LAPORAN KASUS
Oleh
Adhang Isdyarsa
132011101060
Pembimbing
LAPORAN KASUS
Oleh
Adhang Isdyarsa
132011101060
Pembimbing
BAB 1. PENDAHULUAN
Demam rematik akut adalah kelainan imunologik yang terjadi akibat reaksi lambat
infeksi Streptococcus beta hemolyticus Group A di faring. Biasanya timbul 1-5 minggu
(rata-rata 3minggu) setelah infeksi tersebut.Demam Rematik merupakan penyebab utama
penyakit jantung didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara
berkembang dengan keadaan sosial ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Secara umum,
penyakit ini merupakan demam akut yang mengakibatkan adanya peradangan pada sendi,
jantung, kulit dan system syaraf. Walaupun sebutan demam rematik akut menunjukkan
penekanan pada peradangan sendi, namun yang harus diwaspadai adalah gejala sisa yang
terjadi yaitu penyakit jantung rematik yang berupa kelainan pada katup jantung karena
dapat berakibat fatal apabila terjadi serangan akut.
Insidens penyakit ini di negara maju telah menurun dengan tajam selama 6 dekade
terakhir, meskipun begitu dalam 10 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan kasus
demam reumatik yang mencolok di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hal tersebut
mengingatkan kita bahwa demam reumatik belum seluruhnya terberantas, dan selalu
terdapat kemungkinan untuk menimbulkan masalah kesehatan masyarakat baik di negara
berkembang maupun negara maju.
Suatu faktor penting yang mempengaruhi insidens demam reumatik adalah
ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit. Sampai sekarang belum tersedia uji spesifik
yang tepat untuk menegakkan diagnosis demam reumatik akut. Terdapat kesan terdapatnya
overdiagnosis demam reumatik, sehingga diharapkan dengan kriteria diagnosis yang tepat,
pengertian dan kemampuan untuk mengenal penyakit ini serta kesadaran para dokter untuk
menanggulanginya merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan insidens
penyakit ini.
2
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan suami pasien pada
tanggal 5 Oktober 2018 di Ruang Anturium RSD dr. Soebandi Jember.
terutama pada jari jari tangan dan kaki. Nafsu makan pasien turun, karena dalam beberapa
hari ini sering merasakan mual dan ketika makan selalu dimuntahkan.
BB : 48 kg
TB : 150 cm
BMI = Berat Badan (kg) = 48
b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak membesar
- JVP : tidak meningkat
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S, redup
Redup pada ICS II PSL D s/dICS II PSL S
sehingga batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
6
2. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
Bentuk thoraks normal Bentuk thoraks normal
Simetris Simetris
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Deviasi trakea -
Palpasi: Palpasi:
Letak trakea dan ictus kordis Nyeri tekan –
normal Ruang antar iga teraba
Ruang antar iga teraba normal normal
Nyeri tekan – Ekspansi dada asimetris
Ekspansi dada asimetris N N
N N N N
N N N N
N N Fremitus raba
Fremitus raba N N
N N N N
N N N N
N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
7
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
V V V V
V V V V
V V V V
Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
d. Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : soepel (-),nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-), shifting
dullness (-), undulasi (-)
- Perkusi : timpani
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema +/+, eritema +/+
- Inferior : akral hangat +/+, edema +/+, eritema +/+
8
2.5 Resume
Anamnesis
Seorang perempuan, usia 17 tahun, datang ke IGD dengan keluhan demam,
ruam, dan bengkak di wajah dan ekstremitas. Pada kulit terdapat kemerahan yang
terjadi dikeempat ekstremitas. Pasien mengeluh nyeri pada persendian.
Pemeriksaan Fisik:
Pada pemeriksaan fisik umum, didapatkan keadaan umum pasien lemah,
kesadaran compos mentis, tekanan darah rendah.
Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap : tidak ada kelainan
ASTO tes : +400
Thoraax foto : tidak ditemukan kelainan
2.6 Diagnosis
Demam rematik dd SLE
2.7. Planning
2.7.1 Planning Monitoring
Vital Sign
Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan elektrolit
ECG
2.7.2 Planning Diagnosis
ASTO test
ANA test
Swap tenggorok
CRP
2.8 Prognosis
Quo ad vitam (hidup) : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam (fungsi) : Dubia ad bonam
Quo ad functionam (sembuh) : Dubia ad bonam
2.9 Follow Up
Minggu, 7 Oktober 2018 Senin , 8 Oktober 2018
KU: lemas (+), demam (-) nyeri KU: lemas (-), demam (-) nyeri
S tenggorokan (-) tenggorokan (-)
Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani
Soepel Soepel
Ext: AH di keempat akral, edema Ext: AH di keempat akral, edema di
ekstremitas tidak ada keempat ekstremitas
BAB 3. PEMBAHASAN
Textbook
Kritera Jones yang telah dimodifikasi AHA 2015
No Kriteria Pasien
Mayor
1 Karditis -
2 Poliartritis +
3 Korea -
4 Eritema Marginatum +
5 Nodulus Subkutan -
Minor
6 Riwayat demam rematik -
7 Artralgia +
8 Demam +
9 Reaktans fase akut -
10 Laju endap darah memanjang +
11 Protein C reaktif -
12 Leukositosis -
13 Pemanjangan interval P-R +
Bukti Infeksi Streptokokus
14 Kenaikan titer antibodi streptokokus +
15 Swap tenggotokan Streptokokus grup A -
16 Demam sklarlantina baru -
14
4.2. Epidemiologi
Baik pada negara maju dan negara berkembang, faringitis dan infeksi kulit
(impetigo) adalah infeksi yang paling sering disebabkan oleh grup A streptococci, yang
merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan faringitis, dengan insidens puncak
pada anak usia 5-15 tahun. Faringitis streptokokal jarang terjadi pada 3 tahun pertama
kehidupan dan diantara orang tua. Diperkirakan sebagian besar anak-anak mengalami
1 episode faringitis per tahun, dimana 15-20% disebabkan oleh grup A streptococcus
dan hampir 80% oleh virus patogen. 5
Pada tahun 2015 diperikirakan 30 juta individu menderita demam rematik dan
penyakit jantung rematik di seluruh dunia, dengan sekurangnya 3 jula menderita gagal
jantung dan memerlukan perawatan di rumah sakit berulang. Sebagian besar individu
dengan gagal jantung memerlukan bedah katup jantung dalam 5-10 tahun. Angka
kematian PJR bervariasi dari 0,5 per 100,000 populasi di Denmark, sampai 8,2 per
100,000 populasi di Cina, dan perkiraan angka anual kematian PJR untuk tahun 2015
adalah 305.000 seluruh dunia. Mortality rate pada 100,000 populasi bervariasi dari 1,8
di regio WHO Amerika sampai 7,6 di WHO Asia Tenggara. Dan untuk DALYs (
Disability-adjusted life years ) kehilangan diperkirakan 2,47 per 100,000 poupulasi di
WHO Amerika Serikat sampai 173,4 per 100,000 populasi pada WHO Regio Asia
Tenggara.5
4.3. Etiologi
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar
antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A, atau keduanya3.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh
beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan
hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik
akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang
tidak diobati1,3.
Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika
Faktor Predisposisi
Faktor Individu
1. Faktor Genetik
2. Jenis Kelamin
4. Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang
sebelum umur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai
dengan insidens infeksi Streptococcus pada anak usia sekolah3.
Faktor-faktor Lingkungan
3. Cuaca
4.4 Patogenesis
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering
digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80%
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer
ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka
pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian
atau lebih antibodi terhadap Streptococcus3.
4.5 Patologi
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan
proliferatif jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung;
organ lain seperti sendi, kulit, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena
tetapi selalu reversibel3. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan
ikat atau jaringan kolagen. Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat
mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait
dengan keterlibatan jantung, sendi, dan otak.1.
Jantung
Penemuan histologis pada karditis reumatik akut tidak selalu spesifik. Tingkat
perubahan histologis tidak perlu berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal,
bila ada dilatasi jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun gangguan
fungsi jantung mungkin mencolok1.
Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun
1940, menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular
sel besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling
pusat fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai
’inti mata burung hantu’ dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke
membran inti, atau mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan
19
nukleus kisi-kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel yang khas ini disebut monosit
Anitschkow1.
Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling
sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff ditemukan paling sering
dalam jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis reumatik subakut
atau kronik. Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini menderita
karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam
jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam reumatik1.
Organ-organ lain
jarang ditemukan pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini
cenderung ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis
mitral. Histologi nodul subkutan terdiri dari nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi
oleh sel-sel epitel dan mononuklear. Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada
benda Ascoff, suatu tanda patologis karditis reumatik1.
Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis.
Pada artritis reumatik jaringan tulang rawan (kartilago) tidak terlibat, akan tetapi
lapisan sinovia menunjukkan terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus
subkutan, yang membentuk penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo
ekstensor, telah diuraikan di atas1.
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit
waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi
diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-
tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar.
Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari
sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus
dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3
21
minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan
kemudian3.
Stadium III
1. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang
cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir1,2. Dua laporan yang
paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam
reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan
auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien
menunjukkan keterlibatan jantung1. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-
80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis5,7.
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah
fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah
ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat
terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan
endokarditis bakteri1.
demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi
keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi,
muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting,
semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap
anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti
menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung
kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan
katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama
yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi sekunder akibat gagal jantung kiri.
Gagal jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan.
Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral,
merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup
pulmonal dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada
karditis reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus,
dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri.
Pungtum maksimum bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri.
23
Apabila terdapat insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising
stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada
rendah. Bising ini disebut bising Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah
didorong melalui lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian,
menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik.
Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama
dengan infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini
dekresendo yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada
sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma)
pada sela iga ketiga kiri dengan pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien
membungkuk ke depan dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin
lemah, dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada
infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising
diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar
digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse).
Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien
dengan penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-
Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam
reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan
anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali
dengan hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.
reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak
disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam
reumatik.
2. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun
merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan
sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada
penjangkitan demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat
pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai
manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata
Lasegue, ’demam reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung1.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai
oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua
manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau
pasif biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat
pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis1.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri
ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama
adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang
kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan
sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada
sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap
lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap
salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek
dengan nyata dengan pemberian aspirin1.
3. Korea Sydenham
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15%
pasien demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf
pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea
Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan
tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral,
yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode
laten antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten
untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah
sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau
lebih1.
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak
bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata
apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau
sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang
mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai.
Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai ’kantong
cacing’. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam
waktu yang pendek1.
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung
menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea
tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada
wanita hamil (’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang
memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada
lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah1.
26
4. Eritema Marginatum
5. Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini
jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir
melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir
dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada
permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki.
Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis.
Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul
subkutan pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat
menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak
menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa
minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1.
MANIFESTASI MINOR
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis
yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa
variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal
dalam waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa
tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya
terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1.
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti
LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu
yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga
termasuk kriteria minor5.
27
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung
oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal
jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri
mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat
disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi1.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal
jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi.
Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung.
Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak
dianggap sebagai kriteria diagnosis1.
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa3.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini
baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu
dapat mengalami reaktivasi penyakitnya3.
Pada serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik akhir adalah
hilangnya manifestasi klinis akut, dan lebih panjang jika titik akhir adalah kembalinya
laju endap darah manjadi normal. Walaupun demikian dalam beberapa kasus
manifestasi klinis mayor tertentu (misalnya korea, dan kadang eritema marginatum dan
nodulus) dapat menetap atau bahkan muncul pertama kalinya setelah fase akut telah
kembali normal1.
Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu
(pada sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses
reumatik aktif ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini menderita
demam reumatik ”kronik”. Di negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil
kasus (3% atau kurang). Sebagian besar pasien dengan demam reumatik yang
berkepanjangan menderita beberapa kali serangan. Di negara tempat karditis berat dan
kumat sering terjadi, frekuensi demam reumatik kronik mungkin sekali lebih tinggi1.
28
Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut:
artritis, bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, korea,
eritema marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang
berat juga merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat berlangsung
berlarut-larut dan menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau tahun. Laju
endap darah (LED) yang terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika
tidak disertai tanda lain1.
4.7 Diagnosis
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria diagnosis yang
didasarkan kepada kombinasi manifestasi klinis dan penemuan laboratorium. Tanda
klinis yang paling berguna disebut sebagai manifestasi mayor, yakni karditis,
poliartritis, korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Istilah ’mayor’
berkaitan dengan diagnosis dan bukan dengan frekuensi atau derajat kelainan. Tanda
dan gejala lain, meski kurang khas, masih dapat bermanfaat, disebut kriteria minor yang
meliputi demam, artralgia, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
sebelumnya, pemanjangan interval P-R dan reaktan fase akut (LED, PCR). Dua
manifestasi mayor, atau satu manifestasi mayor dan dua minor, menunjukkan
kemungkinan besar demam reumatik1.2.5.
Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti adanya infeksi
sterptokokus yang baru untuk mandukung diagnosis. Terdapat dua pengecualian pada
perlunya dukungan ini; pertama pada beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan
kedua pada pasien dengan karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi
streptokokus mungkin telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien tersebut
pertama diperiksa. Kriteria Jones ditinjau kembali pada tahun 1984 tanpa perubahan
yang berarti (Tabel 1). Tujuan semula Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis
demam reumatik akut, yang sampai sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih
sering terjadi, paling sering pada pasien dengan poliartritis sebagai manifestasi tunggal.
Manifestasi minor sangat tidak spesifik dan infeksi sterptokokus terdapat dimana-
mana, sehingga kebutuhan pelengkap untuk diagnosis dengan mudah dapat dipenuhi
sehingga menyebabkan overdiagnosis1.
Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah bila pasien
yang hanya menunjukan satu kriteria mayor, khususnya pasien poliartritis. Masalah
jarang timbul apabila ditemukan dua kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap
pasien sementara pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema,
terutama bila terdapat artritis kumat tanpa bukti faringitis streptokokus sebelumnya1.
30
Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun
1982 (Tabel 1) dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum.
Pada tiga golongan pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik
diterima tanpa adanya dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua
manifestasi minor. Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk infeksi
streptokokus sebelumnya dapat dikesampingkan1,2,5.
Demam reumatik kumat. Pada pasien penyakit reumatik yang telah menetap
(establihed) yang telah tidak minum obat antiradang (salisilat atau
kortikosteroid) selama paling sedikit dua bulan, terdapatnya satu kriteria mayor
atau demam, artralgia, atau naiknya reaktan fase akut memberikan kesan
dugaan diagnosis demam reumatik kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi
sterptokokus sebelumnya (misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk
diagnosis yang tepat diperlukan pengamatan yang cukup lama untuk
menyingkirkan penyakit lain dan komplikasi penyakit jantung reumatik seperti
endokarditis infektif.
Karditis Klinik
Poliartritis - Riwayat demam reumatik atau penyakit
Korea jantung reumatik
Eritema marginatum - Artralgia
Nodulus subkutan - Demam
Laboratorium
- Reaktans fase akut
- Laju endap darah (LED)
- Protein C reaktif
- Leukositosis
- Pemanjangan interval P-R
ditambah
Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor,
menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh adanya
infeksi streptokokus grup A sebelumnya.
Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin
memberi gejala yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung
reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai
demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat
infeksi Streptococcus sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam
reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat
infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus
dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan3.
Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala
yang mirip dengan demam reumatik (Tabel 2). Diagnosis banding lainnya ialah purpura
33
4.9 Tatalaksana
Dasar pengobatan demam rematik terdiri dari : istirahat berupa tirah baring,
eradikasi kuman streptokok, penggunaan obat antiradang, pengobatan suportif,
profilaksis sekunder, penyuluhan, tindakan intervensi atau operasi. Eradikasi kuman
streptokok dilakukan dengan pemberian penisilin prokain 600.000 unit IM selama 10
hari. Untuk Negara berkembang WHO menganjurkan penggunaan penisilin benzatin
1,2 juta unit IM. Bila alergi terhadap penisilin digunakan eritromisin 20 mg/kg bb dua
kali sehari selama 10 hari.235
Untuk pemberian obat antiradang tergantung dari berat ringannya dan ada
tidaknya karditis. Obat yang dipakai secara luas adalah salisilat dan steroid karena
keduanya efektif mengurangi gejala demam, kelainan sendi, serta fase reaksi akut.
Steroid umumnya lebih cepat dalam memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan
akan bertambah dan laju endap darah cepat menurun. Prednisone hanya digunakan
pada karditis dengan kardiomegali atau dengan gagal jantung.
Pengobatan suportif dapat berupa diet tinggi kalori dan protein, vitamin dan
pengobatan terhadap komplikasi yang muncul. Pada penderita dengan gagal jantung,
diet disesuaikan dengan diet gagal jantung. Profilaksis sekunder diperlukan untuk
mencegah serangan ulang demam rematik. Obat yang diberikan adalah penisilin
benzatin 1,2 juta unit setiap bulan. Bila penderita menolak untuk disuntik maka dapat
34
diganti dengan penisilin oral 2 X 200.000 unit/hari. Bila terdapat alergi terhadap
penisilin maka dapat diganti dengan sulfadiazine 1000 mg/hari untuk anak diatas 12
tahun dan 500 mg/hari untuk anak 12 tahun kebawah. Lama pemberian tergantung pada
ada tidaknya dan beratnya karditis.
A single dose.
Penicillin V (phenoxymethyl anak: 250 mg 2-3 kali sehari, selama 10 hari. Oral.
peni):
dewasa: 500 mg 2-3 kali sehari, selama 10
hari
B. Prophylaxis.
4.10 Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
2. Michael, H. Gewitz et. al. 2015. Revision of the Jones Criteria for the Diagnosis of
Acute Rheumatic Fever in the Era of Doppler Echocardiography A Scientific
Statement From the American Heart Association. the American Heart
Association Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki
Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the Young. 1806 – 1818
DOI: 10.1161/CIR.0000000000000205.
3. World Health Organization. 2015. Rheumatic fever and rheumatic heart disease.
4. Burke, Allen Patric, et. al. 2015. Pathology of Rheumatic Heart Disease. (Online)
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/1962779-overview
5. The Cardiac Society of Australia and New Zealand. 2014. New Zealand Guideline
for Rheumaic Fever. Heart Foundation Guideline. 11-44.