Anda di halaman 1dari 38

DEMAM REUMATIK AKUT

LAPORAN KASUS

Oleh
Adhang Isdyarsa
132011101060

Pembimbing

dr. Ali Santosa, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
DEMAM REUMATIK AKUT

LAPORAN KASUS

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Adhang Isdyarsa
132011101060

Pembimbing

dr. Ali Santosa, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Demam rematik akut adalah kelainan imunologik yang terjadi akibat reaksi lambat
infeksi Streptococcus beta hemolyticus Group A di faring. Biasanya timbul 1-5 minggu
(rata-rata 3minggu) setelah infeksi tersebut.Demam Rematik merupakan penyebab utama
penyakit jantung didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara
berkembang dengan keadaan sosial ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Secara umum,
penyakit ini merupakan demam akut yang mengakibatkan adanya peradangan pada sendi,
jantung, kulit dan system syaraf. Walaupun sebutan demam rematik akut menunjukkan
penekanan pada peradangan sendi, namun yang harus diwaspadai adalah gejala sisa yang
terjadi yaitu penyakit jantung rematik yang berupa kelainan pada katup jantung karena
dapat berakibat fatal apabila terjadi serangan akut.
Insidens penyakit ini di negara maju telah menurun dengan tajam selama 6 dekade
terakhir, meskipun begitu dalam 10 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan kasus
demam reumatik yang mencolok di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hal tersebut
mengingatkan kita bahwa demam reumatik belum seluruhnya terberantas, dan selalu
terdapat kemungkinan untuk menimbulkan masalah kesehatan masyarakat baik di negara
berkembang maupun negara maju.
Suatu faktor penting yang mempengaruhi insidens demam reumatik adalah
ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit. Sampai sekarang belum tersedia uji spesifik
yang tepat untuk menegakkan diagnosis demam reumatik akut. Terdapat kesan terdapatnya
overdiagnosis demam reumatik, sehingga diharapkan dengan kriteria diagnosis yang tepat,
pengertian dan kemampuan untuk mengenal penyakit ini serta kesadaran para dokter untuk
menanggulanginya merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan insidens
penyakit ini.
2

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita


Nama : Ny. NP
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Karangrejo Paleran
Status : Menikah
Pendidikan: : SMP
Suku : Madura
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status Pelayanan : BPJS PBI
No. RM : 230496
Tanggal MRS : 2 Oktober 2018
Tanggal Pemeriksaan : 5 Oktober 2018

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan suami pasien pada
tanggal 5 Oktober 2018 di Ruang Anturium RSD dr. Soebandi Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Ruam seluruh tubuh

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengaku muncul ruam di kaki dan tangan disertai demam sejak 7 hari yang
lalu. Pasien mengaku ruam muncul secara bersamaan dengan demam. Ruam muncul
dengan bentuk tidak teratur denga batas berwarna merah muda. Ruam ada yang berbentuk
seperti tonjolan dan ada yang hanya berwarna kemerahan. Demam dikeluhkan sumer dan
hilang setelah diberi obat, tetapi ketika tidak minum obat demam timbul lagi. Dua hari
kemudian (5 hari yang lalu) pasien mengeluhkan bengkak di bagian wajah. Bengkak
berawal dari mata dan menjalar ke seluruh wajah dan tubuh. Selain itu pasien juga
mengeluhkan nyeri di persendian sejak 5 hari yang lalu. Nyeri sendi dirasakan pertama
pada lutut dan kemudian semakin hari semakin terasa di hampir seluruh persendian,
3

terutama pada jari jari tangan dan kaki. Nafsu makan pasien turun, karena dalam beberapa
hari ini sering merasakan mual dan ketika makan selalu dimuntahkan.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pasca melahirkan 10 hari yang lalu, persalinan ditolong oleh bidan dan tanpa
masalah sebelum dan saat proses persalinan. Diabetes disangkal, hipertensi disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Pasien sempat mengeluh nyeri
tenggorokan beberapa hari sebelum melahirkan.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki penyakit keturunan ataupun penyakit yang
serupa.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien sebelumnya pernah dirawat di RS BS Jember selama 1 hari sebelum akhirnya
dirujuk ke RSDS.

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama suami dan
mertuanya. Dari riwayat lingkungan, pasien tinggal di sebuah rumah yang luasnya 60
meter persegi, berdinding tembok dan berlantai plester yang terdiri dari 3 kamar tidur
dengan ventilasi cukup, 1 kamar mandi, dapur, dan ruang tamu. Pasien tidur di kasur
ranjang. Sumber air berasal dari sumur. Suami pasien bekerja sebagai pedagang asongan.
Pasien mengaku pendapatan perbulan Rp 1.000.000,00. Suami pasien mengaku seorang
perokok.
Kesan: Riwayat sosial lingkungan ekonomi menengah.

2.2.7 Riwayat Sanitasi Lingkungan


Pasien menggunakan air sumur dan timba untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Air minum sehari-hari yang berasal dari air kemasan yang dibeli dari toko. Untuk
kebutuhan kakus, pasien dan keluarga menggunakan kamar mandi sendiri.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan cukup.

2.2.8 Riwayat Gizi


Sehari pasien makan 3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah nasi, telur,
tempe, tahu, sayur, dan ayam. Pasien mengaku tidak pernah meminum alkohol
4

BB : 48 kg
TB : 150 cm
BMI = Berat Badan (kg) = 48

Tinggi Badan(m)2 (1,5)2


BMI = 21,3 (normal)
Kesan: Riwayat status gizi normal

2.2.9 Anamnesis Sistem


- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), demam (+),
kejang (-), nyeri kepala (-), pusing (+)
- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)
- Sistem pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-), nyeri dada (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), BAB darah (-) nafsu makan
menurun (+), nyeri perut (-)
- Sistem urogenital : BAK (+) warna kuning muda
- Sistem integumentum : turgor kulit normal, pucat (-) sianosis (-) ikterik (-)
- Sistem muskuloskeletal : kelemahan pada kedua kaki kanan dan kiri (-)
edema (+), atrofi (-), deformitas (-) flapping tremor (-)
Kesan : Tidak terdapat gangguan sistem serebrospinal

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis, GCS 4-5-6
Vital Sign : TD : 90/60 mmHg
RR : 20x/menit
Suhu : 36,8oC
Pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-), nyeri dada (-)
Kulit : turgor kulit normal, anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : edema (+), atrofi (-)
Tulang : deformitas (-)
5

2.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus


a. Kepala
- Bentuk : normocephal
- Rambut : hitam lurus
- Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
edema palpebra : +/+
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), darah (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-),darah (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-) atrofi papil lidah (-), buffy tounge (-)

b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak membesar
- JVP : tidak meningkat
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S, redup
Redup pada ICS II PSL D s/dICS II PSL S
sehingga batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
6

2. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
Bentuk thoraks normal Bentuk thoraks normal
Simetris Simetris
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Deviasi trakea -
Palpasi: Palpasi:
Letak trakea dan ictus kordis Nyeri tekan –
normal Ruang antar iga teraba
Ruang antar iga teraba normal normal
Nyeri tekan – Ekspansi dada asimetris
Ekspansi dada asimetris N N

N N N N
N N N N
N N Fremitus raba
Fremitus raba N N
N N N N
N N N N
N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
7

Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
V V V V
V V V V
V V V V

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:


Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -

Wheezing Wheezing

- - - -
- - - -
- - - -

d. Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : soepel (-),nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-), shifting
dullness (-), undulasi (-)
- Perkusi : timpani

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema +/+, eritema +/+
- Inferior : akral hangat +/+, edema +/+, eritema +/+
8

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium 2 Oktober 2018 21:29

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan


Pemeriksaan
HEMATOLOGI LENGKAP (DL)
Hemoglobin 11,3 13.5-17.5 gr/dL
Leukosit 3,1 4.5-11.0 109/L
Hematokrit 35 36-46 %
Trombosit 216 150-450 109/L
FAAL HATI
SGOT 87 10-31 U/L(37oC)
SGPT 56 9-36 U/L(37oC)
GLUKOSA DARAH
Glukosa Sewaktu 98 <200 mg/dL
FAAL GINJAL
Kreatinin Serum 1.1 0,5-1,1 mg/dL
BUN 22 6-20 mg/dL
Urea 47 12-43 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 141 135-150 mmol/L
Kalium 4,3 3,6-5,5 mmol/L
Clorida 109 96-106 mmol/L
Calsium 10,43 8,1-10,5 mmol/L
ASTO +400 <200 IU/ml

Kesan: dalam batas normal

2. Pemeriksaan laboratorium 17 Juli 2018 08:29

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan


Pemeriksaan
Urin Lengkap (UL)
Warna Kuning jernih Kuning jernih
pH 5 4.8-7.0
BJ 1.010 1.015-1.025
Protein Positif 2 – 75mg/dl Negatif
Glukosa Normal Normal
Urobilin Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Lekosit Makros Negatif Negatif
9

Blood Makros Negatif Negatif


Eritrosit 10-25 13.5-17.5
Lekosit 0-2 4.5-11.0
Epitel Squamous 0-2 36-46
Epitel Renal Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Yeast Negatif Negatif
Tricomonas Negatif Negatif
Lain lain Negatif Negatif
5. Hasil Thoraks Foto tanggal 2 Oktober 2018

6. Hasil Pemeriksaan Imunologi


10

2.5 Resume

Anamnesis
Seorang perempuan, usia 17 tahun, datang ke IGD dengan keluhan demam,
ruam, dan bengkak di wajah dan ekstremitas. Pada kulit terdapat kemerahan yang
terjadi dikeempat ekstremitas. Pasien mengeluh nyeri pada persendian.

Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik umum, didapatkan keadaan umum pasien lemah,
kesadaran compos mentis, tekanan darah rendah.

Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap : tidak ada kelainan
ASTO tes : +400
Thoraax foto : tidak ditemukan kelainan

2.6 Diagnosis
Demam rematik dd SLE

2.7. Planning
2.7.1 Planning Monitoring
 Vital Sign
 Pemeriksaan Darah Lengkap
 Pemeriksaan elektrolit
 ECG
2.7.2 Planning Diagnosis
 ASTO test
 ANA test
 Swap tenggorok
 CRP

2.7.3 Planinng Terapi


 Infus PZ 7 tpm
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
 Inj. Antrain @500mg
 p/o Asam Salisilat 3x1
11

2.7.4 Planning Edukasi


 Bedrest
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
(penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi).

2.8 Prognosis
 Quo ad vitam (hidup) : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam (fungsi) : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam (sembuh) : Dubia ad bonam

2.9 Follow Up
Minggu, 7 Oktober 2018 Senin , 8 Oktober 2018

KU: lemas (+), demam (-) nyeri KU: lemas (-), demam (-) nyeri
S tenggorokan (-) tenggorokan (-)

O KU: lemah KU: lemah


Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 100/60 mmHg TD: 100/60 mmHg
N: 86x/mnt N: 76x/mnt
RR: 20x/mnt RR: 20x/mnt
Tax: 36,5oC Tax: 36,6oC
K/L: a/i/c/d = + /- /- /- K/L: a/i/c/d = - /- /- /-
Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn
p/ I : simetri +/+, retraksi -/- p/ I : simetri +/+, retraksi -/-
P: fr raba n /n P: fr raba n /n
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : ves+/+ rho -/- whe -/- A : ves+/+ rho -/-
whe -/-

Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani
Soepel Soepel
Ext: AH di keempat akral, edema Ext: AH di keempat akral, edema di
ekstremitas tidak ada keempat ekstremitas

A Demam reumatik dd SLE Demam reumtik dd SLE


12

P  Infus PZ 7 tpm  Infus PZ 7 tpm


 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H6)  Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H6)

 Inj Antrain 3x1 amp  Inj Antrain 3x1 amp

 p/o ASA 2x1 tab  p/o ASA 2x1 tab

Pemeriksaan laboratorium ulang 8 Oktober 2018 08:29

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan


Pemeriksaan
HEMATOLOGI LENGKAP (DL)
Hemoglobin 12,2 13.5-17.5 gr/dL
Leukosit 5,5 4.5-11.0 109/L
Hematokrit 40,0 36-46 %
Trombosit 250 150-450 109/L
FAAL HATI
SGOT 37 10-31 U/L(37oC)
SGPT 13 9-36 U/L(37oC)
GLUKOSA DARAH
Glukosa Sewaktu 89 <200 mg/dL
FAAL GINJAL
Kreatinin Serum 0,8 0,5-1,1 mg/dL
BUN 10 6-20 mg/dL
SERUM ELEKTROLIT
Natrium 139,4 135-155 mmol/L
Kalium 4 3,5-5 mmol/L
Chlorida 103 90-110 mmol/L
ANA test Negatif Negatif
13

BAB 3. PEMBAHASAN

Textbook
Kritera Jones yang telah dimodifikasi AHA 2015
No Kriteria Pasien
Mayor
1 Karditis -
2 Poliartritis +
3 Korea -
4 Eritema Marginatum +
5 Nodulus Subkutan -
Minor
6 Riwayat demam rematik -
7 Artralgia +
8 Demam +
9 Reaktans fase akut -
10 Laju endap darah memanjang +
11 Protein C reaktif -
12 Leukositosis -
13 Pemanjangan interval P-R +
Bukti Infeksi Streptokokus
14 Kenaikan titer antibodi streptokokus +
15 Swap tenggotokan Streptokokus grup A -
16 Demam sklarlantina baru -
14

BAB 4. TINJAUAN PUSTAKA

4. Sistemik Lupus Eritomatosus


4.1. Definisi
Demam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A.

4.2. Epidemiologi
Baik pada negara maju dan negara berkembang, faringitis dan infeksi kulit
(impetigo) adalah infeksi yang paling sering disebabkan oleh grup A streptococci, yang
merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan faringitis, dengan insidens puncak
pada anak usia 5-15 tahun. Faringitis streptokokal jarang terjadi pada 3 tahun pertama
kehidupan dan diantara orang tua. Diperkirakan sebagian besar anak-anak mengalami
1 episode faringitis per tahun, dimana 15-20% disebabkan oleh grup A streptococcus
dan hampir 80% oleh virus patogen. 5
Pada tahun 2015 diperikirakan 30 juta individu menderita demam rematik dan
penyakit jantung rematik di seluruh dunia, dengan sekurangnya 3 jula menderita gagal
jantung dan memerlukan perawatan di rumah sakit berulang. Sebagian besar individu
dengan gagal jantung memerlukan bedah katup jantung dalam 5-10 tahun. Angka
kematian PJR bervariasi dari 0,5 per 100,000 populasi di Denmark, sampai 8,2 per
100,000 populasi di Cina, dan perkiraan angka anual kematian PJR untuk tahun 2015
adalah 305.000 seluruh dunia. Mortality rate pada 100,000 populasi bervariasi dari 1,8
di regio WHO Amerika sampai 7,6 di WHO Asia Tenggara. Dan untuk DALYs (
Disability-adjusted life years ) kehilangan diperkirakan 2,47 per 100,000 poupulasi di
WHO Amerika Serikat sampai 173,4 per 100,000 populasi pada WHO Regio Asia
Tenggara.5

4.3. Etiologi

Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat


interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan3. Infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam
reumatik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulangan1,3,5,6. Untuk
15

menyebabkan serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan


infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan
glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di
saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi
Streptococcus di kulit3.Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan
demam reumatik diketahui dari data sebagai berikut:

1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar
antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A, atau keduanya3.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh
beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan
hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik
akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang
tidak diobati1,3.

Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika

Faktor Predisposisi

Faktor Individu

1. Faktor Genetik

Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu


keluarga maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik
merupakan alasan penting mengapa hanya sebagian pasien yang terkena infeksi
Streptococcus menderita demam reumatik, sedangkan cara penurunannya belum
dapat dipastikan1,3.

2. Jenis Kelamin

Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan


wanita1,3. Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan
pada salah satu jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan
pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit
jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa
gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering ditemukan pada wanita, sedangkan
insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki3.
16

3. Golongan Etnik dan Ras

Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor


lingkungan yang berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan atau
bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah
terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara barat umumnya stenosis mitral
terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung reumatik akut. Tetapi
data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral organik yang berat seringkali
sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah
serangan pertama3.

4. Umur

Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang
sebelum umur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai
dengan insidens infeksi Streptococcus pada anak usia sekolah3.

5. Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain

Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya


sudah diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita
demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.

Faktor-faktor Lingkungan

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk

Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai


predisposisi untuk terjadinya demam reumatik1,3. Termasuk dalam keadaan
sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah
dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk
segera mengobati anak yang sakit sangat kurang, pendapatan yang rendah
sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain3.

2. Iklim dan Geografi

Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi data


akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens
yang tinggi, lebih tinggi daripada yang diduga semula1,3. Di daerah yang
letaknya tinggi agaknya insidens lebih tinggi daripada di dataran rendah3.
17

3. Cuaca

Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi


saluran nafas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat3.

4.4 Patogenesis

Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat, namun


mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya
para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun3,4,5.

Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk


ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S,
hialuronidase, streptokinase, disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta
streptococcal erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya
antibodi3.

Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan


terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi
silang antibodi terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan
antigen mirip antigen streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun1,3.

ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering
digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80%
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer
ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka
pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian
atau lebih antibodi terhadap Streptococcus3.

Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas


bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara
karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma
streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat
kapsul dan kartilago artikular. Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat
menjelaskan keterlibatan organ multiple pada demam reumatik1.

Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima.


Adanya antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik
mendorong penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada
sitotoksitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera
jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan karditis
reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan
bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut.
Ini memberi kesan bahwa antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh
protektif dalam pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya
18

adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera


jaringan pada demam reumatik1.

4.5 Patologi

Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan
proliferatif jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung;
organ lain seperti sendi, kulit, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena
tetapi selalu reversibel3. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan
ikat atau jaringan kolagen. Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat
mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait
dengan keterlibatan jantung, sendi, dan otak.1.

Jantung

Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen


jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada
endokardium dan miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat,
perikardium dapat juga terlibat. Beberapa dengan pada penyakit kolagen lain seperti
lupus eritematosus sistematik atau artristis reumatoid juvenil (pada kedua penyakit ini
serositas biasanya ditunjukkan oleh perikarditis), pada demam reumatik jarang
ditemukan perikaditis tanpa endokarditis atau miokarditis. Perikaditis pada pasien
reumatik bisanya menyatakan adanya pankarditis atau perluasan proses radang1.

Penemuan histologis pada karditis reumatik akut tidak selalu spesifik. Tingkat
perubahan histologis tidak perlu berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal,
bila ada dilatasi jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun gangguan
fungsi jantung mungkin mencolok1.

Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih


jelas. Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi
selular yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid,
bahan granular eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini
meliputi serabut kolagen ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang
sedang berdegenerasi dalam campuran fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan
lain yang terkena oleh proses penyakit, seperti jaringan sendi, dapat menunjukkan
fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi dalam jaringan yang sembuh pada pasien penyakit
kolagen lain1.

Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun
1940, menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular
sel besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling
pusat fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai
’inti mata burung hantu’ dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke
membran inti, atau mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan
19

nukleus kisi-kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel yang khas ini disebut monosit
Anitschkow1.

Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling
sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff ditemukan paling sering
dalam jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis reumatik subakut
atau kronik. Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini menderita
karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam
jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam reumatik1.

Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang mengakibatkan


endokarditis. Proses endokarditis tersebut mengenai jaringan katup serta dinding
endokardium. Radang jaringan katup menyebabkan manifestasi klinis yang mirip
karditis reumatik. Yang paling sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta.
Katup trikuspid jarang terlibat, dan katup pulmonal jarang sekali terlibat1.

Tinjauan etiologi penyakit katup oleh Roberts menunjukkan bahwa etiologi


reumatik 70% dari kasus dapat berasal dari penyakit katup mitral murni (isolated) dan
hanya 13% dari kasus yang berasal dari penyakit katup aorta murni. Pada pasien yang
kedua katupnya (mitral dan aorta) terlibat, kemungkinan etiologi reumatik adalah
97%1.

Radang awal pada endokarditis dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi


katup. Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri dari edema dan linfiltrasi selular
jaringan katup dan korda tendine. Lesi yang khas endokarditis reumatik adalah
’tambalan (patch) MacCallum’, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam atrium
kiri, yakni di atas dasar daun katup mitral posterior. Degenerasi hialin pada katup yang
terkena akan menyebabkan pembentukan veruka pada tepinya, yang akan menghalangi
pendekatan daun-daun katup secara total dan menghalangi penutupan ostium katup.
Dengan radang yang menetap, terjadilah fibrosis dan klasifikasi katup. Klasifikasi
mikroskopik dapat terjadi pada pasien muda dengan penyakit katup reumatik. Jikalau
tidak ada pembalikan proses dan penyembuhan, proses ini akhirnya akan menyebabkan
stenosis dan perubahan pengapuran yang kasar, yang terjadi beberapa tahun
pascaserangan1.

Pasien dengan pankarditis, di samping menderita miokarditis juga menderita


perikarditis. Eksudat fibrin menutupi permukaan viseral maupun sisi permukaan serosa
(serositis), dan cairan serohemoragis yang bervariasi volumenya berada dalam rongga
perikardium1.

Organ-organ lain

Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin


ada pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering mengenai pembuluh darah yang
lebih kecil. Pembuluh darah ini menunjukkan proliferasi sel endotel. Nodul subkutan
20

jarang ditemukan pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini
cenderung ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis
mitral. Histologi nodul subkutan terdiri dari nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi
oleh sel-sel epitel dan mononuklear. Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada
benda Ascoff, suatu tanda patologis karditis reumatik1.

Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis.
Pada artritis reumatik jaringan tulang rawan (kartilago) tidak terlibat, akan tetapi
lapisan sinovia menunjukkan terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus
subkutan, yang membentuk penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo
ekstensor, telah diuraikan di atas1.

Vaskulitis, yang merupakan dasar proses patologis eritema marginatum, juga


menyebabkan lesi ekstrakardial lain seperti keterlibatan paru dan ginjal yang kadang
ditemukan pada demam reumatik akut. Demikian pula, vaskulitis dapat merupakan
proses patologis yang berhubungan dengan korea Sydenham (St. Vitus dance). Ganglia
basalis dan serebellum adalah tempat perubahan patologis yang sering ditemukan pada
pasien dengan gejala korea Sydenham. Perubahan ini terdiri dari perubahan selular
dengan infiltrasi perivaskular oleh sel limfosit1. Pada literatur lain menyebutkan
kelainan-kelainan pada susunan saraf pusat ini (korteks, ganglia basalis, serebellum)
tidak dapat menerangkan terjadinya korea, kelainan tersebut dapat ditemukan pada
penderita demam reumatik yang meninggal dan diautopsi tetapi sebelumnya tidak
pernah menunjukkan gejala korea3.

4.6 Manifestasi Klinis

Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat


dibagi dalam 4 stadium:

Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit
waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi
diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-
tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar.
Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3.

Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari
sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.

Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus
dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3
21

minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan
kemudian3.

Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi


klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik
(gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.

Manifestasi Klinis Mayor

1. Karditis

Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang
cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir1,2. Dua laporan yang
paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam
reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan
auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien
menunjukkan keterlibatan jantung1. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-
80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis5,7.

Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah
fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah
ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat
terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan
endokarditis bakteri1.

Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang


paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan
infeksi virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan
penyebab utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun
laporan dari negara berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik
yang tinggi pada anak muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan
pada anak umur di bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik
meliputi mudah lelah, anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam
ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung
mungkin menunjukkan keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi
gagal jantung.

Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan


satu atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus
22

demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi
keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.

Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi.


Karditis dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi
mitral dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada
auskultasi. Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’ mungkin sebenarnya
mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang
datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan
adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi,
harus selalu dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan
keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya
karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai
3 minggu pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.

Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran


frekuensi jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal
jantung menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia.
Apabila tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur
merupakan tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.

Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total


biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk
dicatat secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti.
Pada umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising patologis, terutama
insufisiensi mitral, adanya kardiomegali secara radiologis yang makin lama makin
membesar, adanya gagal jantung dan tanda perikarditis.

Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi,
muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting,
semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap
anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti
menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung
kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan
katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama
yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi sekunder akibat gagal jantung kiri.
Gagal jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan.

Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral,
merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup
pulmonal dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada
karditis reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus,
dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri.
Pungtum maksimum bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri.
23

Apabila terdapat insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising
stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada
rendah. Bising ini disebut bising Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah
didorong melalui lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian,
menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).

Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik.
Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama
dengan infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini
dekresendo yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada
sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma)
pada sela iga ketiga kiri dengan pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien
membungkuk ke depan dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin
lemah, dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada
infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising
diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar
digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse).
Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien
dengan penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-
Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam
reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.

Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya


gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik
akut, terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan
gagal jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah
sakit terdiri atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik
akut serangan ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul
gejala dan tanda gagal jantung.

Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan
anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali
dengan hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.

Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi


akibat penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat
pankarditis, yaitu karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi
cairan perikardium parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang
menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling
baik di midprekordium pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan
permukaan. Bising gesek dapat didengar pada sistole atau diastole tergantung pada
apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan
cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran perikardium, sehingga dapat
mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada pasien parditis
24

reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak
disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam
reumatik.

Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik,


akibat aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat
pengerasan suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap
kombinasi, yaitu kombinasi dari dua derap (summation gallop).

2. Artritis

Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun
merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan
sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada
penjangkitan demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat
pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai
manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata
Lasegue, ’demam reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung1.

Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai
oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua
manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau
pasif biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat
pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis1.

Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri
ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama
adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang
kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan
sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada
sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap
lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap
salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek
dengan nyata dengan pemberian aspirin1.

Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi.


Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar
diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke
laboratorium untuk memikirkan ’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan
anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat1.
25

3. Korea Sydenham

Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15%
pasien demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf
pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea
Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan
tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral,
yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode
laten antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten
untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah
sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau
lebih1.

Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak
bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata
apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau
sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang
mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai.
Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai ’kantong
cacing’. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam
waktu yang pendek1.

Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di


atas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi
otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa
(pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari
berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus
sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak
mantap1,5. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan
inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas,
pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai1,2,5.
Orangtua sering cemas oleh kecanggungan pasien yang reaksi yang mendadak. Guru
memperhatikan bahwa pasien kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak koperatif.
Sebagai pasien mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku.
Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor akan menghilang dalam waktu
1-2 minggu. Pada kasus yang berat, meskipun dengan pengobatan, korea minor dapat
menetap selama 3-4 bulan, bahkan dapat sampai 2 tahun1.

Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung
menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea
tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada
wanita hamil (’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang
memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada
lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah1.
26

4. Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang


ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor.
Data kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada
lebih-kurang 5% pasien1. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada
kurang dari 10% kasus2. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang
menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi
ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan
tidak melibatkan wajah1,2,5. Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat
memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya
timbul pada stadium awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah
semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien
dengan karditis, seperti halnya nodul subkutan1. Menurut literatur lain, eritema ini
sering ditemukan pada wanita dengan karditis kronis5.

5. Nodulus Subkutan

Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini
jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir
melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir
dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada
permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki.
Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis.
Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul
subkutan pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat
menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak
menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa
minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1.

MANIFESTASI MINOR

Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis
yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa
variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal
dalam waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa
tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya
terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1.

Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti
LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu
yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga
termasuk kriteria minor5.
27

Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung
oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal
jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri
mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat
disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi1.

Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal
jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi.
Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung.
Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak
dianggap sebagai kriteria diagnosis1.

Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa3.

Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini
baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu
dapat mengalami reaktivasi penyakitnya3.

Lama Serangan Demam Reumatik

Lama serangan demam reumatik secara keseluruhan (bukan lama masing-masing


manifestasi) berbeda tergantung pada kriteria yang digunakan, dan pada manifestasi
klinis. Serangan yang terpendek merupakan ciri artritis, yang lebih panjang terjadi pada
korea dan serangan terpanjang adalah karditis1.

Pada serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik akhir adalah
hilangnya manifestasi klinis akut, dan lebih panjang jika titik akhir adalah kembalinya
laju endap darah manjadi normal. Walaupun demikian dalam beberapa kasus
manifestasi klinis mayor tertentu (misalnya korea, dan kadang eritema marginatum dan
nodulus) dapat menetap atau bahkan muncul pertama kalinya setelah fase akut telah
kembali normal1.

Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu
(pada sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses
reumatik aktif ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini menderita
demam reumatik ”kronik”. Di negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil
kasus (3% atau kurang). Sebagian besar pasien dengan demam reumatik yang
berkepanjangan menderita beberapa kali serangan. Di negara tempat karditis berat dan
kumat sering terjadi, frekuensi demam reumatik kronik mungkin sekali lebih tinggi1.
28

Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut:
artritis, bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, korea,
eritema marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang
berat juga merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat berlangsung
berlarut-larut dan menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau tahun. Laju
endap darah (LED) yang terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika
tidak disertai tanda lain1.

4.7 Diagnosis

Demam reumatik tidak mempunyai organ sasaran tertentu. Demam reumatik


dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, secara tersendiri atau bersama. Tidak
adanya manifestasi (kecuali korea Sydenham ’murni) maupun uji laboratorium yang
cukup khas untuk diagnosis, karenanya diagnosis didasarkan pada kombinasi beberapa
penemuan. Makin banyak manifestasi, makin kuat pula diagnosis. Karena prognosis
bergantung pada manifestasi klinis, maka pada diagnosis harus disebut manifestasi
klinisnya, misalnya ’demam reumatik dengan poliartritis saja’.

Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria diagnosis yang
didasarkan kepada kombinasi manifestasi klinis dan penemuan laboratorium. Tanda
klinis yang paling berguna disebut sebagai manifestasi mayor, yakni karditis,
poliartritis, korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Istilah ’mayor’
berkaitan dengan diagnosis dan bukan dengan frekuensi atau derajat kelainan. Tanda
dan gejala lain, meski kurang khas, masih dapat bermanfaat, disebut kriteria minor yang
meliputi demam, artralgia, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
sebelumnya, pemanjangan interval P-R dan reaktan fase akut (LED, PCR). Dua
manifestasi mayor, atau satu manifestasi mayor dan dua minor, menunjukkan
kemungkinan besar demam reumatik1.2.5.

Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti adanya infeksi
sterptokokus yang baru untuk mandukung diagnosis. Terdapat dua pengecualian pada
perlunya dukungan ini; pertama pada beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan
kedua pada pasien dengan karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi
streptokokus mungkin telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien tersebut
pertama diperiksa. Kriteria Jones ditinjau kembali pada tahun 1984 tanpa perubahan
yang berarti (Tabel 1). Tujuan semula Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis
demam reumatik akut, yang sampai sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih
sering terjadi, paling sering pada pasien dengan poliartritis sebagai manifestasi tunggal.
Manifestasi minor sangat tidak spesifik dan infeksi sterptokokus terdapat dimana-
mana, sehingga kebutuhan pelengkap untuk diagnosis dengan mudah dapat dipenuhi
sehingga menyebabkan overdiagnosis1.

Yang sering dirancukan dengan demam reumatik adalah golongan penyakit


kolagen vaskular, khususnya artritis reumatoid juvenil. Umumnya bukti adanya infeksi
29

streptokokus sebelumnya dapat membedakan penyakit ini. Penemuan klinis tertentu


pada artritis reumatoid juvenil yang khas meliputi keterlibatan sendi kecil perifer,
keterlibatan sendi besar yang simetris tanpa artritis migrans, sendi yang terkena pucat,
perjalanan penyakitnya lebih lamban dan responsif terhadap salisilat. Meski sebagian
artritis reumatoid berespons cepat terhadap salisilat, sebagian besar pasien sembuh
lebih lambat, walaupun dengan dosis salisilat yang besar. Jika pasien gagal berespons
sesudah 24-48 jam setelah dimulainya terapi salisilat, ia lebih mungkin menderita
artritis reumatoid daripada demam reumatik akut1.

Beberapa penyakit harus dimasukkan dalam diagnosis banding, termasuk lupus


eritematosus sistematik, penyakit jaringan ikat campuran, artritis reaktif yang
mencakup artritis pascasterptokokus, penyakit serum, dan artritis infeksi, terutama
artritis akibat gonokokus yang melibatkan beberapa sendi. Pemeriksaan serologis,
termasuk panel antibodi anti-nuklear (ANA), dan biakan biasanya dapat membantu
membedakan keadaan-keadaan tersebut. Pasien penyakit sel sikel atau
hemoglobinopati lain, dan kadang pasien leukemia, mungkin datang dengan keluhan
poliartritis. Pemeriksaan darah dan biopsi sumsum tulang biasanya memastikan
diagnosis1.

Karditis atau perikarditis reumatik harus dibedakan dengan karditis akibat


penyebab lain, termasuk infeksi bakteri, virus, atau mikoplasma, serta penyakit kolagen
vaskular. Endokarditis harus dibedakan dari endokarditis pada kelainan katup bawaan
atau prolaps katup mitral. Ekokardiografi berperan penting untuk identifikasi kelainan
bawaan dan prolaps katup mitral. Penyakit Libman Sacks, endokarditis yang
bersamaan dengan lupus eritematosus sistematik, jarang sekali terlihat pada anak.
Pasien dengan hipertiroidisme, terutama yang disertai dengan blok A-V derajat I dapat
dirancukan dengan insufisiensi mitral reumatik1.

Berbagai penyakit neurologis degeneratif, koreoatetosis kongenital, spasme


habitualis, beberapa tumor otak, dan kelainan tingkah laku dapat dirancukan dengan
korea Sydenham. Penyembuhan spontan membantu diagnosis korea Sydenham, karena
biasanya pada kelainan lain apabila tidak diobati korea akan cendrung menetap atau
progresif. Teknik diagnosis yang lebih baru, antara lain computerized axial tomography
(CAT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI) berguna dalam memastikan
kelainan-kelainan tersebut1.

Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah bila pasien
yang hanya menunjukan satu kriteria mayor, khususnya pasien poliartritis. Masalah
jarang timbul apabila ditemukan dua kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap
pasien sementara pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema,
terutama bila terdapat artritis kumat tanpa bukti faringitis streptokokus sebelumnya1.
30

Peninjauan Kembali Kriteria Diagnosis

Kesulitan untuk menegakkan diagnosis dengan tepat menyebabkan Kelompok


Studi WHO secara berhati-hati meninjau kembali kriteria Jones dan memandang perlu
untuk mengadakan beberapa perubahan. Kelompok ini menyimpulkan bahwa bukti
adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya adalah menyimpulkan penting,
mengingat fasilitas laboratorium telah banyak tersedia di banyak negara selama dua
puluh tahun terakhir ini. Uji laboratorium untuk biakan dan antibodi sterptokokus saat
ini sudah dapat diperoleh di banyak negara. Juga disimpulkan bahwa artralgia harus
dipertahankan sebagai manifestasi minor, bila tidak maka akan terjadi overdiagnosis1.

Di negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk pertama


kalinya sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan anamnesis, pemeriksaan fisis,
ataupun pemeriksaan laboratorium untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis.
Untuk membuat kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus,
disetujui bahwa pada pasien dengan karditis yang datang diam-diam atau datang
terlambat, diagnosis demam reumatik dimungkinkan pada pasien yang manifestasi
satu-satunya adalah karditis aktif, sebagaimana halnya pada diagnosis korea
Sydenham. Namun harus ditekankan bahwa dasar diagnosis tersebut haruslah secara
hati-hati ditentukan untuk membedakan dari penyakit jantung valvular kronik yang
diduga reumatik, dari mioperikarditis, dan dari kerdiomiopati1.

Akhirnya kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam reumatik akut


kumat pada pasien yang telah diketahui pernah menderita demam reumatik harus
ditentukan secara tersendiri. Pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau
penyakit jantung reumatik yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas
manifestasi minor ditambah bukti adanya infeksi sterptokokus yang baru. Diagnosis
demam reumatik kumat mungkin baru dapat ditegakkan sesudah waktu yang cukup
lama untuk menyingkirkan diagnosis lain. Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus
diingat kemungkinkan endokarditis infektif yang mungkin secara klinis menyerupai
demam reumatik kumat. Kelambatan diagnosis endokarditis infektif dapat berakibat
amat serius1.

Kriteria yang Dianjurkan

Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun
1982 (Tabel 1) dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum.
Pada tiga golongan pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik
diterima tanpa adanya dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua
manifestasi minor. Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk infeksi
streptokokus sebelumnya dapat dikesampingkan1,2,5.

 Korea dalam praktek diagnosis korea reumatik ditegakan apabila korea


merupakan manifestasi klinis tunggal, sesudah sindrom grenyet (tic) dan
31

penyebab gerakan koreiform lain (misalnya lupus) disingkirkan. Kelompok


WHO secara tegas menyatakan bahwa korea murni dapat dikecualikan dari
pemakaian kriteria Jones.

 Karditis datang diam-diam atau datangnya terlambat. Pasien kelompok ini


biasanya mempunyai riwayat demam reumatik yang samar-samar atau tidak
ada sama sekali, tetapi selama periode beberapa bulan timbul gejala dan tanda
umum seperti rasa tidak enak badan, lesu, anoreksia, dengan penampakan sakit
kronik. Mereka sering datang dengan gagal jantung, dan pemeriksaan fisis dan
laboratorium menunjukkan adanya penyakit jantung valvular. Jenis miokarditis
akibat kelainan lain harus disingkirkan. Tanda radang aktif (biasanya reaksi
fase akut seperti LED dan PCR) diperlukan untuk membedakannya dari
penyakit katup reumatik inaktif. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk
memperkuat atau menyingkirkan adanya penyakit katup kronik. Endokarditis
infektif mudah dirancukan dengan keadaan ini.

 Demam reumatik kumat. Pada pasien penyakit reumatik yang telah menetap
(establihed) yang telah tidak minum obat antiradang (salisilat atau
kortikosteroid) selama paling sedikit dua bulan, terdapatnya satu kriteria mayor
atau demam, artralgia, atau naiknya reaktan fase akut memberikan kesan
dugaan diagnosis demam reumatik kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi
sterptokokus sebelumnya (misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk
diagnosis yang tepat diperlukan pengamatan yang cukup lama untuk
menyingkirkan penyakit lain dan komplikasi penyakit jantung reumatik seperti
endokarditis infektif.

Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang kumat.


Munculnya bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau adanya bising gesek
perikadial biasanya membuktikan diagnosis karditis. Adanya nodul subkutan atau
eritema marginatum juga merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis aktif.
32

TABEL 1. KRITERIA JONES (REVISI) UNTUK PEDOMAN DALAM


DIAGNOSIS DEMAM REUMATIK

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor

Karditis Klinik
Poliartritis - Riwayat demam reumatik atau penyakit
Korea jantung reumatik
Eritema marginatum - Artralgia
Nodulus subkutan - Demam
Laboratorium
- Reaktans fase akut
- Laju endap darah (LED)
- Protein C reaktif
- Leukositosis
- Pemanjangan interval P-R
ditambah

Bukti adanya infeksi streptokokus


- Kenaikan titer antibodi antisterptokokus:
ASTO/lain
- Biakan farings positif untuk streptokokus
grup A
- Demam skarlatina yang baru

Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor,
menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh adanya
infeksi streptokokus grup A sebelumnya.

* Committee on Rheumatic Fever and Bacterial Endocarditis, 1982

4.8 Diagnosa Banding

Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin
memberi gejala yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung
reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai
demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat
infeksi Streptococcus sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam
reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat
infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus
dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan3.

Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala
yang mirip dengan demam reumatik (Tabel 2). Diagnosis banding lainnya ialah purpura
33

Henoch-Schoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca


infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis bakterialis sub akut3.

TABEL 3. DIAGNOSIS BANDING DEMAM REUMATIK3

Demam reumatik Artritis reumatoid Lupus eritomatosus


sistemik
Umur 5-15 tahun 5 tahun 10 tahun
Rasio kelamin sama Wanita 1,5:1 Wanita 5:1
Kelainan sendi
Sakit Hebat sedang Biasanya ringan
Bengkak Non spesifik Non spesifik Non spesifik
Kelainan Ro Tidak ada Sering (lanjut) Kadang-kadang
Kelainan kulit Eritema marginatum Makular Lesi kupu-kupu
Karditis ya Jarang Lanjut
Laboratorium Kadang-kadang
Lateks ± 10%
Aglutinasi sel - ± 10%
domba - ± 5%
Sediaa sel LE
Respon terhadap cepat Biasanya lambat Lambat / -
salisilat

4.9 Tatalaksana

Dasar pengobatan demam rematik terdiri dari : istirahat berupa tirah baring,
eradikasi kuman streptokok, penggunaan obat antiradang, pengobatan suportif,
profilaksis sekunder, penyuluhan, tindakan intervensi atau operasi. Eradikasi kuman
streptokok dilakukan dengan pemberian penisilin prokain 600.000 unit IM selama 10
hari. Untuk Negara berkembang WHO menganjurkan penggunaan penisilin benzatin
1,2 juta unit IM. Bila alergi terhadap penisilin digunakan eritromisin 20 mg/kg bb dua
kali sehari selama 10 hari.235

Untuk pemberian obat antiradang tergantung dari berat ringannya dan ada
tidaknya karditis. Obat yang dipakai secara luas adalah salisilat dan steroid karena
keduanya efektif mengurangi gejala demam, kelainan sendi, serta fase reaksi akut.
Steroid umumnya lebih cepat dalam memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan
akan bertambah dan laju endap darah cepat menurun. Prednisone hanya digunakan
pada karditis dengan kardiomegali atau dengan gagal jantung.

Pengobatan suportif dapat berupa diet tinggi kalori dan protein, vitamin dan
pengobatan terhadap komplikasi yang muncul. Pada penderita dengan gagal jantung,
diet disesuaikan dengan diet gagal jantung. Profilaksis sekunder diperlukan untuk
mencegah serangan ulang demam rematik. Obat yang diberikan adalah penisilin
benzatin 1,2 juta unit setiap bulan. Bila penderita menolak untuk disuntik maka dapat
34

diganti dengan penisilin oral 2 X 200.000 unit/hari. Bila terdapat alergi terhadap
penisilin maka dapat diganti dengan sulfadiazine 1000 mg/hari untuk anak diatas 12
tahun dan 500 mg/hari untuk anak 12 tahun kebawah. Lama pemberian tergantung pada
ada tidaknya dan beratnya karditis.

Penyuluhan perlu diberikan kepada penderita dan orang tuanya terutama


penjelasan mengenai keadaan penderita dan ketaatan menjalani pengobatan profilaksis
sekunder. Tindakan operasi umumnya diperlukan pada penderita demam rematik yang
meninggalkan gejala sisa berupa penyakit jantung rematik. Umumnya dilakukan pada
orang dewasa, pada anak indikasi bedah biasanya adalah kardiomegali berat yang
menetap dan mengganggu kehidupan normal, kardiomegali progresif, serta gagal
jantung yang tidak dapat diatasi dengan terapi medik. Criteria indikasi lainnya
tergantung dari lesi yang ada, serta kemampuan pelaksana operasi.

A. pengobatan demam rematik

Antibiotic Dosis Cara

Benzathine Penicillin G: 600,000 U untuk pasien BB 27 kg. IM.

1,2000,000 u untuk pasien BB > 27 kg.

A single dose.

Penicillin V (phenoxymethyl anak: 250 mg 2-3 kali sehari, selama 10 hari. Oral.
peni):
dewasa: 500 mg 2-3 kali sehari, selama 10
hari

Erythromycin: jika alergi anak: 40 mg/kg/hari 2-4 kali sehari.selama Oral.


penisilin 10 hari

dewasa: 250 mg 4x1 selama 10 hari.

Clindamycin: anak: 40 mg/kg/hari selama 10 hari Oral.

umum: 300 mg selama 10 hari.

B. Prophylaxis.

Antibiotic Dosis Cara

Benzathine Penicillin G: 1,200,000U setiap 4 minggu atau 3 minggu IM.


35

Penicillin V: 250 mg 2 kali sehari. Oral.

Erythromycin: 250 mg 2 kali sehari. Oral.

4.10 Prognosis

Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat


keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi
yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering
ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas,
perkembangan penisilin juga mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi
penyakit valvular kronik setelah serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin,
persentase pasien berkembang menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70%
dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya sebesar 9-39%1,5.

Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut


hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka
penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur.
Informasi ini harus disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan
prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat1
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Bashal, F.. 2013. Hematological Disorders in Patients with Systemic Lupus


Erythematosus, The Open Rheumatology Journal, 7(1), pp. 87–95. DOI:
10.2174/1874312901307010087.

2. Michael, H. Gewitz et. al. 2015. Revision of the Jones Criteria for the Diagnosis of
Acute Rheumatic Fever in the Era of Doppler Echocardiography A Scientific
Statement From the American Heart Association. the American Heart
Association Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the Young. 1806 – 1818
DOI: 10.1161/CIR.0000000000000205.

3. World Health Organization. 2015. Rheumatic fever and rheumatic heart disease.

4. Burke, Allen Patric, et. al. 2015. Pathology of Rheumatic Heart Disease. (Online)
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/1962779-overview

5. The Cardiac Society of Australia and New Zealand. 2014. New Zealand Guideline
for Rheumaic Fever. Heart Foundation Guideline. 11-44.

Anda mungkin juga menyukai