“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah SWT dan janganlah kamu bercerai
berai.” (QS. Ali Imran: 103).
Secara garis besar, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat ini susah bersatu.
Yang pertama adalah fanatisme mazhab dan kelompok secara berlebihan. Sikap ini
kemudian menjadikan kita memiliki sikap yang tidak proporsional, sikap ingin menang
sendiri, merasa pendapat mazhab atau kelompoknya paling dan pasti benar sedangkan
pendapat mazhab atau kelompok lain pasti salah. Yang terjadi kemudian adalah saling
menghujat, melecehkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan semua pendapat yang
berbeda dengan pendapat mazhab atau kelompoknya.
Ada tulisan menarik dalam sebuah kata pengantar buku fiqh yang menganut mazhab
tertentu karangan ulama Indonesia. Dalam kata pengantar tersebut disebutkan bahwa
salah satu penyebab perpecahan umat Islam di nusantara adalah karena masuknya
paham atau mazhab fiqh baru di Indonesia yang berbeda dengan mainstream mazhab
fiqh nusantara. Beliau menyatakan bahwa hal ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan
umat sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan eksistensi mazhab
yang sudah ada dan mencegah menyebarluasnya mazhab baru atau kelompok yang
tidak terikat dengan mazhab tertentu. Hasil dari pemahaman ini adalah, perdebatan
panjang berpuluh-puluh tahun, hanya dalam permasalahan khilafiyah, sedangkan
masalah-masalah umat lain yang lebih asasi malah terlupakan.
Sikap fanatisme berlebihan ini jelas tidak meneladani sikap Salafus Shalih. Perbedaan
pendapat sudah terjadi pada masa Shahabat, kemudian tradisi perbedaan ini terus terjadi
pada generasi-generasi Salafus Shalih berikutnya. Tapi, tak ada satupun dari para
Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan kalangan ulama klasik yang menjadikan perbedaan
pendapat untuk menghujat dan mengkafirkan pendapat lain. Perbedaan pendapat di
antara mereka hanya terbatas pada kajian-kajian dan tak sampai menyebabkan
perpecahan umat. Mereka punya prinsip, selama masih dalam perkara furu’ dan
khilafiyah tak seharusnya perbedaan pendapat mengakibatkan permusuhan. Indah sekali
prinsip mereka yang menyatakan bahwa pendapatku adalah benar tapi masih terbuka
kemungkinan salah sedangkan pendapat yang lain adalah salah tapi punya kemungkinan
benar. Mereka baru bersikap intoleran jika perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah
ushul seperti terhadap kelompok yang punya Nabi baru atau kelompok yang ingkar
terhadap ayat-ayat Qath’i.
Firqatun Najiyah
Istilah golongan yang selamat yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-firqatu an-
najiyah ( ) الفرقة الناجيةmuncul berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni:
و افترقت النصارى على اثنين و سبعين فرقة، فواحدة في الجنة و سبعين في النار، افترقت اليهود على إحدى و سبعين فرقة
فواحدة في الجنة و، و الذي نفسي بيده لتفترقن أمتي على ثالث و سبعين فرقة، فواحدة في الجنة و إحدى و سبعين في النار
هم الجماعة: قيل يا رسول هللا من هم ؟ قال، ثنتين و سبعين في النار
“Yahudi telah berpecah-belah menjadi 71 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh
di Neraka, dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, maka satu di Surga
dan tujuh puluh satu di Neraka, dan demi yang jiwaku di tangan-Nya sungguh ummatku
akan berpecah belah menjadi 73 golongan, maka satu di Surga dan tujuh puluh dua di
Neraka, dikatakan “Wahai Rasul ALLAH siapa mereka itu?”, beliau berkata: “Mereka
adalah al-Jama’ah.”” (HR Ahmad, shahih).
Kata “ ” فرقةbermakna golongan, kelompok dari hasil berpecah, sedangkan “ ” ناجية
bermakna selamat. Dalam konteks hadis di atas adalah selamat dari Neraka dan
dimasukkan Surga.
Dari hadis tersebut muncul pertanyaan siapa mereka itu? Lafadz hadis tersebut
menunjukkan yang selamat disebut “ ” الجماعةyang juga secara bahasa bermakna
golongan dari hasil berkumpul. Dalam hadis ini tentu saja tidak bermaksud makna
bahasa tapi makna syar’i, sebab jika itu bermakna bahasa maka hadis itu tidak berarti
apa-apa. Pertanyaan berikutnya adalah siapa al-Jama’ah yang dimaksud?
Untuk menjawab ini harus diteliti makna dan maksud al-Jama’ah dan al-Firqah dan
perintah untuk berjama’ah atau berkumpul disertai larang berfirqah atau berpecah belah
di dalam al-Quran dan as-Sunnah:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, …” (QS Ali Imran: 103)
“Barangsiapa keluar dari ketaatan (pada amir) dan memisahkan diri (berpecah) dari al-
jama’ah kemudian mati maka mati dalam keadaan mati jahiliyah” (HR Muslim dari Abu
Hurairah).
(())من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من االثنين أبعد
“Barangsiapa menghendaki surga yang terbaik dan ternyaman hendaknya melazimi al-
jama’ah karena syaitan bersama satu orang dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR at-
Tirmidzi dari ‘Umar bin al-Khattab, hasan shahih gharib dan disebutkan al-Albani dalam
Shahih at-Tirmidzi).
Hadis-hadis ini senada dengan ayat-ayat al-Quran yang telah disebutkan tentang
kewajiban melazimi al-Jama’ah dan menjauhi furqah (perpecahan). Kemudian apa
makna al-Jama’ah?
Al Jama’ah
Apabila dibawa pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat maka
makna al-Jama’ah tentu saja berpegang kepada Islam yang murni yakni al-Quran dan
as-Sunnah, karena jelas Nabi dan para shahabat termasuk dari al-Jama’ah yang
dimaksud dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat dalam as-Sunnah tersebut,
sehingga orang-orang yang menyelesihi mereka adalah firqah sebagai konsekuensi
logis meninggalkan al-Jama’ah yakni Nabi dan para shahabat.
Para ‘ulama mempunyai pendapat yang bervariasi tapi tidak saling bertentangan, di
mana menurut asy-Syathibi bisa dirangkum dalam lima pendapat, yaitu:
3. Para Sahabat secara khusus, karena mereka yang telah berhasil menegakkan
agama ini secara keseluruhan dan meraka adalah orang-orang yang tidak akan
bersepakat di atas kesesatan. ‘Umar bin ‘Abdil Aziz berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Wulatu al-amri (Khalifah-khalifah)
sesudahnya telah memberikan tuntunan (sunnah). Mengambil tuntunan itu adalah
pembenaran terhadap Kitab ALLAH (al-Quran), penyempurnaan ketaatan kepada
ALLAH, kekuatan di atas agama ALLAH. Tidak seorangpun boleh mengganti dan
mengubahnya dan tidak pula melihat apapun yang menyelesihinya. Barang siapa
mengambil petunjuk dengan tuntunan itu akan mendapat petunjuk barang
mengambil pertolongan berdasar tuntunan itu maka akan ditolong (oleh ALLAH),
barang siapa menyelisihnya berarti mengikuti jalan selain jalan orang-orang
beriman dan ALLAH akan membiarkan dia dalam kesesatannya dan memasukkan
dia ke neraka Jahannam dan itulah sejelek-jelak tempat kembali”.
Riwayat ini disampaikan oleh al-Imam Malik dan beliau takjub dan menyetujuinya.
Pendapat ini sesuai dengan riwayat lain dari hadis perpecahan ummat tersebut
yakni lafadz pengganti al-Jama’ah yaitu:
4. Jama’atu ahli al-Islam jika mereka berkumpul di atas suatu perkara maka wajib
atas yang lain untuk mengikuti mereka. Berkaitan dengan in al-Imam asy-Syafi’i
berkata:
وإنما تكون الغفلة في الفرقة،الجماعة ال تكون فيها غفلة عن معنى كتاب وال سنة وال قياس
“al-Jama’ah tidak mungkin di dalamnya lalai dari makna Kitab (al-Quran) dan
Sunnah tidak pula qiyas, kelalaian hanya terjadi pada firqah (sempalan)”.
Beliau bermaksud bahwa jama’ah kaum muslimin adalah orang-orang yang
berkumpul dalam satu perkara, karena berkumpulnya mereka terhadap satu
perkara menunjukkan kalau perkara itu shahih karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhabarkan bahwa ummat ini tidak akan bersepakat dalan kesesatan,
sedangkan perpecahan dan perselisihan adalah hasil dari kelalalaian (terhadap
al-Quran dan as-Sunnah) dan tidak masuk ke makna al-Jama’ah.
5. Jama’ah kaum muslimin jika bersepakat pada satu amir (pemimpin), maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melazimi dan menetapi
jama’ah tersebut dan melarang berpecah serta meninggalkan jama’ah ini. Ini
adalah pendapat al-Imam ath-Thabari. Sesuai hadits :
(())من جاء إلى أمتي ليفرق جماعتهم فاضربوا عنقه كائنًا من كان
Kelima makna al-Jama’ah bisa dirangkum bahwa al-Jama’ah kembali kepada berkumpul
dan bersatunya kaum muslimin atas seorang imam yang sesuai al-Quran dan as-
Sunnah, sehingga bersatunya manusia di atas selain as-Sunnah di luar makna al-
Jama’ah dalam hadis tersebut, sebagaimana orang-orang Khawarij yang keluar dari
ketaatan al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan juga pemahaman para
shahabat terhadap al-Quran dan as-Sunnah.
Golongan yang selamat yang dimaksud adalah al-Jama’ah disertai dengan ittiba‘
sunnah sehingga dinamai Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka adalah golongan
yang dijanjikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keselamatan di antara
golongan-golongan yang ada. Prinsip mereka adalah ittiba‘ (mengikuti) sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan selalu melazimi
jama’ah kaum muslimin jika ada, jika tidak ada mereka tetap berpegang pada sunnah
dan meninggalkan seluruh golongan yang ada.
Ibnu Abi Syamah berkata: “Ketika datang perintah melazimi jama’ah maka yang
dimaksud adalah melazimi kebenaran dan megikutinya walaupun orang yang berpegang
pada kebenaran jumlahnya sedikit sedangkan yang menyelesihinya berjumlah banyak,
karena kebenaran itulah yang dipegang oleh jama’ah pertama pada zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga pada zaman para shahabat radhiallahu
‘anhum, tidak dipedulikan banyaknya orang-orang yang berpegang pada kebathilan
setelah mereka.
‘Amru bin Maimun yang pernah melazimi Mu’adz bin Jabal dan kemudian ‘Abdullah bin
Mas’ud pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama al-
Jama’ah …”, sehingga datang suatu zaman diakhirnya shalat dari waktunya maka Ibnu
Mas’ud memerintahkan shalat tepat pada waktunya di rumah dan berjama’ah bersama
“al-jama’ah” sebagai tambahan (nafilah/sunnah). Maka ‘Amru mempertanyakan saran
Ibnu Mas’ud ini. Maka Ibnu Mas’ud bertanya: ”Apakah engkau mengetahui makna al-
Jama’ah?”. ‘Amru menjawab: “Tidak.”
Nu’aim bin Hammad berkata: ”Yaitu jika al-Jama’ah sudah rusak maka tetaplah Engkau
dengan apa yang di atasnya al-Jama’ah sebelum rusak, walaupun dirimu sendirian
maka Engkau adalah al-Jama’ah pada saat itu”. Ini adalah ucapan yang luar biasa jelas,
sebab kebenaran tidak dilihat dari banyaknya pengikut akan tetapi dilihat dari sejauh
mana iltizam dan melazimi agama Allah Ta’ala, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya.
Kemudian kadang-kadang mereka yakni para Shahabat dan juga orang-orang generasi
awal yang mengikuti mereka berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah yakni Islam yang
murni sering disebut dengan istilah salaf. Apa makna dan maksud salaf di sini?
Salaf
Istilah “ ” سلفsecara bahasa adalah bentuk plural atau jamak dari “ ” سالفyang bermakna
orang yang mendahului, sehingga salaf bermakna kumpulan orang-orang yang telah
mendahului, sebagaimana kata salaf dalam al-Quran:
“dan Kami jadikan mereka sebagai ‘salaf’ dan contoh bagi orang-orang yang datang
kemudian.” Kata ‘salaf’ di ayat tersebut adalah para pendahulu sebagai pelajaran untuk
diambil ‘ibrahnya.
1. salaf adalah para shahabat saja, ini pendapat para pensyarah kitab ar-
Risalah oleh Ibnu Abi Zaid al-Qairawani.
2. salaf adalah para shahabat dan tabi’in, ini pendapat Abu Hamid al-Ghazzali.
3. salaf adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yakni tiga generasi yang
ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam hadis
‘Imran bin Hushain yakni:
“ ثم الذين يلونهم، ثم الذي يلونهم، ”خير أمتي قرني.
Pendapat ini dipegang banyak ‘ulama seperti asy-Syaukani, as-Safarini, Ibnu Taimiyah,
dan yang lain. Sebagian ‘ulama seperti al-Imam al-Ajuri memasukkan generasi
sesudahnya seperti al-Imam Ahmad, al-Imam asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid dan lainnya
yakni aqran mereka (‘ulama sezaman dan seumuran mereka) ke dalam istilah salaf.
Tentu saja salaf yang dimaksud bukan hanya pembatasan masa atau generasi akan
tetapi kembali ke makna al-Jama’ah yakni ahlu as-sunnah wa al-jama’ah di mana salaf
yang dimaksud adalah generasi shahabat, tab’in, tabi’ut tabi’in yang berpegang dengan
al-Quran dan as-Sunnah, sebab munculnya bid’ah Khawarij dan Rafidhah masih di
masa tiga generasi tersebut. Kenapa dibatasi hanya tiga generasi awal, sebab setelah
itu jumlah firqah dan kelompok-kelompok menyimpang mulai banyak dan leluasa di
antaranya pada zaman al-Imam Ahmad di mana mu’tazilah berhasil mempengaruhi
kekuasaan yaknik khalifah untuk menyebarkan faham al-Quran makhluk kepada ummat
Islam dengan paksa. Sehingga madzhab atau pemahaman salaf itu tidak lain
pemahaman al-Jama’ah yakni pemahaman golongan yang selamat.
Al-Imam as-Safarini berkata: ”Maksud dari madzhab as-salaf yaitu apa yang para
shahabat yang mulia di atasnya dan juga para tabi’in (pengikut shahabat dengan cara
yang baik), pengikut tabi’in, para imam agama ini yang diakui ke-imamannya dan
perhatiannya kepada agama ini, dan manusia menerima ucapan-ucapan mereka
sebagai pengganti para salaf, bukan orang yang dicap dengan bid’ah atau terkenal
dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah,
Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan semacamnya”.
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para ‘ulama yang senada dengan beliau yang
tidak cukup disebutkan dalam tulisan yang singkat ini.
Makna istilah ahli hadis telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, akan tetapi
makna ahli hadis yang dimaksud bukanlah makna ahli hadis zaman sekarang yang
berarti sekelompuk ilmuwan atau ulama yang bergelut di bidang hadis riwayat dan
dirayat akan tetapi makna ahli hadis harus dikembalikan ke makna munculnya istilah ini
sebagai nama lain dari al-Jama’ah atau dengan kata lain istilah ahli hadits harus
dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah dengan merujuk kepada kitab-kitab ‘aqidah
salaf seperti “Aqidatu as-Salaf Ashabi al-Hadits” oleh Abu ‘Utsman ash-Shabuni, juga
“I’tiqad Aimmati al-Hadits” oleh Abu Bakar al-Isma’ili dan semacamnya bukan merujuk
kepada kitab-kitab musthalah al-hadits. Sebab tidak mungkin hanya sekedar pakar
dalam ilmu hadis menyebabkan seseorang menjadi golongan yang selamat.
Apabila dikembalikan dalam pembahasan ‘aqidah maka istilah ahlu as-sunnah akan
sama dengan ahlu al-hadits. Akan tetapi jika dikembalikan pembahasan ilmu musthalah
hadits maka ahlu as-sunnah berbeda dengan ahlu al-hadits.
Ibnu ash-Shalah ditanya tentang perbedaan antara as-sunnah dengan al-hadits tentang
perkataan sebagian ‘ulama tentang al-Imam Malik bahwa beliau mengumpulkan antara
as-sunnah dengan al-hadits (yakni ahlu as-sunnah sekaligus ahlu al-hadits), maka
beliau menjawab: “As-sunnah adalah lawan dari al-bid’ah, kadang-kadang seseorang
termasuk ahlu al-hadits tapi dia ahlu al-bid’ah sedangkan Malik mengumpulkan dua
sunnah, yakni beliau sangat mengetahui sunnah (yakni hadits) dan ber’aqidah sunnah
(yakni madzhab (aqidah) nya adalah madzhab yagn ahlu al-haq bukan bid’ah)”.
Mereka disebut ahlu al-hadits karena mereka pembawa sunnah dan orang yang paling
dekat kepada sunnah, dan mereka adalah pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan penukil sunnah-nya, ahlu al-bid’ah di antara mereka sangat sedikit, sebagian
besar dari mereka adalah mengikuti atau ittiba‘ bukan ibtida‘ yakni berbuat bid’ah.
Sehingga jika disebut ahlu al-hadits dalam kitab-kitab ‘aqidah maka yang dimaksud
adalah ahlu al-hadits dalam riwayat dan dirayah dan ittiba‘, tidak hanya sekedar
mendengar, menulis dan meriwayatkan hadits tanpa ittiba’. Sehingga maksud ahlu al-
hadits adalah ahlu as-sunnah secara muthlaq khususnya dalam kitab-kitab ‘aqidah dari
para salaf.
Sedangkan penamaan yang lain yakni “ ” الطائفة المنصورةyang bermakna “Golongan yang
ditolong”. Penamaan ini berasal dari hadits:
َ طائِفَةٌ ِم ْن أ ُ َّمتِي
(( ظاه ِِرينَ حتى يأتيهم أمر هللا وهم ظاهرون َ ))ال ت َزَ ا ُل
َ
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang selalu tegak (di atas kebenaran)
sehingga datang kepada mereka perintah ALLAH dan mereka tetap tegak (di atas
kebenaran)“. (HR al-Bukhari)
“Akan selalu ada segolongan dari ummatku yang ditolong, tidak memudharatkan mereka
orang-orang yang menjatuhkan mereka sehingga tegaklah hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi,
beliau berkata hasan shahih, dan dishahihkan al-Albani)
Para salaf telah menjelaskan maksud gelar ini (thaifah manshurah), ‘Abdullah bin al-
Mubarak berkata: ”Mereka menurutku adalah ashabu al-hadits.” Maksud ashabu al-
hadits adalah ahlu al-hadits yakni ahlu as-sunnah.
Yazid bin Harun berkata: “Jika mereka bukan ashabu al-hadits maka saya tidak tahu
siapa lagi mereka itu.”
al-Imam Ahmad berkata: “Jika golongan yang ditolong ini bukan ashabu al-hadits maka
saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.”
dalam riwayat lain dari al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari berkata: “Mereka ashabu al-
hadits”, tentu saja ini tidak bertentangan sebab ahlu al-hadits termasuk ahlu al-
‘ilmi (‘ulama).
Ahmad bin Sinan berkata: “Mereka ahlu al-‘ilmi dan ashabu al-atsar”. Ahlu al-atsar yang
dimaksud sama dengan ahlu al-hadits.
Kenapa ahlu al-hadits adalah golongan yang paling berhak mendapat pertolongan dan
kemenangan dari ALLAH? Sebab mereka menolong sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengamalkannya, dan membelanya sehingga mereka orang yang paling layak
mendapat gelar “thaifah manshurah” sebagaimana kata Abu ‘Abdillah al-Hakim:
“Sungguh Ahmad bin Hambal sangat tepat dalam tafsir khabar ini bahwa ath-Thaifah al-
Manshurah yang diangkat dari mereka pengkhianatan sampai hari kiamat
adalah ashabu al-hadits …”
Maksud ahlu al-hadits di sini adalah ahlu as-sunnah sebagaimana telah dijelaskan.
Meskipun dalam beberapa riwayat disebut letak golongan yang ditolong ini di daerah
Syam, tidak berarti membatasi hanya di Syam saja akan tetapi dalam suatu masa
mereka ini yakni golongan yang ditolong ini ada di Syam di mana pada masa yang lain
bisa di Hijaz maupu di Mesir atau tempat-tempat lain, ALLAH a’lam.
Menurut ahlu as-sunnah tidak ada yang maksum kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, semua perkataan siapapun boleh diambil atau ditinggalkan kecuali perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan imam-imam mereka mengikuti perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebaliknya.
Oleh karena itu tampak pada diri mereka iltizam dan selalu mengikuti sunnah
sebagaimana jama’ah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni para
shahabat radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka.
Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat apapun kecuali setelah ditimbang dengan
al-Quran dan as-Sunnah serta ijma’ salaf.
Ahlu as-sunnah wa al-jama’ah tidaklah bersikap kecuali dengan ilmu dan akhlak
para as-salafu ash-shalih dan orang-orang yang mengambi dari mereka dan melazimi
jama’ah mereka. Hal itu disebabkan karena para shahabat radhiallahu ‘anhum belajar
tafsir al-Quran dan al-Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka
mengajarkan kepada para tabi’in dan mereka tidak pernah sama sekali mendahului
ALLAH dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dengan pendapat, tidak pula
perasaan, tidak pula akal, tidak pula yang lainnya.
َ َ ع ْنهُ َوأ
ٍ ع هد َل ُه ْم َجنها
ت تَجْ ِري ُ ع ْن ُه ْم َو َر
َ ضوا َ َُّللا
ي ه َ ض
ِ ان َر
ٍ س َ ْار َوالهذِينَ اتهبَعُوهُ ْم بِإِح
ِ ص ِ { َوالسهابِقُونَ األ َ هولُونَ ِمنَ ْال ُم َه
َ اج ِرينَ َواألَن
ْ ْ َ
)100 :ار خَا ِلدِينَ فِي َها أبَدًا ذَلِكَ الف َْو ُز العَ ِظي ُم} (التوبة َ
ُ تَحْ ت َ َها األ ْن َه
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal
di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Maka ALLAH menjadikan pengikut mereka dengan baik mendapat ridha dan surga-Nya.
Maka barang siapa mengikuti as-sabiqun al-awwalun maka termasuk golongan mereka
dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi karena ummat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan
untuk manusia dan para shahabat pada hakikatnya adalah sebaik-baik ummat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan untuk manusia” (QS: Ali Imran:110)
Ummat Islam adalah sebaik-baik ummat dari seluruh ummat agama lain sehingga Ahlu
as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebaik-baik ummat dari ummat Islam karena kebaikan
ummat Islam adalah karena mereke berpegang dan mengamalkan al-Quran dan as-
Sunnah sedangkan Ahlus as-Sunnah adalah golongan yang paling berpegang kepada
al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana para shahabat radhiallahu ‘anhum sehingga
merekalah sebaik-baik golongan dari ummat Islam.
Sifat pertengahan Ahlu as-Sunnah tampak pada ciri-ciri dan sifat mereka yakni:
Pembahasan rinci sifat-sifat tersebut ada dalam kitab-kitab ‘aqidah, ‘ibadah dan akhlak
yang ditulis oleh para ulama Ahlu as-Sunnah dari zaman ke zaman.
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
MUQADDIMAH
Akhir-akhir ini kita sering dengar ada beberapa khatib dan penulis yang membawakan
hadits tentang tujuh puluh dua golongan ummat Islam masuk Neraka dan hanya satu
golongan ummat Islam yang masuk Surga adalah hadits yang lemah, dan mereka berkata
bahwa yang benar adalah hadits yang berbunyi bahwa tujuh puluh golongan masuk
Surga dan satu golongan yang masuk Neraka, yaitu kaum zindiq. Mereka melemahkan
atau mendha’ifkan ‘hadits perpecahan ummat Islam menjadi tujuh puluh golongan, semua
masuk Neraka dan hanya satu yang masuk Surga’ disebabkan tiga hal:
Dalam tulisan ini, insya Allah, saya akan menjelaskan kedudukan sebenarnya dari hadits
tersebut, serta penjelasannya dari para ulama Ahli Hadits, sehingga dengan demikian
akan hilang ke-musykil-an yang ada, baik dari segi sanadnya maupun maknanya.
HADITS PERTAMA:
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
ارى َ ص َ ت ال َّن َ اِ ْفت ََرقَ ْاليَ ُه ْو ُد َعلَى ِإحْ َدى أ َ ْو ِث ْنتَي ِْن َو:س َّل َم
ِ َ َوتَف ََّرق،ًس ْب ِعيْنَ فِ ْرقَة صلَّى ه
َ ّللاُ َع َل ْي ِه َو ُ قَا َل َر:ََع ْن أَبِ ْي ه َُري َْرةَ قَال
َ ِس ْو ُل هللا
ًس ْب ِعيْنَ فِ ْرقَة
َ ث َوٍ َ َعلَى إِحْ َدى أ َ ْو ثِ ْنتَي ِْن َو َس ْب ِعيْنَ ِف ْرقَةً َوت َ ْفت َِر ُق أ ُ َّمتِ ْي َعلَى ثَال.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitab as-Sunnah, I-Bab Syarhus Sunnah no. 4596, dan lafazh hadits di
atas adalah lafazh Abu Dawud.
2. At-Tirmidzi, Kitabul Iman, 18-Bab Maa Jaa-a fiftiraaqi Haadzihil Ummah, no. 2778 dan
ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi VII/397-398.)
3. Ibnu Majah, 36-Kitabul Fitan, 17-Bab Iftiraaqil Umam, no. 3991.
4. Imam Ahmad, dalam kitab Musnad II/332, tanpa me-nyebutkan kata “Nashara.”
5. Al-Hakim, dalam kitabnya al-Mustadrak, Kitabul Iman I/6, dan ia berkata: “Hadits ini
banyak sanadnya, dan berbicara tentang masalah pokok agama.”
6. Ibnu Hibban, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Mawaariduzh Zhamaan, 31-
Kitabul Fitan, 4-Bab Iftiraqil Ummah, hal. 454, no. 1834.
7. Abu Ya’la al-Maushiliy, dalam kitabnya al-Musnad: Musnad Abu Hurairah, no. 5884
(cet. Daarul Kutub Ilmiyyah, Beirut).
8. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitabnya as-Sunnah, 19-Bab Fii ma Akhbara bihin Nabiyyu -
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- anna Ummatahu Sataftariqu, I/33, no. 66.
9. Ibnu Baththah, dalam kitab Ibanatul Kubra: Bab Dzikri Iftiraaqil Umam fii Diiniha, wa
‘ala kam Taftariqul Ummah? I/374-375 no. 273 tahqiq Ridha Na’san Mu’thi.
10. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah: Bab Dzikri Iftiraqil Umam fii Diinihi, I/306 no. 22,
tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Damiiji.
Perawi Hadits:
a. Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash al-Allaitsiy.
• Imam Abu Hatim berkata: “Ia baik haditsnya, ditulis haditsnya dan dia adalah seorang
Syaikh (guru).”
• Imam an-Nasa-i berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai), dan ia pernah berkata
bahwa Muhammad bin ‘Amir adalah seorang perawi yang tsiqah.”
• Imam adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Syaikh yang terkenal dan hasan
haditsnya.”
• Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia se-orang perawi yang benar, hanya
padanya ada beberapa kesalahan.”
(Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu VIII/30-31, Mizaanul I’tidal III/ 673 no. 8015, Tahdzibut Tahdzib
IX/333-334, Taqribut Tahdzib II/119 no. 6208.)
b. Abu Salamah, yakni ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah,
Abu Zur’ah ber-kata: “Ia seorang perawi yang tsiqah.”
(Lihat Tahdzibut Tahdzib XII/115, Taqribut Tahdzib II/409 no. 8177.)
Derajat Hadits
Hadits di atas derajatnya hasan, karena terdapat Muhammad bin ‘Amr, akan tetapi hadits
ini menjadi shahih karena banyak syawahidnya.
Imam al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan keduanya (yakni al-
Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun
menyetujuinya. (Lihat al-Mustadrak Imam al-Hakim: Kitaabul ‘Ilmi I/128.)
Ibnu Hibban dan Imam asy-Syathibi telah menshahihkan hadits di atas dalam kitab al-
I’tisham (II/189).
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany juga telah menshahihkan hadits di atas dalam
kitab Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 203 dan kitab Shahih at-Tirmidzi no. 2128.
HADITS KEDUA:
Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan :
َ َسلَّ َم ق
ام فِ ْينَا صلَّى ه
َ ّللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِس ْو َل هللا ُ أَالَ إِ َّن َر:َام فِ ْينَا فَقَال َ َس ْفيَانَ أَنَّهُ ق ُ ي ِ َع ْن ُمعَا ِويَةَ ب ِْن أَبِ ْي ي ِ َع ْب ِد هللاِ ب ِْن لُ َح ه ام ٍر ْال َه ْوزَ نِ ه
ِ َع ْن أَبِ ْي َع
ِ ثِ ْنت. َس ْب ِعيْن
َان َ ث َو َ َس ْب ِعيْنَ ِملَّةً َو ِإ َّن َه ِذ ِه ْال ِملَّة
ٍ َست َ ْفت َِر ُق َعلَى ثَال ِ أَََ الَ ِإ َّن َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا:َفَقَال
َ ب اِ ْفت ََرقُ ْوا َعلَى ثِ ْنتَي ِْن َو
ُِي ْال َج َما َعة ْ
َ اح َدة ٌ فِي ال َجنَّ ِة َوه
ِ ار َو َو ِ َّس ْبعُ ْونَ فِي الن َ َو.
Dari Abu ‘Amir al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: “Ketahuilah,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami,
kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari
Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan
sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan,
(adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk
Surga, yaitu “al-Jama’ah.”
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitabus Sunnah Bab Syarhus Sunnah no. 4597, dan lafazh hadits di atas
adalah dari lafazh-nya.
2. Ad-Darimi, dalam kitab Sunan-nya (II/241) Bab fii Iftiraqi Hadzihil Ummah.
3. Imam Ahmad, dalam Musnad-nya (IV/102).
4. Al-Hakim, dalam kitab al-Mustadrak (I/128).
5. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah (I/314-315 no. 29).
6. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam Kitabus Sunnah, (I/7) no. 1-2.
7. Ibnu Baththah, dalam kitab al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah (I/371) no. 268,
tahqiq Ridha Na’san Mu’thi, cet.II Darur Rayah 1415 H.
8. Al-Lalikaa-iy, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah (I/113-114)
no. 150, tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghaamidi, cet. Daar Thay-yibah th.
1418 H.
9. Al-Ashbahani, dalam kitab al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah pasal Fii Dzikril Ahwa’ al-
Madzmumah al-Qismul Awwal I/107 no. 16.
Perawi Hadits
a. Shafwan bin ‘Amr bin Haram as-Saksaki, ia telah di-katakan tsiqah oleh Imam al-‘Ijliy,
Abu Hatim, an-Nasa-i, Ibnu Sa’ad, Ibnul Mubarak dan lain-lain.
b. Azhar bin ‘Abdillah al-Harazi, ia telah dikatakan tsiqah oleh al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban. Al-
Hafizh adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Tabi’in dan haditsnya hasan.” Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata: “Ia shaduq (orang yang benar) dan ia dibicarakan tentang Nashb.”
(Lihat Mizaanul I’tidal I/173, Taqribut Tahdzib I/75 no. 308, ats-Tsiqat hal. 59 karya Imam
al-‘Ijly dan kitab ats-Tsiqat IV/38 karya Ibnu Hibban.)
c. Abu Amir al-Hauzani ialah Abu ‘Amir ‘Abdullah bin Luhai.
• Imam Abu Zur’ah dan ad-Daruquthni berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai).”
• Imam al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban berkata: “Dia orang yang tsiqah.”
• Al-Hafizh adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia adalah seorang perawi
yang tsiqah.” (Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu V/145, Tahdzibut Tahdzib V/327, Taqribut
Tahdzib I/444 dan kitab al-Kasyif II/109.)
Derajat Hadits
Derajat hadits di atas adalah hasan, karena ada seorang perawi yang bernama Azhar bin
‘Abdillah, akan tetapi hadits ini naik menjadi shahih dengan syawahidnya.
Al-Hakim berkata: “Sanad-sanad hadits (yang banyak) ini, harus dijadikan hujjah untuk
menshahihkan hadits ini. dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya.” (Lihat al-
Mustadrak I/128.)
HADITS KETIGA:
Hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yahudi
terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang
70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan,
yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang
jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi 73
(tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan
di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk
Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.’
Keterangan
Hadits ini telah diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Majah, dalam kitab Sunan-nya Kitabul Fitan bab Iftiraaqil Umam no. 3992.
2. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitab as-Sunnah I/32 no. 63.
3. Al-Lalikaa-i, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunah wal Jama’ah I/113 no. 149.
Semuanya telah meriwayatkan dari jalan ‘Amr, telah menceritakan kepada kami ‘Abbad
bin Yusuf, telah menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Rasyid bin Sa’ad dari ‘Auf
bin Malik.
Perawi Hadits:
a. ‘Amr bin ‘Utsman bin Sa’ad bin Katsir bin Dinar al-Himshi.
An-Nasa-i dan Ibnu Hibban berkata: “Ia merupakan seorang perawi yang tsiqah.”
b. ‘Abbad bin Yusuf al-Kindi al-Himsi.
Ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban. Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia meriwayatkan dari Shafwan
dan lainnya hadits-hadits yang ia menyendiri dalam meriwayatkannya.”
Ibnu Hajar berkata: “Ia maqbul (yakni bisa diterima haditsnya bila ada mutabi’nya).”
(Lihat Mizaanul I’tidal II/380, Tahdzibut Tahdzib V/96-97, Taqribut Tahdzib I/470 no.
3165.)
c. Shafwan bin ‘Amr: “Tsiqah.” (Taqribut Tahdzib I/439 no. 2949.)
d. Raasyid bin Sa’ad: “Tsiqah.” (Tahdzibut Tahdzib III/195, Taqribut Tahdzib I/289 no.
1859.)
Derajat Hadits
Derajat hadits ini hasan, karena ada ‘Abbad bin Yusuf, tetapi hadits ini menjadi shahih
dengan beberapa syawahidnya.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan hadits ini shahih dalam Shahih
Ibnu Majah II/364 no. 3226 cetakan Maktabut Tarbiyatul ‘Arabiy li Duwalil Khalij cet. III
thn. 1408 H, dan Silisilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 1492.
HADITS KEEMPAT:
Hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 golongan diriwayatkan juga oleh Anas bin
Malik dengan mempunyai 8 (delapan) jalan (sanad) di antaranya dari jalan Qatadah
diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3993:
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, dan
sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang
semuanya berada di Neraka, kecuali satu golongan, yakni “al-Jama’ah.”
Hadits ini dishahih-kan oleh Imam al-Albany dalam shahih Ibnu Majah no. 3227.
(Lihat tujuh sanad lainnya yang terdapat dalam Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah I/360-
361)
HADITS KELIMA:
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Kitabul Iman, bab Maa Jaa-a Fiftiraaqi Haadzihil
Ummah no. 2641 dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dan Imam al-Laalika-i juga
meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/111-112
no. 147) dari Shahabat dan dari jalan yang sama, dengan ada tambahan pertanyaan,
yaitu: “Siapakah golongan yang selamat itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:
ْ ََماأَنَا َعلَ ْي ِه َو أ
ص َحابِ ْي
َليَأْتِيَ َّن َعلَى أ ُ َّمتِ ْي َما أَت َى َعلَى بَنِ ْي ِإس َْرائِ ْي َل َح ْذ َو النَّ ْع ِل ِبالنَّ ْع ِل:س َّل َم َّ صلَّى
َ ّللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِس ْو ُل هللا ُ قَا َل َر:ََع ْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو قَال
ْ ً َّ
س ْب ِعيْنَ ِملة َوتَفت َِر ُق ْ َ
َ ت َعلى ثِنتَي ِْن َو َ
ْ صنَ ُع ذلِكَ َوإِ َّن َبنِ ْي إِس َْرا ِئ ْي َل تَف ََّر َقْ َحتَّى إِ ْن َكانَ ِم ْن ُه ْم َم ْن أَت َى أ ُ َّمهُ َعالَنِيَة ل َكانَ فِ ْي أ َّمتِ ْي َم ْن َي
ُ َ ً
ص َحابِ ْي ْ َ َما أَنَا َعلَ ْي ِه َوأ:َس ْو َل هللاِ؟ قَال ُ ِي يَا َر َ َو َم ْن ه: قَالُ ْوا،ًاح َدة ِ ار إِالَّ ِملَّةً َوِ َّس ْب ِعيْنَ ِملَّةً ُكلُّ ُه ْم فِي الن ٍ َأ ُ َّمتِ ْي َعلَى ثَال.
َ ث َو
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil
sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi
ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang
mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah,
semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh
puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat)
bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.’”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2641, dan ia berkata: “Ini merupakan hadits penjelas
yang gharib, kami tidak mengetahuinya seperti ini, kecuali dari jalan ini.”)
Perawi Hadits
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang lemah, yaitu ‘Abdur Rahman bin Ziyad
bin An’um al-Ifriqiy. Ia dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Imam Ahmad, an-Nasa-i dan
selain mereka. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Ia lemah hafalannya.”
(Tahdzibut Tahdzib VI/157-160, Taqribut Tahdzib I/569 no. 3876.)
Derajat Hadits
Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, karena banyak syawahid-nya.
Bukan beliau menguatkan perawi di atas, karena dalam bab Adzan beliau melemahkan
perawi ini.
(Lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah no. 1348 dan kitab Shahih Tirmidzi no. 2129.)
KESIMPULAN
Kedudukan hadits-hadits di atas setelah diadakan penelitian oleh para Ahli Hadits, maka
mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tentang terpecahnya ummat ini menjadi 73
(tujuh puluh tiga) golongan, 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk Neraka dan satu
golongan masuk Surga adalah hadits yang shahih, yang memang sah datangnya dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak boleh seorang pun meragukan tentang
keshahihan hadits-hadits tersebut, kecuali kalau ia dapat membuktikan berdasarkan ilmu
hadits tentang kelemahannya.
Hadits-hadits tentang terpecahnya ummat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan adalah
hadits yang shahih sanad dan matannya. Dan yang menyatakan hadits ini shahih adalah
pakar-pakar hadits yang memang sudah ahli di bidangnya. Kemudian menurut kenyataan
yang ada bahwa ummat Islam ini berpecah belah, berfirqah-firqah (bergolongan-
golongan), dan setiap golongan bang-ga dengan golongannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ummat Islam berpecah belah seperti kaum
musyrikin:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar, jalan selamat dunia dan
akhirat. Yaitu berpegang kepada Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya.
ALASAN MEREKA YANG MELEMAHKAN HADITS INI SERTA BANTAHANNYA
Ada sebagian orang melemahkan hadits-hadits tersebut karena melihat jumlah yang
berbeda-beda dalam penyebutan jumlah bilangan firqah (kelompok) yang binasa tersebut,
yakni di satu hadits disebutkan sebanyak 70 (tujuh puluh) firqah, di hadits yang lainnya
disebutkan sebanyak 71 (tujuh puluh satu) firqah, di hadits yang lainnya lagi disebutkan
sebanyak 72 (tujuh puluh dua) firqah, dan hanya satu firqah yang masuk Surga.
Oleh karena itu saya akan terangkan tahqiqnya, berapa jumlah firqah yang binasa itu?
Pertama, di dalam hadits ‘Auf bin Malik dari jalan Nu’aim bin Hammad yang diriwayatkan
oleh al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya (I/98) no. 172, dan Hakim (IV/ 430) disebut tujuh
puluh (70) firqah lebih, dengan tidak menentukan jumlahnya yang pasti.
Akan tetapi, sanad hadits ini dha’if (lemah), karena di dalam sanadnya ada seorang
perawi yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuzaa’i.
(Lihat Mizaanul I’tidal IV/267-270, Taqribut Tahdzib II/250 no. 7192 dan Silsilatul Ahaadits
adh-Dha’ifah wal Maudhuu’ah I/148, 402 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.)
Kedua, di hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dari jalan Musa bin ‘Ubaidah ar-Rabazi yang
diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam kitab asy-Sya’riah, al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya
sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Kasyful Atsaar
‘an Zawaa-idil Bazzar no. 284. Dan Ibnu Baththah dalam kitab Ibanatil Kubra nomor 263,
267. Disebutkan dengan bilangan tujuh puluh satu (71) firqah, sebagaimana Bani Israil.
Akan tetapi sanad hadits ini juga dha’if, karena di dalamnya ada seorang perawi yang
bernama Musa bin ‘Ubaidah, ia adalah seorang perawi yang dha’if.
(Lihat Taqribut Tahdzib II/226 no. 7015.)
Ketiga, di hadits ‘Amr bin ‘Auf dari jalan Katsir bin ‘Abdillah, dan dari Anas dari jalan Walid
bin Muslim yang diriwayatkan oleh Hakim (I/129) dan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya,
disebutkan bilangan tujuh puluh dua (72) firqah.
Akan tetapi sanad hadits ini pun dha’ifun jiddan (sangat lemah), karena di dalam
sanadnya ada dua orang perawi di atas.
(Taqribut Tahdzib II/39 no. 5643, Mizaanul I’tidal IV/347-348 dan Taqribut Tahdzib II/289
no. 7483.)
Keempat, dalam hadits Abu Hurairah, Mu’awiyah, ’Auf bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin
‘Ash, Ali bin Abi Thalib dan sebagian dari jalan Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh
para imam Ahli Hadits disebut sebanyak tujuh puluh tiga (73) firqah, yaitu yang tujuh
puluh dua (72) firqah masuk Neraka dan satu (1) firqah masuk Surga.
Dan derajat hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
TARJIH
Setelah kita melewati pembahasan di atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa yang
lebih kuat adalah yang menyebutkan dengan 73 (tujuh puluh tiga) golongan.
MAKNA HADITS
Sebagian orang menolak hadits-hadits yang shahih karena mereka lebih mendahulukan
akal daripada wahyu, padahal yang benar adalah wahyu yang berupa nash al-Qur’an dan
Sunnah yang sah lebih tinggi dan jauh lebih utama dibanding dengan akal manusia.
Wahyu adalah ma’shum sedangkan akal manusia tidak ma’shum. Wahyu bersifat tetap
dan terpelihara sedangkan akal manusia berubah-ubah. Dan manusia mempunyai sifat-
sifat kekurangan, di antaranya:
Dan manusia itu juga jahil (bodoh), zhalim dan sedikit ilmunya, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman:
“Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesung-guhnya manusia
itu amat zhalim dan amat bodoh.” [Al-Ahzaab: 72]
Serta seringkali berkeluh kesah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Artinya ; Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” [Al-
Ma’aarij : 19]
Sedangkan wahyu tidak ada kebathilan di dalamnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman:
“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” [Al-
Fushshilat : 42]
Adapun masalah makna hadits yang masih musykil (sulit difahami), maka janganlah
dengan alasan tersebut kita terburu-buru untuk menolak hadits-hadits yang sahih dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena betapa banyaknya hadits-hadits sah yang
belum dapat kita fahami makna dan maksudnya.
Permasalahan yang harus diperhatikan adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui daripada kita. Al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih tidak akan mungkin
bertentangan dengan akal manusia selama-lamanya.
Dan yang terpenting bagi kita sekarang ini ialah berusaha mengetahui tentang kelompok-
kelompok yang binasa dan golongan yang selamat serta ciri-ciri mereka berdasarkan al-
Qur’an dan as-Sunnah yang sah dan penjelasan para Shahabat dan para ulama Salaf,
agar kita termasuk ke dalam “Golongan yang selamat” dan menjauhkan diri dari
kelompok-kelompok sesat yang kian hari kian berkembang.
Golongan yang selamat hanya satu, dan jalan selamat menuju kepada Allah hanya satu,
Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia;
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada-mu agar
kamu bertaqwa.” [Al-An’am: 153]
Jalan yang selamat adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Sha-habatnya.
Bila ummat Islam ingin selamat dunia dan akhirat, maka mereka wajib mengikuti jalan
yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.
Mudah-mudahan Allah membimbing kita ke jalan selamat dan memberikan hidayah taufiq
untuk mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.
MARAJI’
1. Al-Qur-anul karim serta terjemahannya, DEPAG.
2. Shahih al-Bukhari dan Syarah-nya cet. Daarul Fikr.
3. Shahih Muslim cet. Darul Fikr (tanpa nomor) dan tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi
dan Syarah-nya (Syarah Imam an-Nawawy).
4. Sunan Abi Dawud.
5. Jaami’ at-Tirmidzi.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
8. Sunan ad-Darimi, cet. Daarul Fikr, th. 1389 H.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
10. Mawaariduzh Zham-aan fii Zawaa-id Ibni Hibban, oleh al-Hafizh al-Haitsamy, cet.
Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
11. Musnad Abu Ya’la al-Maushiliy, oleh Abu Ya’la al-Maushiliy, cet. Daarul Kutub al-
‘Ilmiyyah, th. 1418 H.
12. Kitaabus Sunnah libni Abi ‘Ashim, oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Al-
Maktab al-Islamy, th. 1413 H.
13. Al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah (Ibaanatul Kubra), oleh Ibnu Baththah al-
Ukbary, tahqiq: Ridha bin Nas’an Mu’thi, cet. Daarur Raayah, th. 1415 H.
14. As-Sunnah, oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim.
15. Kitaabusy Syari’ah, oleh Imam al-Ajurry, tahqiq: Dr. ‘Ab-dullah bin ‘Umar bin Sulaiman
ad-Damiji, th. 1418 H.
16. Al-Jarhu wat-Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim ar-Raazy, cet. Daarul Fikr.
17. Tahdziibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqa-lani, cet. Daarul Fikr.
18. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqa-lani, cet. Daarul Fikr.
19. Mizaanul I’tidaal, oleh Imam adz-Dzahabi.
20. Shahiih at-Tirmidzi bi Ikhtishaaris Sanad, oleh Imam al-Albani, cet. Maktabah at-
Tarbiyah al-‘Arabi lid-Duwal al-Khalij, th. 1408 H.
21. Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet.
Makatabah al-Ma’arif.
22. Al-I’tisham, oleh Imam asy-Syathibi, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. II-Daar
Ibni ‘Affan, th. 1414 H.
23. Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah, oleh Imam al-Lalikaa-iy, tahqiq: Dr.
Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghamidi, cet. Daar Thayyibah, th. 1418 H.
24. Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, oleh al-Ashbahani, tah-qiq: Syaikh Muhammad bin
Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhali, cet. Daarur Raayah, th. 1411 H.
25. Ats-Tsiqaat, oleh Imam al-’Ijly.
26. Ats-Tsiqat, oleh Imam Ibnu Hibban.
27. Al-Kasyif, oleh Imam adz-Dzahaby.
28. Silsilatul Ahaadits adh-Dhai’fah wal Maudhuu’ah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albany.
29. Shahih Ibnu Majah, oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din al-Albany, cetakan
Maktabut Tarbiyatul ‘Arabiy lid-Duwalil Khalij, cet. III, thn. 1408 H.
30. Mishbahuz Zujajah, oleh al-Hafizh al-Busairy.
31. Kasyful Atsaar ‘an Zawaa-idil Bazzar, oleh al-Hafizh al-Haitsami.
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
Perjalanan Islam mulai mengalami pergolakan dimulai sejak nabi Muhammad Saw
wafat. Pada saat itu, nabi wafat tidak meninggalkan wasiat apapun terkait dengan
siapa yang akan menggantikan posisi kepemimpinan beliau. Dari situlah kemudian,
terjadi kebingungan dari kalangan sahabat untuk menentukan bagimana
kepemimpinan umat Islam kedepannya.
Dengan kejadian itu, akhirnya kelompok Ali tidak jadi menghabisi pasukan
Mu’awiyah. Singkat cerita, dari situ kemudian terjadi tahkim, semacam deklarasi
damai. Dan dalam tahkim tersebut, kelompok Ali ditipu oleh kelompok Mu’awiyah.
Penipuan yang cerdik tersebut diinisiasi oleh juru bicara Mu’awiyah, yaitu Amru bin
Ash. Akhirnya, Ali lengser secara politik dan Mu’awiyah naik menjadi penguasa
baru Islam.
Dari persengketaan politik itulah, kemudian Islam mengalami perpecahan yang
besar. Yang awalnya terjadi adalah perselisihan dan perpecahan politik kemudian
perselisihan itu melebar ke dalam ranah-ranah yang lain, bahkan sampai kepada
persengketaan “Teologis”.
Dari situlah muncul kemudian apa yang disebut kelompok Khawarij, kelompok ini
yang kecewa kepada Ali karena dinilai tidak tegas pada saat terjadi perselisihan
dengan Mu’awiyah. Kelompok Khawarij ini dalam perkembangannya, sering
disebut sebagai akar kelompok fundamentalisme dalam Islam.
Selain Khawarij, ada kelompok Syi’ah. Kelompok ini adalah kelompok yan g setia
kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Kelompok Syi’ah ini kemudian juga terpecah -
pecah menjadi banyak golongan lagi. Selain kelompok Khawarij dan Syi’ah, ada
kelompok-kelompok Islam lainnya pada masa klasik (masa awal Islam).
Mereka juga mempunyai doktrin teologis yang berbeda-beda bahkan banyak yang
saling berselisih. Secara ideologis mereka ada yang dipengaruhi oleh gerakan
Salafisme-Wahabisme. Ada juga kemudian yang dipengaruhi oleh doktrin yang
lain.
Di Indonesia sendiri Islam juga banyak variannya, ada Nahdlatul Ulama’ (NU),
Muhmmadiyah, dan beberapa ormas Islam lain yang mewakili kelompok moderat.
Ada juga FUI, FPI, HTI, MMI, Tarbiyah, Lakar Jihad dan masih banyak lagi.
Kelompok-kelompok ini juga mempunyai doktrin yang berbeda-beda. Ada yang
dipengaruhi oleh Sunni (Ahlusunnah Waljama’ah), bercampur dengan Wahabisme,
atau bahkan bercampur dengan doktrin Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Ada pula
yang terpengaruhi oleh ormas radikal al-Qaeda dan ISIS.
Tetapi, mereka secara (siyasah), orientasi politiknya sangat berbeda dengan NU.
Jika FPI mempunyai orientasi NKRI yang bersyari’ah, NU tak punya keinginan
untuk mengislamkan Indonesia. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur,
NU lebih setuju kepada Islam sebagai “etika sosial” umat Islam dalam berperilaku.
Dari sini, faktanya Islam memang terpecah belah menjadi banyak kelompok.
Pemahaman masing-masing kelompok juga berbeda-beda, bahkan di antara
mereka ada yang saling mengkafirkan, bahkan saling menghabisi. Beberapa
kelompok bahkan tidak bisa memahami kepada kelompok lain yang mempunyai
pemahaman keislaman yang berbeda.
Ma’had Aly – Pada masa Nabi Muhammad saw. umat Islam bersatu, mereka dalam satu akidah dan satu
syariat. Jika terdapat hal-hal yang diperselisihkan diantara para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya
kepada Nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaati oleh para sahabat.
Awal mulanya perselisihan dipicu oleh persoalan politik yang ada kaitannya dengan peristiwa terbunuhnya
Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, juga
mengenai ilmu kalam yang muncul pertama kali adalah persoalan siapa yang disebut keluar dari agama Islam
dan siapa yang tetap beragama Islam.
Dalam sejarah Islam diterangkan bahwa perpecahan golongan itu mulai memuncak setelah terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, sebagaimana dikatakan oleh Hudhari Bik. Hal itu yang menjadi sebab perpecahan
pendapat kaum muslimin, yaitu satu golongan yang dendam atas Utsman bin Affan dan mereka adalah orang-
orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib ra., dan satu golongan yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan
mereka adalah golongan yang mengikuti Muawiyah bin Abu Sufyan ra.
Setelah peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, perpecahan semakin memuncak sehingga terjadilah
perang Jamal yaitu perang antara kubu Ali dengan kubu Aisyah dan perang Shiffin yaitu perang antara kubu Ali
dengan kubu Mu’awiyah. Berawal dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran dalam umat islam, masing-masing
kelompok juga terpecah belah menjadi beberapa kelompok, di antaranya yakni Khawarij. Ialah suatu sekte atau
aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Shiffin pada tahun 37H/648 M, dengan
kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan mengenai persengketaan khilafah.
Kedua, Murji`ah adalah orang yang menunda akan penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni
Ali dan Muawiyah serta pendukungnya masing-masing hingga hari kiamat kelak. Ketiga, Syi`ah yaitu orang-
orang yang tetap mendukung dan mencintai Ali dan keluarganya. Sedangkan Khawarij memandang bahwa Ali,
Muawiyah, Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asy`ari dan orang-orang yang menerima abitrase (tahkim) adalah
kafir, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an penggalan Surat Al-Maidah ayat 44 “Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Dari ayat
inilah mereka mengambil kesimpulan La hukma illa lillah bahwa tidak ada hukum selain dari hukum Allah swt.
Harun lebih lanjut melihat bahwa sebagaimana yang telah dikatakan diatas bahwa persoalan kalam yang
pertama adalah persoalan siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang bukan bagian dari mereka.
Khawarij sebagaimana telah disebutkan, mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, adalah kafir berdasarkan firman Allah swt. pada surat Al-Ma’idah ayat 44.
Persoalan ini telah menyimpulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu :
1. Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama Islam,
atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun
mengenai dosa yang dilakukannya, hal itu adalah terserah kepada Allah untuk mengampuni atau
menghukumnya.
3. Mu’tazilah, yang tidak menerima dari kedua pendapat diatas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan
kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dikenal dengan
istilah al-manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Dalam dunia Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun
Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama
golongan Hanbali, yaitu dari pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Mereka yang menantang ini kemudian
mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Di samping aliran
Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini
didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-
Maturidiyah.
Mungkin Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali hanya dalam sejarah. Adapun yang masih
eksis hingga sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-
jama’ah. Memang sebelum Rasulullah saw. meninggal dunia, beliau telah mengabarkan berita dalam sabdanya
bahwa umat Islam akan berpecah-belah.
Perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam yang diterangkan dalam hadits tersebut sebanyak 73
golongan, kemudian satu dari 73 golongan tersebut ialah golongan yang selamat dari siksaan api neraka, yang
disebut golongan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Angka 73 tersebut bukan menunjukkan arti bilangan sesungguhnya, tetapi betapa banyaknya perpecahan-
perpecahan itu terjadi, sehingga menimbulkan golongan-golongan yang sulit dihitung satu per satunya. Contoh:
golongan-golongan yang belum disebutkan di atas, antara lain golongan Ahmadiyah, Baha’iyah, dan
sebagainya. Belum jika dihitung aliran-aliran kepercayaan di Indonesia yang sebagiannya mengaitkan ajaran-
ajarannya dengan agama Islam. Semoga kita dapat bijak menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada agar
perdamaian selalu terjaga terutama di negara Indonesia tercinta kita ini.
HADIST GAIS
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
perpecahan umat
Perpecahan kaum muslimin dalam agama, sebagaimana yang kita saksikan pada
zaman sekarang ini, telah jauh-jauh hari dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Diriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu
‘anhu, beliau menceritakan,
أ َ َال إِ َّن َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْه ِل:ام فِينَا فَقَا َلَ َسلَّ َم ق َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو َ َِّللا
َّ سو َل ُ أ َ َال إِ َّن َر
ٍ علَى ث َ َال
ث َ َ َوإِ َّن َه ِذ ِه ْال ِملَّة،ًس ْب ِعينَ ِملَّة
َ ست َ ْفت َ ِر ُق َ علَى ثِ ْنتَي ِْن َوَ ب ا ْفت َ َرقُوا ِ ْال ِكتَا
ُي ا ْل َج َما َعة َ َو ِه،اح َدة ٌ فِي ْال َجنَّ ِة ِ َو َو،ار ِ َّس ْبعُونَ فِي الن ِ َ ثِ ْنت: َس ْب ِعين
َ ان َو َ َو
“Ketahuilah, ketika sedang bersama kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan
ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan
berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan masuk neraka
dan satu golongan masuk surga, yaitu al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597, dinilai
hasan oleh Al-Albani)
Dalam riwayat At-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
علَى بني إسرائيل َ علَى أ ُ َّمتِي َما أَتَى َ لَيَأْتِيَ َّن:سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو ُلُ قَا َل َر
ع َالنِيَةً لَ َكانَ فِي أ ُ َّمتِي َ ُ َحتَّى إِ ْن َكانَ ِم ْن ُه ْم َم ْن أَتَى أ ُ َّمه،َح ْذ َو النَّ ْع ِل بِالنَّ ْع ِل
َوت َ ْفت َ ِر ُق،ًس ْب ِعينَ ِملَّة
َ علَى ثِ ْنتَي ِْن َو َ ت ْ َ َو ِإ َّن بني إسرائيل تَفَ َّرق،صنَ ُع ذَ ِل َك ْ ََم ْن ي
َ َو َم ْن ِه: قَالُوا، ً اح َدة
ي ِ ار إِ َّال ِملَّةً َوِ َّ ُكلُّ ُه ْم فِي الن،ًس ْب ِعينَ ِملَّة َ ث َو َ أ ُ َّمتِي
ٍ علَى ث َ َال
ص َحابِي ْ َ علَ ْي ِه َوأ
َ َما أَنَا:َّللاِ؟ قَا َل َّ سو َل ُ يَا َر
“Pasti akan datang kepada umatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti
sejajarnya sandal dengan sandal. Sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada
orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang-terangan, maka pasti di
antara umatku ada yang melakukan demikian. Sesungguhnya bani Israil terpecah
menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan. Semuanya masuk ke dalam neraka. kecuali satu golongan.”
Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh
aku dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi no. 2641, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Faidah pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut bahwa satu golongan
yang selamat tersebut adalah al-jama’ah.
Kalau kita memperhatikan dalil-dalil syar’i, istilah “al-jama’ah” itu kembali kepada dua
makna:
Al-jama’ah dalam makna “bersatu karena berpegang teguh dengan kebenaran”. Inilah
makna al-jama’ah dalam istilah “ahlus sunnah wal jama’ah”. Yang dimaksud dengan
“kebenaran” itu adalah mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga mengikuti
kesepakatan (ijma’) para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Inilah makna al-jama’ah yang
diisyaratkan dalam hadits di atas, yaitu bersatu dalam kebenaran.
Artinya, al-jama’ah adalah sifat orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran,
yaitu ijma’ salaf. Dengan kata lain, al-jama’ah itu tidak identik dengan kelompok,
organisasi, yayasan, atau partai tertentu. Karena al-jama’ah itu adalah sifat, siapa saja
yang bersifat dengan al-jama’ah, maka dia adalah al-jama’ah.
Baca Juga: Dengan Apa Umat Islam Ini Mulia Dan Jaya?
Jadi, selama seseorang itu berpegang dengan ijma’ salaf, maka dia berada dalam al-
jama’ah, meskipun secara kenyataan dan realita, dia seorang diri dan tidak memiliki
teman. Hal ini sebagaimana kata sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
Pengertian ke dua dari al-jama’ah adalah bersatu untuk mengakui dan patuh kepada
penguasa muslim, dan haram memberontak kepada penguasa (ulil amri) yang sah.
Sehingga siapa saja yang berada di tengah-tengah negeri kaum muslimin, namun dia
meyakini boleh memberontak kepada penguasa kaum muslimin yang sah, maka dia
pada hakikatnya tidak berada dalam al-jama’ah meskipun secara lahiriyah dia tinggal di
negeri tersebut.
Faidah ke dua, hadits-hadits di atas adalah dalil bahwa umat-umat terdahulu (yaitu
Yahudi dan Nasrani) sebelum umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengalami perpecahan.
Meskipun mereka tampak bersatu, tetapi pada hakikatnya mereka berpecah belah
dalam banyak aliran, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sehingga kita tidak perlu tertipu dengan tampilan-tampilan yang mengesankan
bahwa tidak ada perpecahan dalam agama mereka.
Allah Ta’ala telah menjelaskan sifat orang-orang jahiliyyah, baik dari kalangan Yahudi,
Nasrani, dan juga para penyembah berhala dengan Allah Ta’ala katakan,
ٍ َو َال ت َ ُكونُوا ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ؛ ِمنَ الَّذِينَ فَ َّرقُوا دِينَ ُه ْم َو َكانُوا ِشيَعًا ُك ُّل ِح ْز
ب بِ َما
َلَ َد ْي ِه ْم فَ ِر ُحون
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS. Ar-Ruum [30]: 31-32)
Faidah ke tiga, perpecahan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam
hadits ini bukanlah perpecahan karena urusan atau perkara duniawi sebagaimana
persangkaan sebagian orang. Misalnya, bukan karena memperebutkan harta dan
memperebutkan pangkat dan jabatan. Akan tetapi, perpecahan yang disebutkan Nabi
adalah perpecahan dalam masalah (pemahaman) agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam katakan dalam hadits di atas,
Faidah ke empat, hadits ini menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu banyak,
sedangkan jalan kebenaran itu hanya satu saja (tunggal, tidak berbilang). Artinya,
banyak model kesesatan. Untuk menjadi orang sesat itu banyak jalannya, sehingga
tinggal “memilih”.
Adapun jalan kebenaran, yaitu jalan Allah, jalan Rasul-Nya, dan jalan ini pula yang
ditempuh oleh para sahabat, itu hanya satu dan tidak berbilang. Allah Ta’ala berfirman,
َ ع ْن
سبِي ِل ِه ُّ اطي ُم ْست َ ِقي ًما فَات َّبِعُوهُ َو َال تَت َّ ِبعُوا ال
َ سبُ َل فَتَفَ َّرقَ ِب ُك ْم ِ َوأ َ َّن َهذَا
ِ ص َر
َصا ُك ْم ِب ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون
َّ ذَ ِل ُك ْم َو
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.
Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-An’am [6]: 153)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menggunakan kata tunggal ketika menyebutkan jalan-
Nya, yaitu “shirath”. Sedangkan ketika Allah Ta’ala menyebutkan jalan kesesatan, Allah
Ta’ala memakai bentuk jamak, yaitu “as-subul”. Sekali lagi, ini menjelaskan bahwa jalan
kebenaran itu hanya itu, itulah jalan Allah, sedangkan jalan kesesatan itu banyak dan
berbilang.
Faidah ke lima, sebagian orang sala paham dengan hadits di atas dengan mengatakan
bahwa, “Mereka (yang mengklaim dirinya sebagai ahlus sunnah) ingin mengkapling
surga sendiri.” Ini adalah salah paham dengan hadits di atas.
Hal ini karena tujuh puluh dua golongan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan
sesat, mereka itu masih menjadi bagian umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga berhak masuk surga, namun mereka terancam dengan neraka.
Umat apa yang dimaksud? Perlu diketahui bahwa ada dua jenis umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pertama adalah “umat dakwah”, yaitu semua orang yang menjadi
objek sasaran dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang
yang hidup sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasul, hingga hari
kiamat. Ke dua adalah “umat ijabah”, yaitu mereka yang menerima dan merespon
dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi bagian dari kaum muslimin.
Pengertian “umatku” dalam hadits di atas bermakna umat ijabah. Sehingga tujuh puluh
dua golongan tersebut masih termasuk dalam bagian umat Islam yang nantinya akan
masuk surga, bukan orang kafir yang kekal di neraka.
Lalu, apakah mereka pasti masuk neraka? Jawabannya, belum tentu. Ancaman untuk
masuk neraka ini terwujud (benar-benar terwujud) jika syarat-syarat terpenuhi dan tidak
ada penghalang. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa dalil-dalil yang berisi
ancaman neraka itu akan terwujud jika syarat (kondisi) terpenuhi dan tidak ada faktor
penghalang.
Orang yang meninggal dan dia berada di salah satu dari tujuh puluh dua golongan,
berarti bahwa telah terpenuhi syarat (kondisi) orang tersebut untuk terkena ancaman.
Namun, masih ada faktor penghalang. Di antara faktor penghalang adalah adanya
rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Kalau ternyata Allah Ta’ala mengampuni, maka
tentu tidak jadi masuk neraka.
Berdasarkan penjelasan ini, maka tidak benar bahwa surga itu “dimonopoli” oleh ahlus
sunnah wal jama’ah saja. Kecuali kalau jalan kesesatan mereka itu berada di luar tujuh
dua golongan itu (alias kesesatan yang menyebabkan kekafiran sehingga tidak lagi
termasuk dalam umat ijabah), maka mereka kekal di neraka, seperti golongan
Ahmadiyyah.
Faidah ke enam, adanya tujuh puluh dua golongan kesesatan, sedangkan jalan
kebenaran itu hanya satu, tidak mengharuskan bahwa jumlah orang yang berada dalam
kesesatan itu lebih banyak daripada jumlah ahlus sunnah yang berada di atas
kebenaran.
Sebagian orang beranggapan bahwa mayoritas umat saat ini berada di atas ‘aqidah
Asy’ariyyah. Perkataan ini adalah perkataan yang tidak benar. Karena tidak ada orang
yang beraqidah Asy’ariyyah, kecuali dia menekuni buku-buku atau kitab-kitab
Asy’ariyyah. Sehingga yang benar, bahwa mayoritas umat sekarang adalah ahlus
sunnah.
Di antara buktinya, jika dalam suatu acara akan dibacakan Al-Qur’an, maka pembawa
acara akan mengatakan, “Mari kita mendengarkan sejenak firman Allah Ta’ala … “
Kalimat di atas adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa orang-orang awam
kaum muslimin berada di atas aqidah ahlus sunnah. Karena jika mereka beraqidah
Asy’ariyyah, tentu mereka tidak akan pernah mengucapkan kalimat itu, karena Al-Qur’an
bukanlah firman Allah menurut aqidah Asy’ariyyah.
Baca Juga:
“Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali (agama) Allah, dan jangan sekali-kali kamu
bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 102)
وال تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وألئك لهم عذاب عظيم يوم تبيض وجوه وتسود وجوه
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih
sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri dan
ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Ali Imran: 104-105)
Sahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar –radliallahu ‘anhum– berkata: “Wajah-wajah Ahlis
Sunnah wal Jama’ah lah yang akan menjadi putih berseri dan wajah-wajah ahli bid’ah
dan perpecahanlah yang akan hitam lagi muram.”
Persatuan dan berpegang teguh dengan tali (agama) Allah Ta’ala adalah salah satu
prinsip terbesar dalam agama islam, yang senantiasa diwasiatkan oleh Allah dan Rasul-
Nya kepada seluruh manusia. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
banyak kesempatan senantiasa mengingatkan ummatnya akan pentingnya hal ini,
sebagaimana yang beliau lakukan disaat khutbah hari arafah, tatkala beliau bersabda:
“Sungguh aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian, satu hal yang bila kalian
berpegang teguh dengannya, niscaya selama-lamanya kalian tidak akan tersesat, bila
kalian benar-benar berpegang tegunh dengannya, yaitu kitab Allah (Al Qur’an).” (Hadits
ini diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah, dan hadts beliau ini diriwayatkan oleh
imam Muslim, dalam kitab shahihnya 2/886/1218)
Dan diantara metode yang ditempuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
memperingatkan umatnya dari perpecahan adalah dengan cara menjelaskan kepada
mereka fakta yang akan menimpa mereka, yang berupa terjadinya petaka perpecahan
dan perselisihan. Hingga akhirnya ummat ini terpecah belah menjadi berbagai kelompok
dan golongan. Dan ini adalah taqdir dari Allah Ta’ala yang pasti terjadi, dan telah terjadi.
Bila kita membaca kitab-kitab hadits, seperti kutubus sittah, niscaya kita akan dapatkan
banyak hadits yang menjadi bukti akan hal ini. Pada kesempatan ini akan saya sebutkan
beberapa hadits, sebagai contoh untuk kita semua:
Hadits Pertama:
)لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر: عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم
فمن؟: آليهود والنصارى؟ قال: يا رسول هللا: قلنا.! وذراعا بذراع حتى لو دخ لوا في حجر ضب التبعتموهم
“Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’ anhu, beliau berkata: Rasulullah
shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “Sunguh-sungguh kamu akan
mengikuti/mencontoh tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan
sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk kedalam lubang dlob, niscaya
kamu akan meniru/mencontoh mereka. Kami pun bertanya: Apakah (yang engkau
maksud adalah) kaum Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi?” (HRS
Muttafaqun ‘Alaih)
Hadits Kedua:
)ال تقوم الساعة حتى تأخذ أمتي مأخذ القرون قبلها شبرا: عن أبي هريرة رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال
ومن الناس إال أولئك؟: كفارس والروم؟ فقال، يا رسول هللا: فقيل.!بشبر وذراعا بذراع
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda: “Tidaklah kiamat akan bangkit, hingga ummatku benar-benar telah
meniru perilaku umat-umat sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta. Maka dikatakan kepada beliau: (maksudmu) Seperti orang-orang Persia dan
Romawi? Maka beliaupun menjawab: Apakah ada orang lain selain mereka?” (HRS Al
Bukhari)
Hadits ketiga:
)تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين: عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم
فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي على ثالث وسبعين فرقة.)
“Dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Dan (pemeluk) agama ini akan berpecah belah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, dan (hanya)
satu golongan yang masuk surga, yaitu Al Jama’ah.” (HRS Ahmad, Abu Dawud, Ibnu
Abi ‘Ashim dan Al Hakim, dan dishohihkan oleh Al Albani)
تفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في: عن عبد هللا بن عمرو رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم
ما أنا عليه وأصحابي: ومن هي يا رسول هللا؟ قال:النار إال ملة واحدة قالوا
“Dari sahabat Abdullah bin Amer rqdhiallahu’ anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, seluruhnya akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabat
bertanya: Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: yang berpegang
teguh dengan ajaran yang aku dan para sahabatku jalankan sekarang ini.” (Riwayat At
Tirmizy dan Al Hakim)
1. Perpecahan ummat islam pasti terjadi sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits-
hadits di atas. Hal ini merupakan takdir yang telah Allah Ta’ala tentukan akan menimpa
umat ini.
2. Perpecahan dan perselisihan adalah satu hal yang tercela, dan harus ditanggulangi,
yaitu dengan cara merealisasikan kriteria golongan selamat pada diri setiap orang
muslim. Hanya dengan cara inilah persatuan dan kesatuan umat akan tercapai, dan
saat itulah mereka menerima anugrah gelar (Al Jama’ah). [Golongan selamat digelari
dengan Al Jama’ah, karena mereka senantiasa berada diatas kebenaran, dan tidak
mungkin untuk bersepakat melakukan kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam].
3. Dari sekian banyak golongan umat islam yang ada, hanya satu golongan yang
selamat, yaitu golongan yang dijuluki oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Al
Jama’ah.
4. Untuk menentukan golongan yang selamat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberikan sebuah pedoman yang jelas. Tatkala beliau ditanya: Siapakah mereka
(golongan selamat) itu? Beliau menjawab dengan menyebutkan kriterianya, bukan
dengan menyebutkan personalianya, yaitu golongan yang memiliki kriteria: senantiasa
mengikuti dan ittiba’ sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajaran yang telah
beliau dan para sahabatnya amalkan. Inilah ciri khas golongan yang selamat (Al
jama’ah), senantiasa menjalankan as sunnah, dan menjauhi segala yang bertentangan
dengannya, yaitu al bid’ah. Sehingga siapapun orangnya yang memiliki kriteria ini, maka
dia termasuk kedalam golongan selamat. (Lihat Al I’tishom oleh As Syathiby 2/443)
( فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل: فإن لم يكن لهم جماعة وال إمام؟ قال: قلت.الزم جماعة المسلمين وإمامهم
)شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
“Kita saling bekerja-sama dalam hal persamaan kita, dan saling toleransi dalam segala
perbedaan kita.” (Sepintas metode ini bagus sekali, akan tetapi bila kita sedikit berfikir
saja, niscaya kita akan terkejut, terlebih-lebih bila kita memperhatikan fenomena
penerapannya. Hal ini dikarenakan metode ini terlalu luas dan tidak ada batasannya,
sehingga konsekwensinya kita harus toleransi kepada setiap orang, dengan berbagai
aliran dan pemahamannya, karena setiap kelompok dan aliran yang ada di agama
islam, syi’ah, jahmiyah, qadariyah, ahmadiyah dll, memiliki persamaan dengan kita,
yaitu sama-sama mengaku sebagai kaum muslimin. Kalau demikian lantas akan
kemana kita menyembunyikan prinsip-prinsip akidah kita?!)
“Janganlah kamu saling berselisih, karena umat sebelummu telah berselisih, sehingga
mereka binasa/ runtuh.” (HRS Muslim)
فأعطاني ثنتين ومنعني، )سألت ربي ثالثا:عن سعد بن أبي وقاص رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال
وسألته أن ال يجعل بأسهم، فأعط انيها، وسألته أن ال يهلك أمتي بالغرق، فأعطانيه، سألت ربي أن ال يهلك أمتي بالسنة:واحدة
رواه مسلم.(بينهم فمنعنيها
Dan inilah yang terjadi, dan ini pulalah sebab keruntuhan berbagai dinasti islam
(khilafah islamiyyah). Bila kita sedikit menengok ke belakang, mengkaji ulang sejarah
umat islam, kita akan dapatkan banyak bukti, sebagai contoh:
Tatkala kaum muslimin telah berhasil menggulingkan dua negara adi daya kala itu
(Persia dan Romawi), dan tidak ada lagi kekuatan musuh yang mampu menghadang
laju perluasan dan penebaran agama islam, mulailah musuh-musuh islam menyusup
dan menebarkan isu-isu bohong, guna menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat
islam. Dan ternyata mereka berhasil menjalankan tipu muslihat mereka ini, sehingga
timbullah fitnah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berbuntut terbunuhnya
sang Khalifah, dan berkepanjangan dengan timbulnya perang saudara antara sahabat
Ali bin Abi Tholib dengan sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. (Untuk lebih lengkapnya,
silahkan baca buku-buku sejarah dan tarikh, seperti: Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh
Ibnu Katsir, dll)
Bukankah jatuhnya kota Baghdad ke tangan orang-orang Tatar pada thn 656 H akibat
pengkhianatan seorang Syi’ah yang bernama Al Wazir Muhammad bin Ahmad Al
‘Alqamy? Pengkhianat ini tatkala menjabat sebagai Wazir (perdana mentri) pada zaman
Khalifah Al Musta’shim Billah, ia berusaha mengurangi jumlah pasukan khilafah, dari
seratus ribu pasukan, hingga menjadi sepuluh ribu pasukan. Dan dia pulalah yang
membujuk orang-orang Tatar agar membunuh sang Kholifah beserta keluarganya.
(Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca buku-buku sejarah dan tarikh, seperti: Al
Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir, dll)
Sepanjang sejarah, tidak ada orang Yahudi atau Nasrani yang berani menyentuh
kehormatan Ka’bah, apalagi sampai merusaknya. Akan tetapi kejahatan ini pernah
dilakukan oleh satu kelompok yang mengaku sebagai umat islam, yaitu oleh
(Qaramithoh) salah satu sekte aliran kebatinan. Pada tanggal 8 Dzul Hijjah tahun 317 H,
mereka menyerbu kota mekkah, dan membantai beribu-ribu jama’ah haji, dan kemudian
membuang mayat-mayat mereka ke dalam sumur Zam-zam. Ditambah lagi mereka
memukul hajar Aswad hingga terbelah, dan kemudian mencongkelnya dan dibawa
pulang ke negri mereka Hajer di daerah Bahrain. (Untuk lebih lengkap, silahkan simak
kisah kejahatan mereka di Al Bidayah wa An Nihayah 11/171)
Perlu diketahui, bahwa kelompok Qoromithoh ini adalah kepanjangan tangan dari
kelompok fathimiyyah, yang pernah menguasai negri Mesir satu abad lamanya. (Untuk
lebih mengenal tentang siapa itu Qoromithoh, silahkan baca kitab: Al Aqoid Al
Bathiniyyah wa Hukmul Islam Fiha, oleh Dr. Shobir Thu’aimah)
Setelah kita mengetahui dengan yakin bahwa perpecahan pasti melanda umat islam,
dan hanya satu kelompok saja yang akan selamat, yaitu yang disebut dengan Al Firqoh
An Najiyah atau Ahlis Sunnah wal Jama’ah, alangkah baiknya bila kita mengetahui
beberapa kriteria utama yang membedakan antara Al Firqoh An
Najiyah dengan firqoh-firqoh lainnya:
Adalah wajib hukumnya atas setiap muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, untuk
menjadikan tujuan (prinsip) utama dalam kehidupannya adalah mengesakan
peribadatan hanya kepada Allah semata, dan mengesakan ketaatan hanya kepada
Rasul-Nya. Kemudian ia senantiasa konsekwensi dengan prinsip ini, dan
menjalankannya dalam segala situasi dan kondisi. Dia juga harus meyakini bahwa
manusia paling utama setelah para nabi adalah para sahabat –radliallahu ‘anhum-.
Dengan demikian ia tidaklah fanatis secara mutlak kepada seseorang kecuali kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak fanatis secara mutlak kepada suatu
golongan kecuali kepada para sahabat –radliallahu ‘anhum-.
Allah Ta’ala telah menjadikan hal ini sebagai tolok ukur kebenaran iman seseorang:
قل إن كنتم تحبون هللا فاتبعوني يحببكم هللا ويغفر لكم ذنوبكم
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)
Al Hasan Al Basri berkata: “Ada sebagian orang yang mengaku bahwasannya mereka
mencintai Allah, maka Allah menguji (kebenaran pengakuannya) dengan ayat ini.”
Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata: “Ayat ini merupakan hakim bagi setiap orang yang
mengaku mencintai Allah, padahal ia tidak meniti jalan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga dengannya terbukti kepalsuan pengakuannya.
(Pengakuannya dikatakan benar bila ) Ia menjalankan syari’at Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala ucapan dan perilakunya.” (Tafsir
ibnu Katsir 1/358)
Sahabat Ibnu mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Barang siapa dari kamu yang hendak
mencontoh seseorang, maka hendaknya ia mencontoh sahabat-sahabat nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka adalah orang
yang hatinya paling baik dari umat ini, ilmu paling mendalam, paling sedikit
bersikap takalluf (berlebih-lebihan), paling lurus petunjuknya, dan paling bagus
keadaannya. Mereka adalah satu kaum yang telah Allah seleksi untuk menjadi sahabat
nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, penegak agama-Nya. Oleh karena itu hendaknya
kamu senantiasa mengenang jasa, dan mencontoh mereka, karena sesungguhnya
mereka senantiasa berada di atas jalan yang lurus.” (Lihat Hilyatul Auliya’ 1/305,
dan Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadllih 2/97)
Kemudian sepeninggal sahabat, maka yang menjadi sauri teladan adalah murid-murid
mereka, yaitu para tabi’in, dan kemudian sepeninggal mereka adalah tabi’it tabi’in, dan
demikian seterusnya. Karena mereka semua ini senantiasa meniti jalan dan metode
yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Inilah metode yang ditempuh oleh golongan selamat, yaitu konsisten dengan Al Qur’an
dan As Sunnah, dan mencontoh ulama’ terdahulu, dari kalangan sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan murid-murid mereka.
Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh ahlil bid’ah dengan berbagai alirannya,
mereka menjadikan celaan terhadap sahabat Nabi sebagai aktifitas dan prinsip hidup,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang syi’ah, atau menyampingkan pendapat
mereka dengan berbagai alasan, sebagaimana perkataan sebagian mereka tatkala
mensifati pemahaman para sahabat: Bagaikan ayam, bila ia mengeluarkan telor, maka
kita ambil, dan bila yang dikeluarkan adalah kotoran, maka kita tinggalkan, wal
‘iyazubillah min al khuzlan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa sumber agama islam hanyalah Al
Qur’an, Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ijma’, sedangkan selain ketiga
hal ini adalah bathil, karena dengan meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka telah terputuslah wahyu, dan Allah telah menyempurnakan agama islam ini.
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridlai islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al
Maidah: 3)
Agama islam ini berdiri tegak diatas prinsip berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan
membenarkan serta mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang mengadakan dalam urusan kami ini (agama) sesuatu hal yang tidak
ada darinya (tidak ada dalilnya), maka hal itu tertolak.” (HRS Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, seluruh bagian agama ini, baik itu akidah, suluk, siyasah, manhaj,
tidaklah diambil selain dari wahyu, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Orang yang mengada-adakan suatu amalan atau ucapan bid’ah, misalnya dengan
mengatakan: Dalam urusan ibadah kita mengikuti manhaj Ahlus Sunnah (ulama salaf),
tapi dalam urusan politik, atau perdagangan atau metode pendidikan, kita ambil dari
orang lain (orang-orang barat, atau para ilmuwan masa kini), maka seakan-akan ia
mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat
dalam menyampaikan agama islam ini, karena Allah telah mengkalim bahwa agama ini
telah sempurna.
Adapun firqoh-firqoh lain, maka metode mereka beraneka ragam, ada yang
pedomannya adalah mimpi-mimpi, atau perkataan pendiri kelompoknya, atau analisa-
analisa koran dan majalah, atau perasaan, atau akal manusia, filsafat dll. Akan tetapi
semua firqoh-firqoh itu sepakat dalam sikap menduakan Al Qur’an dan As Sunnah.
(Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam kitamnya: As Showa’iq Al
Munazzalah ‘Ala At thoifah Al Jahmiyyah Al Mu’atthilah 2/379-380)
3. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidap pernah berbeda pendapat dalam prinsip-
prinsip agama.
Salah satu kriteria Ahlis Sunnah adalah mereka senantiasa sepakat dan tidak pernah
berselisih pendapat dalam hal-hal yang merupakan pokok-pokok agama, rukun-rukun
islam dan iman dan segala perkara yang disebutkan dalam ayat atau hadits shohih, baik
berupa amalan atau ucapan, dan juga perkara-perkara gaib. (Lihat Dar’u Ta’arud Al
‘Aqel wa An Naqel 1/263). Oleh karena itu kita dapatkan penjelasan ulama salaf tentang
rukun-rukun iman, islam, asma’ dan sifat, kehidupan alam barzakh, kehidupan akhirat
dll, sama tidak ada perbedaan, padahal tempat tinggal dan perguruan mereka berbeda.
Beda halnya dengan ahlul bid’ah, kita sering mendengar seruan dari sebagian mereka
untuk meninggalkan dan mendustakan taqdir Allah, atau seruan untuk menepikan
pembahasan masalah asma’ dan sifat Allah dengan berbagai alasan yang mereka
rekayasa. Dan masih banyak lagi usaha-usaha dan seruan-seruan untuk mengkaji ulang
hal-hal prinsip dan pokok dalam agama islam. Wallahul musta’an.
4. Ahlus sunnah tidak mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka tanpa
dalil atau bukti.
Inilah salah satu petaka yang sedang melanda umat islam pada zaman kita ini,
peledakan-peledakan yang terjadi di berbagai negri islam, termasuk di negri tempat kita
belajar ini Kerajaan Saudi Arabia, tidak luput dari petakan ini. Bukan hanya
pemerintahnya yang dikafirkan tapi juga ulama dan seluruh orang yang tidak setuju
dengan ulah dan kejahatan mereka. (Untuk lebih mengetahi lebih detail tentang kejadian
dan fatwa para ulama’ Ahlis Sunnah tentang hal ini silahkan baca buku Fatawa Al
A’immah Fi An Nawazil Al Mudlahimmah, oleh Muhammad Husain Al Qohthoni)
Di negri Algeria (Al Jazair) berapa banyak kaum muslimin yang tak berdosa dibantai
oleh kelompok bersenjata yang mengaku berjuang demi tegaknya negara islam. (Untuk
lebih mengetahui tentang kenyataan yang terjadi di Algeria, silahkan baca kitab “Fatawa
Al Ulama Al Akabir Fima Uhdira Min Dima’ Fi Al jazair”, oleh Abdul Malik bin Ahmad Al
jazairy)
Semua tragedi pilu ini terjadi akibat aqidah sesat yang tertanam dalam jiwa para pelaku
tindak keji ini. Mereka telah mengkafirkan masyarakat, pemerintah dan ulama yang ada,
bahkan mereka telah menganggap seluruh masyarakat islam yang ada di dunia
sekarang ini sebagai masyarakat jahiliyyah, tak ubahnya masyarakat jahiliyyah yang
ada pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita mengetahui beberapa kriteria Ahlis Sunnah dan Ahlil Bid’ah, pada akhir
pembahasan ini, akan saya tutup dengan menyebutkan dua pintu besar bagi timbulnya
bid’ah:
A. Kesalahan ulama
Ahlis sunnah wal jama’ah berkeyakinan bahwa setiap manusia, walau seberapa luas
ilmunya, pasti memiliki kesalahan, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hanya beliaulah yang terlindung (ma’shum) dari kesalahan, sebagaimana yang
difirmankan Allah Ta’ala:
“Dan ia tidaklah mengucapkan menurut hawa nafsunya, ucapannya tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najem: 3-4)
Kesalahan seorang ulama sangat berbahaya akibatnya, karena ia adalah teladan dan
panutan banyak orang. Sehingga kalau ia melakukan atau mengatakan perkataan yang
salah, akan ada yang meniru dan mengikutinya. Oleh karena itu merupakan kewajiban
ulama lain untuk menjelaskan kesalahan tersebut, tanpa mengurangi sikap hormat
terhadap ulama yang melakukan kesalahan itu.
Bila kita membaca biografi para ulama, niscaya kita akan mendapatkan banyak ulama
Ahlis Sunnah yang pernah mengatakan atau melakukan perbuatan bid’ah, tanpa ada
unsur kesengajaan untuk berbuat kesalahan atau meninggalkan As Sunnah.
Sebagai contoh: Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu pernah berfatwa membolehkan nikah
mut’ah, dan kemudian ia menarik kembali fatwa tersebut, setelah terbukti baginya
dengan hadits-hadits yang shohih, bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan. (Lihat Kitab Al
Mughni oleh Ibnu Qudamah 10/48)
“Agar Tuhan-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79). Bahwa yang
dimaksud dengan tempat terpuji adalah: Nabi akan didudukkan disebelah Allah Ta’ala di
atas Arsy-Nya. (Lihat Tafsir At Thobary 15/145, dan At Tamhid 7/157-158)
Walau demikian, Ahlus Sunnah tetap menghormati para ulama tersebut, tapi tidak
mengikuti kesalahan mereka, atau menjadikan mereka sebagai alasan (dalil) dalam
melakukan kesalahan itu. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abdil bar
tatkala mengkisahkan pendapat Mujahid di atas: “Tidaklah ada seorang ulama-pun
kecuali pendapatnya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan Mujahid, walaupun dia adalah salah seorang yang ulama yang diakui
akan kepandaiannya dalam ilmu tafsir Al Qur’an, akan tetapi ia memiliki dua pendapat
yang ditinggalkan oleh para ulama, dan dijauhi, salah satunya adalah ini.” (Lihat At
Tamhid 7/157)
B. Kelalaian Ahli Ibadah. [Agar lebih jelas silahkan baca kitab Al I’tishom Oleh As
Syathiby 1/153 dst].
Setelah diamati, didapatkan bahwa banyak kesesatan orang-orang sufi ahli thariqat,
asal-usulnya adalah sebagian kelalaian ahli ibadah zaman dahulu, walaupun ahli ibadah
itu bertujuan baik. Dan demikianlah lazimnya setiap bid’ah, diawali dari kesalahan dan
kelalaian seseorang, kemudian terus berkembang dan akhirnya berubah menjadi
amalan bid’ah yang telah dilengkapi dengan metode-metode dan keyakinan-keyakinan
(khurofat) tertentu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya
dari keslahan dan kelalaian para ahli ibadah:
“Sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa ada tiga orang sahabat
yang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya
tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tatkala mereka telah dikabari,
mereka merasa bahwa ibadah beliau sedikit sekali, akhirnya mereka berkata: Mana
mungkin kita bisa sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah
diampuni dosa-dosanya, baik yang terdahulu atau yang akan datang. Maka salah
seorang dari mereka berkata: Adapun aku, maka akan senantiasa sholat malam, dan
yang lain berkata: Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berhenti, dan yang lain
berkata: Aku akan menjauhi wanita, sehingga aku tidak akan menikah. Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, dan beliau bersabda: Apakah kalian yang
berkata demikian, demikian? Kemudian beliau bersabda: ketahuilah bahwa aku -demi
Allah- adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah, akan tetapi aku
berpuasa dan juga makan (berhenti berpuasa), aku sholat (malam) dan juga tidur, dan
aku juga menikahi wanita, maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnah
(cara/jalan/metode)-ku, berarti ia bukan dari golonganku.” (HRS Bukhari)
Pada kisah ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh kepada ummatnya
untuk mengingkari kesalahan ahli ibadah, dan tidak membiarkannya berjalan terus
menerus. Dan inilah yang dilakukan oleh para sahabat beliau dan ulama Ahlis Sunnah
wal Jama’ah.
Asma’ binti Abi Bakar, Abdullah bin Az Zubair dan Ibnu Sirin mengingkari orang-orang
yang pingsan karena mendengar bacaan Al Qur’an. Ibnu Sirin berkata: Sebagai bukti
kebenaran mereka mari kita uji dengan cara membacakan Al Qur’an kepada orang-
orang itu, sedangkan mereka berada di atas pagar, kalau ia tetap pingsan berarti ia
benar, (dan bila tidak berarti itu hanya pura-pura). (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
11/7-8)
Nah orang-orang sufi menjadikan kelalaian ahli ibadah ini sebagai amal ibadah rutin dan
sebagai thariqat, dengan anggapan bahwa ini semua ada contohnya dari ulama salaf.
Dan tidak jarang kisah-kisah ini tidak benar adanya, dan tak lebih hanya cerita bohong
dari sebagian orang, sebagaimana halnya kisah-kisah tentang Syeikh Abdul Qadir Al
Jaelani, bahwa beliau bisa terbang, menghidupkan orang yang sudah mati, dan masih
banyak lagi dongeng tentang beliau. Waallahul Musta’aan.
Semoga sekelumit ulasan tentang hadits-hadits iftiraqul ummah ini bermanfaat bagi kita,
dan menjadi pilar bagi kita dalam perjuangan menuju ke Al Firqoh An Najiyah. Amiin,
wallahu a’lam bis Showaab.
***
Penulis: Muhammad Arifin bin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id