Anda di halaman 1dari 28

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) di Indonesia merupakan jenis


tanaman yang umbinya digunakan sebagai bahan pangan utama ketiga setelah
padi dan jagung (Darwis et al. 2009). Ubi kayu memiliki peluang
pengembangan agroindustri pangan, kimia maupun pakan, baik industri rumah
tangga, maupun industri skala kecil dan besar. Menurut Hafsah (2006),
sebagian besar ubi kayu dikosumsi (72%) dan sebagian dimanfaatkan untuk
industri (13%) serta pakan 2%. Ubi kayu segar dapat diolah menjadi beras
singkong, gaplek, tepung gaplek, tepung tape ubi kayu, tepung ubi kayu
(cassava flour), tiwul, dan tepung tapioka (Kurniawati dan Kamsiati 2006).
Produksi ubi kayu di Provinsi Bangka Belitung sendiri pada tahun
2015 yaitu sebesar 35.024 ton dengan luas lahan 1.422 ha dan produktivitasnya
24,61 ton/ha. Produksi ini mengalami kenaikan sebesar 33,74% (BPS 2015).
Pencapaian produksi ubi kayu di Provinsi Bangka Belitung ini masih tergolong
tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas nasional tahun 2015
yaitu sebesar 22,39 ton/han. Tingginya produktivitas ubi kayu di daerah
Bangka Belitung belum optimal. Budidaya ubi kayu optimal menghasilkan
hasil panen berkisar 35 ton/ha. Kurang optimalnya sistem budidaya yang
dilakukan oleh petani diduga dapat memberikan dampak terhadap rendahnya
produksi ubi kayu tersebut (Sundari 2010).
Aksesi ubi kayu lokal bangka sudah banyak dibudidayakan karena
memiliki kesesuaian ekologis sehingga dapat tumbuh dengan baik. Lestari
(2014) menambahkan selain memiliki kesesuaian ekologis yang baik
penggunaan aksesi lokal Bangka seperti aksesi sutera, mentega dan batin
bertujuan untuk melestarikan plasma nutfah lokal Bangka agar tejaga
kelestariannya dan dapat digunakan sebagai potensi bahan pangan, pakan dan
industri.
Penggunaan varietas unggul dan teknik budidaya yang tepat dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman serta pendapatan petani ubi
kayu (Subandi et al. 2006). Salah satu upaya untuk mengoptimalisasi hasil
2

produksi ubi kayu dapat menggunakan teknologi mukibat dan penambahan


bahan organik. Mukibat adalah ubi kayu hasil sambungan dari batang bawah
ubi kayu (Manihot esculenta) yang dapat dikosumsi dengan ubi kayu karet
(Manihot glaziovii) yang memiliki jumlah dan luas permukaan daun yang lebih
luas (Rafiq 2009). Hasil survei Prasetiaswati et al. (2008) menunjukan bahwa
ubi kayu teknik sambung (mukibat) di tingkat petani di Jawa Timur dapat
memberikan hasil umbi antara 33-59 t/ha yang lebih tinggi dibandingkan ubi
kayu biasa (10,05 t/ha). Bahan organik ditambahkan untuk memperbaiki
kesuburan tanah di daerah Bangka yang sebagian besar didominasi tanah
ultisol (Aquita 2010). Hanafiah (2010) menambahkan, pemberian bahan
organik dapat memperbaiki sifat fisik, sifat biologi dan sifat kimia tanah yang
mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Beberapa aksesi lokal bangka dapat dikembangkan dengan teknik
mukibat. Bedasarkan hasil penelitian Darmiyanti (2012) aksesi sutera
merupakan aksesi yang paling baik karena memiliki hasil ubi yang paling baik.
Penambahan bahan organik dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan
dan produksi umbi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai potensi peningkatan produksi ubi kayu 3 aksesi ubi kayu lokal
Bangka dan 1 varietas ubi kayu nasional dengan teknik mukibat dan
penambahan bahan organik.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagamanakah pengaruh teknik mukibat dengan penambahan bahan


organik terhadap pertumbuhan dan produksi ubi kayu?
2. Jenis ubi kayu mukibat manakah yang menunjukan pertumbuhan dan
produksi ubi kayu terbaik?
3. Bahan organik manakah yang menunjukan hasil pertumbuhan dan
produksi ubi kayu teknik mukibat?
4. Adakah interaksi antara jenis ubi kayu mukibat dengan penambahan bahan
organik?
3

1.3. Tujuan

1. Mengetahui pengaruh teknik mukibat dengan penambahan bahan organik


terhadap pertumbuhan dan produksi ubi kayu.
2. Mengetahui jenis ubi kayu mukibat yang menunjukkan pertumbuhan dan
produksi ubi kayu terbaik.
3. Mengetahui bahan organik yang menunjukkan hasil pertumbuhan dan
produksi ubi kayu teknik mukibat.
4. Mengetahui interaksi antara jenis ubi kayu mukibat dengan penambahan
bahan organik.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Teoritik
2.1.1. Tanaman Ubi Kayu
2.1.1.1. Klasifikasi Tanaman Ubi Kayu
Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu sumber
karbohidrat yang berasal dari umbi. Ubi kayu atau ketela
pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu berasal dari benua
Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir ke
seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan
Tiongkok. Ubi kayu berkembang di negara–negara yang
terkenal dengan wilayah pertaniannya (Purwono 2009).
Ubi kayu atau singkong berasal dari Brazilia. Dalam
sistematika tanaman, ubi kayu termasuk ke dalam kelas
Dicotyledoneae. Ubi kayu berada dalam famili Euphorbiaceae
yang mempunyai sekitar 7.200 spesies, seperti karet (Hevea
brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas),
umbi-umbian (Manihot spp), dan tanaman hias (Euphorbia
spp.). Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculenta Crantz (Richana
2012).
Bagian tubuh tanaman ubi kayu terdiri atas batang,
daun, bunga, dan umbi. (1) Batang: tanaman ubi kayu
5

memiliki batang berkayu, beruas-ruas dengan ketinggian


mencapai lebih dari 3 m. Warna batang bervariasi, ketika
masih muda umumnya berwarna hijau dan setelah tua menjadi
keputihan, kelabu, atau hijau kelabu. Batang berlubang, berisi
empelur berwarna putih, lunak, dengan struktur seperti gabus.
(2) Daun: susunan daun ubi kayu berurat menjari dengan
cangap 5-9 helai. Daun ubi kayu, terutama yang masih muda
mengandung racun sianida, namun demikian dapat
dimanfaatkan sebagai sayuran dan dapat menetralisir rasa
pahit sayuran lain, misalnya daun pepaya dan kenikir. (3)
Bunga: tanaman ubi kayu berumah satu dengan penyerbukan
silang sehingga jarang berbuah. (4) Umbi: Umbi yang
terbentuk merupakan akar yang menggelembung dan
berfungsi sebagai tempat penampung cadangan makanan.
Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas: kulit luar
tipis (ari) berwarna kecokelat-coklatan (kering); kulit dalam
agak tebal berwarna keputih-putihan (basah); dan daging
berwarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang
mengandung sianida dengan kadar berbeda (Suprapti dan Lies
2005).
2.1.1.2. Syarat Tumbuh Ubi Kayu
Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik pada curah hujan 150 – 200 mm pada umur 1 -3
bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada
fase menjelang dan saat panen (Wargiono et al. 2006). Tanah
yang paling sesuai untuk tanaman ubi kayu adalah tanah
berstruktur remah, gembur serta kaya bahan organik. Jenis
tanah yang sesuai utuk tanaman ubi kayu adalah jenis aluvial,
latosol, podsolik merah kuning (ultisol), grumosol dan andosol.
Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai bekisar antara 4,5 -
8,0. Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanamn ubi
6

kayu antara 10 - 700 mdpl, sedangkan toleransinya antara 10 –


1500 mdpl (Purwono dan Purnamawati 2007).
2.1.1.3. Produksi dan Ekspor Impor Ubi Kayu
Luas panen ubi kayu pada 2011-2015 sebesar
1.080.000 ha dengan produksi sebesar 23.912.914 ton dan
produktivitas hasil sebesar 222,19 ku/ha. Pertumbuhan
volume ekspor ubi kayu tahun 2000-2015 rata-rata meningkat
sebesar 109,18% per tahun, demikian halnya dengan nilai
ekspornya yang meningkat sebesar 132,07% per tahun. Ekspor
ubi kayu Indonesia dalam bentuk segar dan olahan yaitu dalam
bentuk pati ubi kayu (cassava flour), ubi kayu keping kering
(cassava shredded) dan ubi kayu pelet (cassava pellets)
terutama ke Taiwan, Philipina, Australia, Malaysia, Inggris
dan Brunei Darusalam. Perkembangan volume impor ubi kayu
pada periode 2000-2014 sebesar 77,17% per tahun, lebih
tinggi dari pertumbuhan nilai impor ubi kayu yakni sebesar
67,91% per tahun. Impor ubi kayu Indonesia umumnya dalam
bentuk pati ubi kayu (cassava flour), ubi kayu kepingan kering
(cassava shredded) dan ubi kayu pelet (cassava pellets)
terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Myanmar
(Suwandi et al. 2015).
2.1.1.4. Olahan Ubi Kayu
Ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan,
pakan maupun bahan dasar berbagai industri. Pemilihan
varietas ubi kayu harus disesuaikan untuk peruntukannya. Di
daerah di mana ubi kayu dikonsumsi secara langsung untuk
bahan pangan diperlukan varietas ubi kayu yang rasanya enak,
pulen dan kandungan HCN rendah. Berdasarkan kandungan
HCN ubikayu dibedakan menjadi ubi kayu manis/tidak pahit,
dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubi kayu
pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg umbi segar. Kandungan
HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia
7

maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi


segar. Kebutuhan Ubi kayu untuk industri pangan yang
berbasis tepung atau pati ubi kayu, diperlukan umbi yang
berwarna putih dan mempunyai kadar bahan kering dan pati
yang tinggi. Keperluan untuk industri tepung tapioka, umbi
dengan kadar HCN tinggi tidak menjadi masalah karena bahan
racun tersebut akan hilang selama pemrosesan menjadi tepung
dan pati (Badan Litbang Pertanian 2011).
Ubi kayu dapat diolah baik dengan cara tradisional
maupun modern yang digunakan untuk meningkatkan minat
masyarakat terhadap produk makanan yang berasal dari ubi
kayu agar dapat menurunkan ketergantungan pangan terhadap
beras. Diversifikasi pengolahan ubi kayu dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu sebagai makanan pokok dan makan kecil
(snack). Sebagai makanan pokok ubi kayu dapat diolah
menjadi produk-produk sebagai berikut (Kurniawati dan
Kamsiati 2006):
a. Beras Singkong / Ubi Kayu (Rasi)
Rasi dibuat dari ampas ubi kayu pahit sisa
pembuatan kanji/aci. Ampas tersebut dikeringkan dan
digiling menjadi beras. Rasi dapat bertahan selama 3
bulan bila disimpan dalam karung plastik atau dalam
penyimpanan beras. Dalam 100 g bahan rasi,
mengandung energi 359 kalori, protein 1,40 g, lemak 0,90
g, karbohidrat 86,50 g, abu 1,90 g, dan air 7,80 .
b. Gaplek dan Tepung gaplek
Gaplek merupakan umbi kayu yang dikeringkan
dengan cara penjemuran. Tepung gaplek bermamfaat
sebagai makanan pokok dan makanan kecil serta salah
satu bahan pembuatan pakan.
8

c. Tepung Ubi Kayu/ Tepung Asia (cassava flour)


Tepung ubi kayu dibuat dari sari ubi kayu yang di
pres, dikeringkan, digiling kemudian diayak. Tepung ubi
kayu dapat digunakan untuk subtitusi terigu dalam
pembuatan kue, mie atau roti, dengan tingkat subtitusi 20-
50%.
d. Tepung Tapioka
Bahan baku tepung tapioka adalah ubi kayu.
Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas,
dibutuhkan ubi kayu yang memiliki kadar tepung tinggi
yaitu ubi kayu yang dipanen setelah berusia lebih dari
tujuh bulan .
2.1.1.5. Strategi Budidaya
Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah
rendahnya produktivitas. Upaya yang dapat dilakukan dalam
meningkatkan produktivitas ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi yang dapat meningkatkan produksi
dengan menggunakan jenis-jenis ubi kayu yang mempunyai
kapasitas besar atau dengan kombinasi antara jenis yang sama-
sama memiliki sumber dan penyimpanan yang besar sehingga
produktivitas tanaman dapat meningkat. Teknologi ini dikenal
dengan nama mukibat. Menurut Purwanto (2007), ubi kayu
mukibat merupakan tanaman hasil sambung atau grafting
antara ubi karet sebagai batang atas dan ubi kayu sebagai
batang bawah. Pemilihan ubi karet sebagai batang atas dasar
bahwa ubi karet kapasitas sumber besar, daun besar, dan warna
hijau tua, sehingga tanaman mempunyai luas daun lebih luas
dan laju fotosintesis lebih besar.
Penelitian Universitas Brawijaya bekerja sama dengan
IDRC menyimpulkan bahwa pada budidaya dengan teknik
mukibat source potential dari batang atas mampu memasok
sink capacity ke batang bawah, sehingga produktivitas ubi
9

kayu mampu ditingkatkan menjadi >70 t/ha. Bahkan dengan


pemeliharaan intensif dan dipanen pada umur > 1,5 tahun hasil
ubi kayu teknik mukibat dapat mencapai > 10 kg/ tanaman
(Nugroho et al. 1985; Guritno dan Utomo 1985 dalam Radjit
dan Prasetiaswati. 2011).
2.1.1.6. Potensi Pengembangan Ubi Kayu Lokal Bangka
Ubi kayu lokal sangat berpotensi untuk digunakan
sebagai bahan utama pangan, pakan dan industri. Kandungan
HCN aksesi ubi kayu lokal bangka menurut hasil penelitian
Darmiyanti (2012) kurang dari 40 mg/kg ubi yang masi
memenuhi standar dan dapat dikosumsi untuk pangan dan
diolah untuk pakan. Salah satu bentuk olahan dari ubi kayu
yang biasa dikosumsi masyarakat di daerah Bangka yaitu nasi
aruk. Nasi aruk adalah nasi yang terbuat dari ubi kayu. Nasi
aruk ini dapat dikembangkan untuk menigkatkan ketahanan
pangan di daerah Bangka sendiri yang selama ini masih banyak
mengandalkan beras dari luar pulau (Kusmiadi 2008). Menurut
hasil penelitian Lestari (2014) aksesi Sutera, Mentega dan batin
memiliki persentasi pati masing-masing sebesar 73.8, 73.6, dan
72.6. Ketiga aksesi ini dapat dikembangkan karena sesuai untuk
dijadikan bahan baku industri di daerah Bangka.
2.1.2. Bahan Organik
Bahan organik yang dapat ditambahkan pada tanah untuk
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah diantaranya limbah
padat kelapa sawit dan pupuk kandang sapi. Kompos TKKS
mengandung unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro yang
terkandung dalam kompos TKKS yaitu: 14,50% C – Organik; 2,15%
N – Total; 1,54% P2O5 – Total; 0,15% K2O; dan pH (H2O) 6,32.
Kompos TKKS biasanya juga mengandung sedikit unsur hara mikro
seperti: Cu, Zn, Mn, Co, Fe, Bo, dan Mo yang esensial untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, pada beberapa situasi
dimana pada tempat yang terkena cahaya dan mengandung pasir
10

(Arnika dan Yuni 2010). Bedasarkan hasil penelitian Paneet al.


(2013) pemberian kompos TKKS berpengaruh nyata meningkatkan
total luas daun dan diameter batang tanaman kedelai dengan perlakuan
terbaik yaitu 30 ton/ha.
Setiawan (2010) menyatakan bahwa pupuk organik dari
kotoran sapi mempunyai kandungan serat kasar tinggi seperti selulosa.
Hal ini ditandai dengan tingginya rasio C/N diatas 40. Kondisi ini bisa
menghambat pertumbuhan tanaman sehingga pemberiannya harus
dibatasi. Untuk menurunkan tingginya kandungan C, bisa dilakukan
dengan pengomposan. Berdasarkan hasil penelitian Neltriana (2015),
pupuk kandang kotoran sapi dosis 15 ton/ha memberikan pengaruh
yang terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil ubi jalar.
2.2. Hipotesis
Hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat pengaruh jenis ubi kayu mukibat dengan penambahan bahan
organik terhadap pertumbuhan dan produksi umbi.
2. Aksesi Sutera memberikan produksi terbaik dibandingkan 2 aksesi lokal
lainnya dengan teknik mukibat dan penambahan bahan organik.
3. Bahan organik pupuk kotoran sapi memberikan hasil pertumbuhan dan
produksi ubi kayu mukibat terbaik.
4. Terdapat interaksi antara jenis ubi kayu mukibat dengan penambahan
bahan organik.
11

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas
Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung Desa Balunijuk.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan Juni
2017.
3.2. Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag ukuran 20
Kg, kapur dolomit, pupuk kandang sapi, kompos tandan kosong kelapa sawit,
pupuk anorganik (NPK, dan Urea), tali rafia, plastik es, stek batang ubi kayu
(Mentega, Sutera, Batin dan Malang), dan stek batang ubi karet. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, hand tractor, gembor,
timbangan, jangka sorong digital, meteran dan alat tulis.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) Faktorial 2 faktor. Faktor perlakuan I adalah ubi kayu
mukibat dan pupuk organik sebagai faktor perlakuan II.
1. Faktor ubi kayu yang terdiri atas 4 taraf yaitu:
V1 : Aksesi Sutera
V2 : Aksesi Mentega
V3 : Aksesi Batin
V4 : Varietas Malang
2. Faktor pupuk yang terdiri atas 3 taraf yaitu:
Ko : Kontrol
K1 : Pupuk kandang sapi 0,5 kg/ tan
K2 : Kompos tandan kosong kelapa sawit 1kg/tan
Terdapat 12 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri
atas 3 ulangan dan setiap ulangan terdapat enam sampel, sehingga terdapat 36
unit percobaan dengan 216 sampel tanaman. Setiap petak berukuran 2x3 m
dengan jarak tanam 1 x 1 m. Setiap petak terdapat 6 tanaman dengan jumlah
12

sampel 4 tanaman per petak. Total populasi tanaman berjumlah 216 tanaman
dengan total sampel berjumlah 144 tanaman.
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Penyiapan Media Tanam
Penyiapan media tanam dilakukan dengan mengisi polybag 20 kg
dengan komposisi:
a. Kontrol : tanah PMK + pasir
b. Perlakuan 1 : tanah PMK + pasir + pupuk kotoran sapi
c. Perlakuan 2 : tanah PMK + pasir + kompos tkks
3.4.2. Penyambungan Batang Ubi Kayu dan Ubi Karet
Sebelum penyambungan, dilakukan pemotongan batang ubi
kayu dan ubi karet secara miring dengan kemiringan (± 450).
Penyambungan dilakukan dengan menyatukan batang ubi kayu sebagai
batang bawah (panjang 20 cm) dan batang atas (20 cm) yang diikat
dengan menggunakan plastik es.
3.4.3. Penanaman Bibit
Bahan tanam yang telah di sambungkan langsung ditanam di
polybag dengan cara vertikal dengan ubi kayu sebagai batang bawah
dengan kedalaman 10 cm. Tanaman berada di dalam polybag selama
dua bulan (Darmiyanti 2012).
3.4.4. Persiapan Lahan
Tanah diolah dengan menggunakan hand tractor sampai
gembur kemudian diberikan kapur dolomit.Tanah yang sudah gembur
dibentuk menjadi petakan berukuran 2 x 3 m.
3.4.5. Penanaman Bibit di Lapangan
Penanaman bibit di lapangan dilakukan setelah bibit berumur
dua bulan di dalam polybag.
3.4.6. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, pembuangan
tunas ubi kayu, penyiangan gulma, pengendalian organisme penganggu
tanaman baik pada saat bibit dalam polybag maupun di lapangan dan
pemupukan . Penyiraman dilakukan sehari sekali. Pengendalian gulma
13

dilakukan secara mekanis. Pengendalian organisme penganggu


tanaman dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan. Pemupukan
dilakukan dua kali, setengah dosis NPK (15g/tan) dan 10g/tan urea
diberikan satu bulan setelah tanam. Pupuk susulan setengah dosis NPK
(10 g/tan) dan 5g/tan urea diberikan pada saat ubi kayu berumur tiga
bulan setelah tanam (Sondakh et al. 2015)
3.4.9. Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 7 bulan. Hal ini
ditandai dengan pertumbuhan daun mulai berkurang, warna daun mulai
agak menguning, dan banyak daun yang rontok. Pemanenan dilakukan
dengan cara mencabut tanaman secara hati-hati dengan terlebih dahulu
memotong batang tanaman antara 10-15 cm diatas permukaan tanah.
Pada tanahyang memadat, pemanenan dapat dilakukan dengan
menggunakan pengungkit dari kayu atau bambu (Apriyadi 2011).
3.5. Peubah yang Diamati
3.5.1. Parameter Kuantitatif
3.5.1.1. Tinggi Tanaman (cm)
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan ketika tanaman
setiap 1 bulan sekali, pengukuran dimulai dari pangkal batang
hingga titik tumbuh menggunakan meteran.
3.5.1.2. Jumlah Daun (helai)
Perhitungan jumlah daun dilakukan dengan menghitung
jumlah daun yang sudah membuka penuh. Penghitungan
dilakukan dari 1 BST sampai panen.
3.5.1.3. Diameter Batang
Pengukuran diameter batang dilakukan dengan
menggunakan jangka sorong, yang diukur 10 cm dari mata
tunas.
3.5.1.4. Berat Umbi (kg)
Pengukuran berat umbi dilakukan saat panen
menggunakan timbangan.
14

3.5.1.5. Jumlah Umbi (buah)


Jumlah umbi dihitung dengan cara menghitung semua ubi
pada saat panen.
3.5.2. Parameter Kualitatif
3.5.2.1. Ukuran Umbi
Ukuran umbi ditentukan secara kualitatif dengan
didasarkan pada dua kriteria (besar dan kecil) yang disesuaikan
dengan panduan pengamatan morfologi tanaman ubi kayu yang
dikeluarkan oleh balitkabi.
3.5.2.2. Warna Kulit Umbi
Warna kulit umbi bagian luar ditentukan dengan cara
mencuci kulit umbi dengan menggunakan sikat lembut untuk
menghindari kerusakan kulit umbi dan mengupas kulit umbi
kayu untuk mengamati warna kulit umbi bagian dalam.
3.5.2.3. Warna Daging Umbi
Warna daging umbi ditentukan dengan cara memotong
umbi secara vertikal untuk melihat warna umbi dari bagian
terluar ke bagian terdalam umbi.
3.6. Analisa Data
Data hasil pengamatan kuantitatif dianalisis menggunakan analisis
varian pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan program SAS.
Jika uji F berpengaruh nyata maka akan dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan
Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 95% (Gomez dan Gomez 1995).
Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel.
15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Data Kuantitatif
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukan respon
pertumbuhan dan produksi ubi kayu mukibat dengan penambahan bahan
organik terhadap beberapa peubah pertumbuhan: tinggi tanaman, jumlah
daun, diameter batang, jumlah umbi dan berat umbi ditampilkan pada Tabel
1.
Tabel 1. Tabel uji F pertumbuhan dan produksi ubi kayu mukibat dengan
penambahan bahan organik.
Bahan
Aksesi Interaksi
Parameter Organik KK (%)
F hit Pr>f F hit Pr>f F hit Pr>f
Tinggi
0,35tn 0,788 6,95* 0,004 0,5tn 0,766 15,10
Tanaman
Jumlah
0,53tn 0,666 4,67* 0,021 3,05* 0,024 49,52
Daun
Diameter
0,20tn 0,892 3,15tn 0,063 1,37tn 0,269 13,45
Batang
Jumlah
2,82tn 0,062 0,91tn 0,418 0,77tn 0,600 61,43
Umbi
Berat
2,46tn 0,089 3,82* 0,038 0,41tn 0,866 123,66
Umbi
Keterangan
KK : Koefisien Keragaman
F hit : F Hitung
Pr>f : Nilai Probability
tn : Berpengaruh tidak nyata
* : Berpengaruh nyata pada taraf 5%

Hasil analisis sidik ragam menunjukan aksesi tanaman ubi kayu


dengan teknik mukibat tidak berpengaruh nyata terhadap aksesi tanaman ubi
kayu terhadap semua parameter yang diamati. Perlakuan bahan organik
menunjukan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, berat
umbi dengan diameter batang dan jumlah ubi yang berpengaruh tidak nyata.
Terdapat interaksi aksesi dan bahan organik berpengaruh nyata pada
parameter jumlah daun, dan berpengaruh tidak nyata pada aksesi lainnya
(Tabel 1).
16

Tabel 2. Hasil uji lanjut pada parameter tinggi tanaman, jumlah daun, berat
umbi pada perlakuan bahan organik.
Parameter
Perlakuan Jumlah
Tinggi Tanaman Berat Umbi
Daun
Kontrol 186,42ab 84,45b 781,5a
Kompos Sapi 209,42a 112,04a 204,2b
Kompos TKKS 166,37b 59,39b 324,2b
Keterangan: Angka yang sama diikuti huruf yang sama menunjukan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT pada α 5%.
Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Tabel 2) menunjukan
bahwa pupuk kotoran sapi memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman
yang bepengaruh nyata jika dibandingkan dengan kompos TKKS, namun
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Perlakuan pupuk kotoran
sapi menunjukan jumlah daun tertinggi dan berbeda nyata pada dua
perlakuan lainnya. Berat umbi perlakuan kontrol menunjukan hasil tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan pupuk kotoran sapi dan kompos TKKS.
Tabel 3. Uji Lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α 5%
untuk jumlah daun ubi kayu pada interaksi dua arah antara aksesi
dan bahan organik yang berbeda.
Aksesi Bahan Organik
Kontrol Pupuk Kotoran Sapi Kompos TTKS
Sutera 81,50Aa 89,00Ba 51,00Aa
Batin 123,50Aa 72,00Ba 45,75Aa
Mentega 47,78Ab 180,00Aa 41,56Ab
Malang 85,00Aa 107,17Aba 99,25Aa
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada
kolom dan baris yang berbeda menunjukan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5%. Notasi dengan huruf
kapital dibaca secara vertikal dan huruf kecil dibaca secara
horizontal.

Hasil uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf
5% menunjukan tidak berbeda nyata antara masing-masing perlakuan.
Aksesi Mentega pada pupuk kotoran sapi menunjukan pengaruh yang
berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan kompos TKKS.
Hal ini menunjukan aksesi mentega memiliki interaksi yang paling baik
dengan pupuk kotoran sapi dibanding dengan bahan organik lainnya.
17

V1KO
V1K1
250 V1K2
V2K0

Tinggi Tanaman (cm)


200 V2K1
V2K2
150 V3K0
V3K1
100 V3K2
V4K0
50
V4K1
V4K2
0
1 2 3 4 5 6 7

Pengamatan ke-

Gambar 1. Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman pengamatan ke 1 sampai


pengamatan ke-7.
Tinggi tanaman dan jumlah daun merupakan indikator pertumbuhan
tanaman ubi kayu. Pengukuran tinggi tanaman pada penelitian ini bertujuan
untuk melihat pengaruh aksesi ubi kayu mukibat dengan penambahan bahan
organik yang memberikan pertumbuhan paling baik. Aksesi Mentega
dengan penambahan pupuk kotoran sapi menunjukan tinggi tanaman dan
jumlah daun yang tertinggi dari pengamatan pertama hingga pengamatan ke
tujuh (Gambar 1 dan 2).

200
V1KO
180
V1K1
160 V1K2
Jumlah Daun (helai)

140 V2K0
120 V2K1
100 V2K2

80 V3K0
V3K1
60
V3K2
40
V4K0
20
V4K1
0 V4K2
1 2 3 4 5 6 7

Pengamatan ke-

Gambar 2. Rata-rata jumlah daun pengamatan ke-1 sampai pengamatan


ke-7.
18

Pertambahan jumlah daun pada aksesi Sutera dengan penambahan


bahan organik (Gambar 2) mengalami fluktuasi dimulai dari bulan ke-5.
Pada pengamatan bulan ke 6 terjadi penurunan jumlah daun, namun pada
bulan selanjutnya kembali mengalami kenaikan.

Keterangan:
250 234 V1: Aksesi Sutera
211 217 V2:Aksesi Batin
197 196 203 V3:Aksesi Mentega
189
200 180 185 180 185 V4 :Varietas Malang
155 160 K0:Kontrol
K1: Kompos kotoran sapi
150 135 132 K2: Kompos TKKS

89 85
100 82
72 75
51 48
42 38
50

0
V1KO V1K1 V1K2 V2K0 V2K1 V2K2 V3K0 V3K1 V3K2 V4K0 V4K1 V4K2
Tinggi tanaman Jumlah daun

Gambar 3. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun pengukuran ke-7

Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun (Gambar 3) menunjukan


aksesi Mentega dengan penambahan pupuk kotoran sapi memberikan rata-
rata tertinggi yaitu 233,5 cm. Sedangkan untuk perlakuan aksesi Sutera
dengan penambahan kompos TKKS memiliki rata-rata tinggi tanaman
terendah yaitu 155 cm. Rata-rata jumlah daun pada pengukuran ke tujuh
menunjukan aksesi Mentega dengan penambahan bahan organik memiliki
jumlah daun tertinggi yaitu sebanyak 180 helai. Perlakuan aksesi Mentega
dengan penambahan kompos TKKS memiliki jumlah daun terendah yaitu
sebanyak 38 helai.

30.00 27.10 28.05


25.82
Keterangan:
Diameter Batang (mm)

24.72 24.07 24.65 24.05


25.00 22.44 22.96 22.27 V1: Aksesi Sutera
20.69 21.58
V2: Aksesi Batin
20.00 V3: Aksesi Mentega
V4 : Varietas Malang
15.00 K0: Kontrol
K1: Pupuk kotoran sapi
10.00 K2: Kompos TKKS
5.00
0.00

Perlakuan
Gambar 5. Rata-rata diameter batang aksesi ubi kayu lokal Bangka dan
varietas ubi kayu Nasional bulan ke 7.
19

Rata-rata diameter batang (Gambar 5), menunjukan diameter batang


ubi terbesar pada varietas Malang dengan penambahan pupuk kotoran sapi
yaitu sebesar 28,05mm, sedangkan diameter batang ubi terkecil ada pada
aksesi Batin dengan penambahan kompos TKKS sebesar 20,69.
4.1.2. Data Kulititatif
Data kulitatif menunjukan aksesi Sutera pada umur panen tujuh
bulan memiliki ukuran umbi yang kecil untuk semua perlakuan, sedangkan
aksesi Batin pada semua perlakuan dan Mentega pada perlakuan kompos
kotoran sapi dan kompos TKKS menunjukan ukuran umbi yang relatif kecil.
Sedangkan umbi berukuran sedang pada aksesi Mentega dengan perlakuan
kontrol dan varietas Malang pada semua perlakuan bahan organik.
Karakteristik umbi ubi kayu aksesi lokal Bangka dan varietas nasional
disajikan pada (Tabel 4).
Tabel 4. Karakterisasi umbi ubi kayu aksesi lokal Bangka dan varietas
nasional.
Perlakuan Warna
Ukuran Warna Kulit Berat Umbi
daging
Aksesi Bahan Organik Umbi Umbi (g)
Umbi
Sutera Kontrol Kecil Coklat muda Putih 103,00
Sutera Pupuk kotoran Kecil Coklat muda Putih 9,75
sapi
Sutera Kompos TKKS Kecil Coklat muda Putih 144,00
Batin Kontrol Sedang Coklat muda Putih 776,67
Batin Pupuk kotoran Kecil Coklat muda Putih 41,00
sapi
Batin Kompos TKKS Kecil Coklat muda Putih 187,75
Mentega Kontrol Sedang Coklat muda Kuning 1093,17
Mentega Pupuk kotoran Sedang Coklat muda Kuning 451,25
sapi
Mentega Kompos TKKS Sedang Coklat muda Kuning 679,00
Malang Kontrol Sedang Coklat muda Putih 1125,00
Malang Pupuk kotoran Sedang Coklat muda Putih 314,83
sapi
Malang Kompos TKKS Sedang Coklat muda Putih 286,00
20

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh Bahan Organik terhadap Pertumbuhan Ubi Kayu


Mukibat

Pengukuran tinggi tanaman dan jumlah daun bertujuan untuk


mengetahui bagaimana pertumbuhan vegetatif tanaman ubi kayu
dengan sistem mukibat. Aksesi Mentega mukibat berumur 7 bulan
dengan penambahan bahan organik pupuk kotoran sapi memberikan
hasil tertinggi pada peubah tinggi tanaman yaitu 233,5 cm (Gambar
3), dan jumlah daun sebanyak 180 helai (Gambar 4). Penambahan
bahan organik pupuk kotoran sapi juga menghasilkan diameter terbesar
pada batang varietas Malang. Bahan organik pupuk kotoran sapi
mampu memperbaiki dan meningkatkan kandungan unsur hara pada
tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Winata (2012), unsur hara yang
dibutuhkan tanaman diperoleh dari tanah hasil dari dekomposisi bahan
organik yang akan memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologi
tanah. Neltriana (2015) menyimpulkan bahwa pemberian pupuk
kandang kotoran sapi dengan dosis 15 ton/ha memberikan pengaruh
yang terbaik terhadap pertumbuhan (jumlah tunas (buah), panjang umbi
(cm) dan hasil (bobot umbi pertanaman (g), bobot umbi per plot (g) ubi
jalar.
Aksesi Sutera dengan penambahan kompos TKKS memiliki
tinggi tanaman terendah yaitu 155 cm, dan jumlah daun terendah pada
aksesi mentega dengan penambahan kompos TKKS sebanyak 38 helai.
Rendahnya pertumbuhan tinggi tanaman dengan penambahan kompos
TKKS diduga karena kompos TKKS pada saat pengaplikasian belum
matang sempurna sehingga mengakibatkan turunnya pH tanah yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat. Atmojo (2003)
mengungkapkan penambahan bahan organik yang belum masak (misal
pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami proses
dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena
selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang
menyebabkan menurunnya pH tanah. Yunindanova et al. (2013)
21

menambahkan, ketepatan pemberian kompos sangat ditentukan oleh


tingkat kematangan. Tingkat kematangan yang tepat akan menghindari
terjadinya proses imobilisasi hara. Respon tanaman merupakan
indikator utama dari kualitas kompos. Tingkat kematangan kompos
yang berbeda menghasilkan performa pertumbuhan tanaman yang
berbeda. Kompos dengan tingkat kematangan yang lebih baik
memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi. Perbedaan tingkat
kematangan kompos TKKS berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman, diameter batang, bobot tajuk basah dan bobot tajuk kering.
4.2.2. Pengaruh Bahan Organik pada Hasil Umbi Ubi Kayu Mukibat
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa berat umbi
kayu tertinggi ada pada perlakuan kontrol diikuti perlakuan
penambahan bahan organik kompos TKKS dan pupuk kotoran sapi.
Penambahan bahan organik seharusnya meningkatkan hasil umbi ubi
kayu. Menurut hasil penelitian Tumewu et al. (2015), pupuk bokashi
kotoran sapi dengan dosis 20 ton/ha dan 250 kg NPK/ha + 150 kg
urea/ha menghasilkan bobot umbi/tanaman dan produksi umbi/petak
tertinggi. Setiawan (2015) menambahkan bahwa kompos TKKS dosis
5 ton/ha memberikan hasil umbi ubi jalar ungu yang lebih baik
dibandingkan dosis kompos lainnya.
Tidak adanya pengaruh bahan organik pada hasil umbi ubi kayu
diduga disebabkan oleh inkompatibilitas antara batang atas dan batang
bawah ubi kayu mukibat. Kompatibilitas adalah kemampuan dari dua
jenis tanaman yang disambung untuk menjadi satu tanaman baru.
Keberhasilan penyambungan sangat dipengaruhi oleh kompatibilitas
antara dua jenis tanaman yang disambung (Hanoto 2000). Kecepatan
pertumbuhan batang atas dan persentasi keberhasilan penyambungan
ditentukan pula oleh kecepatan terjadinya pertautan antara batang atas
dan batang bawah. Hubungan kambium yang rapat dan tepat dari kedua
batang yang disambungkan mempengaruhi keberhasilan sambungan
(Roselina et al. 2007).
22

Pertautan yang kompatibel akan membentuk kalus dengan


jaringan yang saling mengunci (interlocking) sehingga terbentuk
retikulasi dinding sel yang digunakan untuk pengangkutan hara dan air.
Sel kalus kemudian mengalami diferensiasi yang diatur oleh hormon
Indol Acetic Acid (IAA) (Taiz dan Zeiger 2010) sehingga sel kambium
baru terbentuk untuk menghubungkan antara kambium batang atas dan
batang bawah (Tristama dan Hamim 2007). Kompatibilitas stock dan
scion menjadi hal yang penting lainnya dalam pertumbuhan dan
ketahanan pada proses penyambungan. Martínez-Ballesta et al. (2010),
mengungkapkan tanaman untuk tetap tumbuh dan bertahan stock dan
scion harus tersambung secara rapat agar jaringan xylem dan floem
dapat mengalokasikan mineral, air hasil asimilasi fotosintesis dan
hormon sepanjang hidup tanaman. Gokbayrak et al. (2007)
menambahkan jika floem dan xylem antara kedua permukaan grafting
tersambung dengan baik maka transportasi air dan unsur hara dari
batang bawah ke atas dan translokasi hasil fotosintat berupa sukrosa
dari tajuk (batang atas) menuju akar (batang bawah) melalui jaringan
floem akan berjalan lancar. Kegagalan pada sambungan disebabkan
oleh tidak terbentuknya saluran pembuluh xylem dan floem untuk
mengalirkan air dan hara ke bagian batang atas (Riodevrizo 2010).
Berdasarkan hasil pengamatan tanaman ubi kayu sistem
mukibat mengalami penyatuan akan tetapi tidak sempurna ditandai
dengan adanya pembengkakan pada batang sambungan (Gambar 6c)
sehingga mengakibatkan hasil dari fotosintat kurang optimal di
translokasikan menuju akar. Hal ini sesuai dengan pendapat Susilo dan
Sobandi (2008) yang menyatakan terjadinya pembengkakan sejak awal
pada daerah pertautan tidak menghambat pertumbuhan benih tanaman
kakao. Toruan et al. (2000) menambahkan penyambungan yang
inkompatibel ditunjukan oleh banyaknya akumulasi lignin pada daerah
pertautan yang dipengaruhi oleh translokasi air dan unsur hara dari
bawah ke atas serta terhambatnya hasil asimilat dari atas ke bawah.
23

Faktor lain yang mempengaruhi inkompatibilitas tanaman yang


disambung adalah ketepatan posisi kambium batang atas dan batang
bawah. Tirtawinata (2003) menyatakan, kontak kambium yang tidak
tepat dapat menyebabkan pertautan pertautan jaringan pembuluh antara
batang bawah dengan batang atas tidak sempurna dan berakibat pada
translokasi senyawa-senyawa penting untuk metabolisme pertumbuhan
tanaman seperti transpor air dan unsur hara tidak dapat berlangsung
secara lancar dari batang bawah ke batang atas atau translokasi hasil
fotosintesis dari batang atas ke seluruh tanaman.

a b

c
Gambar 6. Umbi berukuran kecil (a), sedang (b), batang umbi kayu
mukibat yang mengalami pembengkakan (c)
24

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Terdapat pengaruh teknik sambung mukibat dan bahan organik terhadap
pada pertumbuhan dan produksi ubi kayu.
2. Aksesi Mentega memiliki produksi yang terbaik dibandingkan aksesi lokal
lainnya.
3. Bahan organik pupuk kotoran sapi memberikan hasil pertumbuhan terbaik
pada parameter tinggi tanaman dan jumlah daun aksesi mentega.
4. Terdapat interaksi antara bahan organik dan aksesi ubi kayu lokal bangka
pada parameter jumlah daun.
5.2. Saran
Aksesi mentega mukibat dengan penambahan bahan organik pupuk
kotoran sapi dapat digunakan untuk menghasilkan pertumbuhan umbi yang
baik dan perlu diperhatikan teknik penyambungan agar kompatibilitas tanaman
dapat lebih baik.
25

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Ubi Kayu menurut Provinsi (ton)
1993-2015. . https://www.bps.go.id [17 September 2016].

Apriyadi R. 2011.Karakterisasi dan Pertumbuhan 10 Aksesi Ubi Kayu Lokal pada


Lahan PMK dan Tailing Pasca Penambangan Timah Bangka [skripsi].
Balunijuk: Universitas Bangka Belitung.

Aquita S. 2010. Uji Daya Hasil 4 Varietas 8 Galur Harapan Kedelai pada Lahan
Podsolik Merah Kuning [skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung.

Arnika V. Yuni L. 2010. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa Media
Jamur Merang (Volvariella volvacea) sebagai Pupuk Organik dengan
Penambahan Aktivator Effective Microorganism (EM4) [skripsi].
Surabaya: Institut Teknologi Surabaya.

Atmojo SW. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Badan Litbang Pertanian. 2011. Varietas Ubi Kayu untuk Bahan Pangan dan Bahan
Industri. Agroinovasi. http://litbang.deptan.go.id.

Darmiyanti A. 2012. Pertumbuhan dan Produksi Lima Aksesi Ubi Kayu Lokal
Bangka dengan Teknik Mukibat [skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka
Belitung.

Darwis V, Muslim C, Askin A. 2009. Analisa Usaha Tani dan Pemasaran Ubikayu
serta Teknologi Pengolahan Tapioka di Kabupanten Pati Jawa Tengah.
Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Seminar Nasional
Bogor, 14 Oktober.

Gökbayrak Z, Soylemezoglu G, Akkurt M, and Celik H. 2007. Determination of


Grafting Compatibility of Grapevine with Electrophoretic Methods.
Scientia Horticulturae. 113: 343-352.

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian.
Terjemahan: Sjamsudin E, Justika S, Baharsjah. Jakarta: UI Press.

Hafsah MJ. 2006. Bisnis Ubikayu Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hanafiah KA. 2010. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hanoto W. 2000. Pengaruh Batang Bawah dan Pengatur Zat Pertumbuhan terhadap
Tumbuhan Penyambungan Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.).
Jurnal Agrotropikal. 5(1): 1-4.
26

Kurniawati F dan Kamsiati E. 2006. Pemanfaatan Ubi Kayu Sebagai Bahan


Pangan Non-Beras dalam Mendukung Ketahan Pangan di Kalimanatan
Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.

Kusmiadi R. 2008. Nasi Aruk dan Ketahanan Pangan Nasional.


http://cetak.bangkapos.com/opini/ read/304.html [17 September 2016].

Lestari T. 2014. Pelestarian Plasma Nutfah Ubi Kayu Lokal Bangka sebagai
Diversifikasi Pangan Lokal. Jurnal Enviagro. 7(2): 7-12.

Martínez-Ballesta MC, Alcaraz-López C, Muries B, Mota-Cadenas C, and Carvajal


M. 2010. Physiological Aspects of Rootstock-scion Interactions. Scientia
Horticulturae 127:112-118.

Neltriana N. 2015. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Kotoran Sapi terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Ubi Jalar [Skripsi]. Padang: Universitas Andalas.

Pane SI, Mawarni L, Imansyah T. 2013. Respon Pertumbuhan Kedelai terhadap


Pemangkasan dan Pemberian Kompos TKKS pada Lahan Ternaungi. Jurnal
Online Agroteknologi. 2(1): 393-401.

Prasetiaswati N, Munip A, Radjit BS, Saleh N, Widodo Y. 2008. Kelayakan


Usahatani Ubikayu sistim Mukibat. Studi kasus di Jawa Timur. Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Balitkabi.

Purwanto. 2007. Peningkatan Produktivitas Singkong dengan Teknologi Mukibat


sebagai Sumber Bahan Baku Bioethanol.
faperta.ugm.ac.id/newbie/download/pak_tar/specialtopicagronomy/purwan
to.doc. [17 September 2016].

Purwomo dan Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.


Jakarta: Penebar Swadaya.

Purwono. 2009. Budidaya 8 Jenis Tanaman Unggul. Jakarta : Penebar Swadaya.

Radjit BS dan Prasetiaswati N. 2011. Potensi Hasil Umbi dan Kadar Pati pada
Beberapa Varietas Ubikayu dengan Sistim Sambung (Mukibat).Jurnal
Buana Sains. 11(1): 35-44.

Rafiq M. 2009. Pengaruh Perlukaan pada Batang Utama Batang Ubi Kayu terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Umbi. http://repositoryipb.ac.id [17 September
2016].

Richana N. 2012. Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Bandung: Nuansa


27

Riodevrizo. 2010. Pengaruh Umur Pohon Induk terhadap Keberhasilan Setek dan
Sambungan Shorea selanica BI. [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Roselina MD, Sriyadi B, Amien S, Kurniawan A. 2007. Seleksi Batang Atas Kina
(Chinchoma ledgenriana) Klon QRC dalam Pembibitan Stek Sambung.
Zuriat. 1(18): 192-200.

Setiawan BS. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Setiawan W. 2015. Pengaruh Dosis Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit


terhadap Pertumbuhan dan Hasil Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) [tesis].
Padang: UPT Perpustakaan Unand.

Sondakh TD, Paruntu CP, Tumewu P. 2015. Hasil Ubi Kayu (Manihot esculenta
Crantz) terhadap Perbedaan Jenis Pupuk. Jurnal LPPM Bidang Sains dan
Teknologi . 2(2).

Subandi, Widodo Y, Saleh S, dan Santoso LK. 2006. Inovasi Teknologi Produksi
Ubi Kayu untuk Agro Industri dan Ketahanan Pangan.
http://pustaka.litbang.go.id [17 September 2016].

Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis: Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik


Budidaya Ubi Kayu (Materi Pelatihan Agribisnis Bagi KMPH). Malang:
Balai Penelitian Kacang dan Umbi-Umbian.

Suprapti dan Lies. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemamfaatannya.


Yogyakarta: Kanisius.

Susilo AW, Sobandi. 2008. Analisis Daya Gabung Kompatibilitas Penyambungan


Bibit antara Beberapa Jenis Klon Batang Atas dan Famili Batang Bawah.
Pelita Perkebunan. 24(1): 175-187.

Suwandi, Nuryati L, Novianti, Waryanto B, Widaningsih R . 2015. Outlook


Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.

Taiz L, Zeiger E. 2010. Plant Physiology. Massachusetts(GB): Sinaur Associates


pc.

Tirtawinata MR. 2003. Kajian Natomi dan Fisiologi Sambungan Bibit Manggis
dengan Beberapa Kerabat Clusiaceae [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.

Tristama R. Hamim. 2007. Inkompatibilitas Jaringan Rootstock-scion: Kasus pada


Tanaman Karet (Hevea brasiliensis). Warta Perkaretan. 2 (26): 1-9.
28

Toruan MN, Lizawati, Aswidinnor, Boerhendy. 2002. Pengaruh Batang Bawah


terhadap Pola Pita Isoenzim dan Protein Batang Atas pada Okulasi Tanaman
Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Menara Perkebunan 70 (1): 20-34.

Tumewu P, Paruntu CP, Sondakh TD. 2015. Hasil Ubi Kayu (Manihot esculenta
Crantz) terhadap Perbedaan Jenis Pupuk. Jurnal LPPM Bidang Sains dan
Teknologi. 2(2): 16-27.

Wargiono J, Hasanudin dan Suyamto. 2006. Teknologi Produksi Ubi Kayu


Mendukung Industri Bioethanol. http://pangan.litbang.pertanian.go.id. [18
September 2016].

Winata NASH, Karno dan Sutarno. 2012. Pertumbuhan dan Produksi Hijauan
Gamal (Gliricidia Sepium) dengan Berbagai Dosis Pupuk Organik Cair.
Animal Agriculture Journal. 1(1): 797-807.

Yunindanova MB, Agusta H, Asmono D. 2013. Pengaruh Tingkat Kematangan


Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Mulsa Limbah Padat Kelapa
Sawit terhadap Pertumbuhan Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum
Mill.) pada Tanah Ultisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 2(10):
91-100.

Anda mungkin juga menyukai