BAB 2 METODOLOGI
rotasi
Parasitologi
sub-departemen
Entomologi
kulit
hewan.
Pengambilan
spesimen
dapat
dilakukan
2.3.3.2 Spreading
Sayap serangga dikembangkan, kaki-kakinya dibentangkan, dan
tubuhnya diletakkan secara horizontal. Serangga kemudian ditempelkan di
atas ujung kertas segitiga berukuran panjang 8-10 mm dan lebar 3-4 mm yang
telah diolesi dengan lem. Pin ditusukkan ke kertas dan ditancapkan secara
tegak lurus pada gabus berukuran 2 X 2 cm.
2.3.4 Pengawetan Basah
Pengawetan basah dilakukan untuk mengawetkan serangga berukuran
sangat kecil dan bertubuh lunak misalnya caplak, kutu, dan pinjal.
Pengawetan serangga dengan metode tersebut dapat membantu pengamatan
morfologi tubuh serangga pada slide preparat serta dapat bertahan dalam
jangka waktu yang lama. Metode pengawetan basah terdiri atas dua tipe yaitu
pengawetan tanpa pewarnaan dan pengawetan dengan pewarnaan.
2.3.4.1 Pengawetan Tanpa Pewarnaan
Tahap clearing dimulai dengan memasukkan serangga yang telah
dikoleksi ke dalam KOH 10% selama 1-10 jam tergantung pada ketebalan
pigmen dari masing-masing serangga. Serangga kemudian dipindahkan ke
cawan petri berisi alkohol bertingkat mulai dari 30%, 50%, 70%, 95%,
hingga 96% masing-masing selama lima menit. Selanjutnya serangga
dipindah ke cawan petri berisi xylol selama satu menit. Tahap terakhir yaitu
permount dengan menutup spesimen serangga menggunakan cover glass
yang telah diolesi Canada balsam dan labeling yaitu menempelkan label
nama spesies pada kaca objek.
Ektoparasit (Spesies)
Hewan asal
Lokasi Pengambilan
Lice
1.
Damalinia ovis
Domba
2.
Menophon gallinae
Ayam
Keputran
3.
Haemotopinus euristernus
Sapi
4.
Columbicula sp.
Ayam
Lamongan
5.
Pediculus humaneus
Manusia
Kediri
6.
Menacantus stramineus
Merpati
Splendid Malang
Tick
7.
Rhipicephalus sanguineus
Anjing
Flea
8.
Ctenocephalides felis
kucing
Mite
9.
Sarcoptes scabiei
Kelinci
Lab. Parasitologi
10.
Sarcoptes scabiei
Kucing
Malang
11.
Sarcoptes scabiei
Anjing
Malang
12.
Dermanyssus gallinae
Ayam
Blitar
13.
Cheyletiella parasitovorax
Kelinci
Malang
Lalat
14.
Chrisomya bezziana
TPA Kausari
15.
Sarcophaga sp.
TPA Wonokromo
16.
Musca domestica
17.
Haemotophobia
18.
Tabanus sp.
Kenjeran
19.
Stomoxys calcitrans
Nongkojajar
3.2 Pembahasan
3.2.1 Rhipicephalus sanguineus
Caplak Rhipicephalus sanguineus adalah ektoparasit penghisap darah
yang mempunyai peranan penting dalam bidang veteriner. Caplak ini juga
dikenal sebagai brown-dog tick atau kennel tick karena bentuk dewasanya
yang berwarna merah kecoklatan dan sering ditemukan bersifat parasitik pada
anjing terutama yang berada di tempat breeding atau kandang pemeliharaan
(kennel) (Soulsby, 1986). Klasifikasi caplak Rhipicephalus sanguineus adalah
sebagai berikut :
Gambar 3.2
anjing
dan
diawetkan
menggunakan
metode
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Arachnida
Subclass
: Acari
Superorder
: Parasitiformes
Order
: Ixodida
Family
: Ixodidae
Genus
: Rhipicephalus
Spesies
: Rhipicephalus sanguineus
3.2.1.1 Morfologi
Caplak Rhipicephalus sanguineus tidak memiliki corak tubuh yang
khas, tetapi ditandai dengan bentuk tubuh bulat memanjang serta kapitulum
berbentuk heksagonal (Lord, 2011). Betina dewasa caplak ini berukuran 4 6
mm dan dapat bertambah hingga 12 mm setelah menghisap darah inangnya.
Bentuk tubuh jantan dewasa Rhipicephalus sanguineus tidak begitu berbeda
kecuali ukuran tubuhnya yang sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan
dengan betina dewasa (Paskewitz, 2015). Tahapan pra-dewasa caplak ini
memiliki tiga pasang kaki dan empat pasang kaki pada tahapan dewasanya.
Secara umum, tubuh caplak terbagi menjadi dua bagian yaitu
gnatosoma (sefalotoraks) dan idiosoma (abdomen). Rhipicephalus sanguineus
memiliki mulut di bagian anterior yang dilengkapi dengan hipostom dan
shelicera serta lekuk anus yang terletak lebih ke arah posterior. Caplak ini
memiliki sepasang mata yang terletak pada sisi lateral skutum, sepasang
stigmata (spirakel) pada sisi posterior lateral sampai koksa keempat kaki.
Caplak jantan memiliki keping adanal dan adanal asesori. Caplak ini
memiliki festoon dan mata, tetapi tidak memiliki hiasan pada skutum.
3.2.1.2 Siklus Hidup
Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan dalam melengkapi satu
siklus daur hidupnya, Rhipicephalus sanguineus merupakan jenis caplak
berumah tiga yaitu membutuhkan tiga inang dalam siklus daur hidupnya.
Daur hidupnya diawali dari induk caplak yang jatuh dari tubuh inang setelah
kawin dan menghisap darah yang kemudian meletakkan telurnya di tanah.
Telur tersebut akan menetas menjadi larva. Larva yang baru menetas akan
mencari inangnya dengan pertolongan benda-benda di sekitarnya serta
bantuan olfaktoriusnya. Setelah mendapatkan inangnya, caplak akan
menghisap darah inang hingga kenyang lalu akan kembali jatuh ke tanah dan
segera berganti bentuk (molting) menjadi nimfa. Nimfa tersebut akan naik
kembali ke tubuh inang, menghisap darah, dan setelah kenyang akan jatuh
lagi ke tanah dan molting menjadi caplak dewasa (Levine, 1990).
Satu siklus daur hidup caplak Rhipicephalus sanguineus berkisar antara
enam minggu sampai tiga tahun. Caplak betina dewasa dapat bertelur hingga
sekitar 4.000 butir. Telur caplak tersebut membutuhkan waktu 17-30 hari
untuk menetas menjadi larva. Larva Rhipicephalus sanguineus membutuhkan
waktu selama 2-4 hari untuk menghisap darah inang hingga kenyang
(engorge) kemudian molting selama 5-23 hari di tanah. Pada fase nimfa,
dibutuhkan waktu selama 4-9 hari untuk nimfa Rhipicephalus sanguineus
berada di tubuh inang yang kemudian jatuh kembali ke tanah dan molting
selama 11-73 hari. Betina dewasa Rhipicephalus sanguineus akan berada di
10
tubuh inang selama 6-21 hari, menghisap darah sebelum kembali jatuh ke
tanah dan bertelur (Soulsby, 1986). Daur hidup caplak meliputi tahap
kehidupan pada tubuh bagian luar induk semang dan tahapan untuk vegetasi
atau di kandang hewan. Ketahanan hidupnya tergantung pada simpanan
pakan darah yang dihisap sewaktu menempel pada induk semang. Oleh
karena itu, caplak harus menghisap darah sebanyak mungkin agar dapat hidup
sampai tahap berikutnya. Betina dewasa yang tidak menghisap darah dari
inangnya mampu bertahan selama 19 bulan di lingkungan, sedangkan larva
hanya mampu bertahan selama 8,5 bulan dan nimfa hanya dapat bertahan
selama enam bulan (Soulsby, 1986).
3.2.1.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Infestasi caplak Riphicephalus sanguineus biasanya diikuti dengan
adanya rasa gatal dan tidak nyaman. Caplak ini merupakan jenis arthropoda
yang menghisap darah dan menjadi vektor biologis bagi beberapa protozoa
darah sehingga hewan yang dijangkiti Rhipicephalus sanguineus dalam
jumlah banyak akan menampakkan gejala anemia, anoreksia, lemah, dan
peningkatan suhu tubuh. Trauma dari gigitan caplak tersebut juga dapat
menjadi manifestasi untuk terjadinya infeksi sekunder. Jenis betina dewasa
caplak Rhipicephalus sanguineus berpotensi menyebabkan tick paralysis
karena adanya neurotoksin yang dihasilkan dan ditularkan melalui kelenjar
saliva kepada inangnya. Neurotoksin tersebut akan memblokade sinaps syaraf
dimulai dari otot belakang tubuh, kemudian menyerang seluruh tubuh dan
otot-otot pada sistem pernafasan. Keadaan paralisis ini dapat berlangsung
selama 1-4 hari.
11
12
13
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Subclass
: Dicondylia
Order
: Siphonaptera
Family
: Pulicidae
Genus
: Ctenocephalides
Spesies
: Ctenocephalides felis
3.2.2.1 Morfologi
Pinjal Ctenocephalides felis merupakan insekta yang tidak memiliki
sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1,5-4 mm.
Secara umum, ukuran tubuh pinjal jantan lebih kecil dari ukuran tubuh pinjal
betina. Ctenophalides felis memiliki dahi dengan internal incrassation. Selain
itu, daerah kepala ini biasanya memiliki sebuah tonjolan frons. Ujung bagian
atas dari lekuk antena dihubungkan sutura inter antena dengan tepi-tepi yang
mengeras di bagian dalam. Mulut pinjal bertipe penghisap dengan tiga silet
penusuk (epifaring dan stilet maksila). Pinjal memiliki antena yang pendek,
terdiri atas tiga ruas yang tersembunyi ke dalam lekuk kepala. Pinjal ini
mempunyai kritin yang tebal dengan tiga segmen thoraks yaitu pronotum,
mesonotum, dan metanotum (metathoraks). Pada beberapa sub-spesies, di
belakang pronotum terdapat sebaris duri berbentuk sisir, yang dsebut sebagai
ktenedium pronotal. Selain itu, tepat di atas mulut juga terdapat sebaris duri
kuat yang juga berbentuk sisir, yaitu ktenedium genal. Bulu dan duri pada
tubuh pinjal ini berfungsi untuk memudahkan pergerakan pinjal pada
14
sensori
yang
fungsinya
belum
diketahui
(Soulsby,
1986).
panjang
0,5
mm,
oval,
dan
berwarna
keputih-putihan.
15
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari atau lebih. Larva yang
muncul bentuknya memanjang, langsing seperti ulat, terdiri atas tiga ruas
toraks dan 10 ruas abdomen yang masing-masing dilengkapi dengan beberapa
bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen terakhir mempunyai dua tonjolan kait
yang disebut anal struts, berfungsi untuk lokomosi. Larva berwarna kuning
krem, sangat aktif, dan menghindari cahaya serta dapat ditemukan di celah
dan retakkan lantai, di bawah karpet dan tempat-tempat serupa lainnya..
Larva mempunyai mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisa
berupa darah kering, feses dan bahan organik lain yang jumlahnya cukup
sedikit. Larva pinjal mengalami tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi
pupa. Periode larva tersebut berlangsung selama 7-10 hari atau lebih
tergantung suhu dan kelembaban lingkungannya.
Larva dewasa memiliki panjang sekitar 6 mm. Larva dewasa akan
menggulung hingga berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi pupa.
Stadium pupa berlangsung dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai,
tetapi bisa berbulan-bulan pada suhu yang kurang optimal, dan pada suhu
yang rendah bisa menyebabkan pinjal tetap terbungkus di dalam kokon.
Stadium pupa mempunyai tahapan yang tidak aktif (dorman) dan berada
dalam kokon yang tertutupi dari debris dan debu sekeliling. Stadium ini
sensitive terhadap adanya perubahan konsentrasi CO2 dan getaran di
lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan yang signifikan karena kedua
faktor ini akan menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong.
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada dalam
tubuh saat membutuhkan makanan dan tidak permanen. Jangka hidup pinjal
16
bervariasi pada spesies pinjal, tergantung dari makan atau tidaknya pinjal dan
tergantung pada derajat kelembaban lingkungan sekitarnya. Pinjal tidak
makan dan tidak dapat hidup lama di lingkungan kering tetapi di lingkungan
lembab, bila terdapat reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian
maka pinjal bisa hidup selama 1-4 bulan.
3.2.2.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Secara umum, kucing yang terserang pinjal Ctenocephalides felis
biasanya tidak menampakkan gejala klinis. Apabila infestasi menjadi kronis
dan jumlah pinjal bertambah banyak, gigitan pinjal Ctenocephalides felis
akan menimbulkan rasa gatal yang parah, anemia, dan dapat berlanjut hingga
menyebabkan radang kulit yang disebut flea bites dermatitis karena adanya
kandungan histamine pada saliva pinjal. Pada kucing, pinjal ini dapat
ditemukan dengan melihat adanya kotoran seperti butiran pasir diantara bulu
kucing. Pinjal Ctenocephalides felis banyak terdapat pada daerah yang
berbulu lebat seperti di bagian leher dan punggung.
Infestasi pinjal ctenocephalides merupakan penyebab utama flea
allergic dermatitis (FAD) yaitu reaksi hipersensitivitas terhadap komponen
antigenik
yang
terkandung
dalam
saliva
pinjal
tersebut.
Reaksi
punggung,
atau
kaki.
Selain
menyebabkan
hipersensitivitas,
17
antara bagi cacing pita pada anjing dan kucing (Diphylidium caninum) dan
larva cacing filarial anjing (Dipetalonema recondinatum) (Levine, 1990).
3.2.2.4 Pengendalian
Penyebaran pinjal Ctenocephalides felis perlu manajemen pengendalian
yang tepat untuk mengontrol populasi dan insidensinya. Stadium dewasa
merupakan stadium infektif pinjal tersebut dan menjadi target utama dalam
pengendalian penyebaran penyakit. Hewan dewasa yang terserang pinjal
Ctenocephalides
felis
dapat
diobati
dengan
pemberian
ivermectin.
Penggunaan shampoo anti pinjal juga dapat dilakukan untuk menangani kasus
yang bersifat akut. Pada keadaan flea allergic dermatitis dan hewan
merasakan gatal yang hebat, antihistamin dapat diberikan sebagai terapi
simptomatis. Jika infestasi pinjal tersebut diikuti dengan adanya infeksi
sekunder, diperlukan tindakan kuratif yang lebih lanjut misalnya dengan
pemberian antibiotik. Selain tindakan-tindakan tersebut, menjaga sanitasi
baik di kandang hewan maupun di lingkungan sekitarnya merupakan suatu
usaha yang sangat efektif dalam pengendalian penyebaran pinjal khususnya
untuk hasil jangka panjang.
3.2.3 Sarcoptes scabiei
Spesimen Sarcoptes scabiei ditemukan pada hasil kerokan kulit yang
didapatkan dari seekor anjing, kucing, dan kelinci. Sarcoptes scabiei
merupakan jenis tungau yang paling sering ditemukan menyerang hewanhewan kesayangan. Klasifikasi jenis tungau tersebut adalah sebagai berikut :
18
Gambar 3.3 Sarcoptes scabiei dari kerokan kulit anjing (perbesaran 4X)
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Arachnida
Sub Kelas
: Acari (Acarina)
Ordo
: Astigmata
Famili
: Sarcoptidae
Genus
: Sarcoptes
Spesies
: Sarcoptes scabiei
3.2.3.2 Morfologi
Secara morfologik, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil dengan
tubuh yang transparan, berbentuk oval, punggung cembung, perut rata, dan
tidak bermata. Ukuran tungau betina antara 300-450 mikron sampai 250-350
mikron, sedangkan yang jantan, antara 200-240 mikron sampai 150-200
mikron. Bentuk tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua pasang
kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan dua pasang kaki kedua pada
19
betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
3.2.3.2 Siklus Hidup
Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit, sarcoptes jantan akan mati
atau kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari di dalam terowongan
yang dibuat oleh tungau betina, sedangkan sarcoptes betina yang telah
dibuahi akan menggali terowongan dan dapat tinggal selama kurang lebih 30
hari. Daur hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga dewasa berlangsung
selama satu bulan. Tungau Sarcoptes scabei memiliki empat fase dalam
siklus hidupnya yaitu telur, larva, nimfa dan dewasa. Siklus tersebut dimulai
pada saat betina bertelur dengan interval 2-3 hari setelah menembus kulit
inangnya. Telur sarcoptes berbentuk oval dengan panjang 0,1-0,15 mm. Masa
inkubasi telur akan berlangsung selama 3-8 hari. Setelah telur menetas,
terbentuk larva yang kemudian bermigrasi ke stratum korneum untuk
membuat lubang (molting pouches). Stadium larva tungau ini memiliki tiga
pasang kaki dan berlangsung selama 2-3 hari. Setelah stadium larva berakhir,
terbentuklah nimfa yang memiliki empat pasang kaki. Bentuk ini berubah
menjadi nimfa yang lebih besar sebelum berubah menjadi tungau
dewasa. Larva dan nimfa banyak ditemukan di folikel rambut dan bentuknya
seperti tungau dewasa tapi ukurannya lebih kecil. Setelah menjadi dewasa,
tungau betina akan memperluas molting pouches untuk menyimpan telurnya.
Tungau betina melakukan penetrasi ke dalam kulit dan menghabiskan waktu
sekitar dua bulan di lubang pada permukaan. Waktu yang diperlukan telur
untuk menjadi tungau dewasa antara 10-17 hari. Tungau betina dewasa akan
20
tetap terdapat di dalam molting pouches sampai dibuahi oleh pejantan. Dalam
waktu 3-4 hari tungau betina akan bertelur lagi sampai berumur 3-4 minggu.
3.2.3.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Hewan yang menderita biasanya menggaruk-garuk menggosok-gosok
atau menggigit-gigit bagian yang terserang. Gejala biasanya dimulai dari
leher dan muka kemudian menyebar kebagian tubuh lainnya. Gejala paling
awal/infeksi yang baru terjadi diikuti dengan pembentukan papula atau
vesikula, disertai merembesnya cairan limfe sehingga biasanya penderita
merasakan gatalnya di berbagai bagian tubuh dan menyebabkan hewan tidak
tenang. Ketidaknyamanan akan mengurangi nafsu makan hewan dan lama
kelamaan akan diikuti oleh kekurusan. Kulit terlihat berkerut, menebal, dan
terdapat keropeng kering di atasnya. Parasit ini biasanya menyebabkan
keradangan kronis (Anonimus,1991; Hartiningsih dkk,1999).
Tungau Sarcoptes scabiei merupakan parasit yang lebih menyukai
permukaan tubuh yang jarang ditumbuhi rambut misalnya pada wajah, daun
telinga, moncong, pangkal ekor, dan kaki. Kadang pada sebagian anjing dapat
menginfestasi ke seluruh tubuh. Akibat yang ditimbulkan oleh infestasi
tungau ini adalah mengalami sedikit perubahan pada berat badan dan efisiensi
makanan, mengurangi estetika hewan kesayangan, dan ketidaknyamanan oleh
hewan tersebut. Sarcoptes scabiei dapat menembus kulit, menghisap cairan
limfe dan memakan sel-sel epidermis. Rasa gatal yang sangat bias dialami
oleh hospes dan jika digosok-gosokan atau digaruk akan menyebabkan rasa
gatal dan sakit yang bertambah. Eksudat yang merembes keluar, menggumpal
dan mengering membentuk sisik-sisik di permukaan kulit. Selanjutnya terjadi
21
22
rasa gatal. Rasa gatal bisa terjadi pada saat larva-larva yang menetas setelah
pengobatan. Apabila pasca pengobatan rasa gatal masih ada, dapat diobati
dengan kortikostreoid jangka pendek. Skabies yang disertai infeksi sekunder
dapat diterapi dengan antibiotika (HILL, 1995). Pengobatan skabies pada
ternak dapat dilakukan dengan salep Asuntol, dan pemberian ivermectin,
sedangkan pada kelinci dapat Neguvon 0,15% dan Asuntol 0,05 0,2%.
Penanggulangan scabies pada anjing dan kucing bisa menggunakan
Ivermectin dengan dosis 0,05 mg/kg berat badan secara subkutan 3 minggu
sekali dan dikombinasi dengan salep belerang 3% sekali sehari (Iskandar,
200).
3.2.4 Dermanyssus gallinae
Spesimen Dermanyssus gallinae diisolasi dari ayam yang didapatkan di
sebuah peternakan komersial di wilayah Blitar. Dermanyssus gallinae
merupakan salah satu jenis tungau yang banyak menyerang unggas.
Klasifikasi dari tungau tersebut adalah sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Arachnida
Subclass
: Acari
Order
: Mesostigmata
Family
: Dermanyssidae
Genus
: Dermanyssus
Species
: Dermanyssus gallinae
23
adanya
perbedaan
dalama
manajemen
kesehatan
termasuk
24
akan berwarna kemerahan sehingga tungau ini disebut juga sebagai tungau
merah. Habitat Dermanyssus gallinae adalah di pertenggeran ayam, di
dinding, langit-langit, dan di lantai kandang, serta dapat ditemukan
bergerombol di bawah kotoran ayam (Tabbu, 2002).
3.2.4.2 Siklus Hidup
Dermanyssus gallinae merupakan tungau nocturnal. Dalam sembilan
minggu, tunga betina mampu bertelur hingga tiga kali. Tungau betina
membutuhkan darah untuk reproduksi. Oviposisi 12-24 jam setelah
menghisap darah dan sekali bertelur, betina dapat menghasilkan hingga tujuh
butir telur. Telur tersebut akan menetas selama 48-72 jam menjadi larva.
Larva tidak menghisap darah dan molting selama 24-48 jam menjadi
protonympha. Setelah menjadi protonympha, tungau ini molting kembali
selama 24-48 jam menjadi deutonympha. Deutonympha molting kembali
selama 24- 48 jam menjadi tungau dewasa. Stadium infektif dari tungau ini
adalah pada saat dewasa. Dermanyssus gallinae ini dapat bertahan hidup
tanpa makanan selama 4-5 bulan.
3.2.4.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Unggas yang terjangkit tungau Dermanyssus gallinae biasanya
menampakkan gejala anemia karena sifat tungau yang menghisap darah pada
inangnya. Ayam yang positif terserang tungau ini menunjukkan peningkatan
food intake dan water intake namun sebaliknya diikuti dengan penurunan
produktivitas karena rasa stress yang dialami ayam. Penurunan produktivitas
pada ayam layer juga dapat menjadi salah satu indikator adanya penyebaran
dan infestasi tungau pada suatu populasi ayam. Predileksi tungau
25
dermanyssus ini adalah dibawah bulu daerah dada dan kaki dan lebih sering
ditemukan pada ayam betina. Pada kondisi akut, unggas akan mengalami
kerontokan bulu, iritasi, dan rasa sakit. Pada infestasi Dermanyssus gallinae
juga dapat ditemukan adanya lesi-lesi keropeng, pustule, dan hiperpigmentasi
pada kulit.
3.2.4.4 Pengendalian
Berdasarkan penelitian Mul et al. (2009), terdapat dua jenis metode
dalam menangani Dermanyssus gallinae khususnya pada peternakan ayam
layer. Metode tersebut terbagi atas monitoring method dan controlling
method. Monitoring method merupakan metode yang biasanya dipilih apabila
infestasi penyebaran tungau ayam tersebut telah merebak ke hampir seluruh
populasi ayam dan areal kandang. Pada metode ini, dapat digunakan beberapa
perangkap tungau yaitu perangkap ADAS, perangkap kertas karton atau
plastik, perangkap tenggeran, dan perangkap botol. Perangkap-perangkap ini
dapat diberi akarisida dan diletakkan di areal-areal kandang namun harus
berjauhan dengan unggas. Controlling method terbagi atas dua yaitu secara
konvensional dan secara alternatif. Metode pengotrollan secara konvensional
dilakukan dengan cara meningkatkan temperatur kandang dan diikuti dengan
pembersihan kandang secara rutin untuk menjaga sanitasi. Selain itu juga
dapat diikuti dengan penyemprotan insektisida secara berkala. Metode
pengontrolla secara alternatif sedang dikembangkan di beberapa wilayah di
eropa yaitu dengan teknik pencahayaan jam terang dan jam gelap.
Teknik tersebut diakui dapat mengurangi infestasi tungau ayam. Selain itu,
penggunaan tanaman herbal yang berbau kuat dan bersifat akarida misalnya
26
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Arachnida
Subclass
: Acari
Order
: Trombidiformes
Family
: Cheyletidae
Genus
: Cheyletiella
Spesies
: Cheyletiella parasitovorax
27
3.2.5.1 Morfologi
Cheyletiella merupakan jenis tungau dengan ukuran tubuh yang besar
dan dapat ditemukan di lapisan keratin epidermis anjing, kucing, dan yang
paling sering adalah kelinci. Tungau ini berbentuk ovoid, melengkung,
dengan jari-jari yang lebar dan bulu berbentuk sisir di setiap pasangan
kakinya. Cheyletiella memiliki dua pasang kaki di bagian anterior dan dua
pasang kaki di bagian posterior (Praag, 2010).
3.2.5.2 Siklus Hidup
Betina dewasa tungau Cheyletiella parasitovorax akan meletakkan
telurnya di antara rambut-rambut inangnya, 3-4mm diatas kulit. Telur
kemudian akan menetas menjadi larva dan berkembang menjadi nimfa dan
selanjutnya menjadi tungau dewasa. Satu siklus hidup tersebut membutuhkan
waktu selama tiga minggu. Jika tidak berada diatas tubuh inang, cheyletiella
betina dewasa dapat bertahan selama beberapa hari di lingkungan. Oleh
karena itu, dapat terjadi kontaminasi tungau yang berasal dari lingkungan.
Fase dewasa merupakan fase infektif tungau Cheyletiella parasitovorax.
Tungau ini tidak bersifat invasif ke lapisan dalam kulit (Praag, 2010).
3.2.5.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Cheyletiella parasitovorax dikenal sebagai walking dandruff pada
kelinci. Infestasi tungau biasanya terjadi pada saat kelinci sedang dalam
kondisi imunologi yang buruk misalnya karena pengaruh suhu, lingkungan,
atau pakan. Praag (2010) menyebutkan bahwa cheyletiella bisa ditemukan
pada kelinci-kelinci sehat dan tidak bersifat patogen jika kondisi imunitas
hewan baik. Kekurangan vitamin C juga dapat menjadi salah satu pemicu
28
infestasi tungau ini. Pada kondisi kronis, kelinci akan mengalami alopesia
terutama di bagian leher dan punggung. Jika kondisinya tidak begitu parah,
tungau ini menyebabkan kerontokan. Gigitan tungau ini menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dan rasa gatal pada hewan, serta sering kali ditemukan
sebhoreic lesion.
3.2.5.4 Pengendalian
Pengobatan terhadap kelinci yang terserang cheyletiella merupakan
langkah pengendalian utama yang dapat dilakukan karena fase infektif tungau
tersebut adalah pada saat dewasa. Penggunaan ivermectin secara injeksi
maupun penggunaan secara topikal dapat dilakukan pada kelinci. Penggunaan
shampoo dianggap kurang efektif dalam penanganan kasus ini sedangkan
pemberian fipronil walaupun dinilai sangat efektif dalam membasmi
cheyletiella namun sebaiknya tidak diberikan pada kelinci karena dapat
menyebabkan efek serius seperti kejang dan depresi serta dapat berakhir pada
kematian. Kelinci yang terserang penyakit ini juga harus dipisahkan dari
kelinci sehat lainnya. Selain pengobatan, sanitasi kandang secara teratur juga
harus diperhatikan untuk mengendalikan penyebaran dan kontaminasi
Cheyletiella parasitovorax dari lingkungan ke inang yang baru.
29
Gambar 3.6 Spesimen Damalinia ovis yang dikoleksi dari bulu domba
(Perbesaran 10X).
Berikut ini klasifikasi kutu domba oleh Clay (1970) dan Kim &
Ludwing (1978).
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Phthiraptera
Subordo
: Mallophaga
Famili
: Trichodectidae
Genus
: Damalinia
Spesies
: Damalinia ovis
Ektoparasit ini memiliki panjang diatas tiga mm, berwarna coklat dan
relatif ukuran kepalanya besar. Telurnya berukuran 1-2 mm, berbentuk oval,
30
berwarna putih. Habitat telur ini menempel pada bulu (rambut) domba (Hadi
dan Soviana 2010).
3.2.6.2 Siklus Hidup
Kutu ini mengalami metamorphosis tidak sempurna, mulai dari telur,
nimfa
instar
pertama
sampai
ketiga
lalu
dewasa.
Seluruh
tahap
kualitas
wool,
dan
kulit
serta
membutuhkan
program
31
(Glynn,
2009).
Pada
domba,
pemotongan
rambut
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Order
: Phthiraptera
Suborder
: Amblycera
Family
: Menoponidae
Genus
: Menopon
Spesies
: Menopon gallinae
32
saja.
Siklus
hidupnya
sangat
sederhana
yaitu
mengalami
33
3.2.8 Columbicula
3.2.8.1 Morfologi
Pada spesies ini dimorfisme sexualnya terletak pada antenna, dimana
pada jantan lebih besar dan memiliki 3 antena di tiap segmennya. Pada bagian
kepala terlihat jelas bilobus dorsoanterior dimana menghubungakan carina
marginal dan bagian depan setae medioanterior. Organ genital jantan dan
34
Gambar 3.8 Spesimen colombicula yang dikoleksi dari bulu unggas dan
diawetkan menggunakan metode pengawetan basah dengan
pewarnaan (Perbesaran 10X).)
disebabkan
oleh
gigitan
kutu,
sehingga
terjadi
reaksi
35
Toxaphene
dapat
menjadi
pilihan
bahan
kimiawi
untuk
36
37
3.2.9.4 Pengendalian
Tindakan pengendalian terhadap penyebaran kutu haematopinus harus
melalui pertimbangan nilai-nilai ekonomis dan didasarkan pada infetasi yang
terjadi di kandang. dapat dilakukan dengan menggunakan obat tabur dan obat
semprot ke seluruh areal kandang. Terdapat empat metode untuk penanganan
kasus Haematopinus eurysternus. Metode pertama adalah dengan penyemprotan.
Penyemprotan pada areal kandang dan tubuh sapi dengan menggunakan
insektisida akan membantu mengurangi penyebaran haematopinus dewasa.
Metode kedua adalah penaburan bubuk (bedak) insektisida pada kulit hewan.
Kandungan kimiawi dari bubuk insektisida akan meresap masuk ke dalam lapisan
kulit hewan, sehingga kutu yang menyerang dan menghisap darh inang akan
mengalami keracunan. Metode ketiga yang biasanya digunakan di beberapa
Negara di eropa adalah penggunaan ear tag. Ear tag mengandung insektisida dan
dinilai efektif dalam mengontrol penyebaran kutu tersebut. Namun yang harus
diperhatikan adalah, penggunaan ear tag sangat rentan terhadap resistensi dari
hewan. Ear tag harus dilepas dan diganti setelah penggunaan selama tiga bulan.
Metode keempat adalah dengan menggunakan antihelmintik injek. Penggunaan
obat tersebut hanya efektif untuk mengendalikan kutu yang bersifat menghisap
darah.
3.2.10 Pediculus humanus
3.2.10.1 Morfologi
Sampel Pediculus humanus didapatkan dari rambut di kepala manusia.
Pediculuc humanus merupakan salah satu jenis kutu yang paling sering
menyerang manusia. Berikut adalah klasifikasi dari kutu tersebut.
38
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Phthiraptera
Sub Ordo
: Anoplura
Famili
: Pediculidae
Genus
: Pediculus
Spesies
39
40
kali pergantian kulit, nimfa akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam
waktu 7 - 14 hari (Wijayanti, 2007). Dalam keadaan cukup makanan kutu
rambut dewasa dapat hidup 27 hari (Sutanto dkk, 2008).
Kutu tidak bisa melompat atau terbang, tetapi dapat merangkak.
Terdapat laporan bahwa menyisir rambut kering dapat lebih mengeluarkan
kutu dewasa dari kulit kepala. Kutu rambut kepala dapat bergerak dengan
cepat dan mudah berpindah dari satu hospes ke hospes lain. Penelitian
mengungkapkan bahwa kutu dapat berpindah antar sarung bantal pada malam
hari , tetapi insiden rendah (4%) (Weems dan Fasulo, 2013). Kutu rambut ini
dapat bertahan 10 hari pada suhu 5oC tanpa makan, dapat menghisap darah
untuk waktu yang lama, mati pada suhu 40oC. Panas yang lembab pada suhu
60oC memusnahkan telur dalam waktu 15-30 menit. Kutu rambut kepala
mudah ditularkan melalui kontak langsung atau dengan perantara barang barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya sisir, sikat rambut, topi dan
lain-lain (Wijayanti, 2007).
3.2.10.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Lesi pada kulit kepala dan terjadi infeksi sekunder dengan
menimbulkan kerak dan bau yang khas. Lesi pada kulit kepala disebabkan
oleh tusukan kutu rambut pada waktu menghisap darah. Lesi sering
ditemukan di belakang kepala atau kuduk. Air liur yang merangsang
menimbulkan papula merah dan rasa gatal yang hebat (Juni dkk, 2004). Kutu
dewasa dan nympha mendapatkan makanannya dengan menghisap darah
manusia. Kutu makan dengan cara menggigit melalui kulit dan menyuntikkan
air liur untuk mencegah darah dari pembekuan, kemudian mengisap darah ke
41
42
43
7. Ketika salah satu anggota keluarga diketahui terkena kutu kepala maka
dianjurkan untuk memeriksa keberadaan kutu pada anggota keluarga
yang lain.
3.2.11 Menacantus stramineus
3.2.11.1 Morfologi
Klasifikasi Menacantus stramineus yang diisolasi dari merpati adalah
sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Kelas
: Insekta
Ordo
: Pthiraptera
Family
: Menoponidae
Genus
: Menachantus
Spesies
: Menachantus stramineus
44
dorsal bristle. Berbeda dengan Menopon gallinae, kutu ini lebih menyukai
hidup di kulit yang tidak berbulu seperti di anus unggas, kalkun, burung
merak dan burung pheasant Selain di anus, kutu ini juga hidup di lubang
bulu, ambing, dan di paha ayam dan burung merpati (Sasmita dkk, 2013)..
3.2.11.2 Siklus Hidup
Telurnya berada di bagian bawah tubuh terutama di lubang bulu.
Telurnya menetas pada hari 4-7 hari selanjutnya pada 10-15 hari akan
mencapai fase dewasa. Fase dewasa dapat menghasilkan telur 50-300 butir
selama tiga minggu pada masa hidupnya (Brigid et al., 2005). Menurut
Sasmita dkk. (2013) telur dari Menacantus stramineus diletakkan secara
berkelompok pada bulu di daerah dekat kulit hospesnya.
3.2.11.3 Gejala Klinis dan Patogenesis
Gejala klinis yang ditimbulkan dari adanya Menacantus stramineus
adalah inang akan mengalami kesulitan tidur yang dilihat dari keadaan tidak
tenang pada inang, dan terlihat luka pada paruhnya, bulu terlihat suram, suka
menggosok-gosokkan badannya.
Menacantus stramineus termasuk ke dalam kutu penggigit dimana kutu
ini akan aktif bergerak pada tempat predileksinya, sambil menggigit bagian
kulitnya yang menjadi makanannya. Pada daerah yang terkena gigitannya
akan terjadi reaksi alergi yang mengakibatkan hospesnya menjadi tidak
tenang, selanjutnya akan tertekan yang mengakibatkan nafsu makan menurun,
tidur tidak nyenyak. Selain itu reaksi alergi akibat gigitan menyebabkan
hospes suka menggosok, menggaruk, mengigit atau mematuk tempat gigitan
45
yang menyebabkan rambut atau bulu menjadi rontok dan sampai timbul luka
dan memar pada kulit (Cheryl & Teresa, 2014)
3.2.11.4 Pengendalian
Pemberian Insectisida, pestisida dalam bentuk serbuk dan spray
dilakukan untuk pengendalian penyebaran kutu di lingkungan. Dapat juga
menggunakan pyrethrins dan pyrethroid sintetic. Pengecekan bagian tubuh
hewan terutama lubang bulu, ambing, dan di paha sebanyak 2 kali sebulan
akan membantu pengawasan dan pencegahan terhadap infestasi kutu (Brigid
et al., 2005).
3.2.12 Chrysomya bezziana
3.2.12.1 Morfologi
The Old Word Screwworm Fly (OSWF) atau Chrysomya bezziana
yang ditemukan di TPA Kausari Surabaya dan telah diidentifikasi di
Laboratorium parasitology FKH Unair. Chrysomya bezziana merupakan lalat
penyebab utama terjadinya penyakit myasis, baik pada manusia, ternak,
maupun hewan kesayangan di Benua Afrika dan Asia termasuk Indonesia
(Spradbery, 2002; Wardhana 2006). Chrysomya bezziana merupakan salah
satu penyebab myasis obligatori. C. berzziana adalah Arthropoda yang masuk
dalam subdivisi Hexapoda, kelas Insecta, subkelas Pterygota, superordo
Endopterygota, ordo Diptera, subordo Brachycera dan famili Calliphoridae
(Gandahusada et al., 1998).
Lalat C. bezziana berwarna biru metalik, biru keunguan atau biru
kehijauan (Gambar 2.1). Kepala lalat ini berwarna oranye dengan mata
berwarna merah gelap. Perbedaan antara lalat betina dan jantan terletak pada
46
matanya. Lalat betina memiliki celah yang memisahkan mata kanan dan kiri
lebih lebar dibandingkan lalat jantan. Ukuran lalat ini bervariasi tergantung
pada ukuran larvanya. Panjang tubuhnya rata-rata 10 mm dengan lebar kepala
berkisar rata-rata 4,1 mm (Sigit, 1978; Spradbery,1991).
47
48
pengamatan
49
tergantung pada pemahaman yang jelas tentang keragaman genetik yang ada
di dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi hama insekta
diketahui terjadi sibling maka program metode SIT tidak dapat dilaksanakan
karena harus mempersiapkan begitu banyak koloni insekta dari berbagai
daerah untuk diradiasi.
2. Screwworm Adult Suppresion System (SWASS)
Screwworm Adult Suppresion System (SWASS) adalah metode untuk
meningkatkan efektivitas SIT, yaitu dengan cara mengkombinasikan
penggunaan umpan (bait), perangsang pakan (feeding stimulant) yang terdiri
dari campuran tepung darah, gula dan bongkol jagung dan insektisida yang
dibentuk menjadi pelet kemudian disebar dengan pesawat (Coppedge et al .,
1980).
3. Metode Bait Station
Merupakan metode yang menggunakan elemen yang sama dengan
SWASS dalam suatu alat yang permanen kemudian diletakkan diatas tanah
(Coppedge et al., 1981). Metode ini menggunakan campuran pemikat
swormlure (SL-2) dengan insektisida dichlurovos. Kelemahan dari tekhnik ini
adalah kurang eektif untuk daerah lembab, daerah yang memiliki saluran air
dan hanya bertahan 3-5 hari (Snow et al., 1982).
4. Pemikat Lalat (attractant)
Penelitian tentang pemikat lalat myasis telah dilakukan sebelum tahun
1970-an dengan tujuan untuk mengganti hati sapi yang secara tradisional
mampu memikat lalat jantan. De Vaney et al., (1973) melaporkan bahwa
formula pemikat yang terbuat dari darah sapi yang terkontaminasi dengan
50
bakteri, darah steril yang diinokulasi dengan bakteri, darah yang mengalami
defibrinasi dan plasma darah mempunyai respon yang cukup tinggi terhadap
lalat hominivorax. Secara tradisional pemikat yang digunakan untuk
memonitor populasi lalat screwworm adalah gerusan hati. Meskipun SL-2
mampu memikat lalat C. Bezziana lebih banyak tetapi hati sapi segar dapat
digunakan sebagai pemikat alternatif oleh peternak-peternak tradisional di
pedesaan atau pada daerah-daerah yang tidak memungkinkan tersedianya SL2 (Wardhana dan Sukarsih, 2004).
3.2.13 Musca domestica
3.2.13.1 Morfologi
51
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Diptera
Famili
: Muscidae
Genus
: Musca
Spesiess
: Musca domestica
yang
disebut
sebagai
probosis.
Probosis
ini
dapat
dengan
saluran
halus
disebut
pseudotrakhea
tempat
52
musca jenis lainnya. Pada ketiga pasang kaki lalat ini ujungnya mempunyai
sepasang kuku dan sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar
rambut. Pulvilus tersebut memungkinkan lalat menempel atau mengambil
kotoran pada permukaanhalus kotoran ketika hinggap di sampah dan tempat
kotor lainnya (Anonim,2012).
3.2.13.2 Siklus Hidup
Di daerah tropika, lalat rumah membutuhkan waktu 8-10 hari pada suhu
30 oC dalam satu siklus hidupnya, dari telur, larva, pupa dan dewasa. Telur
berbentuk seperti pisang, berwarna putih kekuningan, dan panjangnya kirakira 1 mm. Betina bertelur dalam bentuk kelompok di dalam bahan organik
yang sedang membusuk dan lembab tetapi tidak cairan. Kelembaban yang
tinggi diperlukan untuk kelangsungan hidupnya, mereka akan menetas dalam
waktu 10-12 jam pada suhu 30 oC.
53
Perkawinan terjadi diantara lalat setelah 24 jam pada yang jantan dan
30 jam pada yang betina. Telur kelompok pertama diletakkan setelah 2-3 hari
pada suhu 30 oC, dengan jumlah telur 100-150 butir setiap oviposisi. Dalam
kondisi alam, lalat rumah hidup hanya sekitar satu minggu, meletakkan telur
hanya 2 atau 3 kelompok telur. Lalat betina bunting terbang ke arah tempat
perindukan karena tertarik oleh bau CO2, ammonia, dan bau dari bahan yang
sedang membusuk. Telurnya diletakkan jauh dari permukaan untuk
menghindari proses kekeringan.
3.2.14 Sarcophaga spp.
3.2.14.1 Morfologi
Sarcophaga termasuk ke dalam famili Sarcophagidae. Lalat ini
ditemukan di sekitar lingkungan FKH Unair, dan berhasil diidentifikasi di
laboratorium Parasitologi FKH Unair. Lalat ini berwarna abu-abu tua,
berukuran sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya. Lalat ini
mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya
mempunyai corak seperti papan catur. Lalat ini bersifat viviparus dan
mengeluarkan larva hidup pada tempat perkembangbiakannya seperti daging,
bangkai, kotoran dan sayursayuran yang sedang membusuk. Tahap larva
makan berlangsung beberapa hari, kemudian keluar dari tempat makanya
untuk populasi di daerah yang lebih kering.
54
55
56
silinder dan dilengkapi dengan arista yang memiliki bulu hanya pada bagian
atas (Levine 1990).
3.2.15.2 Siklus Hidup
Lalat betina harus mendapatkan darah untuk produksi telur. Telur
diletakkan pada habitat yang sesuai yaitu manur atau kotoran hewan yang
telah bercampur dengan urin dan sisa makanan atau rumput. Bisa juga telur
diletakkan pada sampah sayuran, kompos, potongan rumput, biji-bijian yang
sedang membusuk, kotoran ayam atau ganggang laut yang menimbun di
sepanjang pantai. Telur menetas dalam waktu beberapa hari. Tahap makan
atau tahap larva berlangsung selama 1-3 minggu. Kemudian mengkerut di
tempat yang lebih kering menjadi pupa. Stadium pendewasaan akan muncul
dari pupa setelah satu minggu atau lebih, dan siklus hidup berkisar 3-5
minggu pada kondisi optimal.
Lalat dewasa menghisap darah hewan dan cenderung tetap di luar
rumah di tempat yang terpapar sinar matahari. Lalat jantan maupun betinanya
menghisap darah dan merupakan penerbang yang kuat dan berumur panjang.
Aktif pada siang hari dan gigitannya menyakitkan (Levine 1990). Stomoxys
calcitrans dilaporkan dapat menjadi vektor bagi Brucella abortus, B.
Militensis, Bacillus antracis dan Trypanosoma evansi.
3.2.15.3 Pengendalian
Pengendalian lalat stomoxys relatif sulit dilakukan. Sanitasi dan
kebersihan kandang merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan populasi lalat. Penggunaan insektisida juga merupakan cara
digunakan untuk membunuh lalat dengan cara menyemprot kandang dengan
57
58
59
menghisap
darah
berpindah
dan
terputus-putus
sehingga
60
61
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Diptera
Subordo
: Cyclorrapha
Family
: Muscidae
Genus
: Haematobia
Species
62
24 butir dengan total telur yang dihasilkan selama hidup 400 butir. Setelah 24
jam telur menetas menjadi larva yang melalui 4-8 hari untuk menjadi pupa.
Masa pupa berlangsung selama 6-8 hari. Perkembangan dari telur hingga
mencapai dewasa dapat berlangsung selama 10 hari- 2 minggu.
menimbulkan iritasi pada kulit baik akibat bekas gigitan lalat maupun lesio
pada kulit akibat nematoda Stephanofilaria stilesi (Haematobia irritans
exigua sebagai vektor intermediet), serta menyebabkan anemia yang berujung
pada penurunan produksi.
63
3.2.17.3 Pengendalian
Pengendalian terhadap penyebaran lalat Haematobia irritans exigua
relatif sulit dilakukan. Sanitasi dan kebersihan kandang merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi lalat. Penggunaan
insektisida juga merupakan cara yang digunakan untuk membunuh lalat
dengan cara menyemprot kandang dengan Lindane 0,03-0,05 %, Toxaphene
0,5%, Metoxychlor 0,05 %, Coumaphos 0,125 %, Dioxanthion 0,15 %,
Malation 0,5 %, atau Ronnel 0,75 %. Pemberian dichlorvos dalam minyak
mineral diberikan setiap hari juga mampu mengusir lalat untuk hinggap
dipermukaan tubuh hewan. Selain dichlorvos bisa juga digunakan
coumophos, malathion atau tetrachlorvinphos yang diberikan 2 sampai3 kali
seminggu dalam sediaan tabur. Aplikasi insektisida dapat dilakukan dengan
cara Dipping (populasi ternak banyak), spraying, Back Rubber, Dust bag,
Pour on, lewat makanan dan menggunakan keping resin (seperti kalung).
64
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
2.
3.
4.
4.2 Saran
Penambahan jumlah sampel yang diperiksa dan hasil identifikasi
yang berhasil dilakukan lebih banyak akan membantu pemahaman materi
entomologi yang lebih dalam.
65
DAFTAR PUSTAKA
Bowman D D. 1999. Georgis Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an
Imprint of Elsevier Science.
Brigid, M., S. Jeffrey., A. Ernst. 2005. Common Lice and Mites of Poultry :
Identification and Treatment. University of California.
CDC. 2013. Parasites Lice Head Lice. http://www.cdc.gov. Diakses tanggal
29 Maret 2014. Departement of Health, victoria, Australia. 2011. Treating
and controlling head lice. http://health.vic.gov.au/headlice/. Diakses tanggal
29 Maret 2014.
Cheryl B.G., and Teresa Y. M. 2014. Backyard Poultry Medicine and Surgery: A
Guide for Veterinary Practitioners. USA.
Dale, H.C., and Roger, D.P. 1999. Taxonomy of New World Columbicola
(Phthiraptera: Philopteridae) From The Columbiformes (Aves), With
Descriptions of Five New Species. Ann Entomol Soc Am.675-685.
Direktorat Kesehatan Hewan. 1982. Beberapa ektoparasit yang penting sebagai
vektor penyakit hewan di Indonesia. Dalam: Pedoman Pengendalian
Penyakit Hewan Menular Jilid IV: 89-99.
Frankowski, Barbara L., Joseph A. Bocchini, Jr and Council on School Health and
Committee on Infectious Diseases. Head Lice. Journal Pediatrics. Hal :
392-403.
Hadi U.K. dan Soviana, S. 2000. Ektoparasit; Pengenalan, Diagnosa, dan
Pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. FKH IPB.
66
Hadi
Haryono, Suwito, A., Irham, M., Dewi, K., R.T.P. Nugraha. 2008. Fauna
Indonesia. Vol.8 No. 2. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor.
Harry G. Herrlein . 1954. Handbook of Laboratory Animals Institute of
Laboratory Animal Resources (U.S.). Amerika.
Levine N D. 1990. Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada
University Press.
Juni, Prianto, L.A., Tjahaja, P.U., dan Darwanto. 2004. Atlas Parasitologi
Kedokteran. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Partautomo, S. 2000. Epidemiologi dan pengendalian myasis di Indonesia.
Wartazoa 10(1) : 20-27.
R. Wall, and D. Shearer . 2012. Veterinary Entomology: Arthropod Ectoparasites
of Veterinary Importance. Springer Science & Business Media.
Sasmita, R., Hastutiek, P., Sunarso, A., dan Yunus, M. 2013. Arthropoda
Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP). Surabaya.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. 7th ed. Bailliere Tindall. London.
Spradbery, J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO
Division of Entomology. Canberra. Australia. Vet. J. 7 : 28 - 32.
Spradbery, J .P. 1994. Screwworm fly : A tale of two species. Agric. Zool. Rev. 6.
67
68
Weems, H. V. Jr. and T. R. Fasulo. 2013. Human Lice: Body Louse, Pediculus
humanus humanus Linnaeus and Head Louse, Pediculus humanus capitis De
Geer (Insecta: Phthiraptera (=Anoplura): Pediculidae). Ifas Extension.
University Of Florida.
Wijayati, Fitriana. 2007. Hubungan Antara Perilaku Sehat dengan Angka
Kejadian Pedikulosis Kapitis pada Santriwati Pondok Pesantren Darul
Ulum Jombang. Skripsi. Universitas Jember. Jember.
69