Anda di halaman 1dari 35

BAB VIII

BATUAN METAMORF

8.1 Pendahuluan
8.1.1 Tinjauan Materi
Pada kuliah ini akan diuraikan mengenai pengertian metamorfisme, klasifikasi
batuan metamorf, jenis jenis metamorfisme, zona dan fasies metamorfisme serta
metasomatisme.

8.1.2 Sasaran Pembelajaran


Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud
dengan proses metamorfisme, mengetahui jenis jenis batuan metamorfisme dan
klasifikasi yang digunakan, memahami konsep zona dan fasies metamorfisme
serta mengetahu pengertian dari metasomatisme.

8.2. Uraian Bahan Pembelajaran


8.2.1. Pengertian
Batuan metamorf diartikan sebagai batuan yang terbentuk akibat adanya
perubahan suhu (T) dan tekanan (P) dari batuan yang telah ada sebelumnya, baik
itu batuan beku, sedimen maupun batuan metamorf itu sendiri. Proses
perubahan itu sendiri disebut dengan proses metamorfisme. Batuan metamorf
juga disebut sebagai batuan malihan, demikian pula dengan prosesnya yaitu
proses metamorfisme atau malihan.

Proses metamorfisme atau malihan merupakan perubahan yang terjadi pada


susunan mineral, tekstur batuan dan komposisi kimia. Perubahan pada proses
metamorfisme sangat berbeda dengan perubahan pada batuan sedimen yang
dikenal dengan diagenesis dan proses pelapukan. Proses metamorfisme
berlangsung akibat perubahan suhu dan tekanan yang tinggi diatas 2000C dan
300 Mpa (mega pascal) dan terjadi dalam kondisi padat. Proses diagenesa sendiri
berlangsung pada suhu dibawah 2000 C dan proses pelapukan pada suhu dan
tekanan normal, jauh dibawahnya dalam lingkungan atmosfir.

Batuan metamorf merupakan salah satu dari jenis batuan yang keterdapatannya
terbatas pada suatu daerah dengan kondisi geologi tertentu, seperti sabuk

169
pegunungan, batas kontinen dan daerah- daerah tektonik aktif. Keterdapatannya
yang sangat terbatas dan proses pembentukannya yang sangat kompleks
menjadikan batuan ini dijadikan salah satu media oleh para ahli geologi,
khususnya ahli petrologi untuk mempelajari dinamika bumi. Selain itu, batuan
ini juga merupakan sumber dari mineralisasi logam-logam ekonomis dan batu
dimensi atau yang lebih dikenal dengan batu mulia yang bernilai sangat mahal
yang banyak diburu oleh kolektor, baik dari dalam maupun luar negeri.

Di Indonesia, penyebaran batuan metamorf dijumpai tersebar dibeberapa daerah,


diantaranya yaitu daerah Ciletuh Jawa Barat, Karangsambung dan Bayat Jawa
Tengah, Bantimala, Barru dan Latimojong Sulawesi Selatan, Lengan tenggara dan
tengah Sulawesi, P. Buton, P, Seram dan Halmahera dan P. Timor. Keberadaan
batuan batuan metamorf di negara ini sudah diketahui sejak zaman penjajahan
dan dijadikan bahan penelitian bagi beberapa ahli dari luar negeri. Bahkan
beberapa penelitian tentang batuan metamorf memberikan kontribusi yang
sangat penting bagi perkembangan ilmu geologi pada saat itu, diantaranya
Sulawesi pair metamorphic belt concept yang dibuat oleh Miyashiro (1971), very
high pressure metamorphic rock yang ditandai dengan didapatkannya mineral
coesite (polimorf dari kuarsa) yang diusulkan oleh Parkinson dan Katayama
(1999).

8.2.2 Kondisi Metamorfisme


Proses proses geologi yang berskala besar seperti pergerakan lempeng tektonik,
subduksi dari lempeng oseanik, tumbukan antara lempeng kontinen dengan
kontinen dan pemekaran tengah samudera semuanya menghasilkan adanya
pergerakan dari batuan yang akan menghasilkan tekanan atau pressure dan
energi panas. Adanya perubahan tekanan dan suhu tersebut kemudian menjadi
faktor yang penting dalam proses metamorfisme. Batas metamorfisme dapat
dilihat pada gambar 8.1 dan tabel 8.1.

Batas metamorfisme temperatur rendah

Batuan pada umumnya akan mengalami perubahan sesaat setelah mengalami


proses pengendapan dan terus belangsung sejalan dengan waktu. Namun proses
perubahan tersebut belum bisa dikatakan sebagai proses metamorfisme karena
suhu dan temperaturnya masih sangat rendah. Demikian pula dengan proses
pelapukan yang terjadi pada suhu permukaan yang belum bisa digolongkan
sebagai proses metamorfisme. Batas bawah dari proses metamorfisme
disepakati berlangsung dari suhu 150°C ±50°.

Batas metamorfisme temperatur tinggi

170
Pada suhu yang sangat tinggi, batuan akan mengalami proses melting atau
peleburan. Titik lebur batuan ini merupakan batas tertinggi dari proses
metamorfisme. Suhu peleburan sangat bergantung pada tekanan, komposisi
batuan dan ketersediaan air. Sebagai contoh, pada tekanan 500 Mpa dengan
ketersediaan air, batuan granitik akan melebur pada suhu 660°C sementara
batuan basaltik membutuhkan suhu yang lebih tinggi yaitu sekitar 800°C. Apabila
air tidak hadir, maka titik lebur akan semakin tinggi. Granit gneiss akan melebur
pada suhu 1000°C sedangkan batuan basaltik akan melebur pada suhu sekitar
1120°C. Batuan batuan metamorf yang mempunyai titik lebur tinggi tersebut
dinamakan dengan batuan metamorf bersuhu sangat tinggi atau ultrahigh
temperature metamorphic rock (UHT) yang biasanya berupa magnesian- dan
aluminous-rich gneisses. Temperatur pada bagian bawah lempeng kontinen
didaerah yang secara geologi aktif diperkirakan sekitar 750-850°C dan batuan
metamorf yang terbentuk di daerah ini disebut dengan istilah granulite. Kondisi
ini kemudian dijadikan sebagai batas atas dari proses metamorfisme.

Batas metamorfisme tekanan rendah

Adanya kenaikan larutan magma merupakan gejala yang fenomena pada suatu
daerah yang secara geologi sangat aktif. Panas yang dilepaskan oleh magma
yang membeku menyebabkan terjadinya proses metamorfisme disekitar magma
tersebut yang akan menghasilkna kontak yang disebut dengan aureole pada
kedalaman yang rendah dan menghasilkan adanya kenaikan tekanan beberapa
mega pascal.

Batas metarmofisme tekanan tinggi

Pada awalnya batas tekanan maksimum dari proses metamorfisme


diinterpretasikan sebesar 1 Gpa yang merupakan tekanan litostatik pada bagian
bawah lempeng kontinen dengan ketebalan sekitar 30-40 km. Namun seiring
dengan tersedianya data data stabilitas mineral (mineral stability) para ahli
batuan metamorf menemukan bahwa himpunan mineral pada batuan basa yang
mengalami proses metamorfisme memberikan informasi tekanan sebesar 1.5 – 2
Gpa. Sebagai contoh yaitu eclogite yang berasal dari batuan basalt yang
mengalami proses metamorfisme dengan tekanan yang tinggi. Selain itu,
ditemukan bahwa batuan yang berasal dari kerak bagian bawah kontinen
mengalami proses metamorfisme yang sangat tinggi di daerah Dora-Maira massif
di Pegunungan Alpen (Chopin, 1984). Gneiss yang mengandung garnet yang
berkomposisi pyrope (Mg-rich) dan mengandung inklusi coesite (polymorph)
mengindikasikan kondisi tekanan sebesar 3.0 Gpa. Batuan yang terbentuk pada
kondisi tekanan yang tinggi juga dijumpai dibeberapa tempat diantaranya
eclogite dengan inklusi coesite pada garnet bahkan inklusi intan. Beberapa
batuan ini mengindikasikan lingkungan pembentukan dengan tekanan mencapai

171
paling tidak 6 Gpa. Batuan metamorf yang terbentuk pada proses metamorfisme
tekanan yang sangat tinggi diistilahkan dengan ultrahigh pressure metamorphic
rock. Proses ini menggambarkan kondisi dimana batuan yang berasal dari kerak
mengalami subduksi sampai dengan kedalaman lebih dari 100 km.

Gambar 8.1. Kisaran suhu dan tekanan dalam proses metamorfisme

Tabel 8.1. Batas metamorfisme

172
8.2.3 Faktor yang mempengaruhi proses Metamorfisme
Proses metamorfisme sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sering
disebut dengan agen metamorfisme (metamorphic agent) diantaranya yaitu
batuan asal atau protolith selain suhu dan temperatur, cairan dan waktu.

- SUHU DAN TEKANAN

Pada suhu dibawah 150°C, umumnya mineral masih dalam kondisi stabil. Namun
adanya kenaikan suhu akan menyebabkan laju reaksi akan bertambah dan akan
menghasilkan mineral mineral baru. Pada kondisi diatas 600°C, mineral mineral
akan mulai melebur. Hal ini menandakan bahwa suhu merupakan fungsi dari
adanya bertambahnya kedalaman dan kehadiran larutan magma (gambar 8.2).
Bertambahnya kedalaman akan membuat batuan terpanaskan oleh timbunan
diatasnya (burial) sementara adanya terobosan magma dapat menimbulkan
adanya perubahan tekanan. Tekanan dalam proses metamorfisme bersifat
sebagai stress yang mempunyai besaran serta arah. Tekanan biasanya akan
dimanifestasikan dalam tekstur batuan sedimen. Tekstur batuan metamorf
memperlihatkan bahwa batuan ini terbentuk dibawah differensial stress, atau
tekanannya tidak sama besar dari segala arah. Kenaikan tekanan yang diterima
pada suatu batuan akan akan menyebabkan rongga antar butiran (pori-pori)
pada batuan tersebut berkurang dan cairan yang ada pada rongga antar butiran
akan keluar sehingga densitasnya akan menjadi besar. Berbeda dengan batuan
beku yang terbentuk melalui lelehan dan dibawah pengaruh uniform stress atau
mempunyai besaran yang sama dari semua arah, tekanan pada batuan metamorf
merupakan tekanan differential (differential stress). Oleh karena itu batuan beku
akan memperlihatkan orientasi mineral yang tidak beraturan sedangkan batuan
metamorf akan memperlihatkan orientasi mineral yang teratur. Letak mineral
biotit dalam granit misalnya, tidak beraturan (A), sedangkan dalam batuan
metamorf memperlihatkan kesejajaran yang tegak lurus arah stress utama,
terbesar (B). Pertumbuhan rekristalisasi mineral baru mengikuti arah tegasan
yang terkecil, tegak lurus tegasan utama (gambar 8.3).

- PENGARUH CAIRAN TERHADAP REAKSI KIMIA

Cairan atau larutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi proses
metamorfime. Pori-pori pada batuan sedimen atau batuan beku terisi oleh cairan,
yang merupakan larutan dari gas-gas, garam dan mineral. Pada suhu tinggi cairan
yang ada pada rongga anta butiran ini akan membentuk uap. Dibawah suhu dan
tekanan yang tinggi terjadi pertukaran unsur dari larutan ke mineral-mineral dan
sebaliknya. Fungsi cairan ini merupakan media transport dari larutan ke mineral
dan sebaliknya, sehingga mempercepat proses metamorfisme (gambar 8.4). Jika

173
larutan tidak tersedia atau sedikit sekali maka metamorfisme berlangsung
dengan lambat karena perpindahannya melalui diffusi antar mineral yang padat.

- WAKTU

Dalam proses metamorfisme, waktu merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh. Proses rekristalisasi mineral dalam fase padat berlangsung sangat
lambat dan dalam waktu yang lama. Secara umum, ukuran butir mineral akan
semakin besar seiring dengan berjalannya waktu dan sebaliknya mineral yang
berbutir halus menggambarkan proses metamorfisme yang singkat serta suhu
dan tekanan rendah.

Gambar 8.2. Pengaruh suhu dan temperature dalam proses metamorfisme

174
Gambar 8.3. Differential pressure pada proses metamorfisme yang menghasilkan
orientasi mienral mineral penyusun batuan metamorf.

175
Gambar 8.4. Pengaruh suhu dan tekanan pada proses metamorfisme

8.2.4 Tipe Metamorfisme


Secara umum tipe metamorfisme dapat dibagi menjadi tiga (3); yaitu (1)
Metamorfisme kontak, (2) Metamorfisme regional, (3) Metamorfisme dinamik.

Metamorfisme kontak

Metamorfisme kontak adalah metamorfisme dimana pengaruh suhu sangat


dominan. Metamorfisme ini biasanya terjadi pada daerah yang dekat dengan
intrusi batuan beku dimana panas yang berasal dari magma akan memberikan
efek kepada batuan samping dan menghasilkan proses metamorfisme. Jenis
metamorfisme ini dapat terjadi pada kisaran tekanan yang rendah dan biasanya
akan menghasilkan daerah kontak yang dinamakan dengan aureole (gambar 8.5).
Ukuran dari aureole dikontrol oleh asal usul tubuh intrusi atau pluton yang
membawa magma dan kondisi batuan samping yang diterobos oleh intrusi
tersebut. Sering dijumpai proses polimetamorfisme yang menggambarkan
adanya metamorfisme regional yang diikuti oleh metamorfisme kontak. Tidak
dijumpai adanya directed pressure sehingga menghasilkan batuan yang
non-foliated yang berukuran halus (hornfels) dan yang berukuran besar (marmer
dan kuarsit).

176
Gambar 8.5 Jenis metamorfisme kontak (atas) dan proses pembentukan aureole
(bawah)

Metamorfisme Regional

Metamorfisme regional merupakan jenis metamorfisme yang terjadi pada daerah


yang sangat luas yang biasanya berasosiasi dengan tumbukan batas lempeng
(gambar 8.6) dengan kondisi suhu dan temperatur yang tinggi. Jenis
metamorfisme ini akan menghasilkan batuan yang berfoliasi dan dapat dibagi
menjadi beberapa tipe yaitu; metamorfisme timbunan (burial), orogenik, dan
ocean floor-metamorphism. Biasanya jenis metamorfisme ini berkembang di

177
daerah sabuk pegunungan dan pada daerah tumbukan antara kontinen dengan
kontinen. Perlipatan dan patahan akan menyebabkan ketebalan dari kontinen
membesar. Biasanya berasosiasi dengan kehadiran tubuh batolit. Adanya
kenaikan suhu dan tekanan pada jenis metamorfisme ini akan menghasilkan
kenaikan derajat metamorfisme (metamorphic grade) (gambar 8.6).

Gambar 8.6. Skema pembentukan metamorfisme regional khususnya orogenik


(atas) dan profil tektonik metamorfisme orogenik.

178
Gambar 8.7. Derajat metamorfisme (metamorphic grade) yang dibentuk oleh jenis
metamorfisme regional.

179
8.2.5. Tekstur Batuan Metamorf
Pada umumnya metamorfisme berlangsung dibawah differential stress yang akan
menghasilkan reaksi metamorfisme. Reaksi metamorfisme kemudian akan
menghasilkan perubahan tekstur yaitu berupa rekristalisasi dimana batas batas
butiran akan semakin mendekat dan bersentuhan satu sama lainnya. Apabila
differential stress ini terus berlangsung, mineral-mineral pipih seperti mika dan
khlorit mulai berkembang dan tumbuh berorientasi, yang lembaran-lembarannya
berarah tegak lurus terhadap stress maksimum. Lembaran-lembaran mika baru
yang sejajar ini membentuk sebuah tekstur planar yang disebut dengan foliasi
(foliation). Umumnya tekstur foliasi akan dibentuk oleh jenis metamorfisme
regional (gambar 8.8). Foliasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu dari kata
folium yang berarti daun sehingga batuan yang berfoliasi akan membentuk
lembaran lembaran yang menyerupai daun. Selain tekstur foliasi, batuan
metamorf akan menghasilkan tekstur yang tidak berfoliasi atau non-foliated yang
dihasilkan melalui proses metamorfisme kontak.

Gambar 8.8. Proses pembentukan tekstur foliasi akibat proses metamorfisme


regional.

180
a. Tekstur Foliasi menampakkan adanya orientasi atau penjajaran mineral
penyusun batuan metamorf. Berdasarkan kenampakan tekstur batuan
asalnya batuan metamorf dapat dibagi menjadi dua yaitu : kristoblastik dan
palimpsest.

1. Kristoblastik, yaitu jika tekstur batuan asalnya tidak terlihat lagi. Dalam
penamaannya digunakan akhiran blastik kemudian kita lihat kemasnya, dan
gunakan istilah :

- Homoblastik : jika terdiri dari satu jenis tekstur.

- Heteroblastik : jika lebih dari satu jenis tekstur.

Tekstur yang dimaksud disini adalah :

- Lepidoblastik, sebagian besar mineralnya berbentuk pipih. Contoh:


Mika.
- Nematoblastik, sebagian besar mineralnya berbentuk kristalin. Contoh:
Plagioklas.
- Granoblastik, sebagian besar mineralnya granular. Contoh : Kuarsa.
Sedangkan untuk bentuk kristalnya dipergunakan istilah:

- Idioblastik, sebagian besar mineralnya berbentuk euhedral.


- Hipidioblastik, sebagian besar mineralnya berbentuk subhedral.
- Xenoblastik, sebagian besar mineralnya berbentuk anhedral.
2. Palimpsest, yaitu jika tekstur batuan asalnya masih terlihat atau tersisa.
Gunakan awalan blasto untuk penamaannya, gunakan istilah :

- Blasto Ofitik, batuan asalnya memiliki tekstur ofitik.


- Blasto Porfiritik, batuan asalnya mempunyai tekstur porfiritik.
- Blasto Psefitik, batuan asalnya merupakan batuan sedimen klastik
berukuran kerikil.
- Blasto Psamatik, batuan asalnya merupakan batuan sedimen klastik
berukuran pasir.
- Blasto Pelitik, batuan asalnya merupakan batuan sedimen klastik
berukuran lempung.
Adapun jenis struktur pada batuan metamorf yang berfoliasi antara lain (gambar
8.9):

181
a. Slaty, menampakan belahan-belahan yang sangat halus, umumnya terdiri
dari mineral yang pipih dan sangat halus.
b. Phylitic, foliasi sudah mulai ada, oleh kepingan-kepingan halus mineral mika,
terdiri atas bentuk kristal lepidoblastik.
c. Schistose, foliasi sudah mulai jelas oleh kepingan mineral mika, dengan
belahan yang merata yang terdiri dari selang-seling bentuk kristal
lepidoblastik dan granoblastik.
d. Gneissic, foliasi diperlihatkan oleh penyusunan mineral granular dan pipih
(mika), belahan tidak rata atau terputus-putus.

Gambar 8.9 Struktur yang ditunjukkan oleh batuan metamorf yang mempunyai
tekstur foliasi.

182
b. Tekstur Non Foliasi, ditunjukkan dengan kenampakan tidak berlapis atau
berlembar. Adapun struktur yang biasa terdapat pada batuan metamorf non
foliasi ini adalah :

a. Granulose, tersusun atas mineral yang berukuran relatif sama.


b. Hornfelsic, sebagian besar terdiri atas mineral tanpa persejajaran mineral
pipih.

Gambar 8.10. Tekstur batuan yang dibentuk oleh proses metamorfisme kontak

183
Tabel 8.2. Tekstur batuan metamorf

8.2.6 Mineral Mineral Batuan Metamorf


Proses metamorfisme akan menghasilkan himpunan mineral baru yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan suhu dan tekanan pada batuan. Untuk
suatu komposisi batuan tertentu, setiap himpunan mineral akan menunjukkan
karakteristik kisaran suhu dan tekanan tertentu dimana batuan tersebut
terbentuk. Beberapa dari mineral-mineral ini jarang atau tidak dijumpai pada
batuan beku atau sedimen sehingga kehadiran mineral tersebut pada suatu
batuan metamorf dapat merupakan pertanda bahwa batuan tersebut telah
mengalami metamorfisme. Beberapa contoh mineral-metamorfik adalah chlorit,
serpentin, glaukopan, epidot, talk dan tiga polymorf Al2SiO5 yaitu kyanit, silimanit
dan andalusit.

8.2.7 Jenis dan Penamaan Batuan Metamorf


Penamaan batuan metamorf dapat didasarkan pada tekstur, protolith dan juga
himpunan mineralnya. Dikarenakan proses metamorfisme merupakan sebuah
proses yang kompleks, maka penamaan batuan metamorf memerlukan lebih dari

184
satu parameter. Adapun paramater yang sering dan umum dipergunakan adalah
kombinasi parameter tekstur dan batuan asalnya atau protolith (tabel 8.3).

Tabel 8.3. Penamaan batuan metamorf berdasarkan tekstur dan protolith

185
Berdasarkan protolithnya, batuan metamorf dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (tabel 8.4):
1. Protolith Serpih Dan Mudstone

Batusabak atau slate

Baik serpih maupun mudstone umumnya terdiri dari mineral kuarsa, berbagai
mineral lempung, kalsit dan felspar. Metamorfisme derajat rendah menjadikan
mineral mineral ini menjadi batusabak atau slate. Pada kondisi ini muskovit dan
atau chlorit akan mengkristal dan akan membentuk tekstur yang disebut slaty
clevage (gambar 8.11).

Gambar 8.11. Kenampakan slate

Filit (Phyllite)

Adanya peningkatan derajat metamorfisme pada batusabak akan menghasilkan


mineral mika dengan ukuran butir yang lebih besar dan perubahan himpunan
mineral serta permbentukan foliasi. Batuan yang terbentuk disebut dengan filit.
Penjajaran mineral pipih atau mika (foliasi) sudah mulai dapat dilihat dengan jelas
(gambar 8.12).

186
Gambar 8.12. Kenampakan filit

Sekis (Schist) dan Gneiss

Apabila metamorfisme terus meningkat, maka terbentuklah batuan berbutir


sedang sampai kasar yang dinamakan sekis. Mineral-mineralnya cukup besar
sehingga dapat dilihat tanpa alat dan membentuk struktur planar yang jelas,
karena tatanannya yang tumpang tindih dan subparallel (gambar 8.13). Ciri
metamorfisme derajat tinggi pada sekis ditunjukkan oleh mineral mineral
penyusunnya yang memperlihatkan adanya segregasi (pengelompokkan mineral)
dan pembentukan orientasi mineral. Sekis menunjukkan adanya foliasi yang jelas.

Gambar 8.13. Kenampakan sekis yang memperlihatkan schistosity

187
Gneiss

Jika derajat metamorfisme meningkat maka batuan metamorf derajat tinggi


berbutir kasar dan berfoliasi akan terbentuk dan disertai lapisan-lapisan segregasi
mineral-mineral, seperti kuarsa dan felspar yang dinamakan gneiss (gambar 8.14).
Oleh karena besar butirnya dapat dilihat, maka kelompok batuan ini diberi nama
dengan diawali nama mineral-mineral utamanya, misalnya
kwarsa-plagioklas-biotit-garnet gneiss. Gneiss menunujukkan lingkungan suhu
yang tinggi dan tekanan yang tinggi disertai dengan kristal yang besar dan
berfoliasi. Umumnya kehadiran mika atau mineral pipih sangat terbatas.

Gambar 8.14. Kenamapakn gneiss

2. DARI BASALT
Sekis Hijau (green schist)

Mineral utama dalam basat adalah olivin, plagioklas dan piroksen yang bersifat
anhidrous. Bila basalt mengalami metamorfisme dimana H2O masuk kedalam
batuan maka akan terbentuk himpunan mineral-mineral yang hidrous yaitu
mineral mineral yang mempunyai komposisi kimia mengandung H2O. Pada
derajat rendah terbentuk himpunan mineral seperti klorit, plagioklas, epidot dan
kalsit. Batuan yang dihasilkan setingkat dengan derajat pembentukan batusabak
(slate) dengan penampilannya yang berbeda dan menunjukkan adanya foliasi
seperti filit. Batuan metamorf yang dihasilkan memperlihatkan warna yang khas
yaitu warna hijau yang menunjukkan kehadiran khlorit dan batuannya dinamakan
dengan nama sekis hijau atau green schist.

188
Apabila batuan basalt ini mengalami tekanan yang tinggi, batuan yang akan
dihasilkan adalah batuan yang disebut dengan eclogite (gambar 8.15).

Gambar 8.15 Batuan yang dihasilkan oleh proses metamorfisme pada basalt.

3. Amfibolit dan Granulit (Amphibolite and Granulite)

Apabila sekis hijau mengalami peningkatan derajat metamorfisme sampai pada


metamorfose derajat menengah, mineral mineral klorit akan digantikan oleh
amfibol dan batuan yang dihasilkan akan berbutir kasar dan disebut dengan
amfibolit (gambar 8.16). Foliasi pada amfibolit umumnya bisa diabaikan. Pada
derajat paling tinggi, amfibol tergantikan oleh mineral piroksen dan membentuk
semacam foliasi dan menghasilkan batuan yang bernama granulit (gambar 8.17).

189
Gambar 8.16 Kenampakan amfiboli

Gambar 8.17 Kenampakan granulit

4. DARI BATUGAMPING DAN BATUPASIR

Hasil metamorfisme dari protolith yang berasal dari batugamping (limestone)


adalah marmer (marble) dan batupasir (sandstone) adalah kuarsit (quartzite).
Struktur yang diperlihatkan oleh batuan yang berasal dari batugamping dan
batupasir ini umumnya memperlihatkan adanya tekstur granoblastik.

Marmer (Marble)

Marmer merupakan batuan metamorf yang terdiri dari butiran kalsit yang
berukuran kasar dan kristalin serta saling mengunci (interlocking). Saat
rekristalisasi batugamping, bidang perlapisan, fossil dan segala ciri batuan
sedimen sebagian besar hilang. Hasil akhirnya adalah batuan berbesar butir

190
seragam, dengan tekstur tersendiri, seperti gula. Marmer murni, seluruhnya
terdiri dari kalsit yang menampakkan warna putih bersih (gambar 8.18). Adanya
pengotoran pada marmer oleh bahan organik, pirit, limonit dan sedikit silikat
membuat marmer menunjukkan warna tertentu.

Gambar 8.18 Kenampakan batugamping yang berubah menjadi marmer

KUARSIT (QUARTZITE)

Kuarsit adalah batuan metamorf yang berasal dari batupasir yang mengalami
metamorfisme yang menyebabkan rongga-rongga antar butir pada batupasir
terisi silika dan mengalami rekristalisasi. Kesan butiran terkadang masih terlihat
namun adanya proses rekristalisasi mengubah seluruh struktur butiran yang ada.

Gambar 8.19 Kenampakan batupasir yang berubah menjadi kuarsit

191
Tabel 8.4 Klasifikasi batuan metamorf berdasarkan batuan asalnya

8.2.8 Zona Metamorfisme


Derajat metamorfisme dicirikan oleh himpunan mineral baru yang terbentuk
akibat proses metamorfisme pada kondisi tertentu yang dapat dibagi menjadi
metamorfisme derajat rendah, menengah dan tinggi. Mineral-mineral tersebut
dinamakan mineral indeks, umumnya adalah klorit, biotit, garnet, staurolit,
kyanit,dan silimanit (tabel 8.5). Zona metamorfisme dapat dipakai untuk
mengetahui tingkat metamorfisme suatu daerah dalam skala regional dengan
memetakan tempat-tempat pemunculan pertama mineral indeks pada peta.
Konsep zona metamorfisme pertama kali dikemukakan oleh Barrow (1912) pada
batuan pelitik di Skotlandia. Dia menemukan adanya perubahan mineral pada
jarak tertentu yang mencerminkan tingkat metamorfisme tertentu pada daerah
tersebut. Kumpulan tersebut kemudian dikenal dengan istilah indeks mineral
yang membentuk suatu urutan sebagai berikut:

Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah Barrovian Zone dan digunakan
sampai kini untuk memetakan daerah daerah yang disusun oleh batuan
metamorf pelitik.

Garis yang menghubungkan lokasi-lokasi di awal pemunculan mineral indeks yang


sama pada peta dinamakan garis-isograd. Konsep isograd banyak digunakan
dalam mempelajari semua jenis batuan metamorfosa. Dan daerah diantara garis
isograd dalam peta dinamakan zona metamorfisme, misalnya zona-biotit dan
sebagainya

192
Tabel 8.5. Tabel distribusi mineral indeks zona metamorfisme

8.2.9 Fasies Metamorfisme


Pada umumnya komposisi batuan yang mengalami proses metamorfisme hanya
memperlihatkan perubahan yang tidak signifikan. Perubahan yang terjadi adalah
bertambah atau berkurangnya unsur volatile seperti H2O dan CO2, tetapi unsur
penyusun utama seperti SiO2, Al2O3 dan CaO tidak mengalami perubahan. Hal ini
menunjukkan bahwa himpunan mineral batuan metamorf dari ditentukan oleh
suhu dan tekanan saat metamorfisme berlangsung. Berdasarkan kesimpulan ini,
Pennti Eskola dari Finlandia (1915) mengusulkan konsep fasies metamorfisme
dalam mempelajari batuan metamorf secara detail.
Fasies metamorfisme adalah kumpulan dari suatu himpunan mineral yang
menyusun batuan metamorf yang terbentuk pada kondisi suhu dan tekanan yang
sama. Mineral mineral yang terbentuk selama metamorfisme dibawah kisaran
kondisi fisik tertentu akan dikelompokkan dalam fasies metamorfisme yang sama.
Konsep fasies metamorfisme sangat berguna untuk meninterpretasikan
lingkungan pembentukan dan tipe metamorfisme suatu batuan metamorf. Hal ini
disebabkan lingkungan tektonik tertentu akan menghasilkan mineral mineral
tertentu pula yang sesuai dengan sifat termodinamika dari mineral tersebut.
Fasies metamorfisme dimulai dari fasies zeolit yang kondisi suhu dan tekanannya
berada diatas kondisi diagenesis batuan sedimen. Pembagian fasies
metamorfisme dapat dilihat pada gambar 8.20. Untuk mempelajari fasies
biasanya digunakan sebuah diagram yang disebut dengan diagram pressure and
temperature (P-T) path (gambar 8.21). Hubungan antara lingkungan tektonik dan
fasies dapat dilihat pada gambar 8.22.

193
Gambar 8.20. Konsep fasies metamorfisme

Gambar 8.21. Diagram pressure dan temperatur (P-T path diagram) yang
memperlihatkan konsep facies dihubungkan dengan kondisi suhu dan tekanan
serta kedalaman.

194
Gambar 8.22 Hubungan lingkungan pembentukan tektonik dan fasies metamorf

Sub Greenschist facies

Fasies sub greenschist adalah fasies yang digunakan untuk menerangkan fasies
zeolit dan fasies prehnite-pumpelite yang merupakan fasies yang terbentuk pada
kondisi suhu dan tekanan yang sangat rendah. Fasies ini dicirikan dengan
kehadiran mineral zeolit dan prehnit juga actinolit. Proses metamorfisme tidak
cukup tinggi untuk menghasilkan mineral mineral seperti Na-amfibol. Fasies ini
juga merupakan fasies awal menuju ke metamorfisme greenschist dan blueschist.

Greenschist facies

Pada kondisi suhu dan tekanan greenschist facies, basalt yang berasal dari
pematang tengah samudera (MORB) akan merubah menjadi greenschist dengan
kumpulan mineral berupa aktinolit + klorit + epidot + albite±kuarsa. Kecuali
albite dan kuarsa, ketiga mineral lainnya memperlihatkan warna hijau yang
kemudian menjadi ciri khas dari batuan metamorf yang terbentuk pada fasies ini.
Apabila batuan asal yang mengalami metamorfisme dalam fasies ini adalah
batuan pelitik, maka mineral yang hadir adalah muskovit+klorit+kloritoid+albit.
Fasie ini mempunyai kisaran suhu sekitar 300°C sampai 500°C pada tekanan yang
rendah sampai menengah. Batas dengan fasies amfibolit sangat gradual. Pada
suhu sekitar 450°C batuan metabasik yang termetamorfisme akan menghasilkan
hornblende untuk mengganti aktinolit sebagai hasil reaksi antara klorit dan
epidot. Kenampakan batuan yang terbentuk dalam facies amfibolite dapat dilihat
pada gambar 8.22.

195
Gambar 8.22. Kenampakan batuan yang terbentuk pada fasies greenshcist

Amphibolite facies

Pada fasie amfibolite, batuan metabasalt akan berubah menjadi amfibolite yang
mengandung plagioklas (andesin – oligoklas) + hornblende + kuarsa. Fasies ini
dicirikan dengan melimpahnya hornblende (biasanya diatas 50%). Epidot
terkadang masih bisa dijumpai pada suhu yang rendah dalam fasies ini. Garnet
seringkali hadir sebagai penciri dan bersama dengan piroksin menandakan suhu
yang tinggi dalam fasie ini. Pada umumnya himpunan mineral yang bisa dijadikan
indikator adalah hornblende + plagioklas. Batuan jenis lainnya yang
termetamorfisme menunjukkan kumpulan mineral yang bervariasi yang
tergantung dari batuan asalnya. Staurolit, kyanit dan sillimanite juga merupakan
mineral khas dalam fasies ini. Apabila protolithnya adalah batugamping, maka
tremolite biasanya hadir sebagai penanda. Pada intinya semua batuan yang
termetamorfisme dikatakan sebagai amfibolite fasies apabila dijumpai kumpulan
mineral hornblende + plagioklas + kuarsa.

196
Gambar 8.23. Batuan fasies amfibolit

Granulite Facies

Fasies granulite biasanya diperlihatkan oleh batuan derajat tinggi yang terbentuk
pada kondisi suhu yang tinggi pada metamorfisme orogenik. Pada fasies ini
MORB yang termetamorfisme akan memperlihatkan kumpulan klinopiroksin +
plagioklas + ortopiroksin + kuarsa. Klinopiroksin merupakan mineral yang baru
yang menggantikan hornblende pada fasie amfibolite. Mineral mika sudah tidak
bisa dijumpai lagi pada fasies ini. Salah satu penciri utama adalah kehadiran dari
dua jenis piroksi, yaitu klinopiroksin dan ortopiroksin.

Gambar 8.24Batuan granulite facies

197
Blueschist facies

Istilah blueschist facies diperoleh dari adanya kehadiran mineral glaukofan dan
mineral Na-amfibol lainnya yang berwarna biru pada batuan batuan yang
terbentuk dalam fasies ini. Umumnya mineral mineral biru tersebut berasosiasi
dengan kumpulan mineral berupa lawsonite + zoisite + epidote + grante + klorit +
phengite (mika putih) + paragonite + kloritoid + talk + kyanite + jadeitik piroksin +
ankerite + aragonite (gambar 8.25). Pada fasies ini felspar sama sekali tidak
dijumpai juga biotit. Fasies in terbentuk pada kondisi suhu yang rendah dengan
tekanan yang tinggi yang biasanya terbentuk pada sebuah sistem subduksi
(gambar 8.27). Dulunya fasies ini dikenal dengan nama glaucophane facies.
Batuan yang terbentuk pada fasies ini pada umumnya dijumpai pada daerah
ofiolit kompleks yang dihasilkan oleh proses subduksi dan kemudian
teralihtempatkan dipermukaan. Kumpulan mineral yang paling khas pada fasies
ini yaitu glaukofan + epidote + phengite + paragonite + chlorite ± Mg-kloritoid ±
quartz ± garnet.

Gambar 8.25. Batuan blueschist facies

Eclogite facies

Batuan metabasaltik yang termetamorfisme dalam fasies ini dicirikan dengan


kehadiran dua mineral utama yaitu garnet + omphacite (Na-piroksin). Plagioklas
sudah tidak dijumpai lagi kecuali pada batuan yang mengalami retrogradasi.
Fasies ini terbentuk pada tekanan yang tinggi dan kisaran suhu yang bervariasi
pada lingkungan tektonik yang bervariasi pula. Eclogite bersuhu rendah dapat
terbentuk dari kerak oseanik yang mengalami subduksi dan biasanya
menunjukkan kehadiran mineral mineral hydrous seperti kloritoid, zoisite dan talk

198
sebagai tambahan dari garnet + omphacite. Eclogite yang bersuhu menengah
dapat dihasilkan dari adanya penebalan kerak yang disebabkan oleh kerak
kontinen yang saling tumpang tindih, sementara pada eclogite bersuhu tinggi
biasanya mineral hydrous akan absen yang digantikan oleh mineral kyanite.
Eclogite biasanya hadir dalam bentuk blok blok yang secara tektonik
tertransportasi bersama batuan dari fasies metamorfisme lainnya atau daerah
melange yang biasanya dijumpai pada zona akresi dan zona subduksi serta
kompleks blueschist. Eclogite yang berasal dari batuan ultramafik dapat
mengandung olivin dan garnet. Sedangkan yang berasal dari metagranite akan
menghasilkan jadeite + kuarsa sebagai pengganti albit. Tidak ada batas tekanan
maksimal dari fasies ini dan tekanan maksimal yang dilaporkan adalah 6.5 Gpa.
Batuan kerak yang termetamorfisme dalam fasies ini mengandung inklusi intan
didalam garnet yang menandakan tekanan sebesar 4.5 Gpa. Istilah ultrahigh
metamorphism (UHP) digunakan untuk menjelaskan batuan dalam fasies ini yang
mengandung inklusi coesite.

Gambar 8.26 Batuan eclogite facies

199
Gambar 8.27. Ilustrasi lingkungan pembentukan blueschist dan amfibolite facies

Tabel 8.6 Pembagian fasies metamorf beserta mineral pencirinya

200
Tabel 8.7 Kumpulan mineral pada fasies zeolit - greenshicts

Table 8.8 Kumpulan mineral pada fasies greenschist - granulit

201
8.2.10 Metasomatisme
Proses metamorfisme merupakan proses yang melibatkan sejumlah cairan yang
jumlahnya relatif sedikit. Sedikitnya cairan disebabkan kecilnya volume pori-pori
batuan yang mengalami proses metamorfisme. Proses pelepasan H2O dan CO2
dari mineral-mineral yang termetamorfismekan berlangsung dengan lambat.
Oleh karena itu fungsi larutan hanya cukup untuk proses metamorfisme dan tidak
cukup untuk melarutkan dan mengubah komposisi batuan secara signifikan.

Pada kondisi tertentu perbandingan air dan batuan dapat besar, 10 : 1 bahkan
sampai 100 : 1 apabila batuan banyak mengandung rekahan yang akan dialiri oleh
air.

Proses dimana komposisi kimia batuan mengalami perubahan akibat adanya


penambahan atau pelepasan (removal) ion-ion dinamakan metasomatisme (meta
berarti berubah dan soma, dari bahasa Latin yang berarti juice). Biasanya proses
metasomatisme berasosiasi dengan metamorfisme kontak, terutama dengan
batu gamping. Cairan metasomatisme yang dilepaskan oleh magma yang
mendingin akan menembus batuan yang termetamorfisme. Cairan tersebut
membawa unsur unsur seperti silika, besi, dan magnesium yang kemudian akan
merubah komposisi batuan. Jika penambahan material tidak terjadi maka batu
gamping yang dilewati oleh magma tadi akan menjadi marmer, namun karena
adanya proses metasomatisme tadi maka terbentuk himpunan mineral garnet
dan piroksin yang berwarna hijau yang dinamakan diopsit. Jika proses ini
membentuk suatu mineral mineral logam yang eknomis, maka proses ini disebut
dengan skarn.

8.3 Penutup

8.3.1 Tugas

1. Sebutkan pengertian batuan metamorf?

2. Sebutkan dan jelaskan faktor faktor yang mempengaruhi proses


metamorfisme?

3. Sebutkan dan jelaskan tipe tipe metamorfisme ?

4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan zona metamorfisme dan berikan contoh
mineral mineralnya ?

202
5. Sebutkan dan jelaskan macam macam fasies batuan metamorfisme dan
gambarkan dalam diagram P-T ?

8.3.2 Daftar Pustaka

Best, M.G. 2003. Igneous and Metamorphic Petrology, 2nd Edition. Blackwell
Publishing, Malden.

Carswell, D.A. 1990. Eclogite Facies Rock, Blackie Glasgow

Chopin, C. 1984. Coesite and pure pyrope in high-grade blueschist of the Western
Alps: A first record and some consequences. Contrib. Mineral and Petrology, 86,
107-118.

Coleman, R.G. 1977. Ophiolites: Ancient Oceanic Lithosphere. Springer Verlag,


Berlin.

Kornprobst, J. 2003. Metamorphic Rocks and Their Geodynamic Significance: A


Petrological Handbook, Kluwer Academic Publisher, New York.

Miyashiro, A. 1994. Metamorphic Petrology, UCL Press. London.

Turner, F.J. 1968. Metamorphic Petrology: Mineralogical and Field Aspects,


McGraw Hill, New York.

Winter, D.J. 2001. An Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology.


Prenice Hall, New Jersey.

203

Anda mungkin juga menyukai