Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP KELUARGA

1. Definisi Keluarga

Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan

melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan (WHO, dikutip oleh

Setiadi 2008).

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena

hubungan darah, perkawinan dan adopsi, dalam satu rumah tangga

berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta

mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1989 dikutip oleh

Setiadi 2008).

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas

kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu

tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes

RI, 1988 dikutip oleh Setiadi 2008).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah:

a. Ikatan atau persekutuan (perkawinan/kesepakatan).

b. Hubungan (darah/adopsi/kesepakatan).

c. Tinggal bersama dalam satu atap (serumah).

d. Ada peran masing-masing anggota keluarga.

e. Ikatan emosional.

7
2. Fungsi Keluarga

Lima fungsi dasar keluarga ( Friedman 1986 dikutip oleh Sri

Setyowati dan Arita Murwani 2008 ) sebagai berikut:

a. Fungsi afektif

Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga,

yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna

untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan

fungsi afektif tampak pada kebahagian dan kegembiraan dari seluruh

anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan

iklim yang positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan

melalui interaksi dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian,

keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota

keluarga dapat mengembangkan konsep diri positif.

Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam

melaksanakan fungsi afektif adalah

1) saling mengasuh : cinta kasih, kehangatan, saling menerima,

saling mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih

saying dan dukungan dari anggota yang lain. Maka, kemampuan

untuk memberikan kasih sayang akan meningkat, yang pada

akhirnya tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung.

Hubungan intim didalam keluarga merupakan modal dasar dalam

memberi hubungandengan orang lain diluar keluarga /

masyarakat.
2) Saling menghargai, bila anggota keluarga saling menghargai dan

mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu

mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi afektif akan

tercapai.

3) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan

sepakat memulai hidup baru. Ikatan antar anggota keluarga

dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada

berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua harus

mengembangkan proses identifikasi yang positif sehingga anak-

anak dapat meniru tingkah laku yang positif dari kedua orang

tuanya.

b. Fungsi sosialisasi

Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang

dilalui individu, Yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar

berperan dalam lingkungan social (Friedmann 1986 dikutip oleh Sri

Setyowati dan Arita murwani 2008).

Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga merupakan

tempat individu untuk belajar bersosialisasi, misalnya anak yang baru

lahir dia akan menatap ayah, ibu, dan orang-orang yang di sekitarnya.

Kemudian beranjak balita dia belajar bersosialisasi dengan lingkungan

sekitar meskipun demikian keluarga tetap berperan penting dalam

bersosialisasi. Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga

dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga yang


diwujudkan dalam sosialisasi. Anggota keluarga belajar disiplin,

belajar norma-norma, budaya, dan perilaku melalui hubungan dan

interaksi keluarga.

c. Fungsi Reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah

sumber daya manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang

sah, selain untuk memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan

untuk membentuk keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.

d. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memnuhi

kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan

akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Banyak pasangan

sekarang kita lihat dengan penghasilan yang tidak seimbang antara

suami dan istri hal ini menjadikan permasalahan yang berujung pada

perceraian.

e. Fungsi perawatan kesehatan

Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan

praktek asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan

kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan

keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status

kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan

pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga


yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas

kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.

Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut ( Friedman,

1981 dikutip oleh Setiadi 2008 ):

1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya.

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga

secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab

keluarga, maka

Apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat

kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar

perubahannya.

2) Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat.

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk

mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga,

dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai

kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga

maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah

kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga

mempunyai keterbatasan seyogyanya meminta bantuan orang lain

dilingkungan sekitar keluarga.


3) Memberikan keperawatan anggotanya keluarga yang sakit atau

yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau

usianya yang terlalu muda..

Perawatan ini dapat dilakukan dirumah apabila keluarga

memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan

pertama atau ke pelayanan kesehatan untuk memperoleh tindakan

lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.

4) Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan

dan perkembangan kepribadian anggota keluarga..

5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan

lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).

3. Tipe Keluarga

Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari

berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial

maka tipe keluarga berkembang mengikutunya. Agar dapat mengupayakan

peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat kesehatan maka perlu

mengetahui berbagai tipe keluarga.

Berikut ini akan disampaikan berbagai tipe keluarga (Sri Setyowati

dan Arita Murwani, 2008):

a. Tipe Keluarga Tradisional

1) Keluarga Inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami,

istri, dan anak (kandung atau angkat).


2) Keluarga Besar yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain

yang mempunyai hubungan darah, misalnya: kakek, nenek,

keponakan, paman, bibi.

3) Keluarga “Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami

dan istri tanpa anak.

4) “Single Parent”, yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang

tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat

disebabkan oleh perceraian atau kematian.

5) “Single Adult”, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri

seorang dewasa (misalnya seorang yang telah dewasa kemudian

tinggal kost untuk bekerja atau kuliah).

b. Tipe Keluarga Non Tradisional

1) ”The unmarriedteenege mather”

Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak

dari hubungan tanpa nikah.

2) ”The stepparent family”

Keluarga dengan orang tua tiri.

3) “Commune family”

Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada

hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan

fasilitas yang sama, pengalaman yang sama : sosialisasi anak

dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak

bersama.
4) ”The non marital heterosexual cohibitang family”

Keluarga yang hidup bersama dab berganti-ganti pasangan tanpa

melalui pernikahan.

5) ”Gay and Lesbian family”

Seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama

sebagaimana suami – istri (marital partners).

6) ”Cohibting couple”

Orang dewasa yang bersama diluar ikatan perkawinan karena

beberapa alasan tertentu.

7) ”Group-marriage family

Beberapa orang dewasa menggunakan alat-alat rumah tangga

bersama yang saling merasa sudah menikah, berbagai sesuatu

termasuk sexual dan membesarkan anaknya.

8) ”Group netwurk family”

Keluarga inti dibatasi set aturan atau nilai-nilai, hidup bersama

atau berdekatan satu sama lainnya dan saling menggunakan

barang-barang rumah tangga bersama, pelayanan, dan tanggung

jawab membesarkan anaknya.

9) ”Foster family”

Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau

saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak

tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali

keluarga yang aslinya.


10) ”Homeless family”

Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang

permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan

keadaan ekonomo dan atau problem kesehatan mental.

11) ”Gang”

Sebuah bentuk keluarga yang dekstruktif dari orang-orang muda

yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai

perhatian tetap berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam

kehidupannya.

4. Tahap-Tahap Perkembangan Keluarga

Pada makalah ini akan diuraikan tahap perkembangan keluarga

berdasarkan konsep (Duvall 1985 dikutip oleh Setiadi 2008), membagi

keluarga dalam 8 tahap perkembangan, yaitu :

a. Keluarga Baru (Berganning Family)

Pasangan baru menikah yang belum menikah mempunyai

anak. Tugas. perkembangan keluarga tahap ini antara lain adalah :

1) Membina hubungan intim yang memuaskan.

2) Menetapkan tujuan bersama.

3) Membina hubungan dengan keluarga lain, teman dan kelompok

sosial.

4) Mendiskusikan rencana memiliki anak atau KB.

5) Persiapan menjadi orang tua.


6) Memahami prenatal care (pengertian kehamilan, persalinan dan

menjadi orang tua)

b. Keluarga dengan anak pertama < 30 bln (Child-bearing)

Masa ini merupakan transisi menjadi orang tua yang akan

menimbulkan krisis keluarga. Studi Klasik Le Master (1957) dari 46

orang tua ditanyakan 17% tidak bermasalah selebihnya bermasalah

dalam hal :

1) Suami merasakan diabaikan.

2) Peningkatan perselisihan dan argumen.

3) Interupsi dalam jadwal kontinu.

4) Kehidupan seksual dan sosial terganggu dan menurun.

Tugas perkembangan keluarga tahap ini aantara lain adalah :

a) Adaptasi perubahan anggota keluarga (peran, interaksi, seksual

dan kegiatan).

b) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.

c) Membagi peran dan tanggung jawab (bagaimana peran orang tua

terhadap bayi dengan memberi sentuhan dan kehangatan).

d) Bimbingan orang tua tentang pertumbuhan dan perkembangan

anak.

e) Konseling KB post partum 6 minggu.

f) Menata ruang untuk anak.

g) Biaya/dana Child Bearing.

h) Memfasilitasi Role learing anggota keluarga.


i) Mengadakan kebiasaan keagamaan secara rutin.

c. Keluarga dengan Anak Prasekolah

Tugas perkembangannya adalah menyesuaikan pada

kebutuhan pada anak pra sekolah (sesuai dengan tumbuh kembang,

proses belajar dan kontak sosial) dan merencanakan kelahiran

berikutnya.

Tugas perkembangan keluarga psda saat ini adalau :

1) Pemenuhan kebutuhan anggota keluarga.

2) Membantu anak bersosialisasi.

3) Beradaptasi dengan baru anak baru lahir, anak yang lain juga

terpenuhi.

4) Mempertahankan hubungan di dalam maupun di luar keluarga.

5) Pembagian waktu, individu, pasangan dan anak.

6) Pembagian tanggung jawab.

7) Merencanakan kegiatan dan waktu stimulasi tumbuh dan

kembang anak.

d. Keluarga dengan Anak Sekolah (6-13 tahun)

Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :

1) Membantu sosialisasi anak terhadap lingkungan luar rumah,

sekolah dan lingkungan lebih luas.

2) Mendorong anak untuk mencapai pengembangan daya intelektual.

3) Menyediakan aktifitas untuk anak.


4) Menyesuaikan pada aktifitas komuniti dengan mengikutsertakan

anak.

5) Memenuhi kebutuhan yang meningkat termasuk biaya kehidupan

dan kesehatan anggota keluarga.

e. Keluarga dengan Anak Remaja (13-20 tahun)

Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :

1) Pengembangan terhadap remaja (memberikan kebebasan yang

seimbang dan bertanggung jawab mengingat remajaa adalah

seorang yang dewasa muda dan mulai memiliki otonomi).

2) Memelihara komunikasi terbuka (cegah gep komunikasi).

3) Memelihara hubungan intim dalam keluarga.

4) Mempersiapkan perubahan sistem peran dan peraturan anggota

keluarga untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anggota

keluarga.

f. Keluarga dengan Anak Dewasa (anak 1 meninggalkan rumah)

Tugas perkembangan keluarga mempersiapkan anak untuk

hidup mandidri dan menerima kepergian anaknya, menata kembali

fasilitas dan sumber yang ada dalam keluarga, berperan sebagai suami

istri, kakek dan nenek.

Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :

1) Memperluas kelurga inti menjadi keluarga besar.

2) Mempertahankan keintiman.
3) Membantu anak untuk mandiri sebagai keluarga baru di

masyarakat.

4) Mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan

menerima kepergian anaknya.

5) Menata kembali fasilitas dan sumber yang ada pada keluarga.

6) Berperan suami-istri kakek dan nenek.

7) Menciptakan lingkungan rumah yang dapat menjadi contoh

bagi anak-anaknya.

g. Keluarga Usia Pertengahan (Midle age family)

Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :

1) Mempunyai lebih banyak dan waktu kebebasan dalam

mengolah minat sosial dan waktu santai.

2) Memulihkan hubungan antara generasi muda tua.

3) Keakraban dengan pasangan.

4) Memelihara hubungan/konyak dengan anak dan keluarga.

5) Persiapan masa tua/pensiun.

h. Keluarga Usia Lanjut

Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :

1) Penyesuaian tahap masa pensiun dengan cara merubah cara hidup.

2) Menerima kematian pasangan, kawan dan

mempersiapkan kematian.

3) Mempertahankan keakraban pasangan dan saling merawat.

4) Melakukan lfe review masa lalu.


A. Anak Usia Prasekolah

1. Pengertian

Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai

enam tahun (Patmonodewo, 1995). Anak prasekolah adalah pribadi yang

mempunyai berbagai macam potensi. Potensi- potensi itu dirangsang dan

dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal.

Tertunda atau terhambatnya pengembangan potensi- potensi itu akan

mengakibatkan timbulnya masalah. Taman kanak- kanan adalah salah satu

bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini

bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar (Supartini,

2004).

Masa prasekolah menurut Munandar (1992) merupakan masa-masa

untuk bermain dan mulai memasuki taman kanak- kanak. Waktu bermain

merupakan sarana untuk tumbuh dalam lingkungan dan kesiapannya

dalam belajar formal (Gunarsa, 2004). Pada tahap perkembangan anak

usia prasekolah ini, anak mulai menguasai berbagai ketrampilan fisik,

bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri untuk

mengeksplorasi kemandiriannya (Hurlock, 1997).

Tim pengembangan Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK,

1989) dalam Hartono (1997), berpendapat bahwa pada masa prasekolah


akan timbul dorongan yang sangat kuat untuk menuntut pengakuan

dirinya. Kemauannya harus selalu dituruti dan emosinya sering meluap-

luap disertai dengan perilaku agresif yang sangat kuat, terutama kalau

keinginannya tidak dituruti, biasanya anak akan sadar ingin melepaskan

diri dari pengaruh ibunya dan mau berdiri sendiri, sebab didorong oleh

gairah hidup yang positif dan kuat (Hartono, 1997).

Menurut Hurlock (1997) ciri- ciri anak usia prasekolah meliputi

fisik, motorik, intelektual, dan sosial. Ciri fisik anak prasekolah yaitu

otot– otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras.

Anak prasekolah mempergunakan gerak dasar seperti berlari, berjalan,

memanjat, dan melompat sebagai bagian dari permainan mereka.

Kemudian secara motorik anak mampu memanipulasi obyek kecil,

menggunakan balok– balok dan berbagai ukuran dan bentuk. Selain itu

juga anak mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri, dan cemburu. Hal

ini timbul karena anak tidak memiliki hal– hal yang dimiliki oleh teman

sebayanya. Sedangkan secara sosial anak mampu menjalani kontak sosial

dengan orang– orang yang ada di luar rumah, sehingga anak mempunyai

minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang– orang dewasa,

saudara kandung didalam keluarganya.

2. Kcmandirian Anak Usia Prasekolah

Subrata (1997), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

kemandirian yaitu kemampuan anak untuk melakukan aktivitas sendiri

atau mampu berdiri sendiri dalam segala hal. Pada anak usia prasekolah

7
menurut Hartono (1997), potensi yang harus dikembangkan adalah

kemandirian, karena pada usia prasekolah ini anak sudah mulai belajar

memisahkan diri dari keluarga dan orang tuanya untuk memasuki suatu

lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan taman kanak- kanak atau

taman bermain.

Pada umumnya anak mulai memasuki taman kanak- kanak dan

mulai dituntut mengatasi ketergantungan pada orang tua atau

pengasuhnya. Anak mulai belajar menolong dirinya sendiri seperti

menggunakan toilet, memakai baju dan sepatu sendiri (Rumini & Sundari,

2004). Ketidakmandirian seorang anak identik dengan sikap bergantung

yang terlalu berlebihan pada orang- orang di sekitarnya (Hartono, 1997).

Mengharapkan inisiatif dari anak yang tidak mandiri cukup sulit,

karena anak membutuhkan peran orang- orang di sekelilingnya untuk

mengambil inisiatif bagi dirinya. Anak- anak ini biasanya juga

membutuhkan kedekatan fisik dengan orang tua dan pengasuhnya (Coles,

2003). Lebih lanjut oleh Coles (2003) bahwa tanda lain yang bisa muncul

pada anak usia prasekolah yang masih sangat tergantung pada orang tua

adalah seringnya ia menangis ketika ditinggal sebentar saja oleh ibunya.

Untuk mendapatkan bantuan dari orang di sekelilingnya, anak sering kali

cengeng. Kecengengan ini bahkan bisa terbawa hingga masa akhir masa

prasekolah dan menjadikan anak- anak ini rewel, merengek serta sering

melontarkan protes bila menemui hal- hal yang tidak sesuai dengan

keinginannya. Tetapi biasanya orang tua tidak merasa cemas dengan sikap
anak mereka yang tidak mandiri (Hartono, 1997). Pada umumnya sikap ini

terbentuk karena pemanjaan berlebihan dengan cara melayani anak

melewati batas usia, ketika anak seharusnya sudah mulai dapat mengurus

dirinya sendiri, serta kebebasan menjadi manusia dewasa pada saat

nantinya (Hurlock, 1998).

Ciri- ciri kemandirian pada anak usia prasekolah menurut Rumini

dan Sundari (2004) yaitu anak dapat makan dan minum sendiri, anak

mampu memakai pakaian dan sepatu sendiri, anak mampu marawat diri

sendiri dalam hal mencuci muka, menyisir rambut, sikat gigi, anak mampu

menggunakan toilet, dan anak dapat memilih kegiatan yang disukai seperti

menari, melukis, mewarnai, dan di sekolah TK tidak mau ditunggui oleh

ibu atau pengasuhnya.

Kemandirian anak usia prasekolah dapat ditumbuhkan dengan

membiarkan anak memiliki pilihan dan mengungkapkan pilihannya sejak

dini (Hurlock, 1998). Ibu dapat mendorongnya dengan menanyakan

makanan apa yang diinginkannya, pakaian apa yang ingin dipakainya atau

permainan apa yang ingin dimainkan, serta menghargai setiap pilihan

yang dibuatnya sendiri (Hurlock, 1998).

Perkembangan kepribadian anak pada prasekolah sangat

tergantung pada interaksi antar anak dan orang tua. Menurut Subrata

(1997), agar dapat berinteraksi secara intensif, orang tua harus

memperhatikan faktor lingkungan, pemberian pengarahan, menentukan


pilihan, melakukannya sendiri, kebebasan berinisiatif, dan melatih

tanggung jawab.

Anak usia prasekolah membutuhkan kebebasan untuk bergerak

kesana kemari dan mempelajari lingkungan, dengan diberi kesempatan

dan didorong untuk melakukan semuanya dengan bebas maka lingkungan

yang penuh rangsangan ini akan membantu anak untuk mengembangkan

rasa percaya diri. Setelah anak menyadari dirinya sebagai pribadi yang

terpisah dari ibunya, anak tidak lagi dapat menerima kontrol orang tua

dengan mudah anak ingin menegaskan dirinya sebagai pribadi yang

mandiri. Di sisi lain kadang anak belum memahami banyak hal dan sering

ingin melakukan sesuatu diluar batas kemampuan fisik sehingga anak

sering mengucapkan kata “tidak” sebenarnya kata tersebut merupakan

ungkapan dari kemampuan yang baru saja ditemukan, yaitu kemampuan

untuk memilih. Anak suka sekali melatih kemampuan untuk memilih

meskipun anak tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan, misalnya

memilih baju yang akan dipakai. Sebagai orang tua, dapat membantu anak

mengatasi pilihan tersebut dengan menyederhanakan pilihan yang ada,

tetapi anak pada usia prasekolah merasa dapat mandiri maka anak akan

melakukan segala sesuatunya sendiri dan tidak mau kalau dibantu orang

lain. Dalam hal ini orang tua memberi kesempatan pada anak untuk

melakukannya sendiri (Subrata, 1997).

Dalam kemandirian anak usia prasekolah mulai berinisiatif, maka

anak akan merasa penuh energi dan mampu berbuat sesuatu sehingga
ingin bergerak kesana kemari dengan lebih bebas. Oleh karena itu orang

tua harus lebih banyak mendengarkan, sehingga anak merasa dapat

tanggapan yang positif. Orang tua tidak hanya memberikan kebebasan

berinisiatif tetapi juga bisa membantu mengembangkannya agar anak bisa

berlatih tanggung jawab karena pada anak usia prasekolah, kalau tidak

dilatih tanggung jawab akan tetap tergantung pada orang lain dan tidak

dapat mandiri. Oleh karena tanggung jawab ini berkembang sedikit demi

sedikit maka orang tua hendaknya mulai memberikan tanggung jawab atas

tugas- tugas yang sederhana dan terus meningkat sampai anak usia

bertambah (Subrata, 1997).

3. Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak usia

prasekolah

Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemandirian

anak usia prasekolah terbagi menjadi 2 meliputi faktor internal dan faktor

eksternal (Soetjiningsih, 1995). Faktor internal merupakan faktor yang ada

dari diri anak itu sendiri yang meliputi emosi dan intelektual. Faktor emosi

ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak

terganggunya kebutuhan emosi orang tua. Sedangkan faktor intelektual

diperlihatkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang

dihadapi. Sementara itu faktor eksternal yaitu faktor yang datang atau ada

dari luar anak itu sendiri. Faktor ini meliputi lingkungan, karakteristik

sosial, stimulasi, pola asuh, cinta dan kasih sayang, kualitas informasi
anak dan orang tua, dan pendidikan orang tua dan status pekerjaan ibu

(Soetjiningsih, 1995).

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai

atau tidaknya tingkat kemandirian anak usia prasekolah, sehingga

lingkungan yang baik akan meningkatkan cepat tercapainya kemandirian

anak. Selain itu karakteristik sosial juga dapat mempengaruhi kemandirian

anak, misalnya tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda

dengan anak dari keluarga kaya, akan tetapi anak yang mendapat stimulasi

terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak yang

kurang atau mendapat stimulasi. Selain itu anak dapat mandiri akan

membutuhkan kesempatan dukungan dan dorongan peran orang tua

sebagai pengasuh sangat diperlukan, oleh karena itu pola pengasuhan

merupakan hal yang penting dalam pembentukan kemandirin anak

(Soetjiningsih, 1995).

Rasa cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikan

sewajarnya karena ini akan mempengaruhi mutu kemandirian anak bila di

berikan berlebihan anak menjadi kurang mandiri kemungkinan semua itu

dapat diatasi bila interaksi antara anak dan orang tua berjalan dengan

lancar dan baik karena interaksi dua arah anak– orang tua menyebabkan

anak menjadi mandiri. Orang tua akan memberikan informasi yang baik

jika orang tua tersebut mempunyai pendidikan karena dengan pendidikan

yang baik, maka orang tua dapat menerima segala info dari luar terutama

cara memandirikan anak. Status pekerjaan ibu akan mempengaruhi tingkat


kemandirian anak, apabila ibu bekerja keluar rumah untuk mencari nafkah

ibu tidak bisa melihat perkembangan anaknya, apakah anaknya sudah bisa

mandiri atau belum. Sedangkan ibu yang tidak bekerja ibu bisa melihat

langsung kemandirian anaknya dan bisa memandirikan anaknya.

(Soetjiningsih, 1995).

B. Ibu Bekerja

1. Pengertian

Ibu adalah wanita yang melahirkan anak. Peran ibu sangat banyak

yaitu sebagai istri dan ibu dari anak– anaknya, ibu mempunyai peranan

untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak–

anaknya, pelindung, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan

sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya disamping

itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam

keluarganya (Effendi, 1998). Ihromi (1990) mendefinisikan ibu bekerja

sebagai ibu yang melakukan kegiatan, mengeluarkan energi, mempunyai

nilai waktu, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk

mendapatkan penghasilan.

Ibu bekerja merupakan peran sebagai akibat pergeseran nilai.

Dahulu ibu hanya berperan fokus pada anak, sedikit sekali ibu yang

bekerja tapi sekarang ibu mempunyai peran ganda sebagai pengasuh dan

pendidik anak. Baik di desa maupun di kota makin banyak wanita yang

bekerja sehingga keluarga yang bersangkutan membutuhkan ibu pengganti

bagi anaknya. Seringkali nenek atau keluarga dekat lain dapat


menggantikan peran ibu pada saat ibu bekerja, tetapi bila tidak ada

keluarga tersebut maka biasanya anak di percayakan pada pembantu.

Peran pembantu sebagai pengganti ibu cukup penting, mereka ikut

mendidik anak dengan cara mereka sendiri sehingga dapat terjadi hal yang

negatif karena pembantu pada umumnya tidak berpendidikan tinggi dan

mengasuh anak dengan pola asuh yang pernah mereka terima dari orang

tuanya sendiri (Markum, 1991).

Menurut Munandar (1992) ibu bekerja dapat memberikan dampak

negatif maupun positif. Dampak negatif dari ibu bekerja adalah ibu tidak

selalu ada pada saat- saat yang penting pada saat ia dibutuhkan

keluarganya, misalnya jika anaknya mendadak sakit, jatuh kecelakaan dan

sebagainya dan tidak semua kebutuhan anggota keluarga dapat dipenuhi

oleh ibu misalnya suami yang menginginkan masakan istrinya sendiri,

mengantar dan menjemput anaknya pulang sekolah dan kemudian anak

ingin menceritakan pengalaman di sekolah pada ibu. Tetapi ibu sudah

lelah dalam bekerja maka pada waktu pulang kerja ibu enggan bermain

dengan anaknya atau menemani suaminya dalam kegiatan- kegiatan

tertentu (Munandar, 1992).

Sedangkan dampak positif dari ibu bekerja yaitu adanya rasa harga

diri dan nampak dalam sikap yang baik terhadap diri sendiri, kemudian

dalam mendidik anak, ibu- ibu yang bekerja kurang menggunakan teknik

disiplin yang keras atau otoriter mereka lebih banyak menunjukkan dan

lebih banyak pengertian dalam keluarganya dengan anak. Pada umumnya


ibu yang bekerja lebih memperhatikan atau merawat penampilannya, dan

akan menunjukkan penyesuaian pribadi dan sosial yang lebih baik karena

merasakan kepuasan hidup yang juga membuatnya lebih mempunyai

pandangan positif terhadap masyarakatnya (Munandar, 1992).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibu bekerja di

luar rumah adalah seorang wanita yang mempunyai suami dan anak dan

bekerja di luar rumah, dalam waktu tertentu mendapatkan gaji secara

periode. Pekerjaan tersebut juga lebih cenderung kepada peningkatan

kemampuan jiwa atau kemampuan dalam pekerjaan dan sebagainya.

Alasan yang mendorong wanita berkeluarga berjuang untuk memperoleh

kepuasan diri dan untuk menambah penghasilan ekonomi dalam keluarga.

Hal ini akan menimbulkan peran ganda sebagai seorang wanita, sebagai

seorang ibu rumah tangga dan sebagai seorang wanita karier, sehingga

seorang ibu tidak dapat hadir setiap saat untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya terutama dalam hal pengasuhan anak.

2. Peran Ibu terhadap perkembangan Anak Prasekolah

Pada usia prasekolah biasanya anak sudah terampil sehingga anak

tidak perlu dibantu ibu lagi, tetapi harus tetap diawasi pada saat bermain.

Pada aspek fisik, dan motorik tugas ibu adalah meningkatkan aktivitas,

dan untuk aspek kognitif bisa dilakukan dengan banyak bercerita pada

anak (Gunarsa, 1995). Ibu juga bisa melakukan tanya jawab dengan anak

tentang cerita yang didengarnya, dengan demikian anak sudah terlatih

mengungkapkan apa yang hendak diekspresikan (Rumini & Sundari,


2004). Dari aspek emosi sosial ibu perlu mengembangkan inisiatif anak

karena akan mengarah pada kepercayaan dirinya, anak yang lebih punya

inisiatif akan lebih mudah menyesuaikan diri (Coles, 2003).

Dalam melatih kemandirian anak yang penting biarlah anak

melakukan apa saja sejauh itu tidak membahayakan keselamatannya,

peran ibu hanya memberikan keleluasaan pada anak untuk bermain,

sehingga anak dapat belajar bergaul, berinteraksi serta bagaimana

mengekspresikan pendapat, kemandirian dan pengetahuannya agar ibu

bisa melaksanakan tugas sesuai perannya. Tentu saja harus mempunyai

rasa tanggung jawab dan prioritas, terutama pada ibu yang bekerja.

Prioritas menjadi sangat penting karena ibu harus memilih mana yang

harus didahulukan antara pekerjaan dan anak. Jika ibu merasa bekerja itu

penting tentunya ibu tidak bisa merawat anak sepenuhnya, maka ibu harus

mencari pengasuh anak atau orang yang dianggap mempunyai

pengalaman untuk merawat anak jika ibu sedang bekerja (Vuuren, 1993).

3. Peran Ibu Bekerja Dalam Kemandirian Anak

Menurut Vuuren (1993) yang dimaksud dengan ibu yang bekerja

adalah seorang ibu yang tidak hanya mempersembahkan waktu untuk

keluarga, tetapi juga melaksanakan suatu tugas atau kegiatan pada waktu

dan tempat tertentu serta memperoleh gaji. Seorang wanita yang bekerja

dan berumah tangga pada dasarnya tetap menjalankan suatu peran yang

tradisional, yaitu sebagai istri dan ibu bagi anak- anaknya, hanya saja

waktu untuk mengurus rumah tangga bagi ibu yang bekerja tidak
sebanyak waktu yang diberikan oleh wanita yang tidak bekerja (Gunarsa,

2004). Menurut konsep peran moderat wanita mempunyai hak untuk

bekerja di luar rumah, akan tetapi peran dan tugas pokoknya tetaplah

berpegang pada nilai- nilai luhur naluri kewanitaan (Gunarsa, 2004).

Tugas ibu dalam menyiapkan anak agar mampu bersaing dan mandiri di

masa depan perlu mendapatkan perhatian dan waktu yang tidak sedikit,

sementara itu kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ibu

juga cukup besar, wanita juga dituntut untuk selalu mengembangkan diri

dan siap bersaing agar karier terus maju (Peck, 1991).

Vuuren (1993) berpendapat bahwa untuk menghadapi dua tugas

dalam waktu yang bersamaan tentunya bukan sesuatu yang mudah bagi

ibu yang bekerja, kenyataannya wanita karier mampu berperan ganda

sebagai ibu sekaligus wanita karier, yang penting ada kemauan untuk

membagi waktu, karena bagi ibu bekerja dibutuhkan bukan kuantitas

maupun kualitas.

Maka bagi ibu yang bekerja harus mempunyai kiat- kiat dalam

membentuk lingkungan yang kondusif sehingga kemandirian anak dapat

ditingkatkan dengan memperhatikan waktu dan adanya rasa bersalah.

Agar kebutuhan kualitas waktu dapat terpenuhi berarti ibu yang bekerja

harus bisa meluangkan waktunya yang tersisa. Waktu yang ada harus

betul- betul dimanfaatkan dan melibatkan seluruh keluarga. Bila kualitas

waktu bisa dijalankan dengan baik urusan rumah tangga dan pekerjaan

pun bisa tertata dengan baik, dan biasanya ibu bekerja sering mempunyai
rasa bersalah karena mengurangi waktu bersama anak. Bahayanya rasa

bersalah tersebut sering dikompensasikan dengan memanjakan anak

secara berlebihan. Padahal sikap tersebut dapat menyebabkan anak

cenderung manja dan tidak mandiri. Maka lebih baik ibu mengarahkan

pola pikir anak agar anak lebih memahami situasi yang dihadapinya,

misalnya mengapa ibu perlu bekerja (Vuuren, 1993).

Faktor Internal
1. Emosi
2. Intelektual

Faktor Eksternal
1. Lingkungan
Tingkat kemandirian
2. Karakteristik sosial
anak usia prasekolah
3. Stimulasi
4. Pola asuh orang tua
5. Cinta dan kasih sayang
6. Kualitas informasi anak–
orang tua
7. Pendidikan orang tua.
8. status pekerjaan ibu

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

(Sumber : Soetjiningsih, 1995)


5. Peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan kesehatan

keluarga

Dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga, ada

beberapa peranan yang dapat dilakukan oleh perawat antara lain adalah :

a) Pengenal kesehatan (health monitor)

Perawat membantu keluarga untuk mengenal penyimpangan dari

keadaan normal tentang kesehatannya dengan menganalisa data

secara objektif serta membuat keluarga sadar akan akibat masalah

tersebut dalam perkembangan keluarga.

b) Pemberi pelayanan pada anggota keluarga yang sakit, dengan

memberikan asuhan keperawatan kepada anggota keluarga yang

sakit.

c) Koordinator pelayanan kesehatan dan keperawatan kesehatan

keluarga, yaitu berperan dalam mengkoordinir pelayanan kesehatan

keluarga baik secara berkelompok maupun individu.

d) Fasilitator, yaitu dengan cara menjadikan pelayanan kesehatan itu

mudah dijangkau oleh keluarga dan membantu mencarikan jalan

pemecahnnya.
e) Pendidik kesehatan, yaitu untuk merubah perilaku keluarga dari perilaku

tidak sehat menjadi perilaku sehat.

f) Penyuluh dan konsultan, yang berperan dalam memberikan petunjuk

tentang asuhan keperawatan dasar dalam keluarga.

Perawat bekerja sama secara tim dan bekerja sama dengan profesi lain

untuk mencapai asuhan keperawatan keluarga dengan baik ( Setiadi, 2008 ).

B. MASALAH KESEHATAN

1. Asuhan Keperawatan keluarga

Asuhan keperawatan keluarga adalah sutu rangkaian kegiatan yang

diberikan melalui praktik keperawatan dengan sasaran keluarga dengan

tujuan menyelesaikan masalah kesehatan yang dialami keluarga dengan

menggunakan proses keperawatan keluarga ( Setiadi, 2008 )

2. Pengertian Gizi Kurang

Gizi kurang adalah kurang gizi tingkat sedang yang disebabkan oleh

rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi

dalam waktu yang cukup lama (PERSAGI 2009).

Gizi kurang adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh

rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau

gangguan penyakit tertentu ( I Dewa Nyoman Supriasa, Bachtiar Bakri dan

Ibnu Fajar, 2001)

Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau

ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas

berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan.


3. Etiologi

Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia ( Persagi ) tahun 1999 yang

dikutip oleh Nyoman 2001 , gizi kurang disebabkan oleh :

a. Penyebab Langsung

Asupan makanan dan penyakit infeksi dapat secara langsung

menyebabkan gizi kurang. Anak yang asupan makanannya kurang dan

anak yang sering terkena penyakit maka akan terkena gizi kurang.

b. Penyebab tidak langsung

Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang, yaitu:

1). Persediaan makanan di rumah yang kurang memadai.

2). Perawatan anak dan ibu hamil yang kurang memadai.

3). Pelayanan kesehatan yang kurang memadai

4. Tanda dan Gejala

Beberapa tanda gizi kurang adalah :

a. Nafsu makan menurun

b. Anak tampak kurus

c. Wajah seperti orang tua

d. Kulit keriput

e. Anak cengeng dan rewel

f. Rambut kusam dan merah, serta mudah di cabut

g. Mata sayu
5. Pathofisiologi

Proses terjadinya gizi kurang akibat dari faktor lingkungan dan faktor

manusia yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat gizi. Akibat

kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk

memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka

simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemrosotan jaringan. Pada

saat itu orang sudah dapat dikatakan malnutrisi, walaupun baru hanya

ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan terhambat.

Dengan meningkatnya defisiensi zat gizi, maka muncul perubahan

biokimia dan rendahnya zat-zat gizi dalam darah. Apabila keadaan itu

berlangsung lama, maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-

tanda syaraf yaitu kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek, dan lain-lain.

Kebanyakan penderita malnutrisi sampai tahap ini (Solon F.S dan Rodolfo,

1977 yang dikutip oleh Nyoman 2001).

6. Akibat gizi kurang

Akibat gizi kurang terhadap proses tubuh tergantung pada zat-zat gizi

yang kurang. Menurut Sunita Almatsier 2009, kekurangan gizi ini secara

umum menyebabkan gangguan pada :

a. Pertumbuhan

Pertumbuhan anak menjadi terganggu pada zat-zat gizi karana

protein yang ada digunakan sebagai zat pembakar sehingga otot-otot

menjadi lunak dan rambut menjadi rontok.


b. Produksi tenaga

Kekurangan energi yang berasal dari makanan mengakibatkan anak

kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan aktifitas. Anak

menjadi malas dan merasa lemas.

c. Pertahanan tubuh

Sistem imunitas dan antibodi menurun sehingga anak mudah

terserang infeksi seperti pilek dan diare.

d. Struktur dan fungsi otak

Kurang gizi pada anak dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

mental. Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak

secara permanen seperti perkembangan IQ dan motorik yang terhambat.

e. Perilaku

Anak yang mengalami gizi kurang menunjukan perilaku yang tidak

tenang, cengeng dan apatis.

7. Penatalaksanaan Umum

a. Pemberian makanan yang mengandung protein, tinggi kalori, cairan,

vitamin, dan mineral.

b. Penanganan segera penyakit penyerta

c. Berikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya gizi untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak pada orangtua dan anggota

keluarga

d. Sebaiknya tidak memberikan makanan kecil seperti permen, cokelat dan

susu menjelang waktu makan


e. Pada permulaan, makanan jangan diberikan sekaligus banyak, tetapi

dinaikkan bertahap setiap hari (makan dalam porsi kecil tetapi sering)

f. Anjurkan keluarga untuk memberikan makanan yang beraneka ragam

untuk meningkatkan selera makan

g. Anjurkan keluarga untuk membawa anak ke Posyandu atau fasilitas

kesehatan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan

perkembangan anak.
Faktor Lingkungan

Gambar. II. 2 Pathways


Kemiskinan

Ketidakcukupan persediaan Kemrosotan jaringan


pangan Perubahan fungsi tubuh

Asupan makanan Gangguan tumbuh kembang


bergizi kurang memadai

Penyakit infeksi Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari Ketidakmampuan keluarga


kebutuhan tubuh memodifikasi lingkungan

Gizi kurang

Ketidakmampuan
Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah Ketidakmampuan keluarga memberikan
keperawatan keluarga mengambil
keputusan

Ketidakmampuan keluarga
memanfaatkan fasilitas kesehatan Sumber : Nanda (2002), Capernito (2000), Saolon. F .S dan
Rodolpo (1977), PERSAGI (1999)
Kurangnya pengetahuan

Faktor manusia
9. Fokus Intervensi

Diagnosa keperawatan

a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan gizi kurang

(Carpenito, 2006).

b. Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan ketidakmampuan

keluarga merawat anggota keluarga keluarga dengan gizi kurang

(Carpenito, 2000).

c. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan ketakutan dan ansietas

tentang status berat badan akibat gizi kurang (Carpenito, 2006)

d. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan keletihan akibat gizi

kurang (Carpenito, 2006).

Fokus intervensi

1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan gizi kurang

(Carpenito, 2006).

a) Tujuan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi.

b) Tujuan khusus

1) Setelah dilakukan pertemuan selama 1 x 30 menit keluarga dapat

mengenal masalah gizi kurang antara lain :

(a). Pengertian gizi kurang.


(b). Menyebutkan tanda dan gejala gizi kurang.

(c). Menyebutkan penyebab gizi kurang.

Intervensi :

(a). Kaji pengetahuan keluarga tentang masalah gizi kurang.

(b). Diskusikan dengan keluarga tentang pengertian, tanda dan

gejala, penyebab gizi kurang.

(c). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.

(d). Beri pujian positif atas jawaban yang tepat.

(e). Timbang berat badan secara rutin.

(f). Observasi kondisi kulit, rambut, rongga mulut dan keinginan

untuk makan.

2) Memutuskan merawat anggota keluarga dengan masalah gizi

kurang bila tidak ditangani, memutuskan merawat anggota

keluarga dengan gizi kurang.

Intervensi :

(a). Dengan lembar balik jelaskan akibat dari gizi kurang.

(b). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.

(c). Beri pujian positif pada keluarga atas usahanya.

3) Dapat melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi gizi

kurang.

Intervensi

(a). Dengan lembar balik jelaskan cara perawatan gizi kurang.


(b). Dengan lembar balik dan leflet serta benda asli demonstrasi

menu seimbang 4 sehat 5 sempurna

(c). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.

(d). Beri pujian positif pada keluarga atas

usahanya.

4) Dapat memodifikasi lingkungan dengan baik dengan cara

menjelaskan lingkungan yang baik pada penderita.

Intervensi

(a). Diskusikan dengan keluarga tentang kondisi lingkungan yang

aman untuk mengatasi gizi kurang.

(b). Evaluasi penjelasan yarng telah disampaikan.

(c). Beri pujian positif pada keluarga atas usahanya.

5) Dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada.

Intervensi

(a). Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kesehatan yang

tersedia dan manfaat fasilitas kesehatan.

(b). Motivasi keluarga supaya mau ke

puskesmas. (c). Evaluasi penjelasan yang telah

disampaikan.

(d). Beri pujian positif pada keluarga atas jawaban yang tepat.

2. Gangguan tumbuh kembang pada berhubungan dengan

ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan gizi

kurang (Carpenito, 2000).


a) Tujuan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi.

b) Tujuan khusus

1) Setelah dilakukan pertemuan selama 1 x 30 menit keluarga dapat

mengenal tentang masalah pertumbuhan dan pertumbuhan antara

lain :

(a). Pengertian pertumbuhan.

(b). Pengetian perkembangan.

Intervensi :

Kaji pengetahuan keluarga tentang masalah gizi kurang.

(a). Diskusikan dengan keluarga tentang pengertian pertumbuhan

dan perembangan.

(b). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.

(c). Beri pujian positif atas jawaban yang tepat.

2). Dapat mengambil keputusan untuk masalah tumbuh kembang.

Intervensi :

(a). Diskusikan dengan keluarga tentang ciri-ciri gagal tumbuh

kembang.

(b). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.

(c). Beri pujian positif pada keluarga atas usahanya.


3). Merawat anggota keluarga dengan masalah tumbuh kembang.

Intervensi

(a). Jelaskan cara pencegahan gangguan tumbuh kembang.

(b). Jelaskan cara merawat anggota keluarga dengan gangguan

tumbuh kembang.

(c). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.

(d). Beri pujian positif pada keluarga atas usahanya.

4). Dapat memodifikasi lingkungan dalam perawatan tumbuh

kembang dirumah.

Intervensi

(a). Diskusikan dengan keluarga tentang lingkungan yang baik

bagi gangguan tumbuh kembang.

(b). Diskusikan dengan keluarga tentang lingkungan yang tidak

baik bagi gangguan tumbuh kembang.

(c). Evaluasi penjelasan yarng telah disampaikan.

(d). Beri pujian positif pada keluarga atas usahanya.

5). Dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan

untuk mengatasi tumbuh kembang.

Intervensi

(a). Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kesehatan yang

tersedia dan manfaat fasilitas kesehatan.

(b). Motivasi keluarga supaya mau ke puskesmas.

(c). Evaluasi penjelasan yang telah disampaikan.


(d). Beri pujian positif pada keluarga atas jawaban yang tepat.

3. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan ketakutan dan ansietas

tentang status berat badan akibat gizi kurang (Carpenito, 2006)

a) Tujuan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan ganggguan pola tidur tidak

terjadi.

b) Tujuan khusus

Setelah dilakukan pertemuan keluarga dapat mengerti tentang

gangguan pola tidur.

Intervensi :

(a). Berikan pengetahuan tentang Pola tidur.

(b). Tentukan kebiasaan tidur biasanya dan perubahan yang terjadi.

(c). Berikan tempat tidur yang nyaman.

(d). Kurangi kebisingan.

(e). Ajarkan posisi nyaman tidur.

4. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan keletihan akibat gizi

kurang (Carpenito, 2006).

a) Tujuan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan intoleransi aktivitas tidak

terjadi.

b) Tujuan khusus

Setelah dilakukan pertemuan keluarga dapat mengerti tentang

intoleransi aktifitas.
Intervensi

(a). Berikan pengetahuan tentang intoleransi aktifitas.

(b). Kaji kemampuan klien untuk melakukan aktivitas normal.

(c). Berikan lingkungan tenang.

(d). Berikan bantuan dalam dalam aktivitas.

(e). Rencanakan kemajuan aktivitas dengan klien.

Anda mungkin juga menyukai