Anda di halaman 1dari 4

ARTIKEL

MATA KULIAH KOPERASI

BAGAIMANAKAH NASIB DEKOPIN SAAT INI?

Oleh :

Arifa Tariqa Imani - 1806138371


Asyifa Isvari - 1806138384
Devin Lemuel - 1806234413
Hugho Gani Rahardjo - 1806134291
M.N. Ghifari - 1806217520
Natasya Zahra Ismail - 1806213863
Qonitah Mutia Ramadhani - 1806134493
Roes Ebara Gkami Lufti - 1706055462

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INDONESIA
2019
BAGAIMANAKAH NASIB DEKOPIN SAAT INI?

Dewan Koperasi Indonesia atau yang


lebih dikenal sebagai Dekopin tengah
menjadi salah satu topik hangat yang sedang
dibicarakan oleh masyarakat. Hal ini
dikarenakan terdapat beberapa pasal
bermasalah dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Koperasi yang membahas
mengenai Dekopin sebagai lembaga koperasi
yang otonom. Sejak didirikan pada 12 Juli
Rakernas Dekopin 2019 di Sumatera Selatan
1953 di Bandung, permasalahan Dekopin
selalu saja disusupi oleh isu politik seperti dualisme kepemimpinan kubu Sri Edi Swasono dan
kubu Nurdin Halid, terpilihnya Nurdin Halid sebagai ketua umum Dekopin empat periode
berturut-turut, dan terakhir pembahasan RUU koperasi yang saat ini digadang-gadang melibatkan
isu politik.

Salah satu pembahasan RUU Koperasi yang dinilai bermasalah tersebut adalah Pasal 130
yang menyebutkan bahwa pendirian Dekopin sebagai sebuah wadah mandiri dan pembawa
aspirasi Koperasi dalam rangka pemberdayaan. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip
demokrasi yang tercantum dalam Pasal 1. Menurut Suroto, karena Dekopin merupakan tangan
pemerintah dan sifatnya wadah tunggal, Dekopin kerap kali berseberangan dengan kepentingan
koperasi yang dijalankan secara mandiri oleh masyarakat. Sebagai contoh, saat Mahkamah
Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang
dinilai mencabut asas kekeluargaan koperasi, Dekopin justru tampil membela habis peraturan ini.
Selain itu, Dekopin tidak terlalu menunjukkan kiprahnya sebagai wadah tunggal untuk mendukung
gerakan koperasi Indonesia. Terlebih, pada tahun 2016, terdapat petisi yang dibuat oleh
masyarakat yang mendukung untuk pembubaran Dekopin. Oleh karena itu, pengkajian ulang Pasal
130 Ayat 1 perlu dilakukan oleh DPR karena Dekopin dinilai tidak terlalu tepat untuk dijadikan
wadah tunggal.
Tak hanya itu, pembahasan RUU Koperasi lainnya yang bermasalah adalah Pasal 130 Ayat
2 yang berbunyi “Nama, tujuan, keanggotaan, susunan organisasi, dan tata kerja dewan Koperasi
Indonesia diatur dalam anggaran dasar.” Pasal ini tidak menyebutkan secara jelas mengenai
struktur keanggotaan Dekopin yang akan dibahas dalam anggaran dasar. Jika kita dalami lebih
dalam lagi, dalam Surat Keputusan Dewan Koperasi Indonesia Nomor. SKEP/212/DEKOPIN-
E/XII/1999 mengenai Pedoman Penataan Anggota, anggota Dekopin pusat seharusnya berasal dari
koperasi masing-masing daerah dari Sabang hingga Merauke. Aturan hukum harus memastikan
semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Tetapi, anggota Dekopin pusat
saat ini hanya berasal dari daerah tertentu saja sehingga tidak menggambarkan prinsip koperasi
yaitu ‘kekeluargaan yang dilandasi dengan gotong royong’ karena tidak merangkul semua koperasi
di seluruh Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan koperasi antar daerah. Masalah lain
pun akan muncul apabila anggota Dekopin pusat hanya berasal dari daerah tertentu saja, seperti
timbulnya aturan atau kebijakan yang hanya mendukung kepentingan golongan tertentu saja.
Tentunya, kemajuan Dekopin tidak akan berkembang jika hal ini terus terjadi. RUU Koperasi
diharapkan dapat menambah satu pasal mengenai gambaran secara umum anggota Dekopin yang
akan dibahas di anggaran dasar Koperasi.

Selain itu, terdapat juga Pasal 130 Ayat 4 yang berbunyi “Ketua umum dewan Koperasi
Indonesia dapat dipilih paling lama 3 (tiga) periode untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.” Lima
belas tahun memimpin merupakan waktu yang cukup panjang. Masa kepemimpinan seseorang di
sebuah instansi manapun harus dibatasi untuk mewujudkan demokrasi. Apabila tidak dibatasi,
seseorang dapat menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dan menjadi otoriter atau
diktator. Mengingat sejarah buruk Indonesia yang mengalami periode otoritarianisme pada masa
pimpinan Soeharto di Orde Baru yang disertai praktik koruptif dan kolutif, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa jabatan publik tertentu tidak seharusnya diisi oleh orang yang sama dalam
waktu yang terlalu lama. Namun faktanya, Nurdin Halid yang telah memimpin Dekopin sejak
periode 1999-2004 kembali terpilih menjadi ketua umum Dekopin untuk periode 2019-2024 dalam
Musyawarah Nasional (Munas) Dekopin di Makassar.

Lebih lanjut, terdapat juga Pasal 82 Poin H yang berisi tentang sumber pendanaan Dekopin
dalam melaksanakan tugasnya, salah satunya berasal dari iuran wajib anggota. Hal ini tentu
menimbulkan tanda tanya atas urgensi dari penerapan iuran wajib anggota karena Dekopin sudah
mendapat biaya dari pemerintah pusat. kKetentuan ini juga dinilai cukup ganjil karena tidak sesuai
dengan fungsi fundamental koperasi yaitu mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi
serta taraf hidup anggotanya, bukan pihak otonom lainnya. Menurut Sekretaris Jenderal Dekopin,
Neddy Rafinaldi, iuran tersebut diwajibkan sebagai bentuk dukungan koperasi terhadap gerakan
Dekopin dalam politik-ekonomi rakyat. Meskipun demikian, bentuk dukungan dan partisipasi
koperasi terhadap Dekopin dapat dilakukan dengan metode lain selain iuran. Sebagai wadah
mandiri, sudah sepatutnya Dekopin mempertahankan independensinya dengan tidak menerima
iuran dari koperasi yang berada dalam naungannya seperti yang disebut dalam Pasal 82 poin H.
Jika hal itu berhasil diterapkan, maka Dekopin akan selalu bertindak secara profesional dan tidak
berdasarkan intrik ataupun kepentingan apapun sehingga fungsi Dekopin dapat dilaksanakan
dengan maksimal. Oleh karena itu, Pasal 82 poin H dapat dikatakan kurang tepat guna dan sasaran.

Sumber pendanaan lainnya disebutkan juga dalam Pasal 133 yang dinilai bermasalah yaitu
berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD). Dewan Koperasi sendiri menerima sekitar Rp 50 hingga 80 miliar dari APBN.
Hal ini akan menjadi masalah jika dibandingkan dengan kinerja Dekopin itu sendiri. Berdasarkan
data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), sektor koperasi hanya
menyumbang 5,1 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018. Pembiayaan yang besar
dari APBN terhadap Dekopin tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Selain itu,
pembiayaan Dekopin akan menjadi ganda apabila pembiayaan juga berasal dari APBD karena
pembiayaannya sudah dianggarkan di APBN. APBD seharusnya tidak dipergunakan untuk
membiayai Dekopin. Lagipula, sesuai dengan UU. No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
APBD diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas hidup daerah. Oleh karena itu, penggunaan
APBD untuk membiayai Dekopin dinilai salah. Terlebih, Dekopin juga dinilai tidak transparan
dalam pengelolaan keuangannya, terutama dalam penggunaan dana yang berasal dari pemerintah.

Oleh karena itu, perlu dilakukannya pengkajian ulang yang mendasar terhadap beberapa
pasal yang dinilai bermasalah yang telah disebutkan di atas. Penerapan pasal ini tertunya akan
menentukan nasib Dekopin kedepannya. Jika pasal diterapkan begitu saja, RUU tentang
perkoperasian ini dinilai telah gagal melindungi identitas koperasi itu sendiri. Dekopin pun akan
mengalami kemunduran dan pertumbuhan koperasi di Indonesia akan terhambat.

Anda mungkin juga menyukai