi proses inflamasi akut yang menyebabkan
kerusakan saraf. Itulah sebabnya monitoring fungsi saraf secara rutin sangat
penting dalam upaya pencegahan dini cacat kusta. Kerusakan saraf yang
terjadi kurang dari 6 bulan, bila diobati prednison Prednison dengan tepat,
tidak akan terjadi kerusakan saraf yang permanen (fungsi saraf masih
refersibelreversibel). Bila kerusakan saraf ini sudah terlanjur menjadi cacat
permanen maka yang dapat dilakukan adalah upaya pencegahan cacat agar
tidak bertambah berat (Depkes RI, 2007: 89).
Pemerintah telah mencanangkan beberapa upaya yang diharapkan
dapat memutuskan mata rantai penularan penyakit kusta, upaya-upaya
tersebut antara lain sebagai berikut.:
Dilihat dari segi pejamu (host):
1. pPendidikan kesehatan dijalankan dengan cara bagaimana masyarakat
dapat hidup secara sehat (hygiene),.
2. pPerlindungan khusus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi
Bacillus Calmette Guerin (BCG), terutama pada orang yang kontak
serumah dengan penderita kusta,.
3. pPeriksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat lainnya untuk
tanda-tanda kusta (Depkes RI, 2007: 11).
Dilihat dari segi lingkungan:
1. Sesuaikan sesuaikan luas ruangan rumah dengan penghuninya,.
2. bBukalah jendela rumah agar sirkulasi udara serta suhu di dalam ruang
tetap terjaga agar terhindar berkembangnya M. leprae di dalam rumah
(Dinkes Provinsi, 2005: 6).

g. Reaksi Kusta
Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab
terjadinya cacat adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf
(neuritis). Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan
(cellulair respons) atau reaksi antigenantibodi (humoral respons) dengan
akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi/cacat (Depkes RI, 2007: 90).
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas
berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan dapat disertai gangguan fungsi
saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa. Penyebab pasti terjadinya
reaksi masih belum jelas. Diperkirakan bahwa sejumlah faktor pencetus
memegang peranan penting (Depkes RI, 2007: 89).
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada penderita-penderita yang
berada di spektrum borderline. Disebut demikian karena posisi
borderline ini merupakan tipe yang tidak stabil. Reaksi ini terutama
terjadi selama pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat
respon imun seluler secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya
respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini.
Gejala-gejalanya dapat dilihat berupa perubahan pada kulit
maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit merah, bengkak,
panas, nyeri dan panas. Pada saraf, manifestasi yang terjadi berupa
nyeri atau gangguan fungsi saraf. Kadang-kadang dapat terjadi
gangguan keadaan umum penderita (konstitusi), seperti demam, dll
(Depkes RI, 2007: 91).
2. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral
karena tingginya respons imun humoral pada penderita borderline
lepromatous dan lepromatous lepromatous, dimana tubuh
membentuk antibodi karena salah satu protein M. leprae tersebut
bersifat antigenik. Banyaknya antibodi yang terbentuk disebabkan
oleh banyaknya antigen (protein kuman). Reaksi yang terjadi (pada
kulit) nampak sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai
ENL (Erithema Nodosum Leprosum) dengan konsistensi lunak dan
nyeri (Depkes RI, 2007: 92).

3. Proses terjadinya cacat kusta


Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang
rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2
proses :
a. iInfiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ
(misalnya: mata),.
b. mMelalui reaksi kusta
Secara umum fungsi saraf dikenal ada 3 macam yaitu fungsi
motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi
sensasi raba dan fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan
kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen
saraf yang terkena (Depkes RI, 2007: 101).
4. Tingkat cacat menurut WHO
Kecacatan merupakan istilah luas yang maknanya mencakup
setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang.
Tiap kasus baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya
karena menunjukkan kondisi penderita pada saat diagnosis
ditegakkan. Angka cacat tertinggi merupakan tingkat cacat untuk
penderita tersebut (tingkat cacat umum). Tingkat cacat juga
digunakan untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat
yang dilakukan oleh petugas (Depkes RI, 2007: 103).
Untuk indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di
lapangan maka tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut.
Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada Tidak ada cacat akibat


mata akibat kusta kusta

1 Ada lagophthalmos Anestesi, kelemahan otot


(tidak ada cacat/kerusakan
yang kelihatan akibat
kusta)

2 Ada lagophthalmos Ada cacat/kerusakan yang


kelihatan akibat kusta,
misalnya ulkus, jari
kiting, kaki semper

Sumber: Depkes RI, 2007: 104

Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat. Cacat tingkat 1 adalah


cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak
terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan
dan telapak kaki. Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak
diperiksa di lapangan oleh karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada
mata.
Cacat tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus
plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat
dicegah. Mati rasa pada bercak bukan disebabkan oleh kerusakan
saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit.
Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Untuk mata:
a. Tidak tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos),.
b. Kemerahan kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi
kornea atau uveitis),.
c. Gangguan gangguan penglihatan berat atau kebutaan.
Untuk tangan dan kaki:
a. Luka luka dan ulkus di telapak,
b. Deformitas deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot
(kaki semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan
(atropi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari (Depkes RI, 2007:
104).
5. Upaya pencegahan cacat
Komponen pencegahan cacat:
a. pPenemuan dini penderita sebelum cacat,
b. pPengobatan penderita dengan MDT sampai RFT,
c. dDeteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi
saraf secara rutin,
d. pPenanganangan reaksi penyuluhan,
e. Perawatan perawatan diri,
f. pPenggunaan alat bantu,
g. rRehabilitasi medis (Depkes RI, 2007: 105).

2.2 Depresi
2.2.1 Pengertian Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta rasa ingin bunuh
diri. Depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya
perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood
adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan
afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010).
Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III) (2013) disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah adanya
gangguan suasana perasaan, kehilangan minat, menurunya kegiatan, pesimisme
menghadapi massa yang akan datang. Pada kasus patologi, depresi merupakan
ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksi terhadap rangsang, disertai menurunya
nilai dari delusi, tidak mampu dan putus asa.

2.2.2 Prevalensi
Dari suatu observasi universal, tanpa melihat Negara atau kebudayaan
menurut Schimeilpfering (dalam Hidayat, 2010) prevalensi gangguan depresif dua
kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Mengingat bahwa puncak
onset gangguan depresi pada perempuan bertepatan dengan reproduksi tahun
(antara usia 25 sampai 44 tahun usia), faktor resiko hormon mungkin
memainkan peran.
Pada gangguan depresi usia rata-ratanya sekitar 40 tahun, dengan 50%
pasien memiliki awitan antar usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif paling
sering terjadi pada orang tanpa hubungan antarpersonel yang dekat atau pada
orang yang mengalami perceraian atau perpisahan (Kaplan, 2010).

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Kaplan (2010) menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara
buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
1. Faktor biologi
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin
dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien
bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi
despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi
depresi. Selain itu, aktivitas dopamin pada depresi umumnya menurun (Kaplan,
2010). Selain itu, stressor yang direspon oleh tubuh memicu teraktivasinya jalur
HPA-axis yang menghasilkan hormon cortisol yang dapat menimbulkan gejala
depresi yang semakin memburuk apabila tubuh secara terus-menerus terpapar
dengan stressor.
2. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di
antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi
berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi
umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada
kembar monozigot (Kaplan, 2010).
3. Faktor Psikososial dan Lingkungan
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai. Faktor lain yang mempengaruhi depresi meliputi:
peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan; kepribadian yang dependen,
anankastik, histrionik; kegagalan yang berulang, teori kognitif yang menyebabkan
pemikirannya keliru; dan dukungan sosial yang kurang (Kaplan, 2010).
Menurut Kaplan dan Saddock (2010), faktor resiko dari depresi
dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut.:
a. Umur
Rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 % dari
semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif
berat juga mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia,
walaupun hal tersebut jarang terjadi.

b. Jenis kelamin
Terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada
wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai
melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi perempuan
dan laki-laki.
c. Status perkawinan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang-
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena
perceraian atau berpisah dengan pasangan.
d. Status fungsional baru
Adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru, pekerjaan baru,
hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari beberapa
kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.

2.2.4 Klasifikasi
Purnomo et al (2010) mengklasifikasikan depresi berdasarkan etiologi
yaitu depresi endogen dan depresi reaktif. Depresi endogen sangat
ditentukan oleh faktor biologis yang sama sekali tidak ada hubungan
dengan faktor lingkungan. Sebaliknya, depresi reaktif muncul karena
adanya psychososially Psychososially Trigger (pencetus dari luar).
Pembahasan mengenai patofisiologi sindrom depresi dapat dilihat pada
berikut.

Patofisiologi Terjadinya Sindrom Depresi


(Sumber: Purnomo et al, 2010)

Depresi juga diklasifikasikan berdasarkan riwayat ada tidaknya penyakit


sebelumnya, yaitu terbagi atas depresi primer dan sdepresi sekunder (Purnomo et
al, 2010).
1. Depresi primer
Depresi primer merupakan depresi yang tidak didahului dengan adanya
penyakit fisik atau gangguan mental sebelumnya.
2. Depresi sekunder
Depresi sekunder didahului penyakit fisik atau gangguan mental
sebelumnya. Depresi sekunder ini lebih banyak terjadi tetapi sering tidak
terdeteksi karena dianggap sebagai reaksi normal terhadap penyakit yang
dideritanya. Depresi sekunder ini lebih sulit ditangani, namun depresi yang tidak
diterapi akan memperburuk morbiditas penyakit fisiknya dan meningkatkan
mortalitas. Beberapa penyakit yang sering disertai depresi adalah kusta, stroke,
penyakit Parkinson, multiple sclerosis, epilepsyepilepsi, kanker, penyakit jantung,
diabetes mellitus, HIV/AIDS, ataupun CKD. Dalam skala yang lebih kecil,
penyakit yang kerap disertai depresi adalah irritable Irritable Bbowel Ssyndrome,
tinnitus, sleep apnea, penyakit kelenjar tiroid.
2.2.5 Gejala Klinis
Menurut Lumonggo (dalam Hendrik, 2013) gejala-gejala depresi dapat
dilihat dari tiga segi yaitu:
1. Gejala fisik
Secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif
mudah dideteksi. Gejala itu seperti berikut.
a. Gangguan pola tidur, terlalu banyak tidur atau terlalu sedikit
tidur
b. Perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan
orang lain seperti nonton televisi, makan, dan tidur.
c. Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian
atau pikiran pada suatu hal atau pekerjaan. Orang yang terkena
depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang menjadi
kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau
kerjanya jadi lamban.
d. Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau
seluruh motivasi kerjanya.
e. Mempunyai perasaan negatif terus-menerus.
2. Gejala Psikis
a. Kehilangan rasa percaya diri
b. Sensitif
c. Merasa diri tidak berguna
d. Perasaan Bersalah
e. Perasaan terbebani
3. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada
akhirnya mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas
lainnya). Lingkungan akan bereaksi terhadap perilaku orang yang
depresi tersebut yang pada umumnya negatif (mudah marah,
tersinggung, menyendiri, sensitif, mudah letih, mudah sakit).
Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya
juga seperti perasaan minder, malu, atau cemas jika berada
diantara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi
secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap
terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan
sekalipun ada kesempatan.

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis gangguan depresi pada kusta ditegakkan berpedoman pada
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang
merujuk pada ICD 10 (International ClassificationDiagnostic 10). Gangguan
depresi dibedakan dalam depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan
banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan
seseorang.
1. Gejala Utama, meliputi:
a. Perasaan depresif
b. Hilangnya minat dan semangat
c. Mudah lelah dan kehilangan tenaga
2. Gejala Lain, meliputi:
a. Konsentrasi dan perhatian menurun
b. Harga diri dan kepercayaan diri menurun
c. Perasaan bersalah dan tidak berguna
d. Pesimis terhadap masa depan
e. Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Gangguan tidur
g. Gangguan nafsu makan
h. Menurunnya libido

Tabel Penggolongan Depresi Menurut ICD-10

Tingkat Gejala Gejala


Fungsi Keterangan
depresi utama lain

Ringan 2 2 Baik -
Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak distress
Berat 3 >4 Sangat Terganggu Sangat distress
(Sumber: Maslim, 2013)

2.2.7 Terapi
Sebagian besar klinisi dan peneliti percaya bahwa kombinasi psikoterapi
dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi.

1. Pengobatan secara farmakoterapi


a. Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi
dengan mekanisme mencegah reuptake dari norephinefrin
dan serotonin di sinaps atau dengan cara megubah reseptor-
reseptor dari neurotransmitter norepinefrin dan serotonin.
Tricyclic antidepressants yang sering digunakan adalah
imipramine, amitryiptilene, dan desipramine (Reus V.I. dalam
Tasmil, 2012).
b. Monoamine Oxidase Inhibitors
Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor
adalah Monoamine Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitors
a d a l a h meningkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan
cara menghambat aksi dari Monoamine Oxidase. Obat ini lebih
berbahaya efek sampingnya daripada tricyclic antidepresants
(Greene dalam Tasmil, 2012).
c. Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs
Obat ini mempunyai efek langsung dalam mempengaruhi
kadar serotonin, sehingga SSRI lebih cepat mengobati gangguan
depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. SSRI juga
mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat-obatan lainnya. Obat ini tidak bersifat fatal apabila
overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan dengan
obat-obatan lainnya. SSRI juga efektif dalam pengobatan
gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya
seperti: gangguan panik, binge eating, gejala-gejala
pramenstrual (Reus, V.I. dalam Tasmil, 2012).
2. Pengobatan secara psikologikal
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time
limited yang berfokus pada penanganan struktur mental
seorang pasien. Struktur mental tersebut terdiri; cognitive triad,
cognitive schemas, dan cognitive errors (C. Daley dalam Tasmil,
2012).

b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien
dengan gangguan depresi dengan cara membantu pasien
untuk mengubah cara pikir dalam berinteraksi denga lingkungan
sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku dilakukan
dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu (Reus, V.I.
dalam Tasmil, 2012).
c. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi
hubungan interpersonal seorang individu, yang dapat
memicu terjadinya gangguan mood. Terapi ini berfungsi untuk
mengetahui stressor pada pasien yang mengalami gangguan
(Barnett & Gotlib dalam Tasmil, 2012).

2.3 Keterkaitan antara Kusta dengan Depresi


Kusta merupakan suatu penyakit yang menimbulkan stigma negatif di dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini menyebabkan adanya keterbatasan yang dialami
pasien kusta untuk melakukan kehidupan sehari-harinya, baik itu dalam
bersosialisasi atau dalam pekerjaan. Selain karena adanya pencetus stressor yang
berkepanjangan akibat adanya keterbatasan yang dialami pasien kusta, Kaplan dan
Saddock (2010) mengatakan bahwa adanya penyakit kronis seperti kusta
merupakan salah satu penyebab adanya depresi yang tergolong sekunder karena
didahului oleh adanya pencetus berupa penyakit lain yang dialami pasien sebelum
depresi itu sendiri menimbulkan gejala.
Secara biologis, kusta dan depresi memiliki hubungan timbal balik yang
memperparah satu sama lain. Melalui jalur HPA-Axis, stressor yang diterima oleh
tubuh akan direspon oleh otak di bagian amigdala yang akan memicu hipotalamus
untuk melepas Corticotropin-releasing Hormon atau CRH. CRH akan memicu
anterior pituitary gland untuk melepas Adenocorticotropin Hormon atau ACTH
yang akan tersirkulasi melalui aliran darah menuju adrenal gland yang akan
memicu zona fasiculata dalam adrenal gland untuk menyekresi cortisolcortisol.
CortisolCortisol yang dihasilkan pada jalur HPA-axis ini berfungsi untuk proses
“Fight or Flight” saat tubuh terpapar oleh stressor. Dalam kondisi normal, ketika
kadar cortisolcortisol dirasa cukup untuk proses “Fight or Flight”, akan terjadi
Negative Feedback pada hipotalamus sehingga akan menghentikan aktivasi dari
jalur HPA-axis dan menurunkan kadar cortisolcortisol dalam darah. Ketika kadar
cortisolcortisol kembali normal dan tubuh dapat segera menghentikan reaksi
“Fight or Flight”, maka gejala depresi tidak akan muncul. Sedangkan pada pasien
kusta, inflamasi berat yang muncul memicu peningkatan mediator inflamasi
seperti Interleukin-6 (IL-6) (Angela, 2003). Peningkatan IL-6 dapat
memperpanjang reaksi “Fight or Flight” pada tubuh dengan meningkatkan kadar
cortisolcortisol secara terus menerus meskipun jalur HPA-axis telah dihentikan
dan pada akhirnya paparan terus menerus inilah yang menyebabkan munculnya
gejala depresi.
2.4 Kerangka Konsep

STRESSOR

Prolonged Stress Kusta

Amigdala Inflamasi berat

Hipotalamus Respon tubuh

HPA-Axis Interleukin-6 

CRH

Anterior Pituitary Gland

ACTH

Tersirkulasi dalam darah

Zona Fasiculata
Adrenal Gland

Cortisol

Target Organ Keterangan:


: Diteliti

Fight or Flight : Tidak diteliti


Respone

Gejala depresi
Hipotesis
Berdasarkan pendahuluan dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan, hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara penyakit kusta
dengan tingkat depresi pada pasien kusta.
BAB 3. METODE PENELITIAN

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data
primer. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, yaitu suatu
desain penelitian yang melakukan pengukuran terhadap faktor risiko dan outcome
dalam satu waktu.
Penelitian Cross Sectional merupakan penelitian non-eksperimental dalam
rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek
yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu, dengan model pendekatan
Point Time. Variabel-variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang
termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penilitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Kabupaten Mojokerto pada bulan April 2017.

Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian merupakan wilayah yang ingin diteliti oleh
peneliti. Seperti menurut Sugiyono (2011), populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Pendapat ini menjadi salah satu acuan bagi penulis untuk
menentukan populasi.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang terdaftar di
Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto.
3.3.2 Sampel
a. Rancangan Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang karakteristiknya akan diukur atau
diteliti. Adapun sampel pada penilitian ini adalah penderita kusta yang terdaftar di
Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto yang karakteristiknya
akan diukur atau diteliti.
Kriteria sampel dalam penelitian ini terbagi dalam kriteria inklusi dan
kriteria ekslusi sebagai berikut.
1. Kriteria inklusi
- Dewasa: Usia 18-65 tahun
- Terdaftar sebagai pasien penderita kusta di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
- Bersedia menjadi responden
2. Kriteria ekslusi
- Tidak bersedia menjadi responden
- Tidak menyelesaikan proses interview atau pengisian kuesioner
- Menderita gangguan jiwa berat
b. Besar Sampel Penelitian
Arikunto (2006, dalam Ninoy, 2013) mengatakan bahwa apabila subyeknya
kurang dari seratus, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan
populasi. Tetapi , jika jumlah subyek besar, dapat diambil antara 10-15% atau 15-
25% atau lebih. Pendapat tersebut sesuai menurut Roscoe dalam Sugiyono (2011),
bahwa ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai
dengan 500.
Maka sesuai pendapat diatas, jumlah sampel minimal dalam penelitian ini
adalah 3030 orang.
c. Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling,
yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan kriteria yang telah ditentukan
sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi
(Sugiyono, 2011).
Pada survey awal, penelitian ini, jumlah penderita kusta di Rumah Sakit
Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto pada saat penelitian sebanyakrata-rata
sebanyak 400 orang per bulan ….. orang. Terdapat ….. orang yang termasuk
dalam kriteria inklusi dan ….. orang yang termasuk dalam kriteria inklusi.
sehingga jumlah sampel yang dapat digunakan sesuai dengan pengambilan sampel
sebanyak 10-15% dari jumlah total adalah 60 ah….. orang.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan suatu atribut, nilai atau sifat dari objek,
individu atau kegiatan yang mempunyai banyak variasi tertentu antara satu dan
lainnya yang telah ditentukan oleh peneliti untuk dipelajari dan dicari
informasinya serta ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011). Variabel penelitian
ini yaitu tingkat depresi dan penderita penyakit kusta.penyakit kusta sebagai
variabel independent dan adanya depresi sebagai variabel dependent.

Definisi Operasional
Definisi operasional adalah seperangkat petunjuk yang lengkap tentang apa
yang harus diamati dan bagaimana mengukur suatu variabel atau konsep definisi
operasional tersebut membantu kita untuk mengklasifikasi gejala di sekitar ke
dalam kategori khusus dari variabel (Sugiyono, 2011).
3.5.1 Kusta
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorus bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Dalam penelitian ini, penderita
kusta adalah orang-orang yang telah terdiagnosis positif menderita kusta, baik
jenis MB maupun PB, oleh petugas kesehatan setempat dan terdaftar di Rumah
Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto.
3.5.2 Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta rasa ingin bunuh
diri. Individu dikatakan mempunyai depresi setelah diukur dengan memakai Hamilton
Depression Rating Scale (HDRS). Berikut cara penilaian gejala-gejala depresi untuk
menentukan tingkat depresi dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel Cara penilaian gejala depresi
Skor Gejala Keterangan

0 Tidak ada Tidak ada gejala


1 Ringan Satu gejala dari pilihan yang ada
2 Sedang Separuh dari gejala yang ada
3 Berat Lebih dari separuh gejala yang ada
4 Sangat berat Semua gejala yang ada
(Sumber: HDRS dalam Adhayani, 2011)

Tabel Penilaian Tingkat Depresi


Nilai Tingkat depresi
<17 Tidak ada depresi
18-24 Depresi ringan
25-34 Depresi sedang
35-51 Depresi berat
52-68 Depresi berat sekali
(Sumber: HDRS dalam Adhayani, 2011)
Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel
terikat dalam waktu yang bersamaan. Rancangan penelitian dapat dilihat dalam
gambar berikut.

Instrumen Penelitian
a. Informed consent
Instrumen ini digunakan sebagai tanda persetujuan sampel untuk menjadi
subjek penelitian.
b. Lembar penjelasan kepada calon subyek.
Instrumen ini berisi tentang informasi yang harus diketahui oleh calon
responden, antara lain kesukarelaan responden untuk mengikuti penelitian,
prosedur penelitian, kewajiban subjek penelitian, manfaat penelitian untuk
responden, kerahasiaan identitas responden, kompensasi yang akan didapat
setelah menjadi responden, dan informasi tambahan lainnya.
c. Identitas sampel
Instrumen ini berisi identitas dari responden yang meliputi nama, tempat
tanggal lahir, status perkawinan, dan status pendidikan.
d. Alat perekam suara (voice recorder)
Instrumen ini digunakan untuk merekam jawaban responden yang akan
digunakan dalam penelitian pada kuesioner.
e. Kuesioner Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
HDRS merupakan salah satu dari berbagai instrument untuk skrining
depresi dengan reliabilitas cukup tinggi. HDRS terdiri atas 24 pertanyaan yang
berisi 24 kategori sebagai berikut.
1) Suasana perasaan depresi (sedih, putus asa, tak berdaya, tak berguna)
2) Perasaan bersalah
3) Bunuh diri
4) Initial Insomnia
5) Middle Insomnia
6) Late Insomnia
7) Gangguan kerja dan kegiatan-kegiatannya
8) Retardasi: lambat dalam berpikir, berbicara gagal berkonsentrasi, aktivitas
motorik menurun
9) Kegelisahan (agitasi)
10) Kecemasan: anxietas psikis
11) Anxietas somatik,
12) Gejala somatik (gangguan pencernaan)
13) Gejala somatik umum
14) Kotamil (gejala genital)
15) Hipokondriasis (keluhan somatik dan fisik yang berpindah-pindah)
16) Kehilangan berat badan
17) Insight (pemahaman diri/tilikan)
18) Variasi harian yang berubah
19) Depersonalisasi (perasaan diri berubah) dan Derealisasi (perasaan tidak nyata
dan tidak realistis)
20) Gejala-gejala paranoid
21) Gejala-gejala obsesif dan kompulsif
22) Ketidakberdayaan
23) Keputusasaan
24) Perasaan tidak berharga
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh
seorang peneliti secara teratur dan sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan
penelitian. Untuk mencapai tujuan dari penelitian maka dibutuhkan instrumen
penelitian yang lengkap, alur penelitian yang jelas, dan selanjutnya dapat
dilakukan analisis data (Sugiyono, 2011).

Prosedur Pengambilan Data


Dalam penelitian ini, teknik pengambilan data merupakan faktor penting
demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara
pengambilan data, pengumpulan data, sumber data, dan alat yang digunakan
(Sugiyono, 2011).
Pada penelitiani ini, obyek yang digunakan adalah manusia, sehingga dalam
pelaksanaannya dilakukan uji kelayakan oleh komisi etik kedokteran. Surat
persetujuan penelitian dari komisi etik dapat dilihat pada Lampiran Xx. Setelah
disetujui oleh komisi etik, peneliti melakukan persetujuan penelitian pada Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) dan Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. . Surat persetujuan penelitian tersebut dapat
dilihat pada Lampiran Yy dan Zz.
Melakukan latihan teknik wawancara dan pembuatan lembar wawancara
berdasarkan kuesioner Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) dengan dibimbing
oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dilakukan untuk memudahkan interviewer
dalam melakukan pengambilan data. Setelah itu, dilakukan survey awal di Rumah
Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Pada penelitian ini
menggunakan lembar riwayat penyakit dan identitas diri pasien kusta untuk
memudahkan peneliti menemui pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Sebelum dilakukan pengambilan data, responden wajib untuk mengisi
lembar informed consent. Informed consent adalah suatu formulir pernyataan
calon responden bahwa responden mau dan bersedia untuk menjadi subjek
penelitian. Lembar informed consent ini juga dilengkapi dengan penjelasan pada
calon responden atau subjek penelitian. Pada formulir ini juga dijelaskan pada
saat pengambilan data sampel, tidaak terdapat unsur paksaan yang akan dialami
oleh calon responden selama masa perlakuan dan apaila ada ketidak jelasan dalam
penelitian ini dapat ditanyakan kepada peneliti. Formulir ini juga dijelaskan pada
saat pengambilan data sampel.
Langkah selanjutnya yaitu melakukan pengambilan data dengan teknik
wawancara oleh interviewer menggunakan lembar wawancara dan voice recorder
dengan didampingi tenaga ahli (dokter spesialis Kedokteran jiwa) kepada subjek.
Setelah selesai melakukan wawancara langkah selanjutnya yaitu megisi kuesioner
HDRS. Kemudian peneliti akan mengumpulkan data responden untuk dilakukan
pengolahan dan menganalisis data.

Analisis Data
Data yang didapat diolah dan disajikan dalam bentuk tabel kemudian
masing-masing variabel dideskripsikan. Dalam hal ini, untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel, yaitu penyakit kusta sebagai variabel bebas dan
adanya depresi sebagai variabel terikat digunakan Uji Korelasi Spearman yang
diolah dengan program Statistical Package for the Sosial Science (SPSS).
Alur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, harus ditentukan alur penelitian yang jelas
sesuai dengan gambar dibawah ini agar penelitian dapat dilakukan secara runtut
dan sesuai dengan peraturannya.
.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian telah dilakukan di Poli Rawat Jalan Ruang Melati Rumah Sakit
Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto pada bulan Juli 2017 selama satu
minggu. Penelitian ini menggunakan sampel pasien kusta yang menjalani
pengobatan dan terdaftar sebagai pasien di Poli Rawat Jalan Ruang Melati Rumah
Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Besar sampel pada penelitian
ini adalah 60 sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Data dalam penelitian ini
diolah dengan menggunakan program statistik dan hasil data primer yang dapat
dilihat pada lampiran.

4.1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan Tabel 4.1, dapat diketahui responden laki-laki sebesar 27
responden (45%) dan responden perempuan sebesar 33 responden (55%). Grafik
distribusi jenis kelamin responden disajikan dalam Gambar 4.1. Data jenis
kelamin setiap responden dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran.

Tabel 4.1 Tabulasi distribusi responden berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin Jumlah (f) Persentase (%)
Laki-laki 27 45
Perempuan 33 55
Total 60 100
persentase jenis kelamin (%)

Gambar 4.1 Grafik distribusi responden berdasarkan jenis kelamin


4.1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Berdasarkan Tabel 4.2, dapat diketahui bahwa kelompok usia 18-30 tahun
berjumlah paling sedikit yaitu 2 responden (3,3%), sedangkan kelompok usia 57-
69 tahun adalah kelompok usia responden dengan jumlah paling banyak yaitu 22
responden (36,7%). Grafik distribusi responden berdasarkan usia dapat dilihat
pada Gambar 4.2. Data usia setiap responden dapat dilihat lebih jelas pada
Lampiran.

Tabel 4.2 Tabulasi distribusi responden berdasarkan usia


Usia Jumlah (f) Persentase (%)
18-30 tahun 2 3,3
31-43 tahun 12 20
44-56 tahun 15 25
57-69 tahun 22 36,7
70-82 tahun 9 15
Total 60 100

persentase usia (%)

Gambar 4.2 Grafik distribusi responden berdasarkan usia

4.1.3 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan


Berdasarkan Tabel 4.3, dapat diketahui bahwa jumlah responden tidak
bekerja dan responden yang bekerja memiliki jumlah yang sama yaitu masing-
masing sebesar 30 responden (50%). Responden yang tidak bekerja adalah
responden sebagai ibu rumah tangga (IRT) dan responden yang sudah tidak
mampu melakukan pekerjaan akibat penyakitnya, sedangkan responden dengan
status bekerja memiliki pekerjaan terdiri atas petani, guru, swasta dan wiraswasta.
Grafik distribusi berdasarkan status pekerjaan dapat dilihat pada Gambar. Data
pekerjaan dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran.

Tabel 4.3 Tabulasi distribusi responden berdasarkan status pekerjaan


Status Pekerjaan Jumlah (f) Persentase (%)
Bekerja 30 50
Tidak bekerja 30 50
Total 60 100

persentase status pekerjaan (%)

Gambar 4.3 Grafik distribusi responden berdasarkan usia

4.1.4 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Mengidap Kusta


Berdasarkan Tabel 4.4, dapat diketahui bahwa responden yang mengidap
kusta selama 0-14 tahun adalah yang paling banyak, yaitu sebesar 22 responden
(36,7%), sedangkan responden yang mengidap kusta selama 60-74 tahun adalah
yang paling sedikit yaitu hanya dua responden (3,33%). Grafik distribusi
responden berdasar lama mengidap kusta dapat dilihat pada Gambar 4.4. Data
waktu pertama muncul gejala kusta dan data lama mengidap kusta setiap
responden dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran.
Tabel 4.4 Tabulasi distribusi responden berdasarkan lama mengidap kusta
Lama Mengidap Kusta Jumlah (f) Persentase (%)
0-14 tahun 22 36,7
15-29 tahun 16 26,7
30-44 tahun 14 23,3
45-59 tahun 6 10
60-74 tahun 2 3,33
Total 60 100

persentase lama mengidap kusta (%)

Gambar 4.4 Grafik distribusi responden berdasarkan lama mengidap kusta

4.1.5 Distribusi Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Lama Mengidap Kusta


Berdasarkan jenis kelamin, responden yang mengidap kusta selama 0-14
tahun terdiri atas 8 responden (13,3%) laki-laki dan 14 responden (23,3%)
perempuan. Responden yang mengidap kusta selama 15-29 tahun terdiri atas 10
responden (16,7%) laki-laki dan 6 responden (10,0%) perempuan. Responden
yang mengidap kusta selama 30-44 tahun terdiri atas 5 responden (8,3%) laki-laki
dan 9 responden (15,0%) perempuan. Responden yang mengidap kusta selama 45-
59 tahun terdiri atas 3 responden (5,0%) laki-laki dan 3 responden (5,0%)
perempuan, sedangkan responden yang mengidap kusta selama 60-74 tahun terdiri
atas 1 responden (1,7%) laki-laki dan 1 responden (1,7%) perempuan. Grafik
distribusi jenis kelamin responden berdasarkan lamanya mengidap kusta dapat
dilihat pada Gambar 4.5.
Tabel 4.5 Tabulasi distribusi jenis kelamin responden berdasarkan lama mengidap kusta
Jenis Kelamin
Lama Mengidap Total
Laki-laki Perempuan
Kusta (Tahun)
f % f % f %
0-14 8 13,3 14 23,3 22 36,7
15-29 10 16,7 6 10,0 16 26,7
30-44 5 8,3 9 15,0 14 23,3
45-59 3 5,0 3 5,0 6 10,0
60-74 1 1,7 1 1,7 2 3,3

persentase jenis kelamin berdasarkan lama mengidap kusta (%)

Gambar 4.5 Grafik distribusi responden berdasarkan lama mengidap kusta

4.1.6 Distribusi Usia Responden Berdasarkan Lama Mengidap Kusta


Menurut usia responden, kelompok responden paling banyak adalah usia
44-56 tahun. Kelompok responden yang berusia 44-56 tahun terdiri atas 7
responden (11,7%) yang mengidap kusta selama 0-14 tahun, 7 responden (11,7%)
mengidap kusta selama 15-29 tahun, dan 5 responden (8,3%) mengidap kusta
selama 30-44 tahun. Grafik distribusi tingkat depresi menurut kelompok usia
responden dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Lama Mengidap Kusta (Tahun) Total
Kelompok
0-14 15-29 30-44 45-59 60-74
Usia (tahun)
f % f % f % f % f % F %
18-30 2 3,3 0 .0 0 .0 0 .0 0 .0 2 3,3
31-43 10 16,7 2 3,3 0 .0 0 .0 0 .0 12 20,0
44-56 7 11,7 7 11,7 5 8,3 0 .0 0 .0 19 31,7
57-69 2 3,3 5 8,3 9 15,0 2 3,3 0 .0 18 30,0
70-82 1 1,7 2 3,3 0 .0 4 6,7 2 3.3 9 15,0
Tabel 4.6 Tabulasi distribusi usia responden berdasarkan lama mengidap kusta

persentase usia berdasarkan lama mengidap kusta (%)

Gambar 4.6 Grafik distribusi usia responden berdasarkan lama mengidap kusta

4.1.7 Distribusi Status Pekerjaan Responden Berdasarkan Lama Mengidap Kusta


Berdasarkan status pekerjaan, responden yang mengidap kusta selama 0-14
tahun terdiri atas 18 responden (30,0%) masih bekerja dan 4 responden (6,7%)
tidak bekerja. Responden yang mengidap kusta selama 15-29 tahun terdiri atas 8
responden (13,3%) yang masih bekerja dan 8 responden (13,3%) tidak bekerja.
Responden yang mengidap kusta selama 30-44 tahun terdiri atas 4 responden
(6,7%) yang masih bekerja dan 10 responden (16,7%) tidak bekerja. Responden
yang mengidap kusta selama 45-59 tahun terdiri atas 6 responden (10,0%) yang
tidak bekerja, sedangkan responden yang mengidap kusta selama 60-74 tahun
terdiri atas 2 responden (3,3%) yang tidak bekerja.
Grafik distribusi jenis kelamin responden berdasarkan lamanya mengidap
kusta dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Tabel 4.7 Tabulasi distribusi status pekerjaan responden berdasarkan lama


mengidap kusta
Status Pekerja
Lama Mengidap Total
Bekerja Tidak Bekerja
Kusta (Tahun)
f % f % f %
0-14 18 30,0 4 6,7 22 36,7
15-29 8 13,3 8 13,3 16 26,7
30-44 4 6,7 10 16,7 14 23,3
45-59 0 .0 6 10,0 6 10,0
60-74 0 .0 2 3,3 2 3,3

persentase status pekerjaan berdasarkan lama mengidap kusta (%)

Gambar 4.7 Grafik distribusi status pekerjaan responden


berdasarkan lama mengidap kusta

4.1.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Depresi


Berdasarkan Tabel 4.8, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
tidak mengalami depresi yaitu sebanyak 31 responden (51,7%), sedangkan hanya
dua responden (3,3%) mengalami tingkat depresi berat. Grafik distribusi tingkat
depresi pada responden dapat dilihat pada Gambar 4.5. Hasil penilaian tingkat
depresi responden menggunakan kuesioner Hamilton Depression Rating Scale
(HDRS) dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran.

Tabel 4.8 Tabulasi distribusi responden berdasarkan tingkat depresi

Tingkat Depresi Jumlah (f) Persentase (%)


Tidak Ada Depresi 31 51,7
Depresi Ringan 17 38,3
Depresi Sedang 10 16,7
Depresi Berat 2 3,3
Total 60 100
persentase tingkat depresi (%)

Gambar 4.8 Grafik distribusi tingkat depresi

4.1.9 Distribusi Tingkat Depresi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan jenis kelamin, responden dengan tidak mengalami depresi
terdiri atas 16 responden laki-laki (26,7%) dan 15 responden perempuan (25%).
Responden yang mengalami tingkat depresi ringan terdiri atas 5 responden laki-
laki (8,3%) dan 12 responden perempuan (20,0%). Responden dengan depresi
sedang terdiri atas 5 responden laki-laki (8,3%) dan 5 responden perempuan
(8,3%), sedangkan responden dengan depresi berat terdiri atas satu responden
laki-laki (1,7%) dan satu responden perempuan (1,7%) (Tabel 4.9). Grafik
distribusi tingkat depresi menurut jenis kelamin responden dapat dilihat pada
Gambar 4.9.

Tabel 4.9. Tabulasi distribusi tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin responden

Tingkat Depresi Total


Jenis Kelamin Tidak ada Ringan Sedang Berat
f % f % f % f % F %
persentase tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin (%)
Laki-laki 16 26,7 5 16,7 5 8,3 1 1,7 27 45,0
Perempuan 15 25,0 12 36,7 5 8,3 1 1,7 33 55,0

Gambar 4.9. Grafik distribusi tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin responden

4.1.10 Distribusi Tingkat Depresi Responden Berdasarkan Usia


Menurut usia responden, kelompok responden paling banyak adalah usia
44-56 tahun dan 57-69 tahun. Kelompok responden yang berusia 44-56 tahun
terdiri atas 11 responden (18,3%) tidak mengalami depresi, 6 responden (10,0%)
mengalami depresi ringan, dan 2 responden (3,3%) mengalami depresi sedang.
Kelompok responden yang berusia 57-69 tahun terdiri atas 12 responden (20,0%)
tidak mengalami depresi, 5 responden (8,3%) mengalami depresi ringan, dan satu
responden (1,7%) mengalami depresi sedang (Tabel 4.10). Grafik distribusi
tingkat depresi menurut kelompok usia responden dapat dilihat pada Gambar 4.10.

Tabel 4.10 Tabulasi distribusi tingkat depresi menurut usia responden

Tingkat Depresi Total


Kelompok Usia
Tidak ada Ringan Sedang Berat
(tahun)
f % f % f % f % F %
18-30 0 .0 0 .0 2 3,3 0 .0 2 3,3
31-43 7 11,7 5 8,3 0 .0 0 .0 12 20,0
44-56 11 18,3 6 10,0 2 3,3 0 .0 19 31,7
57-69 12 20,0 5 8,3 1 1,7 0 .0 18 30,0
70-82 1 1,7 1 1,7 5 8,3 2 3,3 9 15,0
persentase tingkat depresi berdasarkan usia (%)

Gambar 4.10. Grafik distribusi tingkat depresi berdasarkan usia responden

4.1.11 Distribusi Tingkat Depresi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan


Menurut status pekerjaan responden, responden dengan tidak mengalami
depresi terdiri atas 21 responden (35,0%) yang masih bekerja dan 10 responden
(16,7%) yang tidak bekerja. Responden dengan tingkat depresi ringan terdiri atas
6 responden (10,0%) yang masih bekerja dan 11 responden (18,3%) yang tidak
bekerja. Responen dengan tingkat depresi sedang terdiri atas 3 responden (5,0%)
yang masih bekerja dan 7 responden (11,7%) yang tidak bekerja, sedangkan 2
responden (3,3%) dengan tingkat depresi berat tidak bekerja (Tabel 4.11). Grafik
distribusi tingkat depresi menurut status pekerjaan responden dapat dilihat pada
Gambar 4.11.

Tabel 4.11 Tabulasi distribusi tingkat depresi menurut status pekerjaan responden
Tingkat Depresi Total
Tidak ada Ringan Sedang Berat
Status Pekerjaan
f % f % f % f % F %
Bekerja 21 35,0 6 10,0 3 5,0 0 .0 30 50,0

Tidak Bekerja 10 16,7 11 18,3 7 11,7 2 3,3 30 50,0


pers
ent
ase
%

status pekerjaan

Gambar 4.12. Grafik distribusi tingkat depresi menurut status pekerjaan responden

5. Distribusi Tingkat Depresi Responden Berdasarkan Lama Mengidap Kusta


Menurut lama mengidap kusta, kelompok responden paling banyak
berdasarkan lama mengidap kusta yaitu 0-14 tahun terdiri atas 13 responden
(21,7%) tidak mengalami depresi, 7 responden (11,7%) mengalami depresi ringan,
dan 2 responden (3,3%) mengalami depresi sedang. Pada Tabel 4.14 dapat
diketahui bahwa kelompok responden ini yang paling banyak tidak mengalami
depresi. Grafik distribusi tingkat depresi menurut status pekerjaan responden
dapat dilihat pada Gambar 4.14.

Tabel 4.14 Tabulasi distribusi tingkat depresi menurut lama hemodialisis responden

Lama Tingkat Depresi Total


Mengidap Tidak ada Ringan Sedang Berat
Kusta (Tahun) f % f % f % f % F %
0-14 13 21,7 7 11,7 2 3,3 0 .0 22 36,7

15-29 8 13,3 6 10,0 2 3,3 0 .0 16 26,7

30-44 9 15,0 4 6,7 1 1,7 0 .0 14 23,3

45-59 1 1,7 0 .0 4 6,7 1 1,7 6 10,0


60-74 0 .0 0 .0 1 1,7 1 1,7 2 3,3

per
sen
tas
e%

lama terapi hemodialisis

Gambar 4.14. Grafik distribusi tingkat depresi menurut lama terapi hemodialisis

6. 4.2 Analisis Data


4.2.1 Uji Normalitas
Hal pertama yang dilakukan untuk uji statistik adalah mengetahui distribusi
data dengan uji normalitas menggunakan metode analitis dengan uji Kolmogorov-
Smirnov karena besar sampel dalam penelitian ini lebih dari 50 sampel. Hasil uji
normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov dinyatakan pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Hasil uji normalitas Kolmogorove-Smirnov
Hasil Uji Normalitas antara Penyakit Kusta dengan Tingkat Depresi
Tingkat Depresi p 0,000
Lamanya mengidap kusta p 0,001
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa nilai uji Kolmogorov-
Smirnov menunjukkan nilai P 0,000 untuk tingkat depresi dan 0,001 untuk
mengidap kusta. Sebuah data berdistribusi normal apabila mempunyai nilai P >
0,05 (Dahlan, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa data dalam penelitian ini
berdistribusi tidak normal. Oleh karena itu, data dalam penelitian ini dapat diuji
dengan uji korelasi Spearman.

4.2.2 Uji Spearman


Karena distribusi data tidak normal, maka dilanjutkan dengan uji non
parametrik. Uji nonparametrik ini menguji tentang korelasi 2 variabel yaitu uji
Spearman dengan probabilitas 0,01 dan kemaknaan 99% melalui program
statistik. Alasan dipilihnya uji Spearman adalah karena distribusi data tidak nomal
dan uji spearman adalah suatu uji non parametrik yang bertujuan mencari
hubungan 2 variabel yaitu tingkat depresi dengan penyakit kusta. Spearman
adalah uji non parametrik untuk data rasio dan ordinal (Dahlan, 2013). Hasil uji
Spearman dinyatakan pada Tabel 4.14
Tabel 4.14 Hasil uji korelasi Spearman
Hasil Korelasi antara Penyakit Kusta dan Tingkat Depresi
Koefisien Korelasi r 0,290*
Signifikansi p 0,025
Jumlah Data n 60

Berdasarkan hasil uji statistik Spearman Rho yang dihitung dengan program
statistik. Variabel dependent dan independent dikatakan memiliki korelasi
bermakna apabila nilai P adalah <0,05 (Dahlan, 2013). Berdasarkan tabel diatas,
variabel yang diuji dalam penelitian ini memiliki nilai signifikansi (p) sebesar
0,025 yang menunjukkan 0,025<p 0,05 artinya terdapat hubungan antara penyakit
kusta dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Kabupaten Mojokerto.
Kekuatan dan arah korelasi dapat diketahui dengan melihat koefisien korelasi
(r). Rentang kekuatan korelasi menurut Dahlan (2013) adalah sebagai berikut:
a. 0 sampai <0,2 sangat lemah
b. 0,2 sampai <0,4 lemah
c. 0,4 sampai <0,6 sedang
d. 0,6 sampai <0,8 kuat
e. 0,8 sampai 1 sangat kuat
Nilai r dalam penelitian ini adalah 0,290 yang menunjukkan bahwa kekuatan
korelasi antara penyakit kusta dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit
Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto adalah lemah. Arah korelasi adalah
positif yang artinya semakin lama menderita kusta, maka akan semakin tinggi
tinggat depresinya. Begitu juga sebaliknya, semakin singkat pasien menderita
kusta maka semakin rendah tingkat depresinya.

4.3 Pembahasan
Penelitian ini merupakan penelitian tentang hubungan penyakit kusta
dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Kabupaten Mojokerto menggunakan jenis penelitian analitik observasional
dengan desain cross sectional. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan telah
diperoleh data yang dicantumkan dalam bentuk tabel dan gambar di hasil
penelitian BAB 4. Populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pasien kusta yang terdaftar di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten
Mojokerto. Metode pengambilan sampel yaitu setiap sampel yang memenuhi
kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu
sehingga jumlah sampel yang di perlukan terpenuhi.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuesioner dengan
teknik wawancara serta meberikan penjelasan singkat kepada responden. Pada
penelitian ini digunakan instrument berupa kuesioner Hamilton Depression
Rating Scale yang terdiri dari 13 kelompok gejala yang masing-masing kelompok
dirinci dengan gejala-gejala yang lebih spesifik.
Distribusi tingkat depresi menurut umur menunjukkan bahwa responden
terbanyak mengalami tidak mengalami depresi adalah pada umur 57-69 tahun.
Dimana usia tersebut merupakan kelompok golongan lansia (Depkes RI,2009).
Hasil penelitian ini terdapat perbedaan dengan teori yang dikemukakan oleh
Kaplan dan Shadock yaitu lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan. Hal ini karena pada proses penuaan
akan terjadi berbagai perubahan dimulai dari perubahan fungsi fisik, kognitif
sampai perubahan psikososial yang akan mempermudah terjadinya depresi
pada lansia. Bertambahnya usia maka secara alamiah juga akan
mempengaruhi terjadi penurunan kemampuan seperti fungsi perawatan diri
sendiri, berinteraksi dengan orang lain disekitar dan semakin bergantung
dengan yang lain (Rinajumita,2011). Hal ini mungkin disebabkan karena
adanya dukungan keluarga yang baik bagi para lansia, dimana dukungan keluarga
sangat penting bagi lansia seperti dukungan emosional, dukungan psikologis,
dukungan sosial sehinggan penekaan terhadap stress yang akan berkembang
menjadi depresi akan berkurang (Santoso & Ismail, 2009).
Pada x, distribusi tingkat depresi menurut jenis kelamin menunjukkan dari
60 responden yang diteliti ternyata laki-laki lebih banyak tidak menderita depresi
yaitu sebesar 26,7% menyatakan bahwa laki-laki banyak yang tidak mengalami
depresi dibandingkan perempuan. Hal ini menunjukkan jika laki-laki memiliki
coping mechanism yang lebih baik untuk menghadapi masalah-masalah dalam
sehari-hari yang dapat menyebabkan kecenderungan akan depresinya. Perempuan
cenderung lebih mudah terkena stress karena fluktuasi hormon saat menstruasi,
saat post partum, dan saat menoupose yang bepengaruh terhadap keseimbangan
kimiawi otak sehingga menimbulkan kecemasan (McLean, 2011). Salah satu
faktor yang menyebabkan wanita lebih rentan mengalami depresi dipengaruhi
estrogen dan progesterone (Christensen, 2005).
Distribusi tingkat depresi menurut pekerjaan menunjukkan bahwa orang
yang sakit kusta yang memiliki pekerjaan tidak memiliki depresi. Menurut teori
aktifitas menyatakan bahwa pada orang yang bekerja adalah mereka yang aktif
dan ikut banyak kegiatan sosial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wong &
Almeida (2012) bahwa status pekerjaan berhubungan depresi. Dimana
seseorang yang masih bekerja memiliki resiko rendah terhadap depresi karena
waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bekerja diluar rumah setiap
harinya, bertemu dan bersosialisai dengan lingkungan sosial. Dan di hari libur
mereka lebih banyak beraktivitas bersama keluarga, sehingga faktor pemicu
depresi akibat penyakitnya akan berkurang. Selain itu, seperti yang dikemukakan
oleh Etika (2017), pasien kusta yang tidak bekerja akan mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga dan tidak dapat
meningkatkan kualitas dalam pengobatan yang bisa dilakukan dalam proses
penyembuhan penyakit kusta.
Distribusi tingkat depresi menurut lamanya mengidap kusta menunjukkan
bahwa pasien dengan lama mengidap kusta selama 0-14 tahun paling banyak tidak
mengalami depresi yaitu sebesar 13 responden (21,7%). Hal ini menunjukkan
bahwa pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
banyak yang tidak mengalami depresi.
Pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
rutin mendapatkan pendidikan kesehatan dari pihak rumah sakit melalui
penyuluhan rutin satu kali dalam sebulan. Penyuluhan ini dapat digunakan pihak
rumah sakit untuk meningkatkan ketahanan pasien pada depresi melalui self-
efficacy sehingga mekanisme koping individu makin baik. Dalam Riyanto (2015)
disebutkan bahwa semakin tinggi tingkat self-efficacy maka semakian tinggi pula
tingkat optimisme dan kepercayaan diri pasien terhadap kemampuannya dalam
memecahkan masalahnya sendiri.
Respon koping yang dapat diterapkan pada individu adalah mekanisme
adaptif dan maladaptif (Ihdaniati dan Arifah, 2009). Salah satu cara dari respon
koping adalah mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan mekanisme
yang digunakan oleh individu umtuk menghadapi perubahan yang diterima.
Apabila mekanisme koping koping berhasil, maka individu tersebut akan dapat
beradaptasi pada perubahan yang terjadi. Namun apabila respon koping tersebut
tidak berhasil, maka akan menimbulkan episode depresi terhadap penderita kusta
yang dapat berakibat menurunnya kemampuan pasien dalam merawat diri
sehingga menimbulkan kecacatan (Hariyati dkk, 2017).
Selain itu, dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan juga
mempengaruhi kondisi psikologis penderita. Semakin baik dukungan sosial dari
keluarga dan lingkungan, maka semakin baik pula kondisi psikologis penderita
kusta. Secara fisik dukungan sosial dari keluarga berupa bantuan tenaga untuk
memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari. Sedangkan secara psikologis dukungan
sosial dapat berbentuk kasih sayang, membantu mengambangkan konsep diri
pasien kearah yang positif dan menerima pasien sesuai dengan perubahan-
perubahan yang dialami saat sakit. Dimungkinkan kondisi psikologisnya akan
lebih tahan terhadap depresi dikarenakan pasien sudah lebih siap daripada
sebelumnya dalam menghadapi penyakit ini. Pasien sudah terbiasa dengan segala
pengobatan dan pola kehidupan. Tentunya pengetahuan pasien terhadap penyakit
kusta yang dideritanya semakin lama akan semakin banyak, dan pada tahap ini
pasien tidak lagi dibingungkan oleh informasi yang simpang siur tentang
penyakitnya.
Berdasarkan hasil analisis data dengan uji statistik Spearman pada Tabel x.,
dapat diketahui bahwa hipotesis diterima dengan nilai signifikansi 0,025. Hal
tersebut berarti terdapat hubungan antara penyakit kusta dengan tingkat depresi
pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Nilai
koefisien korelasi dari kedua variabel sebesar 0,290 yang berarti terdapat korelasi
berkekuatan rendah kearah positif, yaitu semakin lama pasien mengidap kusta
maka semakin tinggi tingkat depresinya. Begitupun sebaliknya, semakin singkat
pasien menderita kusta, maka semakin rendah tingkat depresinya.

4.4 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian yang dihadapi oleh peneliti adalah sebagai berikut.
a. Penelitian ini masih sangat subjektif dikarenakan hanya berdasarkan apa yang
dirasakan responden penelitian, maka dari itu diperlukan penelitian lebih
lanjut secara objektif.
b. Peneliti menggunakan metode kuesioner dengan teknik wawancara. Pelatihan
teknik wawancara dan pengisian kuesioner yang dilakukan oleh dokter
spesialis Kedokteran Jiwa kepada peneliti dan interviewer dilakukan dalam
waktu singkat sehingga kurang efektif dan efisien.
c. Pertanyaan wawancara yang digunakan mungkin kurang dipahami oleh
responden, sehingga peneliti perlu menjelaskan kembali maksud dari
pertanyaan tersebut.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a. Pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
didapatkan mayoritas (51,7%) responden dari 60 sampel tidak mengalami
depresi.
b. Pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto
didapatkan mayoritas (36,7%) responden dari 60 sampel dengan lama
pengidap kusta 0-14 tahun.
c. Pada hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara mengidap kusta dengan tingkat depresi pada pasien kusta di
Rumah Sakit Sumberglagah Kabupaten Mojokerto. Analisis hubungan antara
kedua variabel tersebut menunjukkan nilai korelasi positif dengan kekuatan
korelasi rendah, sehingga dapat diartikan bahwa semakin lama pasien
mengidap kusta maka semakin tinggi tingkat depresinya. Begitupun
sebaliknya, semakin singkat pasien menderita kusta, maka semakin rendah
tingkat depresinya.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini sebagai berikut.
a. Perlu adanya konseling secara menyeluruh kepada pengidap kusta untuk selalu
optimis dan memperhatikan kondisi psikologisnya dalam menghadapi
masalah yang bisa menimbulkan depresi.
b. Perlunya dilakukan rawat bersama antara SMF kusta dan SMF psikiatri dalam
menangani pasien dengan diagnosis kusta agar dalam penangananya mendapat
penanganan yang kompresif baik pada gangguan fisik maupun psikisnya.
c. Perlu adanya edukasi terhadap keluarga penderita untuk selalu memberikan
dukungan terhadap pengidap kusta dan sebisa mungkin menghindarkan
pengidap kusta dari masalah-masalah berat yang dapat menimbulkan depresi.
d. Perlu adanya pemahaman dan dukungan sosial dari masyarakat terhadap para
pengidap kusta, terutama masyarakat yang tinggal berdampingan dengan
pengidap kusta agar dapat terhindar dari penyebarluasan penyakit kusta. Agar
penolakan sosial dan stigma negatif dari masyarakat dapat dihindari.
e. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,yang lebih objektif, dengan sampel
yang lebih banyak, serta memperhatikan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi depresi pada pengidap kusta sehingga didapatkan hasil yang
lebih valid.
DAFTAR PUSTAKA

Adhayani, F. 2011. “Hubungan Antara Profil Lipid Dan Gangguan Memori Pada
Usia Paruh Baya”. Tidak diterbitkan. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Adhi Djuanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.

Arif Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius


Fakultas.

Behere, PB. 1981. Psychological reactions to leprosy. Lepr Ind. 53: 310-313.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional


Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI.

Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2005, Penilaian Rumah Sehat, Semarang:
DKP Jateng.

Dinas Kesehatan. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012.
Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Hendrik, Lussy N. 2013. “Depresi Berkorelasi dengan Rendahnya Kualitas Hidup


Penderita Parkinson”. Tidak Diterbitkan. Tesis. Denpasar. Universitas
Udayana.

Hidayat, Y. 2010. “Hubungan Antara Jenis Kelamin, Usia Dan Status Pernikahan
Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Perumahan Sinar Waluyo
Semarang”. Tidak Diterbitkan. Tugas Akhir. Semarang: Fakultas
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Semarang.

Hugh Cross dan Margaret Mahato. 2006, Pencegahan Cacat Kusta, Terjemahan
Laksmi K Wardhani. Jakarta : The International Federation of Anti Leprosy
Association (ILEP).

Kaplan, H. & Sadock, B. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri


Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2015. InfoDATIN Kusta. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.


Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ – III. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Oentari, W. 2015. Eradikasi kusta: Apakah memungkinkan?. Eradikasi Kusta.


3(3): 161-164.

Purnomo, B., Astuti, Y. D. 2010. “Hubungan Harga Diri dengan Tingkat Depresi
Pada Remaja Santri Pondok Pesantren”. Tidak Diterbitkan. Tugas Akhir.
Jogjakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung:


Alfabeta.

Tasmil, AM. 2012. ”Gambaran Tingkat Sindrom Depresi Pada Mahasiswa


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Semester Ganjil Tahun
Akademik 2012/2013”. Tidak Diterbitkan. Tugas Akhir. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tsutsumi, A., T. Izutzu, M. D. A. Islam, J. U. Amed, S. Nakahara, F. Takagi, S.


Wakai. 2004. Depressive status of leprosy patients in Bangladesh:
association with self-perception of stigma. Lepr Rev. 75: 57-66.

Universitas Jember. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: UPT


Penerbitan Universitas Jember.
LAMPIRAN A. SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN
LAMPIRAN B. INSTRUMENT PENELITIAN

B.1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek


Saya, Widya Ayu Putri Maharani, mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Jember Semester 8 akan melakukan penelitian yang berjudul
“HUBUNGAN PENYAKIT KUSTA DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA
PASIEN DI RUMAH SAKIT KUSTA SUMBERGLAGAH KABUPATEN
MOJOKERTO”. Penelitian ini tidak mendapat sponsor dari pihak manapun,
sehingga dana yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari dana pribadi.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penyakit
kusta dengan tingkat depresi pada pasien di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pertimbangan bagi individu, institusi, serta masyarakat sebagai bahan
pertimbangan perlunya perawatan intensif antara bidang penyakit kulit kronis dan
psikiatri.
Tim peneliti mengajak Saudara untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Penelitian ini membutuhkan 60 (enam puluh) subjek penelitian, dengan jangka
waktu keikutsertaan masing-masing subjek sekitar 2 (dua) jam.
1. Kesukarelaan untuk ikut penelitian
Anda bebas memilih keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa ada paksaan.
Bila Anda sudah memutuskan untuk ikut, Anda juga bebas untuk mengundurkan
diri atau berubah pikiran setiap saat tanpa dikenai denda atau sanksi apapun.
2. Prosedur Penelitian
Apabila Anda bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, Anda diminta
menandatangani lembar persetujuan rangkap dua. Satu untuk Anda simpan, dan
satu untuk peneliti. Prosedur selanjutnya adalah pengisian informed consent.
Kemudian dilanjutkan pengisian kuesioner dengan teknik wawancara yang
dilakukan oleh peneliti dengan didampingi dokter spesialis Kedokteran Jiwa. Pada
saat wawancara, peneliti menggunakan alat perekam suara untuk merekam
jawaban Anda. Diharapkan Anda menjawab pertanyaan dengan jujur dan sesuai
dengan apa yang Anda rasakan sekarang.
3. Kewajiban Subjek Penelitian
Sebagai subjek penelitian, Saudara berkewajiban mengikuti aturan atau
petunjuk penelitian seperti yang tertulis di atas. Bila ada yang belum jelas,
Saudara bisa bertanya lebih lanjut kepada peneliti. Selama penelitian tidak boleh
melakukan aktivitas lain di luar penelitian tanpa izin dari peneliti.
4. Manfaat
Keuntungan langsung yang Anda dapatkan adalah dapat mengetahui
keadaan psikologis dan kualitas hidup Anda, serta mendapatkan insentif berupa
konsumsi.
5. Kerahasiaan
Semua informasi yang berkaitan dengan identitas subjek penelitian akan
dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti dan staf penelitian. Hasil
penelitian akan dipublikasikan tanpa identitas subjek penelitian.
6. Kompensasi
Saudara akan mendapatkan konsumsi (berupa makanan dan minuman)
setelah penelitian ini berlangsung.
7. Informasi Tambahan
Saudara diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas
sehubungan dengan penelitian ini kepada peneliti. Bila Anda terbukti
membutuhkan terapi psikologis, dapat memeriksakan diri di SMF Psikiatri Rumah
Sakit Kusta Sumberglagah Kabupaten Mojokerto atau SMF Psikiatri dr. Soebandi
Jember.
B.2 Informed Consent

FORMULIR PERNYATAAN PERSETUJUAN


IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama :__________________________________________________
Umur :__________________________________________________
Alamat:__________________________________________________
No.Responden:____________________________________________

Setelah telah mendapatkan penjelasan tentang maksud, tujuan, dan


manfaat penelitian dengan judul:
“HUBUNGAN PENYAKIT KUSTA DENGAN TINGKAT DEPRESI
PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT KUSTA SUMBERGLAGAH
KABUPATEN MOJOKERTO.”
Menyatakan bersedia ikut serta sebagai sukarelawan dalam penelitian dan
mengikuti prosedur penelitian seperti yang telah disampaikan di atas.

Mojokerto,

Saksi Sukarelawan

____________________ ____________________

B.3 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Saya telah diberikan penjelasan dalam penelitian dan memberikan


persetujuan untuk berperan serta dalam penelitian yang berjudul “Hubungan
Penyakit Kusta dengan Tingkat Depresi pada Pasien di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah Kabupaten Mojokerto”, yang dilakukan oleh:
Nama : Widya Ayu Putri Maharani

Fakultas : Pendidikan Kedokteran Umum Universitas Jember


Pembimbing : 1. dr. Justina Evy T., Sp.KJ

2. dr. Ida Srisurani Wiji Astuti, M. Kes.

Saya mengerti bahwa resiko yang akan datang tidak akan membahayakan
saya, serta berguna untuk meningkatkan pengetahuan serta kesadaran dalam
penegakan diagnosis depresi serta dapat mengetahui kondisi psikologis saya
melalui diagnosis dengan menggunakan kuesioner Hamilton Depression Rating
Scale (HDRS). Namun saya berhak mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa
adanya sanksi atau kehilangan hak. Saya mengerti data atau catatan mengenai
penelitian ini akan dirahasiakan. Semua berkas yang mencantumkan identitas saya
hanya digunakan untuk pengolahan data dan apabila penelitian ini selesai data
milik responden akan dimusnahkan.

Demikian secara sukarela dan tanpa unsur paksaan dari siapaun saya
bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

No. Responden : ........................ Mojokerto, .................................


Tanda Tangan
Saksi Sukarelawan

____________________ _____________________

B.4 Lembar Anamnesis

PERTANYAAN PENELITIAN

1. Mengisi lembar Informed Consent


2. Identitas sukarelawan :
 Nama :
 Jenis Kelamin :
 Tempat,tangggal lahir :
 Usia :
 Alamat :
 Pekerjaan :
3. Anamnesa :
- Riwayat penyakit Keluarga
- Apakah anda memiliki keluarga yang mengalami penyakit serupa
(kusta)? Jika iya, Siapa?
………………………………………………………………………………
- Riwayat Penyakit Dahulu
- Kapan pertama kali anda mengalami gejala kusta?
………………………………………………………………………………
- Sudah berapa lama anda mengalami kusta?
………………………………………………………………………………
- Riwayat Penyakit Sekarang
- Apakah saat ini anda masih menjalani pengobatan kusta? Jika tidak
kapan terakhir kali anda menjalani pengobatan kusta?
………………………………………………………………………………
- Apakah penyakit kusta anda pernah kambuh ? Jika iya, kapan terakhir
kali anda mengalami kekambuhan kusta?
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………

B.5 Kuesioner Penilaian Tingkat Depresi Menggunakan HDRS

Tanggal pemeriksaan :
Pemeriksa :
Nama pasien :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir :
Status perkawinan :
Agama :
Suku bangsa :

Untuk setiap nomor di bawah ini, pilihlah keadaan yang paling tepat
menggambarkan tentang pasien.

1. Suasana perasaan depresi (perasaan sedih, putus asa, tak berdaya,


tak berharga)
0= tidak ada
1= perasaan ini dinyatakan hanya bila ditanya
2= perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal
3 = perasaan ini dinyatakan secara nonverbal, misalnya ekspresi wajah,
postur, suara dan kecenderungan menangis.
4= perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal dan nonverbal

2. Perasaan bersalah
0 = tidak ada
1 = menyalahkan diri sendiri, merasa telah mengecewakan orang lain
2= ide-ide bersalah atau renungan tentang perbuatan salah atau berdosa
pada masa lalu
3 = sakit ini merupakan suatu hukuman, waham bersalah
4 = mendengar suara-suara tuduhan atau kutukan dan/atau mengalami
halusinasi penglihatan yang mengancam
3. Bunuh diri
0= tidak ada
1= merasa hidup tidak berharga
2= mengharapkan kematian atau segala pikiran tentang kemungkinan
tersebut
3= ide-ide atau gerak-gerak isyarat tentang bunuh diri
4= percobaan bunuh diri (segala percobaan yang serius diberi nilai 4)

4. Initial insomnia
0= tidak ada kesulitan jatuh tidur
1= kadang-kadang mengeluh sulit jatuh tidur, misalnya lebih dari 15 menit
2= mengeluh sulit jatuh tidur setiap malam

5. Middle insomnia
0= tidak ada kesulitan mempertahankan tidur
1= mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam
2 = terjaga sepanjang malam (segala keadaan bangkit dari tempat tidur
diberi nilai 2 kecuali untuk buang air kecil)

6. Late insomnia
0= tidak ada kesulitan
1= bangun terlalu pagi tetapi dapat tidur kembali
2= bila telah bangun/bangkit dari tempat tidur, tidak dapat tidur kembali

7. Kerja dan kegiatan


0 = tidak ada kesulitan
1 = pikiran dan perasaan tentang ketidakmampuan, keletihan atau kelemahan
sehubungan dengan kegiatan, kerja atau hobi
2= hilangnya minat dalam melakukan kegiatan, hobi atau pekerjaan, baik
dilaporkan secara langsung oleh pasien atau secara tidak langsung
melalui kelesuan/tidak bergairah, keragu-raguan dan kebimbangan
(merasa harus mendorong diri untuk bekerja atau melakukan kegiatan)
3 = berkurangnya waktu aktual yang dihabiskan dalam melakukan kegiatan
atau menurunnya produktivitas. Di rumah sakit, beri nilai 3 bila pasien
tidak menghabiskan waktu paling sedikit 3 jam sehari dalam melakukan
kegiatan (tugas rumah sakit atau hobi) diluar tugas-tugas bangsal
4 = berhenti bekerja karena sakitnya sekarang. Di rumah sakit, beri nilai 4
bila pasien tidak melakukan kegiatan apapun kecuali tugas-tugas
bangsal, atau bila pasien gagal melaksanakan tugas-tugas bangsal tanpa
dibantu
8. Retardasi (lambat dalam berpikir dan berbicara, kemampuan
berkonsentarasi, penurunan aktivitas motorik)
0 = normal dalam berbicara dan berpikir
1 = sedikit lamban dalam wawancara
2 = jelas lamban dalam wawancara
3 = sulit diwawancarai
4 = stupor lengkap
9. Agitasi
0= tidak ada
1= memainkan tangan, rambut dan lain-lain
2= meremas tangan, menggigit kuku, menarik rambut, menggigit bibir
10. Anxietas psikis
0= tidak ada kesulitan
1= ketegangan dan mudah tersinggung yang bersifat subyektif
2= mengkuatirkan hal-hal kecil
3= sikap kuatir yang tercermin di wajah atau pembicaraan
4= katakutan diekspresi tanpa ditanya
11. Anxietas somatik
0= tidak ada
1= ringan
2= sedang
3= berat
4= inkapasitas

Keadaan fisiologis yang mengiringi anxietas seperti :


a. Gastrointestinal : mulut, sulit mencerna, diare, kram, sendawa
b. Kardiovaskular : palpitasi, nyeri kepala
c. Pernapasan : hiperventilasi, menghela nafas panjang
d. Sering-sering buang air kecil, berkeringat
12. Gejala somatik (gastrointestinal)
0 = tidak ada
1= tidak ada nafsu makan tetapi dapat makan tanpa dorongan orang lain.
Perut terasa penuh
2 = Sulit makan tanpa dorongan orang lain, meminta atau membutuhkan
pencahar atau obat-obatan untuk buang air besar atau obatan-obatan
untuk simtom gastrointestinal
13. Gejala somatik (umum)
0 = tidak ada
1= anggota gerak, punggung atau kepala terasa berat.
Nyeri punggung, nyeri kepala, nyeri otot. Hilang tenaga dan kelelahan
2 = segala simtom di atas yang jelas diberi nilai 2
14. Gejala genital (misalnya : hilangnya libido, gangguan menstruasi)
0= tidak ada
1 = ringan
2 = berat

15. Hipokondriasis
0 = tidak ada
1 = dihayati sendiri
2 = preokupasi tentang kesehatan diri
3 = sering mengeluh, meminta pertolongan, dan lain-lain
4 = waham hipokondriasis

16. Kehilangan berat badan


0 = tidak ada kehilangan berat badan
1= kemungkinan berat badan berkurang sehubungan dengan sakit
sekarang
2= berat badan jelas berkurang (menurut pasien)

17. Tilikan
0 = mengetahui dirinya depresi dan sakit
1= mengetahui dirinya sakit tetapi disebabkan oleh makanan yang buruk,
iklim, kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain.
2 = menyangkal sepenuhnya bahwa dirinya sakit

18. Variasi diurnal


Pagi (AM) Sore (PM) Interpretasi
0 0 tidak ada
1 1 ringan
2 2 berat
Dicatat apakah simtom lebih berat pada pagi atau sore hari dan dinilai
keparahan variasi tersebut.

19. Depersonalisasi dan derealisasi (misalnya : merasa tidak nyata, ide


nihilistik)
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = sedang
3 = berat
4 = inkapasitas

20. Gejala paranoid


0 = tidak ada
1 = kecurigaan ringan
2 = kecurigaan sedang
3 = ide referensi
4 = waham referensi dan waham kejar

21. Gejala obsesif dan kompulsif


0 = tidak ada
1 = ringan
2 = berat

22. Ketidakberdayaan
0 = tidak ada
1 = perasaan subyektif yang diperoleh hanya bila ditanya
2 = perasaan tidak berdaya dinyatakan langsung oleh pasien
3 = memerlukan dorongan, bimbingan dan penentraman hati untuk
menyelesaikan tugas bangsal atau higiene diri.
4 = memerlukan bantuan fisik untuk berpakaian, makan, bedside tasks atau
higiene diri.
23. Keputusasaan
0 = tidak ada
1= sering-sering merasa ragu bahwa ‘keadaan akan membaik’ tetapi masih
dapat ditentramkan
2= merasa putus asa secara konsisten tetapi masih menerima
penentraman
3 = mengekspresikan perasaan putus asa, hilang harapan, pesimis
tentang masa depan, yang tidak dapat dihilangkan.
4 = keteguhan spontan dan tidak sesuai bahwa ‘saya tidak akan pernah
sembuh atau padanannya.

24. Perasaan tidak berharga (terentang dari hilangnya harga diri, perasaan
rendah diri, mencela diri yang ringan sampai waham tentang
ketidakberhargaan)
0 = tidak ada
1 = menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) hanya bila
ditanya.
2 = menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) secara
spontan
3 = berbeda dengan nilai 2 di atas berdasarkan derajat. Pasien secara
sukarela menyatakan bahwa dia ‘tidak baik’, ‘rendah’.
4 = waham tentang ketidakberhargaan, misalnya ‘Saya adalah tumpukan
sampah atau padanannya.
Interpretasi (rentang nilai 0 - 50)
Nilai keseluruhan ≤ 17 : normal
Nilai keseluruhan 18 – 24 : depresi ringan
Nilai keseluruhan 25 – 34 : depresi sedang
Nilai keseluruhan 35 – 51 : depresi berat
Nilai keseluruhan 52 – 68 : depresi sangat berat.
B.6 Lembar Wawancara Kepada Calon Subjek Menurut Kuesioner
Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)

Lembar ini berisi daftar pertanyaan yang akan peneliti gunakan untuk
mewawancarai pasien kusta guna mendeteksi depresi. Aspek penilaian dalam
lembar wawancara ini berdasarkan kuesioner Hamilton Depression Rating Scale
(HDRS) yang telah distandarisasi. Peneliti diharapkan dapat membangun rasa empati dan
mengamati ekspresi pasien selama proses wawancara. Berikut pertanyaan yang akan
peneliti ajukan untuk wawancara beserta aspek yang akan dinilai.

No. Pertanyaan Aspek penilaian


1. Bagaimana perasaan atau pemikiran anda Suasana perasaan depresi
tentang penyakit anda?
Adakah rasa tidak nyaman yang anda rasakan?
Pernahkan anda merasa terpuruk?
Jika Ya, berapa kali dalam seminggu?
2. Anda cenderung merasa sedih ataukah Anxietas psikis
khawatir?
Jika lebih cenderung merasa khawatir, apa yang
anda khawatirkan?
3. Bagaimana aktivitas keseharian anda?
Apakah aktivitas anda menurun? Tilikan
Apakah anda memerlukan bantuan orang lain Ketidakberdayaan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari ?
Apakah anda masih bekerja setelah sakit? Retardasi
Pekerjaan seperti apa yang anda kerjakan?
Apakah tugas anda didelegasikan pada orang
lain?
Apakah anda merasa tidak berguna? Perasaan tidak berharga
Adakah yang memprovokatori perasaan itu? dan Perasaan bersalah
(misalkan mendengar suara tuduhan atau melihat
seseorang mengancam anda)
Menurut anda, apakah sebab penyakit anda?
4. Sudah berapa lama anda sakit?
Berapa penurunan berat badan anda? Penurunan berat badan
Apa harapan atau keinginan anda? Bunuh diri dan putus asa
5. Apakah anda kesulitan untuk tidur?
Jika ya, bagaimana kesulitan tidur anda?
Apaka anda sulit memulai untuk tidur? Initial insomnia
Apakah anda sering terbangun karena mimpi Middle insomnia
buruk pada tengah malam?
No. Pertanyaan Aspek penilaian
Apakah anda sering terbangun pada tengah Late insomnia
malam kemudian tidak bias tidur kembali?
Apa penyebab anda terbangun? Variasi diurnal
10. Apa keluhan badan yang anda sering rasakan
saat ini?
Apakah anda seing merasa berdebar, sesak nafas, Anxietas somatik
atau pusing?
Apakah anda mengalami penurunan nafsu Gejala somatik
makan atau masalah buang air besar? gastrointestinal
Apakah anda merasa berat untuk bergerak atau Gejala somatik umum
merasa nyeri pada again tertentu?
Apakah anda masih bisa melakukan hubungan Gejala genital
suami istri?
Biasanya anda mengeluhkan gejala tersebut Hipokondriasis
kepada siapa?
11. Apakah anda merasa ada perubahan pada Depersonalisasi dan
diri anda? derealisasi
Apakah perubahan itu mengganggu aktivitas
anda?
12. Bagaimana tanggapan keluarga dan teman- Gejala paranoid
teman anda tentang anda?
Apakah anda mempunyai musuh?
13. Adakah hal khusus yang anda lakukan Gejala obsesif kompulsif
sehari-hari selama anda sakit?
(Misalkan berkali-kali menata, merapikan, atau
membersihkan sesuatu)
DAFTAR RESPONDEN

No Nama Usia Jenis kelamin Hari, tanggal wawancararnn


1 SD 62 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
2 TTK 53 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
3 N TWN 70 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
4 SJK 34 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
5 HRTN 41 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
6 SWD 70 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
7 I GHZL 43 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
8 U KSNH 45 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
9 SJNT 62 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
10 SWTN K 66 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
11 MSRH 47 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
12 KRYD 51 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
13 SH 58 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
14 SM 53 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
15 SRPN 42 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
16 JLKH 32 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
17 A TBN 64 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
18 SYF 38 Tahun Laki-laki Senin, 3 Juli 2017
19 SDH 80 Tahun Perempuan Senin, 3 Juli 2017
20 SRN 50 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
21 S SNDR 42 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
22 SNNK 56 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
23 KSMN 61 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
24 SKRD 73 Tahun Laki-laki Selasa, 4 Juli 2017
25 WGNH 60 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
26 SMJ 47 Tahun Laki-laki Selasa, 4 Juli 2017
27 SDK 73 Tahun Laki-laki Selasa, 4 Juli 2017
28 MNL F 28 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
29 SMN 56 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
30 RN 67 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
31 R KHRL 37 Tahun Laki-laki Selasa, 4 Juli 2017
32 KHLM 39 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
33 MNSH 49 Tahun Perempuan Selasa, 4 Juli 2017
34 SR MRT 60 Tahun Perempuan Kamis, 6 Juli 2017
35 SMN 73 Tahun Laki-laki Kamis, 6 Juli 2017
36 RG 70 Tahun Perempuan Kamis, 6 Juli 2017
37 D KHLM 80 Tahun Laki-laki Kamis, 6 Juli 2017
38 DSLM 32 Tahun Laki-laki Kamis, 6 Juli 2017
39 SRT 50 Tahun Perempuan Kamis, 6 Juli 2017
40 DRSN 43 Tahun Perempuan Jumat, 7 Juli 2017
41 RNN 25 Tahun Perempuan Jumat, 7 Juli 2017
42 S HSNH 66 Tahun Perempuan Jumat, 7 Juli 2017
43 M MRF 65 Tahun Laki-laki Jumat, 7 Juli 2017
44 SLM 60 Tahun Perempuan Jumat, 7 Juli 2017
45 SWT 61 Tahun Laki-laki Jumat, 7 Juli 2017
46 MRFH 50 Tahun Perempuan Jumat, 7 Juli 2017
47 AM 63 Tahun Laki-laki Jumat, 7 Juli 2017
48 AKYH 66 Tahun Perempuan Jumat, 7 Juli 2017
49 MKH 80 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
50 SMRH 60 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
51 SPYH 58 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
52 SMPN 46 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
53 N ASH 61 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
54 M KSNN 56 Tahun Laki-laki Senin, 10 Juli 2017
55 KNRT 45 Tahun Laki-laki Senin, 10 Juli 2017
56 SRD 54 Tahun Laki-laki Senin, 10 Juli 2017
57 S PN 45 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
58 LSN 49 Tahun Perempuan Senin, 10 Juli 2017
59 IKW 47 Tahun Laki-laki Senin, 10 Juli 2017
60 A MJD 40 Tahun Laki-laki Senin, 10 Juli 2017

Mengetahui,
Kepala Ruang Melati

NIP.
Distribusi Frekuensi Data Umum

Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent


Valid Laki-laki 27 45,0 45,0
Perempuan 33 55,0 55,0
Total 60 100,0 100,0

Usia

Frequency Percent Valid Percent


Valid 18-30 tahun 2 3,3 3,3
31-43 tahun 12 20,0 20,0
44-56 tahun 19 31,7 31,7
57-69 tahun 18 30,0 30,0
70-82 tahun 9 15,0 15,0
Total 60 100,0 100,0

Status pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent


Valid Bekerja 30 50,0 50,0
Tidak bekerja 30 50,0 50,0
Total 60 100,0 100,0
Distribusi Frekuensi Data Khusus

Lama mengidap kusta

Frequency Percent Valid Percent


Valid 0-14 tahun 22 36,7 36,7
15-29 tahun 16 26,7 26,7
30-44 tahun 14 23,3 23,3
45-59 tahun 6 10,0 10,0
60-74 tahun 2 3,3 3,3
Total 60 100,0 100,0

Tingkat depresi

Frequency Percent Valid Percent


Valid Tidak ada depresi 31 51,7 51,7
Depresi ringan 17 28,3 28,3
Depresi sedang 10 16,7 16,7
Depresi berat 2 3,3 3,3
Total 60 100,0 100,0
Tabulasi Silang Jenis Kelamin dan Lama Mengidap Kusta

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis kelamin * Lama
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
mengidap kusta

Jenis kelamin * Lama mengidap kusta Crosstabulation

Lama mengidap kusta


0-14 15-29 30-44 45-59 60-74
tahun tahun tahun tahun tahun Total
Jenis Laki-laki Count 8 10 5 3 1 27
kelamin % of Total 13,3% 16,7% 8,3% 5,0% 1,7% 45,0%
Perempuan Count 14 6 9 3 1 33
% of Total 23,3% 10,0% 15,0% 5,0% 1,7% 55,0%
Total Count 22 16 14 6 2 60
% of Total 36,7% 26,7% 23,3% 10,0% 3,3% 100,0%

Tabulasi Silang Usia dan Lama Mengidap Kusta

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia * Lama
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
mengidap kusta
Usia * Lama mengidap kusta Crosstabulation

Lama mengidap kusta


0-14 15-29 30-44 45-59 60-74
tahun tahun tahun tahun tahun Total
Usia 18-30 tahun Count 2 0 0 0 0 2
% of Total 3,3% ,0% ,0% ,0% ,0% 3,3%
31-43 tahun Count 10 2 0 0 0 12
% of Total 16,7% 3,3% ,0% ,0% ,0% 20,0%
44-56 tahun Count 7 7 5 0 0 19
% of Total 11,7% 11,7% 8,3% ,0% ,0% 31,7%
57-69 tahun Count 2 5 9 2 0 18
% of Total 3,3% 8,3% 15,0% 3,3% ,0% 30,0%
70-82 tahun Count 1 2 0 4 2 9
% of Total 1,7% 3,3% ,0% 6,7% 3,3% 15,0%
Total Count 22 16 14 6 2 60
% of Total 36,7% 26,7% 23,3% 10,0% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Status Pekerjaan dan Lama Mengidap Kusta

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status pekerjaan *
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
Lama mengidap kusta

Status pekerjaan * Lama mengidap kusta Crosstabulation

Lama mengidap kusta


0-14 15-29 30-44 45-59 60-74
tahun tahun tahun tahun tahun Total
Status Bekerja Count 18 8 4 0 0 30
pekerjaan % of Total 30,0% 13,3% 6,7% ,0% ,0% 50,0%
Tidak Count 4 8 10 6 2 30
bekerja % of Total
6,7% 13,3% 16,7% 10,0% 3,3% 50,0%

Total Count 22 16 14 6 2 60
% of Total 36,7% 26,7% 23,3% 10,0% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Jenis Kelamin dan Tingkat Depresi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis kelamin *
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
Tingkat depresi

Jenis kelamin * Tingkat depresi Crosstabulation

Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Jenis Laki-laki Count 16 5 5 1 27
kelamin % of Total 26,7% 8,3% 8,3% 1,7% 45,0%
Perempuan Count 15 12 5 1 33
% of Total 25,0% 20,0% 8,3% 1,7% 55,0%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%

Tabulasi Silang Usia dan Tingkat Depresi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia * Tingkat depresi 60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
Usia * Tingkat depresi Crosstabulation

Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Usia 18-30 tahun Count 0 0 2 0 2
% of Total ,0% ,0% 3,3% ,0% 3,3%
31-43 tahun Count 7 5 0 0 12
% of Total 11,7% 8,3% ,0% ,0% 20,0%
44-56 tahun Count 11 6 2 0 19
% of Total 18,3% 10,0% 3,3% ,0% 31,7%
57-69 tahun Count 12 5 1 0 18
% of Total 20,0% 8,3% 1,7% ,0% 30,0%
70-82 tahun Count 1 1 5 2 9
% of Total 1,7% 1,7% 8,3% 3,3% 15,0%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Status Pekerjaan dan Tingkat Depresi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status pekerjaan
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
* Tingkat depresi

Status pekerjaan * Tingkat depresi Crosstabulation

Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Status Bekerja Count 21 6 3 0 30
pekerjaan % of Total 35,0% 10,0% 5,0% ,0% 50,0%
Tidak Count 10 11 7 2 30
bekerja % of Total
16,7% 18,3% 11,7% 3,3% 50,0%

Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%
Tabulasi Silang Lama Mengidap Kusta dan Tingkat Depresi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Lama mengidap kusta
60 100,0% 0 ,0% 60 100,0%
* Tingkat depresi

Lama mengidap kusta * Tingkat depresi Crosstabulation

Tingkat depresi
Tidak ada Depresi Depresi Depresi
depresi ringan sedang berat Total
Lama 0-14 tahun Count 13 7 2 0 22
mengidap % of Total 21,7% 11,7% 3,3% ,0% 36,7%
kusta 15-29 tahun Count 8 6 2 0 16
% of Total 13,3% 10,0% 3,3% ,0% 26,7%
30-44 tahun Count 9 4 1 0 14
% of Total 15,0% 6,7% 1,7% ,0% 23,3%
45-59 tahun Count 1 0 4 1 6
% of Total 1,7% ,0% 6,7% 1,7% 10,0%
60-74 tahun Count 0 0 1 1 2
% of Total ,0% ,0% 1,7% 1,7% 3,3%
Total Count 31 17 10 2 60
% of Total 51,7% 28,3% 16,7% 3,3% 100,0%

Uji Korelasi Rank Spearman

Correlations

Lama
mengidap Tingkat
kusta depresi
Spearman's rho Lama mengidap kusta Correlation Coefficient 1,000 ,290*
Sig. (2-tailed) . ,025
N 60 60
Tingkat depresi Correlation Coefficient ,290* 1,000
Sig. (2-tailed) ,025 .
N 60 60
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Anda mungkin juga menyukai