Anda di halaman 1dari 25

TUGAS PSIKOLOGI KLINIS

PERAN PSIKOLOGI KLINIS DALAM KELUARGA DAN PASANGAN

Di Susun Oleh Kelompok 7 :

1. MUHAMMAD SHAFWAN (G1C117028)


2. ZIADI ZAKWAN A.R (G1C117040)
3. CANTIKA NUR SALSABILLAH (G1C117048)
4. RESPITA (G1C117018)
Dosen Pengampu :
SITI RAUDHOH,S.Psi.,M.Psi.,Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu bagian dari disiplin ilmu Psikologi adalah Psikologi Klinis, yang
membahas seputaran gangguan – gangguan kejiwan maupun seputaran permasalahan
dalam lingkup diri sendiri,keluarga maupun masyarakat.
Disini kami membahas mengenai Klinis Pasangan dan keluarga. Keluarga merupakan
kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat yang membangun sebuah ikatan
kasih sayang. Hal tersebut berkaitan dengan peran keluarga sebagai tempat untuk
mencurahkan segala kasih sayang antara orang tua terhadap anaknya atau pun
sebaliknya. Keluarga juga akan memberikan kehangatan, kedekatan, serta rasa aman
bagi anak dan anggota keluarga lainnya.Keluarga dapat dibentuk dengan terlebih
dahulu melakukan pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Defenisi dari Pasangan & Keluarga?
2. Apa Saja Fungsi-Fungsi dalam Keluarga?
3. Apa saja yang termasuk dalam Ruang Lingkup Pasangan dan Keluarga?
4. Apa Saja Permasalahan – Permasalahan dalam pasangan dan Keluarga?
5. Apa Saja Macam – macam Terapi Pasangan dan Keluarga?

C. Tujuan
1. Mengetahui Defenisi Pasangan dan Keluarga
2. Mengetahui Fungsi – fungsi dalam keluarga
3. Mengetahui Ruang Lingkup Pasangan dan Keluarga
4. Memahami Isu – isu Permasalahan yang terdapat dalam Pasangan dan
keluarga
5. Memahami Terapi –terapi yang tepat untuk mengatasi permasalahan dalam
pasangan dan keluarga
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Keluarga
1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih dua individu yang tergabung karena hubungan
darah,hubungan perkawinan atau pemangkatan dan mereka hidup dalam suati rumah
tangga dan berinteraksi satu sama lain dan didalam peranannya masing-masing dan
menciptakan serta memperhatikan suatu kebudayaan. (Salvician G.Bailon dan
Maglaya 2008). Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan
melalui pertalian darah, adopsi atau perkwinan (WHO 2008).
Sedangkan menurut Friedman (2010), mendefinisikan keluarga adalah unit
dari masyarakat dan merupakan ‟lembaga‟ yang memengaruhi kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat, hubungan yang erat antara anggotanya dengan
keluarga sangat menonjol sehingga keluarga sebagai lembaga/unit layanan perlu
diperhitungkan. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan
(Zaidin Ali, 2010) .
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga yaitu seperti ikatan
atau persekutuan (perkawinan / kesepakatan), hubungan (darah/adopsi/kesepakatan),
tinggal bersama dalam satu atap (serumah). Selain itu juga ada peran masing –
masing anggota keluarga dan ikatan emosional.
2. Fungsi Keluarga
Lima fungsi keluarga menurut Friedman (2010) sebagai berikut :
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga yang
merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial. Keberhasilan
melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari
seluruh anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan
iklim yang positif. Hal tersebut dapat
dipelajari dan dikembagkan melalui interaksi dan hbungan dalam keluarga.
Dengan demikian, keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif,
seluruh anggota keluarga dapat mengembangkan konsep diri positif.
Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi
afektif adalah :
1) Saling mengasuh; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling
mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan
dukungan dari anggota yang lain. Maka, kemampuan untuk memberikan
kasih sayang akan meningkat, yang pada akhirnya tercipta hubungan
yang hangat saling mendukung. Hubungan intim didalam keluarga
merupakan modal dasar dalam memberi hubungan dengan oranglain di
luar keluarga / masyarakat.
2) Saling menghargai. Bila anggota keluarga saling menghargai dan
mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu
mempertahankan iklim positif, maka fungsi afektif akan tercapai
3) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat
memulai hidup baru. Ikatan antar anggota keluarga dikembangkan
melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada aspek kehidupan
anggota keluarga. Orang tua harus mengembangkan proses identifikasi
yang positif sehingga anak anak dapat meniru tingkah laku positif dari
kedua orang tua mereka.
b. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu,
yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan
sosial (Friedman 1986 dikutip oleh Dyah 2011)
Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga merupakan tempat individu
untuk belajar bersosialisasi, misalnya anak yang baru lahir dia akan menatap
ayah, ibu dan orang – orang yang ada di sekitarnya. Kemudian beranjak balita
dia belajar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meskipun demikian
keluarga tetap berpern penting dalam bersosilisasi. Keberhasilan
perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui interaksi hubungan antar
anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi. Anggota keluarga
belajar disiplin, belajar norma – norma, budaya, dan perilaku melalui
hubungan dan interaksi keluarga.
c. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber daya
manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk
memenuh kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk
keluarga adalah meneruskan keturunan.
d. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan
tempat tinggal. Banyak pasangan sekarang kita lihat dengan penghasilan yang
tidak seimbang antara suami dan istri hal ini menjadikan permasalahan yang
berujung pada perceraian.
e. Fungsi Perawatan Kesehatan
Keluarga juga berperan untuk melaksanakan praktek asuhan keperawatan,
yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat
anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan
kesehatan memepengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga
melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan
keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas
kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.
Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut (Friedman 2010) :
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
Perubahan sekecil papaun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila
menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya,
perubahan apa yang terjadi dan sebesar apa perubahannya.
2) Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera
melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi
atau bahkan dapat teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan
seyogyanya meminta bantuan oranglain dilingkungan sekitar keluarga.
3) Memberikan perawatan anggota keluarga yang sakit atau yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki
kemampuan melakukan tindakan pertolongan pertama atau ke pelayanan
kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih
parah tidak terjadi.
4) Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan .
3. Tahap-Tahap Perkembangan Keluarga
Berikut ini akan diuraikan mengenai tahap perkembangan keluarga
berdasarkan konsep Duvall dan Miller (Friedman 2010) membagi keluarga dalam
8 tahap perkembangan, yaitu :
a. Keluarga Baru (Berganning Family)
Pasangan baru menikah yang belum mempunyai anak. Tugas perkembangan keluarga
tahap ini antara lain yaitu membina hubungan intim yang memuaskan, yang
kedua menetapkan tujuan bersama, yang ketiga membina hubungan dengan
keluarga lain, teman dan kelompok sosial, ke-empat mendiskusikan rencana
memiliki anak atau KB, kelima yaitu persiapan menjadi orang tua, yang
keenam memahami prenatal care (pengertian kehamilan, persalinan dan
menjadi orang tua).
b. Keluarga dengan anak pertama <30 bulan (child-bearing)
Masa in merupakan transisi menjadi orang tua yang akan menimbulkan krisis
keluarga. Studi Klasik Le Master (1975) dan 46 orang tua ditanyakan 17%
tidak bermasalah selebihnya bermasalah dalam hal : 1) Suami merasa
diabaikan, 2) Peningkatan perselisihan dan argumen, 3) Interupsi dalam jadal
argumen, 4)Kehidupan seksual dan sosial terganggu dan menurun.
Adapun tugas perkembangan keluarga tahap ini antara lain :
1) Adaptasi perubahan anggota keluarga (peran, interaksi, seksual dan
kegiatan)
2) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.
3) Membagi peran dan tanggung jawab (bagaimana peran orang tua terhadap
bayi dengan memberi sentuhan dan kehangatan).
4) Bimbingan orang tua tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.
5) Konseling KB post partum 6 minggu.
6) Menata ruang untuk anak.
7) Biaya / dana Child Bearing.
8) Memfasilitasi Role learing anggota keluarga.
9) Mengadakan kebiasaan keagamaan secara rutin.
c. Keluarga dengan anak prasekolah
Tugas perkembangan adalah menyesuaikan pada kebutuhan pada anak pra sekoah
(sesuai dengan tumbuh kembang, proses belajar dan kontak sosial) dan
merencanakan kelahiran berikutnya.Tugas perkembangan keluarga pada saat
ini yaitu pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, membantu atau
bersosialisasi, beradaptasi dengan anak baru lahir, anak yang lain juga
terpenuhi, mempertahankan hubungan di dalam maupun di luar keluarga,
pembagian waktu (individu, pasangan dan anak), pembagian tanggung jawab,
dan merencanakan kegiatan dan waktu stimulasi tumbuh dan kembang anak.
d. Keluarga dengan anak sekolah (6-13 tahun)
Keluearga dengan anak sekolah mempunyai tugas perkembangan keluarga seperti :
1) membantu sosialisasi anak terhadap lingkungan luar rumah, sekolah dan
linkungan lebih luas,
2) mendorong anak untuk mencapai pegembangan daya intelektual,
3) menyediakan aktivitas anak,
4) menyesuaikan pada aktivitas komuniti dengan mengikut sertakan anak,
5) memenuhi kebutuhan yang meningkat termasuk biaya kehidupan dan
kesehatan anggota keluarga.
e. Keluarga dengan anak remaja (13-20 tahun)
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :
1) Pengembangan terhadap remaja (memberikan kebebasan yang seimbang
dan bertanggung jawab meningat remaja adalah seorang yang dewasa
muda dan mulai memiliki otonomi).
2) Memelihara komunikasi terbuka (cegah gep komunikasi)
3) Memelihara hubungan intim dalam keluarga.
4) Mempersiapkan perubahan sistem peran dan peraturan anggota keluarga
untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anggota keluarga.
f. Keluarga dengan anak dewasa (anak 1 mninggalkan rumah)
Tugas perkembangan keluarga mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan
menerima kepergian anaknya, menata kembali fasilitas dan sumber yang ada
dalam keluarganya, berperan sebagai suami istri, kakek dan nenek.
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini yaitu memperluas keluarga inti menjadi
keluarga besar, mempertahankan keintiman, membantu anak untuk mandiri
sebagai keluarga baru di masyarakat, mempersiapkan anak untuk hidup
mandiri dan menerima kepergian anaknya, menata kembali fasilitas dan
sumber yang ada pada keluarganya, berperan suami istri, kakek dan nenek,
menciptakan lingkungan rumah yang dapt menjadi contoh bagi anak –
anaknya.
g. Keluarga usia pertengahan (Middle age family)
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini yaitu mempunyai lebih banyak dan
waktu kebebasan dalam mengolah minat sosial dan waktu santai, memulihkan
hubungan antara generasi muda tua, keakraban dengan pasangan, persiapan
masa tua / pensiun.
h. Keluarga lanjut usia
Keluarga lanjut usia memiliki tugasugas perkembangan keluarga seperti : 1)
Penyesuaian tahap masa pensiun dengan cara merubah cara hidup, 2)
Menerima kematian pasanganya, kawan dan mempersiapkan kematian, 3)
Mempertahankan keakraban pasangan dan saling merawat, 4) Melakukan Life
Review masa lalu.

4. Struktur Keluarga
Menurut Friedmn (2010), struktur keluarga terdiri dari :
a. Pola dan proses komunikasi
Pola interaksi keluarga yang berfungsi seperti bersifat terbuka dan jujur, selalu
menyelesaikan konflik keluarga, berfikir positif, serta tidak mengulang –
ulang isu dan pendapat sendiri.
Karakteristik komunikasi keluarga berfungsi untuk :
1) Karakteristik Pengirim :
a) Yakin dalam mengemukakan sesuatu atau pendapat.
b) Apa yang disampaikan jelas dan berkualitas
c) Selalu meminta dan menerima umpan balik.
2) Karakteristik Penerima
a) Siap mendengarkan
b) Memberikan umpan balik
c) Melakukan validasi
b. Struktur peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan.
c. Struktur kekuatan
Kekuatan merupakan kemampuan dari individu untuk mengendalkan atau
mempengaruhi untuk merubah perilaku orang lain ke arah positif.
d. Nilai – nilai keluarga
Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau
tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga
juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan.

5. Stressor dan Koping Keluarga


a. Stressor – stressor yang dialami oleh keluarga yang berkaitan dengan eknomi
dan sosialnya, apakah keluarga bisa memastikan lamanya dan kekuatan dari
stressor – stressor dan ketegangan sehari – hari.
b. Apakah keluarga mampu bertindak berdasarkan penelitian yang objektif dan
resisten terhadap situasi yang mengandung stress.
c. Bagaimana keluarga bereaksi terhadap situasi yang penuh dengan stress
koping yang bagaimana diambil oleh keluarga, apakah anggota keluarga
mempunyai koping yang berbeda – beda, koping interna; dan eksterna yang
diajarkan, apakah anggota keluarga berbeda dalam cara – cara koping, strategi
koping internal keluarga, kelompok kepercayaan keluarga, pengugunaan
tuner, self evaluasi, penggunaan ungkapan, penggunaan keluarga terhadap
masalah, pemecahan masalah secara sistematis, fleksibilitas peran, stimulasi
strategi koping eksternal.

B. TERAPI KELUARGA DAN PASANGAN


1. Terapi Keluarga
Orangtua datang ke sesi terapi biasanya terkait dengan permasalahan anak
yang mereka hadapi. Pada kebanyaka kasus biasanya akan ditemukani isu-isu yang
awalnya tampak tidak berhubungan.Menjadi penting untuk diingat bahwa terapi
keluarga sebaiknya tidak dijalankan ketika tampakadanya dampak yang merugikan.
Terapi keluarga juga sebaiknya dijalankan denganmempertimbangkan perubahan
sosial dan budaya dalam suatu tempat. Tokoh pertaman yangmencetuskan konsep
terapi keluarga adaah Ackermen. Pasien yang datang ke prikoterapis bisadilihat
sebagai wakil dari sebuah keluarga yang ‘sakit’. Pad tahun 1950 banyak ditemukan
isu-isuklinis dalam seting keluarga atau pasangan. Tokoh yang kemudian secara
langsung mengemukanpendekatan terkait dengan terapi keluarga adalah Bateson.
Pada tahun 1970 terapi keluargamengalami pertumbuhan yang cepat dikarenakan tiga
alasan, yakni psikodinamika tradisional tidak menghasilkan hal yang inovatif, adanya
kesadaran akan konsep sistem, dan semakin banyak jumlah anak yg bermasalah yg
melibatkan orangtua. Terapi ini memegang teguh konsep bahwa tugas keluarga
dibedakan oleh zaman dan waktu. Tujuan masyarakat,keluarga dan individu haruslah
selaras.

Beberapa konsep dan prinsip dasar dalam terapi keluarga adalah :


1. Homeoatis
2. Feedback loops =positif dan negative
3. Sistem keluarga adalah kumpulan dari subsistem:
a. Spousal
b. Parental
c. Sibling
4. Boundaries/batasan
a. Fleksibel
b. Rigid
c. Semi permiabel

Jenis-jenis Terapi Keluarga :


1. Browenian/Transgenerasional
a. Unit yg tergantung secara emosional
b. Pola-pola perilaku yg terbentuk seiring dengan berjalannya waktu
c. Diulang kembali antar generasi
d. Dua tujuan sama :
Mengurangi tingkat kecemasan keluarga secara keseluruhan
Respon emosional yg leih efektif
e. Terapi bias berhadapan dengan pasangan, seluruh keluarga, seorang individu
dalam keluarga, atau konfigurasi dari anggota keluarga yg diyakini bisa
berubah.
f. Keberhasilan terapis: menangani keluarga dan tidak terjerat secara emosional.
2. Satir/Komunikasi
a. Kenaikan self-esteem : sitem interpersonal keluarga
b. Keterkaitan sel-esteem dengan komunikasi
c. Peran anggota keluarga mempengaruhi fungsi keluarga melalui pengaruh yg
diberikan pada aturan,proses komunikasi dan respon terhadap stress.
d. Tujuan meningkatkan kematangan keluarga: menciptakan
harapan,memperkuat koping,berdaya dalam hal menentukan pilihan dan
tanggung jawab,memperbaiki kesehatan anggota dan system keluarga
3. Eksperiensial
a. Here-Now
b. Perebutan otonomi dan interpersonal
c. Tugas klinis : -Mendorong here-now
-Mendorong untuk berinteraksi ataukah otonomi
4. Milan
a. Interaksi resiprokal yg berkelanjutan
b. Perubahan :stimulasi perubahan kognisi,persepsi,atribusi,makana-makna yg
disimpulkan
c. Konstruktivitas dan Naratif
d. Berfokus solusi :setiap keluarga memiliki kompetensi dan kekuatan.
e. Strategik :Fokus pada teknik bukan teori. Haley 1987, 5 tahapan
-Tahap social
-Tahap masalah
-Tahap interaksi
-Tahap penetapan tujuan
-Tahap penetapan tugas
5. Struktural
a. Proses dibandingkan dengan isi
b. Subsistem,batasan,koalisi,dan cara-cara habitual
c. Hierarki :wewenang dan pengambilan keputusan
d. Ekspetasi mutualistic
e. Mengubah struktur sistemik yg menjadi penyebab masalah
f. Proses intervensi
-Terapi bergabung
-Diagnosis structural
-Intervensi untuk restrukturisasi

Jenis terapi keluarga lainnya adalah Behavioral dan Kognitif- Behavioral serta
Psikodinamik dan relasi objek.Efektivitas terapi keluarga dinilai dari daya tarik
intuitif, bukan berdasarkan penelitian empiris.Dilakukan melalui Meta-analisis
dengan 20 studi empiris. Gurman, dkk :konsep-konsep sentral belum
dioperasionalisasikan dengan jelas. Piercy, Sprenkle, dan Wetchler (1996) efektif
untuk psikotik dalam hal kepatuhan minum obat dan psikososial keluarga. Terapi
keluarga angka 55 kekambuhannya 17%, individual angka kekambuhan 83%. Bidang
lain yang efektif dengan pendekatan terapi keluarga adalah penyalahgunaan napza,
permasalahan remaja.

2. Terapi Pasangan
Terapi bagi pasangan menjadi sebuah pendekatan yg terpisah dari terapi
keluarga. Disebut juga dengan terapi perkawinan, namun akhir-akhir ini juga
berkembang bagi bentuk commited relationship lainnya. Dalam terapi ini biasanya
akan dibicarakan masalah-masalah yg terkait dengan keuangan,kepuasan seksual,
pembagian pekerjaan RT, otonomi, isu parenting, kesulitan komunikasi,
perselingkuhan, negosiasi.
Konflik didalam pernikahan sangat berhubungan dengan kepuasan
pernikahan. Hubungan yg terjadi biasanya berbentuk kurva normal. Terlalu banyak
atau sedikit konflik justruakan mengurangi kepuasan pernikahan, sebaliknya konflik
tetap diperlukan dalam batasan tertentu agar kepuasan pernikan meningkat. Untuk itu
isu yg terpenting adalah bukan bagaimana menghindari konflik, tetapi bagaimana
mengatasi konflik secara sehat.
Jenis-jenis terapi pasangan :
1. Behaviorial Couple Therapy (BCT)
a. Fungsi reward
b. Punishment
c. kepuasan pernikahan.
2. Cognitive-Behaviorial Couple Therapy (CBCT)
a. Menantang asumsi
b. Menantang kemutlakan
c. Menantang berbagai atribusi
d. Menantang prediksi
e. Menantang ekspetasi
f. Bagaimana kognisi mempengaruhi perilaku dan perasaan,serta interaksi
hubungan.
3. Emotionally Focused Couple Therapy (EFCT)
a. Attachment theory : fungsi relasional
b. Memunculkan insight dengan kemampuan mengkomunikasikan emosi primer.

Efektivitas dari terapi pasangan tidak selalu sama antar kasus. Pada pasangan
yang sudah sama sekali tidak serasi atau menemukan kecocokan, biasanya terapi
pasangan menjadi tidak berdaya guna. Secara umum 65% kasus dengan pendekatan
terapi pasangan menemukan hasil yang 56 positif. Dari hasil sukses terbut, 33% -
44% diantaranya mampu memindahkan pasangan dari kondisi stress ke nondistress.
Terapi BCT memberikan efek 6 bulan, dan terapi yang berfokus pada melahirkan
insight memberikan efek 4 tahun. Beberapa program prevensi yang dikembangkan
untuk pasangan adalah antara lain psikoedukasi, program jasmani (khusunya bagi
kasus-kasus seksualitas), dan ketrampilan serta praktek. Target dari program ini
adalah meningkatkan ketrampilan komunikasi, pembagian tugas RT, perencanaan
keuangan, parenting, dan manajemen stress. Program prevensi menjadi pilihan yang
tepat dikarenakan biaya yang lebih murah, minimalis, memiliki banyak kegunaan. Di
masa yang akan datang, program prevensi akan lebih menitikberatkan pada
pengenalan akan sifat defensif, ancaman yang mungkin membangkitkan sifat
defensif, dan sifat hubungan pasangan yang dinamis sehingga selalu diperlukan
ketrampilan baru.

KASUS I
A. Kasus
Anna Thompson adalah seorang anak Amerika-Afrika berusia 10 tahun. Ana
mendatangi dokter karena diminta oleh ibunya, Mrs. Thompson, yang memergoki
Anna sedang melukai pergelangan tangannya dengan pisau. Dokter mengatakan
bahwa Anna tidak mengalami luka serius dan merekomendasikannya pergi ke
psikiatri rumah sakit untuk mendapat evaluasi. Mendapati anaknya mengalami
gangguan perasaan, yakni depresi, Mrs. Thompson menyetujui untuk mengikuti
tritmen jangka pendek. Hari berikutnya psikiatris melakukan proses wawancara
dengan Anna mengenai gangguan perasaannya.
Pada awalnya, Anna ragu-ragu untuk bercerita dan merasa marah kepada ibunya
karena memintanya untuk melakukan ini. Anna bercerita bahwa ia baru saja pindah
ke sekolah baru mengikuti ibunya yang bercerai. Di sekolah baru, Anna merasa
bahwa ia tidak disukai temannya. Ia kecewa adanya diskriminasi sehingga ia hanya
dapat membangun hubungan baik dengan sedikit teman. Teman-teman menghina
dirinya karena ia memiliki tubuh yang gendut. Di sekolah, ia selalu makan siang
sendirian.
Selama 13 bulan terakhir Anna mengalami masa sulit. Orang tuanya berkonflik
hingga akhirnya bercerai. Ibunya kemudian membawanya pindah, memisahkan
dirinya dengan ayah dan adik laki-lakinya yang berusia 6 tahun. Peristiwa ini
membuatnya trauma karena Anna sangat dekat dengan ayah dan adiknya namun
sekarang ia tidak diperbolehkan untuk menghubungi mereka. Anna pindah ke sekolah
baru pada bulan awal Agustus dan sekarang sudah memasuki akhir September.
Selama 2 minggu terakhir, Anna tidak mau masuk sekolah. Anna mengeluh bahwa ia
merasa kesepian karena ibunya terlalu sibuk bekerja dan di sekolah ia tidak punya
teman.
Selama 2 minggu, mood Anna memburuk. Ia benar-benar merindukan
keluarganya seperti dahulu. Ia mengeluh tidak bisa merayakan Thanksgiving dengan
ayah dan adiknya (ibunya mengatakan bahwa itu tidak mungkin). Akhirnya, Anna
menjadi bad mood dan suka berbohong, ia menghabiskan waktunya dengan
menonton televisi, internet, dan chatting. Di seminggu terakhir Anna hanya keluar
rumah sebanyak dua kali dan selebihnya menghabiskan waktu dengan banyak makan
dan banyak tidur. Ibunya telah berusaha kerasa berbicara dengannya selama 2 minggu
terakhir. Ketika berhasil mengajak berbicara, ibunya membujuk Anna untuk kembali
bersekolah.
Saat Anna melukai dirinya, Anna bercerita bahwa ia sedang merasa sedih dan
bertanya-tanya bagaimana jika ia berniat untuk bunuh diri. Ia membayangkan
bagaimana perasaan keluarganya dan siapa saja yang akan mendatangi
pemakamannya. Anna mengatakan bahwa ia tidak optimis dengan masa depannya
dan menganggap bahwa bunuh diri adalah pilihan terbaik. Akhirnya ia mengambil
pisau dan membuat goresan kecil, kemudian ibunya masuk ke kamarnya. Melihat
pergelangan tangannya berdarah, ibunya berteriak ketakutan. Anna langsung dibawa
ke unit darurat.
Psikiatris bertanya apakah Anna mempunyai niatan untuk melukai dirinya
kembali, Anna menjawab tidak. Anna menjelaskan bahwa dirinya tidak mau bunuh
diri. Ia kemudian berkata ingin menginggalkan unit dan ingin bertemu dengan
ibunya. Anna berjanji bahwa ia tidak akan melukai dirinya dan akan bercerita kepada
psikiatris jika ada pikiran untuk bunuh diri atau perilaku impulsif lainnya. Psikiatris
kemudian memberi Anna obat sedative ringan.
Psikiatris mewawancarai ibu Anna, Mrs. Thompson. Mrs. Thompson
mengatakan bahwa ia dan suaminya memiliki banyak perselisihan, khususnya
mengenai kebiasaan minum alkohol dan status sosial ekonomi suaminya. Mrs.
Thompson pernah memergogi suaminya sedang tidur di sebelah Anna di kamar Anna.
Mrs. Thompson mencurigai bahwa Anna telah menjadi korban penganiayaan seksual
oleh ayahnya. Namun Anna menolak, ia mengatakan bahwa ia ayah tidak melakukan
hal tersebut. Akibatnya, Mrs. Thompson merasa bahwa ia harus membawa Anna
pergi. Mrs. Thompson juga memisahkan Anna dengan adiknya karena merasa bahwa
adiknya tidak pernah patuh. Mrs. Thompson memiliki hubungan yang kurang dekat
dengan adik Anna.
Mrs. Thompson mengakui bahwa dirinya terlalu sibuk bekerja di kantor dan
tidak memberikan perhatian yang cukup pada Anna. Walaupun begitu, mereka berdua
selalu menghabiskan waktu berdua di akhir minggu, meski hal tersebut tidak terjadi
di 3 minggu terakhir. Mrs. Thompson juga melaporkan bahwa sekarang Anna sudah
sedikit berkomunikasi dengan ayah dan adiknya. Anna sudah tidak masuk sekolah 2
minggu dan gagal dalam menjalin hubungan pertemanan. Mrs. Thompson tahu bahwa
Anna memiliki masalah dengan berat badannya, Anna merasa malu dan frustasi. Mrs.
Thompson mengatakan bahwa dirinya sangat shock saat menemukan Anna melukai
dirinya. Kemungkinan bunuh diri tidak pernah terpikirkan oleh Mrs. Thompson.
Dengan ijin Mrs. Thompson, psikiatris juga berbicara dengan konselor di
sekolah Anna. Mrs. Deetz, merasa sedih dengan kondisi Anna dan mengungkapkan
Anna sudah memiliki niat untuk bunuh diri sebulan sebelumnya. Saat itu, tiba-tiba
Anna mendatangi kantor Mrs. Deetz dan mengeluh bahwa dalam pelajaran olahraga
teman-teman mengolok-olok berat badannya. Anna menangis, mengatakan bahwa ia
tidak mau punya teman lagi dan berkata, “Aku berharap aku mati”. Mrs. Deetz
kemudian mengganti jadwal Anna, sehingga Anna tidak apa-apa tidak datang dalam
pelajaran olahraga dan merekomendasikan kegiatan ekstrakurikuler lain. Anna
menolak karena tidak mau mendapat perlakuan diskriminasi lagi. Mrs. Deetz
mengatakan bahwa Anna terlalu fokus dengan penolakan dari teman-temannya.
Psikiatris kembali mewawancari Anna pada hari berikutnya dan mendapat
laporan bahwa Anna tidak berpikiran ingin bunuh diri atau berperilaku impulsif.
Psikiatris memberikan obat anti depresan dengan dosis rendah dan meminta Anna
untuk mengikuti sesi terapi kelompok di pagi dan sore hari. Anna setuju, dan
psikiatris mencatat perkembangan mood dan perilakunya. Psikiatris mencurigai
bahwa Anna mengalami major depressive episode dan perlu dijaga untuk tidak
menonton tayangan mengenai bunuh diri.

B. Analisis Kasus
Terapi keluarga, mengikutsertakan semua keluarga untuk berartisipasi dalam
memberikan kehangatan keluarga pada Anna. Tidak hanya ibu, tetapi juga ayah, dan
adik laki-lakinya. Adanya komunikasi yang aktif dan adanya kegitan yang dilakukan
secara bersama dalam memunculkan harapan dan menghilangkan stressor.
Kemudian saat Anna sudah dapat kembali di rumah, terapi yang dapat dilakukan
bersama ibunya adalah saling berdiskusi mengenai tujuan yang akan dicapai, kapan
Anna kembali bersekolah, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, memperbaiki
suasana perasaan (mood), dan menurunkan berat badan. Mrs. Thompson harus lebih
meluangkan waktunya untuk bersama dengan Anna. Selain itu, diperlukan pula
bantuan psikologi untuk meningkatkan self-esteem dan ketrampilan sosial. Anna
diajarkan bagaimana cara berkenalan dengan orang baru, menjalin hubungan
pertemanan, cara berinteraksi, menyusun kata-kata, perilaku nonverbal, dan bermain
dengan teman-temannya.

KASUS 2
A. Kasus
R adalah remaja berusia 15 tahun, kelas 3 SMP. Anak pertama dari tiga
bersaudara. R berasal dari keluarga menengah ke atas. Sudah lima bulan ini ia mogok
sekolah tanpa alasan yang jelas. Sehari-hari ia hanya berada dirumah, makan, nonton,
dan tidur. Jika ditanya dia tidak menjawab dan hanya menangis. Prestasi R di sekolah
tidak terlalu bagus, nyaris tidak naik kelas. Setelah libur kenaikan kelas, R sempat
bersekolah selama satu bulan kemudian ia mulai menciptakan berbagai alasan untuk
tidak masuk sampai sekarang.

B. Analisis Kasus
1. Pendekatan Psikoanalisis
Asumsi dasar dalam teori ini yaitu tingkah laku manusia ditentukan oleh
impuls, keinginan, motif, dan konflik yang bersifat intrapsikis dan terkadang berada
diluar kesadaran. Faktor intrapsikis dapat menyebabkan perilaku normal dan
abnormal. Dasar dari tingkah laku sudah terbentuk sejak masa kecil melalui kepuasan
atau frustasi kebutuhan dasar. Hubungan awal dengan keluarga, teman sebaya, dan
figur otoritas lainnya sangat diperhatikan. Jadi dalam kasus ini kemungkinan terjadi
karena beberapa faktor diatas seperti salah satunya bagaimana hubungan awal si R
dengan keluarga, teman-temannya, gurunya ataupun figur otoritas lainnya. Kesan
pertama atau persepsi pertama yang R dapat mengenai orangtua, teman-teman, dan
juga gurunya bisa mempengaruhi tingkah lakunya saat ini.
Seperti mengenai ia mogok sekolah dan prestasinya yang rendah. Itu
kemungkinan ada kaitannya dengan hubungannya dengan teman-temannya di sekolah
yang kurang baik. Sehingga perilaku seperti itu yang muncul. Untuk menekan atau
mengalihkan apa yang berada di dalam id maka ia menjadi malas sekolah. Hal
tersebut agar terlihat wajar dan tidak terlalu mencolok bahwa ia mempunyai
hubungan tidak baik dengan teman-temannya. Tapi dalam hal ini bisa juga ditambah
karena faktor gurunya dan juga orangtuanya yang kurang memperhatikan
perkembangan dirinya secara akademis. Sehingga apa yang dia harapkan ternyata
tidak didukung oleh realitas yang ada.
Ia tidak pernah keluar rumah, ia lebih suka beraktivitas di dalam rumah seperti
makan, tidur, dan nonton itu merupakan pengalihan terhadap konflik batinnya. Secara
tidak langsung ia ingin menekan perasaan sedih, marah dan kecewanya terhadap
dirinya yang tidak mampu mengatasi inferioritinya tersebut agar terlihat wajar dalam
realitasnya.
2. Pandangan Behaviorisme
Asumsi dasar dalam teori ini adalah bagaimana respon individu terhadap
stimulus yang ada. Stimulus diberikan secara terus menerus lalu individu akan
mempelajarinya. Dan dalam teori ini juga dijelaskan bagaimana cara
mempertahankan atau menghilangkan perilaku yang muncul dengan reinforcement
dan juga punishment. Dalam pandangan behavior kasus ini bisa terjadi dikarenakan
faktor lingkungan.
Lingkungan keluarga si R misalnya. Si R memang berasal dari keluarga
menengah ke atas. Secara materi ia berlebihan, apapun yang ia mau orangtuanya
dapat mewujudkannya. Sehingga ia termanjakan oleh materi. Saat ia minta ini itu
orangtuanya dapat mewujudkannya. Saat ia membuat kesalahan pun orangtuanya
tidak protes ataupun marah, cuek saja. Tapi dalam lingkungan sekolah ternyata
berbeda. Saat ia mendapat nilai buruk ataupun melakukan kesalahan yang ia dapat
justru hukuman. Tapi saat ia mendapat nilai baik justru tidak ada yang
memperdulikannya terutama orangtuanya. Ini membuat perilakunya menjadi buruk
dan membuat dia mempertahankan perilakunya yang malas sekolah tersebut. Karena
saat ia melakukan perbuatan baik, lingkungan tidak memberikan respon apapun.
Sehingga ia merasa apa yang ia perbuat bukan suatu kesalahan yang besar. Ini
membuat motivasi sekolahnya menjadi rendah. Tidak ada figur yang baik yang dapat
ia contoh. Apalagi saat pertama kali ia membuat alasan untuk tidak masuk sekolah
kemungkinan orangtuanya membiarkannya saja sehingga ia lebih suka berada di
rumah daripada di sekolahnya yang mungkin menurutnya tidak ada yang
memperdulikan perkembangan akademis dia di sekolahnya. Dan kemungkinan
teman-temannya memandang dia juga sebelah mata lantaran ia bodoh dan jarang
berada di kelas untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Ini membuat ia lebih
menyukai beraktivitas di rumah seperti makan, nonton, dan tidur.

3. Pandangan Humanistik
Teori humanistik menekankan pada usaha individu untuk mencapai aspek-
aspek positifnya. Inti dalam teori ini adalah bagaimana cara individu
mengaktualisasikan dirinya. Individu yang telah mencapai aktualisasi diri tidak harus
lebih bahagia, lebih sehat atau lebih populer dari kebanyakan orang, tetapi mereka
menjadi individu yang lebih ingin tahu, toleran, spontan, penuh perhatian dan yang
terpenting adalah mampu menerima diri sendiri dibandingkan orang kebanyakan.
Dalam kasus ini R dalam kebutuhan fisiologis sudah dapat terpenuhi
dikarenakan R berasal dari keluarga menengah ke atas. Tapi secara psikologis
kemungkinan kebutuhannya belum terpenuhi. Ini bisa di lihat dari beberapa faktor
seperti orangtuanya yang terlalu sibuk sehingga kurangnya perhatian dan kasih
sayang orangtua terutama dalam bidang akademisnya. Ini membuat perilakunya agak
menyimpang di sekolah. Ia jadi malas sekolah dan prestasinya pun kurang bagus. Ini
juga membuat dirinya tidak bisa memenuhi kebutuhan pada tingkat selanjutnya
karena terhalang oleh kebutuhan psikologisnya.
Kalau mengenai mengapa si R lebih suka berada di rumah dibanding di luar
rumah kemungkinan dikarenakan ia mempunyai konsep diri yang rendah dikarenakan
prestasinya yang kurang bagus di sekolah, dan juga orangtuanya yang tidak pernah
memperdulikan kondisi psikologisnya. Sehingga ia lebih suka di rumah dibandingkan
di luar rumah. Atau bisa juga dikarenakan faktor teman-temannya yang bukan
memberikan support dan kenyamanan terhadap dirinya yang memang butuh banyak
dukungan secara psikologis. Teman-temannya justu malah membuatnya semakin
menyalahkan dirinya sendiri akan ketidakmampuannya dalam mengaktualisasikan
dirinya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Halgin, P. R., Whitbourne, S. K. (2009). Psikologi Abnormal Perspektif Klinis pada


Gangguan Psikologis. Jakarta: Salemba Humanika

Almasitoh, U. H. (2012). Model Terapi Dalam Keluarga. Jurnal Magistra, Vol. 24,
No. 80, 31-34.

http://bungapsikologi.wordpress.com/2012/03/12/depresi-anak/ diakses tanggal 20


Mei 2014

http://emmakim28.blogspot.com/2012/04/family-therapy-contoh-kasus-dan-
analisa.html diakses tanggal 20 Mei 2014.

http://psikologiabnormal.wikispaces.com/Anorexia+Nervosa diakses tanggal 18 Mei


2014.

Anda mungkin juga menyukai