Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh keragaman jamur Metarhizium anisopliae terhadap mortalitas larva hama

Oryctes rhinoceros dan Lepidiota stigma

Pada penelitian pengaruh keragaman jamur Metarhizium anisopliae terhadap


mortalitas larva hama Oryctes rhinoceros dan Lepidiota stigma didapatkan hasil setiap varian
isolat M. anisopliae memiliki kemampuan yang sama dalam mengendalikan O.
rhinocerosdan L. stigma. Dalam penelitian ini varian isolat M. Anisopliae yang digunakan
antara lain varian UGM (V1), varian Karimun Jawa (V2), varian Magelang (V3), dan varian
Semarang (V4). Selain itu juga dilakukan perlakuan kontrol (V0) atau tanpa pemberian M.
anisopliae sebagai pembanding. Sedangkan larva hama Oryctes rhinoceros (H1) yang
digunakan yaitu dengan kriteria tidak cacat dan memiliki panjang sekitar 13-15 cm untuk dan
2-2,5 cm untuk larva hama Lepidiota stigma (H2). Hasil pengujian keragaman jamur
Metarhizium anisopliae terhadap mortalitas larva hama Oryctes rhinoceros yaitu mortalitas
sebesar 100% pada pengaplikasian M. anisopliae (varian UGM, Karimun Jawa, Magelang,
Semarang), sedangkan tanpa pengaplikasian M. anisopliae (Kontrol) hasil mortalitas hama O.
Rhinoceros sebesar 0%. Pengujian keragaman jamur M. anisopliae terhadap larva L. stigma
sebesar 0% untuk kontrol, 33,33 % untuk varian UGM, 11 % untuk Varian Karimun Jawa,
16,33 % untuk varian Magelang, dan 0 % untuk varian Semarang. Hal tersebut menandakan
bahwa pemberian aplikasi M. anisopliae mampu mengendalikan O. rhinoceros dan L. stigma.
Perlakuan dengan aplikasi berbagai varian M. anisopliae (varian UGM, Karimun Jawa,
Magelang, Semarang) tidak memberikan hasil yang berbeda terhadap mortalitas O.
rhinoceros dan L. stigma. Hal tersebut dapat disebabkan karena jarak atau rentang antar
lokasi pengambilan setiap isolat terlalu dekat (semua berasal dari jawa), selain itu juga dapat
disebabkan karena tetua dari semua isolat tersebut adalah sama. Rendahnya keragaman M.
anisopliae dapat terjadi akibat tetua M. anisopliae yang telah berimigrasi dan tersebar pada
berbagai lokasi, sehingga jamur-jamur yang berimigrasi ke lingkungan berbeda tersebut
sejatinya berasal dari tetua yang sama. Mortalitas hama O. rhinoceros lebih tinggi dibanding
hama L. stigma, sehingga lebih mudahdikendalikan. Hal tersebut dapat terjadi karena M.
anisopliae merupakan jamur entomopatogen yang bersifat spesifik hama (inang), sehingga
jamur M. anisopliae bersifat patogen hanya pada hama tertentu.
Metarhizium anisopliae yang digunakan yaitu dengan kerapatan spora 1010. Hasil
Pengujian kerapatan spora pada perlakuan kontrol terhadap kedua hama yaitu 0 atau tidak
ditemukan spora. Kerapatan spora terendah yaitu pada varian Semarang dengan nilai sebesar
42,3 pada hama O. Rhinoceros dan 0 pada hama L. stigma. Hal ini dikarenakan M. anisopliae
varian Semarang mempunyai patogenitas terendah dengan tingkat mortalitas nol atau
sehingga tidak efektif mengendalikan hama L. stigma. Kemampuan memproduksi spora
setiap varian dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor lingkungan, viabilitas spora, dan
asal isolat tersebut. Varian yang memiliki patogenitas rendah kurang efektif mengendalikan
hama yang tercermin pada rendahnya tingkat mortalitas. Rata – rata kerapatan spora pada
hama O. rhinoceros lebih tinggi 3,2 dibanding pada hama L. stigma. Hal ini disebabkan
karena O. rhinoceros merupakan inang yang lebih mudah ditumbuhi oleh spora M. anisopliae
dibanding L. stigma. larva O. rhinoceros merupakan inang yang cocok untuk pertumbuhan
M. anisopliae, sehingga jamur ini mampu memproduksi miselium dengan cepat disekitar
tubuh inangnya. Varian Magelang menghasilkan LT50 tertinggi dibanding perlakuan lainnya,
namun antar perlakuan dengan aplikasi M. anisopliae (varianUGM, Karimun Jawa,
Magelang, Semarang) tidak berbeda jauh hasilnya. Waktu kematian pada serangga inang
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi lingkungan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa setiap varian isolat M.
anisopliae memiliki kemampuan yang sama dalam mengendalikan O. rhinocerosdan L.
stigma baik pada mortalitas, kerapatan spora, maupun LT50. O. Rhinoceros memiliki
mortalitas dan kerapatan spora lebih tinggi dibanding L. stigma

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN JAMUR Metarhizium anisopliae TERHADAP


MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) DI LABORATORIUM

Pada penelitian pengaruh lama penyimpanan jamur Metarhizium anisopliae terhadap


mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura F.) di laboratorium menggunakan tiga perlakuan
yaitu lama penyimpanan jamur Metarhizium anisopliae 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan.
Percobaan menggunakan larva Spodoptera litura F. instar 1. Parameter yang diamati meliputi
mortalitas larva, waktu Kematian (LT50), dan kerapatan konidia. Hasil dari moralitas larva
yaitu Hasil infeksi jamur M. anisopliae dari berbagai lama penyimpanan yang digunakan
berpengaruh pada mortalitas larva S. litura F. dengan dengan rentang 68,33-100%. Lama
penyimpanan 1 bulan memberikan hasil tertinggi dengan persentase sebesar 100% , lama
penyimpanan 2 bulan menunjukkan hasil 85,83% , dan lama penyimpanan 3 bulan
menunjukkan hasil sebesar 68,33%. Mortalitas serangga sangat ditentukan oleh kerapatan
konidia jamur entomopatogen yang diaplikasikan. Makin tinggi kerapatan konidia jamur M.
anisopliae, makin tinggi pula mortalitas S. litura F. Semakin lama biakan jamur maka nutrisi
dalam media banyak digunakan untuk memproduksi konidia sehingga jamur kehabisan
cadangan nutrisi. Akibatnya konidia jamur banyak yang membentuk struktur khusus yaitu
arthrospora untuk menghindari lingkungan yang tidak sesuai. Hasil pengujian waktu
kematian (LT50) yaitu yang terbaik pada perlakuan lama penyimpanan 1 bulan yaitu 96 jam.
Sedangkan pada perlakuan lama penyimpanan 2 bulan pada 118 jam dan lama penyimpanan
3 bulan pada 126 jam. Perbedaan waktu kematian 50% S. litura F. pada skala laboratarium
dengan skala lapangan dikarenakan skala laboratarium lebih homogen yang berarti setiap
perlakuan yang diberikan mendapatkan peluang yang sama. Waktu kematian juga bergantung
pada tingkat konsentrasi spora jamur yang diinfeksikan. Semakin tinggi konsentrasi yang
diinfeksikan akan lebih mempercepat waktu kematian. Sedangkan hasil dari pengujian warna
dan bentuk (Morfologi) larva S. litura F. yang terinfeksi pada ketiga perlakuan yaitu sama.
Larva serangga S. litura F. yang mati disebabkan oleh jamur ditandai dengan perubahan
warna dari hijau muda menjadi coklat kekuningan dengan tekstur tubuh lunak dan memiliki
integumen yang rapuh dan berakhir dengan warna hitam dengan tekstur tubuh yang mengeras
dan kaku.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan jamur Metarhizium anisopliae yang
disimpan selama 1 bulan sebelum aplikasi menunjukkan efek terbaik dalam membunuh larva
Spodoptera litura Fabricius dibandingkan dengan perlakuan lama penyimpanan 2 dan 3
bulan.

KERAGAMAN GENETIK Metarhizium anisopliae DAN VIRULENSINYA PADA


LARVA KUMBANG BADAK (Oryctes rhinoceros)
Aisyah Surya Bintang1)*, Arif Wibowo1) , & Tri Harjaka1)
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 19, No. 1, 2015: 12–18

Penelitian ini menggunakan sumber serangga uji berasal dari larva Oryctes rhinoceros
instar 3. Sumber isolat jamur entomopatogen Metarizhium anisopliae diperoleh dari isolat
yang terdiri dari (1) isolat Metarizhium anisopliae dari kumbang Brontispa longissima
(MaBl), (2) isolat Metarizhium anisopliae dari larva Oryctes rhinoceros (MaOr), (3) isolat
Metarizhium anisopliaen dari larva Lepidiota stigma (MaLs). Masing-masing jamur tersebut
diisolasi dan dilakukan pemurnian dengan menggunakan medium PDA.
Uji molekuler dilakukan dalam penelitian dan terdiri atas ekstraksi DNA, amplifikasi
DNA menggunakan primer spesifik, amplifikasi DNA menggunakan primer universal,
elektroforesis dan visualisasi hasil amplifikasi, DNA sequencing dan identifikasi molekuler.
Ekstraksi DNA dilakukan dengan 0,5 gram miselium jamur yang telah dibiakkan dengan
medium potato dextrose broth (PDB) menggunakan CTAB 2% Amplifikasi DNA
menggunakan primer spesifik dan universal dilakukan pada hasil ekstraksi DNA dengan
menggunakan metode PCR. Hasil amplifikasi dielektroforesis dengan menggunakan agarose
1% yang direndam dalam ethidium bromide.Elektroforesis dilakukan pada tegangan 90
Vselama 45 menit. Hasil elektroforesis divisualisasi dengan transilluminator ultra violet dan
hasilnya difoto dengan menggunakan Gel Documentation. Hasil sekuensing DNA dianalisis
berdasarkan data GeneBank pada National Center for Biotechnology International (NCBI)
dengan program BLAST (Basic Local Alignment Tools). Setelah diperoleh hasil BLAST,
ditentukan sejumlah spesies acuan yang memiliki persentase tingkat similaritas mendekati
100% untuk konstruksi pohon filogenetik dengan menggunakan software MEGA 5.0.
Uji virulensi isolat dilakukan dengan metode dipping, yaitu larva Oryctes rhinoceros
instar 3 dimasukkan ke dalam suspensi jamur dengan kerapatan 107 konidium/ml dalam
cawan petri kurang lebih 15 detik atau sampai konidium menempel pada kutikula larva.
Larva yang telah diberi perlakuan dipindahkan ke dalam stoples isolat yang berisi serbuk
gergaji steril. Perlakuan kontrol yaitu dengan mencelupkan larva ke dalam air steril. Larva
dipelihara selama 14 hari. Pengamatan mortalitas larva Oryctes rhinoceros dilakukasetiap
hari selama 14 hari. Parameter pengamatan adalah presentase larva yang bergejala atau mati.
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian apabila terdapat beda nyata dilanjutkan
uji DMRT pada taraf 5%.
Hasil uji molekuler untuk identifikasi spesies secara molekuler dengan primer spesifik
didapatkan pita tunggal fragmen DNA dari ketiga isolat tersebut teramplifikasi pada nilai
optimasi 500bp yang menunjukkan bahwa ketiga isolat merupakan spesies Metarizhium
anisopliae. Variabilitas genetik didapatkan dengan metode PCR terhadap ketiga isolat jamur
Metarizhium anisopliae memperlihatkan hasil yang sangat baik yaitu dengan
teramplifikasinya pita DNA sesuai target. Pita tunggal fragmen DNA ketiga isolat
teramplifikasi pada nilai optimasi 500 bp dengan menggunakan primer universal. Hasil
analisis sekuensing dan fitogenetik, primer universal menunjukkan bahwa isolat B.
longissima (MaBl), isolat L. stigma (MaLs) yang berasal dari inang yang berbeda ternyata
memiliki hubungan. kekerabatan yang dekat dan terdapat pada grup yang sama (in group),
sedangkan untuk isolat O. rhinoceros (MaOr) sudah terdapat pada grup yang berbeda (out
group). Namun, ketiganya masih termasuk dalam kelompok yang sama, yakni karakternya
dapat diturunkan. Hasil analisis morfologi dan untai basa DNA tidak saling mendukung.
Ketiga isolat jamur memiliki karakter morfologi yang masing- masing berbeda terutama pada
warna miselium jamur yang ditumbuhkan pada medium PDA. Isolat MaOr dan MaLs yang
memiliki warna miselium yang cenderung sama, yakni hijau zaitun, akan tetapi urutan basa
DNA terletak pada grup yang berlainan. Sementara itu pada isolat MaBl yang memiliki
karakter warna miselium yang cenderung berbeda dengan kedua isolat yang lain, justru
urutan basa DNA terletak pada grup yang sama dengan isolat MaLs.
Uji virulensi didapatkan pengamatan mortalitas larva Oryctes rhinoceros akibat
infeksi jamur selama 2 minggu menunjukkan pada ketiga isolat jamur Metarizhium
anisopliae dengan kerapatan spora 107 konidium/ml belum mampu menyebabkan mortalitas
larva Oryctes rhinoceros instar 3. Ketiga isolat jamur Metarizhium anisopliae (MaOr, MaLs,
dan MaBr) dengan kerapatan spora 107 konidium/ml dapat menyebabkan gejala sakit pada
inang. Larva instar 3 Oryctes rhinoceros menunjukkan gejala terinfeksi jamur Metarizhium
anisopliae pada minggu pertama setelah inokulasi. Gejala yang timbul berupa munculnya
bercak coklat kehitaman pada kutikula serangga. Presentase larva Oryctes rhinoceros
bergejala oleh jamur Metarizhium anisopliae ditunjukkan pada isolat MaOr memiliki nilai
yang paling tinggi yakni 100% kemudian berturut- turut MaLs 66,67% dan MaBl mencapai
6,67%. Isolat jamur Metarizhium anisopliae MaOr dan MaLs tidak berbeda nyata dalam
menyebabkan gejala pada larva Oryctes rhinoceros. Hal tersebut diduga karena kedua isolat
berasal dari ordo yang sama yaitu ordo Coleoptera dan berasal dari fase yang sama yaitu
larva, Isolat jamur Metarizhium anisopliae MaOr dan MaLs merupakan isolat yang virulen
terhadap kumbang badak, sedangkan isolat jamur Metarizhium anisopliae MaBl tidak virulen
terhadap kumbang badak. Jamur Metarizhium anisopliae memiliki spesifik inang terhadap
Coleoptera terutama Oryctes rhinoceros. Isolat jamur Metarizhium anisopliae MaBl memiliki
presentasi bergejala paling rendah terhadap kumbang badak diduga karena isolat jamur
tersebut lebih spesifik dalam membunuh kumbang Brontispa longissima.
Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dan
kontrol. Seluruh serangga pada perlakuan kontrol tidak mengalami gejala terinfeksi atau
sehat, tidak terdapat gejala bercak coklat kehitaman pada kutikula larva dan larva bergerak
secara aktif. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan ketahanan larva Oryctes rhinoceros
terhadap Metarizhium anisopliae. Virulensi Metarizhium anisopliae yang meningkat tidak
membuat diperolehnya mortalitas larva instar 3 dalam jangka waktu 14 hari karena
meningkatnya pula ketahanan larva Oryctes rhinoceros. Walaupun dosis yang digunakan
mampu menyebabkan mortalitas pada larva Oryctes rhinoceros, ternyata apabila umur larva
pada masing-masing perlakuan semakin tua, kepekaan larva terhadap jamur Metarizhium
anisopliae juga semakin rendah. keefektifan jamur Metarizhium anisoplia, di samping
dipengaruhi oleh media tumbuh, tingkat virulensi, dan frekuensi aplikasi, juga sangat
ditentukan oleh instar serangga tersebut. Larva yang mati akibat infeksi Metarizhium
anisoplia yang dibawa imago terjadi pada hari pengamatan ke-12 sebanyak 12,5% dan
meningkat hingga 100% pada hari ke-56. Sementara itu, kematian larva akibat konidum
Metarizhium anisoplia yang di dalam serbuk gergaji mulai terlihat pada hari pengamatan ke-
10 yakni sebesar 12,5% dan meningkat hingga 100% pada hari pengamatan ke-42.

Anda mungkin juga menyukai