Kata
Pengantar
S egala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan karunia dan
nikmat kepada kita semua sebagai hamba-Nya yang beriman.
Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad Saw, para sahabat, keluarga, dan umatnya hingga
akhir zaman.
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil merupakan
garda terdepan Kementerian Agama yang memiliki peran strategis
pada masyarakat muslim secara khusus dan masyarakat Indonesia
secara keseluruhan. Mereka merupakan perekat bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karenanya perlu dibekali dengan materi-
materi yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
membangun dan menjaga keharmonisan umat baik secara internal
maupun eksternal. Diharapkan materi tersebut dapat memberikan
manfaat bagi para Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Mudah-mudahan
materi tersebut juga menjadi rujukan dan pegangan bagi para
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan
bimbingan dan penyuluhan agama Islam pada masyarakat. Tentunya
materi yang ada dalam modul ini memiliki keterbatasan, selanjutnya
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil bisa meningkatkan
dan mengembangkan pengetahuannya melalui bacaan-bacaan di
perpustakaan pribadi atau browsing di internet. Langkah seperti ini
tentunya akan membuka cakrawala pengetahuan dan pemikiran
yang lebih luas lagi.
Direktorat Jenderal
MODUL Bimbingan Masyarakat Islam
Kementrian Agama RI
i
Saya mengucapkan terima kasih kepada Kepala Subdit,
Kepala Seksi dan staff pada Subdit Penyuluh Agama Islam yang
telah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan pengadaan
sampai dengan penggandaan delapan Modul Pelaksanaan Tugas
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil. Dan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada
Bapak Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan para direktur
yang telah berkontribusi dalam penulisan modul ini. Tak lupa juga
kami sampaikan ucapan terima kasih kepada tim penulis modul
dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga
Allah Swt. memberikan balasan yang tak terhingga kepada siapa
saja yang telah berkontribusi terhadap modul ini.
Juraidi
Direktorat Jenderal
ii Bimbingan Masyarakat Islam
Kementrian Agama RI MODUL
●●●
Daftar Isi
Kata Pengantar i
1
Modul Pemberantasan Buta Aksara Al-Qur'an 1
• Pendahuluan 3
• Landasan Teori 7
• Bimbingan Penyuluhan Pemberantasan
• Buta Aksara Al-Qur'an 11
• Penutup 19
• Daftar Pustaka 20
2
Modul Keluarga Sakinah 21
• Keluarga Sakinah 23
• Daftar Pustaka 44
3
Modul Pengelolaan Zakat 47
• Pendahuluan 49
• Pengelolaan Zakat 53
• Kegiatan 77
• Daftar Pustaka 83
• Lampiran 85
4
Modul Pemberdayaan Wakaf 95
• Pendahuluan 97
• Wakaf Dalam Islam 99
• Kedudukan Wakaf Dalam Islam 105
• Perkembangan Wakaf di Indonesia 111
5
Modul Penyuluhan Produk Halal 117
• Pendahuluan 119
• Materi Penyuluhan 123
• Produk Halal 123
• Daftar Pustaka 153
Direktorat Jenderal
MODUL Bimbingan Masyarakat Islam
Kementrian Agama RI
iii
6
Modul Kerukunan Umat Beragama 155
• Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama 157
• Keharusan Hidup Rukun 159
• Pengertian Tentang Kerukunan
Umat Beragama 165
• Kerukunan Umat Beragama Dalam
Pandangan Islam 177
• Negara dan Kebijakan Kerukunan
Umat Beragama 187
• Agama-Agama di Indonesia 205
• Isu-Isu Kerukunan Umat Beragama 211
• Penutup 217
• Daftar Pustaka 218
7
Modul Radikalisme dan Aliran Sempalan 223
• Pendahuluan 225
• Radikalisme dan Aliran Sempalan 231
• Kegiatan 305
• Bimbingan dan Penyuluhan Tentang
Radikalisme dan Aliran Sempalan 305
• Penutup 309
• Daftar Pustaka 311
8
Modul Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
dan Penanggulangan HIV/AIDS 315
• Pendahuluan 317
• Materi Penyuluhan 321
• Pendahuluan 351
• Penyuluhan Penanggulangan HIV/AIDS 357
• Daftar Pustaka 377
Direktorat Jenderal
iv Bimbingan Masyarakat Islam
Kementrian Agama RI MODUL
1
●●●●●
Modul
Pemberantasan
Buta Aksara
Al-Qur'an
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 1
Modul
Pemberantasan
Buta Aksara
Al-Qur'an
●●●●●
Tim Penyusun
• Muhammad Siddik
• Dzurrotun Ghola
Pemberantasan
2 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
●●●
Pendahuluan
1
A. Latar Belakang
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 3
Hasil survei Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta menyebutkan
bahwa 65 % umat Islam di Indonesia ternyata masih buta aksara Al-
Qur’an. Data yang berbeda didapatkan dari Rumah Qur’an UIN Sunan
Gunung Jati yang menyatakan bahwa 54 % umat Islam di Indonesia
tidak melek Al-Qur’an. Umat Islam di Indonesia yang mayoritas tidak
lantas membuat seluruh penganutnya mampu memahami ajaran
agama Islam dengan baik dan benar. Bisa kita lihat hasil survey
yang dilakukan (IIQ) sungguh menyedihkan, dengan jumlah yang
mayoritas ternyata masih banyak sekali umat Islam yang belum
mampu membaca Al-Qur’an. Meskipun banyak yang membantah
tapi ini suatu kenyataan di masyarakat kita yang belum sadar akan
pentingnya belajar membaca Al-Qur’an.
Berdasarkan data BPS tahun 2003-2004, posisi kebutaaksaraan
penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas sebesar 15.533.271
orang, terdiri atas perempuan sebanyak 10.643.823 orang (67%) dan
laki-laki sebanyak 5.042.338 orang (32,1 %). Pada usia 10-44 tahun
sebesar 4.410.627 orang. Usia 15-44 tahun sebesar 3.986.187 orang.
Angka buta aksara tersebut masih akan bertambah, mengingat
angka tingkat putus belajar pada kelas-kelas awal (1-3) SD/MI
saat ini masih 200.000 s.d. 300.000 per tahun. Khusus di bidang
pendidikan, data susenas 2003 menunjukan bahwa penduduk
perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah
sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki 911,56%
berbanding 5,43%). Penduduk perempuan yang buta aksara
sebesar 12,285, sedangkan laki-laki 5,82% atau dengan kata lain
bahwa jumlah buta aksara pada perempuan lebih banyak 2 sampai
3 kali lipat dari laki-laki. Jadi jelas, bahwa jumlah buta aksara
perempuan ternyata lebih banyak dari laki-laki.
Dikarenakan Indonesia adalah negara yang beragama, maka
untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bab II
pasal 3 ayat 1.
Dalam pandangan Islam, pendidikan wajib dilaksanakan
sepanjang hayat, sehingga kehidupan bagi seorang muslim adalah
proses dan sekaligus lingkungan pembelajaran. Jika seseorang
berhenti belajar pasti tertinggal dan tergilas zaman. Selanjutnya,
Pemberantasan
4 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama diturunkan
oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw, maka nyatalah
bahwa Allah Swt. telah menekankan perlunya orang belajar baca-
tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Firman Allah Swt. dalam surat
Al-‘Alaq ayat 1-5 :
“Siapa saja membaca satu huruf dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka
baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh
kali lipatnya." (HR. At-Tirmidzi)
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 5
Atas dasar itu, penyusunan Modul Bimbingan Penyuluhan
Pemberantasan Buta Aksara Al-Qur’an ini dibuat untuk Penyuluh
Agama Islam Non PNS sebagai pedoman dan bahan penyuluhan
materi pemberantasan buta aksara Al-Qur’an di wilayah tempat
binaanya.
Pemberantasan
6 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
●●●
Landasan
Teori
2
B imbingan penyuluhan pemberantasan buta aksara Al-Qur’an
merupakan tanggung jawab Kementerian Agama yang dilakukan
oleh Penyuluh Agama Islam PNS dan Non PNS. Pemberantasan
buta aksara Al Quran merupakan salah satu dari 8 bidang yang
harus dikuasai oleh Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama
bersama dengan seluruh komponen penyuluh dalam upaya
pembinaan umat.
Modul ini berupaya untuk meningkatkan kompetensi Penyuluh
Agama Islam Non PNS dalam bidang Bimbingan Penyuluhan
Pemberantasan Buta Aksara Al-Qur’an yang meliputi; pemetaan
masyarakat belajar dan kelompok belajar, pengenalan huruf hijaiyyah,
pengenalan tanda baca, dan metode-metode bimbingan penyuluhan
pemberantasan buta aksara Al-Qur’an.
A. Definisi Bimbingan
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada
individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya. Istilah
bantuan dalam bimbingan tidak diartikan sebagai bantuan
material seperti uang, hadiah, sumbangan, dan lain-lain
melainkan bantuan yang bersifat menunjang bagi pengembangan
pribadi bagi individu yang dibimbing. Bimbingan merupakan
suatu proses yang mengandung pengertian bahwa bimbingan
merupakan kegiatan yang berkesinambungan, bukan kegiatan
seketika atau kebetulan. Dalam proses bimbingan, pembimbing
tidak memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi berperan
sebagai fasilitator perkembangan individu. Dalam bimbingan,
yang aktif dalam mengembangkan diri, mengatasi masalah, atau
mengambil keputusan adalah individu itu sendiri.
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 7
Menurut Abu Ahmadi (1991: 1), bahwa bimbingan adalah
bantuan yang diberikan kepada individu (peserta didik) agar
dengan potensi yang dimiliki mampu mengembangkan diri
secara optimal dengan jalan memahami diri, memahami
lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana
masa depan yang lebih baik. Hal senada juga dikemukakan
oleh Prayitno dan Erman Amti (2004: 99), Bimbingan adalah
proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli
kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-
anak, remaja, atau orang dewasa; agar orang yang dibimbing
dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri
dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang
ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang
berlaku.
B. Definisi Penyuluhan
Pengertian penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu
social yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada
individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang
lebih baik sesuai dengan yang diharapkan (Setiana. L. 2005).
Penyuluhan dapat dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan
untuk orang dewasa. Dalam bukunya A.W. van den Ban dkk.
(1999) dituliskan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan
seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat
sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
Penyuluh adalah orang yang memiliki peran, tugas atau
profesi yang memberikan pendidikan, bimbingan dan penerangan
kepada masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah, dapat
mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Pemberantasan
8 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
D. Pemetaan Masyarakat Belajar Dan Kelompok Belajar
Pemetaan warga belajar dan kelompok belajar ini didasarkan
pada hasil tes kemampuan baca Al-Qur’an dengan klasifikasi
sebagai berikut:
1. Tidak bisa baca Al-Qur’an.
2. Lancar baca Al-Qur’an tapi terbata-bata.
3. Lancar baca Al-Qur’an tetapi tidak sesuai dengan kaidah
tajwid.
4. Lancar baca Al-Qur’an sesuai kaidah tajwid.
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 9
Pemberantasan
10 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
●●●
Bimbingan
Penyuluhan Pemberantasan
Buta Aksara Al-Qur'an
3
A. Materi Pokok
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 11
2. Pengenalan Tanda Baca
Tanda baca huruf hijaiyah disebut harakat. Dulu tidak
ada yang namanya tanda baca dan tanda titik dalam huruf
hijaiyah. Dulu Al-Qur’an ditulis tanpa tanda baca, atau
yang disebut huruf gundul. Jika tanpa tanda baca, apakah
tidak bingung? Bagi yang fasih bahasa arab, ternyata hal
ini tidak masalah. Analoginya begini, orang Indonesia
biasa membaca SMS tanpa huruf vokal, tapi paham apa
maksudnya. Contohnya seperti berikut ini. “q gk tw km lg
dmn”. Anda tahu maksudnya? Tapi, bagi orang luar yang
baru belajar bahasa Indonesia belum tahu bagaimana
cara membacanya. Berhubung banyaknya pemeluk Islam
yang bukan dari bangsa Arab, dan dikhawatirkan terjadi
kesalahan dalam memahami isi Al-Qur’an, akhirnya
dibuatlah tanda-tanda baca yang sampai sekarang masih
berlaku.
3. Tajwid
Selain tanda baca, tajwid juga perlu dipahami dalam
belajar membaca Al-Qur’an. Tajwid merupakan ilmu
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Kalau dalam
bahasa Inggris, ibaratnya ini grammar. Nah, ‘grammar’
dalam bahasa Arab ada bermacam-macam. Ada yang
namanya Idzhar, Idgham, dan lain-lain.
1. Metode Baghdadi
Metode Baghdadi adalah merupakan metode yang
sudah sangat lama dan masih eksis digunakan terutama
di Jawa. Kelemahan metode ini adalah rentang waktu
yang diperlukan rekatif lama. Kelebihan metode ini adalah
terletak pada metode ejaan sehingga seluruh huruf dan
Pemberantasan
12 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
harakat serta panjang pendeknya bisa terbaca dengan
benar dan meminimalisir kesalahan.
Motode ini sangat menekankan perlunya talaqqi dan
syafahi yaitu pembimbing terlebih dahulu megajarkan cara
baca yang baik dan benar kemudian perserta bimbingan
mengikuti sesuai dengan yang diucapkan oleh pembimbing.
Di permulaan pembelajaran, dikenalkan nama-
nama 30 huruf-huruf hijaiyyah tanpa harakat kemudian
secara berutan diperkenalkan huruf-huruf tersebut
yang berharakat fathah, berharakat fathah, kasrah dan
dhammah, berharakat tanwin, berharakat syiddah, bacaan
mad asli, bacaan mad layyin, dan bacaan tajwid lainnya
kemudian dilanjutkan dengan juz ‘amma yang dimulai
dari Surat Al-Fatihah dan berakhir di Surat an-Naba yang
kesemuanya dieja terlebih dahulu.
2. Metode Al Barqi
Al-Barqi adalah merupakan metode dalam mendalami
dan memahami tata bahasa arab dan pemberian makna
dengan efektif dan efisien.
Langkah-langkah penerapan metode Al Barqi yang
dapat dilakukan adalah, sebagai berikut:
a. Langkah pertama: guru meminta siswa untuk
menghafalkan terlebih dahulu beberapa kata
kunci dalam metode Al-Barqy. Kata kunci tersebut
merupakan struktur yang terdiri dari huruf-huruf
hijaiyah. Contohnya: ADA RAJA – MAHA KAYA – KATA
WANA – SAMA LABA. (Halaman 1-6 dalam buku Al
Barqy) Guru membacakan kata-kata kunci tersebut
dengan cara menyanyikannnya kemudian diikuti oleh
peserta didik. Sehingga peserta didik merasa belajar
Al-Quran sangat menyenangkan dengan cara bermain,
bernyayi sambil belajar.
b. Langkah kedua: setelah peserta didik sudah mampu
menghafalkan kata-kata kunci tersebut, kemudian
guru menuliskannya di papan tulis. Contohnya :
ا د ر ج – م ه ك ي – ك ت و ن – س م ل ب
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 13
Selanjutnya guru meminta siswa untuk membacakan
huruf-huruf tersebut, karena sebelumnya peserta didik
sudah menghafalkan kata kunci, maka huruf-huruf
hijaiyyah yang dituliskan guru mampu dibaca peserta
didik dengan sangat lancar sambil menyayikannya.
c. Langkah ketiga : guru meminta siswa untuk
menuliskan kata-kata kunci tersebut dengan huruf
hijaiyah. Sebagai permulaan guru meminta siswa
mengikuti contoh tulisan huruf tersebut (Halaman 1-6
dalam buku Al-Barqy) selanjutnya guru meminta siswa
menutup buku Al-Barqy dan membuka lembaran
baru yang kosong kemudian guru menyebutkan salah
satu huruf dengan acak dan siswa menuliskannya di
lembaran kosong dengan cara guru mendikte dan siswa
menulis sambil menyebutkan huruf yang ditulisnya
berulang kali sampai hafal.
d. Langkah keempat: guru meminta siswa satu persatu
untuk membaca huruf-huruf tersebut dengan cara
guru menunjukan huruf-huruf tersebut dengan tidak
teratur. Contohnya :
ت ب ل م ن د و ك ي ا ك ح م ج س
3. Metode Iqra’
Metode Iqra’ adalah metode pembelajaran membaca
huruf-huruf hijaiyah dari permulaan dengan disertai
aturan bacaan, tanpa makna dan tanpa lagu dengan tujuan
agar pembelajar dapat membaca Al Qur’an sesuai dengan
kaidahnya (Humam, 1990). Huruf-huruf hijaiyah yang
dimaksud adalah huruf Arab dimulai dari Alif ( ) اsampai
huruf Ya ( ) يyang berjumlah 30 huruf.
Metode iqra’ adalah metode cepat belajar membaca
Al-Qur’an yang dalam waktu relatif singkat dapat dengan
mudah mengantarkan anak, remaja, dan orang dewasa bisa
membaca Al-Qur’an. Pemilihan metode iqra’ ini berdasarkan
pada pengalaman di tingkat Diniyah Takmiliyah, peserta
didik lebih cepat bisa membaca daripada metode klasikal,
alasan lain karena Iqra’ memiliki beberapa sifat metode
iqro, yaitu:
Pemberantasan
14 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
a. Bacaan langsung tanpa dieja.
b. CBSA (cara belajar santri aktif), guru hanya penyimak
saja, jangan sampai menuntun, hanya cukup
memberikan contoh pokok saja.
c. Privat/klasikal, penyimakan secara seorang demi
seorang. Atau bila klasikal, santri dikelompokan
berdasarkan persamaan kemampuan. Guru
menerangkan pokok-pokok pelajaran secara klasikal
dengan menggunakan peraga, dan secara acak santri
dimohon membaca bahan latihan.
d. Asistensi, santri yang lebih tinggi jilidnya, dapat
membantu menyimak santri lain.
e. Praktis, langsung menekankan praktek tanpa
mengenalkan istilah-istilah ilmu tajwidnya, jadi
langsung diajarkan bagaimana pengucapannya.
f. Sistematis, disusun secara lengkap dan sempurna
serta terencana, dengan komposisi huruf yang
seimbang. Dimulai dari pelajaran yang amat dasar
dan sederhana, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap
akhirnya ke tingkat suatu kalimat yang bermakna.
g. Variatif, disusun secara berjilid
h. Komunikatif, ungkapan kata rambu-rambu petunjuk
akrab dengan pembaca sehingga menyenangkan bagi
yang mempelajarinya. Begitu pun lafal-lafalnya penuh
dengan irama sehingga enak didengar dan dirasakan.
i. Fleksibel, bisa dipelajari oleh anak usia TK,SD,
SLTP,SLTA, Mahasiswa bahkan orang-orang tua
(manula) dan sebagainya.
4. Metode Qiraati
Metode Qiraati adalah suatu model dalam belajar
membaca Al-Qur’an yang secara langsung (tanpa dieja) dan
menggunakan atau menerapkan pembiasaan membaca
tartil sesuai dengan kaidah tajwid (Zarkasiy, 1989). Ada
dua hal yang mendasari dari definisi metode Qiraati, yaitu
membaca Al-Qur’an secara langsung dan pembiasaan
dalam membaca tartil sesuai dengan kaidah ilmu tajwid.
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 15
5. Metode Manhaji
Metode ini merupakan metode yang sederhana bagi
mereka yang berkeinginan mendalami dan mengkaji Al-
Qur’an. metode yang dibuat oleh M. Anas Adnan adalah
metode yang diawali dengan cara yang sederhana dan
mudah kemudian semakin meningkat.
Hal-hal terkait dengan pembelajaran Al-Qur’an dengan
metode manhaji adalah sebagai berikut:
a. Menyiapkan kelas, idealnya maksimal 15 orang dalam
satu kelas
b. Landasan teori dengan pendekatan CBSA mula-mula
siswa diajak membaca satu ayat kemudian belajar
mengartikan kata demi kata dalam ayat tersebut.
c. Landasan praktek, dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
1) Tahap analitik (Tahap membaca, tahap mengartikan
kata demi kata, tahap memahami ayat)
2) Tahap sintetik (Merangkai antar ayat dengan
ayat sebelumnya)
3) Tahap evaluasi (Evaluasi secara klasikal dan
individual secara sporadis dan spontanitas dari
awal materi hingga akhir dalam tatap muka)
6. Metode Ummi
Nama UMMI sendiri diambil dari bahasa Arab yang
artinya Ibuku. Ibu banyak sekali jasanya kepada kita
yang dengan sabar mengajarkan banyak hal dan bahasa
di dunia. Pendekatan bahasa ibu sangat efektif dalam
mengajar al qur’an yaitu dengan cara langsung tanpa
dieja (direct method), diulang-ulang (repetition), dan penuh
kasih sayang yang tulus, serta kesabaran yang luar biasa
(affection). Nah dengan cara inilah pendekatan metode
UMMI diterapkan oleh para pengajarnya kepada para
siswanya sehingga hasilnyapun sangat luar biasa.
Dalam belajar Al Qur’an Metode UMMI setiap siswa
menggunakan buku Jilid (1-6), Al Qur’an UMMI serta
waqaf ibtida, buku Gharib dan buku Tajwid yang masing-
masingnya wajib dikuasai apabila ingin mengikuti
munaqasyah (sidang tes) dan wisuda UMMI.
Pemberantasan
16 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
D. Fungsi Penyuluh Agama Islam dalam Bimbingan
Penyuluhan Pemberantasan Buta Aksara Al-Qur’an.
1. Fungsi Informatif
Penyuluh menyampaikan tentang banyaknya metode yg
bisa dipakai untuk mengajar baca tulis Al-Qur’an, menjadi
pengurus LPTQ, menyampaikan info-info berkaitan izin
pendirian TPQ
2. Fungsi Konsultattif
Penyuluh menjadi tempat konsultasi jika ada masyarakat
yang bertanya tentang seputar hukum bacaan Al-Qur’an.
3. Fungsi Edukatif
Penyuluh bisa menjadi pengajar Al-Qur’an.
4. Fungsi Advokatif
Penyuluh menjadi penengah jika terjadi masalah perbedaan
bacaan Al-Qur’an, ada mushaf Al-Qur’an yang salah cetak
segera melaporkan ke lajnah pentashih mushaf Al-Qur’an.
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 17
Pemberantasan
18 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
●●●
Penutup
4
D emikian penyusunan Modul Bimbingan Penyuluhan Pemberantasan
Buta Aksara Al-Qur’an ini buat, semoga bermanfaat dan
menambah wawasan bagi orang yang membaca modul ini.
Dan penyusun juga sangat mengharapkan yang membaca modul
ini dapat memberikan masukan atau saran sebagai penambahan isi
dan penguatan konsep modul ini.
Sekian penutup dari penyusun, semoga berkenan di hati dan
kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Pemberantasan
MODUL Buta Aksara Al-Qur'an 19
●●●
Daftar
Pustaka
Pemberantasan
20 Buta Aksara Al-Qur'an MODUL
2
●●●●●
Modul
Keluarga
Sakinah
Keluarga
MODUL Sakinah 21
Modul
Keluarga
Sakinah
●●●●●
Tim Penyusun
• M. Taufik Hidayatulloht
• Mubayyinah
• Naif
Keluarga
22 Sakinah MODUL
●●●
Keluarga
Sakinah
Keluarga
MODUL Sakinah 23
dalam keluarga, mendidik keluarga dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan keluarga, hal-hal ini dijelaskan dalam al-
Quran dan hadis yang merupakan sumber dari hukum Islam.
Sakinah berasal dari kata sakana yang berarti ketenangan
dan ketentraman lawan kata dari kegoncangan. Dalam al-Quran
kata sakinah yang berarti tentram dapat ditemukan dalam surah
ar-Rum ayat 21 yang artinya:
Keluarga
24 Sakinah MODUL
Istilah keluarga sakinah adalah dua kata yang saling
melengkapi, sakinah merupakan kata sifat yang menyifati
keluarga, dengan demikian keluarga sakinah adalah sekelompok
orang yang tinggal bersama dalam keadaan tentram dan tenang
baik lahir maupun bathin yang dilandasi dengan cinta dan kasih
sayang (mawaddah dan rahmah).
Atas pengertian tersebut, maka keluarga sakinah adalah
keluarga yang dibina berdasarkan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hajat hidup lahir batin, spiritual dan materiil yang
layak, mampu menciptakan suasana saling cinta, kasih, saying
(mawaddah wa rahmah), selaras, serasi, dan seimbang, serta
mampu menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai keimanan,
ketaqwaan, amal saleh, dan akhlak mulia dalam lingkup
keluarga dan masyarakat lingkungannya (Subhan. 2004 : 6).
Dapat disederhanakan bahwa keluarga sakînah adalah
keluarga yang berawal dari rasa cinta (mawaddah) yang dimiliki
oleh kedua suami-istri, kemudianberkembang menjadi kasih
sayang (rahmah) yang setiap keluarga ketika anggota keluarga
tersebut semakin bertambah anggotanya, hingga terciptanya
ketenangan dan kedamaian hidup (Chadijah. 2018 : 116).
Setiap keluarga pastinya mendambakan keluarga yang
sakinah di mana seorang suami ataupun istri seharusnya
menemukan ketentraman dan ketenangan hati, kepuasan batin
serta cinta di dalam rumahnya. Demi terwujudnya sebuah
keluarga yang sakinah maka sangat diperlukan kebersamaan
dan sikap saling berbagi antar sesama anggota keluarga terutama
suami dan istri, jika suami dan istri telah mampu bekerja sama
mewujudkan keluarga sakinah maka anak-anak yang lahir
dan tinggal di keluarga tersebut akan menjadi anak-anak yang
memiliki kehidupan yang tenang dan tentram sehingga mudah
bagi mereka untuk belajar dan mewujudkan cita-citanya karena
berada dalam kondisi keluarga yang tentram, bahagia dan penuh
cinta.
Keluarga sakinah menjadi dambaan setiap keluarga, akan
tetapi keluarga sakinah tidak terbentuk tanpa kerjasama setiap
anggota keluarga. Keluarga merupakan pondasi awal kehidupan
manusia,oleh sebab itu pembinaan keluarga merupakan hal yang
sangat penting dan mendapatkan perhatian yang tinggi dalam
Keluarga
MODUL Sakinah 25
Islam karena keluarga sakinah merupakan salah satu pilar
dasar masyarakat Islam, dimana sebuah keluarga merupakan
tempat pengasuhan alami yang sanggup memelihara anak yang
sedang tumbuh yang mampu mengembangkan fisik, daya nalar
dan jiwa mereka.
Berjalannya fungsionalitas keluarga inilah yang menjadi
salah satu pilar dari keluarga sakinah, beserta dengan pilar-
pilar yang lain yang dilakukan dalam jangka panjang serta
memerlukan pengorbanaan dari kedua belah pihak. Hal tersebut
juga dikemukakan oleh Adawiyah (2013 : 101) bahwa keluarga
sakinah tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ditopang oleh
pilar-pilar yang kokoh yang memerlukan perjuangan dan butuh
waktu dan pengorbanan.
Selengkapnya pilar keluarga yang lain dikemukakan oleh
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah. 2017 : 9-10), yaitu :
1. Perkawinan adalah berpasangan (zawai). Suami dan istri
laksana dua sayap burung yang memungkinkan terbang,
saling melengkapi, saling menopang, dan saling kerjasama.
Dalam ungkapan Al Quran, suami adalah pakaian bagi istri
dan istri adalah pakaian bagi suami (QS. Al Baqarah/2:187).
2. Perkawinan adalah ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizhan)
sebagaimana dinyatakan dalam QS. An Nisa (4) : 21 sehingga
bisa menyangga seluruh sendi-sendi kehidupan rumah
tangga. Kedua pihak diharapkan menjaga ikatan ini dengan
segala upaya yang dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga
dengan erat, sementara yang lainnya melemahkannya.
3. Perkawinan harus dipelihara melalui sikap dan perilaku
saling berbuat baik (muasyarah bil ma’ruf) sebagaimana
QS. An Nisa/4:19 bahwa seorang suami harus selalu
berpikir, berupaya, dan melakukan segala yang terbaik
untuk istri. Begitupun sang istri berbuat hal yang sama
kepada suaminya.
4. Perkawinan mesti dikelola dengan musyawarah (QS. Al
Baqarah/2:23). Musyawarah adalah cara yang sehat
untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati
pandangan pasangan, mengambil keputusan yang terbaik.
Keluarga
26 Sakinah MODUL
Adanya sakinah/ ketentraman dalam keluarga merupakan
modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga
bahagia. Dengan adanya rumah tangga bahagia jiwa dan pikiran
menjadi tentram, tubuh dan hati menjadi tenang, kehidupan
dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan
timbul serta ketentraman bagi laki-laki dan perempuan secara
menyeluruh akan tercapai.
Keluarga
MODUL Sakinah 27
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat
pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam
adalah “Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah
sebuah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita masing-
masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh
kebahagian hidup dan membangun keluarga.
Oleh karenanya, perkawinan manusia harus mengikuti tata
cara yang normative dan legal. Dalam perkawinan bukan hanya
menyatukan dua pasangan manusia melainkan mengikatkan
tali perjanjian yang suci atas nama Allah SWT, bahwa kedua
mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah,
tenteram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang
(Abdullah dan Saebani, 2013 : 18-19).
Al-Quran menjelaskan perkawinan dengan kata nikah dan
zawaj, dengan demikian tidak sah perkawinan dengan tanpa
menggunakan dua kata tersebut. Nikah artinya menyatu dan
zawaj artinya keberpasangan, suami dan istri harus menyatu dan
pada saat yang sama mereka menyadari bahwa mereka adalah
dua pribadi namun berpasangan. Cinta bukan pemaksaan
kehendak akan tetapi dialog antara dua orang, sehingga
mengakui bahwa setiap orang memiliki pribadinya sendiri.
Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dimulai
dari pernikahan, pernikahan merupakan embrio awal dari
pembentukan keluarga sakinah, dengan adanya pernikahan
diharapkan dua orang yang berbeda menyatukan visi dan misi
untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia.
Adapun upaya untuk membangun keluarga yang harmonis dan
bahagia tersebut antara lain :
a. Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan
jalan berkembang biak dan berketurunan.
b. Mampu menjaga suami istri untuk tidak terjerumus dalam
perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat serta
menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c. Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa.
Keluarga
28 Sakinah MODUL
d. Mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab antara
suami istri dalam pengelolaan rumah tangga, serta dalam
pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam
mengupayakan keluarga dan pemeliharaan anak-anak.
e. Mematangkan kepribadian dan kedewasaan.
f. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Keluarga
MODUL Sakinah 29
ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi
peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-
amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-
pun termasuk ibadah (sedekah).
Dengan kata lain, sebuah keluarga merupakan sinergitas
yang beririsan satu sama lain dalam sebuah ikatan antar
pribadi, kepentingan dunia dan pengabdian akhirat. Di dalam
keluarga inilah tempat sempurna bagi semai cinta kasih antar
individu, membangun kebersamaan melalui komitmen dan
pengabdian yang tulus untuk mencari ridha Ilahi. Hal tersebut
seirama dengan pendapat Asmaya (2012 : 4) yang menyatakan
penting bagi setiap pasangan untuk menjadikan keluarga
sebagai tempat memadu kasih-sayang, cinta, kebersamaan, dan
ketakwaan kepada Allah SWT. Hal itu relevan dengan konsep
keluarga yang terikat sebuah janji pernikahan suci kepada Allah
SWT dan pasangan.
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah,
adapun hukum menikah dalam Islam adalah antara lain:
a. Wajib. Pernikahan menjadi wajib bagi yang memiliki cukup
kemampuan untuk melakukannya (secara finansial dan
fisikal atau cukup nafkah sandang pangan), dan sangat
kuat keinginannya untuk menyalurkan hasrat seksual
dalam dirinya, sementara ia khawatir terjerumus dalam
perzinahan apabila tidak menikah.
b. Sunnah (Mustahab atau Dianjurkan). Bagi orang yang
berkehendak serta cukup nafkah sandang pangan dan lain-
lainnya.
c. Haram. Pernikahan menjadi haram bagi siapa yang
mengetahui dirinya tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi kewajibannya sebagai suami, baik dalam hal
nafkah lahiriah (yang bersifat finansial) maupun nafkah
batiniah (yakni kemampuan melakukan hubungan seksual)
yang wajib diberikan kepada istri. Haram juga bagi orang
yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahi.
d. Makruh. Pernikahan menjadi makruh bagi orang yang tidak
mampu memberi nafkah.
Keluarga
30 Sakinah MODUL
e. Mubah. Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral,
boleh dikerjakan juga boleh ditinggalkan) apabila tidak ada
dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun
meninggalkannya, sesuai dengan pandangan syariat.
Keluarga
MODUL Sakinah 31
lahir dari mahligai keluarga yang dibina secara Islam akan
merasa lebih aman dan tenteram. Mereka tidak perlu lagi
merasa cemas atau ragu-ragu akan jalinan perkawinan
yang telah dibina oleh kedua orang tuanya. Secara moral,
perasaan yang seperti ini akan membuat anak-anak lebih
kerasan dan di rumah setiap saat.
c. Stabilitas Psikoemosional Cinta dan Kebajikan.
Tercapainya stabilitas psikoemosional, cinta dan kebajikan,
merupakan salah satu fungsi dari dilangsungkannya
keluarga. Hubungan antar anggota dalam keluarga,
terutama antara suami dan isteri bukan semata-mata
karena hubungan saling mem-butuhkan, melainkan
mengandung hubungan spiritual yang menciptakan
serta menumbuhkan rasa cinta kasih sayang, bahagia,
tolong menolong, rela berkorban dan sebagainya. Melalui
hubungan dalam keluarga inilah potensi spiritual, pada
laki-laki dan perempuan dapat tersalurkan secara wajar
dan optimal (penuh).
d. Sosialisasi dan Orientasi Nilai.
Keluarga yang berfungsi sebagai tempat untuk lahirnya
anak-anak yang mungil dan lincah belumlah sempurna
sebelum dilengkapi dengan fungsinya sebagai tempat
pemeliharaan dan pengembangan anak, yakni pendidikan
dan pembentukan watak. Dan yang jauh lebih penting
adalah adanya pentahapan pengenalan nilai-nilai agama dan
budaya, agar nilai-nilai ini dapat tersosialisasi (tertanam)
secara wajar. Hubungan dengan pemantapan kehidupan
beragama, keluarga merupakan institusi yang paling
pertama dan utama bagi anak. Baik dan tidaknya anak
ketika kelak'menginjak dewasa, merupakan cermin dan
pembinaan orang tua di dalam keluarga. Kemudian dalam
salah satu hadist Rasulullah Saw bersabda : "Siapapun yang
telah memelihara tiga anak perempuan atau tiga saudara
perempuan dan memberi mereka pendidikan serta latihan
yang baik, serta perlakukan mereka dengan kebaikan hati
sampai Tuhan menjadikan mereka dapat mandiri, maka
dengan rahmat Tuhan dia memperoleh tempat di surga".
Keluarga
32 Sakinah MODUL
e. Keterjaminan Sosial dan Ekonomi.
Dalam sistem jaminan sosial ekonomi menurut Islam,
keluarga menjadi bagian yang sangat penting. Oleh
karena itu, tugas utama dari seorang suami dalam suatu
keluarga adalah memberikan nafkah bagi keluarga.
Meskipun barangkali pihak istri dari keluarga yang berada,
namun hal ini tidak menggeser kedudukan suami sebagai
penanggungjawab utama nafkah keluarga. Seluruh anggota
keluarga akan bersatu di dalamnya, anggota keluarga
yang telah jompo tidak perlu mengungsi ke tempat-tempat
penitipan bagi mereka. Demikian juga anak-anak yatim
tidak harus dikirimkan ke panti asuhan sepanjang segenap
anggota keluarga menyadari sepenuhnya akan tugas
dan tanggung jawabnya masing-masing sebagai anggota
keluarga. Pemenuhan kebutuhan secara ekonomi seperti
ini bukan merupakan titik perhatian yang paling utama,
tetapi masih ada lagi yang perlu mendapatkan perhatian
lebih serius, yaitu pemenuhan akan kebutuhan emosional.
f. Kesatuan Terkecil dalam Masyarakat.
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai
tanggung jawab untuk menyambung tali persaudaraan bagi
masing-masing anggota masyarakat sekitarnya. Demikian
juga perkawinan yang dilakukan atas anggota keluarga
yang berbeda akan membangun hubungan antar kelompok
dari lingkungan sosial yang berbeda. Keharmonisan suatu
masyarakat lebih banyak ditentukan oleh bagaimana
situasi keluarga yang mendukung masyarakat tersebut.
Apabila masing-masing keluarga sudah menyadari akan
kedudukannya sebagai bagian dari masyarakatnya, maka
tidak mustahil masyarakat akan nampak lebih serasi dan
kondusif (mendukung) untuk lahirnya generasi penerus
yang lebih kuat.
g. Pendorong untuk Berusaha dan Rela Berkorban
Secara tidak langsung, pembentukan keluarga telah
memperkuat rasa tanggung jawab serta mendorong untuk
memperoleh penghidupan yang lebih baik. Firman Allah
SWT yang berhubungan dengan perintah untuk kawin
Keluarga
MODUL Sakinah 33
sebagaimana ditegaskan dalam Surat an-Nur ayat 32 yang
artinva : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (be rkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan dengan kurnianya. Dan
Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui".
Keluarga
34 Sakinah MODUL
dan ketika telah ada buah juga mesti memperhatikan buah
yang telah dihasilkan jangan sampai buah itu rusak begitu juga
seorang suami mesti memperhatikan anak-anaknya. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan suami adalah
memberikan kebutuhan pokok keluarganya, yaitu kebutuhan
jasmani dan rohani. kebutuhan jasmani adalah rumah sebagai
tempat berlindung, pakaian dan makanan sedangkan kebutuhan
rohani adalah terciptanya rasa aman atau tenram dalam sebuah
keluarga. Peranan anggota keluarga dilihat dari hak dan
kewajiban dari masing-masing anggota keluarga, adapun hak
dan kewajiban masing-masing keluarga antara lain:
4.1 Hak dan Kewajiban Bersama Suami dan Istri.
Adapun hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri
adalah:
a. Hak Tamattu’ badani. Seorang suami haruslah
memberikan pelayanan seksual yang baik terhadap
istrinya, begitu juga sebaliknya. Hubungan sebadan
yang baik dan harmonis harus disarkapada saling suka
sama suka dan saling membutuhkan, bukan didasari
paksaan atau keterpaksaan.
b. Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak.
c. Suami istri hendaknya saling menumbuhkan suasana
mawaddah dan rahmah. (ar-Rum: 21)
d. Hendaknya saling mempercayai dan memahami
sifat masing-masing pasangannya. (an-Nisa’: 19 – al-
Hujarat: 10)
e. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang
harmonis. (an-Nisa’: 19)
f. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan.
g. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang
lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
4.2 Kewajiban Suami terhadap istri.
Kewajiban suami terhadap istri ini sekalian akan menjadi
hak untuk istrinya, adapun kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain:
Keluarga
MODUL Sakinah 35
a. Memberikan mahar. Mahar merupakan keadilan
dan keagungan bagi para wanita. Harta suami
adalah harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.” (QS. an-Nisa 4)
b. Memberi nafkah. Memberi nafkah terhadap keluarga
termasuk kepada istri adalah kewajiban suami.
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal,
pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus
diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan
secara wajar.“…dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.” (QS. al- Baqarah 233)
c. Menggauli istri secara baik dan patut “…pergaulilah
mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai
mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS. an-Nisa 19)
d. Berbicara dengan tidak menyakiti hati istri
e. Memberikan perlindungan dari segala sesuatu yang
mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa
dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara
bahaya, sebagaimana firman Allah dalam surat
at-Tahrim ayat 6 yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. at-Tahrim: 6)
f. Memberikan rasa cinta dan kasih sayang terhadap
istrinya
Keluarga
36 Sakinah MODUL
g. Memberikan pengajaran Ilmu Syariat dan Ilmu Akhlak.
Kalau ada istri yang telah menunaikan kewajibannya
dengan baik sebagai maka suami tidak boleh
melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu selama
suami belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
4.3 Kewajiban Istri terhadap Suami
Kewajiban istri terhadap suami ini, sekaligus merupakan
hak-hak suami atas istrinya. Kewajiban tersebut antara
lain:
a. Patuh kepada suami. Diantara kewajiban istri terhadap
suami adalah patuh terhadap suaminya, selama suami
tidak membawanya ke jurang kemaksiatan. Kewajiban
patuh terhadap suami adalah seimbang dengan
kewajiban suami terhadap istri, memberi nafkah,
melindungi, mengajari dan memberi rasa aman.
b. Bergaul dengan suami secara baik. Kewajiban istri
terhadap suami adalah bergaul secara baik, dengan
menerima pemberian suami setulus hati dan penuh
dengan rasa terima kasih, tidak menuntut suami
berlebihan, memberikan pelayanan yang sebaik-
baiknya kepada suami, memberikan perhatian kepada
suami hingga kepada hal-hal yang kecil, menjaga
penampilan di hadapan suami agar selalu terlihat
menarik.
c. Menjaga kehormatan dan harta suaminya bila
suaminya tidak ada di rumah, sebagaimana firman
Allah dalam surat an-Nisa ayat 34 “..Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka)..”
d. Menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak
disukai suaminya.
e. Tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring
teknologi yang semakin canggih izin lebih mudah
dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media
yang lain.
Keluarga
MODUL Sakinah 37
4.4 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap anak
Perjalanan keluarga selanjutnya mengharuskan
ia bertanggung jawab, bahkan mengharuskan ia
menyelengggarakan sosialisasi, memberikan arah
pendidikan, pengisian jiwa yang baik dan bimbingan
kejiwaan. Kewajiban orang tua terhadap anak antara lain:
a. Pendidik yang harus memberi pengetahuan, sikap dan
keterampilan terhadap anggota keluarga yang lain di
dalam kehidupannya.
b. Pemimpin keluarga yang harus mengatur kehidupan
anggota
c. Menjadi contoh yang merupakan tipe ideal di dalam
kehidupan dunia.
d. Penanggung jawab di dalam kehidupan baik yang
bersifat fisik dan material maupun mental spiritual
keseluruhan anggota keluarga.
Keluarga
38 Sakinah MODUL
antar anggota keluarga dalam menyelesaikan setiap permasalahan
yang muncul. Ahmadi (2017 : 67) mengingatkan bahwa keluarga
yang sakinah bukan berarti keluarga yang perjalanannya terus
mulus tanpa konflik atau masalah-masalah dalam rumah tangga
akan tetapi bagaimana seseorang itu dapat menyelesaikan
konflik atau masalah-masalah dalam satu rumah tangga, dan
bagaimana seseorang suami yang diibaratkan sebagai nakhoda
dalam bahtera rumah tangga dapat membawa dan melindungi
keluarganya dari gelombang perjalanan yang entah kapan akan
menghantam keluarga itu. Itulah sebabnya diperlukan kiat-kiat
khusus dalam mencapai tujuan sakinah tersebut.
Di dalam agama Islam terdapat beberapa kiat-kiat untuk
mewujudkan keluarga sakinah yang ideal, mulai dari pemilihan
calon pasangan hingga tata cara bergaul dalam pernikahan,
kiat-kiat tersebut jika dilaksanakan akan menuntun sebuah
keluarga mewujudkan keluarga dambaannya yaitu keluarga
sakinah, kiat tersebut antara lain:
a. Memilih pasangan yang benar. Nabi Muhammad menyatakan
dalam sebuah hadis tentang kriteria pasangan yang dapat
menjadi pertimbangan dalam memilih , hadis tersebut ialah
“Seorang wanita dinikahi berdasarkan empat pertimbangan:
karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya, peganglah yang memiliki agama maka niscaya
tanganmu tidak akan terlepas” (H.R Al-Bukhari, Muslim
dan Abu Daud). Hadis ini menjelaskan kriteria pemilihan
pasangan, empat kriteria ini yakni harta, keturunan,
rupa dan agama merupakan faktor yang memadai untuk
mewujudkan keluarga sakinah, namun yang harus diingat
adalah agama menjadi kriteria utama dalam pemilihan
pasangan.
b. Meminang (Khitbah). Seseorang laki-laki yang ingin
menikahi perempuan pilihannya haruslah meminang
perempuan tersebut kepada walinya. Apabila seorang lelaki
mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih
dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima,
maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda
Keluarga
MODUL Sakinah 39
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang
oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita
atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR.
Al-Bukhari)
c. Melakukan pernikahan yang benar sesuai dengan rukun
dan syaratnya dan memperhatikan semua ketentuan yang
ada di dalam hukum Islam.
d. Masing-masing anggota keluarga mesti memahami betul
peranannya, mulai dari hak-hak ataupun kewajibannya.
Keluarga
40 Sakinah MODUL
b. Segi pengetahuan agama.
Memiliki semangat untuk memahami dan mendalami ajaran
Islam. Taat melaksanakan tuntutan akhlak dan kondisi
rumah yang Islami.
c. Segi pendidikan dalam rumah tangga
Peran orang tua dalam memotivasi pendidikan formal bagi
setiap anggota keluarganya.
d. Segi kesehatan keluarga.
Keadaan rumah memenuhi kriteria keluarga sehat, anggota
keluarga menyukai olah raga sehingga tidak mudah sakit.
Jika ada keluarga yang sakit segera berobat ke rumah sakit.
e. Segi ekonomi.
Suami istri memiliki penghasilan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok, pengeluaran tidak melebihi
pemasukan.
f. Segi hubungan
Hubungan dalam keluarga terbentuk dengan harmonis
penuh cinta dan kasih sayang, saling menghormati,
membantu dan menghargai.
Keluarga
MODUL Sakinah 41
c. Keluarga sakinah II, yaitu keluarga yang dibangun atas
perkawinan yang sah dan disamping telah dapat memenuhi
kebutuhan kehidupannya juga telah mampu memahami
pentingnya pelaksanaan ajaran agama serta kebimbingan
keagamaan dalam serta mampu mengadakan interaksi
sosial keagamaan dan lingkungannya, tetapi belum mampu
menghayati serta mengembangkan nilai – nilai keimanan
dan ketaqwaan dan ahklaqul karimah, infaq, zakat, amal
jariah, menabung dan sebagainya.
d. Keluarga sakinah III, yaitu keluarga yang dapat
memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan,
akhlaqul karimah, sosial psikologis, dan pengembangan
keluarganya, tetapi belum mampu menjadi suri tauladan
bagi lingkungannya.
e. Keluarga sakinah III Plus, yaitu keluarga yang telah
memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan dan
ahklaqul karimah secara sempurna, kebutuhan sosial
psikologis, dan pengembangannya serta dapat menjadi suri
tauladan bagi lingkungannya.
4. Mencari solusi dalam konflik • Q.S an-Nisa (4) ayat 35 dan 128
rumah tangga
Keluarga
42 Sakinah MODUL
8. Implementasi Penyuluhan Keluarga Sakinah
8.1 Informatif
Penyuluh agama honorer sebagai garda terdepan di
masyarakat binaan, harus bisa menginformasikan
kebijakan kebijakan Kementerian Agama seputar
pernikahan contohnya memberikan penyuluhan tentang
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, biaya pernikahan,
penerbitan kartu nikah yang terbaru
8.2 Konsultatif
Penyuluh agama honorer bisa membantu PAIF untuk
memberikan pelayanan konsultasi perkawinan, masalah
masalah keluarga (perceraian dan sebagainya)
8.3 Edukatif
Fungsi edukatif penyuluh agama honorer salah satunya
bisa diimplementasikan dengan penyuluh agama honorer
menjadi fasilitator kursus calon pengantin (Suscatin) atau
Bimbingan Perkawinan (Bimwin)
8.4 Advokatif
Fungsi advokasi bisa dilakukan penyuluh agama honorer
ketika misalnya ada terjadi kasus kasus dalam rumah
tanga, penyuluh bisa menjadi mediator antara dua
pihak yang bertikai. Contoh kasus yang membutuhkan
advokasi adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), pembagian harta warisan, perlindungan anak dan
pencegahan pernikahan dini
Keluarga
MODUL Sakinah 43
●●●
Daftar
Pustaka
Keluarga
44 Sakinah MODUL
Kementerian Agama RI, “Petunjuk Teknis Pembinaan Keluarga
Sakinah”, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, 2011.
Masruri Kartubi, “Baiti Jannati”, (Jakarta: Al Ghazali, 2007),
Mohammad, Rifai. “Ilmu Fiqih Islam Lengkap”, Semarang: Toha Putra,
1978.
Muhammad, Husein. “Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender”, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Mulyati, Sri. “Suami Istri dalam Islam”. Jakarta: PSW UIN Syarif
Hidayatullah, 2004.
Musthofa, Aziz. “Untaian Muiara Buat Keluarga”, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2001.
Rafi Baihaqi, Ahmad. “Membangun Syurga Rumah Tangga”,
Surabaya : Gita Media Press, 2006.
Rahim Faqih, Ainur. “Bimbingan dan Konseling dalam Islam”.
Yogyakarta: UII Press, 2001
Rasjid, Sulaiman. “Fiqh Islam”, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012.
Romlah, Siti. “Karakteristik Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam
dan Pendidikan Umum”. Mimbar Pendidikan No. 1/XXV/2006
Shihab, M. Quraish. “Pengantin Al-Quran”, Jakarta : Lentera hati,
2010.
Zaitunah Subhan, “Membangun Keluarga Sakinah”, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2004)
Keluarga
MODUL Sakinah 45
Pengelolaan
46 Zakat MODUL
3
●●●●●
Modul
Pengelolaan
Zakat
Pengelolaan
MODUL Zakat 47
Modul
Pengelolaan
Zakat
●●●●●
Tim Penyusun
• Edi Wijaya
• Cutra Sari
• Wiwin
• Muhamad Nurdin
Pengelolaan
48 Zakat MODUL
●●●
Pendahuluan
1
A. Latar Belakang Masalah
Pengelolaan
MODUL Zakat 49
Zakat adalah ibadah māliyyah ijtimā’iyyah yang memiliki posisi
sangat penting, strategis dan menentukan; baik dari sisi ajaran
Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat (Didin
Hafidhuddin, 2002: 1). Zakat bagian dari rukun Islam, yang wajib
dilaksanakan oleh umat Islam. Zakat juga merupakan salah satu
instrumen pemerataan pendapatan. Karena itu bila zakat dikelola
dengan baik dan profesional, dimungkinkan dapat membangun
pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic
with equity. Monzer Kahf menyatakan zakat dan sistem pewarisan
Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter. Manfaat
dari zakat harta juga akan selalu beredar dan berkesinambungan,
sehingga benar-benar tersalurkan sesuai dengan esensi zakat itu
sendiri.
B. Regulasi Zakat
• UU NO 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
• PP Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan UU No. 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
• PMA Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan
Cara Perhitungan Zakat Nal dan Zakat Fitrah serta
Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.
• PMA Nomor 69 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 Tentang
Syarat dan Cara Perhitungan Zakat Nal dan Zakat Fitrah
serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.
• PMA Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Tata Caca Pengenaan
Sanksi Administrasi Dalam Pengelolaan Zakat.
• Surat Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS Nomor
001/DP-BAZNAS/XII/2010 tentang Pedoman Pengumpulan
Dan Pentasyarufan Zakat dan Shadaqah Pada Amil Zakat
Nasional.
• Keputusan BAZNAS Nomor KEP.016/BP/BAZNAS/
XII/2015 Tentang Nilai Nishab Zakat Pendapatan Atau
Profesi Tahun 2016.
• Peraturan Perundang-undangan Zakat Pengurang PKP
1. PP RI No. 60 Tahun 2010
2. Peraturan DJP No. PER-33 PJ 2011
Pengelolaan
50 Zakat MODUL
C. Deskripsi Singkat
Dalam modul ini yang dimaksud dengan:
1. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang
muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya sesuai dengan syari’at Islam.
2. Zakat mal adalah harta yang dikeluarkan oleh muzakki
melalui amil zakat resmi untuk diserahlan kepada mustahik.
3. Zakat fitrah adalah zakat jiwa yang diwajibkan atas setiap
diri muslim yang hidup pada bulan Ramadhan.
4. Muzakki adalah seorang muslim atau badan usaha yang
berkewajiban menunaikan zakat.
5. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
6. Nisab adalah batasan minimal harta yang wajib dikenakan
zakat.
7. Haul adalah batasan waktu satu tahun hijriah atau 12
(dua belas) bulan Qomariyah kepemilikan harta yang wajib
dikeluarkan zakat.
8. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut
BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat secara nasional.
9. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ
adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki
tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat.
Pengelolaan
MODUL Zakat 51
b. Memberikan paradigma tentang zakat
Selama ini masyarakat masih memahami zakat hanya
terbatas pada zakat fitrah dan zakat mal, sehingga ketika
muncul pemahaman baru mengenai zakat profesi, banyak
kalangan masyarakat yang belum mau menerimanya.
Dengan demikian, penyuluhan zakat dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif kepada umat
Islam tentang paradigma zakat agar tidak terpesona dengan
kestatisan makna yang hanya terbatas pada zakat mal dan
zakat fitrah.
c. Meningkatkan manajemen pengelolaan zakat
Penyuluh zakat diharapkan dapat mengedukasi para
pengelola zakat tentang manajemen pengelolaan zakat
modern.
d. Terwujudnya kesejahteraan umat dan keadilan sosial
Dengan memaksimalkan potensi zakat sekaligus
meningkatkan produktivitas pengalokasian dana zakat.
Pengelolaan
52 Zakat MODUL
●●●
Pengelolaan
Zakat
Fiqih
2
Zakat
A. Pengertian
Zakat ditinjau dari segi bahasa memiliki banyak arti, yaitu al-
barakatu yang mempunyai arti keberkahan, ath-thaharatu yang
memiliki arti kesucian, al-namaa yang mempunyai arti pertumbuhan
dan perkembangan, dan ash-shalahu yang memiliki arti beres,
kebereresan. Sedangkan zakat ditinjau dari segi istilah terdapat
banyak ulama’ yang mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-
beda , akan tetapi pada dasarnya mempunyai maksud yang sama,
yaitu bahwa zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk
diserahkan kepada seseorang yang berhak menerimanya, dengan
persyaratan tertentu pula (Didin Hafidhuddin, 2002:7).
Menurut Yusuf Qardhawi, dalam al-Qur’an kata zakat disebut
sebanyak 30 (tiga puluh) kali. Sebanyak 8 (delapan) kali terdapat di
dalam surat Makkiyah dan sebanyak 24 kali terdapat dalam surat
Madaniyah. Kata zakat dalam menggunakan isim ma’rifat disebutkan
30 (tiga puluh) kali di dalam al-Qur’an, diantaranya 27 (dua puluh
tujuh) kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan hanya
satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi
tidak di dalam satu ayat, yaitu surat al-Mu'minun : 1-4 (Yusuf
Qardhawi, tt: 4, Muhammad Hasan, 2011: 1).
Pengelolaan
MODUL Zakat 53
Wahbah az-Zuhaili dalam kitab fiqih Islam menjelaskan
beberapa definisi tentang zakat dari empat madzhab fiqih :
Pertama, Madzhab Malikiah mendefinisikan zakat yaitu
mengeluarkan sebagian harta tertentu yang telah sampai pada
nisab kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq), apabila
kepemilikannya haul (genap satu tahun) telah sempurna selain
barang tambang, tanaman dan harta temuan.
Kedua, Madzhab Hanafiah mendefinisikan pemberian hak
kepemilikan atas sebagian harta tertentu kepada orang tertentu
yang telah ditentukan oleh syariaat.
Ketiga, Madzhab Syafi’iyah mendefinisikan zakat yaitu nama
untuk barang yang dikeluarkan untuk harta atau badan kepada
pihak tertentu.
Keempat, Madzhab Hanabilah mendefinisikan zakat yaitu hak
yang wajib pada harta tertentu kepada kelompok tertentu yang
dikeluarkan di waktu tertentu. (Wahbah Zuhaily, 2010: 89).
Pengelolaan
54 Zakat MODUL
QS. Al-Baqarah (2) ayat 110
Artinya: Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(QS. Ar-Ruum [30]: 39).
Pengelolaan
MODUL Zakat 55
Artinya, “Dari Abi Abdurrahman, Abdullah ibn Umar ibnul Khattab
ra, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Islam
didirikan dengan lima perkara, kesaksian bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa di Bulan
Ramadan,” (HR Bukhari).
C. Mustahiq Zakat
Pembahasan tentang kelompok penerima atau sasaran zakat
(sering disebut dalam istilah Arab mustahiq al-zakâh atau mashârif
alzakâh) merupakan salah satu aspek penting dalam persoalan zakat
(Syahril Jamil, 2015: 145-159). Dalam surat at-Taubah ayat 60, Allah
menjelaskan secara rinci tentang orang-orang yang berhak menerima
zakat.
Pengelolaan
56 Zakat MODUL
Ayat di atas menyebutkan bahwa mustahik zakat terdapat
delapan asnaf; Pertama, al-fuqara, merupakan bentuk jamak dari
kata tunggal al-faqir. Secara umum dipahami bahwa fakir merupakan
mereka yang tidak mempunyai harta atau penghasilan yang layak
dalam memenuhi keperluannya; sandang, pangan, tempat tinggal
dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk diri sendiri ataupun
bagi orang yang menjadi tanggungannya (Yusuf Qardhawi, 2011:
513).
Kedua, al-masâkin, bentuk jamak dari kata tunggal al-miskin.
Yaitu orang yang masih memiliki pekerjaan, tetapi penghasilanya
tidak dapat mengikuti kebutuhan hidupnya. Sehingga masih
belum bisa dikatakan baik dari segi makanan, pakaian, dan tempat
tinggalnya (Wahbah Zuhaily, 1997: 281).
Ketiga, al-‘amilin. Jamak dipahami sebagai petugas (pengelola)
zakat. Mereka adalah orang-orang yag ditugaskan oleh imam,
kepala pemerintahan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat,
meliputi pemungutan-pemungutan zakat, para penyimpan, dan
yang mengurus administrasinya. Mereka berhak mendapatkan zakat
tanpa memperdulikan kondisi keuangan pribadi mereka. Sementara
yang ia terima merupakan upah sehubungan dengan pekerjaanya
dalam pengumpulan dana zakat. Adapun upah yang diterima oleh
setiap pekerja ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti
halnya pekerja pemerintah sesuai dengan sifat dan tingkat tanggung
jawab pekerjaan mereka (M. Masykur Khoir, 2010: 112).
Keempat, al-muallafatu qulûbuhum, yaitu orang yang baru
masuk Islam atau masih lemah Islamnya. Fuqaha membagi mualaf
menjadi dua kategori, muslim dan kafir. Mualaf yang muslim meliputi
pemuka atau pemimpin muslim yang punya tandingan pemuka
kafir, pemuka Islam yang ditaati dan berpengaruh terhadap anak
buahnya, mereka yang ada di benteng dan (atau) perbatasan dengan
negara musuh, dan segolongan kaum muslimin yang diperlukan
untuk memungut pajak dan zakat dan menariknya dari orang-orang
yang tidak mau menyerahkannya kecuali dengan pengaruh dan
wibawa mereka. Sedang-kan mualaf yang kafir meliputi; orang-orang
yang ditarik simpatinya agar mau masuk Islam atau beriman dan
orang yang dikhawatirkan akan berbuat bencana sehingga dengan
memberinya zakat, hal itu dapat dihindarkan (M. Masykur Khoir,
2010: 113, Sayyid Sabiq, 1987: 94).
Pengelolaan
MODUL Zakat 57
Kelima, al-riqâb, artinya hamba sahaya. Menurut Imam
Hanbali, riqab adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya
boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh
tuannya, ia diberi zakat sekadar penebus dirinya. Disyaratkan bahwa
yang memiliki budak belian itu bukanlah muzaki sendiri, sebab jika
demikian maka uang zakat itu akan kembali kepadanya (M. Masykur
Khoir, 2010: 114).
Keenam, al-ghârimin, yaitu seseorang yang kurang mampu
dan berhutang untuk keperluan ketaatan kepada Allah atau untuk
hal yang mubah. Seperti untuk kebutuhan atau hajat keluarga, juga
misalnya pengurus masjid atau madrasah yang berhutang untuk
keperluan masjid dan madrasah yang dikelolanya.
Ketujuh, fî sabîlillâh, secara umum adalah ialah jalan yang
dapat menyampaikan sesuatu karena ridha Allah SWT baik berupa
ilmu maupun amal. Fî sabîlillâh sebagai salah satu asnaf zakat yang
delapan memiliki makna yang fleksibel di mata ulama kontemporer.
Ulama kontemporer mencoba memaknai terma fî sabîlillâh tidak
hanya secara sempit, yakni jihad atau perjuangan dalam segi
fisik laiknya perang melawan orang kafir, sebagaimana umumnya
pandangan ulama salaf. Lebih dari itu, ulama kontemporer mencoba
melihat keluasan terma fî sabîlillâh sebagai sebuah kemaslahatan,
kemanfaatan, atau kebaikan umum. Sehingga dengan demikian
jihad atau perjuangan dalam konteks fî sabîlillâh bisa diarahkan
juga untuk perjuangan non fisik, seperti pengembangan pendidikan,
peradaban, hingga kebudayaan Islam secara luas. Di mana itu semua
masih dalam kerangka menegakkan agama Islam yang rahmatan lil
alamin (Siti Tatmainul Qulub & Ahmad Munif: 2015).
Kedelapan, ibn al-sabil, dapat diartikan sebagai orang
yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya. Dalam pandangan golongan
Syafi’iyyah, ibnu sabil terdiri dari dua kelompok. Pertama, orang
yang mau bepergian dan kedua, adalah orang yang dalam perjalanan.
Keduanya berhak meminta bagian dari harta zakat, meskipun
ada orang yang menghutanginya dengan cukup sedangkan dia di
negerinya sendiri mempunyai harta untuk membayar hutangnya itu,
dengan catatan perjalanannya tidak untuk maksiat (Mahyuddin Abu
Zakaria bin Syaraf al-Nawawī, tt: 229).
Pengelolaan
58 Zakat MODUL
D. Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi menjadi dua yaitu zakat fitrah (zakat yang
dibebankan kepada setiap orang mukalaf) dan mal (zakat harta yang
sudah mencapai satu nisab. Penjelasan tentang macam zakat ini
akan dijelaskan di pembahasan berikutnya.
1. Zakat Fitrah
a. Pengertian Zakat Fitrah
Pengertian zakat fitrah secara istilah menurut beberapa
ahli sebagai berikut:
1) Zakat fitrah adalah suatu kewajiban atas orang lain.
(Abu Bakar Jabir al-Jaziri , 1997: 232).
2) Zakat fitrah adalah pengetahuan yang wajib dilakukan
oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari
nafkah keluarga yang wajar dalam malam dan hari raya
idul fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah karena
telah selesai melaksanakan ibadah puasa (Muhammad
Daud Ali: 49).
3) Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan oleh sebab
perubahan dari bulan ramadhan yaitu wajib pribadi
muslim, baik anak kecil, maupun orang dewasa, laki-
laki dan perempuan, merdeka atau budak (Sayyid
Sabiq, 1982: 159).
4) Zakat adalah apa-apa yang dikeluarkan dari hartanya
untuk memenuhi kebutuhan dari saudara-saudaranya
yang kekurangan dengan maksud mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan menjalankan perintah-Nya. Kata
fitrah berarti berbuka dari puasa ramadhan setelah
terbenamnya matahari terakhir ramadhan (Mahmud
Syaltut: 174).
5) Zakat fitrah adalah zakat yang disebabkan oleh futur
(berbuka puasa) pada bulan ramadhan atau disebut
juga dengan sedekah fitrah (Yusuf Qardawi, 1996:
920).
6) PMA No. 52 tahun 2014 zakat fitrah adalah zakat jiwa
yang diwajibkan bagi setiap muslim yang hidup pada
bulan Ramadhan.
Pengelolaan
MODUL Zakat 59
b. Dasar Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah mulai diperintahkan pada tahun kedua
hijriyah yaitu tahun di mana mulai diwajibkannya puasa
pada bulan Ramadhan kepada kaum Muslimin, tepatnya
perintah itu disampaikan oleh Rasulullah SAW pada dua
hari menjelang hari raya Idul fitri pada tahun itu. Zakat
fitrah yang biasanya dibayarkan oleh orang Islam menjelang
hari Raya ‘Idul fitri ini, dalam masalah hukumnya terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Jumhur
ulama mengatakan bahwa hukum zakat fitrah adalah wajib
yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Islam (Ibnu
Rusyd: 272). Dasar hukumnya yaitu QS Al-A’la (87) ayat
14 dan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
‘Abdullah bin Umar.
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan
diri (dengan beriman), QS. Al-A’la [87]: 14).
Pengelolaan
60 Zakat MODUL
c. Syarat Dan Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Berbeda dengan zakat mal, kewajiban zakat fitrah
tidak didasarkan atas berapa banyak harta yang dimiliki,
akan tetapi pada: 1) orang Islam, 2) menjumpai terbenam
matahari pada akhir bulan Ramadhan, yakni sudah
memasuki tanggal satu Syawal dan, 3) memiliki satu sho’
bahan makan pokok yang lebih dari kebutuhan diri dan
tanggungannya untuk sehari semalam pada malam hari
raya (Sayyid Sabiq, 2005: 205).
Sedangkan waktu pembayaran zakat fitrah
sebagaimana dijelaskan dalam hadis yaitu “Rasulullah
SAW. sudah mewajibkan zakat fitrah (yang fungsinya)
untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan
atau ucapan-ucapan keji dan kotor yang dilakukannya
sewaktu mereka berpuasa dan untuk menjadi makanan
bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikan
zakat fitrah itu sebelum shalat Idul Fitri, maka ia diterima
sebagai zakat dan barang siapa yang menunaikannya
sesudah shalat Idul Fitri, maka pemberiannya itu diterima
sebagai shadaqoh saja”. (HR. Abu Daud).
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu
wajib. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Tsuri dan imam Malik
dalam salah satu riwayatnya: “zakat fitrah wajib dengan
sebab terbenamnya matahari pada hari akhir di bulan
Ramadhan, karena zakat fitrah itu diwajibkan untuk
mensucikan orang yang berpuasa, sedangkan puasa
itu berakhir dengan sebab terbenamnya matahari, yang
karenanya wajib zakat fitrah itu”. Sedangkan Abu Hanifah
dan ashabnya, Imam Laits, Abu Tsaur dan Imam Malik
dalam salah satu riwayatnya, berpendapat bahwa zakat
fitrah itu wajib dengan sebab terbitnya fajar hari raya.
Karena zakat fitrah itu ibadah yang berhubungan dengan
hari raya. Tidak boleh kewajibannya mendahului hari raya,
seperti kurban pada hari raya Idul Adha (Yusuf Qardhawi,
1987: 958).
Para ulama juga berbeda pendapat dalam waktu
diperbolehkannya zakat fitrah. Menurut Imam Malik dan
Imam Hambali berpendapat bahwa boleh membayar zakat
Pengelolaan
MODUL Zakat 61
fitrah maksimal dua hari sebelum hari raya (Sayyid Sabiq,
2005: 210). Hal ini berdasarkan dari perkataan Nafi’ yakni:
“Ibnu Umar dahulu menunaikan zakat fitrah satu atau
dua hari sebelum hari raya”. Sedangkan menurut Abu
Hanifah, boleh mempercepat sejak dari permulaan tahun,
karena ia adalah zakat, sehingga menyerupai zakat harta.
Dan menurut Imam Syafi’i, boleh dari permulaan bulan
Ramadhan, karena sebab dari zakat fitrah itu adalah
berpuasa. Jadi, Para ulama fiqh sepakat bahwa zakat fitrah
diwajibkan pada akhir bulan Ramadhan, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang batasan waktunya.
Pengelolaan
62 Zakat MODUL
disebutkan dalam hadis Nabi SAW di antaranya adalah keju,
gandum, kurma dan kismis. Untuk di Indonesia, makanan
pokok untuk pembayaran zakat fitrah adalah beras.
Sebagaimana hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa
Rasulullah menetapkan zakat fitrah dibayarkan pada bulan
Ramadhan dan besarnya adalah satu sho’ untuk setiap
makanan pokok yang digunakan. Sho’ menurut arti bahasa
arab adalah nama ukuran sukatan atau takaran. Karenanya
ukuran zakat fitrah itu ialah ukuran takaran dan bukan
ukuran timbangan. Satu sho’ ini sama dengan kira-kira 4
mud (kira-kira 3,1/3 liter) (Moh. Rawi Latief dan A. Shomad
Robith, 1997: 132).
Dalam hal mengartikan kata sho’ ini ada beberapa
pendapat yang berbeda, antara lain; menurut madzhab
Hanafi satu sho’ adalah 3.800 gram atau 3,8 kilogram,
menurut madzhab Maliki satu sho’ atau empat mud adalah
27 ons atau 2,7 kilogram, menurut madzhab Syafi’i adalah
adalah 2.751 gram atau 2,75 kilogram, menurut madzhab
Hanbali satu sho’ sama dengan 2.751 gram atau 2,75
kilogram (Wahbah Zuhaily: 910). Sedangkan pada umumnya
di Indonesia, berat satu sho’ dibakukan menjadi 2,5 kg.
2. Zakat Mal
a. Definisi Zakat Mal
Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan zakat mal (harta
benda ) yaitu zakat yang dikeluarkan dari harta benda
tertentu misalnya emas, perak, binatang, tumbuhan (biji-
bijian), dan harta perniagaan (Zainuddin bin Muhammad
Al–Ghazali: 34).
b. Syarat-Syarat Wajibnya Zakat Mal
Menurut Wahbah al-Zuhaily, seseorang baru diwajibkan
mengeluarkan zakat atas hartanya apabila; 1) merdeka, 2)
Islam, 3) baligh dan berakal, 4) harta yang dikeluarkan adalah
harta yang wajib dizakati, 5) harta tersebut merupakan
harta miliknya secara penuh, 6) sudah mencapai satu nisab,
dan 7) mencapai satu haul (untuk barang-barang tertentu).
(Wahbah Zuhaily, 2005: 98-106).
Pengelolaan
MODUL Zakat 63
c. Jenis zakat mal antara lain:
1) Zakat Binatang Ternak
Binatang ternak adalah binatang yang dengan
sengaja dikembangbiakkan agar menjadi tambah
banyak. Pada binatang ternak diberlakukan nishab dan
haul. Menurut dalil yang ada bahwa binatang ternak
yang dizakati itu hanya tiga jenis, yaitu: unta, sapi, dan
kambing. Adapun selain dari tiga macam tersebut baru
ditunaikan zakatnya bila dijadikan barang tijarah.
Zakat unta ketentuannya sebagai berikut:
5 ekor – 9 ekor 1 ekor kambing
10 ekor – 14 ekor 2 ekor kambing
15 ekor – 19 ekor 3 ekor kambing
20 ekor – 24 ekor 4 ekor kambing
1 ekor unta unta betina (berumur
25 ekor – 35 ekor
1 tahun lebih)
1 ekor unta unta betina (berumur
36 ekor – 45 ekor
2 tahun lebih)
1 ekor unta betina (berumur
46 ekor – 60 ekor
3 tahun lebih)
1 ekor unta betina (berumur
61 ekor – 75 ekor
4 tahun lebih)
2 ekor unta betina (berumur
76 ekor – 90 ekor
2 tahun lebih)
2 ekor unta betina (berumur
91 ekor – 120 ekor
3 tahun lebih)
Pengelolaan
64 Zakat MODUL
Contoh: Pak Asep memiliki 140 ekor unta, maka
zakatnya adalah 2 ekor unta betina berumur 3 tahun
dan 1 ekor unta betina berumur 2 tahun. Sebab, 140
ekor terdiri dari 50 ekor x 2, dan 40 ekor x 1.
Zakat sapi ketentuannya sebagai berikut:
1 ekor sapi jantan/betina
30 ekor – 39 ekor
berumur 1 tahun
1 ekor sapi jantan/betina
40 ekor – 59 ekor
berumur 2 tahun
2 ekor sapi jantan/betina
60 ekor – 69 ekor
berumur 1 tahun
1 ekor sapi berumur 1 tahun dan
70 ekor – 79 ekor
1 ekor sapi berumur 2 tahun
80 ekor – 89 ekor 2 ekor sapi berumur 2 tahun
Pengelolaan
MODUL Zakat 65
Nisab kambing atau domba adalah 40 ekor,
artinya bila seseorang telah memiliki 40 ekor kambing
atau domba, maka ia telah terkena wajib zakat.
Jawab:
Ketentuan zakatnya:
Nisab zakat emas : 85 gram
Jumlah perhiasan emas : 150 gram
Yang dipergunakan : 40 gram
Emas yang disimpan : 150 – 40 = 110 gram
Pengelolaan
66 Zakat MODUL
• 110 gram x 2,5 % = 2,75 gram. Atau jika dinilai
dengan uang:
• Jika harga 1 gram emas adalah Rp 500.000,-,
maka 110 gram emas adalah Rp 55.000.000,-
maka zakatnya adalah Rp 55.000.000,- x 2,5% =
Rp 1. 375.000,-
• Jadi zakatnya adalah 2, 75 gram emas atau uang
sebesar Rp 1.375.000,-
Contoh:
Bapak Andi memiliki toko kelontong dengan set modal
sebanyak Rp 20.000.000,-. Setiap bulan keuntungan
bersihnya sebesar Rp 3.000.000,- pak Andi mempunyai
Pengelolaan
MODUL Zakat 67
piutang sebesar Rp 3.000.000,- dan hutang yang harus
dibayar sebesar Rp 5.000.000,-. Berapa zakat yang
harus dibayarkan
Jawab:
Ketentuan zakatnya:
• Zakat dagang dianalogikan kepada zakat emas,
nisabnya adalah 85 gram emas mencapai haul
dan besar zakat 2,5 %.
• Aset atau modal yang dimiliki = Rp 20.000.000,-
• Keuntungan setiap bulan = Rp 3.000.000,- x 12
= Rp 36.000.000,-
• Piutang sejumlah = Rp 3.000.000,-
• Hutang sejumlah = Rp 5.000.000,-
• Penghitungan zakatnya adalah:
(Modal + untung + piutang) – (hutang) x 2,5 %
= Zakat
(Rp 20.000.000,- + Rp 36.000.000,- + Rp
3.000.000,-) – (Rp 5.000.000,-) x 2,5 %
= Rp 1.350.000,-
4) Zakat Pertanian
Tanaman yang wajib dizakati adalah biji-bijian
yang menjadi bahan makanan pokok, seperti gandum,
jagung, padi, kedelai, dan kacang tanah. Menurut
hukum dan pembahasannya zakat tanaman meliputi
hal-hal berikut:
• Semua yang ditanam, baik hasil, buah, dan bunga
atau tanaman hias maupun yang sejenisnya
yang memiliki harga dan manfaat secara syar’i
termasuk kedalam kategori zakat pertanian.
• Zakat tanaman ditunaikan pada waktu panen dan
tidak disyariatkan haul karena pertumbuhan harta
telah sempurna pada jangka waktu pertanian.
Pengelolaan
68 Zakat MODUL
• Bisa dibayar dengan uang dengan harga yang
sesuai dengan harga pasar waktu tiba kewajiban
membayar zakat.
• Jumlah produksi boleh dipotong pembiayaan
pertaniaan, seperti pupuk dan buruh. Boleh
memotong jumlah produksi (harga produksi)
dengan pelunasan hutang jangka pendek.
Contoh:
Bapak Ahmad seorang petani, ia memiliki sawah yang
luasnya 2 Ha dan ia tanami padi. Selama pemeliharaan
ia mengeluarkan biaya sebanyak Rp 5.000.000,-.
Ketika panen hasilnya sebanyak 10 ton beras. Berapa
zakat yang harus dikeluarkan?
Jawab:
Ketentuan zakatnya:
• Nisab 653 kg beras
• Tarifnya 5 %
• Waktunya: ketika menghasilkan (panen)
• Zakatnya adalah:
Hasil panen 10 ton = Rp 10.000 (melebihi nisab)
10.000 x 5% = 500 kg
Pengelolaan
MODUL Zakat 69
Jika dirupiahkan:
10.000 kg x Rp 10.000,- = Rp 100.000.000,-
100.000.000 x 5 % = Rp 5.000.000,-
6) Zakat Profesi
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru
dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan al-Sunnah,
tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai
zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal
Pengelolaan
70 Zakat MODUL
tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai
zakat profesi ini. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada
masa Nabi dan imam mujtahid. Sedangkan hukum
Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi ketika hukum itu ditetapkan.
Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa
atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi
dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan
zakat profesi tidak begitu dikenal (tidak familiar) dalam
Sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik. Dan adalah wajar
apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan
pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama
yang mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara
apriori tidak mewajibkannya (Agus Marimin dan Tira
Nur Fitria, 2015: 51).
Zakat profesi muncul pada tahun 60-an akhir pada
abad ke-20 yang lalu, ketika mulai muncul gagasan
zakat profesi ini. Penggagas zakat profesi adalah Syeikh
Yusuf al-Qaradhwi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah,
yang cetakan pertamanya terbit tahun 1969. Namun
nampaknya Yusuf al-Qardhawi dalam hal ini mendapat
pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul
Wahhab Khallaf dan Syeikh Abu Zahrah. Kajian dan
praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-
kira sejak tahun 90-an akhir dan awal tahun 2000-an.
Khususnya setelah kitab Yusuf al-Qardhawi tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin
Hafidhuddin dengan judul Fikih Zakat yang terbit
tahun 1999. Sejak saat itu zakat profesi mulai banyak
diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia,
baik BAZ (badan amil zakat) milik pemerintah, maupun
LAZ (Lembaga ‘Amil Zakat) milik swasta (Agus Marimin
dan Tira Nur Fitria, 2015: 51).
Pengelolaan
MODUL Zakat 71
c. Kaidah menghitung zakat profesi:
• Menghitung dari pendapatan kasar (brutto).
Besar zakat profesi = pendapatan x 2,5 %
• Menghitung dari pendapatan bersih (netto).
Besar zakat profesi = (pendapatan total –
pengeluaran per bulan) x 2,5%
• Menurut Yusuf Al-Qardhawi sangat
dianjurkan untuk menghitung zakat dari
pendapatan kasar (brutto), untuk lebih
menjaga kehati-hatian.
Contoh 1
(penghitungan zakat berdasarkan penghasilan
netto):
• Jono adalah seorang karyawan swasta yang
memiliki seorang istri dan dua orang anak.
Penghasilan bersih per bulan Rp 1.500.000,-.
Bila kebutuhan pokok keluarga Jono kurang
lebih Rp 625.000,- per bulan maka kelebihan
dari penghasilannya adalah (Rp 1.500.000 –
Rp 625.000) = Rp Rp 975.000
• Saldo rata-rata per bulan Rp 975.000 maka
jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan
dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp
11.700.000 (lebih dari nishab)
• Maka Jono berkewajiban membayar zakat
sebesar Rp 11.700.000 x 2,5 % = Rp 292.500,-
Contoh 2
(penghitungan zakat berdasarkan penghasilan
brutto):
- Hamidah seorang ASN memiliki pendapatan
bulanan Rp 6.000.000,-
- Maka besar zakat yang harus dibayar
= Rp 6.000.000 x 2,5 % = Rp 150.000,-
Pengelolaan
72 Zakat MODUL
Materi Manajemen
Pengelolaan Zakat
Pengelolaan
MODUL Zakat 73
dapat berdiri sendiri-sendiri dalam proses pengelolaan zakat karena
keduanya menyadari adanya tujuan penting dari pengelolaan zakat
itu, yaitu pemberdayaan umatsuatu tujuan yang menjadi idaman oleh
masyarakat manapun. Di negara lain, pengelolaan zakat memiliki
beberapa model. Arab Saudi, Pakistan, dan Sudan memiliki undang-
undang wajib zakat berikut institusi yang menanganinya. Sementara
di Kuwait dan Yordania, zakat diterapkan secara sukarela, tidak
diatur undang-undang khusus. Indonesia memilih caranya sendiri
yang lebih merupakan "jalan tengah", yakni meskipun telah memiliki
undang-undang yang mengatur pengelolaan zakat tetapi tidaksecara
tegas mewajibkan zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh dua
lernbaga pengelola zakat, yaitu Badan Ami! Zakat Nasional (BAZNAS)
sebagai lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dan
Lembaga Ami! Zakat (LAZ) sebagai lernbaga pengelola zakat yang
dibentuk oleh masyarakat.
Pengelolaan
74 Zakat MODUL
Tugas dan Fungsi BAZNAS Pembentukan BAZNAS sendiri dinilai
sebagai sebuah keniscayaan mengingat pentingnya sektor zakat
yang menjadi area kerjanya. Pengelolaan zakat bukanlah perkara
yang mudah mengingat bangsa Indonesia sendiri, terutama yang
muslim, belum sepenuhnya menyadari letak urgensinya zakat dan
pendayagunaannya. Wajarlah jika potensi zakat yang ada belum
terserap sepenuhnya dan hanya menjadi kebanggaan karitatif
semata. BAZNAS merupakan lembaga pengelola zakat yang memiliki
tugas utama pengelolaan zakat secara nasional. Dalam rangka
melaksanakan tugasnya sebagai lembaga pengelola zakat nasional,
BAZNAS mejalankan fungsi-fungsi utama, sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 23/2011 adalah sebagai berikut:
Pengelolaan
MODUL Zakat 75
Standar kelembagaan LAZ tersebut didukung oleh kriteria-
kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya adalah:
1. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.
2. Berbentuk lembaga berbadan hukum
3. Mendapat rekomendasi dan BAZNAS.
4. Memiliki pengawas syariat
5. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya.
6. Bersifat nirlaba
7. Merniliki program untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat.
8. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Pengelolaan
76 Zakat MODUL
●●●
Kegiatan
3
A. Kompetensi Penyuluh Zakat
Pengelolaan
MODUL Zakat 77
C. Pemetaan
1. Masyarakat Pedesaan
Karakteristik masyarakat pedesaan yaitu:
a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal
antara ribuan jiwa.
b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuan
terhadap kebiasaan.
c. Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum
yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti : iklim,
keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang
bukan agraris adalah bersifat sambilan.
d. Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya
mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar
batas wilayahnya.
e. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan.
f. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari
pertanian.
g. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata
pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
Pengelolaan
78 Zakat MODUL
2. Masyarakat Perkotaan
Karakteristik masyarakat perkotaan yaitu:
a. Kehidupan keagamaan berkurang dibandingkan dengan
kehidupan keagamaan di desa.
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting
disini adalah manusia perorangan atau individu.
c. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih
tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan
juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga
desa.
e. Interaksi yang lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor
kepentingan daripada faktor pribadi.
f. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting,
untuk dapat mengejar kebutuhan individu.
g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di
kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima
pengaruh.
1. Cendikiawan
Penyuluh zakat dapat menyampaikan materi tentang zakat
fitrah, dan zakat mal seperti zakat profesi, zakat tijarah, zakat
terkait deposito dan lain sebagainya.
Pengelolaan
MODUL Zakat 79
2. Generasi muda
Penyuluh zakat dapat menyampaikan materi tentang zakat
fitrah dan zakat mal seperti zakat profesi, zakat tijarah; kuliner
franchise, e-commerce, dan lain sebagainya.
3. Majelis Taklim
Penyuluh zakat menyampaikan materi tentang zakat fitrah dan
zakat mal; seperti zakat emas, perak dan logam mulia, zakat
tijarah bisnis online, dan materi zakat lainnya.
Pengelolaan
80 Zakat MODUL
E. Evaluasi
Jawaban
Pengelolaan
MODUL Zakat 81
4. Jika beras raskin yang dipakai untuk zakat fitrah itu tidak enak,
bau atau tidak layak dimakan maka hukumnya tidak boleh, tapi
jika mutu berasnya dipandang masih baik dan layak dimakan
maka hukumnya boleh. (Kifayatul Akhyar, juz 1/189)
5. Mayoritas ulama berpendapat bahwa penyaluran zakat fitrah
harus di tempat ia tinggal dan tempat ia mencari nafkah. Namun
menurut madzhab Hanafi zakat fitrah boleh disalurkan ke
daerah lain. (Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 217)
6. Orang yang lupa mengeluarkan zakat pada waktunya maka wajib
dikeluarkan ketika ia ingat. Orang yang lupa mengeluarkan
zakat fitrah dipandang tidak termasuk maksiat karena hal itu
termasuk uzur. (I’anah at-Tholibin, juz 2/174)
Pengelolaan
82 Zakat MODUL
●●●
Daftar Pustaka
Pengelolaan
MODUL Zakat 83
Hasan, Muhammad, 2011, Manajemen Zakat, Yogyakarta: idea Press.
Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid, terjemahan, Semarang: Toha Putra.
Imam Syafi’I Abu Abdullah Bin Muhammad Idris, 2005, Mukhtashar
Kitab Al-Umm Fiil Fiqhi, alih bahasa oleh Mohammad yasir Abd
Muthallib,dkk, Jakarta: Pustaka Azzam
Ja’far, Muhammad, 2003, Tuntutan Ibadah Zakat, Puasa, dan Haji,
Jakarta: Kalam Mulia.
Jamil, Syahril, 2015, Prioritas Mustahiq Zakat Menurut Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, jurnal Istinbath/No.16/Th.
XIV/Juni/2015
Khoir, M. Masykur, 2010, Risalah Zakat, Kediri: Duta Karya Mandiri.
Latief, Moh. Rawif dan A. Shomad Robith, 1997, Tuntunan Zakat
Praktis, Surabaya: Indah.
Marimin, Agus dan Tira Nur Fitria, 2015, Zakat Profesi (Zakat
Penghasilan) Menurut Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Ekonomi
Islam - Vol. 01, No. 01, Maret 2015.
PMA no. 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan
Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta pendayagunaan Zakat Untuk
Usaha Produktif.
Qulub, Siti Tatmainul & Ahmad Munif, 2015, Pemaknaan Fî sabîlillâh
sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer, Jurnal
Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015
Sabiq, Sayyid. 1982, Fikih Sunnah, terjemahan Mahyudi Syaf,
Bandung: al-Ma’aruf.
Sabiq, Syaikh Sayyid, 2005, Panduan Zakat (terjemahan), Bogor:
Pustaka Ibnu Katsir.
Shalehuddin, Wawan Shofwan. 2011. Risalah Zakat, Infaq dan
Sedekah, Bandung: Tafakur.
Soemitra, Andri, 2010, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah,
Jakarta: Kencana.
Syaltut, Mahmud, tth, Al-Fatawa, terjemahan Bustami, Gani Zaini
Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang
Trigiyatno, Ali, 2016, Zakat Profesi Antara Pendukung dan
Penentangnya, Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No.2, Desember
2016
Pengelolaan
84 Zakat MODUL
●●●
Lampiran
Pengelolaan
MODUL Zakat 85
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau
badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan
usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
4. Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh
seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan
umum.
5. Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban
menunaikan zakat.
6. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS
adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara
nasional.
8. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah
lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Pengelolaan
86 Zakat MODUL
9. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah
satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu
pengumpulan zakat.
10. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11. Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan
untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat
Islam.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2
Pengelolaan zakat berasaskan:
I. a. syariat Islam;
II. b. amanah;
III. c. kemanfaatan;
IV. d. keadilan;
V. e. kepastian hukum;
VI. f. terintegrasi; dan
VII. g. akuntabilitas.
Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan
zakat; dan
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Pasal 4
(1) Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan perikanan:
f. pertambangan;
Pengelolaan
MODUL Zakat 87
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa; dan
i. rikaz.
(3) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta
yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha.
(4) Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah
dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan
zakat mal dan zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB II
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk
BAZNAS.
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu
kota negara.
(3 BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat;
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat;
Pengelolaan
88 Zakat MODUL
c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat; dan
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
zakat.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja
sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis
kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2) Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari
unsur pemerintah.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari
kementerian/ instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat
dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 10
(1) Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri.
(2) Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas
usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
(3) Ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Pengelolaan
MODUL Zakat 89
Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 paling sedikit harus:
I. a. warga negara Indonesia;
II. b. beragama Islam;
III. c. bertakwa kepada Allah SWT;
IV. d. berakhlak mulia;
V. e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
VI. f. sehat jasmani dan rohani;
VII. g. tidak menjadi anggota partai politik;
VIII. h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan
IX. i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun.
Pasal 12
Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. habis masa jabatan;
c. mengundurkan diri;
d. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus
menerus; atau
e. tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai, tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat
BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pengelolaan
90 Zakat MODUL
Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi
dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota.
(2) BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah
mendapat pertimbangan BAZNAS.
(3) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan
BAZNAS.
(4) Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan
pembentukan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri
atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas
dan fungsi BAZNAS di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS
provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada
instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan,
kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS
provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk
LAZ.
Pengelolaan
MODUL Zakat 91
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme
perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN,
PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pengumpulan
Pasal 21
(1) Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan
sendiri atas kewajiban zakatnya.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki
dapat meminta bantuan BAZNAS.
Pengelolaan
92 Zakat MODUL
Pasal 22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan
dari penghasilan kena pajak.
Pasal 23
(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada
setiap muzaki.
(2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Pasal 24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi,
dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal 25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pasal 26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan
berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan,
keadilan, dan kewilayahan.
Bagian Ketiga
Pendayagunaan
Pasal 27
(1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
(2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah
terpenuhi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha
produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pengelolaan
MODUL Zakat 93
Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah,
dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya
Pasal 28
(1) Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
(2) Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial
keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan
yang diikrarkan oleh pemberi.
Pengelolaan
94 Zakat MODUL
4
●●●●●
Modul
Pemberdayaan
Wakaf
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 95
Modul
Pemberdayaan
Wakaf
●●●●●
Tim Penyusun
• Siti Masyitoh
• Andang
Pemberdayaan
96 Wakaf MODUL
●●●
Pendahuluan
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 97
Adapun fungsi dan tujuan modul ini untuk menjadi pedoman
pelaksanaan tugas penyuluh agama Islam Non PNS bidang
pemberdayaan wakaf. Penyuluhan ini dilakukan melalui Majlis
Taklim, Masjid, Musalla, Instansi Pemerintah, Masyarakat umum
terutama Nazir (Pengelola wakaf) dengan memberikan materi
penyuluhan mengenai perwakafan serta mensosialisasikan dengan
berbagai hal yang berkaitan dengan wakaf dengan kedudukan
mereka masing-masing sehingga ketentuan atau aturan wakaf bisa
tersosialisasi dan terlakasana dengan baik sesuai dengan harapan
yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi Umat Islam Indonesia.
Pemberdayaan
98 Wakaf MODUL
●●●
Wakaf
Dalam Islam
1
Garis-Garis Besar
• Mengenal Pengertian Wakaf dan berbagai Pendapat Para Ahli
Fikih
• Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar anjuran berwakaf
• Mengenal Macam-Macam Wakaf
• Mengenal dan Memahami syarat dan rukun Wakaf
• Kedudukan dan Peran Nazhir dalam Wakaf
a. Madhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum
tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya
untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta
wakaf tidak lepas dari si wakif,bahkan ia dibenarkan menariknya
kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta
tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang
timbul dari wakaf hanyalah “tindakan atas suatu benda, yang
berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang
maupun akan datang.
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 99
b. Madhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif,
namun wakaf tersebut mencegah wakif elakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada
yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya
serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif
menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq
(penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk
upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti
mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan
lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan
pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari
pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan
hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat
benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si
wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu,
dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal
(selamanya).
Pemberdayaan
100 Wakaf MODUL
Anjuran Berwakaf dalam Al-Qur’an dan Hadis
b. Wakaf Khairi
Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan
agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan
umum)Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan
pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit,
panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 101
2. Ditinjau dari jenis harta wakaf
a. Benda tidak bergerak seperti hak atas tanah antara lain:
hak milik, strata title, HGB/HGU/HP, bangunan atau
bagian bangunan atau satuan rumah susun serta tanaman
dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
b. Benda bergerak selain uang seperti benda dapat berpindah,
benda dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan
air dan bahan bakar Minyak, benda bergerak karena
sifatnya yang dapat diwakafkan, benda bergerak selain
uang, surat berharga, hewan (domba,sapi,unta)
c. Benda bergerak berupa uang (Wakaf tunai, cash waqf).
Pemberdayaan
102 Wakaf MODUL
orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah
mewakafkan hartanya.
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 103
Kedudukan dan Peran Nazhir dalam Wakaf sesuai
dengan UU no. 41 tahun 2004
1. Pengertian Nazhir
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya.
2. Macam-macam Nazhir
Nazhir meliputi
1. Perseorangan
2. Organisasi
3. Badan Hukum
4. Tugas Nazhir
1. Melakukan pengadministrasian hartabenda wakaf.
2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.
3. Mengawasi, melindungi hartabenda wakaf.
4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.
Pemberdayaan
104 Wakaf MODUL
●●●
Kedudukan Wakaf
Dalam Islam
2
Garis-Garis Besar
• Mengenal praktek Wakaf di kalangan Sahabat Nabi
Muhammad SAW
• Fungsi Wakaf dalam Sejarah Islam
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 105
Fungsi wakaf dalam sejarah Islam
Pemberdayaan tanah wakaf yang lebih variatif dan produktif
dapat dilihat dalam sejarah wakaf pada era Mamluk di Kairo
sebagaimana yang dikemukakan Adam Sabra dalam bukunya
Poverty and Charity in Medieval Islam, Mamluk Egypt, 1250-1517.
Perawatan Medis
Pembentukan rumah sakit untuk memberikan perawatan
medis secara gratis kepada publik membutuhkan sumbangan harta
benda dalam jumlah besar, itulah sebabnya fakta bahwa rumah
sakit semacam ini jumlahnya hanya sedikit dan diharapkan dapat
memberikan perawatan kepada pasien dalam jumlah besar. Contoh
terbesar dari fenomena ini adalah rumah sakit yang didirikan oleh
Sultan al-Mansur al-Qalawun pada 1284, sebagai bagian dari
kompleks wakaf yang lebih besar. Rumah sakit ini bukan hanya
satu dari wakaf terbesar, tetapi juga salah satu yang paling tahan
lama. Hingga pada khir abad XVIII, bangunan rumah sakit tersebut
sangat rusak, tetapi baru dimanfaatkan oleh Mehmed 'Ali pada
paruh pertama abad kesembilan belas . Setelah beberapa upaya
rekonstruksi, akhirnya dihancurkan pada awal abad ke-20.
Perlu dicatat bahwa rumah sakit adalah bagian dari kompleks
wakaf yang lebih besar terletak di Bayn al-Qasaryn di Qahira (Mesir)
yang termasuk makam Sultan dan sebuah madrasah. Sultan juga
mengatur agar enam puluh anak yatim menerima pelajaran di situs
tersebut. Kombinasi motif publik dan pribadi untuk pembentukan
wakaf, yang merupakan karakteristik dari periode Mamluk,
membantu menjelaskan mengapa sultan memilih untuk membeli
properti dan menyumbangkannya sendiri daripada mengikuti
preseden yang ditetapkan oleh penguasa sebelumnya.
Selanjutnya, karakter amal dari wakaf ini dinyatakan secara
eksplisit dalam teks, di mana sang pendiri (wakif) menyatakan bahwa
pria dan wanita yang sakit harus diizinkan untuk tinggal di rumah
sakit untuk menerima perawatan "sampai mereka pulih" tanpa
membayar kompensasi apa pun. Prioritas dalam memilih pasien
yang menerima perawatan adalah dikhususkan bagi mereka yang
membutuhkan termasuk: orang sakit, yang membutuhkan, lemah,
tidak memiliki keluarga, orang miskin, dan fakir miskin. Bahkan
Pemberdayaan
106 Wakaf MODUL
banyak pihak saat itu menduga bahwa banyak pasien miskin yang
tidak ingin buru-buru untuk dikeluarkan dari rumah sakit, karena
kenyamanan fasilitas yang didapat saat mendapatkan perawatan di
rumah sakit tersebut.
Pendidikan
Peruntukan wakaf untuk pendidikan pada masa Mamluk, Kairo
adalah empat puluh enam wakaf didirikan antara 1300 dan 1517 di
Kairo untuk menyediakan pendidikan dasar berupa madrasah bagi
anak-anak lelaki yang keluarganya tidak dapat diharapkan untuk
membayar biaya pendidikan
Madrasah yang dibiayai dengan harta wakaf yang terkenal
dalam sejarah Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad
yang didirikan oleh Bani Saljuk Turki tahun 459 H. Tujuan pendirian
madrasah ini menurut Nizham al-Mulk untuk mencetak pemuda-
pemuda calon pemimpin bangsa yang memiliki ilmu atas dasar akidah
ahlus-sunnah. Kemunculan madrasah al- Nizhamiyah yang didanai
dengan dana wakaf diikuti dengan berdirinya madrasah-madrasah
yang lain diberbagai negara Islam, seperti madrasah wakaf al-Nuriyah
di Suriah, yang didirikan oleh Nuruddin al-Zanki, madrasah wakaf al-
Zhahiriyah yang didirikan oleh al-Zhahir Beybers di Kairo tahun 626
H, Madrasah al-Shalihiyyah yang merupakan wakaf raja al-Shalih
Najm al-Din Ayyub di Mesir tahun 641 H, Madrasah al-Mas’udiyah
yang didirikan oleh Mas’ud al- Syafi’i di Baghdad. Madrasah ini
mengajarkan fikih empat madzhab disamping ilmu-ilmu umum dan
kedokteran. Lalu ada madrasah al-Shalahiyah di Halb yang didirikan
Amir Shalahuddin Yusuf al-Dawadar, madrasah al-Ghiyats atau
madrasah al-Malik Manshur di Mekkah, yang didirikan al- Manshur
Ghiyats al-Din tahun 813 H. Ada juga madrasah- madrasah lain yang
dibangun dan dibiayai operasionalnnya dengan dana wakaf, seperti
madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, madrasah Sulthan Hasan,
Jami’ al-Azhar di Mesir, al-Zaitunah di Tunis, al-Qurawiyyin di Fes
Maroko. Al-Jami’ al-Azhar merupakan masjid sekaligus lembaga
pendidikan yang banyak menyumbang kemajuan peradaban Islam,
yang pembiayaannya dari bersumber wakaf.
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 107
Perumahan
Secara umum, perumahan yang dibangun pada masa Mamluk
di Mesir digunakan dalam menampung orang miskin, anak yatim,
wanita yang telah diceraikan atau ditinggalkan yang tinggal di sana
sampai mereka dapat menikah lagi atau kembali ke suami mereka,
juga siswa yang tiba di kota dari pedesaan sekitarnya.
Pemberdayaan
108 Wakaf MODUL
Kematian dan Amal
Salah satu karakteristik paling umum dari Waqf Mamluk adalah
lokasi makam sang pendiri badan wakaf di kompleks itu sendiri.
Seperti, keputusan Qalawun yang menentukan makamnya di
kompleks yang termasuk madrasah dan rumah sakitnya. Kebiasaan
anggota keluarga yang mengubur di lokasi yang sama menunjukkan
bahwa pendirian wakaf yang termasuk makam pendiri dimaksudkan
untuk memberi manfaat bagi seluruh keluarga, bukan hanya pendiri
sebagai individu.
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 109
Pemberdayaan
110 Wakaf MODUL
●●●
Perkembangan
Wakaf di Indonesia
3
• Mengenal Undang-Undang Wakaf
• Mengenal Badan Wakaf Indonesia
• Problematika Wakaf di Indonesia
• Fungsi Penyuluh dalam Pemberdayaan Wakaf
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 111
Berikut ini peraturan-perundang-undangan tentang wakaf yang
ada di Indonesia beserta tautan untuk mengunduhnya.
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak
Selain Uang.
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang.
5. Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Penyusunan Rekomendasi terhadap Permohonan
Penukaran/ Perubahan Status Harta Benda Wakaf.
6. Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008
tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta
Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa Tanah.
7. Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
Berupa Uang.
Pemberdayaan
112 Wakaf MODUL
satu kali masa jabatan. Jumlah anggota BWI 20 sampai dengan 30
orang yang berasal dari unsur masyarakat. Anggota BWI periode
pertama diusulkan oleh Menteri Agama kepada Presiden. Periode
berikutnya diusulkan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk BWI.
Adapun anggota perwakilan BWI diangkat dan diberhentikan oleh
BWI. Struktur kepengurusan BWI terdiri atas Dewan Pertimbangan
dan Badan Pelaksana. Masing-masing dipimpin oleh seorang
ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan Pelaksana
merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan
adalah unsur pengawas. Berdasarkan Pasal 49 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang kemudian
dijelaskan dalam Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Wakaf Indonesia, BWI mempunyai
tugas dan wewenang sebagai berikut:
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 113
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BWI bekerja
sama dengan Kementerian Agama (c.q. Direktorat Pemberdayaan
Wakaf), Majelis Ulama Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Bank
Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Islamic
Development Bank, dan berbagai lembaga lain.
Pemberdayaan
114 Wakaf MODUL
3. Fungsi Konsultatif dengan memberikan konsultasi bagi
masyarakat yang memerlukan penjelasan tentang wakaf
misalnya tentang tatacara dan proses pembuatan AIW atau
sertifikat wakaf.
4. Fungsi Advokatif dengan memberikan advokasi dalam kasus
sengketa tanah wakaf.
Pemberdayaan
MODUL Wakaf 115
Evaluasi
Produk
116 Halal MODUL
5
●●●●●
Modul
Penyuluhan
Produk Halal
Produk
MODUL Halal 117
Modul
Penyuluhan
Produk Halal
●●●●●
Tim Penyusun
• Shobrun Jamil
• Emma Rochimatusshodiq
Produk
118 Halal MODUL
●●●
Pendahuluan
Produk
MODUL Halal 119
• Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan nomor 02240/B/SK/VII/91 tentang Pedoman
Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan Makanan
C. Deskripsi Singkat
Produk
120 Halal MODUL
12. Lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetika
Majelis Ulama Indonesia LP POM MUI adalah Lembaga
yang melakukan penelitian, audit dan pengkajian secara
seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk
olahan.
1. Tujuan Umum
Kegiatan bimbingan dan penyuluhan terkait produk halal
ini secara umum bertujuan untuk membantu masyarakat agar
memiliki pengetahuan maksimal, tentang segala sesuatu yang
berkenaan dengan produk halal. Juga memberikan pandangan
paradigma baru tentang produk halal.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan sikap keimanan kepada Allah Swt
b. Meningkatkan fungsi dan peran pelaku usaha, karena
salah satu objek penyuluhan produk halal yang
dilakukan para penyuluh produk halal adalah para
pelaku usaha baik perseorangan, badan hukum atau
bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
usaha di wilayah Indonesia.
c. Memberikan paradigma baru tentang gerakan sadar
halal
Selama ini masyarakat masih terbatas dalam
memahami pengetahuan produk halal, sehingga
ketika muncul mengenai gerakan masyarakat sadar
halal, banyak kalangan masyarakat yang belum
mengetahuinya. Dengan demikian, penyuluhan produk
halal dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
yang komprehensif kepada umat Islam tentang
paradigma produk halal agar masyarakat di Indonesia
dapat menjadikan gerakan sadar halal sebagai gaya
hidup yang menyehatkan.
d. Terwujudnya Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun
Ghafur (Negeri yang makmur yang mendapatkan
ampunan Allah Swt).
Produk
MODUL Halal 121
E. Manfaat Bimbingan dan Penyuluhan Produk Halal
Produk
122 Halal MODUL
●●●
Materi Penyuluhan
Produk Halal
Produk
MODUL Halal 123
Sedangkan dalam istilah Syar’i, kata halal mencakup segala
sesuatu yang diperbolehkan Agama, baik bersifat Sunnah,
anjuran, makruh, maupun mubah.
Menurut PP no. 69 Tahun 1999 pasal 1 huruf 5 definisi
pangan halal adalah setiap produk makanan, minuman, obat,
kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau
barang haram yang dilarang untuk dikonsumsi, digunakan dan
dipakai oleh umat Islam. (Kemenag Republik Indonesia, Bagian
Proyek Sarana dan Prasana Produk Halal Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji,2003:17)
Dari beberapa pengertian tentang produk halal di atas, maka
dapat kita pahami bahwasanya yang dimaksudkan yaitu produk
yang halal secara zatnya, halal cara memperolehnya, halal
cara memprosesnya, halal cara penyimpanannya, halal dalam
pengangkutannya, dan halal cara penyajiannya. Dengan kata
lain produk yang aman dan sehat adalah produk yang dapat
memenuhi kebutuhan manusia dari aspek kesehatan dan
kenyamanan bathiniah.
b. Pengertian Thayyib
Kata thayyib berasal dari kata kerja yang bermakna
suci, baik, bagus, halal, subur, memperkenankan, dan
membiarkan. Menurut Al-Ashfahani, kata thayyib mempunyai
makna pokok “segala sesuatu yang disukai atau disenangi oleh
alat indra dan jiwa manusia. (Sahabuddin (ed.),2007:1005)
Sedangkan Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa
bahwa yang dimaksud thayyib adalah yang membuat baik
jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Produk yang halal
memiliki unsur yaitu bukan sesuatu yang haram yang dilarang
dalam Al Qur’an dan Hadist, bukan merupakan najis atau
yang terkontaminasi dengan najis, tidak berbahaya bagi tubuh.
Sedangkan produk thayyib memiliki unsur suci bersih, baik dan
elok, dan enak oleh indrawi.
Adapun kriteria produk yang thayyib antara lain:
1. Produk yang tidak rusak (kadaluarsa), dan yang tidak
tercampur/terkontaminasi najis.
Produk
124 Halal MODUL
2. Produk yang mengundang selera bagi yang mengkonsumsinya
dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, yaitu sehat,
proporsional dan aman.
3. Bergizi, proporsional, dan aman.
Produk
MODUL Halal 125
c. Keutamaan Produk Halal dan Thayyib
Allah menyuruh kita makan yang halal lagi baik untuk
kebaikan manusia sendiri, yaitu:
1. Makanan yang halal dan thayyib akan membawa pada
kesehatan jasmani dan rohani. Makanan akan disarikan
dan diedarkan ke seluruh tubuh sehingga asupan makanan
yang baik akan memberikan efek yang baik pula pada tubuh.
2. Makanan halal dan thayyib merupakan makanan yang
bebas dari najis, makanan bergizi, dan makanan yang
terhindar dari zat berbahaya. Makanan tersebut tentunya
akan membuat tubuh menjadi sehat. Tubuh yang sehat
akan memberikan berpengaruh terhadap rohani yang
sehat. Makanan halal dan thayyib membuat ibadah dan
doa diterima Allah. Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya
Al-Azhar bahwa makanan memiliki pengaruh yang sangat
besar bagi rohani manusia. Sebagaimana suatu riwayat
yang disampaikan oleh Ibnu’ Mardawaihi dari lbnu Abbas,
bahwa tatkala ayat ini dibaca orang di hadapan Nabi saw :
“Wahai seluruh manusia, makanlah dari apa yang di bumi
ini, yang halal lagi baik,”
Dari hadist di atas Hamka mengatakan artinya lebih baik
makan api daripada makan harta haram. Sebab api dunia
belum apa-apa jika dibandingkan dengan api neraka. biar
hangus perut lantaran lapar daripada makan harta yang
haram. (Hamka, 2007:375)
3. Melahirkan kepribadian mulia
Menurut hadits Rasulullah SAW, sepotong daging dalam
tubuh manusia yang berasal dari makanan dan minuman
yang haram cenderung mendorong pada perbuatan
yang haram juga. Makanan yang baik akan melahirkan
perbuatan-perbuatan yang mulia dan begitu pula sebaliknya
makanan yang haram akan melahirkan perbuatan-
perbuatan yang jelek. Dengan kita menghindari makanan
yang haram dan syubhat dan memilih yang halal kita
juga turut menjaga keimanan kita dengan mematuhi
perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dalam ketentuan
halal, haram, thayyib, dan syubhat terkandung nilai spiritual
serta mencerminkan keluruhan budi dan akhlak seseorang.
Produk
126 Halal MODUL
4. Menegakkan kemaslahatan
Ulama menegaskan bahwa hukum Islam diciptakan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan ada yang besifat primer (dharûriyyah),
sekunder (hajiyyah),dan ada yang bersifat tersier
(tahsiniyyah), sebagaimana dinyatakan Imam al-Ghazalî
dan al-Syâthibî. Menurut Imam al-Syâthibî, tugas syariah
berorientasi pada terwujudnya tujuan-tujuan kemanusiaan
yang terdiri atas bagian primer (dharûriyyah), sekunder
(hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah).
Produk
MODUL Halal 127
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah
[2]: 267).
“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untukmu
semuanya (sebagai rahmat) dari Nya. Sungguh dalam hal yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi orang-orang yang berpikir.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 13).
Produk
128 Halal MODUL
QS. al-Maidah (5) ayat 88
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah
diberikan Allah telah rezekikan kepadamu sebagai rezeki yang halal
dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 88)
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl [16]: 114)
Produk
MODUL Halal 129
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu)
adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Maidah[5]: 3)
Produk
130 Halal MODUL
QS. al-A’raf (7) ayat 157
1. Bangkai
Bangkai dilarang oleh Allah Swt untuk dikonsumsi kecuali
bangkai hewan yang hidup di air atau di laut. Firman Allah Swt
dalam surat QS. al-Maidah (5) ayat 96
Produk
MODUL Halal 131
3. Al Mutaraddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari
ketinggian, begitupula yang jatuh ke dalam sumur.
4. An Nathihah, yaitu hewan yang mati karena diseruduk
hewan bertanduk
5. Maa akalas sabu’u, yaitu Hewan yang diterkam binatang
buas dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga mati
Produk
132 Halal MODUL
cara dibersihkan, dibumbui, dan digoreng sehingga tidak terlihat
seperti ayam tiren. Ciri-ciri ayam tiren yang perlu diwaspadai
adalah warna karkas yang gelap atau mulai menghitam dan
tercium bau bangkai yang menyengat.
Bangkai ikan atau hewan yang hidup di air dan laut halal
dimakan di dasarkan pada surah Q.S Al Maidah (5) : 96 dan
H.R Abu Dawud. Air laut itu suci dan bangkainya halal untuk
dimakan namun bila bangkai tersebut mengandung racun dan
membahayakan ketika dikonsumsi maka hukumnya menjadi
haram. Keharaman bangkai adalah memakannya namun untuk
kulit, tanduk, tulang, dan rambutnya tidak dipermasalahkan.
2. Darah
Darah, sering diistilahkan dengan darah yang mengalir,
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS Al an’am (6) ayat 145
Produk
MODUL Halal 133
“Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun
dua bangkai ialah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah ialah
limpa dan hati.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 210 dan
ash-Shahihah no: 1118).
3. Babi
Dasar yang mengharamkan daging babi adalah Alquran
surah al-Baqarah [2]: 173, al-Mâ’idah [5]:3, al-An’âm [6]: 145,
dan al-Nahl [16]: 115. QS.al-Baqarah [2] ayat 173
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
Produk
134 Halal MODUL
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah [2]: 173)
Produk
MODUL Halal 135
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” ( QS.al-An’am [6] :145)
Produk
136 Halal MODUL
• Minyak babi
Minyak babi dapat dimanfaatkan sebagai minyak goreng,
ditambahkan pada mie ayam, snack, kaldu, dll
• Darah babi
Darah babi dimanfaatkan sebagai media fermentasi
kemudian dapat juga dibekukan diolah menjadi marus, dan
diolah sebagai campuran dalam sosis.
• Jeroan babi
Jeroan babi bentuknya dapat berupa enzim, empedu,
pankreas, dan usus. paru-paru. Pemanfaatannya untuk
penyedap rasa, enzim rennet untuk menghasilkan keju,
whey, kasein, dan laktosa, kemudian, food suplement,
casing sosis, irisan bakso, dll
• Bulu babi
Dapat digunakan untuk sikat gigi, kuas untuk mengoles
makanan, sistin yang digunakan dalam industri flavour.
• Kulit babi
Digunakan sebagai kikil, rambak/ kerupuk kulit
• Tulang babi
Umumnya digunakan untuk karbon aktif untuk proses
penjernihan dan penyaringan, kalsium yang ditambahkan
dalam susu dan beberapa produk, kaldu, pasta gigi, dll.
Produk
MODUL Halal 137
hewan di air dengan cara yang baik dan tidak menyiksanya,
tidak pula disyaratkan untuk disembelih seperti hewan lainnya
sebagaimana dijelaskan dalam QS Al Maidah (5) ayat 96.
Hewan yang hidup di darat ada yang merupakan hewan yang
dengan sengaja diternakan, dikuasai, dan ditangkap manusia
seperti ayam, itik, bebek, kambing, domba, sapi, kerbau, unta,
dll dan ada lagi yang tidak diternakan, tidak dikuasai, dan tidak
mungkin ditangkap oleh manusia. Hewan kategori pertama yang
sengaja diternakan disyaratkan oleh islam untuk disembelih
sesuai ketentuan syara’ sebagai berikut:
a. Penyembelih merupakan orang yang berakal, beragama
islam, dan baligh. Sembelihan anak kecil yang belum
berakal, orang gila, dan orang mabuk yang tidak berakal
tidak halal untuk dimakan.
b. Menggunakan alat tajam yang dapat mengalirkan darahnya
dan mencabut nyawanya. Para ulama sepakat menyembelih
boleh dan sah dilakukan dengan alat yang tajam baik yang
berasal dari besi tembaga, emas, kulit bambu, timah,
dan bahan lainnya. Bahkan batu dan kayu pun dapat
digunakan asalkan tajam yang dapat menumpahkan darah
dan memutus urat leher. Penyembelihan dengan alat yang
tajam akan lebih mempercepat prosesnya sehingga hewan
tidak terlalu lama merasakan sakit.
c. Penyembelihan dilakukan dengan memotong sekaligus
sampai putus saluran pernapasan/tenggorokan (hulqum),
saluran makan (mar’i), dan kedua urat nadi (wadajain).
Saluran-saluran ini merupakan tempat yang paling dekat
dengan proses kematian sehingga tidak akan membuat
sakit telalu lama. Menyembelih dengan gigi dan kuku tidak
diperbolehkan karena justru akan menyengsarakan hewan.
Saat ini, proses penyembelihan secara massal dilakukan
dengan diawali proses pemingsanan (stunning) untuk
mempercepat penyembelihan. Proses ini dilakukan dengan
memukul kepala hewan menggunakan benda tumpul/
mengaliri dengan listrik sehingga hewan akan pingsan dan
tidak banyak bergerak. Hukum stunning ini diperbolehkan
asal tidak menyebabkan cedera permanen dan tidak
menyebabkan kematian.
Produk
138 Halal MODUL
d. Menyebut Asma Allah pada saat menyembelih.
Saat menyembelih wajib membaca basmallah hal ini sesuai
dengan QS Al An’am (6) ayat 118& 121.
Produk
MODUL Halal 139
Dari Ibn’ Abbas RA berkata rasullullah SAW melarang
memakan setiap biantang binatang buas yang bertaring
dan setiap burung yang mempunyai kuku tajam.
2. Hewan yang oleh agama Islam dilarang membunuhnya
seperti lebah, semut, burung
Dari Ibn’ Abbas RA, Nabi SAW melarang membunuh empat
macam binatang yaitu semut, lebah, burunng hud-hud, dan
burung suradi. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)
3. Hewan yang hidup di dua alam seperti kodok, penyu, buaya
Dari Abd al Rahman bin Utsman al Quraisyi RA
bahwasanya seorang dokter menerangkan bahwa katak
itu dapat diajdikan obat dihadapan Rasullullah, maka
Rasullullah melarang membunuhnya
4. Anggota tubuh hewan yang dipotong selagi binatang
masih hidup
Dari Abu Waqid berkata Nabi SAW bersabda “Bagian
yang dipotong dari binatang adalah binatang masih hidup
termasuk bangkai”
5. Binatang yang dapat membahayakan yang terdiri dari lima
macam : ular, burung gagak, tikus, anjing, dan burung
elang.
Dari Aisyah rasulullah SAW bersabda “lima jenis binatang
yang jahat hendaklah dibunuh baik di tanah halal maupun
tanah haram, yaitu ular, burung gagak, tikus, anjing galak,
dan burung elang”
6. Khamer/ Minuman Yang Memabukkan
Minuman yang memabukkan hukumnya haram sesuai
dengan firman Allah Swt dalam QS Al Maidah (5)
ayat 90-91.
Produk
140 Halal MODUL
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” ( QS Al Maidah (5)
ayat 90)
Produk
MODUL Halal 141
Minuman yang memabukkan ini di masyarakat dikenal
dengan istilah alkohol. Fatwa haram menurut MUI tentang
alkohol No 11 Tahun 2009, yaitu
a. Khamer adalah setiap minuman yang memabukkan, baik
dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak ataupun tidak
hukumnya haram untuk dikonsumsi.
b. Minuman ber alkohol adalah najis jika alkohol/ethanolnya
berasal dari khamer, dan minuman ber alkohol adalah tidak
najis jika alkohol/ethanolnya berasal dari bukan khamer.
c. Penggunaan alkohol/ethanol hasil industri khamer untuk
produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat - obatan,
hukumnya haram.
d. Penggunaan alkohol/ethanol hasil industri non khamer
(baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia]
ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk proses
produksi produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-
obatan, hukumnya adalah mubah, apabila secara medis
tidak membahayakan.
e. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik
merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun
hasil industri fermentasi non khamer) untuk proses
produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat-
obatan, hukumnya adalah haram, apabila secara medis
membahayakan.
6. Najis
Najis adalah setiap kotoran yang wajib dibersihkan dan
wajib dicuci disetiap tempat atau benda yang terkena kotoran
tersebut. Najis juga didefinisikan sesuatu yang menjijikan dan
menghalangi sahnya shalat, sekiranya tidak ada dispensasi di
dalamnya. Keharaman mengkonsumsi najis berdasarkan Qs Al
A’raf (7) ayat 157 :
Produk
142 Halal MODUL
“Dan dialah yang mengharamkan yang buruk” (Al A’raf : 157).
Produk
MODUL Halal 143
UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU
ini (selanjutnya disebut UU JPH) merupakan produk peraturan
perundang-undangan yang paling kongkrit dan komprehensif
mengenai sertifikasi produk halal, karena memang merupakan
UU khusus mengenai masalah tersebut. Keluarnya UU ini dapat
dikatakan sebagai era baru penanganan sertifikasi halal di Indonesia.
Ada dua urgensi sertifikasi halal, yaitu: (1) Pada aspek moral
sebagai bentuk pertanggungjawaban produsen kepada konsumen.
(2) Pada aspek bisnis sebagai sarana pemasaran, meningkatnya
kepercayaan dan kepuasan konsumen. (Ramlan Nahrowi, 2014 : Vol
XIV No 1).
Adapun Instansi yang memiliki otoritas untuk memberikan
sertifikat keamanan pangan dalam bentuk sertifikasi halal antara
lain adalah kementerian Agama, Badan POM, dan MUI. (Kemenag
RI, Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Dirjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, tt : 24)
Produk
144 Halal MODUL
kriteria JPH, menetapkan dan mencabut sertifikat halal pada
produk luar negeri serta melakukan registrasi sertifikat halal
pada produk luar negeri.
Beberapa ketentuan UU No 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal antara lain pasal 4 yang menyatakan
bahwa Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di
Indonesia wajib bersertifikat halal. Selanjutnya Pasal 5 ayat (1)
UU JPH mengamanatkan dibentuknya Badan penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang menurut ayat (5) ketentuan
mengenai fungsi, tugas, dan susunan organisasi BPJPH diatur
dalam Peraturan Presiden.
Tatacara penerbitan sertifikat halal sudah diatur pada Bab
V UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Adapun
alur proses pengurusan sertifkasi halal melalui BPJPH tersebut
sebagai berikut :
Pertama, pengajuan permohonan oleh pelaku usaha.
Pelaku Usaha mengajukan permohonan Sertifikat Halal secara
tertulis kepada BPJPH, dengan menyertakan dokumen: data
Pelaku Usaha, nama dan jenis Produk, daftar Produk dan Bahan
yang digunakan, dan proses pengolahan Produk.
Kedua, pemilihan LPH. Pelaku usaha diberi kewenangan
untuk memilih LPH untuk memeriksa dan/atau menguji
kehalalan produknya. LPH adalah lembaga yang mendapatkan
kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan produk. LPH bisa didirikan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat. Saat ini, LPH yang sudah eksis adalah LPPOM-MUI.
LPH yang dipilih oleh pelaku usaha kemudian akan ditetapkan
oleh BPJPH. Penetapan LPH, paling lama lima hari sejak
dokumen permohonan dinyatakan lengkap.
Ketiga, Pemeriksaan produk. Pemeriksaan dilakukan
oleh Auditor Halal LPH yang telah ditetapkan oleh BPJPH.
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan
di lokasi usaha pada saat proses produksi dan atau di
laboratorium. Pengujian di laboratorium dapat dilakukan jika
dalam pemeriksaan Produk terdapat Bahan yang diragukan
kehalalannya. Hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
Produk kemudian diserahkan kepada BPJPH.
Produk
MODUL Halal 145
Keempat, Penetapan Kehalalan Produk. BPJPH
menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
Produk yang dilakukan LPH kepada MUI untuk memperoleh
penetapan kehalalan Produk. MUI lalu menetapkan kekhalalan
Produk melalui sidang Fatwa Halal. Sidang Fatwa Halal digelar
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
Kelima, Penerbitan Sertifikasi. Produk yg dinyatakan
halal oleh sidang fatwa MUI, dilanjutkan oleh BPJPH untuk
mengeluarkan sertifikat halal. Penerbitan sertifikat halal ini
paling lambat 7 hari sejak keputusan kehalalan Produk diterima
dari MUI diterima.
Pelaku usaha wajib memasang label halal beserta
nomor registrasinya pada produk usahanya. BPJPH
juga mempublikasikan penerbitan Sertifikat Halal setiap
Produk. Untuk produk yang dinyatakan tidak halal, BPJPH
mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku
Usaha disertai dengan alasan.
2. Badan POM
Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan sebuah
lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran
obat-obatan dan makanan di Indonesia. Biasanya Badan
Pengawas Obat dan Makanan disebut juga sebagai Badan POM.
Berdasarkan pasal 3 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun
2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan POM
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan
Makanan, BPOM menyelenggarakan fungsi :
1) Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
2) Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
3) Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur,
dan kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar
dan Pengawasan Selama Beredar;
4) Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar;
Produk
146 Halal MODUL
5) Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan
Makanan dengan instansi pemerintah pusat dan
daerah;
6) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
7) Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
8) Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan BPOM;
9) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab BPOM;
10) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
BPOM; dan
11) Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada
seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.
b. Pengawasan Sebelum Beredar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah pengawasan Obat dan Makanan sebelum
beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin
Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk
yang ditetapkan.
c. Pengawasan Selama Beredar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah pengawasan Obat dan Makanan selama
beredar untuk memastikan Obat dan Makanan yang
beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/ manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta
tindakan penegakan hukum. Adapun kewenangan yang
dimiliki Badan POM berdasarkan Pasal 69 Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
1) Penyusunan rencana nasional secara makro di
bidangnya.
2) Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro.
3) Penetapan sistem informasi di bidangnya.
Produk
MODUL Halal 147
4) Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan
(zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan
pedoman peredaran Obat dan Makanan.
5) Pemberi izin dan pengawasan peredaran Obat serta
pengawasan industri farmasi.
6) Penetapan pedoman penggunaan konservasi,
pengembangan dan pengawasan tanaman Obat.
3. MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah
musyawarah para ulama dan cendekiawan muslim dipandang
sebagai lembaga paling berkompeten dalam pemberian jawaban
masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dihadapi
masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa lembaga ini
merupakan wadah bagi semua umat islam Indonesia yang
beraneka ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena
itu fatwa yang dikeluarkan oleh MUI diharapkan dapat diterima
oleh seluruh kalangan dan lapisan masyarakat, serta diharapkan
pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam pengambilan
kebijaksanaan.
Salah satu wujud nyata dari upaya MUI adalah dengan
dibentuknya lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan
kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI). Fungsi dari
lembaga ini adalah melakukan penelitian, audit dan pengkajian
secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk
olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa
untuk membahas dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan
hukumnya, yakni fatwa halal, jika sudah diyakini bahwa produk
bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur benda benda
haram atau najis.
Prosedur dan penetapan mekanisme penetapan fatwa, sama
dengan penetapan fatwa secara umum. Hanya saja, sebelum
masalah tersebut (produk yang dimintakan fatwa halal) dibawa
ke Sidang Komisi, LPPOM MUI terlebih dahulu melakukan
penelitian dan audit ke pabrik bersangkutan.
Untuk lebih jelasnya, prosedur dan mekanisme penetapan
fatwa halal, secara singkat dapat dijelaskan sebagi berikut :
Produk
148 Halal MODUL
a. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para
auditor LPPOM tentang benda-benda haram menurut
syari’at Islam. Dalam hal ini benda haram li-zatih dan haram
li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan
dengan syari’at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus
mempunyai pengetahuan memadai tentang benda-benda
haram tersebut.
b. Auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik
(perusahaan) yang meminta sertifikasi halal, pemeriksaan
yang dilakukan meliputi:
1) Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan
produk, baik bahan baku maupun bahan tambahan
(penolong),
2) Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan
produk.
c. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium,
terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram
atau mengandung benda haram (najis), untuk mendapat
kepastian.
d. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang
dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak jarang pula
auditor (LPPOM) menyarankan bahkan mengharuskan
agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga
mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang
diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari
MUI atau dari lembaga lain yang dipandang berkompeten,
jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat
sertifikat halal dari MUI.
e. Hasil pemeriksaan dan audit LPPOM tersebut kemudian
dituangkan dalam sebuah Berita Acara, dan kemudian
Berita Acara itu diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk
disidangkan.
f. Dalam Sidang Komisi Fatwa, LPPOM menyampaikan dan
menjelaskan isi Berita Acara, dan kemudian dibahas secara
teliti dan mendalam oleh sidang komisi
g. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang
diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti
pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan
Produk
MODUL Halal 149
oleh Sidang Komisi, dikembalikan kepada LPPOM untuk
dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan
bersangkutan.
h. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh
Sidang Komisi, diputuskan fatwa halalnya oleh Sidang
Komisi.
i. Hasil Sidang Komisi yang berupa fatwa halal kemudian
dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di-tanfz-
kan dan keluarkan Surat Keputusan Fatwa Halal dalam
bentuk Sertifikat Halal.
Produk
150 Halal MODUL
pihak sebagai konsumen sebaiknya mengetahui bagaimana cara
menentukan dan mengkonsumsi makanan yang aman.Bahan-
bahan atau organisme yang mungkin terdapat didalam makanan
dan dapat menimbulkan keracunan atau penyakit menular.
(Thoebib al Asyhar,2003:42)
Produk
MODUL Halal 151
Evaluasi
Produk
152 Halal MODUL
●●●
Daftar
Pustaka
Produk
MODUL Halal 153
Kerukunan
154 Umat Beragama MODUL
6
●●●●●
Modul
Kerukunan
Umat
Beragama
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 155
Modul
Kerukunan
Umat
Beragama
●●●●●
Tim Penyusun
• Abdul Aziz Siswanto
• Siti Murdlijati Fauziah
Kerukunan
156 Umat Beragama MODUL
●●●
Penyuluhan Kerukunan
Umat Beragama
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 157
Fungsi Penyuluh Agama Islam Dalam Hal Kerukunan
Beragama
1. Fungsi informatif/edukatif
Penyuluh agama memberikan informasi tentang kerukunan
umat beragama, yang meliputi pengertian kerukunan, umat,
ukhuwah, dan sebagainya. Termasuk masalah konflik dan
faktor-faktor penyebabnya. Kemudian penyuluh agama
memberikan edukasi bahwa kerukunan umat beragama
merupakan sesuatu hal yang penting untuk dipahami dan
dijalankan dalam kehidupan sosial.
2. Fungsi Konsultatif
Penyuluh agama menerima konsultasi atau pengaduan-
pengaduan dari masyarakat berkenaan dengan masalah
kerukunan agama yang terjadi di lingkungan mereka.
Seperti ketika terjadinya konflik beragama atau hal lain yang
mengganggu kerukunan umat beragama.
3. Fungsi Advokatif
Penyuluh agama membantu meredakan, mengatasi, dan
menyelesaikan masalah-masalah kerukunan beragama yang
terjadi di masyarakat, baik yang bersifat intern umat beragama
maupun yang bersifat ekstern umat beragama.
Kerukunan
158 Umat Beragama MODUL
●●●
Keharusan
Hidup Rukun
1
A. Latar Belakang
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 159
Puncak dari terjadinya hubungan yang tidak baik antara
pemeluk agama adalah terjadinya konflik SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar golongan) yang terjadi pada masyarakat di berbagai
daerah, yang dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang
agama. Konflik-konflik ini dikatakan sebagai konflik agama, karena
bukan rahasia lagi bahwa kalangan yang terlibat di dalamnya telah
memakai bendera agama masing-masing dan menegaskan adanya
kepentingan agama yang mengiringi perjuangan mereka.
Konflik keagamaan yang terjadi karena adanya rasa perbedaan
pemelukan agama dan rasa permusuhan yang berkembang bukan saja
di kalangan mereka yang mengalami konflik, tetapi juga melibatkan
para pemeluk agama lainnya. Padahal, nilai-nilai universalitas agama
semestinya menjadi faktor integratif dan bukan sebaliknya sebagai
faktor disintegratif bangsa. Dalam kerangka itulah, nilai-nilai agama
sesungguhnya menjadi modal sosial bagi perekat integrasi bangsa.
Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman keagamaan
secara komprehensif dengan memperhatikan kondisi masyarakat
Indonesia yang multikultural.
Dalam ajaran Islam, telah dikemukakan berbagai pernyataan
ayat maupun Hadis yang menegaskan tentang toleransi oleh karena
itu, toleransi pada asalnya bukanlah gagasan barat, melainkan konsep
universal al-Quran1. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat
memahami adanya pandangan yang berbeda dengan pandangan
dalam agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar
kehendak ilahi, dan dalam hal ini memerlukan sikap yang disebut
kehidupan yang rukun. Oleh karena itu, Islam telah memperkenalkan
bangunan masyarakat yang rukun yang dapat dilihat dari aspek
akidah, sosial dan pranata budaya.
Kerukunan umat beragama merupakan suatu hal yang
menggambarkan kemajemukan bangsa sebagai rahmat. Perbedaan
sebagai keniscayaan merupakan kekuatan yang menopang upaya
pembangunan manusia Indonesia dalam menuju cita–cita bangsa.
Kerukunan umat beragama bukan suatu hal yang terjadi dengan
sendirinya tanpa kesadaran dan upaya dari berbagai pihak untuk
Kerukunan
160 Umat Beragama MODUL
mewujudkannya. Kerukunan bukanlah barang jadi akan tetapi
memerlukan proses sosialisasi dan internalisasi. Maka dalam rangka
itulah diperlukan panduan Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat
Beragama.
Penyusunan modul Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat
Beragama bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS ini tentunya
diharapkan menjadi bahan bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh, untuk memberikan
penerangan kepada masyarakat terkait dengan Kerukunan Umat
Beragama, baik dalam perspektif Agama Islam, sebagaimana
tercantum dalam Alqur’an dan Hadits, maupun dalam perspektif
regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, seiring dengan Tugas Penyuluh Agama Islam Non PNS
sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor
298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non
Pegawai Negeri Sipil, yang salah satu tugasnya adalah memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang kerukunan umat beragama.
C. Program Penyuluhan
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 161
1. Membuat peta da’wah guna menyusun klasifikasi dakwah dilihat
dari tipologi umat serta kebutuhan model dakwah
2. Melakukan analisis terhadap perkembangan data jumlah
penduduk berdasarkan agama
3. Membuat program kegiatan melalui bentuk kerjasama dengan
berbagai stakeholder yang ada di wilayah dakwah.
4. Melakukan sosialisasi melalui pendekatan komunitas tentang
makna dan, landasan dan tujuan kerukunan beragama.
5. Melakukan internalisasi tentang penyusunan konsep, praktik
dan evaluasi kerukunan umat beragama dalam pelaksanaan
dakwah sehingga masyarakat menyadari bahwa gagasan
kerukunan bukanlah sesuatu yang ditempelkan akan tetapi
merupakan hal yang melekat dalam ajaran Islam.
6. Melakukan pemberdayaan terhadap pemahaman, penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam terhadap berbagai penduduk di
daerah.
7. Melakukan berbagai simulasi tentang gagasan kerukunan umat
beragama pada masyarakat mayoritas maupun minoritas umat
Islam.
D. Metode Penyuluhan
Kerukunan
162 Umat Beragama MODUL
dan penentang kerukunan.
Secara umum kegiatan penyuluhan kerukunan ini bisa
dilakukan dengan berbagai metode, yang disesuaikan dengan tujuan
dan kondisi peserta penyuluhan, yaitu dengan metode sebagai
berikut :
1. Bil hikmah (dengan safari dakwah, bakti social, menulis,
merekam audio untuk disiarkan di radio, membuat video untuk
diupload melalui internet dan pendampingan terhadap masalah
umat, serta melalui dinamika kelompok) tentang kerukunan
umat beragama. Metode bil hikmah diharapkan dapat
menggugah kesadaran rasionalitas terhadap kegiatan dakwah
sehingga mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu (curiositiy)
terutama di kalangan kelompok masyarakat remaja, mahasiswa
dan terpelajar.
2. Mau’idzhatil Hasanah (penyuluhan, konsultasi, ceramah
monologis, tutorial, maupun audio visual) tentang kerukunan
umat beragama. Dalam mau’idhzatull hasanah dikembangkan
pendekatan personal sehingga potensi kerenggangan sosial
dapat di atasi melalui program bimbingan dan penyuluhan.
3. Jaadilhum billatii hiya ahsan (ceramah dialogis, debat, diskusi,
kajian/seminar/workshop) tentang kerukunan umat beragama.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 163
membuka diri mencari kebenaran yang lain namun pada
saat yang sama membuka peluang kerjasama dalam hal yang
berkenaan dengan kegiatan yang bersifat pranata sosial untuk
mendorong tumbuhnya keinginan untuk menuju kepada cita-
cita abadi yang diajarkan semua agama.
F. Laporan Kegiatan
Kerukunan
164 Umat Beragama MODUL
●●●
Pengertian
Tentang Kerukunan
Umat Beragama
2
A. Pengertian Kerukunan
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 165
Kata “rukun” dalam pengertian sehari-hari, dan kerukunan
memiliki arti damai dan perdamaian. Berdasarkan pengertian ini
jelas bahwa kata kerukunan hanya digunakan dan berlaku dalam
pergaulan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan
ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat
yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk
menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok
lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang
diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk
menerima perbedaan.
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna
“baik” dan “damai”. Hakikatya hidup bersama dalam masyarakat
dengan “kesatuan hati” dan bersepakat untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850). Apabila
pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah
sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Kerukunan (dari rukun, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-
tiang yang menopang rumah, penopang yang memberi kedamaian
dan kesejahteraan kepada penghuninya), secara luas bermakna
adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang
walaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan.
Istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan, serta
kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama
dengan damai serta tentram. Adapun langkah-langkah untuk
mencapai seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling
terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Rukun dalam arti kata sifat adalah baik atau damai, kerukunan
hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak
bertengkar walau berbeda agama. Kerukunan antar umat beragama
dalam pandangan Islam (seharusnya) merupakan suatu nilai yang
terlembagakan dalam masyarakat.
B. Pengertian Umat
Kerukunan
166 Umat Beragama MODUL
Samir Karam ke dalam Bahasa Arab, ada juga yang mengartikannya
sebagai negara, sebagaimana yang tercantum dalam Mu’jam al-
Falsafi, yang disusun oleh Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah (Pusat
Bahasa Arab) Kairo tahun 1979.
Pengertian-pengertian tersebut di atas sebenarnya dapat
mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep umat di
kalangan umat Islam atau di dalam Alqur’an. Oleh karena itu, perlu
kiranya mendalami lebih jauh hakikat makna dan konsep umat,
khusunya yang dimaksudkan oleh kitab yang berisi petunjuk bagi
seluruh manusia, yakni Alqur’an2.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 167
Untuk lebih jauh memahami makna bahasa dari kata
“umat”, M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa, kata
“umat” ini terambil dari kata (amma-yaummu) yang berarti
menuju, menumpu dan meneladani, dari akar kata yang sama
kemudian lahir kata um yang berarti “ibu” dan imam yang artinya
“pemimpin”, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan, dan
harapan6.
6 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat fii al-Fadl Alquran, Beirut, Dar al-Ma’rifah,
hlm. 33.
7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, hlm. 327.
8 Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan
pertama, hlm. 132.
Kerukunan
168 Umat Beragama MODUL
3. Kata umat dalam ayat Alqur’an
Kata umat dalam bentuk mufrad (tunggal) disebut
sebanyak lima puluh dua kali di dalam Alqur’an9. Setiap kata
dalam Alqur’an selalu memiliki banyak sekali keunikan serta
menyimpan kedalaman makna, termasuk kata umat. Beberapa
ayat yang menyebut kata ummat, terlalu jauh jika dikatakan
mewakili, namun sekiranya dapat memberikan sedikit gambaran
kepada kita mengenai kandungan makna, fungsi, dan tujuan
dari Alqur’an dengan menggunakan kata ummat.
“Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan),
Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab,
Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-
Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-
Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 169
setidaknya tidak disebutkan. Menurut ash-Shabuni, asalnya
adalah kaana an-nasu ummatan wahidah ‘ala al-imani
mutamassikiina bi al-haq fakhtalafuu… (Manusia itu adalah
umat yang satu di atas keimanan, berpegang teguh kepada hak
lalu kemudian mereka berselisih…)10.
Hal ini selaras dengan apa yang dikutip oleh Ibn Katsir
yang diriwayatkan Ibn Jarir dari Ibn Abbas bahwasannya antara
Nuh dan Adam itu berselang sepuluh generasi, semuanya
berpegang kepada syariat Allah SWT, barulah setelah itu terjadi
perselisihan hingga Allah SWT mengutus para Nabi untuk
memberi peringatan dan kabar gembira kepada mereka11. Jadi
bisa ditarik kesimpulan bahwa ummat dalam ayat ini yang
dimaksud adalah syariat atau dalam kata lain agama.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(QS. Ali Imran: 110).
Kerukunan
170 Umat Beragama MODUL
berikutnya setelah mereka, dan seterusnya12. Demikianlah
umat dalam konteks ayat ini memiliki makna generasi.
“(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap
umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan
kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan
membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
(QS. Al-Isra: 71).
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 171
Keempat, Alqur’an pun menyebut binatang dengan kata “umat”,
sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-An’am :38.
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
(QS. Al-An’am: 38).
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-
kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
(Tuhan).” (QS. An-Nahl: 120)
Kerukunan
172 Umat Beragama MODUL
Berdasarkan ayat tersebut, Alqur’an dengan tegas
menyebut Nabi Ibrahim dengan kata umat. Menurut Syaikh
Mustafa al-Maraghi, ummat adalah al-jama’ah al-katsiirah;
yakni kelompok yang terdiri dari banyak orang. Menurutnya,
Nabi Ibrahim disebut dengan kata umat, karena beliau
telah memiliki dan mengumpulkan banyak keutamaan dan
kesempurnaan. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan
bahwa yang disebut umat itu tidaklah harus banyak jumlahnya
secara dzat (fisik) saja. Namun sebaliknya, sekalipun hanya
satu orang, jika memang memiliki banyak sifat-sifat mulia,
maka dalam konteks ini tidak keliru jika disebut umat.
14 Nuredin Ceci, Inter Religious Tolarence Among the People of Elbasan, Mediterranian
Journal of Social Sciences vol.3 (3) September 2012, ISSN 2039-2117
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 173
bahwa manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang
membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama
manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja
sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik kebutuhan material maupun spiritual. Bahkan ajaran Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong
(ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan
dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Dalam konteks ini juga sebagaimana telah dikemukakan oleh
Maftuh Basuni (Menteri Agama RI periode...), bahwa kerukunan
antar umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah
sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu
ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari
kerukunan nasional. Kerukunan umat beragama adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial
ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi
hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun
dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak
mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli
atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal
ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama
memberi ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari
agama yang berbeda, sebab hal tersebut akan merusak nilai agama
itu sendiri. Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa
diartikan dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi itu
sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan
menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat
Kerukunan
174 Umat Beragama MODUL
juga harus saling menghormati satu sama lainnya misalnya dalam
hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak
saling mengganggu15.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu bentuk
hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup
bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh sikap
pengendalian hidup dalam wujud:
1. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya.
2. Saling menghormati dan berkerjasama intern pemeluk agama,
antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan
pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab membangun
bangsa dan Negara.
3. Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama
kepada orang lain.
15 Wahyuddin dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 32
16 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001, hlm. 255
17 Pasal 1 angaka (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 175
Kerukunan
176 Umat Beragama MODUL
●●●
Kerukunan
Umat Beragama Dalam
Pandangan Islam
3
A. Kerukunan Umat Beragama Menurut Alqur’an
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 177
ketaqwaan kepada Allah dengan cara saling menarik pelajaran
dan pengalaman dari pihak lain, yang dampaknya tercerminnya
kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Saling mengenal yang digarisbawahi dalam ayat di atas adalah
“pancing” untuk meraih manfaat dan bukan “ikan”nya. Maka dalam
hal ini yang diberikan adalah caranya dan bukan manfaatnya, karena
memberi pancing itu jauh lebih baik daripada memberi ikan18.
Namun apabila kita melihat masyarakat di negeri ini, nampaknya
alat yang diajarkan oleh Alqur’an“saling mengenal” belum dimiliki
oleh masing-masing pihak, sehingga belum dapat menikmati hasilnya
(kedamaian dan kesejahteraan). Dapat dibuktikan dengan masih
banyaknya perpecahan yang dilatarbelakangi oleh keberagaman
yang ada di Indonesia, baik aliran keagamaan maupun perbedaan
agama. Maka untuk memanfaatkan keberagaman menjadi sebuah
kekuatan besar yang tak tertandingi, Alqur’an memberikan “pancing”
berupa “saling mengenal” yang selanjutnya menuntut dari semua
keberagaman yang ada untuk saling mengenal antara pihak yang
satu dengan pihak lain.
18 M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1, hlm. 640.
19 M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1, hlm. 640.
20 Muhammad Isma’il Ibrahim, Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Quraniyah (Kairo:
Dar al-Fikri al-‘Arabi, 1998), hlm. 33. Lihat juga dalam Muhammad Fu’ad Abd al-Baaqi,
al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfad al-Quran al-Kariim (Kairo: Dar al-Hadits, 1996),
hlm. 29-30.
Kerukunan
178 Umat Beragama MODUL
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak
anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,
(yaitu) Harun, saudaraku,
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 179
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara
mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh
sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor
saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan”.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.
Kerukunan
180 Umat Beragama MODUL
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.
21 M. Qurais Shihab, Wawasan..., hlm. 643. Diterjemahkan dari The Quran and the
Life of Excellence dengan penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 403-404.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 181
2. Pentingnya Persaudaraan dalam Masyarakat
Dalam memantapkan ukhuwah, pertama kali Alqur’an
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku
dalam kehidupan, dan merupakan kehendak Ilahi untuk
kelestarian hidup dan mencapai tujuan kehidupan makhluk di
pentas bumi. Hal ini dijelaskan dalam Alqur’an surat al-Maidah:
48 sebagai berikut:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-
Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”
Kerukunan
182 Umat Beragama MODUL
Ayat di atas menyampaikan pesan bahwa sikap toleran
adalah sikap ideal yang harus digunakan dalam menyikapi
perbedaan, sedangkan tindakan mendebat dan memperuncing
perbedaan tradisi merupakan tindakan yang keliru. Merupakan
satu bagian penting dari ajaran Islam adalah kesadaran bahwa
toleransi bukanlah gagasan Barat, melaikan konsep universal
Alqur’an22. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat memahami
adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan
pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada
di luar kehendak Ilahi, dan dalam hal ini memerlukan sikap
yang disebut toleran. Jadi berbagai perbedaan yang ada di
dunia ini jangan menjadikan seseorang gelisah atau bunuh diri,
dan sampai memaksa orang lain secara halus atau kasar agar
menganut agamanya.
Dalam ayat yang lain dijelaskan juga tentang anjuran
supaya berpegang teguh pada ajaran Allah dan dilarang bercerai
berai, karena memilih bercerai belai (pecah belah) sama dengan
mengambil posisi di neraka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam
Quran surat Ali Imran (3): 103
“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-
musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan
kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
22 Sultan Abdulhameed, Al-Quran untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk
Perubahan Diri diterjemahkan dari The Quran and the Life of Excellence dengan penerjemah
Aisyah (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 403-404.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 183
Berdasarkan kandungan ayat-ayat tersebut di atas, begitu
pentingnya persaudaraan (kerukunan) untuk mewujudkan
sosial masyarakat yang damai dan harmonis.
Kerukunan
184 Umat Beragama MODUL
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 185
Kerukunan
186 Umat Beragama MODUL
●●●
Negara Dan
Kebijakan Kerukunan
Umat Beragama
4
A. Trilogi Kerukunan Umat Beragama
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 187
Seringkali konflik mendominasi kehidupan umat manusia di
Indonesia. Konflik-konflik yang tidak diinginkan muncul, misalkan
konflik antar agama, konflik internal agama, dan konflik antara
kelompok beragama dengan pemerintah. Konflik-konflik ini memicu
berbagai sektor untuk ikut andil di dalamnya, misalkan pendidikan,
perkonomian, kebudayaan, dan lain sebagainya. Jadi kehidupan
orang-orang di dunia bisa dikatakan sudah over dalam menggunakan
kerangka berpikir konflik, sehinga hampir setiap saat ada saja konflik
yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan nenanggulangi adanya
konflik dalam perbedaan, maka perlu ada konsep dan langkah-
langkahnya untuk menguatkan kerangka berpikir kedua, yaitu
perbedaan sebagai perekat keragaman. Dalam hal ini, tatkala
Alamsyah Ratu Perwiranegara (1925-1998) masih menjabat
sebagai Menteri Agama pada tahun 1978-1983, ia menerapkan
konsep kerukunan antar umat beragama. Konsep kerukunan antar
umat beragama ini terdiri dari tiga hal atau bisa dikatakan trilogi
kerukunan, yaitu:
1. Kerukunan intern umat beragama;
2. Kerukunan antar umat beragama;
3. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Konsep tersebut masih sangat relevan dengan keadaan Indonesia
saat ini, yang masih memandang perbedaan sebagai sumber konflik.
Konsekuensi logisnya, konsep tersebut perlu untuk dikembangkan
dan diterapkan sebagai alternatif menyikapi perbedaan yang ada.
Kerukunan intern umat beragama bertujuan untuk
memperkokoh hubungan antara individu dengan individu lain
atau kelompok-kelompoknya yang masih seagama. Sedangkan
kerukunan antar umat beragama bertujuan untuk memperkukuh
persaudaraan antara penganut agama satu dengan agama lainnya.
Kemudian kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah
bertujuan untuk menyatukan visi dan misi antar umat beragama dan
pemerintah dalam bingkai Pancasila.
Tugas kita hari ini ialah mengoptimalkan implementasi dari
konsep trilogi kerukunan tersebut. Optimalisasi konsep kerukunan
bisa dilakukan dengan mengembangkannya dan disesuaikan dengan
keadaan sekarang. Optimalisasi trilogi kerukunan ini bisa dimulai
dari diri sendiri untuk membangun sebuah kerukunan diri sendiri
Kerukunan
188 Umat Beragama MODUL
dengan individu lainnya, baru kemudian meningkat di kelompok-
kelompok yang satu agama maupun yang berbeda agama. Kata kunci
dari optimalisasi ini ialah harus memahami dan mengerti orang lain,
agama lain, maupun pemerintah. Harapan dari optimalisasi konsep
trilogi kerukunan antar umat beragama ini ialah dapat memayungi
semua aktivitas intern dan ekstern umat beragama, sehingga
kerukunan tetap terjaga dalam berbagai macam perbedaan.
Berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia, maka negara mencita-
citakan suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup
berdampingan dan berperan secara konstruktif, kesetiaan utama
kelompok-kelompok agama tidak berhenti pada agamanya sendiri.
Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas
agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 189
mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga
bentuk kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum,
dan kedaulatan Tuhan26. Ketiga bentuk kedaulatan tersebut tentunya
menjadi haluan dalam penyelenggaraan negara dan bangsa, yang
diharapkan agar mewujudkan penyelenggaraan negara yang sesuai
dengan kedaulatan yang ada dalam negara.
Pandangan Jimly Asshiddiqie, menegaskan dalam konteks
Indonesia, karena salah satu nilai dasarnya negara adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prinsip
hierarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang
mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat datang dari mana saja, termasuk misal dari sistem syariat
Islam atau nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu,
Budha, Konghucu, saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
telah diadopsi, maka sumber norma syariat itu tidak perlu disebut
lagi karena namanya sudah berubah menjadi hukum negara yang
berlaku untuk umum sesuai prinsip Ketuhanan yang Maha Esa
sudah dengan sendirinya tak boleh ada hukum negara Indonesia
yang bertentangan dengan norma-norma agama.27
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur
tentang kebebasan untuk beragama di Indonesia yang dituangkan
dalam konstitusi sebagaimana dapat dilihat Pasal 28E mengenai
kebebasan beragama dan beribadah, Pasal 29 memberikan jaminan
dalam menjalankan agama dan kepercayaannya sedangkan dalam
Pasal 28J mengatur mengenai batasan dalam beribadah bagi setiap
agar tercipta ketertiban. Pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya”.
Walaupun UUD 1945 telah menjamin kebebasan bagi setiap
warga negara Indonesia untuk memeluk agama dan beribadat
sesuai agamanya masing-masing, namun dalam kenyataannya
masih ada juga individu dan kelompok masyarakat tertentu
26 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, edisi ke-6, Jakarta., 1987,
hlm. 7-8.
27 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal
Dan Kepaniteraan MK – RI, Jakarta, 2008, hlm. 705
Kerukunan
190 Umat Beragama MODUL
yang belum mampu hidup berdampingan dalam keberagaman.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa yang mengarah pada adanya
disintegrasi bangsa saat itu, peristiwa Ambon, Maluku Utara, Poso.
Salah satu mandat konstitusional yang menjadi tanggung
jawab pemerintah dalam pelaksanaan penataan bidang agama
adalah memberikan pelayanan bagi pemenuhan hak beragama
warga negara. Pelayanan yang diberikan dapat berupa regulasi dan
fasilitasi. Regulasi berguna untuk memberikan landasan hukum,
arah, dan bentuk pelayanan yang dilakukan terhadap warga negara.
Sedangkan fasilitasi berguna untuk menjamin dan memudahkan
pelaksanaan hak beragama warga negara secara baik.
Peran UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
pemersatu bukan berarti UUD 1945 menghilangkan atau menafikan
adanya perbedaan yang beragam dari seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemersatu maka UUD 1945 harus mengakui, menghormati
dan memelihara keberagaman agama tersebut agar tercipta kerukunan
antar umat beragama. Dalam konteks Indonesia negara dalam hal ini
pemerintah adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala seuatu yang menjadi
turunannya. Sebagai bentuk tindak lanjut regulasi yang tercantum
dalam UUD Tahun 1945, maka dalam upaya menciptakan kerukunan
antar umat beragama ini ada beberapa peraturan perundang-
undangan yang sudah diberlakukan, diantaranya adalah:
1) UU No 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai undang-undang.
2) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran
Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan
di Indonesia.
3) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Mebteri Dalam
Negeri No 1/BER/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
Pemeluknya.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 191
Menyadari bahwa kerukunan umat beragama adalah kondisi
yang sangat dinamis dan kemajemukan umat beragama dapat
menjadi persoalan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
pada tahun 2006 Pemerintah mendorong adanya konsensus antar
umat beragama dalam membangun kerukunan umat beragama yang
lebih hakiki, sistemik dan sistematis dengan lahirnya Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini merupakan peraturan
yang dihasilkan dari kesepakatan bersama pimpinan majelis-
majelis agama dan para pemuka agama. Dalam penyusunan PBM
tersebut, Pemerintah hanya berperan memfasilitasi dan memberikan
payung hukum pengaturan agar dapat diterapkan dalam kehidupan
beragama di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PBM Tahun 2006 memiliki makna yang sangat penting dan
menjadi tonggak sejarah bagi Bangsa Indonesia sebagai bentuk
upaya serius pemerintah dan umat beragama untuk secara bersama-
sama membangun dan memelihara kerukunan umat beragama.
Secara khusus, PBM Tahun 2006 memberi landasan legal formal
bagi kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di seluruh
Indonesia. FKUB merupakan forum yang diinspirasi dan meneruskan
semangat forum dialog lintas agama yang ada sebelum lahirnya PBM
Tahun 2006 yang dibentuk oleh masyarakat di berbagai daerah
dengan nama yang berbeda-beda dan bertujuan untuk membangun
kerukunan umat beragama. Memperhatikan substansi pengaturan
dalam Pasal 1 ayat (6) PBM Tahun 2006, FKUB sejatinya merupakan
“forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan”.
FKUB dibentuk di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 9 PBM Tahun 2006, sebagai forum yang memiliki
mandat resmi dari Pemerintah, FKUB di provinsi dan kabupaten/
kota bertugas dan berwenang sebagai berikut:
Kerukunan
192 Umat Beragama MODUL
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan
(khusus untuk FKUB kabupaten/kota) ditambah
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 193
FKPA (Forum Komunikasi Pemuka Antar Agama), BKSAUA (Badan
Kerjasama Antar Umat Beragama), dan sebagainya28. FKUB adalah
forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan29.
FKUB memiliki mandat resmi dari pemerintah untuk mengurus
persoalan kerukunan umat beragama, tentu saja tanpa mengabaikan
peran kelompok sipil lainnya. FKUB juga berperan untuk membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan. Tidak hanya mengurus kerukunan umat,
melainkan juga pemberdayaan untuk kesejahteraan. Itu sebabnya,
FKUB sudah seharusnya menjalankan mandatnya secara optimal,
dengan bantuan kontrol dari pemerintah dan seluruh elemen
masyarakat.
28 Sebelum terbitnya PBM, di beberapa daerah telah berdiri lembaga lintas agama
serupa. Mereka antara lain adalah Forum Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama
(FKKUB) di DKI Jakarta, Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) di Sulawesi
Utara, Forum Komunikasi Pemuka Agama (FKPA) di Sumatera Utara, dan sebagainya.
Lembaga-lembaga ini dibentuk dan dibiayai oleh masyarakat.
29 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6) (Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya,
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008 :37)
30 Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan, Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2013, hlm. 211
31 Ibid
Kerukunan
194 Umat Beragama MODUL
Indonesia sering dilihat sebagai contoh bagaimana masyarakat
dengan beragam etnik dan agama bisa hidup rukun dengan tanpa
memunculkan masalah yang berarti dalam jangka waktu yang
cukup lama. Penilaian seperti ini mungkin benar jika melihat potret
masyarakat Indonesia pada umumnya yang mementingkan harmoni
dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi akan perbedaan di
antara mereka. Meskipun demikian, penilaian seperti itu sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, mengingat masyarakat Indonesia sendiri
menyadari akan rentannya hubungan di antara mereka dan juga
mengalami seringnya konflik yang berlatar belakang agama. Oleh
karena itu, membangun kerukunan umat beragama telah lama
menjadi perhatian dan upaya pemerintah, karena hubungan
antarumat beragama di Indonesia bukan saja sering memunculkan
masalah tetapi juga telah menimbulkan konflik berkepanjangan.
Klimak dari hubungan yang tidak baik antara pemeluk agama di
Indonesia ini adalah terjadinya konflik SARA di Ambon dan Poso yang
dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang agama, yakni
antara pemeluk Islam dan Kristen. Konflik-konflik ini dikatakan
sebagai konflik agama, karena bukan rahasia lagi bahwa kalangan
yang terlibat di dalamnya telah memakai bendera agama masing-
masing dan menegaskan adanya kepentingan agama yang mengiringi
perjuangan mereka.
Konflik-konflik keagamaan yang ada nampaknya muncul karena
rasa perbedaan dalam hal pemelukan agama dan bahkan rasa
permusuhan karena perbedaan agama yang berkembang bukan saja
di kalangan mereka yang mengalami konflik melainkan juga di antara
mereka para pemeluk agama pada umumnya. Keadaan seperti
itu tentu saja tidak menguntungkan bagi persatuan dan kesatuan
sebagai bangsa, sebab perpecahan bukan saja akan menghambat
pembangunan pada umumnya tetapi juga menghilangkan semangat
untuk membangun itu sendiri. Ini berarti bahwa ketahanan nasional
di bidang agama akan menurun, yang dapat berakibat pada
melemahnya persatuan sebagai bangsa.
Franz Magnis-Suseno (1995) menyatakan bahwa dengan
dasar Pancasila, Indonesia sejak merdeka telah berhasil menjamin
kebebasan beragama dan kesamaan hak warga semua agama sebagai
warga negara dengan prinsip non-diskriminasi dan hidup bersama
umat beragama lainnya secara damai. Arti penting Pancasila ada di
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 195
dalam prinsip saling menghormati keyakinan agama. Sikap saling
menghormati tersebut merupakan suatu modal amat penting demi
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Menyadari pentingnya
untuk terus membangun dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa, Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya membangun
kerukunan dan keharmonisan kehidupan umat beragama.
Agama dalam penyelenggaraan negara dipandang sebagai
salah satu wadah rohaniah bangsa, yang selalu diharapkan agar
senantiasa menjadi penggerak hidup masyarakat sebagai bangsa
yang berketuhanan, sebagai bangsa yang menganut falsafah
Pancasila. Sejak awal pembentukan negara Indonesia, the founding
fathers memandang betapa pentingnya aspek-aspek rohaniah bangsa
kita. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia,
the founding fathers telah merumuskan dan akhirnya sepakat
menetapkan Pancasila sebagai ideologi nasional, didalamnya tersirat
pandangan bangsa yang religius, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hubungan antara agama dan negara dalam praktek
kehidupan kenegaraan Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan
negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara),
dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Bentuk
hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat
dianggap sudah selesai dengan sekularismenya, atau pemisahan
antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia
of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya
dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan
lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-
prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas
pribadi dan organisasi sosial32.
Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama,
karena tidak berdasarkan agama tertentu, juga bukan negara sekuler
karena tidak memisahkan urusan negara dengan urusan agama.
Dengan keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa,
menyebabkan berkembangnya doktrin persamaan kemanusiaan
32 The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, Macmillan Publishing Company, New York,
page. 159
Kerukunan
196 Umat Beragama MODUL
atau paham egalitarian, dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya
menjadi nisbi kecuali Tuhan, yang bersifat Maha Kuasa dan Maha
Mutlak, maka musyawarah menjadi keharusan sosial yang sentral
dalam kehidupan publik, termasuk merajut mempererat kerukunan
umat beragama di Indonesia dalam semangat Bhineka Tunggal Ika
sebagai salah satu pilar bangsa. Interpretasi dan pandangan senada
juga dikemukakan Moh. Mahfud MD. Menurutnya, secara yuridis
konstitusional Negara Indonesia bukanlah negara Agama dan bukan
negara sekuler. Indonesia adalah sebuah religious nation state atau
negara kebangsaan yang beragama33.
Lebih lanjut Prof. Mahfud MD menguraikan, Indonesia
adalah negara kebangsaan yang religius yang menjadikan ajaran
agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakatnya.
Pemerintah sejak tahun 1967 telah memfasilitasi dan mendorong
dialog-dialog kerukunan antar umat beragama. Presiden Soeharto
ketika itu menggagas pertemuan musyawarah antar agama di
Jakarta. Saat itu kata ”kerukunan” dan ”toleransi beragama” mulai
digaungkan dalam konteks keindonesiaan. Harus diakui bahwa
kondisi kehidupan umat beragama di Indonesia yang rukun dan
harmonis sejak kemerdekaan bukan hanya karena komitmen politik
pemerintah, melainkan juga karena unsur budaya bangsa yang
terpelihara dari masa ke masa. Bahkan, selama puluhan tahun
bangsa Indonesia telah mendapat pengakuan dan penghargaan
dunia dalam aspek kerukunan umat beragama. Indonesia seringkali
juga dijadikan rujukan dan model kehidupan beragama oleh negara-
negara yang memiliki keragaman agama. Meskipun demikian, dalam
sejarah perjalanan sebagai suatu bangsa dengan kemajemukan yang
sangat besar, Indonesia mengalami berbagai persoalan dan peristiwa
konflik sosial bernuansa agama. Berbagai peristiwa pertikaian
antar kelompok umat bergama telah menjadi catatan kelam yang
memilukan. Peristiwa-peristiwa tersebut seperti telah mencerabut
akar budaya hidup rukun yang telah lama tertanam dalam kehidupan
sosial masyarakat.
33 Moh .Mahfud MD, Politik Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Varia
Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 290 Januari 2010, hlm. 2
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 197
Beberapa kasus konflik bernuansa agama, baik yang terkait
hubungan antar maupun intern umat beragama juga sekaligus telah
menjadi batu ujian bagi ketahanan kerukunan dan toleransi umat
beragama di Indonesia. Beberapa kasus konflik antar umat beragama
dalam dua dekade terakhir ini telah menyita energi pemerintah untuk
menyelesaikannya. Di antara konflik tersebut adalah konflik yang
terjadi di Poso pada tahun 1998 sampai sekitar tahun 2002, konflik
di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 1998, dan konflik di Sampit
Kalimantan pada tahun 1996.
Secara umum, kasus-kasus konflik sosial keagamaan dalam
skala yang massif tersebut telah selesai dengan baik, namun tidak
dapat dipungkiri berbagai kasus konflik dalam skala yang kecil
tetapi berdampak luas secara sosial politik masih saja terjadi.
Berbagai peristiwa tersebut menunjukan bahwa sebagai sebuah
negara bangsa (nation-state), Indonesia masih sangat rentan
terhadap timbulnya konflik sosial keagamaan yang harus terus
diupayakan untuk secara preventif dapat dicegah. Kerja keras dan
kerjasama semua umat beragama untuk membangun kondisi
keharmonisan umat beragama yang kondusif perlu terus digalang
secara konsisten dan dijadikan sebagai agenda kebangsaan.
Berdasarkan pengalaman dan kajian terhadap berbagai
konflik yang terjadi di Indonesia selama ini, banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik kehidupan beragama di Indonesia.
Beberapa faktor sebagai penyebab terjadinya konflik umat
beragama tersebut meliputi faktor eksogen, endogen, dan relasional.
Faktor eksogen adalah faktor yang berasal dari luar komunitas
atau masyarakat yang mengalami konflik (ofexternal origin) yang
mencakup antara lain, ketimpangan dan ketidakadilan secara
sosial, politik, dan ekonomi yang dirasakan oleh umat beragama
tertentu. Faktor endogen adalah faktor yang berasal dari
dalam komunitas atau masyarakat yang mengalami konflik
(of internal origin), yang mencakup antara lain, pemahaman
keagamaan yang sempit serta fanatisme agama. Sedangkan faktor
relasional adalah faktor yang terkait dengan hubungan antar
komunitas umat beragama, yang meliputi antara lain, pendirian
rumah ibadah, penyiaran agama, perkawinan beda agama, penodaan
agama, mobilitas penduduk, dan ekslusivisme etnis. Ketiga faktor
tersebut saling mempengaruhi dan semakin banyak faktor yang
Kerukunan
198 Umat Beragama MODUL
menjadi sumber penyebab konflik, akan semakin kompleks dan
lama konflik tersebut terjadi.
Negara Indonesia yang sejak awal kemerdekaan merumuskan
negara sebagai suatu negara yang integralistik, tentunya
memperkuat integrasi bangsa dan negara. Upaya untuk memperkuat
integrasi bangsa dan mengurangi munculnya perselisihan dan
konflik dalam masyarakat, revitalisasi ideologi perlu mendapatkan
penekanan sebagai bagian dari penguatan wawasan kebangsaan.
Hal ini dilakukan melalui perumusan operasional ideologi
Pancasila yang lebih akademik dan sekaligus lebih fleksibel serta
sosialisasi Pancasila baik dalam pendidikan formal maupun dalam
masyarakat. Sejalan dengan hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya konflik antar warga tentu saja perlu diatasi atau
dihilangkan, seperti ketimpangan ekonomi dan pendidikan.
Munculnya era reformasi, yang sejak awal mendukung
kebebasan, mendorong warga negara untuk mengekspresikan
pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka secara bebas dan
terbuka, termasuk ekspresi ideologi yang pada masa Orde Baru
sangat dibatasi atau ditekan. Di antara ekspresi itu ada tindakan yang
berlebihan sehingga melahirkan konflik, perselisihan dan kekerasan
dalam masyarakat, baik yang berlatar belakang politik, ekonomi,
etnis, agama dan sebagainya. Sebagai masyarakat majemuk, sejak
awal bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat
beragama yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh
toleransi beragama di dunia. Namun di era reformasi ini, peristiwa
konflik antar-warga, termasuk yang berlatar belakang agama, justru
semakin meningkat dibandingkan dengan pada masa Orde Baru.
Muncul pula ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan dan
radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam
kehidupan bangsa dan negara dan bahkan dapat mengancam NKRI
dan kebhinnekaan. Hubungan interaksi dalam masyarakat yang
mejemuk ini tentunya tidak mudah untuk mewujudkan harmoni dan
kedamaian, karena masing-masing kelompok bisa memiliki aspirasi
dan kepentingan yang berbeda-beda dan bisa berimplikasi kepada
munculnya persaingan. Apalagi jika masing-masing kelompok
mengembangkan politik identitasnya dan egoisme kelompoknya
dengan mengatasnamakan ekspresi kebebasan dan hak-hak asasi
manusia.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 199
Perbedaan, perselisihan, dan konflik sebenarnya hal yang
tak bisa dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan negara,
tetapi jika konflik itu berkembang menjadi kekerasan, maka hal
ini menunjukkan bahwa sebagian bangsa Indonesia masih belum
beradab, dan hal ini bahkan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran
agama yang ada di Indonesia.
Kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan
nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara
terus dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama
sendiri berarti keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,
kerukunan hidup antar umat beragama merupakan prakondisi yang
harus diciptakan bagi pembangunan di Indonesia.
Seluruh umat beragama harus memberikan kontribusi yang
nyata bagi pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa
Indonesia. Nilai-nilai religius harus dapat memberikan motivasi positif
dan menjadi arah tujuan dalam seluruh kegiatan pembangunan di
Indonesia. Keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan kepada
agama akan dapat menjadi motor pembangunan yang dapat
diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan itu sendiri
tidak pernah dilupakan34.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memperkuat integrasi
nasional dalam proses demokratisasi yang beradab melalui upaya
penguatan wawasan kebangsaan warga, terutama dilakukan oleh
MPR, melalui penguatan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan kebhinnekaan. Upaya ini dilakukan dengan
revitalisasi ideologi sebagai suatu platform bangsa Indonesia yang
sangat majemuk ini, sementara tingkat pendidikan dan kesejahteraan
mereka secara umum masih rendah yang berakibat terhadap
rendahnya tingkat kesadaran akan harmoni dan integrasi bangsa.
Dalam revitalisasi ini diperlukan rumusan ideologi Pancasila yang
Kerukunan
200 Umat Beragama MODUL
lebih akademik dan sekaligus lebih terbuka, sehingga penafsiran
Pancasila tidak akan disakralkan seperti pada masa lalu.
Sebagai upaya untuk penguatan wawasan kebangsaan inilah
agama dapat memberikan kontribusi yang positif dalam revitalisasi
ideologi Pancasila. Hal ini berarti bahwa agama semestinya menjadi
faktor integratif (pemersatu) dan bukan sebaliknya sebagai faktor
disintegratif (pemecah belah) bangsa. Dengan fungsi ini nilai-nilai
agama dan Pancasila menjadi modal sosial bagi harmoni dan integrasi
bangsa. Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman
keagamaan yang moderat dengan memperhatikan kondisi obyek
masyarakat Indonesia yang multi-etnik, multi-agama dan multi-
kultural.
Pemahaman semacam ini akan menjelma menjadi sikap
keberagamaan yang moderat dan toleran terhadap kemajemukan,
bukan sikap keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal.
Sebagai konsekuensinya adalah adanya upaya-upaya counter
(kontra) radikalisme, baik melalui pendekatan keamanaan dan
hukum maupun pendekatan agama (theologis). Pendekatan
keamanan atau hukum saja tidak cukup, terutama bagi radikalisme
ideologis, karena para pelakunya justru merasa bangga dikenakan
hukuman dan menganggap diri mereka sebagai pahlawan. Oleh
karenanya, di samping pendekatan keamanan dan hukum, juga
perlu dilakukan pendekatan teologis yang menekankan pemahaman
ajaran agama yang mengajarkan harmoni dan kedamaian.
Negara mengakui eksistensi lembaga-lembaga keagamaan dalam
negara dan masyarakat. Hanya saja, terdapat perbedaan visi dan
aspirasi di kalangan warga tentang sejauh mana keterlibatan agama
itu dalam negara35. Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang
keagamaan dalam konteks kehidupan negara cukup bervariasi,
secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk.
Pertama, agama sebagai ideologi; pemikiran ini didukung oleh
mereka yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang
manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama secara formal
35 Di era reformasi ini muncul pula orientasi kelompok yang mendukung sekularisme
dan liberalisme yang berarti pemisahan agama dan negara sepenuhnya seperti di negara-
negara Barat. Mereka menolak pelibatan agama dalam negara dan bahkan menolak
Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 201
sebagai hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar
daripada orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan
bisa menimbulkan dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang
majemuk. Apalagi secara umum kelompok ini memiliki sikap yang
absolutis dan eksklusif dalam beragama, di samping kadang-kadang
melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-cita mereka.
Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang
didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih
besar daripada orientasi keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung
pelaksanaan etika-moral agama (religio-ethics), dan menolak
formalisasi agama dalam konteks kehidupan bernegara. Posisi agama
sebagai sumber pembentukan etika-moral ini dimaksudkan agar
bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika moral,
tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-
kadang bisa sangat subyektif atau sangat temporal.
Ketiga, agama sebagai sumber ideologi. Orientasi pertama
memang sangat idealistis dalam konteks Islam, tetapi kurang
realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam
konteks kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam
konteks agama Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak
hanya berupa etika-moral melainkan juga sejumlah norma-norma
dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu orientasi ini akan
mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang
berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal
yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara
keduanya, yakni menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai
salah satu sumber ideologi Pancasila.
Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski
orientasi ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama
atau prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
ia masih tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Karena
Pancasila ini merupakan ideologi terbuka dan fleksibel, maka agama
dituntut untuk memberikan kontribusi dalam penjabaran konsep-
konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-norma
agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan
etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping
Kerukunan
202 Umat Beragama MODUL
itu, orientasi ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi
terhadap kemajemukan bangsa ini, sehingga semua warga negara
memiliki kedudukan yang sejajar.
Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa
saat ini sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa
ini secara umum masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan,
korupsi, penipuan, kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme,
keserakahan dan sebagainya, baik dalam kehidupan masyarakat
maupun kehidupan politik, hukum dan birokrasi. Demikian pula,
kini semakin banyak terjadi kenakalan remaja, penyalahgunaan
narkoba, perkelaian antar kelompok, pergaulan bebas, pornografi,
pornoaksi, dan sebagainya. Penguatan akhlak ini kini menjadi sangat
penting untuk memperkuat etika politik dalam proses konsolidasi
demokrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2004 tetapi kurang
berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi demokrasi yang
telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 200436.
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi
pengambilan kebijakan negara, agar peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan negara itu sejalan atau tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran agama, serta sesuai dengan aspirasi rakyat. Dalam
kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung
nilai-nilai yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang bersifat pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi
rakyat itu juga adakalanya bersifat umum (universal) dan adakalanya
bersifat khusus (partikular).
Agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman yang
dipandang mempunyai nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada
suatu kekuasaan, yang dipercayai sebagai suatu yang menjadi asal
mula segala sesuatu, kemudian yang menambah dan melestarikan
nilai-nilai serta sejumlah ungkapan yang sesuai dengan urusan
pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara yang
simbolis maupun melalui perbuatan yang bersifat perseorangan atau
secara bersama-sama37.
36 Harold Chrouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, (Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies, 2010), hlm. 35; dan Edward Aspinal and Marcus Mietzner (eds.),
Problems of Democratizations in Indonesia: Elections, Institutions and Society, (Singapore:
ISEAS, 2010), hlm.17.
37 Inu Kencana Syafei, Etika Pemerintahan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 120
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 203
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam
diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang
berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen
kognitif persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif dan
perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap
keagamaan antara komponen kognitif, afektif dan konatif saling
berintegrasi sesamanya secara komplek.
Ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman
oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-
norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna
pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam
upaya memenuhi ketaatan kepada Tuhan. Tetapi dalam kehidupan
nyata banyak dijumpai penyimpangan atau perubahan dari konstatasi
di atas, baik secara individual maupun kolektif38.
Kerukunan
204 Umat Beragama MODUL
●●●
Agama-Agama
Di Indonesia
5
A. Agama-Agama di Indonesia
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 205
1. Agama Islam
Agama Islam merupakan agama yang disandarkan pada
risalah kenabian yang disampaikan melalui Nabi Muhammad
SAW. Agama ini merupakan agama dengan penganut terbanyak
di Indonesia. Agama ini disebarkan mulai abad ke-12 M melalui
jalur perdagangan, politik, dan interaksi penyiar Muslim asal
Timur Tengah dengan masyarakat lokal Indonesia. Agama ini
banyak dianut masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Kerukunan
206 Umat Beragama MODUL
3. Agama Kristen Protestan
Agama Kristen Protestan merupakan agama dengan
penganut terbanyak kedua di Indonesia setelah Islam. Agama
ini disebarkan di Indonesia seiring berlangsungnya interaksi
masyarakat Indonesia dengan penjelajah Eropa Barat melalui
peran misionaris ke berbagai daerah. Kendati hadir di berbagai
wilayah di Indonesia, umat agama Protestan terkonsentrasi di
Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, Nusa Tenggara Timur,
dan Sumatera Utara.
4. Agama Hindu
Hindu merupakan agama dunia pertama yang mulai
mendapatkan tempat di lingkungan masyarakat Indonesia.
Agama yang disyiarkan pertama kali di India ini kini banyak
terkonsentrasi di Bali, meski juga memiliki sebaran pengikut
cukup banyak di berbagai wilayah di Indonesia seperti Sumatera,
Jawa, Lombok, dan Kalimantan.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 207
5. Agama Buddha
Seperti halnya agama Hindu, agama Buddha merupakan
salah satu agama pertama yang dianut masyarakat Nusantara.
Bersama-sama agama Hindu, agama Buddha bertahan cukup
lama di Indonesia dan berperan besar membangun peradaban
Indonesia klasik. Selain di Jakarta, penganut agama ini banyak
tersebar di daerah-daerah Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan
Barat.
f. Agama Khonghucu
Agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang
mendapat tempat di sebagian masyarakat Indonesia. Kebangunan
paling penting sejarah agama Khonghucu di Indonesia adalah
saat penganut agama ini mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK) di Jakarta tahun 1900-an dalam membina dan melayani
umat agama ini. Sejak saat itu, agama ini berkembang di
lingkungan masyarakat Indonesia terutama di wilayah Jakarta
dan Kalimantan.
Kerukunan
208 Umat Beragama MODUL
Tidak hanya dianut dan dijalankan sebagai keyakinan
individu, agama-agama ini dijalankan dan berpengaruh besar
dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Secara sosial
historis misalnya, agama-agama ini telah berperan sebagai spirit
pembangunan peradaban di kawasan Nusantara. Agama Hindu
dan Buddha sebagai dua agama tertua di Indonesia misalnya
berperan besar dalam membangun literasi, sastra, pertanian, seni,
dan politik di sejarah awal Nusantara. Dari sisi politik, agama
Hindu dan Buddha berperan besar melahirkan sejumlah kerajaan
besar di Nusantara seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Airlangga,
Kerajaan Sriwijaya dan lain-lain. Di sisi seni rupa, kedua agama ini
berperan besar melahirkan bangunan arsitektur keajaiban dunia
seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan berbagai candi
lain di Nusantara. Begitu juga Islam. Agama ini berperan besar
melahirkan sejumlah kerajaan penting masyarakat Nusantara dalam
bentuk kesultanan Islam seperti Kesultanan Demak, Kesultanan
Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Mataram. Dengan demikian,
agama-agama turut berperan memotivasi dan mewarnai berbagai
aspek kehidupan masyarakat tanah air sejak dulu.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 209
juga menjadikan agama-agama begitu berperan besar dalam
membangun kesadaran berbangsa masyarakat di tanah air. Dengan
demikian, bisa dikatakan jika nilai-nilai luhur agama menjadi
motivasi sekaligus pendorong utama masyarakat tanah air dari
berbagai latar belakang untuk hidup bersama-sama sebagai warga
sebuah kawasan politik kebangsaan dengan mengedepankan sikap
toleransi dan penghargaan terhadap satu sama lain.
Kerukunan
210 Umat Beragama MODUL
●●●
Isu-Isu Kerukunan
Umat Beragama
6
Dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama,
seringkali ditemukan sejumlah kasus yang menjadi isu penting
dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama. Beberapa
diantaranya:
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 211
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan
umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/
desa. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga dilakukan dengan
tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundang-undangan. Untuk itu, pendirian rumah ibadah
diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan, baik administratif,
teknis bangunan, maupun persyaratan khusus. Persyaratan
khususnya yaitu:
1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang
yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama
kabupaten/kota.
Sementara itu, jika persyaratan 90 nama dan KTP
pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat dukungan
masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan
rumah ibadat. Permohonan pendirian sendiri diajukan oleh
panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota
untuk memperoleh IMB rumah ibadat. Panitia pembangunan
rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama,
ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. Kemudian,
Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari
sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.
Kerukunan
212 Umat Beragama MODUL
terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama
di Timur Tengah. Berikut tulisan ulama besar Suriah Mustafa
az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan fatwanya “Fatwa
Mustafa az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad
Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf
al-Qardhawy. Al-Qardhawy mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya
dan merasa bangga menulis pengantar tentang kumpulan fatwa
itu. Fatwa ini adalah jawaban az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad
ash-Shabbagh yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya
sebagai berikut:
“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang
diucapkan seorang Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa
(Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat saya:
Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya
yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran
berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh
Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi
hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini
terhadap mereka, apalagi yang mulia al-Masih dalam
pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah
yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang amat
diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat
kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. Haram—siapa
yang menduga demikian—maka dia salah karena tidak ada
hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum
Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 213
lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah
image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan
Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman
yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia
tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung
kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran,
maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang
ditujukan kepada kaum Muslim,” demikian antara lain
Mustafa az-Zarqa’.
Kerukunan
214 Umat Beragama MODUL
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf al-Bakkali sehubungan
dengan makna ayat: (berbuat baiklah kepada) tetangga yang
dekat. Tetangga dekat yang dimaksudkan di sini, yakni tetangga
yang Muslim. Sementara itu, (berbuat baiklah kepada) tetangga
yang jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Adanya riwayat ini menjadi rujukan bagi ating ka berbuat baik
dengan tetangga harus dilakukan tanpa membedakan agama
mereka.
Banyak hadis yang menganjurkan seorang Muslim untuk
berbuat baik kepada tetangga. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As bahwa Nabi SAW bersabda,
“Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik
kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah
orang yang paling baik kepada tetangganya.”
Nabi SAW bahkan melarang kita untuk menyakiti tetangga
saat menjawab pertanyaan tentang kategori dosa yang paling
besar. Dilansir dari HR Imam Ahmad, disebutkan tentang
sahabat Ibnu Mas’ud yang bertanya tentang dosa paling besar.
Rasulullah SAW menjawab, “Bila kamu menjadikan tandingan
bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu. Bila kamu
membunuh anakmu karena khawatir dia akan bersamamu, bila
kamu berzina dengan istri tetanggamu.”
Banyaknya anjuran untuk berbuat baik kepada tetangga
dan larangan untuk menyakitinya, membuat Nabi SAW sempat
berprasangka jika Jibril akan menurunkan wahyu tentang
hak mawaris bagi tetangga. Meski demikian, wahyu tersebut
tidak ating. Hadis Riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari
Abdullah Ibnu Umar mengungkapkan, Rasulullah SAW telah
bersabda, “Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai
tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya
hak mawaris.”
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan,
ada ulama yang menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni
tinggal di sekeliling rumah sejak rumah pertama hingga rumah
ke-40. Ada juga ulama yang tidak memberi batasan tertentu
dan mengembalikannya kepada situasi dan kondisi setiap
masyarakat.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 215
Namun, dewasa ini sering kali ada tetangga yang tidak
dikenal namanya atau bisa jadi ada yang tidak seagama.
Kendati demikian, semua tetangga wajib mendapat perlakuan
baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya, menyampaikan
belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya ketika
mengalami kesulitan. Rasulullah SAW bahkan bersabda kepada
sahabat, Abu Dzar al Ghifari, “Wahai Abu Dzar, apabila engkau
(keluargamu) memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan
berilah tetanggamu.” (HR Muslim).
Kisah dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri pun bisa menjadi
rujukan bagi kita dalam bertetangga. Alkisah, dia menahan diri
untuk tidak menggugat tetangganya yang beragama Yahudi.
Padahal, setiap hari rumah Imam Hasan terkena pembuangan
air dapur rumah tetangganya.
Pada satu hari, Hasan Al-Bashri sakit. Tetangga Yahudi
itu pun menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang
menyeruak masuk ke dalam rumah sang imam. Sontak Yahudi
itu bertanya, “Ini bau apa?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Air
dari rumahmu.” “Kenapa tidak bilang, sudah berapa lama ini
terjadi?” Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, “Sudah 11
tahun.” Yahudi itu malu atas kesalahannya. Dia lantas berikrar
untuk masuk agama Islam.
Kerukunan
216 Umat Beragama MODUL
●●●
Penutup
7
1. Agama dapat mempersatukan perbedaan kultur dalam
masyarakat yang majemuk, sehinngga agama sangat penting
dan sangat berperan dalam membentuk dan membangaun
tatanan masyarakat menjadi lebih teratur, terarah dan lebih
maju karena ajaran agama mampu menciptakan kerukunan
kultur dan memperbaiki kualitas pergaulan pada orang-orang
yang memiliki perbedaan agama pada masyarakat yang majemuk
agar senantiasa hidup berdampingan tanpa ada rasa iri, dengki,
merasa paling benar dan lain-lain.
2. Ukhuwah (persaudaraan) banyak dibicarakan dalam ayat
Alqur’an, dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa ukhuwah
islamiyah, yaitu ukhuwah ’ubudiyah, insaniyah, wathaniyah wa
an-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.
3. Persaudaraan atau kerukunan menjadi sesuatu yang sangat
penting dalam menjaga kelangsungan bumi yang beragam
adanya, dalam hal ini diperlukan pemahaman kemanusiaan
(sosial masyarakat) antara satu pihak dengan pihak lainnya.
4. Keberagaman yang muncul di dunia ini merupakan sunnatullah
demi kelestarian hidup dan demi mencapai tujuan kehidupan
makhluk di pentas bumi, yaitu mana yang paling bertaqwa di
sisi Allah SWT.
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 217
●●●
Daftar
Pustaka
A. BUKU
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, Gema Insani Press, Jakarta,
1996.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang
Percaturan dalam Konstituante, LP3ES,Jakarta: 1985
Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, LkiS,
Yogyakarta, 2000.
Ali Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, 1976.
Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan,
Badan Litbang dan Diklat, Jakarta, 2013
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunik asi Antar Budaya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Kompas,
Jakarta, 2002
_____________, Pergolakan politik Islam ; dari fundamentalisme,
modernisme hingga post-modernisme. Paramadina, Jakarta,
1996
Al-Asfahani ar-Raghib, Mu’jam Mufradat fii Alfadz Alqur’an, Beirut,
Dar al-Ma’rifah.
Al-Baaqi, Muhammad Fu’ad Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfad
Alqur’anal-Kariim, Kairo, Dar al-Hadits, 1996.
Ibnu Hasan Muchtar & Farhan Muntafa, Efektivitas FKUB
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama: Kapasitas
Kelembagaan dan Efisiensi Kinerja FKUB Terhadap Kerukunan
Umat Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2015
Kerukunan
218 Umat Beragama MODUL
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, Beirut, Dar al-Ma’arif, 1955.
Ibnu Katsir, Tafsisr Ibn Katsir, Jakarta, Pustaka Ibn Katsir, jld. 1,
2008.
Dahl, Robert, A. Democracy and its Ctitics, New Haven/London: Yale
University Press, 1989.
Deddy Ismatullah dan Asep A Syahid, Gatara, Ilmu Negara dalam
Multi Perspektif, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007
Donald Eugen Smith, Religion and Political Development, Boston,
Little Brown and Company, 1970
Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam
Mulia, Jakarta, 1998. cet. Ke-4.
Edward Aspinal and Marcus Mietzner (eds.), Problems of
Democratizations in Indonesia: Elections, Institutions and
Society, Singapore: ISEAS, 2010
Effendi Bahtiar, Islam dan Negara, Paramadina, Jakarta, 1998.
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana
Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1999
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotheca
Islamica, 1991.
Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah
Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Haidlor Ali Ahmad, Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2013
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, Jakarta,
edisi ke-6., 1987
Harold Chrouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, Institute
of Southeast Asian Studies, Singapore, 2010
Inu Kencana Syafei, Etika Pemerintahan, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
2010
Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001.
______________, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar, PT. Mizan
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 219
Pustaka, Bandung, 2004.
Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Paramadina,
Yogyakarta, 1999.
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan aksi Islam Indonesia, Paramadina,
Jakarta, 1995
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1993.
Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-fikr, cet. , jld. 1.
Muhammad Isma’il Ibrahim,., Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam
Alqur’aniyah (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 1998).
M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, PT. Mizan Pustaka, cet. 19, Jakarta, 2007.
________________, Dia di mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap
Fenomena, Lentera Hati, Jakarta, 2011.
______________, Wawasan Alqur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat, Mizan, Bandung, 2007.
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta,
1999
Nuredin Ceci, Inter Religious Tolarence Among the People of Elbasan,
Mediterranian Journal of Social Sciences vol.3(3) September
2012, ISSN 2039-2117
Peter L. Berger et al., The Desecularization of the World: Resurgent
Religion and World Politics, Ethics and Public Policy Center,
Washington DC, 1999
Sultan Abdulhameed, Alqur’an untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci
untuk Perubahan Diri diterjemahkan dari The Quran and the Life
of Excellence dengan penerjemah Aisyah, Zaman, Jakarta, 2012.
The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, Macmillan Publishing Company,
New York
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2008, hlm. 1586.
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2013
Wahyuddin dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinngi,
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009
Kerukunan
220 Umat Beragama MODUL
B. Peraturan Perundang-undangan
Kerukunan
MODUL Umat Beragama 221
Evaluasi
1. Apa yang dimaksud dengan Kerukunan Umat Beragama?
2. Sebutkan dalil Alquran dan Hadits tentang Kerukunan Umat
Beragama.
3. Sebutkan regulasi Kerukunan Umat Beragama!
4. Sebutkan Trilogi Kerukunan Umat Beragama berikut contohnya.
5. Jelaskan manfaat dibentuknya Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB).
Kerukunan
222 Umat Beragama MODUL
7
●●●●●
Modul
Radikalisme
dan Aliran
Sempalan
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 223
Modul
Radikalisme
dan Aliran
Sempalan
●●●●●
Tim Penyusun
• Elvi Anita Afandi
• Mahmudi
• Husnul Khotimah
• Marliana Agustin
Radikalisme dan
224 Aliran Sempalan MODUL
●●●
Pendahuluan
1
S egala puji bagi Allah SWT atas karunia dan nikmat Nya, Modul
ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam bagi junjungan Nabi
Besar Muhammad Saw, para sahabat, keluarga, dan umatnya hingga
akhir zaman.
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil merupakan
aparat garda terdepan Kementerian Agama RI yang memiliki peran
strategis karena berhadapan langsung dengan masyarakat. Berbagai
konflik yang berawal dari perbedaan pemahaman keagamaan banyak
berawal dari sini. Penyuluh Agama diharapkan dapat menjadi
perekat yang mempersatukan. Oleh karenanya perlu dibekali
dengan pengetahuan yang cukup terkait permasalahan penerapan
pemahaman keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Diharapkan materi dalam bentuk modul-modul ini dapat
menjadi acuan sederhana yang dapat dikembangkan sendiri oleh para
Penyuluh Agama dengan referensi yang lebih kaya, sehingga dapat
memberikan manfaat lebih bagi kemaslahatan umat dan negara.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan para Direktur atas kontribusi
dan dukungannya dalam mewujudkan Modul Pelaksanaan Tugas
Penyuluh Agama Islam ini. Terutama Kepala Subdit, Kepala Seksi
dan Staff pada Subdit Penyuluh Agama Islam dan tidak kalah
pentingnya, kepada segenap Tim Penulis/Penyusun dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, para Penyuluh Agama
Islam PNS yang tergabung di dalamnya dan elemen lainnya yang
turut berkontribusi. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 225
tak terhingga juga kepada siapa saja yang telah berkontribusi
terhadap karya ini.
Juraidi
A. LATAR BELAKANG
Radikalisme dan
226 Aliran Sempalan MODUL
Gerakan pemikiran, faham dan aktifvitas yang bertentangan
dengan mainstream ajaran agama lazim disebut gerakan ALIRAN
SEMPALAN atau ALIRAN SESAT, sedangkan gerakan yang
menghendaki perubahan mendasar atas nilai-nilai dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara akibat pemikiran, faham, dan aktivitas
keagamaan yang tidak lazim biasa disebut gerakan RADIKALISME.
Dalam Modul ini sesungguhnya akan lebih tepat dan
memudahkan bila keduanya cukup disebut dengan GERAKAN
DAN ALIRAN KEAGAMAAN BERMASALAH karena istilah ini dapat
mewakili apa yang disebut dengan gerakan Radikalisme sekaligus
Gerakan Aliran Sempalan atau Aliran Sesat. Namun dengan
pertimbangan bahwa pengguna (user) Modul ini khususnya adalah
para Penyuluh Agama Islam Non PNS, terlebih secara teknis
khusus bagi Penyuluh Agama Non PNS yang di SK kan dengan nama
bidang: Radikalisme dan Aliran Sempalan, maka untuk menjaga
konsistensi, dalam Modul ini digunakan istilah Radikalisme dan
Aliran Sempalan (Aliran Sesat), meskipun dalam konteks yang
membahas irisan dari keduanya (Radikalisme dan Aliran Sempalan)
tidak menutup kemungkinan akan digunakan juga istilah Gerakan
dan Aliran Keagamaan Bermasalah.
Negara Indonesia dinilai cukup rentan terhadap gerakan
kegamaan bermasalah. Hal itu disebabkan karena arus perkembangan
pemahaman baru yang berkembang secara trans-nasional yang
berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu kawasan
penyebarannya, juga karena berbagai keragaman budaya dan tekanan
hidup. Sekalipun banyak pelaku gerakan keagamaan bermasalah
ini tertangkap namun silih berganti gerakan ini muncul kembali
dalam bentuk yang beragam. Pemanfaatan teknologi komunikasi
yang semakin canggih memberikan kontribusi bagi kemudahan
penyebaran gerakan keagamaan bermasalah ini.
Mencegah lebih baik dari pada menanggulangi. Karenanya,
masyarakat khususnya umat Islam, harus dilindungi dari upaya
propaganda radikalisme, dan aliran sempalan, lebih-lebih propaganda
melalui media yang sangat sulit untuk dibendung.
Modul ini menjadi salah satu sarana langkah pencegahan,
sekaligus deteksi dini munculnya gerakan keagamaan bermasalah
melalui gerakan promotor edukatif yang akan dilakukan para
Penyuluh Agama Kementerian Agama RI. Dengan harapan agar
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 227
masyarakat memahami apa itu gerakan keagamaan bermasalah
baik dalam bentuk radikalisme maupun aliran sempalan, apa
indikator dan tipologi, serta dampak yang mungkin ditimbulkan.
Tanpa berharap akan kemunculan gerakan tersebut, Modul ini juga
menawarkan solusi penanganan sebagaimana dirumuskan oleh
Balitbang Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian
Agama RI.
Inilah yang melatarbelakangi Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agama RI menyelenggarakan
serangkaian kegiatan untuk melahirkan sebuah buku Modul
Penyuluhan Radikalisme dan Aliran Sempalan. Modul ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para Penyuluh Agama
khususnya dalam mencegah, dan bersama komponen lain
menangani fenomena radikalisme dan aliran sempalan, sehingga
Modul ini bernilai kontributif bagi Kementerian Agama dan
berbagai stakeholders, termasuk bagi kalangan masyarakat madani
(civil society) di Indonesia.
Radikalisme dan
228 Aliran Sempalan MODUL
dalam hal pencegahan maupun penanganannya.
Sebagaimana disebut sebelum ini bahwa baik gerakan
radikalisme maupun aliran sempalan, terdapat benang merah
yang sangat tegas, bahwa keduanya merupakan aliran keagamaan
bermasalah. Itulah sebabnya dalam beberapa bahasan selanjutnya
akan digunakan istilah “Gerakan dan Aliran Keagamaan Bermasalah”
untuk menunjuk kepada keduanya, yaitu gerakan radikalisme dan
aliran sempalan.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 229
Radikalisme dan
230 Aliran Sempalan MODUL
●●●
Radikalisme Dan
Aliran Sempalan
2
b. Mengimplementasikan upaya penyelesaian masalah
gerakan radikalisme dan aliran sempalan dengan cara-cara
yang lebih manusiawi, adil, beradab, dan dengan perspektif
memandirikan (self sufficient);
c. Memperkokoh fungsi agama dalam mengembangkan
potensi manusia paripurna (insan kamil);
d. Memfasilitasi penyelesaian antara mereka yang dianggap
pelaku aliran sesat atau radikalisme dengan masyarakat
beragama mainstream pada umumnya melalui cara-cara
damai, komunikasi hangat dan demokratis;
e. Dapat dilakukan Penanganan yang bersifat re-edukasi
sehingga para korban aliran keagamaan bermasalah dapat
kembali kepada kehidupan sosial yang normal serta kondisi
kejiwaan yang sehat. Juga re-edukasi kepada masyarakat
penentang untuk lebih bersifat rehabilitasi-sosial, tidak
main hakim sendiri dan tidak menggunakan kekerasan
sebagai jalan penyelesaian.
f. Dapat mempermudah penguatan koordinasi penanganan
lintas instansi, institusi, pakar atau ahli, maupun antar
warga beda persepsi dan konsepsi.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 231
DAN ALIRAN SEMPALAN
Radikalisme dan
232 Aliran Sempalan MODUL
Terminologi radikalisme apabila dihubungkan dengan istilah
dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan dalam kamus
Bahasa Arab. Istilah ini adalah murni produk Barat yang sering
dihubungkan dengan fundamentalisme dalam Islam. Dalam tradisi
Barat istilah fundamentalisme dalam Islam sering ditukar dengan
istilah lain, seperti: “ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan oleh
Gilles Kepel atau “Islam Radikal” menurut Emmanuel Sivan, dan
ada juga istilah “integrisme, “revivalisme”, atau “Islamisme”.2 Istilah-
istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala “kebangkitan
Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang
sangat ekstrim. Dibandingkan dengan istilah lainnya, “Islam radikal”,
yang paling sering disamakan dengan “Islam fundamentalis”.
(Abdullah: 2014. p: 2)
Terkait Islam Radikal, sesungguhnya tidak ada definisi yang
disepakati. Tetapi secara umum merujuk kepada: Kelompok muslim
yang menghendaki didirikannya negara Islam dan atau penerapan
Syari’at Islam sebagai satu-satunya sumber hukum, baik dengan
jalan damai ataupun dengan kekerasan disebut juga Fundamentalis,
militan, Islamis (Hadiz: 2008, pp. 638-647).
Sementara itu, al-Qaradhawi (2001, pp 23-29), memberikan
istilah radikalisme dengan istilah al-Tatarruf al-Din. Atau bahasa
lugasnya adalah untuk mempraktikkan ajaran agama dengan tidak
semestinya, atau mempraktikkan ajaran agama dengan mengambil
posisi tarf atau pinggir. Menurutnya posisi praktik agama seperti
ini setidaknya mengandung tiga kelemahan, yaitu: pertama, tidak
disukai oleh tabiat kewajaran manusia; kedua, tidak bisa berumur
panjang, dan yang ketiga, ialah sangat rentan mendatangkan
pelanggaran atas hak orang lain. Apa makna dari implikasi cara
beragama seperti ini, ialah bahwa dalam praktik pengalaman
beragama terdapat orang-orang berperilaku ekstrim, sehingga
melebihi kewajaran yang semestinya.
Mantan Kepala BIN (Badan Inteligen Negara) Hendropriyono:
2009 menyebut Radikalisme merupakan suatu sikap yang
mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner
dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis
lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa
ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 233
(tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik
(selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3)
eksklusif (membedakan diri dari mainsteamnya) dan 4) revolusioner
(cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai
tujuan).
Akhir-akhir ini istilah radikalisme sering dimaknai lebih sempit
yang dihubungkan dengan isu terorisme. Karenanya muncul idiom-
idiom seperti Islam radikal, salafi radikal, Islam fundamentalis atau
yang agak umum radikalisme agama, yang cenderung berkonotasi
negatif. Meskipun sesungguhnya dalam agama lainpun dikenal
adanya sikap radikalisme.
Istilah radikal seringkali juga digunakan sebagai kebalikan
dari istilah moderat. Dalam penggunaannya, kata moderat
menggambarkan suatu sikap “mengambil jalan tengah” ketika
menghadapi konflik dengan gagasan atau ide lain, dengan kata
lain cenderung kompromistis atau kooperatif. Sebaliknya, radikal
berarti secara konsisten mempertahankan ide secara utuh ketika
dihadapkan pada konflik dengan ide lain, atau dengan kata lain
non-kooperatif.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan radikalisme
bila dilihat dari pemahaman agama, adalah gerakan yang
berpandangan tradisional dan sering menggunakan kekerasan dalam
menyampaikan atau mengajarkan keyakinan mereka.
Aliran sempalan, sering juga diistilahkan dengan aliran sesat
atau sekte (splinter group) adalah istilah yang berkonotasi negatif
yang ditunjukkan pada suatu paham, aliran atau gerakan yang
menyimpang dari pemahaman dan pendirian yang dianut kelompok
mayoritas (mainstream). Kemunculan komunitas sempalan yang
berupa aliran keagamaan dengan titik tolaknya lebih kepada cara
beragama (ekspresi) dalam merespons persoalan kontemporer dalam
memperlakukan khazanah tradisi (al-turats) warisan para ulama
klasik, bahkan terhadap ajaran pokok seperti al-Qur'an dan Sunnah.
Perbedaan cara beragama ini termanifestasikan dalam hubungan
sosial dan tata cara interaksi dengan sesama (muamalah) yang
termanifestasi dalam gagasan, ide, bahkan busana.
Istilah aliran sempalan sering juga disebut “aliran sesat”.
Majelis Ulama Indonesia memberikan pengertian tentang aliran
Radikalisme dan
234 Aliran Sempalan MODUL
sesat atau sempalan dengan paham atau pemikiran yang dianut dan
diamalkan oleh sebuah kelompok yang bertentangan dengan aqidah
dan syari’at Islam serta dinyatakan oleh MUI menyimpang atau
sesat berdasarkan dalil syar‘i.
Berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari
suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran
induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang
atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur
ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan
mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan
"mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus umat Islam Indonesia
masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-
badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian
Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya. Istilah
"gerakan sempalan" memang lazim dipakai secara normatif, untuk
aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat
dan membahayakan. Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai
kesulitan untuk kajian selanjutnya..
Dalam pendekatan sosiologis, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan
konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi
atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat, atau
lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama
yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah
terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan; pergeseran yang
tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah
faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham atau gerakan
sempalan yang tidak disetujui disebut sesat seringkali merupakan
penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial
atau politik.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 235
keagamaan bermasalah”.
1. Indikator Gerakan dan Aliran Keagamaan Bermasalah
a. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan : Mengacu
pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan,
indikator suatu aliran dan gerakan keagamaan dianggap
bermasalah apabila:
i. Membahayakan ketertiban publik, seperti penafsiran
dan penyebaran ajaran agama yang nyata-nyata
menyimpang, menyesatkan, menyulut masalah dan
mendorong kekacauan atau kerusuhan di tengah
masyarakat
ii. Membahayakan keselamatan jiwa, seperti mengajarkan
kepada para pengikutnya untuk melukai diri sendiri
dan atau orang lain.
iii. Mengganggu akhlak publik, seperti ajaran yang
memperbolehkan seks bebas dan perzinaan
iv. Membahayakan kesehatan publik, seperti ajaran yang
memperbolehkan menggunakan obat-obatan terlarang
v. Melanggar hak-hak dasar orang lain, seperti
pengkonsepsian dan penafsiran ajaran agama yang
dalam penyebarannya memaksaan pencucian otak
orang lain baik secara langsung maupun tak langsung
(brain washing); memobilisasi pendanaan secara
manipulatif dari masyarakat
vi. Menyebarkan kebencian dan permusuhan di tengah
masyarakat, seperti syiar-syiar baik secara lisan
maupun tertulis yang menghalalkan darah orang lain
bahkan orang tua kandung, atau mendorong orang
lain melakukan kekerasan fisik dan teror
vii. Menganjurkan dan mengajarkan makar terhadap
pemerintahan yang sah serta tidak mengakui Pancasila
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Radikalisme dan
236 Aliran Sempalan MODUL
menjadi dasar penindakan dan penanganan terhadap
pengikut aliran yang dianggap sesat tersebut, sebelum ada
vonis dari pengadilan, namun kriteria ini dapat digunakan
sebagai rujukan awal untuk melihat dan menganalisa
aliran-aliran keagamaan (Islam) guna ditindaklanjuti secara
hukum. Sepuluh kriteria tersebut adalah:
i. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam
ii. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai
dengan Al-Quran dan Sunnah
iii. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran
iv. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi Al- Quran
v. Menafsirkan Al-Quran tidak berdasar pada kaidah-
kaidah tafsir
vi. Mengingkari Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam
vii. Menghina atau melecehkan atau merendahkan para
Nabi dan Rasul
viii. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul
terakhir
ix. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-
pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh Syari’ah,
seperti haji tidak ke Baitullah, shalat 5 waktu tidak
wajib
x. Mengkafirkan sesama muslim
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 237
vii. Berlebih-lebihan dalam mengamalkan ajaran agama
keluar jauh dari teks dan konteks wahyu
viii. Aktivitasnya eksklusif (menutup diri)
Radikalisme dan
238 Aliran Sempalan MODUL
yang membahayakan pimpinan dan penganut tarekat
semacam ini.
b. Aliran dan gerakan keagamaan yang bermasalah adalah
mereka yang secara nyata melawan hukum negara,
melakukan makar dengan tujuan untuk memutuskan NKRI
dan mendirikan negara baru, menganjurkan permusuhan,
teror dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Termasuk
dalam hal ini adalah aliran dan gerakan keagamaan yang
menggunakan cara-cara manipulatif (penipuan, brain-
washing, hipnotis) dan kriminal (penculikan pembunuhan)
c. Aliran dan gerakan keagamaan bermasalah dan telah
divonis pengadilan sebagai aliran bermasalah dari kebiasaan
yang mainstream, tetapi kemudian secara diam-diam atau
terbuka mereka tetap saja tidak berubah.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 239
Mereka pada awalnya adalah pengikut dari salah seorang dari
tiga pemimpin yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu,
yakni Ali bin Abi Thalib, khalifah yang sah pada saat itu, tetapi mereka
tidak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk menerima tahkim
(arbritase) antara sang khalifah dengan musuhnya, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr bin ‘Ash.
Mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap
kepemimpinan yang sah (bughat), sehingga ia pun harus diperangi.
Mereka menggunakan argumentasi al-Qur’an bahwa lâ hukma illa
Allâh (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) yang dielaborasi dari
Q.S. al-Mâidah [5]: 44. Karena tidak ditaatinya hukum Allah itu, maka
terjadi chaos (fitnah) sehingga memunculkan dualisme pemerintahan
di tengah kaum muslim. Karena tidak mau mengikuti hukum Allah,
maka khalifah pun dituduh kafir, sebagaimana juga Mu’awiyah dan
‘Amr bin ‘Ash. Maka, selain khalifah, mereka pun mengirimkan orang
untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash. Pada akhirnya
mereka gagal membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash, dan hanya
berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib ketika sedang Shalat Subuh
di masjid. Dua sampai tiga hari sang khalifah masih bisa bertahan
hidup sebelum akhirnya wafat. Sebelum menghembuskan nafas,
dia sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan
Husain, yang isinya antara lain bahwa “orang-orang (Khawarij) ini
masih akan terus dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah mereka”.
Gerakan kaum Khawarij yang muncul di akhir masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan prinsip-prinsipnya yang
radikal inilah kemudian yang sering dijadikan contoh gerakan
fundamentalisme klasik dalam sejarah Islam dan juga menandai
terbentuknya gejala takfirisme (takfîriyah) dalam Islam. Suatu
doktrin yang mengkafirkan sesama muslim yang berbeda dengan
mereka, bahkan sampai menghalalkan darahnya. Lebih jauh dari
itu, mereka juga mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang
takfir yang cukup sophisticated berdasar pemahaman mereka
terhadap teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan hadis) dan pemikiran
“kaum salaf”. Doktrin takfirisme ini tidak hanya terbatas pada
tataran wacana, tetapi juga dikaitkan dengan anggapan bahwa yang
bersangkutan dipandang telah keluar dari agama (murtad) sehingga
boleh dimusnahkan di dunia, dan di akhirat mereka dianggap celaka
Radikalisme dan
240 Aliran Sempalan MODUL
sebagai akibat dari perbuatan kufur tersebut.
Dari rekaman sejarah tersebut dapat dilihat bahwa
fundamentalisme lebih banyak menekankan, atau setidaknya
membenarkan, penggunaan radikalisme atas nama agama. Dengan
demikian, Islam dianggap mengajarkan para pemeluknya yang
fanatik untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut sebagai
manifestasi dari keimanan. Pandangan teologis radikal tersebut
diikuti oleh sikap politik yang ekstrem dan radikal pula sehingga
menganggap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka
dianggap kafir dan boleh dibunuh. Bahkan, mereka kemudian
membagi wilayah menjadi dua, yaitu wilayah dâr al-Islaâm yang
harus dilindungi dan wilayah dâr al-kuffâr yang harus diperangi dan
dihancurkan.
Sejarah perilaku kekerasan dalam Islam, umumnya dikaitan
dengan persoalan politik, yang kemudian berdampak kepada
agama sebagai simbol. Pasca Perang Shiffin, yang terjadi pada masa
kekuasaan Khalifah Ali ibn Abi Thalib, muncul kelompok oposisi
yang kemudian dikenal dengan kelompok Khawarij yang secara
etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu “kharaja”
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Mereka
keluar dari barisan Ali karena tidak sepakat dengan keputusan
Ali yang menerima abitrase (tahkim; perjanjian damai) dengan
kelompok Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan. Dari pengertian ini, kata
tersebut dapat juga dimaknai sebagai golongan orang Islam atau
Muslim yang keluar dari kesatuan umat Islam. Ada pula yang
mengatakan bahwa pemberian nama itu di dasarkan pada Q.S. an-
Nisa’ [4]: 100 Surat al-Nisaa ayat 100, yang menyakatan: “Keluar
dari rumah kepada Allah dan Rasulnya”.
Khawarij, sebagai sebuah kelompok sempalan dalam Islam
yang berpikir radikal, merupakan sebuah bentuk yang lahir dari
kekecewaan politik terhadap arbitrase yang merugikan kelompok Ali
bin Abi Thalib, yang kemudian memandang shahabat yang menerima
keputusan tahkim sebagai kafir. Radikalisme Khawarij sebagai
pemberontak telah terbukti dalam sejarah. Tidak hanya di masa
Ali, Khawarij meneruskan perlawananya terhadap kekuasaan Islam
resmi, baik di zaman Dinasti Bani Umayyah maupun Abbasiyah.
Oleh karena itu, mereka memilih Imam sendiri dan membentuk
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 241
pemerintahan kaum Khawarij. Radikalisme gerakan ini bukan
saja pada aspek pemahaman, tetapi juga pada aspek tindakan.
Khawarij memahami ajaran Islam secara harfiyah, sebagaimana
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi; dan mereka merasa wajib
melaksanakannya tanpa perlu penafsiran macam-macam. Alamat
kafir dan musyrik dialamatkan oleh kaum Khawarij kepada siapa
saja orang yang tidak sepaham dengan golongannya, bahkan terdapat
orang yang sepaham tetapi tidak mau hijrah ke daerah mereka.
Bahkan mereka menyebutnya sebagai “dar al-harb”, sehingga dapat
dibunuh. Berhubung dengan perbuatan yang sangat kejam itu,
Azyumardi Azra menyebut aksi kaum Khawarij sebagai isti’rad, yaitu
eksekusi keagamaan, bukan sebuah jihad.
Dari rekaman sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa radikalisme
lebih menekankan pada pembenaran dalam menggunakan kekerasan
atas nama agama. Islam dianggap mengajarkan para pemeluknya
yang fanatik untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai
manifestasi dari keimanan. Dari peristiwa semacam itulah, kemudian
ada sebagian orang yang membayangkan adanya sekelompok umat
Islam yang meyakini bahwa Tuhan telah menyuruhnya untuk
melakukan segala tindakan untuk membela agamanya, meskipun
salah jalan, bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam universal
yang toleran, dan akomodatif.
Pada masa pra-modern, gerakan fundamentalisme radikal
muncul pada abad 12 H di Semenanjung Arabia di bawah pimpinan
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) yang kemudian
dikenal sebagai gerakan Wahabi. Inilah yang kemudian membentuk
Salafisme awal, dengan Ibnu Taimiyah sebagai tokoh utamanya.
Meski mereka mengklaim mengikuti kaum Salaf, figure-figur
terkemuka dari generasi awal Islam hingga abad ke-2 Hijriyah, tetapi
pada praktiknya Salafisme cenderung mengikuti Mazhab Hanbali
yang cenderung ketat dan literal.
Pada mulanya, gerakan ini bertujuan untuk memurnikan ajaran
Islam serta mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Saw., sebagaimana yang diamalkan oleh generasi awal umat
Islam (Salaf). Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
Salafiyah tidak hanya menyentuh dimensi purifikasi credo dan
ritual, namun juga mulai menyentuh dimensi intelektual dan politik.
Bahkan, sebagaimana dicatat oleh para pengamat terhadap Mazhab
Radikalisme dan
242 Aliran Sempalan MODUL
Hanbali, bahwa sejak masa Ibnu Taimiyah, kelompok Islam ini
memulai tradisi mengecam hingga mengafirkan kelompok-kelompok
muslim yang tidak mengikuti pandangan Ibnu Taimiyah. Hal ini
tidak hanya terbatas terhadap kaum Syiah, yang diserang keras
dalam bukunya Minhaj asSunnah, tetapi juga terhadap kelompok-
kelompok Sunni lain seperti Asy’ariyyah, Hanafiyah, kaum sufi, dan
lain-lain. Tradisi pengecaman ini kemudian diteruskan oleh para
murid Ibnu Taimiyah, termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Demikian
pula sejarah mencatat gerakan ini juga melakukan tindak kekerasan
dengan menghancurkan monumen-monumen historis di Mekah
dan Madinah. Dengan demikian, tampak radikalisme klasik dan
pra modern banyak dipengaruhi oleh landasan teologi fundamental
yang didasari oleh semangat kebangkitan Islam (revivalisme of
Islam). Sementara, radikalisme dalam Islam belakangan ini lebih
banyak sebagai respons Islam atas Barat, meskipun tema-tema
yang berkaitan dengan inward oriented (berorientasi ke dalam) tetap
menjadi concern (perhatian) dan pilihan ideologis mereka. Setidaknya,
ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini.
- Pertama, menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama
dari politik, gereja dari negara. Hal ini dianggap berbahaya karena
dapat mengancam Islam sebagai agama yang tidak memisahkan
antara dunia dan akhirat.
- Kedua, mereka menginginkan aturan Islam, yang disarikan dari
al-Qur’an dan hadis Nabi Saw menjadi aturan dan landasan
bernegara.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 243
komprehensif atas teks-teks keagamaan tersebut.
Di Indonesia, secara historis datangnya Islam dilalui dengan
sangat damai, relevan dengan apa yang diajarkan oleh para wali
melalui kompromi budaya local sehingga dapat hidup damai saling
berdampingan dengan umat lain pada masa itu.
Sayangnya, perkembangan zaman dan tuntutan stratifikasi
sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas dan munculnya
kesadaran bahwa agama setelah berinteraksi dengan budaya maka
terjadi dominasi budaya yang lebih kuat mempengaruhi manusia. Hal
itu disebabkan karena, formulasi budaya lebih kongkrit, pragmatik
dan inderawi sebaliknya agama lebih filosofis dan maknawi.
Maka bermunculan sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-
mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat
sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi alam yang
eksis di daerah penganutnya.
Kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia disebabkan oleh
dua faktor; Pertama, faktor internal dari dalam umat Islam sendiri
yang telah terjadi penyimpangan norma-norma agama. Kedua,
faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan penguasa
maupun hegemoni Barat, seperti kasus gerakan Warsidi, Salaman
Hafidz dan Imron atau yang dikenal sebagai komando Jihad telah
membangkitkan radikalisme di Indonesia.
Jihad sebenarnya menjadi simbol perlawanan yang efektif
untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi inilah yang
menyebabkan permusuhan yang terus menerus antara Islam
dan Barat. Fenomena yang terjadi di Indonesia ketika umat Islam
bereaksi terhadap serangan Amerika Serikat pada Afghanistan. Pada
situasi dan masa seperti ini umat Islam menemukan moment untuk
menyuarakan aspirasi Islam (Solidaritas Islam). Karena itu, kelompk
Islam yang dianggap memiliki pemahaman keras atau radikal
seperti KISDI, Laskar Jihad, FPI, Ikhwanul Muslimin, dan Mujahidin
bergerak menentang penyerangan AS. Bahkan, komando jihad juga
dikirim ke Afghanistan sebagai bagian dari tugas suci.
Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis
keras dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Gerakan ini telah
muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan
sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan tersebut
adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara
Radikalisme dan
244 Aliran Sempalan MODUL
Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an (tepatnya 1949).
Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar.
Gerakan ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat
sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI ini berhenti setelah
semua pimpinannya terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun
demikian, bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia.
Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras
muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari
oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan
negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau
gerakan-gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi
oleh politik lokal antara lain ketidakpuasan politik, keterpinggiran
politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan
tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya,
kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat
penting bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu,
radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak
dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang
radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya
besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan
mereka terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal dalam
politik. Bagi kaum radikalis agama sistem demokrasi pancasila itu
dianggap haram hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah
kafir taghut, begitu pula masyarakat sipil yang bukan termasuk
golongan mereka. Oleh sebab itu bersama kelompoknya, kaum ini
menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam kehidupan
bernegara.
Ada 3 kelompok kekuatan yang mendukung formalisasi syariah:
Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir (HT) yang
mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa dari berbagai belahan dunia
yang belajar di Timur Tengah, khususnya Mesir, Saudi Arabia dan
Syiria. Bedanya, kalau Salafi-Wahabi cenderung ke masalah ibadah
formal yang berusaha “meluruskan” orang Islam. Ikhwan bergerak
lewat gerakan usrah yang beranggotakan 7-10 orang dengan satu
amir. Mereka hidup sebagaimana layaknya keluarga di mana
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 245
amir bertanggungjawab terhadap kebutuhan anggota usrah-nya.
Kelompok ini menamakan diri kelompok Tarbiyah yang merupakan
cikal bakal PKS.
HT punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Di dalamnya ada
program jangka pendek dan jangka panjang. Di sana ditulis, dalam
jangka 13 tahun sejak berdirinya (1953), Negara Arab sudah harus
menjalankan sistem Khilafah Islamiyah. HT juga menargetkan dalam
30 tahun dunia Islam sudah harus punya khalifah. Ini semua tidak
terbukti. HT masuk Indonesia melalui orang Libanon, Abdurrahman
Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta pada tahun 1980-an atas
ajakan KH. Abdullah bin Nuh dari Cianjur. Sebelumnya KH. Abdullah
bin Nuh bertemu aktifis HT di Australia dan mulai menunjukkan
ketertarikannya pada ide-ide persatuan umat Islam dan Khilafah
Islamiyah. Puteranya, Mustofa bin Abdullah bin Nuh lulusan
Yordania kemudian juga ikut andil menyebarluaskan paham HT di
wilayah Jawa Barat dan Banten didukung oleh saudara-saudara dan
kerabatnya.
HT membentuk beberapa tahapan dalam menuju pembentukan
Khilafah Islamiah:
1. Taqwimasy-syakhsyiah al-Islamiyah; membentuk kepribadian
Islam. Mereka membagi wilayah, karena gerakan mereka
transnasional, termasuk Indonesia. Tapi sekarang pusatnya
tidak jelas di mana karena di negara asalnya sendiri sangat
rahasia, dilarang bahkan dikejar-kejar. Tapi mereka sudah ada
di London, Austria, di Jerman dan sebagainya. Di Indonesia
sendiri, mereka tidak bisa rahasia, karena negara ini sangat
terbuka.
2. Al-Taw’iyah atau penyadaran.
3. Al-Ta’amul ma‘a al-ummah; interaksi dengan masyarakat secara
keseluruhan.
4. Harakatut Tatsqif; gerakan intelektualisasi.
5. Taqwim al-daulah al-Islamiah, membentuk Kekuasaan Imperium
Islam.
Ijtihad para pemimpin HT sendiri sesungguhnya banyak yang
kontroversial, tetapi karena proses transfer pengetahuannya sangat
tertutup dan ketat, maka kemungkinan besar kader-kader HT tidak
mengetahuinya. Inilah yang membuat kader-kader mereka menjadi
radikal.
Radikalisme dan
246 Aliran Sempalan MODUL
Tahun 2011, Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP) dengan responden guru PAI dan siswa SMP sejadebotabek
menunjukkan potensi radikal yang kuat di kalangan guru dan pelajar
dengan indikasi resistensi yg lemah terhadap kekerasan atas nama
agama, intoleransi, sikap ekslusif serta keraguan terhadap ideologi
Pancasila. Tahun 2015 Survey Setara Institute terhadap siswa dari
114 Sekolah Menengah Umum (SMU) di Jakarta dan Bandung yang
hasilnya sebanyak 75,3% mengaku tahu tentang ISIS. Sebanyak
36,2 responden mengatakan ISIS sebagai kelompok teror yang sadis,
30,2% responden menilai pelaku kekerasan yang mengatasnamakan
agama, dan 16,9% menyatakan ISIS adalah pejuang-pejuang yang
hendak mendirikan agama Islam.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 247
1. Proses mendapatkan dan memahami ajaran agama yang tidak
komprehensif dan bersifat doktriner;
2. Memahami sumber ajaran atau teks-teks agama secara literal
(tekstual), sehingga melahirkan pemahaman yang bersifat
formalistik daripada subtantif;
3. Lebi fokus pada masalah furu‘iyyah dari pada persoalan
úshuliyyah;
4. Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru
memberatkan umat;
5. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-
fatwanya sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal
sehat, dan semangat zaman;
6. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap
bentuk-bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum
sekular yang menolak agama; dan
7. Perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik
di tengah-tengah masyarakat. Radikalisme tidak jarang muncul
sebagai ekspresi rasa frustasi dan pemberontakan terhadap
ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh mandulnya kinerja
lembaga hukum. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan
keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal dengan
tuntutan penerapan syari’at Islam. Dengan menerapkan aturan
syari’at mereka merasa dapat mematuhi perintah agama dalam
rangka menegakkan keadilan. Namun, tuntutan penerapan
syariah sering diabaikan oleh negara-negara sekular sehingga
mereka frustasi dan akhirnya memilih cara-cara kekerasan.
Radikalisme dan
248 Aliran Sempalan MODUL
wahabiyyah yang muncul di semenanjung Arabia pada akhir
abad 18 awal sampai pada abad 19 dan terus merebak sampai
sekarang ini. Tema pokok kelompok dan sel salafi ini adalah
pemurnian Islam, yakni membersihkan Islam dari pemahaman
dan praktek keagamaan yang mereka pandang sebagai bid`ah,
yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan.
3. Deprivasi (ketidakpuasan atau kesenjangan) politik, sosial dan
ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat
yang sama, disorientasi dan dislokasi sosial budaya, dan ekses
globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan
faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok
radikal. Kelompok-kelompok sempalan tersebut tidak jarang
mengambil bentuk kultus (cult) yang sangat eksklusif, tertutup
dan berpusat pada seseorang yang dipandang khasrismatik.
Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu
bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan
kiamat; sekarang sudah waktunya bertaubat melalui pemimpin
dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-
eskatolgis konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra dan
antar agama, bahkan antar umat beragam dengan Negara;
4. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar
agama dalam masa reformasi, sekali lagi, disebabkan berbagai
faktor amat komplek.
- Pertama, berkaitan dengan euphoria kebebasan, dimana
etiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan
kebebasan dan kemauanya tanpa peduli dengan pihak-
pihak lain. Dengan demikian terdapat gejala menurunya
toleransi;
- Kedua, masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial
khususnya dikalangan elit politik, sosial, militer, yang terus
mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan
konflik horizontal yang laten dan luas. Terdapat berbagai
indikasi, konflik dan kekerasan bernuansa agama bahkan
di provokasi kalangan elit tertentu untuk kepentingan
mereka sendiri;
- Ketiga, tidak konsistennya penegakan hukum. Beberapa
kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama atau
membawa simbolisme agama menunjukkan indikasi konflik
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 249
di antara aparat keamanan, dan bahkan kontestasi diantara
kelompok-kelompok elit local;
- Keempat, meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam
masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam
kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan sehari-
hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin
terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-orang atau
kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah
dan murah dapat melakukan tindakan emosional, dan
bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar
hukum dan kekerasan;
5. Melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok
radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan
buku-buku dan informasi tentang jihad.
Radikalisme dan
250 Aliran Sempalan MODUL
agama yang berbeda. Sebaliknya Islam adalah agama yang penuh
dengan kelembutan. Kata al-tatharruf secara bahasa berasal
dari kata al-tharf yang mengandung arti “ujung atau pinggir”.
Maksudnya berada di ujung atau pinggir, baik di ujung kiri maupun
kanan. Karenanya, dalam bahasa Arab modern kata al-tatharruf
berkonotasi makna radikal, ekstrem, dan berlebihan. Dengan
demikian, al-tatharruf al-dîn berarti segala perbuatan yang
berlebihan dalam beragama, yang merupakan lawan kata dari
al-wasath (tengah/moderat) yang memiliki makna baik dan terpuji.
Adapum kata al-guluww yang secara bahasa berarti berlebihan
atau melampaui batas sering digunakan untuk menyebut praktik
pengamalan agama yang ekstrem sehingga melebihi batas
kewajaran. Al-Qur’an mengecam keras sikap Ahli Kitab yang
terlalu berlebihan dalam beragama sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 171
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 251
dan Q.S. al-Maidah [5]: 77.
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud
dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas.”
Radikalisme dan
252 Aliran Sempalan MODUL
Islam dipandang oleh orang di luar Islam dan Barat sebagai agama
teroris. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa istilah
jihad merupakan salah satu konsepsi Islam yang paling sering
disalahpahami, khususnya di kalangan para ahli dan pengamat
Barat. Padahal, jika kita telusuri kata jihad dalam al-Qur’an
sebagaimana akan dijelaskan dalam paparan berikut berbeda dengan
radikalisme dan peperangan. Jihad selain merupakan salah satu
inti ajaran Islam, juga tidak bisa disederhanakan dan diindentikkan
dengan perang (qitâl). Perang selalu merujuk kepada pertahanan diri
dan perlawanan yang bersifat fisik, sementara jihad memiliki makna
lebih luas. Di sisi lain, qitâl sebagai term keagamaan baru muncul
pada periode Madinah, sementara jihâd telah menjadi dasar teologis
sejak periode Mekah.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, dari 36 ayat al-Qur’an yang
mengandung (sekitar) 39 kata ja-ha-da dengan berbagai derivasinya,
tidak lebih dari 10 ayat yang terkait dengan perang. Selebihnya
kata tersebut merujuk pada segala aktivitas lahir dan batin, serta
upaya intens dalam rangka menghadirkan kehendak Allah di muka
bumi, yang pada dasarnya merupakan pengembangan nilai-nilai
moralitas luhur, dari mulai penegakan keadilan hingga kedamaian
dan kesejahteraan umat manusia. Dengan kata lain, jihad adalah
kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kemampuan untuk
membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pada tataran ini,
pengabdian (ibadah) yang tulus dan penuh kesungguhan serta
hubungan antar sesama manusia yang dilandasi kejujuran dan
ketulusan adalah bagian dari jihad. Secara leksikal, menurut Ibnu
Faris (w. 395 H), kata juhd pada awalnya mengandung arti “kesulitan
atau kesukaran”. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan.
Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata juhd
yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan,
dan harus dilakukan dengan kemampuan yang maksimal. Selain
sulit, jihad juga menuntut seseorang untuk mengerahkan segala daya
dan upayanya untuk menggapai tujuan. Karena itu, jihad adalah
pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut
atau mengambil tetapi memberikan semua yang dimilikinya.
Menurut Ibnu Manzur, kata jâhada-yujâhidu-mujâhadah-jihâd
artinya berusaha sungguh-sungguh dengan mencurahkan jerih
payah dalam rangka melaksanakan perintah Allah; berjuang.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 253
Menurut ar-Ragib al-Asfahani, jihâd (dan mujâhadah) adalah upaya
mengerahkan segala upaya untuk mengalahkan musuh. Sebagaimana
dimaklumi, dalam jiwa setiap manusia terdapat kebaikan dan
keburukan. Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang terdiri atas berbagai individu. Dari sini lahirlah
perjuangan (jihad), baik dalam skala individu maupun masyarakat
dan negara. Karena itu, al-Asfahani membagi jihad ke dalam tiga
macam, yaitu: (a) menghadapi musuh yang nyata; (b) menghadapi
setan; dan (c) menghadapi nafsu yang terdapat dalam setiap orang.
Ketiga macam jihad ini dicakup oleh Q.S. al-Hajj [22]: 78,
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik
penolong”.
Radikalisme dan
254 Aliran Sempalan MODUL
Artinya : ”Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan
maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di
jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 255
dan usaha (ikhtiar) orang beriman sebagai khalifah Allah di muka
bumi untuk mengubah keadaan agar lebih baik dan lebih berkualitas
lahir batin guna mendapatkan al-falâh, keberuntungan dunia dan
akhirat.
Jihad di jalan Allah juga harus diawali dengan hijrah, yakni
mengubah pikiran, keyakinan, emosi, persepsi, sikap, dan perilaku
yang tidak sesuai dengan pesan al-Qur’an. Jadi, hijrah merupakan
prakondisi yang diperlukan untuk bisa melaksanakan perintah
berjihad, setelah seseorang beriman dan bertakwa. Oleh sebab
itu, dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah meletakkan hijrah setelah
beriman dan sebelum berjihad, sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-
Baqarah [2]: 218
Radikalisme dan
256 Aliran Sempalan MODUL
tujuan jihad sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tidak akan
tercapai tanpa kesediaan untuk mengorbankan harta, sebab harta
merupakan penopang utama jihad di jalan Allah. Jihad dengan harta
bisa disalurkan melalui wakaf, infak, sedekah, ataupun program
penggalangan dana untuk berbagai kepentingan umat.
Adapun kata anfus dalam al-Qur’an memiliki banyak arti, seperti
nyawa, hati, jenis, dan totalitas manusia tempat terpadu jiwa dan
raganya, serta segala sesuatu yang tidak dapat terpisah darinya. Al-
Qur’an menggambarkan eksistensi seseorang di hadapan Allah dan
masyarakat dalam bahasa nafs. Jadi, tidaklah keliru jika kata itu
dalam konteks jihad dipahami dalam makna totalitas manusia, yang
mencakup nyawa, emosi, pikiran, pengetahuan, tenaga, waktu, dan
tempat yang terkait dengannya. Makna ini diperkuat dengan adanya
perintah dalam al-Qur’an untuk berjihad tanpa menyebutkan nafs
atau harta benda, seperti dalam Q.S. al-Hajj [22]: 78.
Menurut M. Quraish Shihab, kesalahpahaman “jihad” yang
lebih dimaknai sebagai perjuang fisik, antara lain diakibatkan
oleh terjemahan yang kurang tepat atas ayat-ayat Al-Qur’an yang
berbicara tentang jihad dengan anfus, di mana kata anfus sering
diterjemahkan sebagai jiwa (nyawa) yang kemudian dikesankan
sebagai pengorbanan nyawa (fisik) saja. Dengan demikian, memaknai
jihad hanya dalam pengertian perjuangan fisik atau perlawanan
senjata adalah keliru. Apalagi jika melihat penggunaan kata tersebut
dalam al-Qur’an.
Ayat-ayat tentang jihad sudah turun sejak Nabi Saw. berada
di Mekah, jauh sebelum turunnya perintah perang dan adanya izin
mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Q.S. al-Furqan
[25]: 52 disepakati oleh ulama turun di Mekah. Pada umumnya,
ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidak menyebutkan objek
yang harus dihadapi. Yang secara tegas dinyatakan objeknya adalah
berjihad menghadapi orang kafir dan munafik sebagaimana
disebutkan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 73 dan Q.S. al-Tahrim [66]:
9. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa hanya kedua objek itu yang
harus dihadapi dengan jihad, karena dalam ayat-ayat lain disebutkan
musuh-musuh yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam
kejahatan, yakni setan dan nafsu manusia sendiri. Keduanya pun
harus dihadapi dengan perjuangan. Hal ini sebagaimana dalam
Q.S. al-Baqarah [2]: 168, Q.S. al-Qashash [28]: 50, dan Q.S. Yusuf
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 257
[12]: 53. Jihad dalam Islam merupakan aktivitas menyeluruh yang
menyertai semua kegiatan lain. Sebab, tidak ada ada satu aktivitas
pun, apalagi aktivitas keagamaan, yang tidak memerlukan jihad.
Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu
yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan
agama. Karena itu, seorang mukmin pastilah mujahid, karena jihad
merupakan perwujudan identitas kepribadian muslim, sebagaimana
diulas Q.S. al-Ankabut [29]: 6. Jihad baginya tidak perlu menunggu
izin (restu) untuk melakukannya, hal ini berbeda dengan orang
munafik, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 44
dan 81.
Keluasan makna jihad sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat
al-Qur’an di atas inilah yang menjadikan ajaran Islam sebagai
powerful symbol bagi ketekunan, kerja keras, dan keberhasilan
dalam sejarah Islam. Jihadlah yang mengantarkan kaum muslim
menjadi khalifah Allah yang mengisi semua aspek kehidupannya
dengan peradaban agung. Dengan kata lain, peradaban Islam
dari waktu ke waktu merupakan perwujudan dari jihad. Dengan
memaknai jihad semacam itu, kaum muslim menggapai puncak
prestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sekaligus
pembumiannya dalam kehidupan sepanjang sejarah yang dilalui.
Namun dalam sejarah pula, jihad mengalami reduksi makna
yang pada mulanya terkait erat dengan kondisi tertentu yang
menuntut penekanan jihad pada bentuk pertahanan dan pembelaan
diri. Hal ini berhubungan dengan keadaan pada masa pra-Islam,
di mana wilayah Arab berada dalam state of war yang sebenarnya
juga merupakan ciri umum dunia sebelum abad modern. Kondisi
ini menyebabkan setiap komunitas harus terlibat dalam perang
demi melindungi dan mempertahankan diri agar tidak diserang
oleh kelompok lain. Ketika Islam datang, fenomena kehidupan
seperti itu terus berlangsung dalam kehidupan umat. Maka, ketika
Nabi Saw. dan kaum Muslim hijrah ke Madinah, dan mereka
diizinkan untuk melawan kaum musyrik, jihad dititikberatkan pada
upaya mempertahankan diri dari ancaman dan serangan yang terus
mereka hadapi.
Di sisi ini, perlawanan kaum Muslim awal itu tidak terlepas
dari ayat-ayat qitâl (perang) yang turun saat itu, sebagaimana yang
akan dijelaskan pada paragraf berikutnya. Secara garis besar,
Radikalisme dan
258 Aliran Sempalan MODUL
pesan jihad dalam al-Qur’an meliputi lima komponen, yaitu tujuan,
pelaku, sarana, sasaran, imbalan, dan sanksi. Tujuan jihad ialah
mewujudkan ide-ide Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni
tegaknya kalimah Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 218; Q.S. Ali Imran
[3]: 142; Q.S. al-Anfal [8]: 74; Q.S. al-Ankabut [29]: 62; Q.S. al-
Mumtahanah [60]: 1). Pelakunya adalah Rasulullah Saw. dan kaum
mukmin (Q.S. Ali Imran [3]: 142; Q.S. al-Ma’idah [5]: 54; Q.S. al-
Anfal [8]: 75; Q.S. al-Taubah [9]: 24, 44, 86, 88; Q.S. Muhammad
[47]: 31). Imbalannya adalah memperoleh kebaikan, kemenangan,
dan kemuliaan di dunia, ampunan, dan surga penuh kebahagiaan
di akhirat (Q.S. al-Nisa’ [4]: 95; Q.S. al-Anfal [8]: 74; Q.S. al-Taubah
[9]: 20, 41).
Adapun mereka yang tidak berjihad mendapat predikat fasik
dan diancam neraka jahanam di akhirat (Q.S. al-Taubah [9]: 24, 81).
Sasarannya, setidaknya ada dua hal, yakni musuh-musuh Allah
yang tampak, seperti orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan para
pelaku kejahatan, ataupun musuh yang tak tampak, yakni setan
dan hawa nafsu (Q.S. al-Ma’idah [5]: 35; Q.S. al-Anfal [8]: 72;
Q.S. al-Taubah [9]: 41, 44, 73, 81; Q.S. al-Furqan [25]: 52; Q.S. al-
Ankabut [29]: 6, 69; Q.S. al-Tahrim [66]: 9). Sarananya adalah harta
dan jiwa. Jihad dilakukan dengan perkataan ataupun perbuatan,
baik melalui lisan, tulisan, kekuatan fisik, maupun dengan
membelanjakan harta benda (Q.S. al-Nisa’ [4]: 95; Q.S. al-Anfal [8]:
72; Q.S. al-Taubah [9]: 20, 41, 44, 81, 88; Q.S. al-Hujurat [49]: 15).39
Sejalan dengan pemaknaan jihad dalam al-Qur’an yang sangat luas,
banyak kaum muslim kontemporer yang menawarkan perluasan
lahan jihad sesuai dengan konteks kekinian.
Ronald Alan Bull, seorang antropolog dari Amerika Serikat,
dalam bukunya Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika,
menggambarkan bagaimana pesantren telah turut mengembangkan
jihad damai (peaceful jihâd). Menurutnya, jihad pesantren adalah
bagaimana menciptakan modernitas yang cocok untuk umat Islam
dan mampu bersaing di pasar dunia, tetapi menghilangkan identitas
keislamannya. Dia menganggap bahwa perjuangan damai lewat
dakwah dan pendidikan dianggap jihad paling besar. Farid Esack,
pemikir muslim kontemporer, merumuskan jihad sebagai perjuangan
mencurahkan daya upaya untuk melakukan transformasi pada
tataran individu dan masyarakat. Munawar Ahmad Anees
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 259
mendefinisikan jihad sebagai perjuangan terus-menerus secara
individual dan komunal ke arah pembangunan dan peningkatan
menurut struktur dan kerangka nilai Islam untuk mewujudkan
ideal-ideal yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
yang merupakan konsep holistik bagi rekonstruksi sosial di mana
anggota masyarakat terlibat dalam aksi positif untuk memperbaiki
masyarakat. Moniruzzaman berusaha mengeksplorasi jihad dalam
konteks dunia kontemporer ke dalam tiga ranah yang merupakan
persoalan cukup menantang dan sangat terkait dengan upaya
pencapaian kesejahteraan umat Islam dan umat manusia, yakni
eco-political jihad, humanist (human rights) jihad, dan jihad against
international terrorism. Karenanya, jihad dapat disesuaikan dengan
konteks dan problematika yang dihadapi oleh sebuah bangsa.
Menurut Tim Penulis Tafsir al-Qur’an Tematik, jihad pada jalan
Allah memiliki spektrum yang luas, yang tidak terbatas pada perang
melawan musuh-musuh Allah, tetapi juga:
1. Perjuangan untuk melindungi kaum duafa dari kekufuran,
kefakiran, kemiskinan dan ketertinggalan;
2. Mendorong kaum muslim untuk mengamalkan ajaran agama
dengan sebaik-baiknya;
3. Membangun berbagai sarana dan prasarana dakwah, pendidikan,
pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
4. Membangun kualitas hidup kaum muslim sehingga menjadi
umat yang cerdas dalam aspek intelektualitas, emosional, dan
spiritualitas;
5. Mendorong umat Islam untuk peduli terhadap pelbagai masalah
sosial dan kemanusiaan guna mewujudkan perdamaian bagi
seluruh manusia;
6. Menyadarkan umat Islam tentang perlunya menjaga kesehatan
secara kuratif, preventif, promotif, termasuk kesehatan
lingkungan turut andil dalam pembangunan kualitas manusia
yang unggul.
Radikalisme dan
260 Aliran Sempalan MODUL
sehingga mencapai kebeningan hati dalam memahami pesan
wahyu. Kedua, mempertajam kepekaan penalaran melalui pekerjaan
ijtihâd sehingga diperoleh kemampuan untuk memahami secara
komprehensif terhadap sesuatu permasalahan sehingga diketahui
konsep, asal usul, perkembangan, dampak dan langkah antisipasi.
Ketiga, setelah tahapan mujâhadah dan ijtihâd diselesaikan maka
barulah melangkah ke tahap terakhir yaitu aksi yang disebut jihâd.
Dengan demikian, setiap langkah ditempuh dengan penghayatan
yang matang, penalaran yang tajam dan terakhir mencapai aksi yang
memecahkan masalah.
Adapun tentang ayat-ayat perang sering kali dijadikan dasar
pengembangan stereotype untuk mengidentifikasi Islam sebagai
agama pro-kekerasan dan mendukung aksi terorisme. Karena itu,
dalam paparan berikut ini ayat-ayat tersebut akan dikaji sesuai
dengan konteks dan maknanya dalam perspektif Al-Qur’an. Kata
qitâl (perang) dengan berbagai bentuknya disebut dalam al-Qur’an
sebanyak 12 kali. Secara bahasa, qitâl berasal dari qa-ta-la yang
membentuk kata benda, al-qatl yang bermakna melenyapkan ruh/
kehidupan dari tubuh seseorang. Adapun menurut Ibnu Manzur,
kata qa-ta-la memiliki beberapa makna, yaitu la‘ana (mengutuk),
al-muqâtalah (saling membunuh) dan al-muhârabah (saling
membinasakan antara dua orang).
Menurut al-Qur’an, perang merupakan alternatif terakhir
dari berbagai pilihan yang harus diupayakan dalam mewujudkan
perdamaian yang merupakan pesan esensial al-Qur’an. Ketika
perdamaian ini ada yang mengganggu dan tidak dihargai dan
ketika kaum muslim dizalimi, maka Allah mengizinkan kaum
muslim untuk memeranginya. Ia semacam pintu darurat yang hanya
diizinkan dalam kondisi tertentu. Q.S. al-Hajj [22]: 39-40 adalah ayat
pertama kali yang turun terkait dengan perintah perang dalam Islam,
setelah selama lebih dari sepuluh tahun di Mekah, kaum muslim
dianiaya. Sebelum diizinkan untuk berperang, mereka diperintahkan
untuk menahan diri (Q.S. al-Nisa’ [4]: 77) dan tetap bersabar dan
berteguh hati (Q.S. al-Baqarah [2]: 109; Q.S. al-Ankabut [29]: 59, dan
Q.S. an-Nahl [16]: 42). Setelah kaum muslim terusir dari kampung
halaman mereka dan orang-orang yang tetap tinggal bahkan
mengalami perlakuan yang lebih kejam, barulah Allah mengizinkan
mereka untuk berperang. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 261
Syalabi, siapa yang mendalami ayat tersebut akan melihat bahwa
Islam sebenarnya tidaklah menginginkan peperangan. Ini bisa dilihat
dari penggunaan kata kerja pada awal ayat yang menggunakan term
mabnî majhûl (udzinâ) di mana pelaku (fâ‘il)-nya yang dalam hal ini
Allah disembunyikan. Ini menggambarkan betapa Allah tidak senang
dengan peperangan. Secara fitrah, memang manusia cenderung
tidak menyukai perang dan kekerasan (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).
Karenanya, ketika ayat ini turun, ada kaum muslim ada yang
belum cukup yakin dengan ayat ini untuk dijadikan alasan untuk
melakukan peperangan.
Dari sini, maka hubungan Islam dengan dunia luar dibangun
atas dasar perdamaian. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti
ada pihak yang memerangi Islam dan mengganggu agama, maka
perang pun kemudian dibenarkan. Bahkan, perang dalam rangka
membela agama bukan hanya dibenarkan oleh Islam. Agama Kristen
yang sering digambarkan sebagai agama yang sangat toleran dan
penuh kasih juga membolehkan perang dalam situasi manakala
dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22]: 35-38, Lukas [12]:
49-52). Setelah ayat tersebut, kemudian Allah menurunkan ayat
yang menegaskan tentang diperbolehkannya perang sebagai penguat
ayat di atas, yakni Q.S. al-Baqarah [2]: 190. Pemberian izin perang
dalam ayat ini tidaklah mutlak, melainkan bersyarat bahwa
peperangan itu dilakukan kepada orang yang memerangi saja dan
tidak melampaui batas.
Nabi Saw. dan para penerusnya, ketika mengirimkan pasukan
perang, selalu memberikan intruksi agar tidak menyerang penduduk
sipil, yakni kaum wanita, orang tua, dan umat beragama yang sedang
beribadah, atau memusnahkan hasil panen dan ternak mereka.
Artinya, Islam melihat peperangan lebih sebagai tindakan defensif.
Ofensif hanya dipandang legitimate untuk membela kebebasan
beragama (Q.S. al-Hajj [22]: 39-41), melawan penyerangan dan
membela diri (Q.S. al-Baqarah [2]: 190), membela orang-orang yang
tertindas atas penindasan kelompok lain, pengkhianatan terhadap
perjanjian, dan penganiayaan (fitnah) sebagaimana dijelaskan ayat-
ayat yang lalu dan ayat-ayat ini: Q.S. al-Nisa’ [4]: 75, Q.S. al-Baqarah
[2]: 251, Q.S. al-Anfal [8]:55-57, Q.S. al-Anfal [8]: 39, dan Q.S. al-
Baqarah [2]:191-193. Jika Q.S. al-Anfal [8]: 190 berbicara tentang
kapan peperangan diizinkan untuk dimulai oleh kaum muslim, maka
Radikalisme dan
262 Aliran Sempalan MODUL
ayat 193 menjelaskan kapan peperangan harus mereka hentikan
serta konsekuensi yang dipikul oleh yang enggan menghentikannya.
Ia dapat dimulai saat ada musuh yang menyerang. Mereka itulah
yang diperangi sedang peperangan harus dihentikan bukan saat
agama Islam tersebar ke seluruh dunia, tetapi ia harus dihentikan
saat penganiayaan berakhir, karena tujuan peperangan adalah
menghentikan penganiayaan. Begitu pentingnya penghentian
peperangan dan keinginan al-Qur’an untuk mencipatakan
perdamaian, sampai Allah mengingatkan dalam Q.S. al-Anfal [8]:
61. Ketika perang selesai pun, al-Qur’an ataupun hadis memberikan
berbagai ketentuan menyangkut perlakuan terhadap tawanan perang
dan hubungan baru dengan kaum non-muslim.
Perang tentu saja tidak dilihat sebagai alat dalam agama untuk
mengubah agama masyarakat lain. Pembagian wilayah menjadi dâr
al-harb dan dâr al-Islâm sama sekali tidak terdapat dalam al-Qur’an
dan hadis, tetapi hasil ijtihad para ulama. Mereka yang menggunakan
istilah tersebut, saat itu tengah berbicara tentang memerangi musuh
di negeri-negeri yang berada di sekitar negeri muslim. Bahkan,
bagi ulama-ulama tersebut, yang ada bukan dikotomi, melainkan
trikotomi, yakni dengan bagian ketiganya adalah dâr al-shulh (negeri
yang terikat perjanjian dengan negeri muslim).
Jadi, dalam perang sekalipun, al-Qur’an mengaitkan perintah
berperang dengan perintah agar tidak melampaui batas, siap
memaafkan, dan mendahulukan perdamaian. Balasan atas kezaliman
pihak lain diingatkan al-Qur’an agar dengan cara yang setimpal dan
mengembalikan situasi kepada keadaan yang normal (seimbang),
sebagaimana firman Allah Q.S. al-Nahl [16]: 16. Ayat tersebut turun
terkait dengan kemarahan Rasulullah Saw. atas kematian pamannya,
Hamzah bin Abdul Muthalib, yang sangat mengenaskan dan
diperlakukan secara tidak manusiawi dalam Perang Uhud. Melihat
hal itu, kaum muslim bermaksud membunuh 70 orang Mekah
sebagai ganti nyawa mereka. Karena itu, jika menelaah teks-teks
keagamaan dan sejarah peperangan dalam Islam, Islam memberikan
sejumlah etika dalam peperangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Syekh Ali Jumu’ah, Mufti Agung Mesir, menyebutkan
enam syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya
dengan terorisme, yakni: (a) cara dan tujuannya jelas dan mulia;
(b) perang hanya dibolehkan terhadap pasukan yang memerangi,
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 263
bukan penduduk sipil; (c) perang harus dihentikan bila pihak lawan
telah menyerah dan memilih perdamaian; (d) melindungi tawanan
perang dan memperlakukannya secara manusiawi; (e) memelihara
lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan,
membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan
merusak rumah/bangunan; dan (f) menjaga hak kebebasan beragama
para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.
Dengan demikian, kendati perang (qitâl) mendapat legitimasi,
ayat-ayat mengenai keharusan kaum muslim untuk berpegang
pada etika-moral luhur dan jihad dalam makna luas tetap berlaku.
Bahkan, melalui pengaitan qitâl dengan jihad, umat Islam dituntut
untuk tetap berpegang teguh dengan keluhuran akhlak kendati saat
melakukan perlawanan yang bersifat fisik. Hal ini diperkuat dengan
ayat-ayat yang mengajarkan agar kaum muslim berbuat baik dan adil
terhadap orang kafir, selama mereka tidak memerangi, mengganggu,
atau mengkhianati perjanjian dengan kaum muslim, sebagaimana
terbaca dalam Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8-9. Memang, bukan tidak
ada kejadian dalam peperangan yang di dalamnya, tawanan dijatuhi
hukuman mati. Khususnya, dalam kasus pengkhianatan kaum
Yahudi dalam Perang Khandaq atau Perang Ahzab. Namun, jika
dipelajari, hukuman itu dijatuhkan Nabi Saw., justru mereka sendiri
memilih dan menunjuk pelaku arbitrase dari kalangan mereka
(Yahudi) sendiri yang, dengan berdasar hukum Yahudi, kemudian
memutuskan bahwa seluruh tawanan laki-laki yang menjadi
kombatan harus dihukum mati.
Walhasil, jelaslah bahwa Islam melihat perang dan penggunaan
kekerasan pada umumnya, sebagai pengecualian, bukan prinsip
umum dalam memecahkan masalah pertentangan.
Ayat lain yang perlu dijelaskan dan dipahami dengan baik adalah
Q.S. at-Taubah [9]: 5 dan 36 yang sering dijuluki dengan “ayat-ayat
pedang” (ayât al-sayf, sword verses). Secara sepintas, ayat tersebut
dengan keras memerintahkan untuk memerangi kaum musyrik
secara keseluruhan, membunuh, menangkap, mengepung, dan
mengintai mereka. Ayat ini turun di mana kebencian dan permusuhan
sengit kaum musyrik dan penganiaan (fitnah) terhadap kaum muslim
tumbuh semakin kuat (Q.S. al-Baqarah [2]: 193; Q.S. al-Anfal [8]:
39). Mereka tidak henti-hentinya memerangi kaum muslim, berupaya
keras untuk mengembalikan kaum muslim kepada paganisme (Q.S.
Radikalisme dan
264 Aliran Sempalan MODUL
al-Baqarah [2]: 217) dan berulang kali mereka melanggar perjanjian.
Kepada orang-orang musyrik yang seperti itulah kemudian
kaum muslim diperintahkan untuk memerangi mereka. Bahkan,
terhadap musuh seperti itu pun kaum muslim tidak serta merta
diperintahkan untuk menyerbu mereka dan melakukan pembalasan
secara membabi buta. Namun sebaliknya, sebagaimana dinyatakan
dalam ayat tersebut, “apabila telah habis bulan-bulan haram itu”,
menunjukkan bahwa kaum muslim mesti memerhatikan berbagai
aturan dan perjanjian yang berlaku antara mereka.
Di samping itu, al-Qur’an pun mengecualikan orang-orang
musyrik yang tidak melanggar perjanjian mereka dan menjaga
perdamaian dengan kaum muslim (Q.S. al-Taubah [9]: 7). Al-Qur’an
juga memerintahkan agar musuh yang meminta perlindungan harus
dilindungi dan diselamatkan ke tempat aman yang mereka cari
(Q.S. al-Taubah [9]: 6). Konteks dan keutuhan ayat di atas, dengan
segala pembatasannya, yang kerap kali diabaikan oleh mereka yang
menjadikan ayat tersebut sebagai landasan ayat yang mendorong
radikalisme dan kekerasan, sampai menyebut ayat ini sebagai “ayat
pedang”, padahal tidak ada sepatah pun kata “pedang” muncul
dalam al-Qur’an. Makna jihad dan perang (qitâl) dalam al-Qur’an,
sebagaimana telah dijelaskan, banyak didistorsi oleh sarjana Barat
dan bahkan oleh sebagian penulis muslim. Hal ini timbul salah
satunya sebagai akibat kesalahpahaman terhadap terminologinya,
atau yang paling sering terjadi, penggunaan kutipan-kutipan yang
berada di luar konteksnya. Kalimat Asghar Ali Engginer di bawah ini
bisa menggambarkan kesalahpahaman tersebut.
In fact as far the Qur’an is concerned the concept of “jihad” has
nothing to do with violence. The Qur’an does not use this word
in any sense of war at all. It is much later usage with which we
are not concerned here. It is highly regrettable that not only non-
muslims even Muslims in general think that the Qur’an uses the
term jihad for war and that is duty of Muslims to wage jihad (i.e. in
the sense of war) in the way of Allah. The word jihad unfortunately
has been so misused in the history of Muslims that even an Arabic
dictionary alQamus al ‘Asri by Elias Antoon (Cairo, 1972) gives its
meaning as “militancy, fighting” and jihad fi sabil al din as “holy
or religious war”. This is how original meanings are distorted
through popular practice.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 265
(Faktanya, sejauh menyangkut Al-Qur'an, konsep “jihad” tidak ada
hubungannya dengan kekerasan. Al-Quran sama tidak menggunakan
kata ini dalam arti perang. Ini adalah penggunaan jauh di kemudian
hari yang tidak menjadi perhatian di sini. Sangat disesalkan bahwa
tidak hanya non-muslim, bahkan Muslim pada umumnya berpikir
bahwa Al-Quran menggunakan istilah jihad untuk perang (bahkan)
itu adalah kewajiban umat Islam untuk melakukan jihad (yaitu
dalam arti perang) di jalan Allah. Kata jihad sayangnya telah begitu
disalahgunakan dalam sejarah umat Islam bahkan kemudian, kamus
Arab alQamus al 'Asri oleh Elias Antoon (Kairo, 1972) memberikan
maknanya sebagai “militansi, pertempuran” dan jihad fi sabil al din
sebagai “suci atau religius perang”. Betapa Ini adalah makna asli
yang terdistorsi melalui praktik populer).
Radikalisme dan
266 Aliran Sempalan MODUL
“Dan bahwa sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa”.
Jadi, ada orang-orang bodoh dan tidak mau menuntut ilmu yang
kemudian tersesat, karena hanya ikut-ikutan pada tradisi nenek
moyangnya yang juga tersesat. (Lihat, QS az-Zukhruf: 21-23). Mereka
tidak mau berpikir dan mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh.
Padahal, mereka dikaruniai akal untuk membedakan mana yang
benar dan mana yang salah. Manusia-manusia seperti ini pun tak
lepas dari azab Allah Swt. Ayat al-Quran itu menggambarkan, betapa
menyesalnya orang-orang bodoh atau orang yang membodohkan
dirinya sendiri; hanya ikut-ikutan paham sesat yang dianut
pemimpinnya, tanpa mau melakukan kajian kritis. “Dan mereka
(penghuni neraka) itu berkata, andaikan kami dulu mau mendengar
dan mau berpikir, maka kami tidak akan menjadi penghuni neraka
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 267
Sa’ir.” (QS al-Mulk: 10).
Jenis kesesatan yang kedua, adalah manusia yang tahu jalan
yang benar, tetapi karena godaan hawa nafsu dan kecanggihan
tipu daya setan, maka mereka menolak jalan yang benar. Contoh
yang jelas adalah kasus Iblis yang menolak perintah Allah karena
kesombongan. Iblis adalah contoh utama dalam hal ini. Iblis tahu
benar bahwa yang dilakukannya – membangkang perintah Allah
SWT – adalah salah. Tapi, karena api kedengkian membakar dirinya,
maka ia memilih jalan sesat dengan sadar. Ia berani membangkang
perintah Allah karena kesombohan dan kedengkian. “Fenomena Iblis”
ini bisa dengan mudah kita jumpai di era kini dan Iblis paham betul,
bagaimana cara menyesatkan manusia melalui jalan ini. Mungkin
karena merasa lebih senior, merasa lebih kuasa, merasa lebih kaya,
atau merasa lebih pintar, maka seseorang bisa menolak kebenaran
yang disampaian padanya. Begitu banyak jerat-jerat ditabur setan
untuk menjerat manusia ke jalan sesat. Karena itu, kiat sederhana
untuk selamat dari jalan sesat adalah mengikuti petunjuk Allah Swt.
“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan tersesat
dan tidak akan celaka.” (QS Thaha: 123).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dikenal dengan
rumusannya: “Islam is the only genuine revealed religion.” Islam
diyakini sebagai satu-satunya agama wahyu yang murni. Sebagai
agama wahyu yang murni, Islam memiliki konsep-konsep yang tetap
(tsawabit) yang dirumuskan berdasarkan wahyu, dan bukan oleh
budaya atau konsensus umat Islam. Islam juga satu-satunya agama
yang memiliki “model yang abadi” yang disebut sebagai “uswatun
hasanah”. Karena adanya konsep-konsep yang tsawabit dan
dipandu dengan uswatun hasanah yang abadi, maka Islam tetap
terjaga keabadiannya sebagai agama wahyu. Dengan kondisinya
seperti itu, maka umat Islam secara umum sangat mudah
menentukan mana yang “lurus” dan mana yang “sesat”. Umat
Islam paham mana bagian ajaran shalat yang wajib dikerjakan oleh
seluruh kaum muslimin, tanpa khilafiyah di dalamnya. Misalnya,
rukun shalat takbiratul ihram, keharusan ruku’, sujud, i’tidal, dan
sebagainya. Hal-hal yang “tsawabit” seperti itu adalah merupakan
perkara unik dan khas yang hanya ada dalam konsep ritual Islam.
Dengan konsep seperti itu, maka Islam merupakan satu-satunya
agama yang diakui keabsahannya oleh Allah Swt (QS Ali Imran:19).
Radikalisme dan
268 Aliran Sempalan MODUL
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan
diterima oleh Allah dan di akhirat termasuk orang-orang yang ragu”.
(QS Ali Imran:85).
Konsep Islam sebagai agama wahyu juga mempermudah untuk
menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, kriteria
sesat atau tidak ditentukan oleh wahyu, dan bukan oleh budaya.
Tanpa dekrit kekuasaan, kaum muslim bisa memahami, bahwa
orang yang mengerjakan shalat tanpa sujud, pasti termasuk sesat.
Orang yang mengerjakan puasa tiga hari tiga malam berendam
dalam air comberan untuk meraih kesaktian bisa dikategorikan
melaksanakan ajaran sesat. Sebab hal itu melanggar perkara yang
termasuk kategori “ma’luumun minad diin bidh-dharury”.
Bagaimana cara menentukan paham atau aliran sesat? Untuk
kaum muslim di Indonesia, 10 kriteria paham/aliran sesat yang
dirumuskan Majlis Ulama Indonesia sudah memadai untuk dijadikan
pegangan. Allah SWT berfirman dalam Surat Yunus ayat 32:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya;
maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 269
konteks perbuatan jarimah, kata penodaan ditunjukkan kepada
perbuatan merendahkan, mencaci-maki, menghina, mengolok-olok
dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan penodaan tersebut dalam istilah
agama disebut dengan kata “sabba” dengan arti menghina/mencaci-
maki, sebagaimana dalam firman Allah (Q.S Al-An’am:108):
Radikalisme dan
270 Aliran Sempalan MODUL
Ibnu Taimiyah membagi riddah (murtad) kepada dua bentuk,
yaitu; riddah mujarradah (murni) dan riddah mughalladzhah (kelas
berat). Jika termasuk riddah mughalladzah maka dia dihukum
mati, apabila pelaku tidak bertaubat. Apabila riddahnya mujarradah,
yang disebabkan karena kebodohan dan lemahnya keyakinan,
maka pelaku tidak dihukum mati melainkan diberikan hukuman
ta’zir (penjara).
Kemudian jika perbuatan murtad itu dilakukan dengan
berkelompok (membentuk aliran), dengan maksud ingin menghina
dan merusak agama, kemudian tidak mau kembali kepada Islam
atau bertaubat maka hukuman kepada pelaku berupa hukuman
mati. Tidak semua perbuatan penodaan agama membuat murtad dan
disanksi hukuman mati, mesti melihat dampak, motif dan pelakunya.
Maka perbuatan penodaan agama yang sengaja dilakukan dengan
motif kebencian secara terang-terangan maka termasuk murtad
mughallazhah, atau murtad harby (menentang), sedangkan penodaan
yang tanpa disengaja dan bukan maksud menodai, maka murtad
muraja’ah/jahily.
Konsep penodaan agama dalam Islam disebut dengan Istilah-
istilah “Istihza, Tadnis, Tho’an, adza” yang disebut dengan parbuatan
menghina, melecehkan, mencacimaki atau mencerca atau mengolok-
olok, dan semisalnya, termasuk perbuatan Jarimah atau merusak
ajaran agama (kesesatan), mengakibatkan pelakunya jadi murtad
hiraby dengan sanksi hudud, jika hanya keluar dari Islam karena
kejahilan maka dia murtad dzimmy atau jahily jika ahlul dzimmah
maka menghilangkan kedzimmahannya.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 271
1. Dampak terhadap korban atau pengikut dapat berupa:
a. Pengucilan oleh keluarga dan masyarakat baik secara
sosial, politik maupun ekonomi;
b. Terganggunya pendidikan atau karier korban baik prestasi
belajar, disiplin, maupun keberlanjutan pendidikan;
c. Penghujatan dan pendiskreditan oleh pihak yang
menentang;
d. Pemberitaan secara merugikan baik oleh media massa
maupun oleh masyarakat dari mulut ke mulut;
e. Keadaan psikologis yang tertekan dan terintimidasi
berproses menjadi frustrasi, konflik bathin, anxietas,
depressi berujud stress sehingga menimbulkan gejala
keabnormalan jiwa seperti kelainan jiwa (adjustive
mechanism), gangguan jiwa (psychoneuroses), penyakit
jiwa (psychoses), penyakit phisik akibat guncangan jiwa
(psychosomatic), dan gangguan khusus (specific disorders)
lainnya;
f. Perubahan pola hidup yang keluar dari kebiasaan, serta
membangun relasi yang anti sosial;
g. Pelarian dari situasi dan kondisi wajar ke arah yang lebih
buruk h. Pemidanaan dan pemenjaraan
h. Pemidanaan dan pemenjaraan
Radikalisme dan
272 Aliran Sempalan MODUL
c. Timbulnya rasa takut akan menjadi korban penyimpangan
d. Termanipulasi oleh paham dan ajaran yang salah
e. Menderita kekerasan fisik dari kelompok yang tidak
sepaham
H.
BENTUK-BENTUK RADIKALISME DAN ALIRAN
SEMPALAN/ SESAT DI INDONESIA
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 273
Namun sebenarnya tidak dapat ditarik secara tegas batasan
waktu keberadaan aliran dan gerakan tersebut, sebab realitanya
bisa terjadi suatu aliran atau gerakan radikal muncul pada satu
orde dan dapat berlanjut pada orde berikutnya, seperti misalnya NII
KW IX yang lahir pada masa Orde Baru dan berlanjut pada masa
pasca Orba.
Berikut adalah beberapa contoh bentuk kelompok atau
organisasi yang terindikasi radikal atau sesat (sempalan), berdasarkan
penilaian dan penetapan institusi yang berwenang antara lain
Kejaksaan atau Kepolisian atau MUI dan atau Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), di antara gerakan radikalisme
tersebut:
1. Negara Islam Indonesia (NII) KW IX: Sangat sulit dan panjang
untuk mengurai benang gerakan NII KW IX. Hal ini disebabkan
gerakan bawah tanah ini menggunakan pola sistem sel
tertutup dalam aktivitas mereka. Berdasar bukti dari Team
MUI disebutkan gerakan ini dapat ditarik dari sejarah DI/
TII pimpinan S.M. Karosuwirjo dari masa Orde Lama (1949),
meskipun ada juga yang membantahnya karena beberapa
perbedaan pandangan. Secara umum ajaran NII KW IX dapat
disebut radikal dan sekaligus sesat, sebab:
a. NII KW IX juga menganggap NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) sebagai negara kafir.
b. Menghalalkan segala cara untuk memperkuat kelompoknya
khususnya untuk memperkuat posisi keuangan mereka.
"Kita kan lagi berjuang, kita rekrut orang-orang RI
sebanyak-banyaknya, kita ambil hartanya dan kalau
kita sudah siap revolusi kan sudah terpenuhi semuanya,
tinggal menunggu saatnya revolusi, nanti RI bakal tumbang
dengan sendirinya," kata-kata ini sering diucapkan oleh
para pemimpin NII KW IX;
c. Semua orang di dunia ini adalah kafir sebelum mereka
bergabung ke dalam NII
d. Orang kafir di dalam kondisi perang, hartanya boleh atau
halal diambil;
e. Bedanya, NII-NII yang lain bersedia melakukan tindak
kekerasan seperti peledakan bom untuk menegakkan
Radikalisme dan
274 Aliran Sempalan MODUL
keinginan mereka, NII KW-9 tidak tidak melakukan tindak
kekerasan untuk menyebarluaskan ideologinya
f. Kedok yang digunakan untuk menutupi misi NII KW IX
adalah dengan berlindung di bawah Pondok Pesantren Al
Zaytun, Suryalaya yang mewah dan megah itu.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 275
Daya tarik ISIS terletak pada kepiawaiannya dalam propaganda
di media dan penggunaan IT, juga sikap kejam kepada musuh-
musuhnya atau kelompok yang tidak bai’at kepada amir ISIS.
Melanjutkan ajaran Muhammad Bin Abdul Wahab salah satunya
adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan
tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Mereka
tidak segan-segan melakukan aksi kekerasan kepada yangtidak
sejalaan dengannya. Kelompok ISIS dikenal sangat kaya dari hasil
pertambangan minyak. Aktifnya kelompok faksi (forum aktivis
syariat islam), menjadi alat mencari simpati masyarakat dengan
mengedepankan isu kejahatan syiah kepada masyarakat sunni di
Syuriah
Fenomena ISIS di Indonesia ditandai dengan aktifnya kelompok
faksi (forum aktivis syariat islam) dalam melakukan pendekatan
kepada tokoh-tokoh teroris yang berada di dalam penjara dan
mencari simpati masyarakat dengan mengedepankan isu kejahatan
syiah kepada masyarakat sunni di Syuriah. Melakukan gerakan
mendukung ISIS. Pada 8 Februari 2014, faksi ber-bai’at kepada amir
ISIS Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai bentuk dukungan dan
harapan ISIS menjadi cikal bakal Khilafah Islamiyah bertempat di
masjid UIN Syarif Hidayatullah. Pada 12 maret 2014, asybal (tentara
anak-anak) tauhid indonesia menyatakan dukungannya kepada ISIS
dengan membuat video dalam durasi 10 menit 42 detik.
Berdasar catatan BNPT, peran tokoh-tokoh terorisme baik
yang berstatus napi atau yang sudah bebas sangat berpotensial
menginspirasi generasi muda. ISIS menjadikan jaringan teroris di
Indonesia terpecah, namun tidak berarti ancaman.
Sedangkan perihal aliran sesat yang telah diputuskan dan
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) (dalam: Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia) antara lain:
1. Darul Hadist atau Islam Jama’ah: didirikan oleh Al- Imam
Nurhasan Ubaidah Lubis Amir atau Madigol. Ayahnya bernama
Abdul Aziz bin Thahir bin Irsyad. Nurhasan lahir di Desa Bangi,
Kec. Purwosari, Kab. Kediri, Jawa Timur, Indonesia tahun 1915M.
Pada tahun 1968 kelompok ini dibubarkan oleh organisasi
masyarakat yang bergerak dibidang keagamaan, setelah
dibubarkan mereka mengubah nama menjadi Islam Jama’ah
atau yang biasa disingkat IJ. Pada tanggal 29 Oktober 1971,
Jaksa Agung melayangkan surat keputusannya dengan nomor
Radikalisme dan
276 Aliran Sempalan MODUL
surat Kep. 08/D.4/W.1971 dan menyatakan membubarkan IJ
diseluruh Indonesia, karena dinilai meresahkan masyarakat.
Pada tanggal 1 Januari 1972 Islam Jama’ah atau IJ kembali
mengubah nama menjadi Lemkari yaitu Lembaga Karyawan
Islam atau Lembaga Karyawan Dakwah Islam, dan kelompok
tersebut berada dibawah naungan partai Golkar. Pemerintah
membubarkan Lemkari dengan SK No. 618 tahun 1988, dengan
alasan ajaran mereka menyimpang dan meresahkan masyarakat.
Pada tahun 1990 kelompok Lemkari kembali mengadakan
negosiasi dan mendapatkan izin untuk berganti nama menjadi
LDII atau Lembaga Dakwah Islam Indonesia berdasarkan saran
yang diberikan Menteri Dalam Negeri.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 277
3. Syiah: Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Kerja
Nasional, Jumadil Akhir 1404 H. /Maret 1984 M.
merekomendasikan faham Syi’ah sebagai salah satu faham
yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-
perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal
Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan
itu di antaranya:
a. Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu
Bait, sedangkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-
bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah
hadis.
b. Syi’ah memandang “Imam” itu ma‘sum (orang suci),
sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya
sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan
(kesalahan).
c. Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”,
sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui Ijma’
tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
d. Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/
pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama,
sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang
dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan
adalahuntuk menjamin dan melindungi da’wah dan
kepentingan umat.
e. Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu
Bakaral-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan,
sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat
Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi
Thalib).
Radikalisme dan
278 Aliran Sempalan MODUL
Adapun ajaran yang dianggap menyimpang dan sesat adalah:
a. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Nabi
Muhammad SAW.
b. Memiliki Kitab Suci Tadzkirah yang sama sucinya dengan
Al-Qur’an.
c. Memiliki tempat suci yaitu Qadiyah dan Rabwah di India.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 279
bahwa kelompok yang didirikan oleh Lia Aminudin yang
menyebarkan dan mengaku mendapat wahyu dari malaikat
Jibril serta memaklumatkan diri dibaiat Jibril sebagai Imam
Mahdi adalah sesat. Pengakuan Lia yang kontroversial itu
dituangkannya dalam buku Perkenankan Aku Menjelaskan
Sebuah Takdir (selanjutnya disingkat PAMST).
Radikalisme dan
280 Aliran Sempalan MODUL
setelahnya.
Pada tahun 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
memvonis Musaddeq 4 tahun penjara dipotong masa tahanan
atas pasal penodaan agama. Meski pernah menyatakan diri
bertobat, Ahmad Musaddeq hingga saat ini dianggap masih
menyebarkan ajarannya dengan menggunakan nama lain
diantaranya Millah Abraham dan Gerakan Fajar Nusantara
(Gafatar) yang masih aktif di beberapa wilayah Indonesia.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 281
Imam Mahdi (menurut Darul Arqom adalah Syaikh Muhammad
Suhaemi, tokoh Darul Arqom yang diyakini menerima Aurad
Muhammadiyah langsung dari Rasulullah pada saat ia berada di
Ka’bah). Rasulullah menurut Darul Arqom masih ada dan terjaga
di dalam bangunan Ka’bah tersebut. Abuya AM mengatakan
bahwa dirinya memperoleh ilmu laduni dan mengetahui hal-hal
gaib dan persoalan yang akan datang.
Radikalisme dan
282 Aliran Sempalan MODUL
yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah
berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia.
Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari
sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta
pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.
b. Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan
ajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan
umat terhadap akidah dan sya’riat Islam; seperti pemikiran
tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran
adanya hukum Allah (sya’riat) serta menggantikannya
dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata.
Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun
ini telah melahirkan pula faham Ibahiyah (menghalalkan
segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama
serta dampak lainnya. Berdasarkan realitas ini, MUI
memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnya
pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. Untuk itu, MUI
mengeluarkan fatwa tentang sekularisme dan liberalisme
agama.
c. Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan
liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme
agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya
kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama.
Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama
adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat
mendangkalkan keyakinan akidah. Hasil dialog antar umat
beragama di Indonesia yang dipelopori oleh Prof.DR.H.A.
Mukti Ali, tahun 1970-an, paham pluralisme dengan
pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement)
serta adanya klaim kebenaran masing-masing agama telah
dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan
ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik,
dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan
boleh berganti-ganti. Paham pluralisme agama seperti ini
tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama dan
tokoh umat telah disebarkan secara aktif ke tengah umat
dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana maksud para
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 283
penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-
pusat/lembaga pendidikan umat. Itulah sebabnya Munas
VII Majelis Ulama Indonesia merasa perlu merespon MUI
mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekulraisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan
kepada umat untuk tidak mengikuti paham-paham
tersebut.
d. Fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Agama dibagi menjadi dua bagian, yakni Ketentuan
Umum dan Ketentuan Hukum. Kedua bagian tersebut
merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Karena secara substansial ketetapan hukum
yang disebutkan dalam bagian kedua menunjuk kepada
definisi dan pengertian yang disebutkan pada bagian
pertama. Definisi dalam fatwa tersebut bersifat empirik,
bukan definisi akademis. Dimaksud bersifat empirik adalah
bahwa definisi prularisme, liberalisme dan sekularisme
agama dalam fatwa ini adalah faham (isme) yang hidup dan
dipahami oleh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas.
Oleh sebab itu, definisi tentang prularisme, liberalisme
dan sekularisme agama sebagaimana dirumuskan oleh
para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang
mengada-ada, tapi untuk merespon apa yang selama ini
telah disebarluaskan oleh para prularisme, liberalisme dan
sekularisme agama. Bahkan para penganjur prularisme,
liberalisme dan sekularisme agama juga telah bertindak
terlalu jauh dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-
Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang dijamin keotentikannya
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah tidak relevan lagi,
seperti larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara
perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah
tidak relevan lagi (Kompas, 18/11/2002). Mereka juga
menganggap bahwa al- Qur’an itu bukanlah firman Allah
tetapi hanya merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks
lainnya, bahkan dianggap sebagai angan-angan teologis (al-
khayal al-dini). Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh
aktifis Islam liberal dalam website mereka yang berbunyi:
”Sebagian besar kaum muslimin meyakini bahwa al- Qur’an
Radikalisme dan
284 Aliran Sempalan MODUL
dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-
kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya
(ma’nan). Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih
merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal
al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari
formalisasi doktrin-doktrin Islam.” (Website JIL). Masih
banyak lagi pernyataan-pernyataan “aneh” yang mereka
kemukakan. Fatwa MUI menegaskan pula bahwa pluralisme
agama berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas
agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-
agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan di mana
semua warga negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus
menerimanya sebagai suatu keniscayaan dan menyikapinya
dengan toleransi dan hidup berdampingan secara damai.
Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah)
yang tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam
kehidupan kita sehari-hari.
e. Fatwa MUI tentang pluralisme agama ini dimaksudkan untuk
membantah berkembangnya paham relativisme agama,
yaitu bahwa kebenaran suatu agama bersifat relatif dan
tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-
masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya
(claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling
menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan
hubungan antar para pemeluknya.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 285
3. Pemikiran keagamaan: SEPILIS (Sekulerisme Agama, Pluralisme
Agama Pluralisme adalah teori yang seirama dengan relativisme
dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Ia terkadang
juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa tidak
ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama
benarnya atau no view is true, or that all view are equally true.
(Oxford Dictionary of Philosophy, dan Liberalisme Agama).
Radikalisme dan
286 Aliran Sempalan MODUL
Konflik Sosial.
8. Pasal 107b Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara;
9. Pasal 155 ayat (1) KUHP, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
10. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dan
11. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 287
Adanya jaminan negara tersebut menunjukkan bahwa dalam
konteks Indonesia hubungan antara agama dan negara mempunyai
relasi yang sangat kuat. Relasi ini menginsyaratkan kepada negara
untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh pelaksanaan
jaminan kebebasan beragama itu di masyarakat.
Selanjutnya, konstitusi pasca amandemen menegaskan dalam
Pasal 28E bahwa:
Radikalisme dan
288 Aliran Sempalan MODUL
Senada dengan bunyi Pasal 28J di atas, Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan
kembali bahwa :
“Dalam menjalankan dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang
dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Namun demikian, dalam konteks Indonesia sebagai negara
yang bukan negara agama, seluruh umat beragama harus tunduk
pada konstitusi yang berlaku di Indonesia. Perlu digarisbawahi di
sini bahwa pembacaan pasal-pasal itu hendaknya dilakukan secara
menyeluruh, tidak hanya membaca Pasal 29, 28E, dan berhenti pada
Pasal 28I saja, melainkan harus juga membaca Pasal 28J sebagai
satu kesatuan dengan pasal-pasal sebelumnya.
Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak perlu dianggap
bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki kebebasan beragama. Hal
itu dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum. Sesungguhnya dalam instrumen–instrumen
internasional pun hal serupa memang diatur. Dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
yang diadopsi PBB pada tahun 1948, Pasal 29 Ayat (2), dikatakan
sebagai berikut:
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be
subject only to such limitations as are determined by law solely
for the purpose of securing due recognition and respect for the
rights and freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order and the general welfare in a democratic
society”
Maksudnya adalah dalam melaksanakan hak-hak dan
kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang
diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 289
pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang
lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban
umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Dalam Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan
Politik (diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah diratifikasi oleh
Indonesia menjadi UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) berbunyi
sebagai berikut:
Radikalisme dan
290 Aliran Sempalan MODUL
menyikapi keberadaan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah.
Selain itu, norma “dalam rangka untuk melindungi keselamatan,
ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-
hak dasar dan kebebasan orang lain” telah memberikan panduan
pula bahwa sepanjang aktualisasi kebebasan beragama itu tidak
mengganggu keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai
moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain, maka
Pemerintah tidak perlu terlibat. Namun, apabila terjadi sebaliknya,
maka Pemerintah wajib untuk melakukan penanganan segera.
Perangkat regulasi tersebut disamping untuk mencegah
juga untuk memberikan arahan penanganan, agar masyarakat
tidak main hakim sendiri namun penanganan dilakukan sesuai
dengan ketentutan peraturan yang telah berlaku. Batasan-batasan
pelanggaran berikut sanksinya dapat diketahui secara pasti melalui
perangkat peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya terkait
terorisme, masyarakat dapat mengetahui apa saja perbuatan yang
digolongkan pidana terorisme, atau apa saja yang menjadi indikator
penistaan atau penodaan agama, dan seterusnya.
Semenjak dicabutnya Undang-Undang Subversi melalui Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang
Nomor II/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi gerakan radikalisme semakin berani menampakkan diri.
Adapun yang berkaitan dengan aliran sesat terkait landasan dalam
pencegahannya ditegaskan dalam Undang Undang PNPS No 1 Tahun
1965 ini hingga sekarang.
Pada penjelasan Undang Undang No1 tahun 1965
menyebutkan bahwa, hadirnya undang-undang ini atas kegelisahan
bermunculannya aliran-aliran kepercayaan yang menganggu agama
lain, oleh karenanya pemerintah merasa perlu dalam menjaga
kemurnian dan kebebasan beragama yang kemudian pembatasannya
di atur dalam Undang Undang. Jika dilihat dari politik hukum
Undang Undang tersebut, maka jelas bahwa pemerintah menaruh
perhatian yang sangat baik atas perlindungan agama., agar tidak
disimpangi oleh ajaran-ajaran lain yang keluar dari ajaran pokok
suatu agama tertentu.
Penyimpangan agama atau aliran sesat ini, semakin tahun justru
berkembang. Fakta ini bisa dilihat dari bermunculnya aliran sesat
di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 291
sesat yang berkembang di Indonesia. Bahkan MUI semoat menyebut
angka 300. Lima puluh di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.
Hal ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama,
karena penyebaran agama yang jauh dari pada pokok dasarnya ini
menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya pada
masyarakat luas, mereka telah mempercayai salah satu agama
tertentu, tiba-tiba didatangi oleh orang atau sekelompok orang yang
mengaku se-agama, namun dengan pemahaman dan pelaksanaan
yang jauh berbeda dari pokok ajaran tersebut. Tentunya itu
menjadi goncangan yang dapat berakibat luas pada disharmonisasi
bermasyarakat dan bernegara. Oleh karenanya, selain dari pada
Undang Undang tentang aliran sesat, kiranya penting pemerintah
untuk mengatur mengenai tata cara dan akibat-akibat hukum jika
suatu ajaran mempunyai definisi atau cara beragama yang berbeda
dari yang di akui pada kebanyakan masyarakat lainnya.
Menurut hasil riset yang dilakukan Setara Institute menyatakan,
sepanjang 1965-2017 (52 tahun) terdapat 97 kasus penodaan
agama. Kasus ini makin banyak sejak rezim Orde Baru tumbang.
Sebelum reformasi hanya ada 9 perkara penodaan agama, namun
pascareformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 97 kasus.
Penodaan terhadap agama Islam menjadi yang paling banyak
dinodai, yaitu 88 kasus. Sedangkan agama kristen 4 kasus, katolik
3 kasus dan hindu 2 kasus. Hal ini menggambarkan bahwa, tindak
pidana penodaan agama cukup subur di Indonesia. dan mesti
mendapat perhatian khusus terhadap UU No.1 PNPS Tahun1965 dan
pengimplementasiannya.
1. Upaya Pencegahan
Tentu saja langkah pencegahan selalu lebih baik dari
pada penanggulangan atau penanganan. Munculnya perilaku
radikalisme atau memiliki pemahaman yang menyimpang
dari mainstream pemahaman agama tentu tidak terjadi begitu
saja. Ada proses tertentu sehingga seseorang mempunyai
Radikalisme dan
292 Aliran Sempalan MODUL
faham radikal dan memaksakan dengan tindakan kekerasan
yang menakutkan orang lain atau memaksakan pemahaman
kegamaan yang tidak umum dan memaksa orang lain untuk
mengikutinya.
Beberapa hal untuk mencegah timbulnya gerakan
keagamaan bermasalah tersebut dapat dilakukan pada level
negara maupun masyarakat.
a. Level negara:
1). Penegakan hukum: anggapan akan adanya mandulnya
kinerja lembaga hukum, “tumpul ke atas tajam ke
bawah”. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan
keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal
dengan tuntutan penerapan syari’at Islam, namun,
tuntutan ini terabaikan sehingga mereka frustasi dan
akhirnya memilih cara-cara kekerasan. Penegakkan
hukum menjadi sangat penting karena dengan begitu
semua warga dipandang sama di hadapan hukum, dan
meraskan kehadiran negara sebagai pelindung atas
hak-haknya.
2). Keadilan sosial: sikap radikalisme nampak sebagai
reaksi atau perlawanan terhadap ketidakadilan
sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah
masyarakat muncul sebagai ekspresi rasa frustasi dan
pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial.
3). Kesejahteraan sosial: Pemerintah lebih memperhatikan
kesejahteraan sosial secara lebih merata, menekan
keparahan kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan
antara si kaya dan si miskin, lebih-lebih antara apa
yang disebut pribumi dan warga keturunan, karena
ini tidak dapat dipungkiri menimbulkan kecemburuan
sosial sebagai biang merasa diperlakukan secara tidak
adil.
4). Deteksi dini: Pemerintah membuat aplikasi deteksi dini
sehingga sebelum terjadi hal-hal yang kontroversial
bahkan kekerasan yang meresahkan masyarakat dan
negara, segera dapat dideteksi dan dapat dilakukan
langkah-langkah pencegahan.
b Level masyarakat:
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 293
1). Pengajaran agama yang moderat dan inklusif (sekolah,
keluarga dan masyarakat);
2). Deteksi dini: dengan melakukan identifikasi potensi
wilayah (Salah satu tugas penyuluh agama adalah
melakukan identifikasi potensi wilayah)
3). Bersikap kompromi antara realitas dengan idealitas
kehidupan;
4). Pergaulan yang lebih luas dengan komunitas lintas
budaya dan agama (bridging social capital).
c. Pemerintah dan Masyarakat: Menangkal Narasi Radikalisme
Radikalisme dan
294 Aliran Sempalan MODUL
tapi semangat melangit), dan politis (kecewa dengan sistem
demokrasi). Agus SB (BNPT) pada bulan Agustus 2015 lalu di Jambi
bahkan menyatakan bahwa tren munculnya bibit terorisme baru-
baru ini karena banyak yang belajar agama dari internet. Dijelaskan
pula oleh Agus SB bahwa 47% orang belajar agama dari internet.
Pernyataan para pejabat BNPT ini jelas menggambarkan bahwa
internet digunakan sebagai suatu alat propaganda yang efektif dan
menghasilkan simpatisan-simpatisan bagi kelompok radikal.
Pengaruh narasi yang diakses secara mandiri melalui internet/
media sosial sangat besar. Irfan Idris (BNPT: 1 Des 2015) mengatakan
bahwa saat ini propaganda kelompok radikal terorisme menyebar dan
berhembus ibarat angin sepoi-sepoi basah yang membawa kesejukan
bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama kelompok usia
remaja, pelajar dan mahasiswa yang masih mengalami kegalauan
dan kerisauan tentang jati diri mereka. Ditambahkan pula bahwa
mereka juga cenderung belum memiliki pemahaman mendalam
terkait isu agama dan negara, meski kerap kali semangat mereka
melangit ketika membahas keduanya. Remaja kebanyakan masih
lemah secara ekonomi (kemiskinan), yuridis (ketidakadilan), dan
politis (kecewa dengan sistem demokrasi).
Negara perlu menyiapkan dan melaksanakan skenario kontra
narasi radikalisme melalui media apa saja, mulai dari kelompok
masyarakat yang aktif dan pengguna media sosial hingga kelompok
masyarakat kelas menengah bawah yang tak punya fasilitas media
online Hal ini diperlukan untuk mengimbangi narasi radikal agar tidak
diterima mentah-mentah oleh masyarakat. Skenario kontra narasi
radikalisme harus lebih masif dan mempunyai pengaruh lebih kuat
dari narasi radikal yang beredar dan diakses oleh masyarakat. Inti
dari skenario kontra narasi radikalisme adalah menyebarkan nilai-
nilai damai kepada seluruh lapisan tanpa memandang kelompok,
ideologi, atau batas-batas lainnya.
Pemerintah sebaiknya menggerakkan elemen-elemen masyarakat
untuk melakukan kontra narasi radikalisme misalnya dengan ajakan
hidup damai. Kontra narasi radikalisme tidak hanya dilakukan di
media masa tetapi bisa juga dilakukan di kehidupan masayarakat
sehari-hari. Dengan langkah ini maka perilaku radikal akan tersisih.
Kontra narasi radikalisme “bahwa radikalisme dalah musuh
bersama”, sebaiknya tidak dilakukan langsung oleh BNPT tetapi
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 295
dilakukan oleh ulama, tokoh agama, penyuluh agama, guru, dosen,
atau pihak-pihak lain yang dekat (private domain), dipercaya, dan
mempunyai intensitas waktu untuk tatap muka dengan sasaran.
Kontra narasi radikalisme dilakukan untuk mencegah paham radikal
di masyarakat. Program ini sebaiknya dilakukan bukan oleh petugas
BNPT tetapi mengedepankan masyarakat sebagai pelaku. Kontra
narasi radikalisme akan efektif jika sasarannya tepat dan pelakunya
juga tepat. Program ini sebaiknya melibatkan orang terdekat,
orang yang dipercaya, atau orang yang berpengaruh pada sasaran.
Jika kontra narasi radikalisme dilakukan oleh orang yang mampu
mengakses sasaran maka program ini akan lebih efektif. Program
kontra narasi radikalisme sebaiknya tidak bernuansa proyek tetapi
lebih pada suatu kegiatan yang membumi dan menyatu dengan
aktifitas masyarakat.
Sedang kontra narasi radikalisme yang dilakukan terhadap
orang, kelompok, atau organisasi tertentu yang orang dekat atau
anggotanya telah menjalankan paham radikal. Kegiatan ini harus
dilakukan secara intensif dan dilakukan pendampingan terus
menerus agar pengaruh dari bahaya radikal dapat ditahan. Kontra
narasi radikalisme dengan sasaran pada skenario 3 ini harus
dilakukan secara simultan dan kerja sama antara orang terdekat,
keluarga, ulama, tokoh agama, aparat pemerintah, dan orang lain
yang dapat dipercaya dan berpengaruh bagi sasaran. Jika kontra
narasi radikalisme ini kalah kuat dengan narasi radikalisme yang
ada maka boleh jadi akan gagal.
2 Upaya Penaganan:
Dalam Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan
Bermasalah di Indonesia (Balitbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan: 2014), merumuskan tiga langkah
penaganan (identifikasi, penanganan dan managemen
penaganan):
a. Langkah Identifikasi:
1). Identifikasi Sasaran: Sebelum penangan aliran dan
gerakan keagamaan bermasalah dilakukan oleh
pejabat/pegawai yang ditunjuk, diperlukan identifikasi
terhadap sasaran yang akan ditangani meliputi:
Radikalisme dan
296 Aliran Sempalan MODUL
i. Eksistensinya (nama aliran, ajaran, nama pendiri,
tahun berdiri, nama pimpinan saat ini, jumlah
pengikut, lokasi, legalitas dan sumber dana)
ii. Asal muasal (Berkaitan dengan, apakah aliran/
gerakan keagamaan ini dibentuk oleh aliran
keagamaan yang sudah ada di negara lain?
ataukah cabang dari aliran/gerakan keagamaan
di daerah lain di Indonesia?; Apakah aliran/
gerakan itu lahir secara natural dari budaya dan
masyarakat lokal? ataukah gagasan seseorang
tokoh kharismatik di komunitas wilayah aktivitas
dakwahnya;
iii. Motivasi (bagaimana konteks awal munculnya, apa
sebab dan motivasinya. Apa motivasi pengikutnya
secra teologis/ideologis, sosial, budaya, ekonomi
dan politik)
iv. Lembaga payung atau afiliasi politik (Apakah ada
lembaga induk yang menjadi payung dari aliran
atau gerakan radikal ini? Jika tidak ada, apakah
aliran keagamaan ini berafiliasi dengan lembaga
lain?
v. Jaringan (Apakah aliran atau gerakan ini
mempunyai jaringan dengan aliran keagamaan
sejenis di tingkat internasional maupun nasional,
ataukah berdiri sendiri dan tidak memiliki cabang?
Apakah bekerja sama secara langsung maupun
tidak langsung dengan pemerintah/lembaga
birokrasi atau dengan individu tertentu?
vi. Persebarannya (pedesaan, perkotaan, sejaauh
mana rencana cakupannya);
vii. Pokok ajarannya (apa ideologi pokoknya, dan apa
argumennya);
viii. Metode dakwah Rekrutmen anggotanya (metode
penyebarannya, mengkader pengikut, Adakah
sistem baiat/perjanjian tertentu, ada paksaan,
struktur sel tertutup/terbuka, pengikut berbasis
individu/keluarga, apa argumennya terhadap
metode tersebut);
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 297
2). Identifikasi Kelompok Penentang:
i. Adakah kelompok penentang terhadap aliran/
gerakan keagamaan ini?
ii. Siapa tokoh di balik penentangan tersebut?
iii. Apa argumen kelompok penentang terhadap
aliran/gerakan radikal tersebut?
iv. Apakah masyarakat di sekitar tempat keberadaan
aliran/gerakan memiliki pandangan yang sama
dengan kelompok penentang itu? atau berbeda?
v. Apa saja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan
kelompok penentang terhadap ini?
vi. Bagaimana sikap aparat terhadap kelompok
penentang?
vii. Apa akibat tindakan kelompok penentang ini?
viii. Apa reaksi aliran/gerakan keagamaan tersebut
terhadap sikap dan tindakan penentangan
tersebut?
ix. Apa motivasi/alasan kelompok penentang ini?
Beberapa alternatif motivasi yang bisa ditelusuri
atau dikonfirmasi antara lain: 1. Teologis atau
ideologis; 2. Sosial; 3. Budaya; 4. Ekonomi; dan 5.
Politik
3). Identifikasi Akibat dan Dampak dari Kehadiran Aliran
Sesat/ Gerakan Radikalisme
i. Korban: Apakah mengalami frustrasi,
konflik? Bagaimana kondisi keluarganya?
Apakah mengalami kerugian material sanksi
sosial (dieksklusi keluarga, dikucilkan oleh
lingkungannya)?
ii. Sosial: Apakah keberadaan aliran/gerakan
tersebut menimbulkan konflik dan kecamasan di
kalangan masyarakat sekitarnya? Apa jenisnya?
Sejauhmana cakupan pengaruh konflik dan
kecemasan tersebut? Apakah merusak pranata
sosial masyarakat sekitarnya? Ataukah justru
tindakan kelompok penentang yang memunculkan
keresahan dan kerugian sosial?
Radikalisme dan
298 Aliran Sempalan MODUL
iii. Hukum: Apakah aliran/gerakan tersebut
melakukan pelanggaran hukum? apa deliknya?
Adakah pihak yang dirugikan atas pelanggaran
hukum tersebut? Apa bentuk kerugiannya?
4). Metode Pengumpulan Data: membuat database yang
dilakukan melalui wawancara dengan stakeholders,
investigasi/ observasi, pengkategorian, studi
kepustakaan, persetujuan korban dan keluarga untuk
mengikuti penanganan, dan membuat database
berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan,
termasuk di dalamnya adalah database personalia,
dan lain-lain.
5). Rekomendasi Penanganan:
i. Skala Prioritas Sasaran: penanganan dan
pembinaan difokuskan kepada siapa, individu/
semua stakeholders, bagaimana sebaiknya
strategi pelayanannya? Dst;
ii. Tipe Penanganan: perlukah pendampingan atau
melibatkan penegak hukum/ jangka waktu secara
ad hoc ataukah simultan berkelanjutan? dst,
iii. Penentuan proses pembinaan: metode dan didaktika
yang digunakan, keteladanan, pembudayaan
nilai dan norma yang dilaksanakan, bagaimana
evaluasi nilai keberhasilan penanganannya,
iv. Penanganan dampak: penyaluran pasca
penanganan bagi yang berhasil ditangani.
perujukan bagi yaang berdampak kejiwaan,
konsekuensi biaya perujukan dampak.
6). Metode Perumusan Rekomendasi: Diskusi tim ahli;
Analisis temuan lapangan atau FGD
3. Bentuk-bentuk Penanganan
a. Pendekatan Personal
Setelah jelas database aliran sesat atau radikalisme
dengan segala penyimpangan, ketersesatan, masalah dan
dampak yang ditimbulkannya, maka penanganan para
korban (atau penentangnya) dilakukan dalam berbagai
bentuk, dan pemilihan bentuk penanganan sangat
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 299
bergantung pada jenis masalah yang dihadapi para korban.
Setidaknya ada lima jenis masalah yang mungkin timbul
dan dialami oleh para korban: (a). Kerancuan pemahaman
tentang ajaran agama (yang Syar’i); (b). Keabnormalan jiwa;
(c). Penyakit phisik; (d) Masalah hukum dan (e). Masalah
sosial.
Masing-masing masalah diatasi dengan bentuk
pendekatan penanganan yang berbeda-beda, meskipun satu
atau dua bentuk pendekatan boleh jadi dapat digunakan
untuk lebih dari satu jenis masalah, elemen terpenting
bagaimana memutus total hubungan mereka dengan aliran/
gerakan bermasalah. Oleh karena penanganan aliran/
gerakan keagamaan bermasalah ini lebih berorientasi
pada penanganan korban yang pada dasarnya adalah
individu-individu, maka pendekatan penanganannya juga
mempertimbangkan pendekatan personal, tanpa melupakan
pendekatan lain sebagaimana akan diuraikan kemudian.
Dalam pendekatan personal, bentuk penanganannya
antara lain menggunakan:
1). Metode Pendidikan dan Bimbingan (Edukasi dan
Guidance), bisa dilakukan dengan cara ta’lim,
remedial, enrichment, dan klinikal, lewat teknik
mentoring, diskusi, dialog (counter), ceramah, atau
metode lainnya yang dinilai cocok dengan kondisi para
korban. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam
proses ini adalah: Menciptakan kenyamanan, sehingga
korban merasa damai, terbela, dan terlindungi; Tidak
bersifat menghakimi keyakinan korban sebagai sesat,
tetapi bersifat analitis terhadap pemahamannya; dan
Membangun rasa percaya (trust) korban sehingga
mereka bersedia terbuka kepada petugas dari tim
penanganan.
2). Metode Konseling dan Psikotherapi: digunakan
untuk korban yang terdiagnosa sebagai penderita
keabnormalan jiwa (adjustive mechanism diiringi
dengan kesulitan menentukan pilihan keputusan
terhadap nilai dan norma teks dan konteks wahyu
secara utuh), maka disuluhi dengan konseling. Ketika
Radikalisme dan
300 Aliran Sempalan MODUL
korban telah terdiagnosa pada tingkat gangguan jiwa
(psikoneuroses) dan gangguan jiwa khusus (specific
disorders), atau pada tingkat penyakit jiwa (psikosa),
penyakit phisik akibat guncangan jiwa (psikosomatik),
maka disembuhkan dengan teknik konsultatif,
hipnotherapi, atau biopsikomedical.
3). Metode Pengobatan (Treatment): bagi korban yang
menderita penyakit phisik (diseases), ditanggulangi
dengan pelayanan biomedis secara an sich.
4). Metode Hukum dan Advokasi Sosial: setelah
korban jelas terindikasi masalah hukum, maka
penanganannya adalah penyelesaian lewat peradilan.
Agar keadilan berjalan maksimal perlu ada advokasi.
Korban yang terindikasi memikul dampak sosial, maka
penanganannya dengan metode memberi pemahaman
dan kesadaran masyarakat agar dapat menerima
kembali korban yang dianggap sudah baik dan siap
hidup di tengah masyarakatnya, jika perlu diberi
program pemberdayaan (empowering).
5). Metode Pemutusan Mata Rantai ke Jejaring Institusi
Radikal atau Sesat: Caranya dengan memutus
lingkungan korban dari komunitas dan atau jaringan
yang dimungkinkan bisa dipengaruhi oleh aliran/
gerakan tersebut. Pemutusan hubungan ini dilakukan
hingga korban dinilai sudah mampu menjaga diri dari
pengaruh aliran/gerakan bermasalah tersebut.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 301
dengan tetap melibatkan tim penanganan.
3). Transformasi (perubahan SDM), dari eksklusif menjadi
inklusif, dengan tuntunan dari tim penanganan
4). Policy (Kebijakan) pemerintah: yang melihat sasaran
sebagai korban dan bukan sebagai penyebab keresahan
dan konflik sosial, dijembatani oleh tim penanganan
c. Pendekatan Sistemik: digunakan sebagai langkah
penanganan dan pembinaan secara hukum, persuasif
(pembinaan rapport) di antaranya
1). Hukum (dengan Litigasi (penyelesaian lewat pengadilan)
atau Non litigasi):
2). Sosial: Berbagai pihak terkait yang meliputi warga
penentang, anggota aliran/gerakan baru tersebut,
serta pihak-pihak yang berperan sebagai pendingin,
sama-sama dibekali kesadaran agama, kenegaraan,
serta keharmonisan komunitas.
4. Managemen Penanganan
a. Organisasi dan Struktur Organisasi: Untuk menjalankan
roda kegiatan agar bekerja lebih efektif dan efisien, terukur
dan terarah, dibutuhkan sebuah wadah atau sebuah
tim, yang secara tentatif dapat disebut “Tim Penanganan
dan Pembinaan”. Karena sifat waktunya yang temporal,
sementara cara penanganannya harus integral dan
komprehensif, maka ketentuan pokok yang berlaku pada
organisasi tersebut adalah:
1). Bersifat ad hoc: yang diketuai oleh personil yang
ditunjuk oleh Kementerian Agama setempat dan
mendapat persetujuan Pemda c.q. Dinas Sosial;
2). Bersifat koordinatif: pimpinan ad hoc mampu
melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait.
Radikalisme dan
302 Aliran Sempalan MODUL
Adapun komponen organisasinya sebagai berikut:
i. Pemerintah: Leading Sector: Kementerian
Agama, sedang instansi terkait adalah bagian
Kesejahteraan Rakyat, Kementerian/Dinas
Sosial dan Kementerian/Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri,
Kejaksaan, Kepolisian, KemenkumHAM, Pemda..
instansi / dinas terkit;
ii. Masyarakat (Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan
Ormas)
iii. Struktur Organisasi : sekurang-kurangnya terdiri
dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota dan
Tim Ahli bila diperlukan. Tim Ahli adalah tim yang
dibentuk oleh Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota yang terdiri dari para ahli yang
diperlukan sesuai dengan bentuk penanganan.
b. Peran dan Pola Kerja
1). Tugas/peran/tanggung jawab Pemerintah adalah
mengkoordinir, melindungi, mengawasi pelaksanaan
penanganan dan pembinaan dan memberikan
pendanaan pelaksanaan penanganan dan pembinaan.
2). Tugas/peran/tanggung jawab Tim Penanganan dan
Pembinaan:
i. Tim Lokal yakni Penyuluh Agama Kabupaten/Kota
bertugas: 1). Bekerja dengan tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan ormas untuk melakukan needs
assessment. 2) Data assessment dilaporkan ke
Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi untuk diteruskan ke Tim Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama RI.
ii. Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi bertugas: 1) Menerima laporan
pengumpulan data needs assessment 2)
Meneruskan hasil laporan ke Tim Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama RI.
iii. Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.
Tim ini bertugas: 1) Menerima hasil laporan dari
Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 303
Provinsi. 2) Memberikan penilaian terhadap hasil
laporan. 3) Menentukan ukuran masalah dan
penentuan jumlah tim yang akan diturunkan dan
keterlibatan tim ahli
iv. Tim Ahli, bertugas: 1) Melakukan penanganan
korban sesuai dengan keahlian. 2) Apabila
dipandang perlu, membuat rekomendasi
penanganan lebih lanjut kepada Tim Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama RI
3). Tugas/peran/tanggung jawab masyarakat:
i. Melaporkan masalah/potensi masalah dari aliran
atau gerakan radikalisme;
ii. Menciptakan iklim yang kondusif di dalam Tim
Penanganan dan Pembinaan (dalam hal ini
Penyuluh);
iii. Bersama Penyuluh melaporkan kepada pihak
berwajib untuk menjaga keamanan;
iv. Bersama Penyuluh melakukan needs assessment
untuk mengidentifikasi kebutuhan material,
substansial, maupun kebutuhan operasional
lapangan
c. Sarana Prasarana, meliputi:
1). Literatur yang dibutuhkan: buku acuan dan buku
penunjang;
2). Tempat penanganan: ruangan, meja, kursi, tempat
halaqah dan fasilitas lainnya;
3). Transportasi yang diperlukan;
4). Pemukiman (khususnya bagi korban) selama
pembinaan.
d. Monitoring dan Evaluasi:
1). Instrumen: Untuk membuat penilaian yang valid
secara bertingkat terdiri: Penilaian diri, dengan cara
memberikan format yang kemudian diisi sendiri;
Penilaian kolektif kemudian diisi bersama; dan
Penilaian objektif, yang kemudian diisi orang lain.
2). Alat Ukur (Barometer):
i. Sampai sejauh mana individu atau kelompok
korban aliran/gerakan keagamaan bermasalah,
Radikalisme dan
304 Aliran Sempalan MODUL
●●●
Kegiatan
Bimbingan dan Penyuluhan
Tentang Radikalisme dan
Aliran Sempalan 3
1 KOMPETENSI 1. Mengetahui dan memahami pengertian
radikalisme dan aliran sempalan
2. Mengetahui sejarah munculnya radikalisme
dan aliran sempalan
3. Mengetahui Indikator, tipologi radikalisme,
aliran sempalan dan ciri-ciri radikalisme
serta kriteria aliran Sempalan
4. Mengetahui faktor-faktor penyebab
timbulnya radikalisme dan aliran Sempalan
5. Memahami pandangan islam tentang
radikalisme dan aliran sempalan (konsep
islam tentang mujahadah , ijtihad dan jihad)
6. Mengetahui dampak gerakan radikalisme
dan aliran sempalan
7. Mengetahui bentuk-bentuk contoh
radikalisme dan aliran sempalan di
Indonesia
8. Mengetahui berbagai regulasi dan peraturan
pemerintah terkait radikalisme dan aliran
sempalan
9. Mengetahui upaya pencegahan dan
penanganan gerakan radikalisme dan aliran
sempalan
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 305
2 MATERI 1. Pengertian radikalisme dan aliran sempalan
2. Sejarah munculnya radikalisme dan aliran
sempalan
3. Indikator, tipologi radikalisme, aliran
sempalan dan ciri-ciri radikalisme serta
kriteria aliran sempalan
4. Faktor-faktor penyebab timbulnya
radikalisme dan aliran sempalan
5. Pandangan islam tentang radikalisme dan
aliran sempalan (konsep islam tentang
mujahadah, ijtihad dan jihad)
6. Dampak gerakan radikalisme dan aliran
sempalan
7. Bentuk-bentuk contoh radikalisme dan
aliran sempalan di Indonesia
8. Regulasi dan peraturan pemerintah terkait
radikalisme dan aliran sempalan
9. Upaya pencegahan gerakan radikalisme
dan aliran sempalan
3 METODE 1. Brainstorming
2. Ceramah
3. Tanya jawab
4. Diskusi
5. Evaluasi
Radikalisme dan
306 Aliran Sempalan MODUL
latar belakang pendidikan dengan klasifikasi
sebagai berikut:
1. Individu dan atau kelompok yang tidak
mengetahui sama sekali tentang radikalisme
maupun aliran sempalan.
2. Individu dan atau kelompok keagamaan
yang mengetahui adanya kelompok radikal
dan aliran sempalan namun tidak memiliki
pengetahuan tentang kelompok tersebut.
3. Individu dan atau kelompok keagamaan
yang memiliki pengetahuan tentang
kelompok radikal dan aliran sempalan
serta memiliki sikap terhadap keberadaan
mereka.
4. Individu dan atau kelompok keagamaan
memiliki pengetahuan tentang kelompok
radikal dan aliran sesat serta sempat
menjadi bagian dari kelompok tersebut.
5. Individu dan atau kelompok keagamaan,
mantan penganut aliran dan gerakan
keagamaan baru yang diindikasikan
bermasalah,
6. Kelompok penentang atau masyarakat luas
yang cenderung menggunakan cara-cara
kekerasan,
7. Warga masyarakat yang tidak terlibat,
akan tetapi ikut menjadi korban konflik dan
kekerasan.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 307
3. Memperkokoh fungsi agama dalam
mengembangkan potensi manusia
paripurna (insan kamil);
4. Mengimplementasikan upaya penyelesaian
masalah gerakan radikalisme dan aliran
sempalan dengan cara-cara yang lebih
manusiawi, adil, beradab, dan dengan
perspektif memandirikan (self sufficient).
5. Melayani konsultasi terhadap korban
radikalisme dan aliran sempalan;
6. Melakukan pendampingan bagi korban bila
diperlukan;
7. Memfasilitasi penyelesaian antara mereka
yang dianggap pelaku aliran sesat atau
radikalisme dengan masyarakat beragama
mainstream pada umumnya melalui
cara-cara damai, komunikasi hangat dan
demokratis.
8. Menjadi bagian dari pelaku penanganan
yang bersifat re-edukasi sehingga para
korban aliran keagamaan bermasalah
dapat kembali kepada kehidupan sosial
yang normal serta kondisi kejiwaan yang
sehat. Juga re-edukasi kepada masyarakat
penentang untuk lebih bersifat rehabilitasi-
sosial, tidak main hakim sendiri dan tidak
menggunakan kekerasan sebagai jalan
penyelesaian.
9. Mempermudah penguatan koordinasi
penanganan lintas instansi, institusi,
pakar atau ahli, maupun antar warga beda
persepsi dan konsepsi.
Radikalisme dan
308 Aliran Sempalan MODUL
●●●
Penutup
4
kembali menjadi atau diterima sebagai anggota
masyarakat secara normal;
ii. Diasumsikan, masyarakat lingkungan di mana
korban berada juga telah memiliki kesadaran yang
benar;
3). Monitoring dan Evaluasi: Monitoring dan evaluasi
dilakukan oleh Kantor Kementerian Agama setempat
atau oleh Tim yang dibentuk oleh Kantor Kementerian
Agama setempat;
4). Sistem Pelaporan: terdiri Pelaporan Rencana Kegiatan
(RENGIAT), Pelaporan Kemajuan Kegiatan (LAPJU) dan
Evaluasi tahapan kegiatan.
e. Penguatan Kapasitas Tim Penanganan dan Pembinaan:
1). Membuat pengayaan, pelatihan keilmuan dan
keterampilan (Diklat, pembekalan tentang konseling,
edukasi, kemahiran dialog, dan perlindungan khusus
“legal” bagi tim penyadaran dalam melaksanakan
tugas);
2). Kemampuan dalam meneliti (kemampuan menjaring
data, mendeskripsikan secara sistematis dan
mengartikulasikan dalam diskusi/debat);
3). Menampilkan kepribadian (jujur, memahami, adaptif,
keteladanan)
4). Membangun persamaan persepsi tentang gerakan
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 309
keagamaan bermasalah antar instansi terkait: dalam
kedamaian, keselamatan dan menggunakan dasar
hukum negara dan Ketetapan MUI
f. Penganggaran: Anggaran kegiatan penanganan masalah
aliran/gerakan keagamaan bermasalah dibebankan pada
APBN dan jika dimungkinkan pada APBD, yang ditangani
oleh masing-masing instansi.
Radikalisme dan
310 Aliran Sempalan MODUL
●●●
Daftar
4
Pustaka
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 311
12. Apa yang dimaksud dengan aliran sempalan?
13. Apa kriteria suatu aliran dinyatakan sempalan/sesat?
14. Siapa yang melakukan aliran sempalan?
15. Mengapa terjadi aliran sempalan di Indonesia?
16. Di mana saja terjadi aliran sempalaan?
17. Bagaimana cara mendeteksi munculnya aliran sempalan di
masyarakat?
18. Apa tujuan adanya pencegahan aliran sempalan?
19. Apa saja faktor penyebab terjadi aliran sempalan?
20. Bagaimana cara pencegahan terhadap aliran sempalan di
masyarakat?
Abdul Aziz, Thaba. (1995). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru.
Jakarta: Gema Insani Press.
Abdullah, Anzar. (2016). Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif
Historis. Jurnal ADDIN. Vol 10. No. 1. Februari.
Abdullah, Junaidi. 92014) “Radikalisme Agama: Dekonstruksi Ayat
Kekerasan dalam al-Qur’an”, dalam Jurnal Kalam, Vol. 8, No. 2,
Desember, hlm. 3.
Ahmed, Akbar S. (1993). Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi
Islam. Terjemah M. Sirozi. Mizan: Bandung.
Anne Soukhanov (ed) (1992) American Heritage Dictionary of English
Language, Third Edition – (Boston, Boston Publishers.
As’ad S. Ali: Ideologi Gerakan Pasca Reformasi (Jakarta, LP3ES, 2012)
Abdullah, Amin. (1996). Studi Agama, Normatifitas atau Historisitas?
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asy’arie, Musa. (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-
Qur’an. Yogyakarta: LESFI.
Azra, Azyumardi. (1996). Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis,
Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Kementerian Agama RI. (2014). Pedoman Penanganan Aliran dan
Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia.
BNPT. (TT). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS.
Radikalisme dan
312 Aliran Sempalan MODUL
Gibb, H.A.R, (1990). Aliran-aliran Moderen dalam Islam. Terjemah
oleh Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press.
Hadiz, Vedi R. (2008). Towards a Sociological Understanding of Islamic
Radicalism in Indonesia - Journal of Contemporary Asia, V.38,
No. 4, pp. 638-647.
Hendroprioyono, A.M. (2009). Terorisme: Fundamentalis Kristen,
Yahudi dan Islam. Jakarta: Buku Kompas, p. 13
Imarah, Muhammad. (1999). Fundamentalisme dalam Perspektif
Pemikiran Barat dan Islam. Terjemah oleh Abdul Hayyie al-
Kattani. Jakarta: Gema Insani Press.
Ismail, Faisal. (1999). Islam Idealitas ilahiIah dan Realitas Insaniyah.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
------- . (2002). Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur.
Yogyakarta: LESFI.
Kuntowijoyo. (1997). Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. (1995). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta:
Paramadina.
---------------. (1995). Islam Agama Peradaban, Mencari Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Martin van Bruinessen: “Genalogies of Islamic Radicalism in Post-
Suharto Indonesia” dalam Southeast Asia Research, vol. 10, no.2
(2002), hlm. 117-154.
Radikalisme dan
MODUL Aliran Sempalan 313
Mbay, Ansyaad. (2014). Strategi Menangkal Propaganda ISIS. Jakarta:
BNPT
Mubarak, M. Zaki (2008). Genealogi Islam Radikal di Indonesia:
Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
LP3ES.
Nancy L. Harper - Activism vs. Catharsis in the Religious Radical Right,
a Case Study of Billy James Hargis‘ Christian Crusade - Journal
of Communication Inquiry, vol. 5, no 3, (1979), hlm.51-70
Nasution, Harun. (1995). Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Al-Qardhawi, Yusuf. (2001). Al-Sahwah al-Islamiyyah: Baina al-Juhad
wa al-Tatarruf. Kairo: Bank at-Taqwa. pp. 23-29
Rahman, Budhy Munawar. (2010). Argumen Islam untuk Liberalisme:
Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta:
Grasindo.
Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity. Chicago: The University
of Chicago Press.
--------------- (2001). “Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama”
dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam
Studi Agama. Terjemah oleh Zakiyuddin Baidlawi. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Riddel, Peter G. (2002). “The Diverse Voices of Political Islam in Post-
Suharto Indonesia”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol.
13, No. 1.
Syam, Nur. (2005). Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi komunitas Islam.
Surabaya: Eureka.
Shaban. (1994). Islamic History. Cambridge: Cambridge University
Press.
Tanja, Victor. (1998). Pluralisme Agama dan Problem Sosial, Diskursus
Teologi Tentang Isu-isu Kontemporer. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Umar, Nasaruddin. (2014). Deradikalisasi Pemahan Al-Quran &
Hadits. Jakarta: Elex Computindo.
Watt, William Montgomery. (1988). Islamic Fundamentalism and
Modernity. London: T.J. Press (Padstow) Ltd.
Zuly Qodir. (2011). Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Radikalisme dan
314 Aliran Sempalan MODUL
Referensi Lainnya
Modul
Pencegahan
Penyalahgunaan
Narkoba dan
Penanggulangan
HIV/AIDS
Tim Penyusun
• Rahmayati Chotimah
• Hadi Rosyadi
• Elly
1
Narkoba
Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
B. DESKRIPSI SINGKAT
a. Narkoba
Narkoba adalah singkatan Narkotika dan Obat/Bahan
Berbahaya. Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk
media massa dan aparat penegak hukum.Selain “narkoba”,
istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan
singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif. Semua
istilah ini, baik “narkoba” atau napza, mengacu pada sekelompok
zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi
penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya
adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius
pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit
tertentu.
b. Napza
Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
2. Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti pemakaian obat secara tetap/sporadik, yang
bukan untuk tujuan pengobatan atau yang digunakan tidak
sesuai dengan penggunaan medis yang diakui.
2
A. PANDANGAN ISLAM TENTANG NARKOBA ATAU NAPZA
Maqasid Syariah
Hijz ad-Din Hijz al-Nafs Hijz al-Aql Hijz al-Nasl Hijz al-Mal
1. Dalil Al-Qur’an
a. Allah mengharamkan segala yang buruk
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195).
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS.An Nisa’: 29).
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu sholat
, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan…”. (QS. An Nisaa’: 43)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman)
khamr, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syetan.Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu memperoleh keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)
Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dari segala yang memabukkan
dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud No.
3686 dan Ahmad 6). Jika khomr itu haram, maka demikian
pula dengan yg bersifat mufattir seperti narkoba.
Dari Umar bin Khattab radiallahu ‘anh, “Khamar adalah
segala sesuatu yang menutup akal.” (HR Bukhari Muslim).
Dari Aisyah bahwa Nabi saw beliau bersabda: “segala
minuman yang memabukkan adalah haram, segala minuman
yang memabukkan adalah haram”. (HR Bukhari Muslim).
Tidaklah seseorang yang minum khamr, sementara ketika
meminumnya, dia sebagai seorang Mukmin. (HR. Al-Bukhâri
dan Muslim)
Dari Abu ad-Darda’, dia berkata, “Kekasihku (Nabi
Muhammad ) Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat
kepadaku, “Jangan engkau minum khamr, karena ia adalah
kunci semua keburukan.” (HR. Ibnu Mâjah, no. 3371)
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh golongan dengan
sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang
minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang
membawanya, orang yang minta di antarkan, orang yang
menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang
makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan
orang yang minta dibelikan.” (HR. Tirmidzi, no. 1295)
1. NARKOTIKA
Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika, narkotik adalah: zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukantanaman baik sintetis maupun semisintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. NARKOTIKA
dibedakan kedalam golongan-golongan:
Gambar: steemet.com
• Narkotika Golongan I:
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi
serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain,
ganja,opiat).
Gambar: Salamadian
Gambar: authorstream
Gambar: SlidePlayer.info
2. KOKAIN
Kokain mempunyai dua bentuk yaitu :kokain hidroklorid
dan free base. Kokain berupa kristal pitih. Rasa sedikit pahit
dan lebih mudah larut dari free base. Freebase tidak berwarna/
putih, tidak berbau dan rasanya pahit
Nama jalanan dari kokain adalah koka,coke, happy dust,
charlie, srepet, snowsalju, putih. Biasanya dalam bentuk bubuk
putih.
3. KANABIS
• Nama jalanan yang sering digunakan ialah: Grass, Cimeng,
ganja dan gelek, hasish, marijuana, bhang.
• Ganja berasal dari tanaman kanabis sativa dan kanabis
indica. Pada tanaman ganja terkandung tiga zat utama
yaitu tetrehidro kanabinol,kanabinol dan kanabidiol.
• Cara penggunaannya adalah dihisap dengan cara
dipadatkan mempunyai rokok atau dengan menggunakan
pipa rokok.
• Efek rasa dari kanabis tergolong cepat, si pemakai
cenderung merasa lebih santai, rasa gembira berlebih
(euforia), sering berfantasi. Aktif berkomonikasi, selera
makan tinggi,sensitif,kering pada mulut dan tenggorokan.
4. AMPHETAMINES
• Nama generik amfetamin adalah D-pseudo Epinefrin
berhasil disintesa tahun 1887, dan dipasarkan tahun 1932
sebagai obat
• Nama jalannya : seed, meth, crystal, uppers, whizz dan
sulphate
• Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih dan
keabuan, digunakan dengan cara dihirup. Sedangkan
yang berbentuk tablet biasanya diminum dengan air.
6. SEDATIF-HIPNOTIK (BENZODIAZEPIN)
• Digolongkan zat sedatif (obat penenang) dan hipnotika (obat
tidur).
• Nama jalanan dari Benzodiazepin :BK, Dum, Lexo, MG,
Rohyp.
• Pemakaian benzodiazepin dapat melalui : oral,intra vena
dan rectal
• Penggunaan di bidang medis untuk pengobatan kecemasan
dan stres serta sebagai hipnotik (obat tidur).
8. ALKOHOL
• Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan
manusia. Diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari
buah dan umbi-umbian. Dari proses fermentasi diperoleh
alkohol dengan kadar tidak lebih dari 15%, dengan proses
penyulingan di pabrik dapat dihasilkan kadar alkohol yang
lebih tinggi bahkan mencapai 100%.
• Nama jalanan alkohol: booze, drink.
• Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah
tegukan terakhir. Sekali diabsorbsi, etanol didistribusikan
keseluruh jaringan tubuh dan cairan tubuh. Sering dengan
peningkatan kadar alkohol dalam darah maka orang akan
menjadi euforia, mamun sering dengan penurunannya pula
orang menjadi depresi.
1. PENYALAHGUNAAN NAPZA
Adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA
secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga
menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan
fungsi sosial.
Sumber: pondokrehabilitasi.com
Sumber: Mysultra.com
2. KETERGANTUNGAN NAPZA
Adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik
dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang
makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi
atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (with drawal
symptom).
Oleh karena itu, ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang
dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan
kegiatannya sehari-hari secara “normal”
1. Akibat Hukum
Penyalahgunaan narkoba selain berdampak terhadap kesehatan
juga memilki akibat hukum bagi para pelakunya. Penyalahgunaan
narkotika diatur didalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
diancam sanksi mulai dari denda sampai dengan pidana yang
tingkatan hukumannya tidak dapat dikatakan sebagai katagori
hukuman ringan namun berupa kejahatan.
2. Skema Hukuman
Undang-undang menentukan hukuman bagi penyalahgunaan
narkotika dengan skema:
a. Rehabilitasi bagi korban;
b. Penjara disertai dengan denda bagi pelaku tindak pidana;
c. Orang tua atau wali juga di ancam hukuman kurungan
dan denda apabila tidak melaporkan anaknya yang menjadi
pecandu narkotika;
349
METODE MATERI
N KELOMPOK TUJUAN BIMBINGAN
PENDEKATAN BIMBINGAN BIMBINGAN DAN
O SASARAN PENYULUHAN
PENYULUHAN PENYULUHAN
1. Preven�f a. Anak a. Ceramah a. Tauhid: Iman, Islam, Ihsan a. Mengetahui narkoba dan
informasi dan b. Remaja b. Tanya jawab Tujuan hidup manusia bahayanya
edukasi c. Orang c. Diskusi b. Pola hidup sehat ala b. Memahami pen�ngnya fondasi
pencegahan bagi dewasa d. Brainstorming Rasulullah, pengetahuan agama sebagai upaya
yang tak terkena d. Kelompok e. Bermain peran modern tentang pola menangkal bahaya narkoba
narkoba khusus: f. Pemutaran film hidup sehat Mencanangkan gerakan hidup
guru, toga pendek c. Bahaya narkoba sehat tanpa narkoba
2. Kura�f: terapi atau a. Pemakai a. Bimbingan a. Thaharah (pencucian diri a. Memahami hakikat thaharoh
rehabilitasi untuk coba-coba konseling/ dan jiwa) untuk pembersihan diri dan
MODUL
3. Menentukan program hidup
4. Menuliskan rencana dan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk melaksanakan
program dan mencapai tujuan
5.Mengembangkan perasaan, pemikiran, dan perilaku yang posi�f
C. Fungsi Penyuluh Agama dan Implementasinya Dalam
Bimbingan Penyuluhan Narkoba
1. Hal. 3
2. Hal. 4-5
3. Hal. 8-18
4. Hal. 18-23
5. Hal. 24
6. Melakukan tindakan preventif dengan cara: mengajak anggota
keluarga dan masyarakat untuk senantiasa menjalankan
perintah agama, serta mensosialisasikan bahaya dampak
narkoba
7. Agama mempunyai peran yang sangat urgen sebagai fondasi
kokoh agar umatnya senatiasa menjalani hidup sesuai
dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah yang semua itu
bukan untuk mengekang kebebasan dan hak asasi manusia,
tetapi justru untuk membawa umat manusia mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Pendahuluan 1
A. Latar Belakang
C. Landasan
E. Metode Penyuluhan
F. Laporan Kegiatan
“Sesuatu yang mana perkara yang wajib tidak bisa terlaksana dengan
sempurna kecuali dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu tersebut
hukumnya wajib”. (Tajuddin as-Subki, al-Asybah wa an-Nadzair, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1411 H, Vol: II, h. 90)
“Setiap teransaksi, seperti jual beli, hibah, nazar dan shodaqoh atas
sesuatu yang bisa digunakan (dimanfaatkan) untuk perkara yang
diperbolehkan secara syara` (mubah) atau tidak diperbolehkan (haram),
jika diketahui atau diduga kuat bahwa orang yang mengambilnya
itu akan menggukanannya untuk perkara yang diperbolehkan
(mubah), seperti mengambil sutra bagi orang yang diperbolehkan
(halal) memakainya, anggur untuk dimakan, budak untuk melayani,
senjata untuk jihad dan membela diri, candu dan ganja untuk obat
dan kasihan (untuk menghilangkan rasa sakit dalam tindakan medis
seperti operasi), maka teransaksi tersebut diperbolehkan (halal)
serta tidak dimakruhkan. Jika diduga kuat bahwa sesuatu tersebut
akan digunakan untuk perkara yang dilarang ( haram), seperti kain
sutra untuk laki-laki yang sudah akil baligh, anggur untuk mabuk-
mabukan, budak untuk perbuatan yang keji (zina), senjata untuk
merampok di jalan dan perbuatan lalim dan candu, ganja dan buah
pala digunakan untuk mabuk, maka transaksi tersebut di haramkan.
Jika penggunaan sesuatu tersebut masih diragukan, dan tidak ada
bukti (yang menunjukkan untuk keperluan halal atau haram), maka
transaksi tersebut hukumnya makruh. Dan ketiga transaksi tersebut
hukumnya tetap sah.” (Abdurraham bin Muhammad bin Muhammad
bin Husain bin Umar Ba`alawi, Bughyah al-Musytarsidin, Bairut-
Daru al-fikr, h. 260)
“Dalam kitab shohih :Larilah kamu dari orang yang terjangkit lepra
seperti kamu lari dari harimau. Imam Syafi`i berkata dalam kitab
al-Umm : Adapun lepra dan kusta, sesungguhnya kedua-duanya
dapat menular kepada pasangan dan anaknya. Ditempat lain beliau
berkata: Lepra dan kusta menurut dugaan para ahli kedokteran dan
riset termasuk jenis penyakit yang banyak menular. Ia termasuk
penghalang hubungan intim. Nafs tidak tertarik lagi berhubungan
intim dengan orang yang terjangkit penyakit tersebut dan anaknya
jarang sekali selamat dari penyakit tersebut, dan jika selamat maka
penyakit tersebut akan mengenai keturunannya.” (Muhammad al-
Khatib as-Syarbini, Mughi al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-
Minhaj, Dar al-fikri, Bairut, Vol: II, h. 203)
Hak-Hak ODHA
Berhubung menurut para pakar kedokteran dan kesehatan,
penularan virus HIV&AIDS hanya terjadi karena adanya kontak
langsung dinding sel tubuh yang terbuka dengan cairan tubuh
pengidap HIV melalui darah, sprema, cairan vagina, cairan preseminal
dan air susu ibu , maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan
untuk menyisihkan penderita HIV&AIDS dari pergaulan. Oleh karena
itu, mereka tetap berhak untuk bekerja, bersekolah, dan hidup
bermasyarakat bersama orang-orang yang sehat. Wahbah al-Zuhaily
menjelaskan:
“Berdasarkan atas keterangan yang telah lalu, maka tidak ada alasan
yang dibenarkan mengisolasi para siswa atau pekerja atau lainnya
yang terjangkit penyakit AIDS dari teman-teman mereka yang sehat”.
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut-Dar al-
Fikr, cet ke-31, 1430 H/2009 M, Vol: VIII, h. 822)