Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-najiyah (
) الفرقة الناجيةmuncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni:
و افترقت النصارى على اثنين و سبعين، فواحدة في الجنة و سبعين في النار، افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة
فواحدة في، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثالث و سبعين فرقة، فرقة فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار
هم الجماعة: قيل يا رسول هللا من هم ؟ قال، الجنة و ثنتين و سبعين في النار
“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh di
Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga dan
tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku akan
berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di Neraka,
dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka adalah al-
Jama’ah.”” (HR Ahmad, shahih).
Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut menunjukkan
yang selamat disebut “ ” الجماعةyang juga secara bahasa bermakna golongan dari hasil
berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna bahasa tapi makna syar’i,
sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti apa-apa. Pertanyaan berikutnya
adalah siapa al-Jama’ah yang dimaksud?
Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama’ah dan al-Firqah dan perintah
untuk berjama’ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah di dalam al -
Quran dan as-Sunnah:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, …” (QS Ali Imran: 103)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka. …” (QS Ali Imran:105).
Dua ayat tersebut jelas-jelas memerintahkan bersatu (jama’ah) dan melarang perpecahan
(firqah).
“Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-
jama’ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu
Hurairah).
(())من أر اد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من االثنين أبعد
“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-
jama’ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-
Tirmidzi dari ‘Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam
Shahih at-Tirmidzi).
“Jama’ah itu rahmat sedangkan furqah (perpecahan) itu ‘adzab” (HR Ibnu Abi ‘Ashim
dalam as-Sunnah dan dihasankan oleh al-Albani dalam takhrijnya, Shahih al-Jami’ dan yang
lain)
Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang kewajiban
melazimi al-Jama’ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa makna al-Jama’ah?
Al Jama’ah
Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat maka makna
al-Jama’ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan as-Sunnah,
karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama’ah yang dimaksud dalam ayat-
ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut, sehingga orang-orang yang
menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi logis meninggalkan al-Jama’ah yakni
Nabi dan para shahabat.
Para ‘ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di mana
menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:
3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan agama
ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat di
atas kesesatan. ‘Umar bin ‘Abdil Aziz berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah) sesudahnya telah memberikan
tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah pembenaran terhadap Kitab
ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada ALLAH, kekuatan di atas
agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan mengubahnya dan tidak pula
melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa mengambil petunjuk dengan
tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang mengambil pertolongan berdasar
tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH), barang siapa menyelisihnya berarti
mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman dan ALLAH akan membiarkan dia
dalam kesesatannya dan memasukkan dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak
tempat kembali”.
Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya.
Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut yakni
lafadz pengganti al-Jama’ah yaitu:
4. Jama’atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib atas
yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi’i berkata:
وإنما تكون الغفلة في الفرقة،الجماعة ال تكون فيها غفلة عن معنى كتاب وال سنة وال قياس
“al-Jama’ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan Sunnah
tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan)”.
Beliau bermaksud bahwa jama’ah kaum muslimin adalah orang-orang yang
berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu perkara
menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan,
sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap al-
Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama’ah.
5. Jama’ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi
jama’ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama’ah ini. Ini adalah
pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadits :
(())من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان
Kelima makna al-Jama’ah bisa dirangkum bahwa al-Jama’ah kembali kepada berkumpul
dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah,
sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-Jama’ah dalam hadis
tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari ketaatan al-Imam ‘Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu dan juga pemahaman para shahabat terhadap al-Quran dan as-
Sunnah.
Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama’ah disertai dengan ittiba‘ sunnah
sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka adalah golongan yang dijanjikan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keselamatan di antara golongan-golongan
yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba‘ (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi jama’ah kaum muslimin jika ada,
jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah dan meninggalkan seluruh golongan yang
ada.
Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama’ah maka yang dimaksud
adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang pada kebenaran
jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak, karena kebenaran
itulah yang dipegang oleh jama’ah pertama pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu ‘anhum, tidak dipedulikan banyaknya
orang-orang yang berpegang pada kebathilan setelah mereka.
‘Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu’adz bin Jabal dan kemudian ‘Abdullah bin
Mas’ud pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-Jama’ah …”,
sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu Mas’ud
memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama’ah bersama “al-jama’ah”
sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka ‘Amru mempertanyakan saran Ibnu Mas’ud ini.
Maka Ibnu Mas’ud bertanya: ”Apakah engkau mengetahui makna al-Jama’ah?”. ‘Amru
menjawab: “Tidak.”
Nu’aim bin Hammad berkata: ”Yaitu jika al-Jama’ah sudah rusak maka tetaplah Engkau
dengan apa yang di atasnya al-Jama’ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian maka
Engkau adalah al-Jama’ah pada saat itu”. Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas, sebab
kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh mana iltizam
dan melazimi agama Allah Ta’ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.
Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi awal
yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang murni
sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?
Salaf
Istilah “ ” سلفsecara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ ” سالفyang bermakna
orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah
mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:
“dan Kami jadikan mereka sebagai ‘salaf’ dan contoh bagi orang-orang yang datang
kemudian.” Kata ‘salaf’ di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk
diambil ‘ibrahnya.
1. salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kitab ar-Risalah oleh
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.
2. salaf adalah para shahabat dan tabi’in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.
3. salaf adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yakni tiga generasi yang
ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis
‘Imran bin Hushain yakni:
Pendapat ini dipegang banyak ‘ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah, dan
yang lain. Sebagian ‘ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi sesudahnya
seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan lainnya yakni aqran
mereka (‘ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.
Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan tetapi
kembali ke makna al-Jama’ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama’ah di mana salaf yang
dimaksud adalah generasi shahabat, tab’in, tabi’ut tabi’in yang berpegang dengan al-Quran
dan as-Sunnah, sebab munculnya bid’ah Khawarij dan Rafidhah masih di masa tiga generasi
tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah itu jumlah firqah dan
kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di antaranya pada zaman al-
Imam Ahmad di mana mu’tazilah berhasil mempengaruhi kekuasaan yaknik khalifah untuk
menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat Islam dengan paksa. Sehingga
madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain pemahaman al-Jama’ah yakni pemahaman
golongan yang selamat.
Al-Imam as-Safarini berkata: ”Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para shahabat
yang mulia di atasnya dan juga para tabi’in (pengikut shahabat dengan cara yang baik),
pengikut tabi’in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan perhatiannya kepada
agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka sebagai pengganti para salaf, bukan
orang yang dicap dengan bid’ah atau terkenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti
Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan
semacamnya”.
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para ‘ulama yang senada dengan beliau yang tidak
cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.
Ada beberapa sebutan lain dari al-Jama’ah sebagai golongan yang selamat selain nama ahlu
as-sunnah wa al-jama’ah dan salaf, yakni ahlu al-hadis dan ath-tha’ifah al-
manshurah. Makna yang dimaksud “ ” أهل الحديثbukanlah para pakar hadis baik sisi riwayat
atau dirayah saja tapi yang dimaksud adalah orang-orang yang menempuh jalan orang-orang
shalih dan mengikuti jejak para salaf di mana mereka mempunyai perhatian khusus dengan
hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam mengumpulkan, menjaga,
meriwayatkan, memahami dan mengamalkan dzahir dan bathin, maka dengan itu mereka
menjadi orang-orang yang paling melazimi sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak mendahului sunnah-sunnah dengan akal, hawa nafsu atau membuat bid’ah
apapun keadaannya.
Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi makna
ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang berarti
sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan dirayat akan tetapi
makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini sebagai nama lain
dari al-Jama’ah atau dengan kata lain istilah ahli hadits harus dikembalikan dalam
pembahasan ‘aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab ‘aqidah salaf seperti “Aqidatu as-
Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu ‘Utsman ash-Shabuni, juga “I’tiqad Aimmati al-Hadits”
oleh Abu Bakar al-Isma’ili dan semacamnya bukan merujuk kepada kitab-kitab musthalah al-
hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang
menjadi golongan yang selamat.
Apabila dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan sama
dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah
hadits maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.
Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang
perkataan sebagian ‘ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara as-
sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka beliau
menjawab: “As-sunnah adalah lawan dari al-bid’ah, kadang-kadang seseorang termasuk ahlu
al-hadits tapi dia ahlu al-bid’ah sedangkan Malik mengumpulkan dua sunnah, yakni beliau
sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber’aqidah sunnah (yakni madzhab (aqidah) nya
adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid’ah)”.
Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling dekat
kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
penukil sunnah-nya, ahlu al-bid’ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian besar dari
mereka adalah mengikuti atau ittiba‘ bukan ibtida‘ yakni berbuat bid’ah.
Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab ‘aqidah maka yang dimaksud
adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba‘, tidak hanya sekedar mendengar,
menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba’. Sehingga maksud ahlu al-hadits adalah ahlu
as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab ‘aqidah dari para salaf.
Sedangkan penamaan yang lain yakni “ ” الطائفة المنصورةyang bermakna “Golongan yang
ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:
َ طائِفَة ٌ ِم ْن أ ُ هم ِتي
(( ظاه ِِرينَ حتى يأتيهم أمر هللا وهم ظاهرون َ ))ال ت َزَ ا ُل
َ
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran) sehingga
datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas kebenaran)“. (HR
al-Bukhari)
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka
orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi,
beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)
Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), ‘Abdullah bin al-
Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-
hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.
Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu siapa
lagi mereka itu.”
al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka saya
tidak tahu lagi siapa mereka itu.”
dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-
hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-‘ilmi (‘ulama).
Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-‘ilmi dan ashabu al-atsar”. Ahlu al-atsar yang
dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.
Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan
kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak
mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu ‘Abdillah al-Hakim: “Sungguh
Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-Manshurah
yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat adalah ashabu al-hadits …”
Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.
Sehingga jelas sekali bahwa ahlu al-hadits menurut tafsir para salaf terhadap ath-Thaifah al-
Manshurah adalah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah, merekalah golongan yang ditolong, oleh
karena itu banyak didapatkan dalam kitab-kitab ‘aqidah pemutlakan nama ath-Thaifah al-
Manshurah atas nama Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah Syam,
tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa mereka ini yakni
golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain bisa di Hijaz maupu di
Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a’lam.
Sumber ilmu mereka baik dalam ‘aqidah, ‘ibadah, mu’amalah, akhlak dan seluruh cabang-
cabang syari’ah adalah hanya dari al-Quran dan as-Sunnah.
Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebaliknya.
Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah sebagaimana
jama’ah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni para shahabat radhiallahu
‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Mereka tidak menerima
ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah serta
ijma’ salaf.
Ahlu as-sunnah wa al-jama’ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak para as-
salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi jama’ah
mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu ‘anhum belajar tafsir al-Quran
dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengajarkan kepada
para tabi’in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului ALLAH dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula perasaan, tidak pula akal,
tidak pula yang lainnya.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya.
Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka dan
mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia dan para
shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kenapa disebut Manhaj Ahlisunnah waljamaah karena jalan kebenaran itu adalah
orang-orang yang berpegang teguh terhadap sunnah nabi SAW dan para sahabat.Rasulullah
SAW bersabda :
Aku wasiatkan kepada engkau untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada
penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barang
siapa hidup setelahku, ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka engkau wajib
berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus.
Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama),
karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.1
Dari ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam
surga, 70 di dalam neraka. Orang-orang Nashara telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok,
71 di dalam neraka, satu di dalam surga. Demi (Allah), Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya,
umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam surga, 72 di
dalam neraka”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah! Siapakah
mereka itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Al-Jama’ah”.2
Ahlu as-Sunnah adalah ahlu at-tawassuth wa al-i’tidal (ummat pertengahan dan moderat)
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu as-
Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan ummat
Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah sedangkan
Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah
sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga merekalah sebaik-baik golongan
dari ummat Islam.
Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:
1
HR abu Dawud (no.4607),at-tirmidzi (2676),ad darimi,ahmad dan lainya dari al irbadh bin sariyah
2
HR Ibnu Majah (no:3992),Ibnu Abiashim(no.63).al lalikai (1/101).Hadist ini derajatnya hasan.Dishahihkan oleh
syaikh al-Albani dalam shahih ibni Majah,(no.3226)
Pertengahan dalam bab sikap terhadap para shahabat di antara orang-orang yang
berlebihan dengan beberapa shahabat dengan orang-orang mengkafirkan mereka.
Pertengahan dalam bab ‘aql dan naql.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Benar-benar akan datang kepada umatku, apa yang telah datang
pada Bani Israil, persis seperti sepasang sandal. Sehingga jika di antara mereka ada
yang menzinahi ibunya terang-terangan, di kalangan umatku benar-benar ada yang
akan melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72
agama, dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama, semuanya di dalam neraka
kecuali satu”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apa yang aku dan para sahabatku
berada di atasnya”.3
Selain sifat-sifat tersebut, maka Ahlu-as-Sunnah mempunyai ciri-ciri berupak akhlak mulia
seperti bersabar terhadap musibah, bersyukur ketika diberi kelapangan, ridha ketika dengan
takdir yang buruk. Mengajak menyempurnakan ibadah dan akhlak yang mulia. Amar ma’ruf
dan nahi munkar juga merupakan ciri-ciri khas Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak yang
ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.
ALLAH a’lam
3
Hadist shahih lighairihi,riwayat at-tirmidzi,al hakim dan lainnya.dishahihkan oleh imam ibnul qayyim dan asy-
syathibi.dihasankan oleh al-haffizh al-iraqi dan syaikh al-albani.Syaikh salim al-Hilali menulis kitab khusus untuk
membela hadist ini yaitu Daf’ul Irtiyab’an Haditsi ma Ana ‘alaihi wal=ash-hab