Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang - Undang


Subbab : Gratifikasi

Tasha Ramadhery Putri (1707123081)

KELOMPOK 9 KELAS B

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
RIAU
PEKANBARU
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang "Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang - Undang"
dengan subbab “Gratifikasi “ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi
anugerah serta rahmat bagi alam semesta.

Pnulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk Bapak Drs.


Suprasman, MM selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah
menyerahkan kepercayaan kepada penulis guna menyelesaikan makalah ini. Disamping
itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah
ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat
dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa
diperbaiki.

Pekanbaru, 12 Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i

KATA
PENGANTAR....................................................................................................................... i
i

DAFTAR
ISI ........................................................................................................................................ .ii
i

BAB I PENDAHULUAN
...............................................................................................................................................
1

A. Latar
Belakang ....................................................................................................................
1
B. Tujuan
...................................................................................................................................
1
C. Rumusan Masalah
...................................................................................................................................
2

BAB II
PEMBAHASAN ...................................................................................................................
3

A. Gagasan
Pluto...........................................................................................................................
3
B. Pengertian
Gratifikasi ..................................................................................................................
3
C. Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana
Korupsi ......................................................................................................................
4
D. Katagori
Gratifikasi ..................................................................................................................
5

iii
E. Penerima Gratifikasi yang Wajib Melaporkan
Gratifikasi ..................................................................................................................
6
F. Contoh – Contoh Kasus
Gratifikasi ..................................................................................................................
7
G. Perbedaan Suap dan
Gratifikasi ..................................................................................................................
9

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................


11

iv
A. Latar Belakang
Sudah bukan rahasia lagi bila ingin pelayanan yang diberikan berjalan lancar dan sesuai
keinginan,harus adanya suatu pelicin ataupun uang jasa. Jarang sekali tanpa adanya pelicin
ataupun uang jasa ini, pelayanan akan berjalan dengan lancar atau sesuai keinginan. Pada tahun
427 SM- 347 SM, Plato mempunyai suatu gagasan yaitu “Para pelayan bangsa harus
memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang,
kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara”. Gagasan dari Plato ini berarti pelayan
masyarakat harus melayani masyarakat dengan baik tanpa harus menerima hadiah-hadiah
apapun untuk melakukan itu1.
Berdasarkan penjelasan pasal 12 B UU no. 31 th.1999 jo UU no.20 th.2001, gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Tidak semua gratifikasi dikatakan sebagai tindak pidana
korupsi. KUHP sendiri membedakan antara 2 ( dua ) kelompok tindak pidana suap, yaitu tindak
pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap2. Kelompok tindak pidana memberi
suap subyek hukumnya adalah pemberi suap. Sedangkan tindak pidana penerima suap subyek
hukumnya adalah pelayan masyarakat ataupun pejabat negara yang menerima suap
Salah satu contoh kasus yang diduga menerima gratifikasi suap terhadap pejabat negara
adalah terjadi pada kasus Gubernur Jakarta sewaktu itu,yaitu Jokowidodo. Penyitaan bass yang
diberikan oleh personil Metallica milik Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diduga merupakan praktek gratifikasi.

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan penyuapan dalam bentuk gratifikasi
yang dapat tergolong tindak pidana korupsi dan mengetahui cara agar menerima gratifikasi
tidak dikatakan tindak pidana korupsi suap. Karena tidak semua penerimaan gratifikasi bisa
diakatakan sebagai tindak pidana korupsi suap.

C. Rumusan Masalah

1
1. Apakah itu gagasan pluto ?
2. Apakah yang dimaksud gratifikasi ?
3. Apakah landasan hukum tentang gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi ?
4. Apakah kategori gratifikasi?
5. Siapakah penerima gratifikasi yang wajib melaporkan gratifikasi ?
6. Apa saja contoh kasus gratifikasi ?
7. Apakah perbedaan suap dan gratifikasi ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gagasan Plato
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita jumpai pegawai negeri/pejabat/penyelenggara
Negara/pelayan bangsa yang berharap menerima hadiah dari pelayanan yang mereka berikan.
Terkadang pelayananbaru diberikan bila ada uang pelican atau jasa. Jangan harap pelayanan
public akan lancer bila tidak menyerahkan uang pelican (Vincentia Hanny S, Kompas, 1
September 2005).

Menyikapi hal itu, seorang Plato pun (427 SM- 347 SM) sudah mempunyai gagasan “Para
pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka
yang membangkan harus, kalau terbukti bersalah dibunuh tanpa upacara”.

Ada benarnya gagasan Plato itu, tidak sepantasnya pegawai negeri/pejabat menerima hadiah
dari pelayanan yang mereka berikan. Supaya pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik
dan bebas korupsi, memang perlu diadakan aturan tegas mengenai Gratifikasi dan Suap.

B. Pengertian Gratifikasi
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No-mor 20 Tahun 2001, bahwa:

“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi
gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu
merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat
bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna
tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan
dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan

3
dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B
saja.

C. Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi


Pengaturan tentang gratifikasi berdasarkan penjelasan sebelumnya diperlukan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau
pegawai negeri. melalui pengaturan ini diharapkan penyelenggara negara atau pegawai negeri
dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera
melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Secara khusus gratifikasi ini diatur dalam:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12B:
 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
 Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 16:

Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut :

4
a) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan
dengan gratifikasi.
b) Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5) nilai gratifikasi yang diterima
Penjelasan pasal 16 menyebutkan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata
cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

D. Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi yang
Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu:

a. Gratifikasi yang Dianggap Suap


Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh Gratifikasi yang
dianggap suap dapat dilihat pada Contoh 1, 2 dan 3 di halaman 35-37.

b. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap.


Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang
berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya
sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5
Kegiatan resmi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang sah dalam pelaksanaan
tugas, fungsi dan jabatannya dikenal dengan Kedinasan. Dalam menjalankan
kedinasannya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sering dihadapkan pada
peristiwa gratifikasi sehingga Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap dapat dibagi
menjadi 2 sub kategori yaitu Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait
kedinasan dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak Terkait Kedinasan

Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan meliputi
penerimaan dari:

a. pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat,
seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b. pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur
pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat
pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar
ketentuan yang berlaku di instansi penerima

E. Penerima Gratifikasi yang Wajib Melaporkan Gratifikasi


Penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara wajib dilaporkan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 bahwa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan oleh Penerima Gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Yang wajib melaporkan gratifikasi adalah:

1. Penyelenggara Negara
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,
atau yudikatif dan pejabat lainyang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 angka (1) UU Nomor 28 Tahun 1999).

Dengan demikian, dasar hukum yang digunakan untuk menentukan sebuah jabatan
termasuk kualifikasi Penyelenggara Negara adalah:

6
UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN;

UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

2. Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka (2) UU 31/1999:

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian.


Saat ini berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara.

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.


Bagian ini mengacu pada perluasan definisi pegawai negeri menurut Pasal 92 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu (PAF Lamintang, 2009:8-9):

(1) Termasuk dalam pengertian pegawai negeri, yakni semua orang yang terpilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan umum, demikian juga semua orang
yang karena lain hal selain karena suatu pemilihan, menjadi anggota badan
pembentuk undang-undang, badan pemerintah atau badan perwakilan rakyat yang
diadakan oleh atau atas nama Pemerintah, selanjutnya juga semua anggota dari suatu
dewan pengairan dan semua pimpinan orang-orang pribumi serta pimpinan dari
orang-orang Timur Asing yang dengan sah melaksanakan kekuasaan mereka.
(2) Termasuk dalam pengertian pegawai negeri dan hakim, yakni para wasit; termasuk
dalam pengertian hakim, yakni mereka yang melaksanakan kekuasaan hukum
administratif, berikut para ketua dan para anggota dari dewan-dewan agama.
(3) Semua orang yang termasuk dalam Angkatan Bersenjata itu juga dianggap sebagai
pegawai-pegawai negeri.
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang
ini memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari
Negara atau masyarakat. masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan

7
perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan
istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak
wajar, harga yang tidak wajar,pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea

F. Contoh-Contoh Kasus Gratifikasi

Untuk memberikan pemahaman tentang gratifikasi dan penanganannya, berikut ini akan
diuraikan beberapa contoh kasus gratifikasi baik yang dilarang berdasarkan ketentuan pasal
12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
(selanjutnya baca gratifikasi yang dilarang) maupun yang tidak. Tentu saja hal ini hanya
merupakan sebagian kecil saja dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi-kasi yang sering terjadi
adalah:

1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh
rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor
pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi
secara cuma-Cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu,

G. Perbedaan Suap dan Gratifikasi


Perbedaan Suap Gratifikasi

8
Pengaturan 1. Kitab Undang-Undang Hukum 1. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pidana (Wetboek van Strafrecht, Perubahan UU No. 31 Tahun 1999
Staatsblad 1915 No 73) tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi serta diatur pula
2. UU No. 11 Tahun 1980 tentang
dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”)
Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU
3. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor”)
Perubahan UU No. 31 Tahun 1999
2. Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Nomor 03/PMK.06/2011 tentang
Korupsi serta diatur pula dalam UU
Pengelolaan Barang Milik Negara
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
yang Berasal Dari Barang Rampasan
Pemberantasan Korupsi (“UU
Negara dan Barang Gratifikasi.
Pemberantasan Tipikor”)

Definisi Barangsiapa menerima sesuatu atau janji,


Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat
pemberian uang, barang, rabat (discount),
menduga bahwa pemberian sesuatu atau
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat
perjalanan, fasilitas penginapan,
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
perjalanan wisata, pengobatan cuma-
tugasnya, yang berlawanan dengan
cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
kewenangan atau kewajibannya yang
tersebut baik yang diterima di dalam
menyangkut kepentingan umum, dipidana
negeri maupun di luar negeri dan yang
karena menerima suap dengan pidana
dilakukan dengan menggunakan sarana
penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun
elektronik atau tanpa sarana elektronik
atau denda sebanyak-banyaknya
(Penjelasan Pasal 12B UU
Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)
Pemberantasan Tipikor)
(Pasal 3 UU 3/1980).

UU 11/1980: Pidana penjara seumur hidup atau pidana


penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga)
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan
Sanksi
tahun atau denda sebanyak-banyaknya
pidana denda paling sedikit Rp
Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
(Pasal 3 UU 3/1980).
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu

9
miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU
Pemberantasan TipikoR)
KUHP:

pidana penjara paling lama sembilan


bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 149)

UU Pemberantasan Tipikor:

Dipidana dengan pidana penjara paling


singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya
(Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor).

DAFTAR PUSTAKA

Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi.Jakarta 2014.

10
http://muhaswad.blogspot.co.id/2012/10/gratifikasi-dan-bagaimana-mengenalinya.html

http://muhaswad.blogspot.co.id/2012/10/gratifikasi-dan-bagaimana-mengenalinya.html

11

Anda mungkin juga menyukai