Anda di halaman 1dari 37

PERATURAN DIREKTUR

TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN
PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


Dr SOEDIRMAN
KEBUMEN
2019
PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
NOMOR : TAHUN 2019

TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN
PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

Menimbang : a. Bahwa peningkatan kejadian dan penyebaran


mikroba yang resisten terhadap antimikroba
di rumah sakit disebabkan oleh penggunaan
antimikroba yang tidak bijak dan kurangnya
ketaatan terhadap kewaspadaan standar;
b. Bahwa dalam rangka mengendalikan mikroba
resisten dirumah sakit, perlu perlu
dikembangkan program pengendalian
resistensi antimikroba di rumah sakit;
c. Bahwa agar pelaksanaan pengendalian
resistensi Antimikroba di Rumah Sakit dapat
terlaksana dengan baik, perlu adanya
Kebijakan Direktur sebagai landasan bagi
penyelenggaraan pelaksanaan program
pengendalian antimikroba di Rumah Sakit;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam a ,b dan c,
perlu ditetapkan Peraturan Direktur tentang
Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004,
tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit;
3. Undang Undang RI Nomor 36 Tahun 2014
Tentang Kesehatan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.34
Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah
Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.11
Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.27
Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik;
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan;
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit;
11. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.64
Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1333/Menkes/SK/XII/ 1999
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1197/Menkes/ SK/X/2004
tentang Standar Pelayanan Farmasi di
Rumah Sakit;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan;

Memperhatikan : 1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 8 Tahun 2015 Tentang
Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit;
2. Peraturan Menteri Kesehatan No 72 tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Rumah Sakit.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR TENTANG PEDOMAN
PELAYANAN PROGRAM PENGENDALIAN
RESISTENSI ANTIMIKROBA RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan


hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam
penggunaan klinis.

2. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan


untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba
resisten.

3. Komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba yang


selanjutnya disingkat KPPRA adalah komite yang dibentuk oleh
Direktur Rumah Sakit Umum Dr. Soedirman Kebumen dalam rangka
mengendalikan penggunaan antimikroba di Rumah Sakit.

Pasal 2

Peraturan Direktur ini digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit dalam
upaya pengendalian resistensi antimikroba agar Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit berlangsung secara baku, terukur,
dan terpadu.

BAB II
STRATEGI

Pasal 3

Strategi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dilakukan dengan


cara:

a. Mengendalikan berkembangnya mikroba resisten akibat tekanan


seleksi oleh antibiotik, melalui penggunaan antibiotik secara bijak; dan

b. Mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkataan ketaatan


terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi.
Pasal 4

(1) Penggunaan antibiotik secara bijak sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 3 huruf a merupakan penggunaan antibiotik secara rasional
dengan mempertimbangkan dampak muncul dan menyebarnya
mikroba (bakteri) resisten.

(2) Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan:

a. meningkatkan pemahaman dan ketaatan staf medis fungsional


dan tenaga kesehatan dalam penggunaan antibiotik secara bijak;

b. meningkatkan peranan pemangku kepentingan di bidang


penanganan penyakit infeksi dan penggunaan antibiotik;

c. mengembangkan dan meningkatkan fungsi laboratorium


mikrobiologi klinik dan laboratorium penunjang lainnya yang
berkaitan dengan penanganan penyakit infeksi;

d. meningkatkan pelayanan farmasi klinik dalam memantau


penggunaan antibiotik;

e. meningkatkan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin dan


terpadu;

f. melaksanakan surveilans pola penggunaan antibiotik, serta


melaporkannya secara berkala; dan

g. melaksanakan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan


kepekaannya terhadap antibiotik, serta melaporkannya secara
berkala.

Pasal 5

Pencegahan penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan


terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dilakukan melalui upaya:
a. peningkatan kewaspadaan standar;

b. pelaksanaan kewaspadaan transmisi;

c. dekolonisasi pengidap mikroba resisten; dan

d. penanganan kejadian luar biasa mikroba resisten.


BAB III
PENYELENGGARAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

(1) Rumah sakit harus melaksanakan Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba.

(2) Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. Pembentukan Komite pelaksana Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba;

b. penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik;

c. melaksanakan penggunaan antibiotik secara bijak; dan

d. melaksanakan prinsip pencegahan pengendalian infeksi.

(3) Pembentukan Komite pelaksana Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
bertujuan menerapkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
di Rumah Sakit melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
monitoring, dan evaluasi.

(4) Penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik,


melaksanakan penggunaan antibiotik secara bijak, dan melaksanakan
prinsip pencegahan pengendalian infeksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Komite Pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimkroba

Pasal 7

(1) Komite pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dibentuk melalui
keputusan direktur rumah sakit.
(2) Susunan komite pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas ketua,
wakil ketua, sekretaris dan anggota.

(3) Kualifikasi ketua komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan seorang klinisi yang
berminat di bidang infeksi.

(4) Dalam melaksanakan tugasnya, komite pelaksana Program


Pengendalian Resistensi Antimikroba sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggung jawab langsung kepada direktur rumah sakit.

Pasal 8

(1) Keanggotaan komite pelaksana Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) paling sedikit terdiri atas unsur:

a. Klinisi perwakilan SMF/bagian;

b. Keperawatan;

c. Instalasi farmasi;

d. Laboratorium mikrobiologi klinik

e. Komite Pencegahan Pengendalian Infeksi; dan

f. Tim Farmasi dan Terapi

Pasal 9

Komite pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba


mempunyai tugas dan fungsi:

a. Membantu direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan tentang


pengendalian resistensi antimikroba;

b. membantu direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum


dan panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit;

c. membantu direktur rumah sakit dalam pelaksanaan program


pengendalian resistensi antimikroba;

d. membantu direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi


pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikoba;
e. menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi
terintegrasi;

f. melakukan surveilans pola penggunaan antibiotik;

g. melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya


terhadap antibiotik;

h. menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran


tentang prinsip pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan
antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan
pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan;

i. mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi


antimikroba; dan

j. melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba


kepada Direktur rumah sakit.

Bagian Ketiga
Evaluasi

Pasal 10
(1) Evaluasi terhadap pelaksanaan program pengendalian resistensi
antimikroba di rumah sakit dilakukan melalui:

a. evaluasi penggunaan antibiotik; dan

b. pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten.

(2) Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf a dilakukan menggunakan metode audit kuantitas
penggunaan antibiotik dan audit kualitas penggunaan antibiotik.

(3) Pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten di


rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
melalui surveilans mikroba multiresisten.
Bagian Keempat
Indikator Mutu

Pasal 11

Indikator mutu Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah


Sakit meliputi:

a. perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik;

b. perbaikan kualitas penggunaan antibiotik;

c. perbaikan pola kepekaan antibiotik dan penurunan pola resistensi


antimikroba;

d. penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang disebabkan


oleh mikroba multiresisten; dan

e. peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin,


melalui forum kajian kasus infeksi terintegrasi.

Bagian Kelima
Pelaporan

Pasal 12

(1) Direktur rumah sakit wajib melaporkan pelaksanaan Program


Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit kepada Menteri
melalui KPPRA Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soedirman Kebumen
dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

(2) Pelaporan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah


sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala
setiap akhir tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba di rumah sakit sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur ini.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Peraturan Direktur ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan.

Ditetapkan di KEBUMEN
Pada Tanggal : Maret 2019

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH Dr. SOEDIRMAN
KEBUMEN

dr. WIDODO SUPRIHANTORO, MM


NIP. 19660614 200003 1 005
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
NOMOR TAHUN 2019
TENTANG PEDOMAN PELAYANAN
PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

PEDOMAN PELAYANAN PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI


ANTIMIKROBA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan


masyarakat yang penting terutama di negara berkembang. Obat
yang digunakan secara luas untuk mengatasi masalah tersebut
adalah antimikroba yang terdiri atas antibiotika, antivirus, anti
jamur, dan antiparasit. Diantara keempat obat tersebut,
antibiotika adalah yang terbanyak digunakan. Berbagai penelitian
menyimpulkan bahwa sekitar 40-62% antibiotika digunakan pada
penyakit yang tidak memerlukan antibiotika. Penggunaan
antibiotika bukan tanpa akibat, terutama bila tidak digunakan
secara bijak.

Intensitas penggunaan antibiotika yang tinggi menimbulkan


berbagai masalah baik masalah kesehatan maupun masalah
pengeluaran yang tinggi. Masalah kesehatan yang dapat timbul
akibat penggunaan antibiotika tidak rasional adalah resistensi
bakteri terhadap antibiotika, yang mempersulit penanganan
penyakit infeksi karena bakteri. Resistensi tidak hanya terjadi
terhadap satu antibiotika melainkan dapat terjadi terhadap
berbagai jenis antibiotika sekaligus, seperti bakteri MRSA
(Methycillin Resistant Staphylococcus Aureus), ESBL (Extended
Strain Beta Lactamase), dsb. Kesulitan penanganan akibat
resistensi bakteri terhadap berbagai antibiotika selanjutnya
berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas.

Disamping antibiotika yang secara spesifik adalah


antibakterial, penggunaan antijamur juga meningkat terutama
pada pasien defisiensi imun dan akibat pemberian antibiotika
lama. Penggunaan antijamur yang berlebihan dan tanpa indikasi
selanjutnya juga akan berakibat terjadi resistensi terhadap jamur
terutama golongan candida. Antivirus dan antiparasit lebih jarang
digunakan tetapi tetap perlu dibuat pedoman penggunaannya
dengan baik.

B. Tujuan
1. Sebagai pedoman bagi klinisi dalam pemilihan dan penggunaan
antimikroba secara bijak.
2. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

II. STRATEGI PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA


Prinsip penggunaan antibiotik secara bijak (Prudent)
1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotika dengan
spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang
adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotika (antibiotic policy) ditandai
dengan pembatasan penggunaan antibiotika dan mengutamakan
penggunaan antibiotika lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotika dapat dilakukan dengan
menerapkan pedoman penggunaan antibiotika, penerapan
penggunaan antibiotika secara terbatas (restriced), dan penerapan
kewenangan dalam penggunaan antibiotika tertentu (reserved
antibiotics).
4. Indikasi ketat penggunaan antibiotika dimulai dengan
menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi,
serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotika tidak diberikan pada
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang
dapat sembuh sendiri (self-timited).
5. Pemilihan jenis antibiotika harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan terhadap antibiotika;
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman
penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil
mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective : obat dipilih atas dasar yang paling cost effective
dan aman.
6. Penerapan penggunaan antibiotika secara bijak dilakukan dengan
beberapa langkah berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap
penggunaan antibiotika secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang,
dengan penguatan pada laboratorium lain yang berkaitan
dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di
bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara
tim (teamwork).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan
antibiotika secara bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotika secara intensif dan
berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotika
secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.

III. PENGENDALIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


A. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif
1. Antibiotik Terapi Empiris
a. Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah
penggunaan antibiotika pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi empiris adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang
diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi
Ditemukan sindroma klinis yang mengarah pada
keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi
penyebab infeksi.
a) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data
epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di
di rumah sakit;
b) Kondisi klinis pasien;
c) Ketersediaan antibiotik;
d) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam
jaringan/organ yang terinfeksi;
e) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh
polimikroba dapat digunakan antibiotika kombinasi.
d. Rute pemberian
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral.
e. Lama pemberian
Antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72
jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan
data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya.

2. Antibiotik untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah
penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya.
b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi definitif adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang
menjadi penyebab infeksi, berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi.
c. Indikasi
Sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab
infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji
klinik;
2) Sensitivitas;
3) Biaya;
4) Kondisi klinis pasien;
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah
sakit);
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT)
setempat yang terkini;
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral. Jika
kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik
parenteral harus segera diganti dengan antibiotika per oral.
f. Lama pemberian
Lama pemberian antibiotika definitif berdasarkan pada
efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal
yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya.

B. Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pembedahan


Pemberian antibiotik profilaksis sebelum (30–60 menit
sebelum insisi pertama), saat dan hingga 24 jam pasca operasi
pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda
infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka
operasi. Diharapkan pada saat operasi, konsentrasi antibiotika di
jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang
efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri kulit dan
lingkungan.
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam
pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik
dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung.
Rekomendasi antibiotik yang digunakan pada profilaksis bedah
dapat dilihat pada kebijakan penggunaan antibiotika profilaksis
bedah/tindakan medis.
1. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada kasus
pembedahan:
a. Menurunkan dan mencegah kejadian Infeksi Daerah
Operasi (IDO);
b. Menurunkan mordibitas dan mortalitas pasca operasi;
c. Menghambat munculnya flora normal resisten antibiotik;
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis ditentukan
berdasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih
kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotika untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen
terbanyak pada kasus bersangkutan (EMPIRIS);
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi
bakteri;
c. Toksisitas rendah;
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap
pemberian obat anestesi;
e. Bersifat bakterisidal;
f. Harga terjangkau.

Gunakan cephalosporin generasi I-II untuk


profilaksis bedah. Pada kasus tertentu yang
dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat
ditambahkan metronidazol.

Tidak dianjurkan menggunakan


cephalosporin generasi III-IV, golongan
carbapenem, dan golongan quinolone untuk
profilaksis bedah.

4. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan
dianjurkan pemberian antibiotika intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 – makismal 60 menit
sebelum insisi kulit.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat
berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan
antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan
target operasi kadar antibiotikaharus mencapai kadar hambat
minimal 2 kali kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.
Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih
dari 1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam.
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya
ILO, antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification);
b. Skor ASA (American Society of Anesthesiologist)
c. Lama rawat inap sebelum operasi
d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal,
lupus, dll)
e. Indeks Risiko
f. Pemasangan implant

C. Penggunaan Antibiotik Kombinasi


1. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari
satu jenis untuk mengatasi infeksi.
2. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah :
a. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik
(Efek sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri
resisten.
c. Indikasi penggunaan antibiotik kombinasi:
1) Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri
(polibakteri);
2) Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital
(infeksi campuran aerob dan anaerob);
3) Terapi empiris pada infeksi berat.
d. Hal-hal yang perlu perhatian:
1) Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang
berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu
keseluruhan aktivitas antibiotik.
2) Suatu kombinasi antibiotika dapat memiliki toksisitas
yang bersifat aditif atau superaditif.
Contoh:
Vancomycin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik
minimal, tetapi pemberian bersama Aminoglycoside
dapat meningkatkan toksisitasnya.
e. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi
dan antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional
dengan hasil efektif.
f. Hindari penggunaan kombinasi antibiotika untuk terapi
empiris jangka lama.
g. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

IV. PRINSIP PENCEGAHAN PENYEBARAN MIKROBA RESISTEN

Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit


dilakukan melalui upaya Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI).
Pasien yang terinfeksi atau membawa koloni mikroba resisten dapat
menyebarkan mikroba tersebut ke lingkungan, sehingga perlu
dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi mikroba tersebut,
terdiri dari 4 (empat) upaya berikut ini:
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution),
meliputi:
a. kebersihan tangan
b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle
(kaca mata pelindung), face shield (pelindung wajah), gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan
transmisi Jenis kewaspadaan
transmisi meliputi:
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)

Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang


terpisah seperti ruang isolasi untuk pasien dengan diagnosa
Tuberculosis.

3. Dekolonisasi
Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba
multiresisten pada individu pengidap (carrier).
Contoh: pemberian mupirosin topikal pada carrier MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten
atau Multidrug-Resistant Organisms (MDRO) seperti Methicillin
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), bakteri penghasil
Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), atau mikroba
multiresisten yang lain.
Apabila ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab
infeksi, maka laboratorium mikrobiologi segera melaporkan
kepada Komite PPI dan dokter penanggung jawab pasien, agar
segera dilakukan tindakan untuk membatasi penyebaran strain
mikroba multiresisten tersebut.
Penanganan KLB mikroba multiresisten dilakukan berdasar
prinsip berikut ini:
1) Mikroba multiresisten adalah mikroba yang resisten terhadap
paling sedikit 3 kelas antibiotik.
2) Indikator pengamatan:
a. Angka MRSA
Penghitungan berpedoman pada rumus berikut ini:

Jumlah isolat MRSA

angka MRSA= ----------------------------------------- X 100%

Jumlah isolat Staphylococcus aureus + isolat MRSA

b. Angka mikroba penghasil ESBL


Penghitungan berpedoman pada rumus berikut ini:

jumlah isolat ESBL

angka ESBL= ----------------------------------------- X 100%

jumlah isolat bakteri non-ESBL + bakteri ESBL

Contoh: Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL

jumlah K.pneumoniae ESBL

angka ESBL= --------------------------------------------------- X 100%

jumlah K.pneumoniae non-ESBL + K.pneumoniae ESBL

c. Angka mikroba multiresisten lain dihitung dengan


rumus yang sama dengan poin b
d. Selain indikator di atas, rumah sakit dapat menetapkan
indikator KLB sesuai dengan kejadian setempat.
e. Untuk bisa mengenali indikator tersebut, perlu
dilakukan surveilans dan kerja sama dengan
laboratorium mikrobiologi klinik atau dengan pihak
ketiga.

3) Upaya menekan mikroba multiresisten, dilakukan baik


ketika tidak ada KLB maupun ketika terjadi KLB.
a. Jika tidak ada KLB, maka pengendalian mikroba
multiresisten dilakukan dengan dua cara utama, yakni:
i. meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak.
ii. meningkatkan kewaspadaan.
b. Jika ada KLB mikroba multiresisten, maka dilakukan
usaha penanganan KLB mikroba multiresisten sebagai
berikut.
i. Menetapkan sumber penyebaran, baik sumber
insidental (point source) maupun sumber menetap
(continuous sources).
ii. Menetapkan modus transmisi
iii. Tindakan penanganan KLB, yang meliputi:
a) membersihkan atau menghilangkan sumber
KLB.
b) meningkatkan kewaspadaan.
c) isolasi atau tindakan sejenis dapat diterapkan
pada penderita yang terkolonisasi atau
menderita infeksi akibat mikroba multiresisten;
pada MRSA biasanya dilakukan juga
pembersihan kolonisasi pada penderita sesuai
dengan pedoman.
d) Pada keadaan tertentu ruang rawat dapat
ditutup sementara serta dibersihkan dan
didisinfeksi.

Tindakan tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh sumber


dan pola penyebaran mikroba multiresisten yang
bersangkutan.

V. PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI, PELAPORAN POLA MIKROBA


DAN KEPEKAANNYA

VI. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


Evaluasi penggunaan antibiotik merupakan salah satu indikator
mutu program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit,
bertujuan memberikan informasi pola penggunaan antibiotik di
rumah sakit baik kuantitas maupun kualitas. Pelaksanaan evaluasi
penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan sumber data
dan metode secara standar.
A. Sumber Data Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
1. Rekam Medik Pasien
Penggunaan antibiotik selama dirawat di rumah sakit dapat
diukur secara retrospektif setelah pasien pulang dengan
melihat kembali Rekam Medik (RM) pasien, resep dokter,
catatan perawat, catatan farmasi baik manual atau melalui
Sistem Informasi Managemen Rumah Sakit (SIM RS). Dari
penulisan resep antibiotik oleh dokter yang merawat dapat
dicatat beberapa hal berikut ini: jenis antibiotik, dosis harian,
dan lama penggunaan antibiotik, sedangkan dalam catatan
perawat dapat diketahui jumlah antibiotik yang diberikan
kepada pasien selama pasien dirawat.

2. Pengelolaan antibiotik di Instalasi Farmasi

Kuantitas antibiotik dapat diperoleh dari data penjualan


antibiotik di instalasi farmasi. Data jumlah penggunaan
antibiotik dapat dipakai untuk mengukur besarnya belanja
antibiotik dari waktu ke waktu, khususnya untuk
mengevaluasi biaya sebelum dan sesudah dilaksanakannya
program di rumah sakit.

B. Audit Jumlah Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit

Untuk memperoleh data yang baku dan dapat


diperbandingkan dengan data di tempat lain, maka badan
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi penggunaan
antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)
Classification dan pengukuran jumlah penggunaan antibiotik
dengan defined daily dose (DDD)/100 patient-days.

Defined daily dose (DDD) adalah dosis harian rata-rata


antibiotik yang digunakan pada orang dewasa untuk indikasi
utamanya. DDD adalah unit baku pengukuran, bukan
mencerminkan dosis harian yang sebenarnya diberikan kepada
pasien (prescribed daily doses atau PDD). Dosis untuk masing-
masing individu pasien bergantung pada kondisi pasien tersebut
(berat badan, dll). Dalam sistem klasifikasi ATC obat dibagi dalam
kelompok menurut sistem organ tubuh, menurut sifat kimiawi,
dan menurut fungsinya dalam farmakoterapi.
Terdapat lima tingkat klasikasi, yaitu:

 Tingkat pertama : kelompok anatomi (misalnya untuk


saluran pencernaan dan metabolisme)
 Tingkat kedua : kelompok terapi/farmakologi obat
 Tingkat ketiga : subkelompok farmakologi
 Tingkat keempat : subkelompok kimiawi obat
 Tingkat kelima : substansi kimiawi obat

Contoh:

J anti-infeksi untuk penggunaan sistemik

(Tingkat pertama: kelompok anatomi)

J01 antibakteri untuk penggunaan sistemik

(Tingkat kedua: kelompok terapi/farmakologi)

J01C beta-lactam antibacterial, penicillins

(Tingkat ketiga: subkelompok farmakologi)

J01C A penisilin berspektrum luas

(Tingkat keempat: subkelompok kimiawi obat)

J01C A01 ampisilin

(Tingkat kelima: substansi kimiawi obat)

J01C A04 amoksisilin

(Tingkat kelima: substansi kimiawi obat)

Penghitungan DDD

Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan oleh


WHO berdasarkan dosis pemeliharaan rata-rata, untuk
indikasi utama pada orang dewasa BB 70 kg.

1. Data yang berasal dari instalasi farmasi berbentuk data


kolektif, maka rumusnya sebagai berikut:
Perhitungan numerator :

jml kemasan X jml tablet per kemasan X jml gram per tablet X 100

jumlah DDD = ------------------------------------------------------

DDD antibiotik dalam gram

Perhitungan denominator:

jumlah hari-pasien = jumlah hari perawatan seluruh


pasien dalam suatu periode studi.

2. Data yang berasal dari pasien menggunakan rumus untuk


setiap pasien:

jumlah konsumsi antibiotik dalam gram


jumlah konsumsi AB = --------------------------------------------------------
(dalam DDD) DDD antibiotik dalam gram

total DDD
DDD/100 patient days = ----------------------------------x 100
total jumlah hari-pasien

C. Audit Kualitas Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit

Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan melihat data


dari form penggunaan antibiotik dan rekam medik pasien untuk
melihat perjalanan penyakit. Setiap kasus dipelajari dengan
mempertimbangkan gejala klinis dan melihat hasil laboratorium
apakah sesuai dengan indikasi antibiotik yang tercatat dalam
Lembar Pengumpul Data (LPD).

Penilai (reviewer) dilakukan oleh1 (satu) atau lebih dari 1


(satu) orang Komite PPRA dan digunakan alur penilaian menurut
Gyssens untuk menentukan kategori kualitas penggunaan setiap
antibiotik yang digunakan. Bila terdapat perbedaan yang sangat
nyata di antara reviewer maka dilakukan diskusi panel untuk
masing- masing kasus yang berbeda penilaiannya.
Kategori hasil penilaian (Gyssens flowchart):

Kategori 0 : Penggunaan antibiotik tepat dan rasional


Kategori I : Tidak tepat saat (timing) pemberian antibiotik
Kategori II A : Tidak tepat dosis pemberian antibiotik
Kategori II B : Tidak tepat interval pemberian antibiotik
Kategori II C : Tidak tepat rute pemberian antibiotik
Kategori III A : Pemberian antibiotik terlalu lama
Kategori III B : Pemberian antibiotik terlalu singkat
Kategori IV A : Tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IV B : Tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain yang lebih aman
Kategori IV C : Tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IV D : Tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain dengan spektrum lebih sempit
Kategori V : Tidak ada indikasi pemberian antibiotik
Kategori VI : Data tidak lengkap sehingga penggunaan
antibiotik tidak dapat dinilai
Penilaian kualitas penggunaan antibiotik (Gyssens flowchart)

Mulai

Tidak
Data lengkap

Ya
Tidak

AB diindikasikan

Ya Ya
IVa

Tidak
Alternatif lebih
Ya
efektif
IVb

Alternatif lebih
Tidak
tidak toksik
Ya
IVc

Alternatif lebih
Tidak murah

Ya
IVd
Spektrum
alternatif lebih
sempit
Tidak

Tidak Tidak Tidak


Pemberian Dosis
IIa
terlalu singkat tepat
Pemberian
Ya terlalu lama Ya Ya
IIIa IIIb Tidak
IIb

Interval
Ya tepat

Tidak
IIc
Rute

Ya tepat

Tidak
Waktu
I
tepat

Ya
VII. TIM PELAKSANA PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA
Rumah sakit melaksanakan pengendalian resistensi antimikroba
dengan dibentuk Komite Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (Komite PPRA) berdasarkan keputusan Direktur rumah
sakit.
A. Kedudukan dan Tanggung Jawab
1. Komite PPRA bertanggung jawab langsung kepada Direktur
Rumah Sakit.
2. Keputusan Direktur berisi uraian tugas yang berisi kewenangan
dan tanggung jawab serta koordinasi antar unit terkait di
Rumah Sakit.

B. Keanggotan Komite PPRA


Susunan Komite PPRA terdiri dari :
1. Ketua
2. Wakil Ketua
3. Sekretaris
4. Anggota
a. Klinisi perwakilan SMF
b. Keperawatan
c. Instalasi Farmasi
d. Laboratorium mikrobiologi klinik
e. Komite Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI)
f. Tim Farmasi dan Terapi (TFT)

C. Tugas Pokok Komite PPRA


1. Tugas Pokok Tim PPRA
Uraian tugas pokok Tim PPRA adalah:
a. Membantu Direktur rumah sakit dalam menyusun
kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba;
b. Membantu Direktur rumah sakit dalam menyusun
kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik rumah sakit;
c. Membantu Direktur rumah sakit dalam melaksanakan
program pengendalian resistensi antimikroba di rumah
sakit;
d. Membantu Direktur rumah sakit dalam mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan pengendalian resistensi
antimikoba di rumah sakit;
e. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit
infeksi terintegrasi;
f. Melakukan surveilans pola penggunaan antibiotik;

g. Melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan


kepekaannya terhadap antibiotik;

h. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan


kesadaran tentang prinsip pengendalian resistensi
antimikroba, penggunaan antibiotik secara bijak, dan
ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan;

i. Melaporkan pelaksanaan program pengendalian resistensi


antimikroba kepada Direktur rumah sakit.

2. Tugas masing-masing unit


a. SMF
1) Menerapkan prinsip penggunaan antibiotik secara bijak
dan menerapkan kewaspadaan standar.
2) Melakukan koordinasi program pengendalian resistensi
antimikroba di SMF.
3) Melakukan koordinasi dalam penyusunan pedoman
penggunaan antibiotik di SMF.
4) Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.

b. Bidang keperawatan
1) Menerapkan kewaspadaan standar dalam upaya mencegah
penyebaran mikroba resisten.
2) Terlibat dalam cara pemberian antibiotik yang benar.
3) Terlibat dalam pengambilan spesimen mikrobiologi secara
teknik aseptik.
c. Instalasi Farmasi
1) Mengelola serta menjamin mutu dan ketersediaan
antibiotik yang tercantum dalam formularium nasional dan
formularium Rumah Sakit.
2) Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat
dalam tata laksana pasien infeksi, melalui: telaah resep,
telaah obat, monitoring penggunaan antibiotik, visite ke
bangsal pasien.
3) Memberikan informasi dan edukasi tentang penggunaan
antibiotik yang tepat dan benar.
4) Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik.

d. Laboratorium mikrobiologi klinik


1) Melakukan pelayanan pemeriksaan mikrobiologi dan
pemeriksaan kuman kerjasama dengan pihak ketiga.
2) Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat
dalam tata laksana pasien infeksi.
e. Komite pencegahan pengendalian infeksi (PPI)
Komite PPI berperanan dalam mencegah penyebaran
mikroba resisten melalui:
1) Penerapan kewaspadaan standar,
2) Surveilans kasus infeksi yang disebabkan mikroba
multiresisten,
3) Cohorting/isolasi bagi pasien infeksi yang disebabkan
mikroba multiresisten,
f. Tim Farmasi dan Terapi (TFT)
1) Berperanan dalam menyusun pedoman penggunaan
antibiotik di rumah sakit,
2) Memantau kepatuhan penggunaan antibiotik terhadap
pedoman di rumah sakit,
3) Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik.

D. Tahapan Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba
Pelaksanaan PPRA di rumah sakit dilakukan melalui beberapa
tahapan sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
a. Pernyiapan Regulasi tentang Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba.
b. Kelengkapan fasilitas dan sarana penunjang
1) Denah Ruangan
Komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
(KPPRA) menempati ruang di lantai 3 Gedung Utama
Perkantoran.
Adapun denah tersebut :

e a b c d f

g h i j

k l
Denah Lantai 3 Gedung Utama Perkantoran RSDS

Keterangan:

a. Ruang Direktur
b. Komite Medik
c. Komite PPRA, PPI, Keperawatan
d. Gudang
e. Ruang Rapat Direktur
f. Bagian Umum
g. Pelayanan Medis
h. Penunjang Medis
i. Keuangan
j. Kepegawaian
k. PMKP
l. SPI
2) Kelengkapan Ruangan PPRA

NO Jenis Kelengkapan Keterangan

1 Komputer, Printer, dan Meja 1 set


2 Laptop 1 buah
3 Lemari File 1 unit
4 Alat tulis Secukupnya
5 Pesawat Telpon 1 buah
6 AC 1 unit
7 Meja 3 unit
8 Kursi 6 buah
9 Jam dinding I buah

2. Tahap Pelaksanaan
a. Peningkatan pemahaman
1) Sosialisasi program pengendalian resistensi
antimikroba.
2) Sosialisasi dan pemberlakuan pedoman
penggunaan antibiotik.
b. Menetapkan pilot project pelaksanaan PPRA
meliputi:
1) Pemilihan SMF sebagai lokasi pilot project
2) Penunjukan penanggung jawab dan tim
pelaksana
pilot project.
3) Pembuatan rencana kegiatan PPRA untuk 1
(satu) tahun
c. Pelaksanaan pilot project PPRA:
1) SMF yang ditunjuk untuk melaksanakan pilot
project PPRA menetapkan Pedoman Penggunaan
Antibiotik (PPAB) dan algoritme penanganan
penyakit infeksi yang akan digunakan dalam
pilot project.
2) Melakukan sosialisasi dan pemberlakuan
PEdoman Penggunaan Antibiotik.
3) Selama penerapan pilot project jika ditemukan
kasus infeksi sulit/kompleks maka
dilaksanakan forum kajian kasus terintegrasi.
4) Melakukan pengumpulan data dasar kasus yang
diikuti selama penerapan dan dicatat dalam
form lembar pengumpul data.
5) Melakukan pengolahan dan menganalisis data
yang meliputi: data pola penggunaan antibiotik,
kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik,
pola mikroba dan pola resistensi (jika tersedia
laboratorium mikrobiologi)
6) Menyajikan data hasil pilot project dan
dipresentasikan di rapat jajaran direksi rumah
sakit
7) Melakukan pembaharuan panduan penggunaan
antibiotik berdasarkan hasil penerapan PPRA
d. Monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap:
1) Laporan pola mikroba dan kepekaannya
2) Penggunaan antibiotik secara kuantitas dan
kualitas
e. Laporan kepada Direktur rumah sakit untuk
perbaikan kebijakan/pedoman/panduan dan
rekomendasi perluasan penerapan PPRA di rumah
sakit.
f. Mengajukan rencana kegiatan dan anggaran
tahunan PPRA kepada Direktur rumah sakit.

E. SISTEM PELAPORAN
1. LAPORAN BULANAN
Laporan hasil kegiatan Komite Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (KPPRA) dilaporkan tiga bulan sekali kepada
Direktur.
2. LAPORAN TAHUNAN
a. Laporan kegiatan Komite Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba dalam satu tahun.
b. Laporan pengendalian penggunaaan antibiotika di rumah
sakit selama satu tahun.
c. Laporan surveilens pola penggunaaan antibiotika di rumah
sakit selama satu tahun.
d. Laporan surveilens pola resistensi antimikroba di rumah
sakit dalam satu tahun.
e. Laporan kajian penyakit infeksi terintegrasi dalam satu
tahun.
f. Laporan evaluasi pelaksanaan program kegiatan Komite
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dalam satu
tahun.

VIII. INDIKATOR MUTU PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI


ANTIMIKROBA

A. Perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik


Menurunnya konsumsi antibiotik, yaitu berkurangnya jumlah
dan jenis antibiotik yang digunakan sebagai terapi empiris
maupun definitif.
B. Perbaikan kualitas penggunaan antibiotik
Meningkatnya penggunaan antibiotik secara rasional (kategori
nol, Gyssens) dan menurunnya penggunaan antibiotik tanpa
indikasi (kategori lima, Gyssens)
C. Perbaikan pola sensitivitas antibiotik dan penurunan mikroba
multiresisten yang tergambar dalam pola kepekaan antibiotik
secara periodik setiap tahun
D. Penurunan angka infeksi rumah sakit yang disebabkan oleh
mikroba multiresisten, contoh Methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) dan bakteri penghasil extended spectrum beta-
lactamase (ESBL)
E. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara
multidisiplin, melalui forum kajian kasus infeksi terintegrasi.

Direktur rumah sakit wajib melaporkan pelaksanaan dan


indikator mutu program pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit secara periodik setiap tahun kepada Menteri Kesehatan
c.q KPRA dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan Propinsi, dan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
F. Indikator Mutu Komite Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (KPPRA)

Judul Indikator Penggunaan Antibiotik Secara Bijak

Penggunaan antimikroba yang sesuai


dengan penyakit infeksi dan penyebabnya,
yaitu dengan:
1. Rejimen dosis optimal
Definisi Operasional
2. Durasi pemberian optimal
3. Efek samping dan dampak
munculnya mikroba resisten
minimal
Komite Program Pengendalian Resistensi
Bagian/Unit
Antimikroba
Person In Charge KPPRA
Kebijakan Mutu Penggunaan antibiotik bijak
Penggunaan antibiotik yang bijak dapat
Rasionalisasi menyelamatkan pasien dan meminimalkan
biaya pengobatan pasien
jml penggunaan antibiotika yang bijak
dalam 1 bulan
Formulasi Kalkulasi --------------------------------------------x100%
Jml semua pemakaian antibiotika dalam
1 bulan
Numerator Jumlah pemakaian antibiotik yang bijak
Jumlah semua pemakaian antibiotik dalam
Denominator
1 bulan
Kriteria Inklusi Seluruh pemakaian antibiotik bijak
Kriteria Eksklusi Seluruh penggunaan obat yang diresepkan
Metodelogi Pengumpulan Data Concurent
Tipe Pengukuran Proses
Sumber Data Rekapitulasi resep sebulan
Waktu Pelaporan Setiap bulan
Frekuensi Pelaporan Satu bulan sekali
Target Kinerja 60 %
Jumlah Sampel Total Populasi
Area Monitoring Seluruh resep yang ada
Rencana Komunikasi ke Staf Rapat rutin KPPRA dengan bagian terkait
SNARS Edisi 1
Referensi
Pedoman Umum penggunaan Antibiotika
Persentase Penggunaan Antibiotik
Judul Indikator
Profilaksis Bedah
Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Bedah adalah pemberian antibiotik
sebelum, saat, dan hingga 24 jam
paska operasi pada kasus yang secara
klinis tidak didapatkan tanda infeksi
dengan tujuan mencegah terjadinya
Definisi Operasional infeksi luka operasi, yaitu berdasarkan
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
RS dengan target 90 % pasien
mendapatkan antibiotik profilaksis
sesuai dan rekomendasi A – C, serta
diberikan 30-120 menit sebelum
tindakan incise
Bagian/Unit Komite PPRA
Person In Charge Ka. Komite PPRA
Kebijakan Mutu Keselamatan
Penggunaan antibiotik profilaksis yang
Rasionalisasi tepat dapat mecegah infeksi luka
operasi
Jumlah operasi dengan antibiotik
profilaksis sesuai prosedur dalam 1
Formulasi Kalkulasi bulan
-------------------------------------- x 100 %
Jumlah semua operasi 1 bulan
Jumlah operasi dengan antibiotik
Numerator profilaksis sesuai prosedur dalam 1
bulan
Denominator Jumlah semua operasi 1 bulan
Kriteria Inklusi Seluruh operasi di Kamar Bedah
1.Operasi di luar kamar bedah
Kriteria Eksklusi 2. Operasi yang tidak sesuai kriteria
penggunaan AB profilaksis
Metodelogi Pengumpulan Data Retrospektif
Tipe Pengukuran Proses
Sumber Data Rekam Medis
Waktu Pelaporan Setiap Bulan
Frekuensi Pelaporan Setiap Bulan
Target Kinerja 90%
Jumlah Sampel Total populasi
Area Monitoring Seluruh Unit Kerja di RS
Rencana Komunikasi ke Staf Rapat bulanan
Referensi Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
Kesesuaian Penggunaan Antibiotik
Judul Indikator
Profilaksis Bedah
Kesesuaian Penggunaan Antibiotik
Profilaksis Bedah adalah pemberian
antibiotik sebelum, saat, dan hingga 24
jam paska operasi pada kasus yang
secara klinis tidak didapatkan tanda
Definisi Operasional infeksi dengan tujuan mencegah
terjadinya infeksi luka operasi, yaitu
berdasarkan Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik RS dengan
target 100 % pasien mendapatkan
antibiotik profilaksis sesuai dan
rekomendasi A – C
Bagian/Unit Komite PPRA
Person In Charge Ka. Komite PPRA
Kebijakan Mutu Keselamatan
Penggunaan antibiotik profilaksis yang
Rasionalisasi tepat dapat mecegah infeksi luka
operasi
Jumlah operasi dengan antibiotik
Formulasi Kalkulasi profilaksis sesuai prosedur dalam 1 bulan
------------------------------------------- x 100 %
Jumlah semua operasi 1 bulan
Jumlah operasi dengan antibiotik
Numerator profilaksis sesuai prosedur dalam 1
bulan
Denominator Jumlah semua operasi 1 bulan
Kriteria Inklusi Seluruh operasi di Kamar Bedah
1.Operasi di luar kamar bedah
Kriteria Eksklusi 2. Operasi yang tidak sesuai kriteria
penggunaan AB profilaksis
Metodelogi Pengumpulan Data Retrospektif
Tipe Pengukuran Proses
Sumber Data Rekam Medis
Waktu Pelaporan Setiap Bulan
Frekuensi Pelaporan Setiap Bulan
Target Kinerja 100%
Jumlah Sampel Total populasi
Area Monitoring Seluruh Unit Kerja di RS
Rencana Komunikasi ke Staf Rapat bulanan
Referensi Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
G. Kualitas Penggunaan Antimikroba (Gyssenss)

No Lokasi/SMF VI V IVa IVb IVc IVd IIIa IIIb IIa IIb IIc I

H. Kualitas Penggunaan Antimikroba (DDD)


DDD/100
Nama Lama
No Rute Gram DDD Numerator patients-
Antimiroba Inap
days

I. Pelaksanaan Forum Kajian Kasus Infeksi Terintegrasi


Kajiian
Tgl Pemimpin & Peserta Kajian Kesimpulan Kajian Kasus
Kasus

IX. PENUTUP
Demikian Pedoman Pelayanan Komite Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba (KPPRA) RSUD Dr. Soedirman ini dibuat,
diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan dan akan
direvisi dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun atau disesuaikan
dengan perkembangan RSUD Dr. Soedirman.

Anda mungkin juga menyukai