Anda di halaman 1dari 5

HUKUM OPERASI CESAR MENURUT ISLAM

Dr. Ahmad Zain An Najah, MA

Dahulu, ibu-ibu kita kalau melahirkan anak, mereka melahirkan secara normal, tanpa operasi.
Namun, akhir-akhir ini banyak dari ibu-ibu yang melahirkan anak mereka melalui proses operasi
dengan cara membedah perut mereka. Mereka melakukan hal itu karena alasan medis, seperti
bayi kembar, atau panggul yang sempit, atau ukuran bayi yang terlalu besar. Kadang juga karena
alasan sosial atau sekedar sebagai pelengkap saja, seperti jalan lahir bayi ingin tetap utuh
sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan
tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki dan lain-lainnya.

Bagaimana Islam memandang kecenderungan sebagian masyarakat untuk melakukan operasi


cesar setiap melahirkan, padahal kalau diteliti secara seksama sebagian dari mereka bisa
melahirkan secara normal. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan secara syar’I tentang hukum
operasi cesar dari kaca mata Islam.

Pengertian Operasi Cesar

Operasi Cesar yang dalam bahasa Arabnya adalah Jirahah al-Wiladah adalah operasi yang
bertujuan mengeluarkan bayi dari perut seorang ibu, baik itu terjadi setelah sempurnanya
penciptaan bayi atau sebelum sempurnanya penciptaannya.[1] Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebut bahwa bedah cesar adalah pembedahan yang dilakukan dengan pengirisan
dinding perut dan peranakan untuk melahirkan ( mengeluarkan ) janin.

Hukum Operasi Cesar

Hukum operasi cesar dilihat dari sisi kepentingan wanita hamil atau janin dibagi menjadi tiga :

Pertama : Dalam Keadaan Darurat.

Yang dimaksud dalam keadaan darurat dalam operasi cesar adalah adanya kekhawatiran
terancamnya jiwa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan.[2]

(1) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu, misalnya untuk ibu yang mengalami
eklampsia atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba
macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim, dan dinding rahimnya yang
menipis akibat bedah caesar atau operasi rahim sebelumnya.

(2) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa bayi, adalah jika sang ibu sudah meninggal dunia,
tapi bayi yang berada di dalama perutnya masih hidup.

Apakah dibolehkan untuk membedah perut ibu dalam keadaan seperti ini ? Para ulama berbeda
pendapat [3] :
Pendapat Pertama : Dibolehkan untuk dilakukan operasi dengan membedah perut ibunya, agar
bayi bisa dikeluarkan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan, Madzhab
Syafi’iyah, dan Dhahiriyah, serta dipilih oleh beberapa ulama dari Malikiyah dan Hanabilah.

Pendapat Kedua : Tidak dibolehkan dilakukan operasi dengan membedah perut ibunya. Ini
adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan dalil-dali sebagai berikut :

Pertama : Hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah


shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

ِ ِ‫ظ ِم ْال َمي‬


‫ت َك َكس ِْر ِه َحيًّا‬ ْ ‫َكس ُْر َع‬

"Memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya ketika masih hidup. " ( HR Abu Daud dan
Ibnu Majah) [4]

Kedua : Bahwa janin yang masih hidup dalam perut ibunya yang sudah mati tersebut,
sering tidak tertolong. Seandainya perut ibunya sudah dibedahpun dan janin tersebut bisa hidup,
biasanya hidupnya tidak lama. Oleh karenanya, tidak boleh melakukan kerusakan yang pasti
hanya sekedar mengejar sesuatu yang belum tentu bisa diselamatkan. [5]

(3) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan adalah ketika air
ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan, bayi terlilit tali pusar sehingga
tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi bayi sungsang, dan
lain-lain.

Dalam tiga keadaan di atas, menurut pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan operasi cesar
untuk menyelamatkan jiwa ibu dan anak . Dalil-dalilnya sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

َ َّ‫َو َم ْن أَحْ يَاهَا فَ َكأَنَّ َما أَحْ يَا الن‬


‫اس َج ِميعًا‬

“ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. " ( Qs Al Maidah : 32 )

Dalam ayat ini, Allah swt memuji setiap orang yang memelihara kehidupan manusia, termasuk
di dalamnya orang yang menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian dengan melakukan
pembedahan pada perut.

Ibnu Hazm berkata : “ Jika seorang ibu yang hamil meninggal dunia, sedangkan bayinya
masih hidup dan bergerak dan sudah berumur enam bulan, maka dilakukan pembedaan perutnya
dengan memanjang untuk mengeluarkan bayi tersebut, ini berdasarkan firman Allah ( Qs. 5 : 32
), dan barang siapa membiarkannya bayi tersebut di dalam sampai mati, maka orang tersebut
dikatagorikan pembunuh. “ [6]
Kedua : Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :

‫الضرر يزال‬

“ Suatu bahaya itu harus dihilangkan “ [7]

1.

Ketiga : Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :

‫ب أَخ َِف ِه َما‬


ِ ‫ارتِكَا‬
ْ ِ‫ض َر ًرا ب‬ َ ‫ي أَ ْع‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬ َ ‫َان ُرو ِع‬ َ ‫ض َم ْف‬
ِ ‫سدَت‬ َ َ‫إذَا تَع‬
َ ‫ار‬

“ Jika terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan
kerusakannya “ [8]

Keterangan dari kaidah di atas adalah bahwa operasi cesar dalam keadaan darurat
terdapat dua kerusakan, yang pertama adalah terancamnya jiwa ibu atau anak, sedangkan
kerusakan yang kedua adalah dibedahnya perut ibu. Dari dua kerusakan tersebut, maka yang
paling ringan adalah dibedahnya perut ibu, maka tindakan ini diambil untuk menghindari
kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu dan anak.

Berkata Syekh Abdurrahman as- Sa’di [9]: “ Dan dibolehkan melukai badan, seperti
membedah perut, untuk mengobati penyakit. Jika manfaatnya lebih banyak dari pada
mafsadahnya, maka Allah tidak mengharamkannya. Hal semacam ini telah disinggung oleh
Allah di beberapa tempat dari kitab-Nya, diantaranya adalah firman-Nya :

‫اس َو ِإثْ ُم ُه َما أَ ْك َب ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬ ٌ ‫َي ْسأَلُونَكَ َع ِن ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل ِفي ِه َما ِإثْ ٌم َك ِب‬
ِ َّ‫ير َو َمنَا ِف ُع ِللن‬

“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya. “ ( Qs al-Baqarah : 219 )

Kedua : Dalam Keadaan Hajiyat

Keadaan Hajiyat dalam operasi Cesar adalah adanya kekhawatiran terjadinya bahaya atau
sesuatu yang tidak baik, seperti cacat permanen dan lainnya, yang akan menimpa ibu, atau bayi,
atau kedua-duanya secara bersamaan, tetapi bahaya ini tidak sampai pada terancamnya jiwa ibu
atau anak. Seperti halnya jika lingkar rongga panggul yang lebih kecil dari ukuran janin,
sehingga akan kesulitan ketika melahirkan secara alami, usia ibu yang terlalu tua, kelainan letak
plasenta, ukuran bayi terlalu besar atau terjadi bayi kembar.

Dalam keadaan hajiyat ini, operasi cesar boleh dilakukan, karena hajiyat kadang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sebagian ulama menyamakan kedudukannya dengan
darurat. Oleh karenanya, mereka meletakkan kaidah fiqhiyat sebagai berikut :
ً ‫صة‬
َّ ‫َت أَ ْو خَا‬ َ ‫ْال َحا َجةُ ت َ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َُّر‬
ْ ‫ َعا َّمةً كَان‬، ِ‫ورة‬

“ Kebutuhan itu disamakan dengan kedudukan darurat, baik yang bersifat umum, maupun
khusus. “ [10]

Ketiga : Dalam Keadaan Tahsiniyat

Keadaan Tahsiniyat di dalam operasi Cesar adalah adanya keinginan dari pasien atau yang
mewakilinya untuk bisa mencapai sesuatu yang merupakan pelengkap di dalam kehidupannya,
yang sebenarnya hal itu tidak mengancam jiwanya atau tidak menyebabkan bahaya jika tidak
dilakukan operasi Cesar. seperti halnya seorang istri yang melakukan operasi cesar dengan
harapan bisa membahagiakan suaminya, karena jalan lahir bayi masih utuh, sehingga organ
kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal
kelahiran sesuai yang dikehendaki, atau tidak mau berlama-lama menjalani proses persalinan
normal yang kadang membutuhkan waktu berjam-jam, atau hanya sekedar ingin menghindari
rasa sakit ketika melahirkan secara normal.

Selain itu operasi cesar mempunyai beberapa dampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak. Yang
terjadi pada anak misalnya gangguan pernafasan akibat cairan yang memenuhi paru-paru janin
selama berada dalam rahim, rendahnya sistem kekebalan tubuh, rentan alergi, emosi cenderung
rapuh, terpengaruh anestesi dan lain-lain. Yang terjadi pada ibu, misalnya rasa sakit yang sangat
pada bagian perut dan rahim akibat robekan saat operasi, kemungkinan terjadi infeksi rahim dan
pendarahan yang banyak, bahkan efeknya masih dirasakan hingga bertahun-tahun lamanya.
Wallahu A’lam

[1] Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, Jeddah,


Maktabah as-Shahabah, 1415 H/ 1994 M, Cet ke-2, hlm : 154

[2] Pengertian darurat secara lebih lengkap telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya bisa
dilihat di : Dr. Samih Abdul al-Wahab al-Jundi, Ahammiyatu al –Maqasid fi asy-Syari’ah al-
Islamiyah, Iskandariyah, Dar al-Iman, 2003, hlm : 231- 234, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh wa
Adilatuhu, Damaskus, Dar al-Fikri, 1409 H/ 1989 M, Cet. Ke- 3, juz : 3, hlm : 515- 520

[3] Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, hlm : 322

[4] Hadist ini dihasankan oleh Ibnu Qattan. Berkata Ibnu Hajar : hadist ini sesuai dengan syarat
Muslim ( Syekh Abdullah Bassam, Taudhih al-Ahkam, juz 2, hlm : 367 )

[5] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh wa Adilatuhu, juz : 3, hlm : 521


[6] Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz : 5, hlm : 166

[7] As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M,
Cet- 1, hlm : 87. Imam Suyuthi juga membolehkan pembedahan perut ibu yang mati untuk
mengeluarkan janin yang masih hidup dengan alasan kaidah di atas.

[8] Ibnu Nujaim, al-Asybah wa an-Nadhair, Kairo, al-Maktabah at- Taufiqiyah, hlm : 97

[9] Pernyataan Syekh Abdurrahman as-Sa’di ini bisa dilihat di dalam Dewan Ulama Senior
Saudi Arabia, al-Buhuts al-Ilmiyah, juz : 2, hlm : 72, dan dinukil ulang oleh Syekh
Abdurrahman al-Basaam di dalam Taudhih al-Ahkam : juz : 2, hlm : 368.

[10] Kaidah Fiqhiyah ini disebutkan oleh Ibnu Nujaim di dalam al-Asybah wa an-Nadhair, hlm :
100, Imam Suyuthi di dalam al-Asybah wa an-Nadhair, , hlm : 88

Anda mungkin juga menyukai