Anda di halaman 1dari 10

SKENARIO 5 : CRIME SCENE INVESTIGATION

Fery seorang dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran
Forensik. Pada saat dinas jaga di IGD, Fery membantu dokter melakukan pemeriksaan korban
penganiayaan yaitu seorang perempuan dewasa yang diantar oleh temannya ke IGD. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan luka robek pada kepala bagian belakang, luka lecet geser, dan memar pada lengan
bawah kanan. Beberapa saat kemudian datang polisi penyidik ke IGD untuk menyerahkan Surat
Permintaan Visum (SPV) atas kasus tersebut. Pada saat bersamaan warga mengantarkan seorang pasien
laki-laki dewasa yang sudah dalam kondisi death on arrival (DOA) ke IGD. Pasien merupakan korban
kecelakaan lalu lintas. Pada SPV, polisi meminta pemeriksaan luar (external examination) jenazah.
Setelah pemeriksaan selesai, selain visum et repertum, dokter juga mengeluarkan surat keterangan
kematian (SKK).

Keesokan harinya, polisi dari Polres datang mengantarkan SPV gali kubur (ekshumasi) ke Instalasi
Forensik Rumah Sakit. Pada hari yang telah disepakati, tim Forensik melakukan pemeriksaan tempat
kejadian perkara (TKP) dan autopsi terhadap jenazah tak dikenal yang dikubur oleh pelaku di sebuah
ladang. Dokter melakukan autopsi terhadap temuan kerangka tersebut dan menemukan bahwa kerangka
tersebut adalah seorang laki-laki berusia lebih kurang 25-40 tahun. Terdapat patah tulang atap dan dasar
tengkorak akibat kekerasan tumpul yang diduga terjadi ketika korban masih hidup. Dokter mengambil
sampel dari patah tulang atap dan dasar tengkorak tersebut untuk pemeriksaan histopatologi (tanda-
tanda intravitalitas) dan sampel tulang paha untuk analisis DNA. Dokter juga mengambil sampel sisa
rambut jenazah dan tanah sekitar kuburan untuk analisis toksikologi. Dokter menjanjikan kepada polisi
akan mengeluarkan Visum et Repertum setelah semua pemeriksaan penunjang selesai dilakukan.

Dari hasil pengembangan kasus, kepolisian berhasil mengungkap identitas korban dan
menangkap terduga pelaku. Sebelum persidangan, jaksa meminta dilakukan pemeriksaan kejiwaan
terhadap terduga pelaku oleh psikiater.

Terminologi :

1. Surat permintaan visum : surat yang diajukan oleh penyidik untuk mengajukan permintaan
keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Surat dibuat untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun matiyang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana.

2. Death on arrival : sebuah kondisi yang digunakan untuk menjelaskan kondisi pasien
professional, termasuk responder awal diantaranya polisi, paramedic, dan teknisi medis
kegawatdaruratan.

3. External examination : pemeriksaan luar jenazah, dimulai dari ujung rambut kepala sampai
ujung kuku kaki seteliti mungkin. Periksa identitas jenazah, memastikan keamanan
pengelolaan jenazah (ada/tidaknya label), memeriksa benda – benda di sekitar jenazah (baik
yang menutupi, melekat, ataupun yang dikenakan korban), menilai kedaan umum jenazah
(utuh atau tercerai – berai), memeriksa ukuran jenazah (tinggi badan dan berat badan),
memeriksa tanda-tanda kematian sekunder untuk memeperkirakan saat kematian, dan
mencar tanda-tanda kekerasan serta kelainan- kelainan yang mungkin berhubungan dengan
peristiwa kematian korban.

4. Visum et repertum : Keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang
berwewenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati
ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia , berdasarkan keilmuan dan di bawah sumpah
untuk kepentingan peradilan.

5. Surat keterangan kematian : surat yang menerangkan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Surat keterangan kematian berisi identitas, saat kematian dan sebab kematian. Kewenangan
penerbitan surat keterangan surat keterangan kematian ini adalah dokter yang telah diambil
sumpahnya dan memenuhi syarat administrative untuk menjalankan praktik kedokteran.

6. Ekshumasi : penggalian mayat atau pembongkaran kubur yang dilakukan demi keadilan oleh
yang berwenang dan berkepentingan dan selanjutnya mayat tersebut diperiksa secara ilmu
kedokteran forensic. Ekshumasi perlu dilakukan ketika dicurigai kematian seseorang dianggap
tidak wajar.

7. Tempat kejadian perkara : tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi
dan tempat-tempat lain di mana tersangka dan/atau korban dan/atau barang-barang bukti
yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.

8. Autopsi :pemeriksaan tubuh orang mati dan dilakukan terutama untuk menentukan penyebab
kematian, untuk mengidentifikasi atau menggolongkan tingkat penyakit bahwa seseorang
mungkin memiliki, atau untuk menentukan apakah pengobatan medis atau bedah tertentu
telah efektif.

9. Pemeriksaan histopatologi :

10. Tanda intravitalitas : Reaksi Vital Terhadap Luka

11. Analisis toksikologi : ilmu yang mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan racun
yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan korban. Analisis toksikologi klinik
dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat
dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi.
Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien.

Pertanyaan :

1. Mengapa polisi penyidik menyerahkan Surat Permintaan Visum (SPV)?


 Menurut PASAL 133 KUHAP :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

 Ps 133 (2-3) KUHAP:


2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat
3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Berdasarkan Pasal 133 KUHAP, surat permintaan visum ditujukan untuk mengajukan
permintaan visum yang dilakukan oleh dokter atau ahli. Yang berwenang meminta visum
et repertum adalah penyidik polisi dan penyidik pembantu polisi

2. Mengapa polisi meminta pemeriksaan luar (external examination)


jenazah?’
Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan menyeluruh padatubuh dengan cermat
meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium,teraba serta benda-benda yang menyertai
jenazah. Tujuan pemeriksaanluar jenazah adalah untuk memastikan kematian,
memperkirakan waktu,mekanisme, dan cara kematian, identifikasi, serta menemukan
tanda-tanda penyakit atau luka- luka yang berkaitan dengan penyebabkematian sebagai
dasar penerbitan surat keterangan kematian. Bila ditemukan luka-luka yang diperkirakan
sebagai penyebab kematianmaka kematian ini sangat mungkin sebagai suatu kematian
yang tidakwajar sehingga diperlukan koordinasi dengan penyidik, dan apabiladiperlukan
dilakukan pemeriksan otopsi forensik.Sebelum pemeriksaan luar dilakukan dilakukan
persiapansebagai berikut:
1. Periksa apakah terdapat Surat Permintaan Visum (SPV) darikepolisian. Bila ada,
periksa keabsahan SPV dan pemeriksaan yang diminta.
2. Lakukan otopsi verbal pada keluarga atau pihak yangmengantar.
3. Lakukan informed consent pada keluarga bila adakeluarga.
4. Siapkan label pemeriksaan berisi skala pengukuran, nomerregister jenazah dan
tanggal pemeriksaan, kamera, dan senter.
5. Siapkan laporan obduksi, alat tulis, papan alas untukmenulis, 2 buah spuit 10
cc, plastik bening, dan stiker label.
6. Cuci tangan dan siapkan alat pelindung diri, minimal menggunakan
handschoen, apron, dan masker
7. Siapkan meteran, spons, air untuk membersihkan, serta pinset bila diperlukan
8. Foto secara keseluruhan kondisi jenazah saat baru diterima.
9. Dicatat dalam laporan obduksi.

Pemeriksaan luar jenazah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok


besar pemeriksaan, yaitu pemeriksaan identifikasi, pemeriksaan perubahan-perubahan s
etelah kematian (tanatologi) serta pemeriksaan tanda-tanda kekerasan

3. Bagaimana prosedur pembuatan surat keterangan kematian (SKK)?


Tujuan pembuatan akta kematian
1. Untuk mencegah data data almarhum di salah gunakan oleh pihak pihak
yang tidak bertanggung jawab.
2. Bagi pemerintah tujuannya untuk memastikan keakuratan Data
Penduduk Potensial Pemilih dalam rangka pemilihan umum atau
pilkada, jangan sampai orangnya udah meninggal tetap mendapatkan
hak suara.
Data Penduduk yang dilaporkan kematiannya akan dihapuskan dari Kartu Keluarga dan
Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang pernah dimiliki segera dinon-aktifkan secara
sistem agar tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai hasil pelaporan kematian, diterbitkanlah Kartu Keluarga baru dan Akta Kematian.
Setiap peristiwa kematian wajib dilaporkan ke kelurahan selambat-Iambatnya 3 (tiga)
hari sejak tanggal kematian.

Persyaratan membuat akta kematian


Untuk mendapatkan Pelayanan Pencatatan Kematian harus melengkapi persyaratan
berikut

Persyaratan untuk pencatatan kematian WNI:

1. Surat Keterangan Kematian dari kelurahan;


2. Surat Keterangan Kematian dari rumah sakit, puskesmas atau visum dokter;
3. Asli; dan Fotokopi KK dan KTP almarhum dan pemohon;
4. Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Perkawinan/akta nikah, dalam hal yang meninggal
sudah kawin; dan
5. Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran yang meninggal.

Dalam Pengurusan Akta Kematian, hal ini berdasarkan asas domisili. Laporannya,
dibedakan menjadi tiga, yaitu

1. Meninggal di Rumah Sakit (RS),


2. Meninggal di rumah dan
3. Meninggal pada waktu lampau.

Jika warga yang meninggal di Rumah sakit, syaratnya harus melampirkan surat
keterangan kematian dari dokter, surat pengantar RT/RW untuk kemudian dibawa ke
kelurahan. Di kelurahan, pemohon akan mengisi formulir F-2.29, kemudian akan
mendapatkan surat keterangan kematian. Kemudian pemohon ke kecamatan untuk
melakukan pemrosesan Kartu Keluarga.

Untuk pemrosesan Kartu Keluarga ini, juga dibedakan. Apakah yang meninggal anggota
keluarga atau kepala keluarga. Jika yang meninggal adalah anggota keluarga, maka
siapkan fotokopi KTP ahli waris, saksi, Kartu Keluarga, dan surat kematian asli. Sedangkan
bila yang meninggal adalah kepala keluarga, maka kecamatan akan melakukan pisah
Kartu Keluarga dengan persyaratan surat kematian dari kelurahan. Setelah dibuatkan
Kartu Keluarga yang baru, kemudian pemohon ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (Disdukcapil) setempat. Pelaporan akta kematian di Disdukcapil ini juga harus
menyertakan fotokopi identitas saksi pelapor dimana saksi tersebut juga ikut dihadirkan.

Jika warga yang meninggal di rumah, pengurusan akta kematian dilengkapi dengan surat
keterangan kematian dari Puskesmas setempat sebagai pengganti surat kematian dari RS.
Pengurusan ini juga menyertakan fotokopi Kartu Keluarga baru (baik dipisah ataupun
tidak tergantung yang meninggal kepala keluarga atau anggota keluarga), fotokopi
identitas pelapor, fotokopi identitas dua orang saksi dimana saksi tersebut hadir di
Disdukcapil setempat.

Bilamana warga yang meninggal dalam waktu yang sudah lampau: Ahli waris bisa
membuatkan surat pernyataan kematian yang mencakup fakta mengenai kapan dan
dimana sanak keluarganya tersebut meninggal. Surat pernyataan tersebut dibubuhi
materai. Pengurusan juga melibatkan dua orang serta pernyataan dari RT/RW serta lurah
setempat. Berkas yang dibutuhkan antara lain fotokopi identitas pelapor, fotokopi Kartu
Keluarga pelapor serta KTP saksi sebanyak dua orang.

4. Mengapa polisi dari Polres datang mengantarkan SPV gali kubur (ekshumasi) ke
Instalasi Forensik Rumah Sakit?
Penggalian kuburan atau ekshumasi diperlukan untuk tujuan tertentu sesuai dengan
kepentingan2 :
1. Penggalian atau pembongkaran kuburan untuk kepentingan peradilan. Untuk
kepentingan penyidikan kepolisian kadang – kadang suatu kuburan perlu digali
kembali untuk memeriksa dan membuat visum et rapertum dari jenazah yang
yang beberapa waktu lalu dikubur. Hal ini terjadi atas dasar laporan atau
pengaduan masyarakat agar polisi dapat melakukan penyidikan atas kematian
tersebut tidak wajar dan menimbulkan kecurigaan. Kadang – kadang korban
suatu pembunuhan atau tidak kejahatan lain dimana korban dikubur disuatu
tempat atau suatu kematian yang pada waktu itu dianggap atau dibuat seolah –
olah kematian wajar sehingga pada waktu itu tidak dimintakan Visum et
Repertum. Ternyata beberapa waktu kemudian diketahui bahwa kematian itu
tidak wajar.
2. Penggalian non forensik atau bukan untuk peradilan.
a. Biasanya dilakukan untuk keperluan kota – kota, pengembangan gedung
–gedung dan sebagainya atas perintah dari penguasa pemerintah
setempat. Untuk pelaksanaan biasanya ada petunjuk pelaksanaan yang
diatur oleh pemerintah setempat yang bekerjasama dengan keluarga.
Oleh karena itu sifatnya lebih sederhana dan sifatnya tidak perlu ikut
serta kepolisian dari segi pengamanan pelaksanaan sehingga hanya
untuk mencegah seandainya terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
b. Kadang – kadang atas kemauan keluarga sendiri untuk memindahkan
kuburan seseorang ke kuburan lain atau ke kota lain. Untuk tujuan ini
sudah ada cara tertentu dan biasanya tidak menjadi urusan kepolisian.
c. Untuk identifikasi

5. Mengapa Dokter mengatakan kerangka tersebut adalah seorang laki-laki berusia lebih
kurang 25-40 tahun?
Penentuan umur berdasarkan kerangka :
Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura-suturanya.
 Penutupan pada bagian tabula interna biasanya mendahului tubula eksterna,
(Idries, 1997).
 Obliterasi sutura makin maju sejalan dengan bertambahnya usia, namun
prosesnya tidak merata baik pada setiap sutura maupun pada bagian bagiannya,
(Kusuma, 2010).
 Sutura sagitalis, coronaries dan sutura lamboideus mulai menutup pada umur
20-30 tahun.
 Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura
squamaeus, tetapi dapat juga tetap terbuka atau menutup sebagian pada umur
60 tahun.
 Sutura sphenoparietal umumnya tidak akan menutup sampai umur 70 tahun
(Idries, 1997).
Perkiraan umur berdasarkan penutupan epifisis
Informasi mengenai penyatuan ephipisis ini sangat berguna untuk penentuan umur
waktu mati, terutama berdasarkan individu dengan usia 10 -
25 tahun. Hal ini dikarenakan bahwa penyatuan ephipisis sering kali lebih cepat dari
semestinya. Dengan kata lain, ada rentang umur (waktu penyatuan ephipisis).
Perkiraan umur berdasarkan simphisis pubis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada empat karakter tulang
yang berubah selama masa dewasa yaitu sympisis pubis, permukaan auricular , ujung
rusuk sternal dan sutura pada tengkorak. Sympisis pubis berubah dari area yang kasar
dan ber-rugae menjadi area yang lebih halus, datar dan dengan porositas.(Koesbardiati T,
2012)

Perkiraan umur berdasarkan auricular surface


Dasar pemikiran menilai permukaan auricular adalah bahwa tulang pada persendian
sacroiliaka juga berubah seiring dengan waktu, seperti hal nya sympisis pubis,permukaan
auricular mempunyai tahapan perubahan seiringdengan waktu. Owen Lovejoy et al.
(1985, dalam Byers, 2008) mengembangkan metode ini untuk memperhitungkan umur
mati individu. Selain bagian ini tidak gampang rusak, permukaan auricular
juga tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin.(Koesbardiati T, 2012)
6. Mengapa Dokter melakukan pemeriksaan histopatologi?
Yang bisa diungkap melalui histopatologi
- Intravitalitas suatu kasus trauma : Reaksi jaringan terhap trauma dan penyembuhan;
Serotonin dan histamine bebas pada daerah luka merupakan reaksi jaringan terhadap
luka yang paling cepat (10-15 menit); Perubahan enzimatik pada tepi luka Sebukan
PMN, MN
- Umur luka : Perubahan pada pembusukan perlu diketahui, guna perkiraan saat
kematian selular untuk perkiraan saat kematian somatic. Membedakan thrombus dan
emboli dengan bekuan post-mortal

7. Mengapa Dokter melakukan analisis DNA?


Seorang penjahat tanpa disadari pasti akan meninggalkan sesuatu (jejak), sehingga
ketika polisi dipanggil ke tempat kejadian serius, tempat kejadian perkara (TKP) segera
ditutup dengan pita kuning police line untuk mencegah pencemaran bukti-bukti penting.
Ahli forensik harus bergegas ke tempat kejadian sebelum bukti penting yang mungkin
membantu mengungkap kejadian hilang/dirusak. Barang bukti forensik yang ditemukan
harus diambil sampelnya untuk diperiksa di laboratorium demi mendapatkan data
pelengkap dan pendukung. Salah satu pemeriksaan yang penting dan hasilnya bisa didapat
dengan cepat adalah tes sidik DNA. Tes sidik DNA dalam kasus Pita DNA terdiri dari gula
pentose dan fosfat Nukleotida yang saling berpasangan forensik utamanya dilakukan untuk
tujuan identifikasi korban walaupun sekarang tes sidik DNA juga bisa dilakukan untuk
melacak pelaku kejahatan. Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan
mencocokkan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban. Hampir semua sampel
biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes siik DNA, tetapi yang sering digunakan
adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku.
Untuk kasus- kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa
saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes sidik DNA
(Lutfig and Richey, 2000).

8. Mengapa Dokter melakukan analisis toksikologi?


Tujuan : mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya dari
cairan biologis  menginterpretasikan temuan analisis dalam suatu argumentasi tentang
penyebab keracunan dari suatu kasus. kerja toksikologi forensik meliputi:
- analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,
- analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas, yang
dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai
kendaraan bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan
dooping),
- analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan obat terlarang lainnya.

analisis toksikologi forensik ditegakkan bertujuan untuk memastikan dugaan kasus


kematian akibat keracunan atau diracuni, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul
pada kasus ini adalah:
 senyawa racun apa yang terlibat?
 berapa besar dosis yang digunakan?
 kapan paparan tersebut terjadi (kapan racun tersebut mulai kontak dengan korban)?
 melalui jalur apa paparan tersebut terjadi (jalur oral, injeksi, inhalasi)?

9. Mengapa Dokter mengeluarkan Visum et Repertum?


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaiman tertulis dalam pasal
184 KUHP, visum et repertum turut berperan dalam:
- proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwamanusia, dimana
visum et repertum menguraikan segala sesuatutentang pemeriksaan hasil medik yang
terdapat di bagian pemberitaan yang dianggap sebagai pengganti barang bukti
- visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokterandengan ilmu hukum
sehingga dapat membaca visum et repertum
- visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat doktermengenai hail
pemeriksaan edik tersebut tertuang di dalam kesimpulan

Tujuan melakukan visum

 Untuk memberikan kepada hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-
bukti tersebut atas semua keadaan, hal sebagaimana tertuang pembagian pemberitaan
agar hakim dapat mengambil keputusannya dengan tepat atas dasar kenyataanatau fakta-
fakta tersebut sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim
 Membantu penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana
 Sebagai alat bukti sah. Karena visum et repertum merupakan suatu keterangan ahlidari
dokter maka termasuk salah satu alat bukti sah dalam KUHAP 184
 Visum et repertum merupakan pengganti barang bukti tersebut yang diperiksa secara
ilmiah oleh dokter ahli karena barang bukti yang diperiksa akan mengalami perubahan
alamiah
 Mencari, menentukan sebab kematian pada korban meninggal dunia
 Untuk memberikan kepada hakim (majelis)suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-
bukti atas semua keadaan/hal sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaanagar
hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta
tersebut,sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim. (Barama, M. 2011)

Aspek medicolegal Visum Et Repertum


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal
184KUHP. Visum etrepertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidanaterhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medic yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat
dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau
pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medic tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat
diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat
menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa
manusia
10. Bagaimana kepolisian berhasil mengungkap identitas korban dan menangkap
terduga pelaku?

11. Mengapa jaksa meminta dilakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap terduga


pelaku oleh psikiater?

Untuk menentukan apakah tersangka pelaku tindak pidana tersebut dapat


mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Seseorang terdakwa yang ternyata
mempunyai kelainan kejiwaan baik karena pertumbuhannya maupun karena penyakit,
dianggap tidak dapat bertangggung jawab atas perbuatannya sehingga tidak dapat
dipidana.

Dasar Hukum

Di mata hukum, penderita gangguan kejiwaan dianggap tidak mampu untuk


mengambil keputusan ataupun menilai lingkungan dengan benar, sehingga dalam Pasal 44
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dijelaskan:

- Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau
terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
- Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama
satu tahun sebagai waktu percobaan.

Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Anda mungkin juga menyukai