Anda di halaman 1dari 69

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pelaksanaan PPDH


Entomologi adalah salah satu cabang ilmu zoologi yang mempelajari
segala sesuatu mengenai serangga. Berasal dari bahasa Latin, entomon yang
berarti serangga dan logos adalah ilmu pengetahuan. Entomologi merupakan
ilmu yang menjadi dasar bagi ilmu-ilmu lain yang memberikan data awal
mengenai karakteristik, bentuk kehidupan, dan bermacam pengetahuan lain
mengenai serangga yang selanjutnya dapat digunakan untuk menunjang ilmu
lain. Serangga merupakan kelompok hewan yang terbesar jumlah spesiesnya
dibanding hewan yang lain yang menempati berbagai bentuk habitat yaitu air,
tanah, udara, dan berbagai habitat lainnya termasuk menempati jaringan
tubuh hewan lain.
Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi dan
termasuk golongan yang dapat sukses beradaptasi dengan lingkungannya. Hal
tersebut disebabkan oleh ukuran tubuhnya yang kecil, kemampuan
reproduksinya yang cepat, lapisan tubuhnya yang dilapisi oleh kitin untuk
mengurangi penguapan, morfologi dan fisiologinya yang mudah beradaptasi,
mempunyai kemampuan bertahan diri yang efektif, berupa sengat, bau-bauan
dan kemampuan mobilisasi yang cepat. Serangga memiliki peran yang
bermacam-macam dan sangat penting terutama sebagai vektor penyakit di
dalam ekosistem, sehingga mempelajari serangga membutuhkan ketelitian
dalam mengidentifikasi tiap-tiap spesies.
Identifikasi serangga akan menjadi hal yang penting dalam upaya
pengendalian populasi serangga sehingga dalam kegiatan koasistensi

parasitologi sub-departemen entomologi ini, mahasiswa PPDH diharapkan


dapat mengetahui cara mengendalikan berbagai penyakit yang ditularkan
melalui serangga dengan cara pengamatan terhadap masing-masing spesies
serangga.
1.2 Tujuan Pemeriksaan Entomologi
1. Untuk mengetahui morfologi, habitat, siklus hidup, dan predileksi dari
serangga yang berperan dalam bidang veteriner.
2. Untuk mengetahui gejala klinis dan patogenesa yang ditimbulkan akibat
dari serangga yang hidup pada hewan serta pengobatan yang diperlukan.
3. Untuk mengetahui tindakan pengendalian terhadap infestasi serangga
khususnya di bidang veteriner.
1.3 Manfaat Pemeriksaan Entomologi
1. Mengetahui morfologi, habitat, siklus hidup, predileksi dari serangga yang
berperan dalam bidang veteriner.
2. Mengetahui gejala klinis, dan patogenesa yang ditimbulkan akibat dari
serangga yang hidup pada hewan serta pengobatan yang tepat.
3. Mengetahui tindakan pengendalian terhadap infestasi serangga khususnya
di bidang veteriner.

BAB 2 METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat


Koasistensi

rotasi

Parasitologi

sub-departemen

Entomologi

dilaksanakan pada tanggal 1-7 April 2015 di Laboratorium Parasitologi


Universitas Airlangga, Surabaya.
2.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam kegiatan koasistensi ini adalah jaring,
vacutainer, scalpel, kaca objek, pin baja, gabus, cover glass, mikroskop,
pinset, pipet pasteur, cawan petri, dan spatula.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan koasistensi ini adalah kertas
label, KOH, aquades, alkohol 30%, alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 95%,
acid fuchsin, alkohol 96%, xylol, Canada Balsam, dan chloroform.
2.3 Cara Kerja
2.3.1 Pengumpulan Kutu, Pinjal, dan Lalat
Kutu penghisap dan pinjal dapat ditemukan di bawah bulu pada
permukaan

kulit

hewan.

Pengambilan

spesimen

dapat

dilakukan

menggunakan pinset kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer berisi KOH


10%. Pengumpulan lalat dilakukan dengan menggunakan jaring insek. Lalat
yang tertangkap dimasukkan ke dalam vacutainer dan selanjutnya dibunuh
dengan cara dimasukkan ke dalam botol berisi chloroform.

2.3.2 Pengumpulan Tungau (Skin Scrapping)


Kulit hewan dikerok menggunakan scalpel sampai timbul perembesan
darah. Kerokan kulit dimasukkan ke dalam vacutainer berisi KOH 10%
selama lima menit. Sampel kerokan tersebut selanjutnya diteteskan sebanyak
satu hingga dua tetes di atas kaca objek dan ditutup dengan cover glass
kemudian diamati dibawah mikroskop dari perbesaran lemah hingga
perbesaran kuat.
2.3.3 Pengawetan Kering
Serangga yang bertubuh keras dan lunak seperti lalat dan nyamuk dapat
diawetkan dengan menggunakan metode pengawetan kering. Metode
pengawetan kering terdiri atas dua tipe yaitu pinning untuk serangga
berukuran besar dan spreading untuk serangga dengan ukuran tubuh yang
lebih kecil.
2.3.3.1 Pinning
Tubuh serangga dibentangkan dan diletakkan secara horizontal dengan
cara memegang serangga tersebut diantara ibu jari dan telunjuk tangan. Pin
baja ditusukkan secara tegak lurus melalui thoraks diantara pangkal sayap
depan. Penusukan pada lalat sebaiknya dilakukan pada posisi sedikit ke kanan
pangkal garis tengah. Pin baja tersebut harus menembus metathoraks dan
metasternum, serta tidak merusak pangkal-pangkal ekstremitas. Serangga
yang telah ditusuk dengan pin baja selanjutnya ditancapkan secara tegak lurus
pada gabus berukuran 2 X 2 cm. Serangga dikeringkan di dalam oven
bersuhu 50o-60oC selama 24 jam.

2.3.3.2 Spreading
Sayap serangga dikembangkan, kaki-kakinya dibentangkan, dan
tubuhnya diletakkan secara horizontal. Serangga kemudian ditempelkan di
atas ujung kertas segitiga berukuran panjang 8-10 mm dan lebar 3-4 mm yang
telah diolesi dengan lem. Pin ditusukkan ke kertas dan ditancapkan secara
tegak lurus pada gabus berukuran 2 X 2 cm.
2.3.4 Pengawetan Basah
Pengawetan basah dilakukan untuk mengawetkan serangga berukuran
sangat kecil dan bertubuh lunak misalnya caplak, kutu, dan pinjal.
Pengawetan serangga dengan metode tersebut dapat membantu pengamatan
morfologi tubuh serangga pada slide preparat serta dapat bertahan dalam
jangka waktu yang lama. Metode pengawetan basah terdiri atas dua tipe yaitu
pengawetan tanpa pewarnaan dan pengawetan dengan pewarnaan.
2.3.4.1 Pengawetan Tanpa Pewarnaan
Tahap clearing dimulai dengan memasukkan serangga yang telah
dikoleksi ke dalam KOH 10% selama 1-10 jam tergantung pada ketebalan
pigmen dari masing-masing serangga. Serangga kemudian dipindahkan ke
cawan petri berisi alkohol bertingkat mulai dari 30%, 50%, 70%, 95%,
hingga 96% masing-masing selama lima menit. Selanjutnya serangga
dipindah ke cawan petri berisi xylol selama satu menit. Tahap terakhir yaitu
permount dengan menutup spesimen serangga menggunakan cover glass
yang telah diolesi Canada balsam dan labeling yaitu menempelkan label
nama spesies pada kaca objek.

2.3.4.2 Pengawetan Dengan Pewarnaan


Tahap clearing dimulai dengan memasukkan serangga yang telah
dikoleksi ke dalam KOH 10% selama 1-10 jam tergantung pada ketebalan
pigmen dari masing-masing serangga. Sampel kemudian dicuci dengan
aquades sebanyak dua kali dan dilanjutkan dengan perendaman pada alkohol
95% selama 10 menit, acid fuchsin selama 30 menit, alkohol 95% selama 2
menit, campuran alkohol 95% + xylol sebanyak 1 : 1 selama 5 menit, dan
terakhir pada xylol selama 5 menit. Spesimen dipindahkan ke kaca objek
(slide), ekstremitasnya ditata agar tidak terlipat atau patah, kemudian
dikeringkan. Tahap terakhir yaitu permount dengan menutup spesimen
serangga menggunakan cover glass yang telah diolesi Canada balsam dan
labeling yaitu menempelkan label nama spesies pada kaca objek.

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil
Hasil pengamatan ektoparasit yang didapatkan dari berbagai jenis
hewan adalah sebagai berikut.
No.

Ektoparasit (Spesies)

Hewan asal

Lokasi Pengambilan

Lice
1.

Damalinia ovis

Domba

Kandang FKH Unair

2.

Menophon gallinae

Ayam

Keputran

3.

Haemotopinus euristernus

Sapi

Kandang FKH Unair

4.

Columbicula sp.

Ayam

Lamongan

5.

Pediculus humaneus

Manusia

Kediri

6.

Menacantus stramineus

Merpati

Splendid Malang

Tick
7.

Rhipicephalus sanguineus

Anjing

Klinik FKH Unair

Flea
8.

Ctenocephalides felis

kucing

Klinik FKH Unair

Mite
9.

Sarcoptes scabiei

Kelinci

Lab. Parasitologi

10.

Sarcoptes scabiei

Kucing

Malang

11.

Sarcoptes scabiei

Anjing

Malang

12.

Dermanyssus gallinae

Ayam

Blitar

13.

Cheyletiella parasitovorax

Kelinci

Malang

Lalat

14.

Chrisomya bezziana

TPA Kausari

15.

Sarcophaga sp.

TPA Wonokromo

16.

Musca domestica

Kantin FPIK Unair

17.

Haemotophobia

Kandang FKH Unair

18.

Tabanus sp.

Kenjeran

19.

Stomoxys calcitrans

Nongkojajar

3.2 Pembahasan
3.2.1 Rhipicephalus sanguineus
Caplak Rhipicephalus sanguineus adalah ektoparasit penghisap darah
yang mempunyai peranan penting dalam bidang veteriner. Caplak ini juga
dikenal sebagai brown-dog tick atau kennel tick karena bentuk dewasanya
yang berwarna merah kecoklatan dan sering ditemukan bersifat parasitik pada
anjing terutama yang berada di tempat breeding atau kandang pemeliharaan
(kennel) (Soulsby, 1986). Klasifikasi caplak Rhipicephalus sanguineus adalah
sebagai berikut :

Gambar 3.2

Spesimen Riphicephalus sanguineus yang dikoleksi dari


rambut

anjing

dan

diawetkan

menggunakan

metode

pengawetan basah dengan pewarnaan (Perbesaran 10X).

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Arachnida

Subclass

: Acari

Superorder

: Parasitiformes

Order

: Ixodida

Family

: Ixodidae

Genus

: Rhipicephalus

Spesies

: Rhipicephalus sanguineus

3.2.1.1 Morfologi
Caplak Rhipicephalus sanguineus tidak memiliki corak tubuh yang
khas, tetapi ditandai dengan bentuk tubuh bulat memanjang serta kapitulum
berbentuk heksagonal (Lord, 2011). Betina dewasa caplak ini berukuran 4 6
mm dan dapat bertambah hingga 12 mm setelah menghisap darah inangnya.
Bentuk tubuh jantan dewasa Rhipicephalus sanguineus tidak begitu berbeda
kecuali ukuran tubuhnya yang sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan
dengan betina dewasa (Paskewitz, 2015). Tahapan pra-dewasa caplak ini
memiliki tiga pasang kaki dan empat pasang kaki pada tahapan dewasanya.
Secara umum, tubuh caplak terbagi menjadi dua bagian yaitu
gnatosoma (sefalotoraks) dan idiosoma (abdomen). Rhipicephalus sanguineus
memiliki mulut di bagian anterior yang dilengkapi dengan hipostom dan
shelicera serta lekuk anus yang terletak lebih ke arah posterior. Caplak ini
memiliki sepasang mata yang terletak pada sisi lateral skutum, sepasang
stigmata (spirakel) pada sisi posterior lateral sampai koksa keempat kaki.

Caplak jantan memiliki keping adanal dan adanal asesori. Caplak ini
memiliki festoon dan mata, tetapi tidak memiliki hiasan pada skutum.
3.2.1.2 Siklus Hidup
Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan dalam melengkapi satu
siklus daur hidupnya, Rhipicephalus sanguineus merupakan jenis caplak
berumah tiga yaitu membutuhkan tiga inang dalam siklus daur hidupnya.
Daur hidupnya diawali dari induk caplak yang jatuh dari tubuh inang setelah
kawin dan menghisap darah yang kemudian meletakkan telurnya di tanah.
Telur tersebut akan menetas menjadi larva. Larva yang baru menetas akan
mencari inangnya dengan pertolongan benda-benda di sekitarnya serta
bantuan olfaktoriusnya. Setelah mendapatkan inangnya, caplak akan
menghisap darah inang hingga kenyang lalu akan kembali jatuh ke tanah dan
segera berganti bentuk (molting) menjadi nimfa. Nimfa tersebut akan naik
kembali ke tubuh inang, menghisap darah, dan setelah kenyang akan jatuh
lagi ke tanah dan molting menjadi caplak dewasa (Levine, 1990).
Satu siklus daur hidup caplak Rhipicephalus sanguineus berkisar antara
enam minggu sampai tiga tahun. Caplak betina dewasa dapat bertelur hingga
sekitar 4.000 butir. Telur caplak tersebut membutuhkan waktu 17-30 hari
untuk menetas menjadi larva. Larva Rhipicephalus sanguineus membutuhkan
waktu selama 2-4 hari untuk menghisap darah inang hingga kenyang
(engorge) kemudian molting selama 5-23 hari di tanah. Pada fase nimfa,
dibutuhkan waktu selama 4-9 hari untuk nimfa Rhipicephalus sanguineus
berada di tubuh inang yang kemudian jatuh kembali ke tanah dan molting
selama 11-73 hari. Betina dewasa Rhipicephalus sanguineus akan berada di

10

tubuh inang selama 6-21 hari, menghisap darah sebelum kembali jatuh ke
tanah dan bertelur (Soulsby, 1986). Daur hidup caplak meliputi tahap
kehidupan pada tubuh bagian luar induk semang dan tahapan untuk vegetasi
atau di kandang hewan. Ketahanan hidupnya tergantung pada simpanan
pakan darah yang dihisap sewaktu menempel pada induk semang. Oleh
karena itu, caplak harus menghisap darah sebanyak mungkin agar dapat hidup
sampai tahap berikutnya. Betina dewasa yang tidak menghisap darah dari
inangnya mampu bertahan selama 19 bulan di lingkungan, sedangkan larva
hanya mampu bertahan selama 8,5 bulan dan nimfa hanya dapat bertahan
selama enam bulan (Soulsby, 1986).
3.2.1.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Infestasi caplak Riphicephalus sanguineus biasanya diikuti dengan
adanya rasa gatal dan tidak nyaman. Caplak ini merupakan jenis arthropoda
yang menghisap darah dan menjadi vektor biologis bagi beberapa protozoa
darah sehingga hewan yang dijangkiti Rhipicephalus sanguineus dalam
jumlah banyak akan menampakkan gejala anemia, anoreksia, lemah, dan
peningkatan suhu tubuh. Trauma dari gigitan caplak tersebut juga dapat
menjadi manifestasi untuk terjadinya infeksi sekunder. Jenis betina dewasa
caplak Rhipicephalus sanguineus berpotensi menyebabkan tick paralysis
karena adanya neurotoksin yang dihasilkan dan ditularkan melalui kelenjar
saliva kepada inangnya. Neurotoksin tersebut akan memblokade sinaps syaraf
dimulai dari otot belakang tubuh, kemudian menyerang seluruh tubuh dan
otot-otot pada sistem pernafasan. Keadaan paralisis ini dapat berlangsung
selama 1-4 hari.

11

Caplak Rhipicephalus sanguineus telah dilaporkan sebagai agen


pembawa penyakit baik pada manusia maupun pada hewan. Fase infektif
Rhipicephalus sanguineus adalah larva, nimfa, dan dewasa. Pada fase-fase
infektif, Rhipicephalus sanguineus akan menempel pada tubuh inang,
menggigit, dan menghisap darahnya. Proses tersebut menjadi saat yang tepat
untuk menularkan baik protozoa maupun bakteri pada tubuh inang. Caplak
Rhipicephalus sanguineus berperan dalam proses transmisi Ehrlichia canis
yang menyebakan canine monocytic ehrlichiosis pada anjing; Ehrlichia
ewingii yang menyebabkan canine granulocytic ehrlichiosis pada anjing dan
manusia; serta Ehrlichia chaffeensis yang menyebabkan human monocytic
ehrlichiosis (HME) terkait predileksinya pada monosit (Murphy et al., 1998).
Rhipicephalus sanguineus juga dilaporkan sebagai vektor utama dalam
penyebaran bakteri rickettsia yang bersifat patogen pada anjing dan manusia
di beberapa Negara (Eremeeva et al., 2006). Selain itu, protozoa Hepatozoon
canis yang menyebabkan canine hepatozoonosis dan protozoa Babesia canis
yang menyebabkan canine babesiosis (Dantas-Torres, 2008).
3.2.1.4 Pengendalian
Penanganan kasus Rhipicephalus sanguineus membutuhkan tindakan
manajemen pengendalian yang tepat, baik pada inang yang sakit maupun
pada lingkungan sekitarnya. Pencegahan terhadap infestasi caplak di
lingkungan (rumah atau kennel) merupakan langkah pengendalian terbaik
yang dapat dilakukan. Selain itu, pencegahan pada fase infektif dianggap
menjadi salah satu tahap penting dalam penanganan caplak Rhipicephalus
sanguineus. Penggunaan fipronil (spray), amitraz (collar), permethrin (spray

12

dan shampoo) dan deltamethrin (shampoo) terbukti efektif dalam mengurangi


infestasi caplak pada anjing. Sanitasi kandang dan lingkungan menggunakan
insektisida dan desinfektan secara teratur akan menghentikan siklus hidup
serta mencegah penyebaran caplak tersebut. Apabila infestasi Rhipicephalus
sanguineus diikuti dengan infeksi protozoa atau bakteri, maka dapat diberikan
anti protozoa atau antibiotika sebagai terapi kausatif (Lord, 2014).
3.2.2 Ctenocephalides felis
Secara umum pinjal merupakan parasit temporal, yaitu berada dalam
tubuh saat membutuhkan makanan dan tidak bersifat permanen. Jangka hidup
pinjal bervariasi tergantung dari makan atau tidaknya pinjal dan pada derajat
kelembaban lingkungan sekitarnya. Spesimen Ctenocephalides felis yang
didapatkan dari kucing lokal merupakan salah satu jenis pinjal yang paling
banyak ditemukan menyerang kucing, anjing, sapi, maupun manusia.
Ctenocephalides felis terbagi ke dalam empat sub-spesies yaitu C. felis felis,
C. felis strongylus, C. felis damarensis, dan C. felis orientis.

Gambar 3.2 Spesimen Ctenocephalides felis yang dikoleksi dari kucing


(perbesaran 4X).

13

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Subclass

: Dicondylia

Order

: Siphonaptera

Family

: Pulicidae

Genus

: Ctenocephalides

Spesies

: Ctenocephalides felis

3.2.2.1 Morfologi
Pinjal Ctenocephalides felis merupakan insekta yang tidak memiliki
sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1,5-4 mm.
Secara umum, ukuran tubuh pinjal jantan lebih kecil dari ukuran tubuh pinjal
betina. Ctenophalides felis memiliki dahi dengan internal incrassation. Selain
itu, daerah kepala ini biasanya memiliki sebuah tonjolan frons. Ujung bagian
atas dari lekuk antena dihubungkan sutura inter antena dengan tepi-tepi yang
mengeras di bagian dalam. Mulut pinjal bertipe penghisap dengan tiga silet
penusuk (epifaring dan stilet maksila). Pinjal memiliki antena yang pendek,
terdiri atas tiga ruas yang tersembunyi ke dalam lekuk kepala. Pinjal ini
mempunyai kritin yang tebal dengan tiga segmen thoraks yaitu pronotum,
mesonotum, dan metanotum (metathoraks). Pada beberapa sub-spesies, di
belakang pronotum terdapat sebaris duri berbentuk sisir, yang dsebut sebagai
ktenedium pronotal. Selain itu, tepat di atas mulut juga terdapat sebaris duri
kuat yang juga berbentuk sisir, yaitu ktenedium genal. Bulu dan duri pada
tubuh pinjal ini berfungsi untuk memudahkan pergerakan pinjal pada

14

inangnya. Ktenedium tersebut dapat digunakan untuk membedakan jenis


pinjal (Levine, 1994).
Abdomen dari pinjal Ctenocephalides felis terdiri atas 10 ruas. Pada
ruas ke-9 pinjal betina maupun jantan, terdapat lempengan dorsal yang
disebut sensillium atau pygidium. Lempengan dorsal tersebut ditutupi oleh
setae

sensori

yang

fungsinya

belum

diketahui

(Soulsby,

1986).

Ctenocephalides felis betina mempunyai sebuah spermateka seperti kantung


di dekat ujung posterior abdomen sebagai tempat untuk menyimpan sperma,
sedangkan Ctenocephalides felis jantan mempunyai alat genital seperti per
yang melengkung, yaitu aedagus atau penis berkitin di lokasi yang sama.
Kaki pinjal Ctenocephalides felis berukuran panjang dan sepasang kaki
belakangnya digunakan untuk melompat. Setiap segmen thorax saling
berpasangan atau berhubungan satu sama lain, misalnya prothoraks dan
forelegs (kaki depan), mesothoraks dan midlegs (kaki tengah), serta
metathoraks dengan hindlegs (kaki belakang) (Levine, 1994).
3.2.2.2 Siklus Hidup
Pinjal Ctenocephalides felis termasuk serangga holometabolaus atau
ber-metamorfosis sempurna karena daur hidupnya melalui empat stadium
yaitu telur, larva, pupa, dan pinjal dewasa. Pinjal betina bertelur di antara
rambut inangnya. Jumlah telur yang dikeluarkan berkisar antara 3-18 butir
dan dapat bertelur 2-6 kali sebanyak 400-500 butir selama hidupnya. Telur
berukuran

panjang

0,5

mm,

oval,

dan

berwarna

keputih-putihan.

Perkembangan telur bervariasi tergantung suhu dan kelembaban.

15

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari atau lebih. Larva yang
muncul bentuknya memanjang, langsing seperti ulat, terdiri atas tiga ruas
toraks dan 10 ruas abdomen yang masing-masing dilengkapi dengan beberapa
bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen terakhir mempunyai dua tonjolan kait
yang disebut anal struts, berfungsi untuk lokomosi. Larva berwarna kuning
krem, sangat aktif, dan menghindari cahaya serta dapat ditemukan di celah
dan retakkan lantai, di bawah karpet dan tempat-tempat serupa lainnya..
Larva mempunyai mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisa
berupa darah kering, feses dan bahan organik lain yang jumlahnya cukup
sedikit. Larva pinjal mengalami tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi
pupa. Periode larva tersebut berlangsung selama 7-10 hari atau lebih
tergantung suhu dan kelembaban lingkungannya.
Larva dewasa memiliki panjang sekitar 6 mm. Larva dewasa akan
menggulung hingga berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi pupa.
Stadium pupa berlangsung dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai,
tetapi bisa berbulan-bulan pada suhu yang kurang optimal, dan pada suhu
yang rendah bisa menyebabkan pinjal tetap terbungkus di dalam kokon.
Stadium pupa mempunyai tahapan yang tidak aktif (dorman) dan berada
dalam kokon yang tertutupi dari debris dan debu sekeliling. Stadium ini
sensitive terhadap adanya perubahan konsentrasi CO2 dan getaran di
lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan yang signifikan karena kedua
faktor ini akan menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong.
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada dalam
tubuh saat membutuhkan makanan dan tidak permanen. Jangka hidup pinjal

16

bervariasi pada spesies pinjal, tergantung dari makan atau tidaknya pinjal dan
tergantung pada derajat kelembaban lingkungan sekitarnya. Pinjal tidak
makan dan tidak dapat hidup lama di lingkungan kering tetapi di lingkungan
lembab, bila terdapat reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian
maka pinjal bisa hidup selama 1-4 bulan.
3.2.2.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Secara umum, kucing yang terserang pinjal Ctenocephalides felis
biasanya tidak menampakkan gejala klinis. Apabila infestasi menjadi kronis
dan jumlah pinjal bertambah banyak, gigitan pinjal Ctenocephalides felis
akan menimbulkan rasa gatal yang parah, anemia, dan dapat berlanjut hingga
menyebabkan radang kulit yang disebut flea bites dermatitis karena adanya
kandungan histamine pada saliva pinjal. Pada kucing, pinjal ini dapat
ditemukan dengan melihat adanya kotoran seperti butiran pasir diantara bulu
kucing. Pinjal Ctenocephalides felis banyak terdapat pada daerah yang
berbulu lebat seperti di bagian leher dan punggung.
Infestasi pinjal ctenocephalides merupakan penyebab utama flea
allergic dermatitis (FAD) yaitu reaksi hipersensitivitas terhadap komponen
antigenik

yang

terkandung

dalam

saliva

pinjal

tersebut.

Reaksi

hipersensitivitas terlihat oleh adanya bentukan vesikula-vesikula di sekitar


leher,

punggung,

atau

kaki.

Selain

menyebabkan

hipersensitivitas,

Ctenocephalides felis juga bertindak sebagai agen transmisi penyebaran


Rickettsia felis, Bartonella henselae, dan Yersinia pestis. Selain bertindak
sebagai vektor penyakit, ektoparasit ini dapat bertindak pula sebagai inang

17

antara bagi cacing pita pada anjing dan kucing (Diphylidium caninum) dan
larva cacing filarial anjing (Dipetalonema recondinatum) (Levine, 1990).
3.2.2.4 Pengendalian
Penyebaran pinjal Ctenocephalides felis perlu manajemen pengendalian
yang tepat untuk mengontrol populasi dan insidensinya. Stadium dewasa
merupakan stadium infektif pinjal tersebut dan menjadi target utama dalam
pengendalian penyebaran penyakit. Hewan dewasa yang terserang pinjal
Ctenocephalides

felis

dapat

diobati

dengan

pemberian

ivermectin.

Penggunaan shampoo anti pinjal juga dapat dilakukan untuk menangani kasus
yang bersifat akut. Pada keadaan flea allergic dermatitis dan hewan
merasakan gatal yang hebat, antihistamin dapat diberikan sebagai terapi
simptomatis. Jika infestasi pinjal tersebut diikuti dengan adanya infeksi
sekunder, diperlukan tindakan kuratif yang lebih lanjut misalnya dengan
pemberian antibiotik. Selain tindakan-tindakan tersebut, menjaga sanitasi
baik di kandang hewan maupun di lingkungan sekitarnya merupakan suatu
usaha yang sangat efektif dalam pengendalian penyebaran pinjal khususnya
untuk hasil jangka panjang.
3.2.3 Sarcoptes scabiei
Spesimen Sarcoptes scabiei ditemukan pada hasil kerokan kulit yang
didapatkan dari seekor anjing, kucing, dan kelinci. Sarcoptes scabiei
merupakan jenis tungau yang paling sering ditemukan menyerang hewanhewan kesayangan. Klasifikasi jenis tungau tersebut adalah sebagai berikut :

18

Gambar 3.3 Sarcoptes scabiei dari kerokan kulit anjing (perbesaran 4X)
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Arachnida

Sub Kelas

: Acari (Acarina)

Ordo

: Astigmata

Famili

: Sarcoptidae

Genus

: Sarcoptes

Spesies

: Sarcoptes scabiei

3.2.3.2 Morfologi
Secara morfologik, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil dengan
tubuh yang transparan, berbentuk oval, punggung cembung, perut rata, dan
tidak bermata. Ukuran tungau betina antara 300-450 mikron sampai 250-350
mikron, sedangkan yang jantan, antara 200-240 mikron sampai 150-200
mikron. Bentuk tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua pasang
kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan dua pasang kaki kedua pada

19

betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
3.2.3.2 Siklus Hidup
Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit, sarcoptes jantan akan mati
atau kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari di dalam terowongan
yang dibuat oleh tungau betina, sedangkan sarcoptes betina yang telah
dibuahi akan menggali terowongan dan dapat tinggal selama kurang lebih 30
hari. Daur hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga dewasa berlangsung
selama satu bulan. Tungau Sarcoptes scabei memiliki empat fase dalam
siklus hidupnya yaitu telur, larva, nimfa dan dewasa. Siklus tersebut dimulai
pada saat betina bertelur dengan interval 2-3 hari setelah menembus kulit
inangnya. Telur sarcoptes berbentuk oval dengan panjang 0,1-0,15 mm. Masa
inkubasi telur akan berlangsung selama 3-8 hari. Setelah telur menetas,
terbentuk larva yang kemudian bermigrasi ke stratum korneum untuk
membuat lubang (molting pouches). Stadium larva tungau ini memiliki tiga
pasang kaki dan berlangsung selama 2-3 hari. Setelah stadium larva berakhir,
terbentuklah nimfa yang memiliki empat pasang kaki. Bentuk ini berubah
menjadi nimfa yang lebih besar sebelum berubah menjadi tungau
dewasa. Larva dan nimfa banyak ditemukan di folikel rambut dan bentuknya
seperti tungau dewasa tapi ukurannya lebih kecil. Setelah menjadi dewasa,
tungau betina akan memperluas molting pouches untuk menyimpan telurnya.
Tungau betina melakukan penetrasi ke dalam kulit dan menghabiskan waktu
sekitar dua bulan di lubang pada permukaan. Waktu yang diperlukan telur
untuk menjadi tungau dewasa antara 10-17 hari. Tungau betina dewasa akan

20

tetap terdapat di dalam molting pouches sampai dibuahi oleh pejantan. Dalam
waktu 3-4 hari tungau betina akan bertelur lagi sampai berumur 3-4 minggu.
3.2.3.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Hewan yang menderita biasanya menggaruk-garuk menggosok-gosok
atau menggigit-gigit bagian yang terserang. Gejala biasanya dimulai dari
leher dan muka kemudian menyebar kebagian tubuh lainnya. Gejala paling
awal/infeksi yang baru terjadi diikuti dengan pembentukan papula atau
vesikula, disertai merembesnya cairan limfe sehingga biasanya penderita
merasakan gatalnya di berbagai bagian tubuh dan menyebabkan hewan tidak
tenang. Ketidaknyamanan akan mengurangi nafsu makan hewan dan lama
kelamaan akan diikuti oleh kekurusan. Kulit terlihat berkerut, menebal, dan
terdapat keropeng kering di atasnya. Parasit ini biasanya menyebabkan
keradangan kronis (Anonimus,1991; Hartiningsih dkk,1999).
Tungau Sarcoptes scabiei merupakan parasit yang lebih menyukai
permukaan tubuh yang jarang ditumbuhi rambut misalnya pada wajah, daun
telinga, moncong, pangkal ekor, dan kaki. Kadang pada sebagian anjing dapat
menginfestasi ke seluruh tubuh. Akibat yang ditimbulkan oleh infestasi
tungau ini adalah mengalami sedikit perubahan pada berat badan dan efisiensi
makanan, mengurangi estetika hewan kesayangan, dan ketidaknyamanan oleh
hewan tersebut. Sarcoptes scabiei dapat menembus kulit, menghisap cairan
limfe dan memakan sel-sel epidermis. Rasa gatal yang sangat bias dialami
oleh hospes dan jika digosok-gosokan atau digaruk akan menyebabkan rasa
gatal dan sakit yang bertambah. Eksudat yang merembes keluar, menggumpal
dan mengering membentuk sisik-sisik di permukaan kulit. Selanjutnya terjadi

21

keratinisasi dan proliferasi jaringan ikat yang menyebabkan kulit menebal


dan berkerut serta tidak lagi rata. Kejadian ini akan menyebakan rambut jadi
jarang bahkan dapat hilang sama sekali (Urquhart, dkk ,1996; Amstutz
dkk,1998).
3.2.3.4 Pengendalian
Dalam melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit skabies perlu
diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan hewan, karantina, dan
pengobatan. Hewan ternak yang peka terhadap Sarcoptes scabiei adalah
ruminansia, kuda, dan babi dengan masa inkubasi 14 hari sehingga pada saat
transportasi hewan, penyakit ini perlu diwaspadai. Hewan yang positif
terserang scabies harus berada di karantina selama 14 - 30 hari untuk diisolasi
dan diobati. Jika ada hewan terkena skabies, sebelum memulai terapi
sebaiknya pemilik hewan diberi penjelasan yang lengkap mengenai penyakit
dan cara pengobatan, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi.
Mengingat masa inkubasi yang lama, maka semua hewan yang berkontak
dengan hewan penderita perlu diobati meskipun tidak ada gejala klinis atau
hewan penderita diisolasi. Hewan penderita yang berada di tengah keluarga
sulit untuk diisolasi sehingga kebersihan areal rumah dan kandang hewan
khususnya harus sangat dijaga.
Setelah diberi pengobatan dan penderita tidak menularkan agen
penyakitnya. Penderita kadang- kadang masih merasa gatal walau tungau
sudah mati. Hal ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang tidak segera
hilang. Penggunaan hidrokortison dalam krotamiton krim dapat menekan rasa
gatal. Antihistamin per oral dapat diberikan pada malam hari untuk menekan

22

rasa gatal. Rasa gatal bisa terjadi pada saat larva-larva yang menetas setelah
pengobatan. Apabila pasca pengobatan rasa gatal masih ada, dapat diobati
dengan kortikostreoid jangka pendek. Skabies yang disertai infeksi sekunder
dapat diterapi dengan antibiotika (HILL, 1995). Pengobatan skabies pada
ternak dapat dilakukan dengan salep Asuntol, dan pemberian ivermectin,
sedangkan pada kelinci dapat Neguvon 0,15% dan Asuntol 0,05 0,2%.
Penanggulangan scabies pada anjing dan kucing bisa menggunakan
Ivermectin dengan dosis 0,05 mg/kg berat badan secara subkutan 3 minggu
sekali dan dikombinasi dengan salep belerang 3% sekali sehari (Iskandar,
200).
3.2.4 Dermanyssus gallinae
Spesimen Dermanyssus gallinae diisolasi dari ayam yang didapatkan di
sebuah peternakan komersial di wilayah Blitar. Dermanyssus gallinae
merupakan salah satu jenis tungau yang banyak menyerang unggas.
Klasifikasi dari tungau tersebut adalah sebagai berikut.

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Arachnida

Subclass

: Acari

Order

: Mesostigmata

Family

: Dermanyssidae

Genus

: Dermanyssus

Species

: Dermanyssus gallinae

23

Gambar 3.4 Isolasi Dermanyssus gallinae dari kerokan kulit ayam


(Perbesaran 4X)
3.2.4.1 Morfologi
Dermanyssus gallinae juga dikenal sebagai tungau ayam, tungau
pertenggeran, atau tungau unggas. Tungau jenis ini dapat ditemukan di
berbagai tempat di dunia khususnya di daerah yang beriklim panas. Tungau
ini juga lebih banyak ditemukan di peternakan-peternakan kecil jika
dibandingkan dengan peternakan yang besar. Hal tersebut berhubungan
dengan

adanya

perbedaan

dalama

manajemen

kesehatan

termasuk

pemeliharaan dan sanitasi kandang dari masing-masing peternakan.


Dermanyssus gallinae tersebut lebih banyak dilaporkan menyerang ayam
layer pada kandang litter jika dibandingkan dengan ayam broiler serta
kadang-kadang juga menyerang kalkun dan burung liar lainnya (Tabbu,
2002).
Tubuh Dermanyssus gallinae terbagi atas dua bagianutama yaitu
sefalothoraks dan abdomen. Insekta ini memiliki empat pasang kaki yang
melekat pada abdomennya. Setelah menghisap darah, tubuh dermanyssus

24

akan berwarna kemerahan sehingga tungau ini disebut juga sebagai tungau
merah. Habitat Dermanyssus gallinae adalah di pertenggeran ayam, di
dinding, langit-langit, dan di lantai kandang, serta dapat ditemukan
bergerombol di bawah kotoran ayam (Tabbu, 2002).
3.2.4.2 Siklus Hidup
Dermanyssus gallinae merupakan tungau nocturnal. Dalam sembilan
minggu, tunga betina mampu bertelur hingga tiga kali. Tungau betina
membutuhkan darah untuk reproduksi. Oviposisi 12-24 jam setelah
menghisap darah dan sekali bertelur, betina dapat menghasilkan hingga tujuh
butir telur. Telur tersebut akan menetas selama 48-72 jam menjadi larva.
Larva tidak menghisap darah dan molting selama 24-48 jam menjadi
protonympha. Setelah menjadi protonympha, tungau ini molting kembali
selama 24-48 jam menjadi deutonympha. Deutonympha molting kembali
selama 24- 48 jam menjadi tungau dewasa. Stadium infektif dari tungau ini
adalah pada saat dewasa. Dermanyssus gallinae ini dapat bertahan hidup
tanpa makanan selama 4-5 bulan.
3.2.4.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Unggas yang terjangkit tungau Dermanyssus gallinae biasanya
menampakkan gejala anemia karena sifat tungau yang menghisap darah pada
inangnya. Ayam yang positif terserang tungau ini menunjukkan peningkatan
food intake dan water intake namun sebaliknya diikuti dengan penurunan
produktivitas karena rasa stress yang dialami ayam. Penurunan produktivitas
pada ayam layer juga dapat menjadi salah satu indikator adanya penyebaran
dan infestasi tungau pada suatu populasi ayam. Predileksi tungau

25

dermanyssus ini adalah dibawah bulu daerah dada dan kaki dan lebih sering
ditemukan pada ayam betina. Pada kondisi akut, unggas akan mengalami
kerontokan bulu, iritasi, dan rasa sakit. Pada infestasi Dermanyssus gallinae
juga dapat ditemukan adanya lesi-lesi keropeng, pustule, dan hiperpigmentasi
pada kulit.
3.2.4.4 Pengendalian
Berdasarkan penelitian Mul et al. (2009), terdapat dua jenis metode
dalam menangani Dermanyssus gallinae khususnya pada peternakan ayam
layer. Metode tersebut terbagi atas monitoring method dan controlling
method. Monitoring method merupakan metode yang biasanya dipilih apabila
infestasi penyebaran tungau ayam tersebut telah merebak ke hampir seluruh
populasi ayam dan areal kandang. Pada metode ini, dapat digunakan beberapa
perangkap tungau yaitu perangkap ADAS, perangkap kertas karton atau
plastik, perangkap tenggeran, dan perangkap botol. Perangkap-perangkap ini
dapat diberi akarisida dan diletakkan di areal-areal kandang namun harus
berjauhan dengan unggas. Controlling method terbagi atas dua yaitu secara
konvensional dan secara alternatif. Metode pengotrollan secara konvensional
dilakukan dengan cara meningkatkan temperatur kandang dan diikuti dengan
pembersihan kandang secara rutin untuk menjaga sanitasi. Selain itu juga
dapat diikuti dengan penyemprotan insektisida secara berkala. Metode
pengontrolla secara alternatif sedang dikembangkan di beberapa wilayah di
eropa yaitu dengan teknik pencahayaan jam terang dan jam gelap.
Teknik tersebut diakui dapat mengurangi infestasi tungau ayam. Selain itu,
penggunaan tanaman herbal yang berbau kuat dan bersifat akarida misalnya

26

enthomopathogenic fungi. Namun penggunaan tanaman herbal tersebut


dinilai tidak efektif pada infestasi tungau dalam jumlah banyak dan kronis.
3.2.5 Cheyletiella parasitovorax
Cheyletiella parasitovorax merupakan jenis tungau yang biasanya
menyerang kelinci dan dikenal juga sebagai ketombe kelinci. Tungau ini
didapatkan dari kerokan kulit seekor kelinci peliharaan di Malang. Klasifikasi
tungau kelinci ini adalah sebagai berikut.
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Arachnida

Subclass

: Acari

Order

: Trombidiformes

Family

: Cheyletidae

Genus

: Cheyletiella

Spesies

: Cheyletiella parasitovorax

Gambar 3.5 Spesimen Cheyletiella parasitovorax yang diisolasi dari kerokan


kulit kelinci (Perbesaran 10X)

27

3.2.5.1 Morfologi
Cheyletiella merupakan jenis tungau dengan ukuran tubuh yang besar
dan dapat ditemukan di lapisan keratin epidermis anjing, kucing, dan yang
paling sering adalah kelinci. Tungau ini berbentuk ovoid, melengkung,
dengan jari-jari yang lebar dan bulu berbentuk sisir di setiap pasangan
kakinya. Cheyletiella memiliki dua pasang kaki di bagian anterior dan dua
pasang kaki di bagian posterior (Praag, 2010).
3.2.5.2 Siklus Hidup
Betina dewasa tungau Cheyletiella parasitovorax akan meletakkan
telurnya di antara rambut-rambut inangnya, 3-4mm diatas kulit. Telur
kemudian akan menetas menjadi larva dan berkembang menjadi nimfa dan
selanjutnya menjadi tungau dewasa. Satu siklus hidup tersebut membutuhkan
waktu selama tiga minggu. Jika tidak berada diatas tubuh inang, cheyletiella
betina dewasa dapat bertahan selama beberapa hari di lingkungan. Oleh
karena itu, dapat terjadi kontaminasi tungau yang berasal dari lingkungan.
Fase dewasa merupakan fase infektif tungau Cheyletiella parasitovorax.
Tungau ini tidak bersifat invasif ke lapisan dalam kulit (Praag, 2010).
3.2.5.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Cheyletiella parasitovorax dikenal sebagai walking dandruff pada
kelinci. Infestasi tungau biasanya terjadi pada saat kelinci sedang dalam
kondisi imunologi yang buruk misalnya karena pengaruh suhu, lingkungan,
atau pakan. Praag (2010) menyebutkan bahwa cheyletiella bisa ditemukan
pada kelinci-kelinci sehat dan tidak bersifat patogen jika kondisi imunitas
hewan baik. Kekurangan vitamin C juga dapat menjadi salah satu pemicu

28

infestasi tungau ini. Pada kondisi kronis, kelinci akan mengalami alopesia
terutama di bagian leher dan punggung. Jika kondisinya tidak begitu parah,
tungau ini menyebabkan kerontokan. Gigitan tungau ini menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dan rasa gatal pada hewan, serta sering kali ditemukan
sebhoreic lesion.
3.2.5.4 Pengendalian
Pengobatan terhadap kelinci yang terserang cheyletiella merupakan
langkah pengendalian utama yang dapat dilakukan karena fase infektif tungau
tersebut adalah pada saat dewasa. Penggunaan ivermectin secara injeksi
maupun penggunaan secara topikal dapat dilakukan pada kelinci. Penggunaan
shampoo dianggap kurang efektif dalam penanganan kasus ini sedangkan
pemberian fipronil walaupun dinilai sangat efektif dalam membasmi
cheyletiella namun sebaiknya tidak diberikan pada kelinci karena dapat
menyebabkan efek serius seperti kejang dan depresi serta dapat berakhir pada
kematian. Kelinci yang terserang penyakit ini juga harus dipisahkan dari
kelinci sehat lainnya. Selain pengobatan, sanitasi kandang secara teratur juga
harus diperhatikan untuk mengendalikan penyebaran dan kontaminasi
Cheyletiella parasitovorax dari lingkungan ke inang yang baru.

29

3.2.6 Damalinia ovis


3.2.6.1 Morfologi

Gambar 3.6 Spesimen Damalinia ovis yang dikoleksi dari bulu domba
(Perbesaran 10X).
Berikut ini klasifikasi kutu domba oleh Clay (1970) dan Kim &
Ludwing (1978).
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Phthiraptera

Subordo

: Mallophaga

Famili

: Trichodectidae

Genus

: Damalinia

Spesies

: Damalinia ovis

Ektoparasit ini memiliki panjang diatas tiga mm, berwarna coklat dan
relatif ukuran kepalanya besar. Telurnya berukuran 1-2 mm, berbentuk oval,

30

berwarna putih. Habitat telur ini menempel pada bulu (rambut) domba (Hadi
dan Soviana 2010).
3.2.6.2 Siklus Hidup
Kutu ini mengalami metamorphosis tidak sempurna, mulai dari telur,
nimfa

instar

pertama

sampai

ketiga

lalu

dewasa.

Seluruh

tahap

perkembangannya secara umum berada pada inangnya. Jumlah telur yang


dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10-300 butir selama hidupnya.
Telur menetas menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5-18 hari tergantung jenis
kutu. Nimfa akan berganti kulit dua kali dengan interval 5-9 hari. Bagian
mulut dari kutu tersebut beradaptasi untuk menggigit dan mengunyah bagian
luar wol, lapisan dermis, dan darah (Hadi dan Soviana 2010).
3.2.6.3 Gejala klinis
Ektoparasit seperti Damalinia ovis dapat memberikan efek yang serius
pada produktivitas domba, seperti menurunkan produksi susu dan daging,
meurunkan

kualitas

wool,

dan

kulit

serta

membutuhkan

program

pengontrolan yang mahal. Selain itu juga dapat menyebabkan kesejahteraan


domba saat bergerombol dan individu. Pada domba yang terinfeksi kutu,
sering kali tubunya terasa gatal-gatal, terlihat domba menggosokkan
tubuhnya pada pohon atau kandang. Gejala klinis yang tampak yaitu adanya
iritasi pada kulit domba dan rambut atau bulu terlihat kusam terlihat terdapat
infestasi kutu-kutu yang menempel pada rambut (Murtidjo 1992).
3.2.6.4 Pengendalian
Obat-obatan insektisida yang digunakan harus sanggup membunuh
serangga berbagai spesies, tanpa menimbulkan resistensi bagi yang dijadikan

31

sasaran (Murtidjo 1992). Tindakan pencegahan merupakan salah satu


tindakan tepat untuk meminimalkan adanya infestasi kutu pada kambing dan
domba, dengan menjaga kebersihan kandang, serta pemberian pakan yang
sesuai

(Glynn,

2009).

Pada

domba,

pemotongan

rambut

mampu menghilangkan 30-50% populasi kutu, selain itu bisa juga


melakukan dipping untuk mengurangi keberadaan kutu serta penyemprotan
(Williamson dan Payne 1993).
3.2.7 Menopon gallinae
3.2.7.1 Morfologi
Spesimen Menopon gallinae didapatkan dari ayam yang diperoleh dari
daerah keputran, Surabaya. Klasifikasi spesimen ini adalah sebagai berikut.

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Order

: Phthiraptera

Suborder

: Amblycera

Family

: Menoponidae

Genus

: Menopon

Spesies

: Menopon gallinae

32

Gambar 3.7 Spesimen Menopon gallinae (Perbesaran 10X)


Menopon merupakan kutu batang bulu atau shaft louse, berwarna
kuning pucat, dan hidup pada batang bulu. Panjang kutu jantan 1,71 mm dan
betina 2,04 mm. Pada masing-masing segmen di bagian thorax dan abdomen
memiliki sebaris rambut yang berdiri atau disebut bristle. Antenanya tidak
begitu tampak, terletak di dalam lekukan ventrolateral pada masing- masing
sisi samping kepala dan masing-masing terdiri dari 5 ruas. Palpus maksilaris
kadang-kadang tidak ada, tetapi menonjol di samping kepala dan sering
dikelirukan sebagai antenna (Soulsby, 1968; Noble et al ., 1989).
3.2.7.2 Siklus Hidup
Menopon gallinae sering ditemukan di bagian tangkai bulu ayam
(Tabbu, 2002). Hidup pada tubuh ayam, itik serta merpati (Soulsby, 1968).
Metamorphosis pada Menopon gallinae mulai dari fase telur hingga dewasa
tidak terdapat banyak perubahan. Pada stadium nympha bentuk nya sama
dengan stadium dewasa. Pada stadium nimpha pakan dan habitatnya sama
dengan stadium dewasa. Terbentuknya kutikula baru dan semakin
berkembang sebanyak empat sampai lima kali, yang membedakan hanya
ukuran

saja.

Siklus

hidupnya

sangat

sederhana

yaitu

mengalami

33

metamorphosis sebagian/tidak lengkap yang dikenal sebagai hemimetabolous


metamorphosis (Wall and Shearer, 2012).
3.2.7.3 Gejala Klinis
Menopon gallinae sering ditemukan di bagian tangkai bulu ayam
(Tabbu, 2002). Soulsby, 1968 menambahkan bahwa selain kutu ini hidup
pada tubuh ayam, juga hidup pada hewan lain yaitu itik dan merpati. Ayam
gelisah karena gatal, merosotnya produksi daging dan telur (Haryono dkk,
2008). Menopon gallinae dapat menghisap darah ayam dengan cara menusuk
tangkai bulu yang baru tumbuh atau melukai kulit yang mengalami iritasi
(Tabbu, 2002).
3.2.7.4 Pengendalian
Pengendalian yang dianjurkan untuk kasus Menopon gallinae adalah
penggunaan anti-kutu dalam bentuk bubuk maupun spray. Jenis yang baik
digunakan yaitu sodium fluoride, nicotine sulfate, bubuk sulfur dan DDT
serta dapat menggunakan parathion spray. Penggunaannya yaitu di taburkan
ataupun disemprot pada bagian yang terdapat kutu terutama di daerah tangkai
bulu (Harry, 1954).

3.2.8 Columbicula
3.2.8.1 Morfologi
Pada spesies ini dimorfisme sexualnya terletak pada antenna, dimana
pada jantan lebih besar dan memiliki 3 antena di tiap segmennya. Pada bagian
kepala terlihat jelas bilobus dorsoanterior dimana menghubungakan carina
marginal dan bagian depan setae medioanterior. Organ genital jantan dan

34

betina terletak pada abdomen disegmen II-IX , di segmen ke 7 terdapat 2


setae di sebelah median (Dale & Roger, 1999). Panjangnya dapat mencapai
2-3 mm dimana tubuhnya berwarna hitam dan coklat (Ash, 1960; Nelson &
Murray, 1971).

Gambar 3.8 Spesimen colombicula yang dikoleksi dari bulu unggas dan
diawetkan menggunakan metode pengawetan basah dengan
pewarnaan (Perbesaran 10X).)

3.2.8.2 Siklus Hidup


Masa inkubasi telur adalah 9-10 hari dengan siklus hidup lengkap
selama lima minggu. Tiga tahap nympha terjadi sebelum kutu betina mulai
bertelur. Kutu betina meletakkan telurnya di bawah sayap hospesnya. Masa
hidup dari kutu ini sekitar 4-7 minggu.
3.2.8.3 Gejala Klinis
Iritasi

disebabkan

oleh

gigitan

kutu,

sehingga

terjadi

reaksi

hipersensitifitas dan dihasilkannya histamine sebagai respon terhadap


infestasi tersebut. Rasa gatal mendorong hewan untuk menggosok tubuh

35

mereka ke pagar dan pohon-pohon atau menggigit pada kulit mereka,


menyebabkan kerusakan pada bulu dan mengiritasi kulit (Seddon, 1967).
3.2.8.4 Pengendalian
Tindakan pengendalian terhadap penyebaran kutu columbicula dapat
dilakukan dengan menggunakan obat tabur dan obat semprot ke seluruh areal
kandang. Penggunaan Neocidal, Malathion, Neguvon, Asantol, DDT,
Lindane,

Toxaphene

dapat

menjadi

pilihan

bahan

kimiawi

untuk

pemberantasan kutu columbicula. Selain itu, sanitasi kandang secara rutin


serta manajemen kesehatan hewan dapat menjadi langkah pencegahan yang
efektif untuk penganganan kasus tersebut.

3.2.9 Haemotopinus eurysternus


3.2.9.1 Morfologi

Gambar 3.9 Spesimen Haematopinus eurysternus yang dikoleksi dari sapi


dan diawetkan menggunakan metode pengawetan basah dengan
pewarnaan (Perbesaran 10X).

36

Haematopinus eurysternus adalah kutu sapi dengan panjang tubuh


berkisar 3,4-4,8 mm dan relatif lebar. Kutu ini merupakan parasit eksternal
dan tidak memiliki sayap. Haematopinus menggunakan mulutnya untuk
menghisap darah dari inangnya. Kepalanya pendek dan pada kakinya
mempunyai cakar yang digunakan untuk menggantungkan diri di rambut
hospes.
3.2.9.2 Siklus Hidup
Fase perkembangan dari Haematopinus eurysternus dari telur, larva,
nimfa dan dewasa membutuhkan waktu selama 3-4 minggu. Seluruh proses
dari siklus tersebut berlangsung pada tubuh inangnya. Telur diletakkan oleh
betina dewasa di antara rambut pada permukaan tubuh inangnya. Telur akan
menetas menjadi nympha dan membutuhkan waktu 8-19 hari. Nympha
membutuhkan waktu tiga kali molting sebelum akhirnya menjadi
Haematopinus eurysternus dewasa.
3.2.9.3 Gejala Klinis
Gigitan Haematopinus eurysternus dapat menyebabkan iritasi pada
kulit sapi sehingga sapi akan tampak selalu menggigit-gigit, menggaruk atau
menggosok bagian tubuhnya. Pada infestasi berat, keadaan ini dapat
menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan dan menimbulkan stress. Areal
yang digosok secara konstan oleh hewan juga akan menjadi rusak sehingga
mengurangi estetika. Pada hewan ternak, penampilan seperti itu akan menjadi
masalah yang berdampak pada pengurangan nilai ekonomi ternak.

37

3.2.9.4 Pengendalian
Tindakan pengendalian terhadap penyebaran kutu haematopinus harus
melalui pertimbangan nilai-nilai ekonomis dan didasarkan pada infetasi yang
terjadi di kandang. dapat dilakukan dengan menggunakan obat tabur dan obat
semprot ke seluruh areal kandang. Terdapat empat metode untuk penanganan
kasus Haematopinus eurysternus. Metode pertama adalah dengan penyemprotan.
Penyemprotan pada areal kandang dan tubuh sapi dengan menggunakan
insektisida akan membantu mengurangi penyebaran haematopinus dewasa.
Metode kedua adalah penaburan bubuk (bedak) insektisida pada kulit hewan.
Kandungan kimiawi dari bubuk insektisida akan meresap masuk ke dalam lapisan
kulit hewan, sehingga kutu yang menyerang dan menghisap darh inang akan
mengalami keracunan. Metode ketiga yang biasanya digunakan di beberapa
Negara di eropa adalah penggunaan ear tag. Ear tag mengandung insektisida dan
dinilai efektif dalam mengontrol penyebaran kutu tersebut. Namun yang harus
diperhatikan adalah, penggunaan ear tag sangat rentan terhadap resistensi dari
hewan. Ear tag harus dilepas dan diganti setelah penggunaan selama tiga bulan.
Metode keempat adalah dengan menggunakan antihelmintik injek. Penggunaan
obat tersebut hanya efektif untuk mengendalikan kutu yang bersifat menghisap
darah.
3.2.10 Pediculus humanus
3.2.10.1 Morfologi
Sampel Pediculus humanus didapatkan dari rambut di kepala manusia.
Pediculuc humanus merupakan salah satu jenis kutu yang paling sering
menyerang manusia. Berikut adalah klasifikasi dari kutu tersebut.

38

Gambar 3.20 Pediculus humanus capitis (Perbesaran 100X)


Phylum

: Arthropoda

Kelas

: Insekta

Ordo

: Phthiraptera

Sub Ordo

: Anoplura

Famili

: Pediculidae

Genus

: Pediculus

Spesies

: Pediculus humanus capitis (Soedarto, 1990)

Kutu kepala dewasa mempunyai panjang sekitar 2 sampai 3 mm


(ukuran biji wijen), memiliki 6 kaki. Kutu rambut dewasa berbentuk pipih
dan memanjang, berwarna putih abu-abu, kepala ovoid bersudut, abdomen
terdiri dari 9 ruas, Thorax dari khitir seomennya bersatu. Pada kepala tampak
sepasang mata sederhana disebelah lateral, sepasang antenna pendek yang
terdiri atas 5 ruas dan proboscis, alat penusuk yang dapat memanjang. Tiap
ruas thorax yang telah bersatu mempunyai sepasang kaki kuat yang terdiri
dari 5 ruas dan berakhir sebagai satu sapit menyerupai kait yang berhadapan
dengan tinjolan tibia untuk berpegangan erat pada rambut (Wijayanti, 2007).
Kutu rambut jantan berukuran 2 mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf

39

V. Sedangkan kutu rambut betina berukuran 3mm, alat kelamin berbentuk


seperti huruf V terbalik. Pada ruas abdomen terakhir mempunyai lubang
kelamin di tengah bagian dorsal dan 2 tonjolan genital di bagian lateral yang
memegang rambut selama melekatkan telur (Wijayanti, 2007). Kutu betina
dapat hidup antara 3 sampai 4 minggu dan setelah bisa berbaring hingga 10
telur per hari . Ini telur kecil yang melekat erat pada pangkal rambut poros
yang berjarak 4mm dari kulit kepala dengan zat seperti lem yang diproduksi
oleh kutu (Frakowski et al, 2010). Jumlah telur yang diletakkanselama
hidupnya diperkirakan 140 butir (Wijayanti, 2007).
Telur berwarna putih mempunyai operculum 0,6-0,8 mm disebut nits.
Bentuknya lonjong dan memiliki perekat, sehingga dapat melekat erat pada
rambut. Warna telur terlihat samar dan mirip dengan warna rambut dan
mudah dilihat pada bagian posterior. Telur yang kosong ( nits ) lebih mudah
dilihat karena tampak putih diantara rambut yang gelap. Beberapa ahli
menyebut nits lebih menunjuk pada telur yang kosong. Telur diinkubasi oleh
panas tubuh dan menetas dalam 8 - 9 hari, tapi bisa menetas antara 7 sampai
12 hari tergantung pada udara sekitar panas atau dingin. Daerah favorit
tempat melekatnya telur adalah di dekat telinga dan bagian belakang kepala
(Sutanto dkk, 2008).
3.2.10.2 Siklus Hidup
Siklus hidup kutu rambut merupakan jenis metamorfosis tidak
sempurna, yaitu dimulai dari telur yang menjadi nimfa kemudian berkembang
menjadi kutu dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5 - 10
hari sesudah dikeluarkan oleh induk kutu rambut. Sesudah mengalami tiga

40

kali pergantian kulit, nimfa akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam
waktu 7 - 14 hari (Wijayanti, 2007). Dalam keadaan cukup makanan kutu
rambut dewasa dapat hidup 27 hari (Sutanto dkk, 2008).
Kutu tidak bisa melompat atau terbang, tetapi dapat merangkak.
Terdapat laporan bahwa menyisir rambut kering dapat lebih mengeluarkan
kutu dewasa dari kulit kepala. Kutu rambut kepala dapat bergerak dengan
cepat dan mudah berpindah dari satu hospes ke hospes lain. Penelitian
mengungkapkan bahwa kutu dapat berpindah antar sarung bantal pada malam
hari , tetapi insiden rendah (4%) (Weems dan Fasulo, 2013). Kutu rambut ini
dapat bertahan 10 hari pada suhu 5oC tanpa makan, dapat menghisap darah
untuk waktu yang lama, mati pada suhu 40oC. Panas yang lembab pada suhu
60oC memusnahkan telur dalam waktu 15-30 menit. Kutu rambut kepala
mudah ditularkan melalui kontak langsung atau dengan perantara barang barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya sisir, sikat rambut, topi dan
lain-lain (Wijayanti, 2007).
3.2.10.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Lesi pada kulit kepala dan terjadi infeksi sekunder dengan
menimbulkan kerak dan bau yang khas. Lesi pada kulit kepala disebabkan
oleh tusukan kutu rambut pada waktu menghisap darah. Lesi sering
ditemukan di belakang kepala atau kuduk. Air liur yang merangsang
menimbulkan papula merah dan rasa gatal yang hebat (Juni dkk, 2004). Kutu
dewasa dan nympha mendapatkan makanannya dengan menghisap darah
manusia. Kutu makan dengan cara menggigit melalui kulit dan menyuntikkan
air liur untuk mencegah darah dari pembekuan, kemudian mengisap darah ke

41

saluran pencernaan. Penghisapan darah dapat terjadi dalam jangka waktu


lama jika kutu tersebut tidak terganggu. Sementara itu, ketika makan kutu
dapat mengeluarkan kotoran berwarna merah gelap pada kulit (Weems dan
Fasulo, 2013).
3.2.10.4 Pengendalian
Pengobatan terhadap kutu pediculus dilakukan jika seseorang sudah
terjangkit dan ditandai dengan rasa gatal-gatal di kepala. Weems dan Fasulo
(2013) menyebutkan bermacam-macam obat untuk Pediculus humanus
capitis, yaitu sebagai berikut :
1. Shampo Lindane 1% dan Gamma benzene heksa klorid atau piretrin.
Shampoo diusapkan secara merata di rambut dan ditunggu 4-10 menit,
kemudian dibilas dengan piretrin. Pakai sampai rambut menjadi basah,
biarkan 10 menit kemudian dibilas. Tindakan lanjutan adalah dengan
memeriksa rambut seminggu setelah pengobatan untuk telur dan kutu
rambut.
2. Salep Lindane (BHC 10%) atau bedak DDT 10% atau BHC 1% dalam
pyrophylite atau Benzaos benzylicus emulsion. Kepala dapat digosok
dengan salep Lindane (BHC 1%) atau dibedaki dengan DDT 10% atau
BHC 1% dalam pyrophlite atau dengan penggunaan 3 5 gram dari
campuran tersebut untuk sekali pemakaian. Bedak dibiarkan selama
seminggu pada rambut, lalu rambut dicuci dan disisir untuk melepaskan
telur.

42

3. Peditox atau Hexachlorocyclohexane 0,5%. Peditox digosokkan pada


rambut dan kepala sampai merata biarkan semalam kemudian dicuci
lalu dikeringkan (Wijayanti, 2007).
Selain dengan pengobatan, pencegahan sebagai bentuk usaha
pengendalian agar kutu Pediculus humanus tidak menyebar lebih luas
juga harus dilakukan. Beberapa pengendalian yang bisa dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Hindari kontak kepala ( hair to hair dan head to head) selama bermain
dan kegiatan lain di rumah, sekolah dan di tempat lain (olahraga, taman
bermain, pesta tidur, berkemah).
2. Tidak berbagi pakaian seperti topi, syal, mantel, seragam olahraga, pita
rambut, atau jepit rambut.
3. Tidak berbagi sisir, sikat, atau handuk. Sisir dan sikat disinfeksi
digunakan oleh orang yang penuh dengan merendam dalam air panas (
setidaknya 40 C ) selama 5-10 menit.
4. Menghindari berbaring di tempat tidur, sofa, bantal, karpet, atau boneka,
binatang yang baru-baru ini telah melakukan kontak dengan orang yang
tejangkit kutu.
5. Meningkatkan hygiene personal seperti sering mengganti dan
membersihkan pakaian, topi, dan sarung bantal.
6. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perawatan badan dan
rambut perlu ditanamkan baik kepada orang tua maupun para anakanak.

43

7. Ketika salah satu anggota keluarga diketahui terkena kutu kepala maka
dianjurkan untuk memeriksa keberadaan kutu pada anggota keluarga
yang lain.
3.2.11 Menacantus stramineus
3.2.11.1 Morfologi
Klasifikasi Menacantus stramineus yang diisolasi dari merpati adalah
sebagai berikut.
Kingdom

: Animalia

Kelas

: Insekta

Ordo

: Pthiraptera

Family

: Menoponidae

Genus

: Menachantus

Spesies

: Menachantus stramineus

Gambar 3.21 Menacantus stramineus (Perbesaran 10X)


Nama lain dari Menacantus stramineus adalah Menopon biserum
(Nitzsch, 1818). Kutu ini tubuhnya berwarna kuning. Pada kutu jantan ukuran
panjangnya lebih pendek dari betina yaitu 2,8 mm sedangkan betina dapat
mencapai 3,3 mm. setiap segmen abdomen dari kutu ini mempunyai 2 baris

44

dorsal bristle. Berbeda dengan Menopon gallinae, kutu ini lebih menyukai
hidup di kulit yang tidak berbulu seperti di anus unggas, kalkun, burung
merak dan burung pheasant Selain di anus, kutu ini juga hidup di lubang
bulu, ambing, dan di paha ayam dan burung merpati (Sasmita dkk, 2013)..
3.2.11.2 Siklus Hidup
Telurnya berada di bagian bawah tubuh terutama di lubang bulu.
Telurnya menetas pada hari 4-7 hari selanjutnya pada 10-15 hari akan
mencapai fase dewasa. Fase dewasa dapat menghasilkan telur 50-300 butir
selama tiga minggu pada masa hidupnya (Brigid et al., 2005). Menurut
Sasmita dkk. (2013) telur dari Menacantus stramineus diletakkan secara
berkelompok pada bulu di daerah dekat kulit hospesnya.
3.2.11.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Gejala klinis yang ditimbulkan dari adanya Menacantus stramineus
adalah inang akan mengalami kesulitan tidur yang dilihat dari keadaan tidak
tenang pada inang, dan terlihat luka pada paruhnya, bulu terlihat suram, suka
menggosok-gosokkan badannya.
Menacantus stramineus termasuk ke dalam kutu penggigit dimana kutu
ini akan aktif bergerak pada tempat predileksinya, sambil menggigit bagian
kulitnya yang menjadi makanannya. Pada daerah yang terkena gigitannya
akan terjadi reaksi alergi yang mengakibatkan hospesnya menjadi tidak
tenang, selanjutnya akan tertekan yang mengakibatkan nafsu makan menurun,
tidur tidak nyenyak. Selain itu reaksi alergi akibat gigitan menyebabkan
hospes suka menggosok, menggaruk, mengigit atau mematuk tempat gigitan

45

yang menyebabkan rambut atau bulu menjadi rontok dan sampai timbul luka
dan memar pada kulit (Cheryl & Teresa, 2014)
3.2.11.4 Pengendalian
Pemberian Insectisida, pestisida dalam bentuk serbuk dan spray
dilakukan untuk pengendalian penyebaran kutu di lingkungan. Dapat juga
menggunakan pyrethrins dan pyrethroid sintetic. Pengecekan bagian tubuh
hewan terutama lubang bulu, ambing, dan di paha sebanyak 2 kali sebulan
akan membantu pengawasan dan pencegahan terhadap infestasi kutu (Brigid
et al., 2005).
3.2.12 Chrysomya bezziana
3.2.12.1 Morfologi
The Old Word Screwworm Fly (OSWF) atau Chrysomya bezziana
yang ditemukan di TPA Kausari Surabaya dan telah diidentifikasi di
Laboratorium parasitology FKH Unair. Chrysomya bezziana merupakan lalat
penyebab utama terjadinya penyakit myasis, baik pada manusia, ternak,
maupun hewan kesayangan di Benua Afrika dan Asia termasuk Indonesia
(Spradbery, 2002; Wardhana 2006). Chrysomya bezziana merupakan salah
satu penyebab myasis obligatori. C. berzziana adalah Arthropoda yang masuk
dalam subdivisi Hexapoda, kelas Insecta, subkelas Pterygota, superordo
Endopterygota, ordo Diptera, subordo Brachycera dan famili Calliphoridae
(Gandahusada et al., 1998).
Lalat C. bezziana berwarna biru metalik, biru keunguan atau biru
kehijauan (Gambar 2.1). Kepala lalat ini berwarna oranye dengan mata
berwarna merah gelap. Perbedaan antara lalat betina dan jantan terletak pada

46

matanya. Lalat betina memiliki celah yang memisahkan mata kanan dan kiri
lebih lebar dibandingkan lalat jantan. Ukuran lalat ini bervariasi tergantung
pada ukuran larvanya. Panjang tubuhnya rata-rata 10 mm dengan lebar kepala
berkisar rata-rata 4,1 mm (Sigit, 1978; Spradbery,1991).

Gambar 3.22 Lalat Chrysomya bezziana yang ditemukan di TPA Kausari


3.2.12.2 Siklus Hidup
Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur,
larva, pupa dan lalat. Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan
L3 memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan
membentuk pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari, kemudian menjadi
lalat yang akan bertelur setelah enam hingga tujuh hari (Spradbery, 1991).
Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada sore hari
atau menjelang petang dalam waktu sekitar 4,1 menit. Jumlah telur yang
dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180
telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12 - 24 jam atau sepuluh
jam pada suhu 30C, selanjutnya LI menuju ke daerah luka yang basah.

47

Gambar 3.23 Siklus hidup C. bezziana (koleksi : Dr. Martin Hall)


L1 akan berubah menjadi L2 setelah 24 jam dan mulai membuat
terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke
dalam jaringan inang (Spradbery, 1991). Larva instar II (L2) akan
berkembang menjadi L3 pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah
luka tersebut dan jatuh ke tanah. Larva tersebut akan membuat terowongan
sepanjang 2-3 cm untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva
akan menjadi pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28 C. Penetasan lalat dari
pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat
dalam seminggu pada suhu 25 - 30C, sedangkan pada temperatur yang lebih
rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan (Spradbery, 2002).
C. bezziana jantan memerlukan minum dan karbohidrat yang lebih
banyak dibandingkan dengan betina untuk mempertahankan hidupnya.
Walaupun protein bukan merupakan komponen yang essensial bagi siklus
pertama perkembangan telur tetapi penambahan protein dalam pakan dapat

48

mempercepat dan meningkatkan produksi telurnya (Spradbery, 1991;


Spradbery, 2002).
Mahon and Leopold (2002) yang menyebutkan bahwa perbandingan
lalat jantan dan

betina untuk kawin adalah 1 : 1. Hasil

pengamatan

Wardhana et al., (2003b) menunjukkan bahwa awal produksi telur terjadi


pada hari kedua pasca kawin. Umur lalat termuda yang mampu memproduksi
telur adalah umur lima hari. Puncak produksi telur terjadi pada betina yang
berumur delapan hingga dua belas hari. Umumnya lalat betina menetas satu
hari lebih awal dibandingkan dengan lalat betina. Awal kematian terjadi pada
umur empat hari dan mencapai puncaknya pada umur empat belas hari.
3.2.12.3 Pengendalian
Penggunaan insektisida atau pestisida dalam mengendalikan populasi
lalat C. bezziana dilaporkan kurang efektif untuk mengurangi populasi lalat
(Partoutomo, 2000). Selain itu efek samping yang diberikan oleh pestisida
sangat merugikan manusia. Seperti pada golongan organoklorin yang sudah
dilarang penggunaannya di berbagai negara karena dapat membahayakan
sistem syaraf dan menyebabkan persisten. Saat ini tekhnik pengendalian lalat
mulai dikembangkan oleh para peneliti. beberapa diantaranya sudah
diterapkan oleh beberapa negara di dunia.
1. Sterile Insect Technique (SIT)
Metode Sterile Insect Technique (SIT) yaitu pelepasan lalat jantan yang
disterilisasi dengan teknik radiasi dan telah dikembangkan sejak tahun 1950
oleh Knipling dan dilaporkan cukup efektif (Glanville, 2002; Whitten, 2002).
Di dalam program kontrol biologis seperti SIT, keberhasilannya sangat

49

tergantung pada pemahaman yang jelas tentang keragaman genetik yang ada
di dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi hama insekta
diketahui terjadi sibling maka program metode SIT tidak dapat dilaksanakan
karena harus mempersiapkan begitu banyak koloni insekta dari berbagai
daerah untuk diradiasi.
2. Screwworm Adult Suppresion System (SWASS)
Screwworm Adult Suppresion System (SWASS) adalah metode untuk
meningkatkan efektivitas SIT, yaitu dengan cara mengkombinasikan
penggunaan umpan (bait), perangsang pakan (feeding stimulant) yang terdiri
dari campuran tepung darah, gula dan bongkol jagung dan insektisida yang
dibentuk menjadi pelet kemudian disebar dengan pesawat (Coppedge et al .,
1980).
3. Metode Bait Station
Merupakan metode yang menggunakan elemen yang sama dengan
SWASS dalam suatu alat yang permanen kemudian diletakkan diatas tanah
(Coppedge et al., 1981). Metode ini menggunakan campuran pemikat
swormlure (SL-2) dengan insektisida dichlurovos. Kelemahan dari tekhnik ini
adalah kurang eektif untuk daerah lembab, daerah yang memiliki saluran air
dan hanya bertahan 3-5 hari (Snow et al., 1982).
4. Pemikat Lalat (attractant)
Penelitian tentang pemikat lalat myasis telah dilakukan sebelum tahun
1970-an dengan tujuan untuk mengganti hati sapi yang secara tradisional
mampu memikat lalat jantan. De Vaney et al., (1973) melaporkan bahwa
formula pemikat yang terbuat dari darah sapi yang terkontaminasi dengan

50

bakteri, darah steril yang diinokulasi dengan bakteri, darah yang mengalami
defibrinasi dan plasma darah mempunyai respon yang cukup tinggi terhadap
lalat hominivorax. Secara tradisional pemikat yang digunakan untuk
memonitor populasi lalat screwworm adalah gerusan hati. Meskipun SL-2
mampu memikat lalat C. Bezziana lebih banyak tetapi hati sapi segar dapat
digunakan sebagai pemikat alternatif oleh peternak-peternak tradisional di
pedesaan atau pada daerah-daerah yang tidak memungkinkan tersedianya SL2 (Wardhana dan Sukarsih, 2004).
3.2.13 Musca domestica
3.2.13.1 Morfologi

Gambar 3.24 Musca domestica yang ditemukan di sekitar kantin FPIK.


Lalat ini ditemukan di sekitar lingkungan kantin FPIK Unair, dan
berhasil diidentifikasi di laboratorium Parasitologi FKH Unair. Klasifikasi
Musca domestica atau sering disebut lalat rumah adalah sebagai berikut
(Anonim, 2008):

51

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Ordo

: Diptera

Famili

: Muscidae

Genus

: Musca

Spesiess

: Musca domestica

Ordo Diptera memiliki tipe alat mulut untuk mengunyah dan


menghisap atau menjilat dan menghisap yang membentuk alat mulut seperti
belalai

yang

disebut

sebagai

probosis.

Probosis

ini

dapat

ditarik ke dalam atau dijulurkan sesuai dengan keperluan hewan tersebut.


Sesuai dengan namanya, hewan dari ordo ini mempunyai dua pasang sayap
depan, sedangkan sayap belakang berubah bentuknyamenjadi suatu bulatan
kecil yang disebut haltere. Haltere ini digunakan sebagai alat keseimbangan
dan alat untuk mengetahui keadaan angin (Rusyana, 2011).
M. domestica berukuran sedang, panjangnya 6-8 mm, berwarna hitam
keabu-abuan dengan empat garis memanjang gelap pada bagian dorsal toraks.
Antena terdiri dari tiga ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk silinder dan
dilengkapi dengan arista yang memiliki bulu pada bagian atas dan bawah.
Bagian ujung probosis terdiri atas sepasang labella berbentuk ovalyang
dilengkapi

dengan

saluran

halus

disebut

pseudotrakhea

tempat

cairanmakanan diserap. Sayapnya mempunyai empat garis (strep) yang


melengkung kearah kosta/rangka sayap mendekati garis ketiga. Garis (strep)
pada sayap merupakan ciri pada lalat rumah dan merupakan pembeda dengan

52

musca jenis lainnya. Pada ketiga pasang kaki lalat ini ujungnya mempunyai
sepasang kuku dan sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar
rambut. Pulvilus tersebut memungkinkan lalat menempel atau mengambil
kotoran pada permukaanhalus kotoran ketika hinggap di sampah dan tempat
kotor lainnya (Anonim,2012).
3.2.13.2 Siklus Hidup
Di daerah tropika, lalat rumah membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu
30 oC dalam satu siklus hidupnya, dari telur, larva, pupa dan dewasa. Telur
berbentuk seperti pisang, berwarna putih kekuningan, dan panjangnya kirakira 1 mm. Betina bertelur dalam bentuk kelompok di dalam bahan organik
yang sedang membusuk dan lembab tetapi tidak cairan. Kelembaban yang
tinggi diperlukan untuk kelangsungan hidupnya, mereka akan menetas dalam
waktu 10-12 jam pada suhu 30 oC.

Gambar 3.25 Siklus hidup M. domestica.

53

Perkawinan terjadi diantara lalat setelah 24 jam pada yang jantan dan
30 jam pada yang betina. Telur kelompok pertama diletakkan setelah 2-3 hari
pada suhu 30 oC, dengan jumlah telur 100-150 butir setiap oviposisi. Dalam
kondisi alam, lalat rumah hidup hanya sekitar satu minggu, meletakkan telur
hanya 2 atau 3 kelompok telur. Lalat betina bunting terbang ke arah tempat
perindukan karena tertarik oleh bau CO2, ammonia, dan bau dari bahan yang
sedang membusuk. Telurnya diletakkan jauh dari permukaan untuk
menghindari proses kekeringan.
3.2.14 Sarcophaga spp.
3.2.14.1 Morfologi
Sarcophaga termasuk ke dalam famili Sarcophagidae. Lalat ini
ditemukan di sekitar lingkungan FKH Unair, dan berhasil diidentifikasi di
laboratorium Parasitologi FKH Unair. Lalat ini berwarna abu-abu tua,
berukuran sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya. Lalat ini
mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya
mempunyai corak seperti papan catur. Lalat ini bersifat viviparus dan
mengeluarkan larva hidup pada tempat perkembangbiakannya seperti daging,
bangkai, kotoran dan sayursayuran yang sedang membusuk. Tahap larva
makan berlangsung beberapa hari, kemudian keluar dari tempat makanya
untuk populasi di daerah yang lebih kering.

54

Gambar 3.26 Sarcophaga yang ditemukan di lingkungan FKH UNAIR


3.2.14.2 Siklus Hidup
Siklus hidup lalat ini berlangsung 2-4 hari. Dimulai dari telur,
kemudian tumbuh menjadi larva instar (I,II,III). Setelah itu, larva instar III
berkembang menjadi pupa dan menjadi Sarcophaga dewasa. Lalat ini umum
ditemukan di pasar dan warung terbuka, pada daging, sampah dan kotoran,
tetapi jarang memasuki rumah. Lalat ini juga dilaporkan lambungnya
mengandung telur cacing ascaris lumbricoides (cacing gilig) dan cacing
cambuk (Trichuris trichuira)
Lalat daging (Sarcophaga) sangat mirip dengan beberapa lalat hijau
tetapi umumnya kelihatan dengan garis-garis toraks yang kelabu dan
mempunyai arista telanjang atau hanya separuh dasar yang plumosa. Lalat
hijau biasanya mempunyai dua rambut-rambut bulu notopleura dan lalat
daging biasanya mempunyai empat rambut-rambut bulu notopleura.

55

3.2.15 Stomoxys calcitrans


3.2.15.1 Morfologi
Lalat Kandang (Stomoxys calcitrans) ditemukan di peternakan sapi
milik Furqon di Malang. Lalat ini bentuknya menyerupai lalat rumah tetapi
berbeda pada struktur mulutnya yang berfungsi menusuk dan menghisap
darah. Lalat ini jarang dijumpai di permukiman, tetapi sangat umum pada
peternakan sapi perah, atau sapi yang selalu di kandang. Lalat ini merupakan
penghisap darah ternak yang dapat menurunkan produksi susu. Kadangkadang menyerang manusia dengan menggigit pada daerah lutut atau kaki
bagian bawah. Baik yang jantan maupun yang betina menghisap darah.

Gambar 3.27 Stomoxys calcitrans yang ditemukan di Peternakan Furqon


Lalat kandang dewasa berukuran panjang 5-7 mm, mempunyai bagian
mulut meruncing untuk menusuk dan menghisap darah. Sayapnya
mempunyai vena 4 yang melengkung tidak tajam ke arah kosta mendekati
vena 3. Antenanya terdiri dari tiga ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk

56

silinder dan dilengkapi dengan arista yang memiliki bulu hanya pada bagian
atas (Levine 1990).
3.2.15.2 Siklus Hidup
Lalat betina harus mendapatkan darah untuk produksi telur. Telur
diletakkan pada habitat yang sesuai yaitu manur atau kotoran hewan yang
telah bercampur dengan urin dan sisa makanan atau rumput. Bisa juga telur
diletakkan pada sampah sayuran, kompos, potongan rumput, biji-bijian yang
sedang membusuk, kotoran ayam atau ganggang laut yang menimbun di
sepanjang pantai. Telur menetas dalam waktu beberapa hari. Tahap makan
atau tahap larva berlangsung selama 1-3 minggu. Kemudian mengkerut di
tempat yang lebih kering menjadi pupa. Stadium pendewasaan akan muncul
dari pupa setelah satu minggu atau lebih, dan siklus hidup berkisar 3-5
minggu pada kondisi optimal.
Lalat dewasa menghisap darah hewan dan cenderung tetap di luar
rumah di tempat yang terpapar sinar matahari. Lalat jantan maupun betinanya
menghisap darah dan merupakan penerbang yang kuat dan berumur panjang.
Aktif pada siang hari dan gigitannya menyakitkan (Levine 1990). Stomoxys
calcitrans dilaporkan dapat menjadi vektor bagi Brucella abortus, B.
Militensis, Bacillus antracis dan Trypanosoma evansi.
3.2.15.3 Pengendalian
Pengendalian lalat stomoxys relatif sulit dilakukan. Sanitasi dan
kebersihan kandang merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan populasi lalat. Penggunaan insektisida juga merupakan cara
digunakan untuk membunuh lalat dengan cara menyemprot kandang dengan

57

Lindane 0,03-0,05 %, Toxaphene 0,5%, Metoxychlor 0,05 %, Coumaphos


0,125 %, Dioxanthion 0,15 %, Malation 0,5 %, atau Ronnel 0,75 %.
Pemberian dichlorvos dalam minyak mineral diberikan setiap hari juga
mampu mengusir lalat untuk hinggap dipermukaan tubuh hewan. Selain
dichlorvos bisa juga digunakan coumophos, malathion atau tetrachlorvinphos
yang diberikan 2 sampai3 kali seminggu dalam sediaan tabur. Aplikasi
insektisida dapat dilakukan dengan cara Dipping (populasi ternak banyak),
spraying, Back Rubber, Dust bag, Pour on, lewat makanan dan menggunakan
keping resin (seperti kalung).

3.2.16 Tabanus sp.


3.2.16.1 Morfologi
Lalat Tabanus memiliki bentuk badan yang lebih besar daripada familifamili. Ukuran tubuhnya sekitar 10-25 mm. Antena terdiri dari tiga segmen,
dan segmen yang terakhir disebut Flagellum. Flagellum pada lalat Tabanus
masih mempunyai segmen-segmen lagi. Antena Tabanus lebih pendek
daripada kepala. Tabanus juga memiliki cutting lapping (kerat hisap). Sayap
membentuk huruf V.

58

Gambar 3.27 Tabanus rubidius yang diperoleh dari Kenjeran Surabaya


Lalat Tabanus rubidius yang ditemukan di daerah Kenjeran Surabaya
ditangkap dengan menggunakan tangguk serangga (insect net). Kemudian
lalat dimasukan kedalam plastik (untuk keperluan identifikasi). Kemudian di
identifikasi di Laboratorium parasitologi UNAIR. Cara membedakan antara
Tabanus rubidius dengan Tabanus lainnya adalah dengan memperhatikan
bentuk kalus nya, kususnya pada lalat betina (Gambar 3.29).

Gambar 3.29 Bentuk dan ukuran kalus beberapa spesies Tabanus

59

3.2.16.2 Siklus Hidup


Siklus hidup Tabanus diawali dengan telur diletakan pada daun diatas
permukaan air yang berlumpur. Telur berkembang mengeluarkan larva. Larva
jatuh kedalam air masuk kedalam lumpur berkembang menjadi pupa. Pupa
berkembang menjadi lalat dewasa.
Sifat adaptasi biologi yang mengakibatkan lalat tersebut menjadi vektor
penyakit yaitu :
1. An-otogeni yaitu lalat betina membutuhkan darah untuk perkembangan
telurnya
2. Telmofagi yaitu alat menghisap darah dalam waktu lama karena lalat
memasukan antikoagulan pada tempat gigitannya
3. Lalat memiliki ukuran tubuh besar sehingga mampu menghisap darah
dalam jumlah banyak yang berpotensi menghisap darah yang mengadung
agen penyakit.
4. Lalat menghisap darah dalam waktu lama sehingga memunculkan peluang
besar untuk menularkan penyakit yang dibawanya.
5. Lalat

menghisap

darah

berpindah

dan

terputus-putus

sehingga

memungkinkan lalat menularkan penyakit dari inang yang satu ke lainnya.


Infestasi lalat Tabanus pada host mengakibatkan gangguan ketenangan,
menurunkan napsu makan, menurunkan jumlah produksi susu, anemia dan
ikterus. Lalat Tabanus juga berperan sebagai vektor beberapa penyakit, yaitu
a. Penyakit equine infeksius anemia
b. Hig Cholera
c. Riderpest

60

d. Surra (Trypanosoma evansi)


e. Anaplasmosis (A. marginale)
f. Anthrax (Bacillus antracis)
g. Francisella tularensis
3.2.16.3 Pengendalian
Pengendalian Lalat Tabanus dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
secara rutin melakukan pengeringan kandang dan daerah berair sekitar
kandang. Pengeringan tersebut diikuti dengan pembersihan tanaman yang ada
di permukaan air di daerah sekitar kandang, pembersihan lumpur di tempat
penyimpanan air, penyemprotan dengan Lindane, Dieldrin sampai 14 hari.
Untuk menanggulangi populasi lalat dewasa dapat dilakukan dipping dan
penyemprotan residu pada dinding kandang dengan Malathion secara berkala.
3.2.17 Haematobia exigua
3.2.17.1 Morfologi
Haematobia exigua banyak ditemukan pada wilayah peternakan dengan
sistem ranch atau dilepas di suatu lapangan yang luas. Haematobia exigua
berhasil didapatkan di kandang FKH UNAIR dan diidentifikasi di
laboratorium Parasitologi (gambar 3.30).

61

Gambar 3.30 Haematobia exigua yang ditemukan di Kandang FKH UNAIR


Klasifikasi lalat Haematobia exigua tersebut adalah sebagai berikut
Phylum

: Arthropoda

Class

: Insecta

Ordo

: Diptera

Subordo

: Cyclorrapha

Family

: Muscidae

Genus

: Haematobia

Species

: Haematobia irritans exigua

Ukuran tubuh haematobia hanya setengah dari M. domestica, berwarna


kelabu dan dicirikan dari adanya dua garis hitam longitudinal pada toraks.
Lalat jenis ini memiliki bagian mulut dengan palpus yang kokoh dan sama
panjang dengan probosis. Arista dan venasi sayap mirip seperti lalat Stomoxys
calsitrans.
3.2.17.2 Siklus Hidup
Telur diletakkan satu-persatu atau kelompok berjumlah 4-6 butir pada
feses sapi/ hewan besar yang segar. Dalam sekali bertelur bisa mencapai 20-

62

24 butir dengan total telur yang dihasilkan selama hidup 400 butir. Setelah 24
jam telur menetas menjadi larva yang melalui 4-8 hari untuk menjadi pupa.
Masa pupa berlangsung selama 6-8 hari. Perkembangan dari telur hingga
mencapai dewasa dapat berlangsung selama 10 hari- 2 minggu.

Gambar 3.31 Siklus hidup Haematobia exigua


Lalat dewasa aktif menghisap darah pada siang hari dan menyerang
hewan dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan kegelisahan hewan yang
berakibat penurunan baik berat badan maupun produksi susu. Lalat ini dapat
dkatakan ektoparasit obligat karena hampir selalu berada pada inang, baik
pada saat makan maupun istirahat. Penyakit- penyakit yang dapat ditularkan
lalat ini antara lain surra (Trypanosoma evansi) dan Habronemiasis ( H.
Microstoma).

Selain itu beberapa masalah yang ditimbulkan oleh

Haematobia irritans exigua

adalah menghisap darah 40 kali sehari,

menimbulkan iritasi pada kulit baik akibat bekas gigitan lalat maupun lesio
pada kulit akibat nematoda Stephanofilaria stilesi (Haematobia irritans
exigua sebagai vektor intermediet), serta menyebabkan anemia yang berujung
pada penurunan produksi.

63

3.2.17.3 Pengendalian
Pengendalian terhadap penyebaran lalat Haematobia irritans exigua
relatif sulit dilakukan. Sanitasi dan kebersihan kandang merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi lalat. Penggunaan
insektisida juga merupakan cara yang digunakan untuk membunuh lalat
dengan cara menyemprot kandang dengan Lindane 0,03-0,05 %, Toxaphene
0,5%, Metoxychlor 0,05 %, Coumaphos 0,125 %, Dioxanthion 0,15 %,
Malation 0,5 %, atau Ronnel 0,75 %. Pemberian dichlorvos dalam minyak
mineral diberikan setiap hari juga mampu mengusir lalat untuk hinggap
dipermukaan tubuh hewan. Selain dichlorvos bisa juga digunakan
coumophos, malathion atau tetrachlorvinphos yang diberikan 2 sampai3 kali
seminggu dalam sediaan tabur. Aplikasi insektisida dapat dilakukan dengan
cara Dipping (populasi ternak banyak), spraying, Back Rubber, Dust bag,
Pour on, lewat makanan dan menggunakan keping resin (seperti kalung).

64

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.

Morfologi, habitat, siklus hidup, dan predileksi dari berbagai kelas


insekta memiliki perbedaan yang spesifik tergantung dari jenis spesies
tersebut.

2.

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infestasi setiap spesies berdasarkan


pada jenis spesies tersebut dan adanya infeksi sekunder yang
diakibatkan oleh ektoparasit tersebut.

3.

Patogenesis dari setiap infestasi ektoparasit tergantung pada setiap


spesies dan jenis inang dari ektoparasit tersebut .

4.

Penegakan tindakan pencegahan dan pengobatan didasarkan pada


tingkat keparahan infestasi, stadium infektif dari setiap spesies, dan
nilai-nilai ekonomi pada proses pemeliharaan hewan yang terjangkit.

4.2 Saran
Penambahan jumlah sampel yang diperiksa dan hasil identifikasi
yang berhasil dilakukan lebih banyak akan membantu pemahaman materi
entomologi yang lebih dalam.

65

DAFTAR PUSTAKA
Bowman D D. 1999. Georgis Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an
Imprint of Elsevier Science.
Brigid, M., S. Jeffrey., A. Ernst. 2005. Common Lice and Mites of Poultry :
Identification and Treatment. University of California.
CDC. 2013. Parasites Lice Head Lice. http://www.cdc.gov. Diakses tanggal
29 Maret 2014. Departement of Health, victoria, Australia. 2011. Treating
and controlling head lice. http://health.vic.gov.au/headlice/. Diakses tanggal
29 Maret 2014.
Cheryl B.G., and Teresa Y. M. 2014. Backyard Poultry Medicine and Surgery: A
Guide for Veterinary Practitioners. USA.
Dale, H.C., and Roger, D.P. 1999. Taxonomy of New World Columbicola
(Phthiraptera: Philopteridae) From The Columbiformes (Aves), With
Descriptions of Five New Species. Ann Entomol Soc Am.675-685.
Direktorat Kesehatan Hewan. 1982. Beberapa ektoparasit yang penting sebagai
vektor penyakit hewan di Indonesia. Dalam: Pedoman Pengendalian
Penyakit Hewan Menular Jilid IV: 89-99.
Frankowski, Barbara L., Joseph A. Bocchini, Jr and Council on School Health and
Committee on Infectious Diseases. Head Lice. Journal Pediatrics. Hal :
392-403.
Hadi U.K. dan Soviana, S. 2000. Ektoparasit; Pengenalan, Diagnosa, dan
Pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. FKH IPB.

66

Hadi

U.K. dan Soviana, S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis dan


Pengendalian. Bogor: Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran
Hewan, IPB.

Haryono, Suwito, A., Irham, M., Dewi, K., R.T.P. Nugraha. 2008. Fauna
Indonesia. Vol.8 No. 2. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor.
Harry G. Herrlein . 1954. Handbook of Laboratory Animals Institute of
Laboratory Animal Resources (U.S.). Amerika.
Levine N D. 1990. Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada
University Press.

Juni, Prianto, L.A., Tjahaja, P.U., dan Darwanto. 2004. Atlas Parasitologi
Kedokteran. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Partautomo, S. 2000. Epidemiologi dan pengendalian myasis di Indonesia.
Wartazoa 10(1) : 20-27.
R. Wall, and D. Shearer . 2012. Veterinary Entomology: Arthropod Ectoparasites
of Veterinary Importance. Springer Science & Business Media.
Sasmita, R., Hastutiek, P., Sunarso, A., dan Yunus, M. 2013. Arthropoda
Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP). Surabaya.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. 7th ed. Bailliere Tindall. London.
Spradbery, J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO
Division of Entomology. Canberra. Australia. Vet. J. 7 : 28 - 32.
Spradbery, J .P. 1994. Screwworm fly : A tale of two species. Agric. Zool. Rev. 6.

67

Spradbery, J.P . 2002 . The screwworm fly problem : A background briefing.


Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference Canberra.
Canbera, 12 - 15 November 2001. Departement of Agriculture Fisheries and
Forestry Australia. pp. 33 - 41.
Sutanto, Inge dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran : Edisi Keempat.
Jakarta.
Wardhana, A.H. dan S. Muharsini. 2005. Kasus Myasis yang Disebabkan oleh
Chrysomya bezziana di Pulau Jawa. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 - 13 September 2005. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 1078 - 1084.
Wardhana, A.H. dan Sukarsih. 2004. Pengembangan Teknik Uji pemikat lalat
Chrysomya bezziana (Diptera :Calliphoridae) dalam kondisi laboratorium
dan semilapang. JITV 9(1):37-45.
Wardhana, A.H., S. Muharsini dan Suhardono. 2003.Koleksi dan kejadian myasis
yang disebabkan oleh old world screwworm fly, Chrysomya bezziana
didaerah endemik di Indonesia . Pros. Seminar NasionalTeknologi
Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor,29 - 30 September 2003 . Puslitbang
Peternakan, Bogor. hIm. 235 - 239.
Wardhana, A.H., Sukarsih dan R. Urech. 2005. Identifikasi senyawa volatil dari
luka myasis dan responnya terhadap lalat Chrysomya bezziana. JITV
10(1) : 41 - 50.
Wardhana, A.H., Sukarsih, R. Urech, dan P. Green. 2005. Modifikasi sworm lure
(SL2) untuk meningkatkan daya pikatnya terhadap lalat old world
screwworm, Chrysomya bezziana. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12- 13 September 2005. h1m. 10971104.

68

Weems, H. V. Jr. and T. R. Fasulo. 2013. Human Lice: Body Louse, Pediculus
humanus humanus Linnaeus and Head Louse, Pediculus humanus capitis De
Geer (Insecta: Phthiraptera (=Anoplura): Pediculidae). Ifas Extension.
University Of Florida.
Wijayati, Fitriana. 2007. Hubungan Antara Perilaku Sehat dengan Angka
Kejadian Pedikulosis Kapitis pada Santriwati Pondok Pesantren Darul
Ulum Jombang. Skripsi. Universitas Jember. Jember.

69

Anda mungkin juga menyukai