Anda di halaman 1dari 5

Materi wawancara narasumber

Saya tidak akan terlalu banyak membahas soal teknik atau berbagai pengertian dalam dunia
jurnalistik. Saya yakin semuanya sudah dapat dari buku kuliah.

Misal siapa itu narsum? Saksi mata yang merasakan sendiri sebuah peristiwa yang menjadi
fokus wawancara, orang dengan jabatannya yang memiliki informasi yang dibutuhkan oleh
wartawan, dan pakar atau ahli dalam satu bidang keilmuan yang bisa menjelaskan suatu hal
atau persitiwa kepada masyarakat. Semua pasti sudah tahu kan?

Teori Lingkaran Konsentris

David Protess, profesor di Medill School of Journalism di Northwestern University, Amerika


Serikat, memperkenalkan teori ini untuk melakukan yang namanya verifikasi.

David Protess membuat sebuah lingkaran. Di dalamnya, sebuah lingkaran dibuat lagi. Dan untuk
ketiga kali, sebuah lingkaran dibuat kembali di dalam lingkaran kedua. Sehingga, ada tiga
lingkaran yang dibuat. Ketiga lingkaran itu menunjukkan posisi kepentingan seorang
narasumber dengan suatu fakta.

 Narasumber yang berada di lingkaran paling dalam, merupakan narasumber paling


penting. Narasumber di lingkaran pertama adalah narasumber yang berhubungan
langsung dengan fakta, misalnya korban, pelaku, atau saksi mata.

 Narasumber yang berada di lingkaran kedua adalah narasumber yang tidak


berhubungan langsung dengan fakta, tetapi masih memiliki keterkaitan dengan fakta.
Misalnya, petugas pemadam kebakaran, polisi, atau pengelola lalu lintas pelayaran laut.
Narasumber di lingkaran kedua biasanya memiliki catatan kronologis fakta.

 Adapun, narasumber atau sumber di lingkaran ketiga, meski tidak berhubungan


langsung dan memiliki keterkaitan dengan fakta, mengetahui kronologis fakta. Misalnya,
laporan-laporan mengenai peristiwa yang telah tersebar.

Berikut yang saya lakukan dalam mempersiapkan wawancara:

1. Diawali dari rapat redaksi. Kemudian mencari kontak sang narsum. Semua cara saya coba.
Kanal medsos sang narsum bisa dimanfaatkan. Atau melalui manajer, atau publisis yang
menangani proyek yang melibatkannya. Atau mencegat langsung ke tempat dia berada.
Mengatur jadwal wawancara dengan Christine Hakim adalah yang paling lama saya lakukan.

Kalau berasal dari media besar atau wartawan senior yang sudah kesohor sih bisa lebih
gampang menembus fase ini. Beda kalau kita bekerja di media yang masih baru. Awal-awal
Beritagar ada, saya sudah kenyang dengan yang namanya penolakan wawancara. Waktu Iwan
Fals saya juga sempat mengalami ini. Jangan baper.

2. Trik yang saya lakukan kemudian adalah berusaha untuk terus eksis. Misal duduk paling
depan saat konpers. Selalu mengajukan pertanyaan saat sesi Tanya jawab di konpers itu. Masa
bodoh pertanyaan saya, lalu jawaban sang artis, diambil waratawan lain untuk menjadi bahan
beritanya. Hahaha. Saya ingin menciptakan impresi agar publisis atau rumah produksi mengenal
nama saya dan Beritagar.

3. Ketika sudah terhubung, biasanya manajer si artis meminta daftar pertanyaan dari kita saat
wawancara nanti. Saya sih tidak pernah mau memberikannya. Yang saya berikan adalah topik
atau garis besar dari apa yang akan saya bahas saat wawancara nanti.

4. Ciri khas. Dalam hal ini penampilan. Ini cukup efektif ternyata. Mulai dari buckethead ini yang
berguna tidak hanya saat lagi nungguin ojek online sehabis liputan. Ada banyak pemain film
yang akhirnya bisa langsung mengenali saya mengandalkan penampilan yang khas ini. Misal
Dian Sastrowardoyo, Angga Sasongko, atau Reza Rahadian. Pun dengan apa yang saya sebut
dengan politik kaos.

5. Menyiapkan diri dengan segala informasi mengenai narasumber alias riset. Ini bikin narsum
akan menghargai usahamu.

Giring pernah menyatakan itu saat saya mengetahui bahwa inspirasi namanya dari Dewa
Ganesha. Sebaliknya, Soleh Solihun pernah curhat ke saya, yang ia tuliskan juga melalui akun
Twitter-nya, betapa ia membenci wartawan yang tidak melakukan riset.

Jangan lupa juga untuk menghormati, walaupun dalam ranah jurnalistik sangat egaliter, siapa
pun narsum atau pekerjaannya. Ingat film Slumdog Millionaire (2008)?

6. Ikuti kemauan mereka demi menciptakan rasa nyaman. Kebetulan saya ngerokok nih.
Beberapa kali artis itu saya wawancarai sambil ngerokok bareng atau ngopi bareng. Jadinya kan
seperti kita mengobrol. Suasana ini harus terus dijaga hingga wawancara selesai.

Salah satu ciri kalau narsum udah nyaman itu saat ia mulai bertanya ke pewawancaranya.
Jadinya akhirnya kan ngobrol. Ada juga yang menempuh metode lain dalam rangka
menciptakan suasana nyaman dan keterbukaan saat proses wawancara. Itu dilakukan Jurnal
Ruang saat meminta Iman Fattah mewawancarai ayahnya sendiri, Donny Fattah.

7. Sebisa mungkin menguasai materi pertanyaan sehingga tidak perlu terlalu sering melihat
contekan pertanyaan. Itu akan mendistraksi. Dengan tidak melihat contekan pertanyaan, sesi
wawancara akan menjadi selayaknya mengobrol karena berlangsung spontan. Susun
pertanyaan yang penting-penting saja, nanti dikembangkan lewat follow up questions.
Tipe wawancara:

 Dengan perjanjian: Biasanya ini jadi one-to-one interview alias satu lawan satu.

 Konferensi pers: Bercampur dengan banyak jurnalis dan fotografer.

 Wawancara di tempat kejadian (on the spot): Paling sering dilakukan stasiun televisi dan
radio.

 Doorstepping: Wawancara dengan mencegat pejabat atau narsum ketika turun dari
mobilnya atau keluar dari kantornya. Tipe ini bisa dilakukan di ruang publik atau pribadi
jika menyangkut masalah publik atau soal serius yang berkaitan dengan narsum. Misal
ada dugaan dia melakukan korupsi.

BBC lewat Editorial Guidelines-nya punya peraturan tegas soal doorstep ini. Wartawan
melakukan doorstep jika salah satu dari tiga syarat ini terpenuhi:

1) Subjek doorstepping selalu menolak atau tidak menanggapi permintaan wawancara


menyangkut kejahatan yang disangkakan;

2) Permintaan melakukan wawancara berulang kali ditolak tanpa alasan kuat demi
menghindari pemberian penjelasan yang menyangkut dugaan kejahatan itu;

3) Subjek bersangkutan mempunyai kebiasaan untuk mengabaikan permintaan


wawancara atau menolak memberikan konferensi pers.

Gaya wawancara

Tanya jawab, Diskusi, Pasif (paling saya hindari), Agresif/interogatif.

Kisah tentang Tom Chiarella, editor Esquire, dengan Halle Berry (edisi Mei 2007). Ada lagi dari
Calvin Fussman (penulis senior dan editor di Esquire yang mengampu kolom “What I’ve
Learned”) yang berjuluk “peerless” yang punya kisah unik soal wawancara dengan narasumber.
Dengan Gerard Butler (Esquire edisi Agustus 2009) dan Robert de Niro (Esquire edisi Januari
2011).

The Art of Interview by Cal Fussman

1. Aim for the heart and not the head with your first question

Orang yang kita wawancara ini mungkin punya jadwal padat alias sibuk, jadi harus bikin kesan
pertama yang asik agar ia betah. Salah satunya dari pertanyaan pertamamu. Jangan memulai
dengan pertanyaan klise yang membosankan.
Soal pertanyaan ini, ajukan pertanyaan yang mendorong narsum menjelaskan. Jangan model
pertanyaan yang jawabannya hanya satu kata, seperti iya dan tidak. Paling sering saya gunakan
adalah pertanyaan “Why?”

Selain dengan pertanyaan pertama, memenangkan hati narasumber bisa juga dengan hal-hal
lain.

Misal saat saya mewawancarai Dian Sastrowardoyo, saya memberikan dia majalah Hai edisi
2002 yang ada poster dirinya untuk ditandatangani.

Dengan Christine Hakim, saya malah menyablon kaos khusus bergambar poster film Seputih
Hatinya, Semerah Bibirnya (1982) yang ia bintangi. Terbaru, saya sengaja menggunakan kaos
timnas bertuliskan Italia waktu mewawancarai Putri Marino.

2. Win before you begin

Cal Fussman tahu De Niro membenci wawancara. Untuk menemui aktor legendaris itu, ada
beberapa kali penjadwalan ulang karena sang bintang sangat defensif. Bahkan saat kesempatan
itu tiba, De Niro masih mempersilakan Cal untuk berubah pikiran dan sebaiknya pergi saja.

Jawaban Cal, “Saya sebenarnya memang tidak berniat melakukan wawancara dengan Anda.
Saya hanya ingin kita memecahkan roti bersama. Saya tahu Anda membenci sesi wawancara
dengan wartawan. Jika ada materi pertanyaan saya yang nantinya menjengkelkanmu, saya
dengan senang hati akan pergi.” Jleb. Detik itu juga De Niro merasa nyaman. Ia mengajak Cal ke
café tempat ia biasa ngopi dan makan roti.

Apa pertanyaan pertama Cal untuk De Niro? “Apa momen pertama yang membuatmu tersadar
bahwa suatu saat aktor akan menjadi jalan hidup?”

3. Do not stop the show

Contoh saat Cal mewawancarai Donald Trump (Januari 2004). Saat itu Trump sibuk –tepatnya
soka pamer-- menerima telepon dari orang-orang penting.

Alih-alih mengingatkan Trump untuk memulai wawancara, Cal membiarkan saja. Setelah kelar,
pertanyaan pertama Cal adalah, “Berapa jam Anda habiskan dalam sehari untuk menerima
telepon-telepon itu?”

4. Ask THE question at the end

Saat mewawancari, jangan langsung mengajukan pertanyaan penting. Kecuali door stop. Awali
dengan yang ringan-ringan. Yang menjadi kesukaan narasumber. Buat mereka merasa nyaman
dan terbuka. Setelah itu baru masuk ke inti pertanyaan. Saya melakukan ini saat mewawancarai
Nicholas Saputra.

Metode ini tentu berbeda jika kalian kerja di stasiun radio atau televisi dalam acara breaking
news misalnya, karena durasinya ketat. Untuk konteks ini harus langsung ke inti persoalan. Tapi
hindari pertanyaan yang terlalu luas, klise, atau enggak bermutu.

Misal: Bagaimana perasaan ibu/bapak setelah mengetahui anak ibu jadi korban dalam bencana
longsor ini? Menurut ngana? Kenapa enggak bertanya, misalnya, bagaimana suasana di dalam
rumah saat detik-detik datangnya longsor?

Anda mungkin juga menyukai