Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Mooren ulcer ditemukan pertama kali oleh Bowman pada tahun 1849 dan
McKenzie pada tahun 1854, dikenal sebagai serpigenous ulcer atau ulkus roden pada
kornea Mooren ulcer merupakan sebuah peradangan ulseratif, kronik, jarang terjadi,
idiopatik, yang ditandai dengan terdapatnya ulkus di pinggir kornea, bersiat progresif,
menyebar dengan cepat kearah sentral secara sirkumferensial.8 Biasanya terjadi
unilateral pada 60-80% kasus, memiliki ciri-ciri lesi yang nyeri, menyebar secara
progresif dari tepi ke sentral kornea, hingga dapat menyebabkan hilangnya
pengelihatan.8
Tidak diketahui prevalensi terjadinya penyakit ini, namun lebih sering terjadi
pada lansia, walaupun pernah dilaporkan penyakit ini terjadi pada anak berusia 3
tahun.6
Etiologi mooren ulcer masih belum diketahui secara pasti, namun hipotesis
terbanyak mengatakan adanya proses autoimun yang melibatkan komponen humoral
dan selular. Terjadi hilangnya toleransi terhadap autoantigen stroma kornea, sehingga
menyebabkan kerusakan kornea, perforasi, dan kehilangan pengelihatan yang parah.7
Gejala klinis yang dirasakan penderita seperti mata merah, berair, fotofobia,
neamun nyeri merupakan keluhan yang sangat menonjol. Komplikasi yang sering
terjadi adalah penurunan visus, dan astigmatisme ireguler karena penipisan kornea
perifer.7
Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana,mooren ulcer agar komplikasi berupa hilangnya pengelihatan tidak
terjadi. Meskipun kejadian mooren ulcer jarang ditemui, diharapkan telaah ilmiah ini
dapat bermanfaat untuk memberikan informasi terkait mooren ulcer dan menjadi
salah satu sumber bacaan tentang mooren ulcer .

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi, Hstologi dan Fisiologi Kornea


2.1.1 Anatomi Kornea
Kornea dalam bahasa latin cornum yang berarti seperti tanduk adalah
struktur mata yang terletak dipaling luar, bersifat avaskular dan tidak
memiliki warna atau transparan, berukuran 11-12 mm horizontal, dan 10-11
mm vertikal, bagian sentral kornea memiliki ketebalan 0,5 mm, sedangkan
bagian perifer memiliki ketebalan 1 mm. Indeks bias yang dimiliki kornea
yaitu 1,376. Kornea berbentuk asferis meski radius kurvatura permukaan
anteriornya (corneal cap) sering disebut sebagai cermin convex sferosilindris.
Rata-rata radius kurvatura kornea sebesar 7,8 mm. Kornea merupakan bagian
mata yang melakukan pembiasan terbesar yaitu 74% atau sekitar 43,25 dioptri
dari total kekuatan optik mata manusia normal sebesar 58,60 dioptri.1
Kornea bersifat avaskular, oleh karena itu kebutuhan glukosa kornea
berdifusi dari aqueous humor serta oksigen berasal dari tear film. Selain itu,
kebutuhan oksigen pada bagian kornea perifer berasal dari sirkulasi limbal.1
Tear film tersusun dari protein yang mengendalikan flora normal okular,
berfungsi sebagai lapisan pelindung yang ‟mencuci‟ iritan dan patogen,
melarutkan toksin dan alergen. Tear film berbentuk gel berisi mukus yang
dihasilkan sel goblet konjungtiva, dicanpur dengan cairan dan protein yang
dihasilkan oleh kelenjar lakrimal.1
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar saraf ke V saraf siliaar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman
melepaskan selubung Schwannya. Perubahan ini diperkirakan terkait dengan
pentingnya transparansi. Seluruh lapisan epitel dipersarafi sampai pada kedua
lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause terdapat didaerah limbus,
berfungsi sebagai penerima sensasi dingin2,5.

2
Sensitivitas sel saraf pada kornea 100x lebih peka dibandingkan
dengan konjungtiva. Neurotransmitter saraf kornea yaitu asetilkolin,
katekolamin, substansi P, calcitonin gene-related peptide, neuropeptide Y,
intestinal peptide, galanin, dan metionin-enkefalin.1
Kornea memiliki banyak saraf yang sensitive terhadap rasa nyeri
sehingga sebagian lesi kornea baik yang superfisial ataupun profunda (benda
asing kornea, abrasi kornea, interstisial keratitis, dan lain-lain) akan
menyebabkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit dapat diperparah oleh
pergerakan kelopak mata dan biasanya menetap sampai terjadi proses
penyembuhan. Karena kornea berfusi sebagai jendela mata dan membiaskan
cahaya, lesi pada kornea dapat menyebabkan pengelihatan menjadi kabur.
Fotofobia pada pada lesi kornea disebabkan hasil kontraksi menyakitkan dari
iris yang meradang. Pelebaran pembuluh darah iris merupakan akibat iritasi
pada ujung saraf kornea. Fotofobia yang berat terjadi hampir pada seluruh lesi
kornea, kecuali herpetic keratitis karena hipestesia yang disebabkan penyakit
ini, yang juga merupakan tanda yang membantu menegakan diagnosis. Jarang
ditemukan adanya discharge kecuali pada ulkus bakterialis.6
Daya regenerasi kornea terjadi dalam waktu tiga bulan. Trauma atau
penyakit yang menembus endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
kornea tidak memiliki daya regenerasi.2

3
Gambar 1. Lapisan tear film mengandung faktor-faktor yang dihasilkan sel goblet konjungtiva,
kelenjar lakrimal, dan permukaan epitel untuk lubrikasi (musin), penyembuhan
(Epidermal Growth Factor), dan melindungi kornea dari infeksi (laktoferin, defensins,
IgA) serta peradangan berlebihan (antagonis interleukin 1 reseptor (IL-1 RAJ),
mengubah faktor pertumbuhan β [TGF-PL , dan penghambat jaringan matriks
metaloproteinase 1 [TIMP 1]).1

Gambar 2. Diagram skematis mata manusia pada bagian horizontal memperlihatkan lapisan bola
mata. AC= ruang anterior. Amplop corneoscleral (biru), saluran uveal (oranye / merah)
dan lapisan saraf bagian dalam (ungu).3

4
2.1.2. Histologi Kornea
Kornea tersusun dari lima lapis, dari yang paling luar ke paling dalam
yaitu epitel, membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel.
a. Epitel
Epitel kornea terdiri dari sel epitel skuamosa berlapis dan membentuk
kira-kira 5% - 10% dari ketebalan kornea total. Epitel dan film air mata
membentuk permukaan yang halus secara optik. Tight junction pada sel epitel
superfisial mencegah penetrasi cairan air mata ke stroma. Sel epitel basal
perilimbal (sel induk limbal) mengalami proliferasi secara terus menerus
memunculkan lapisan lain yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel
superfisial. Dengan pematangan, ini sel menjadi dilapisi dengan microvilli
pada permukaan terluar mereka dan kemudian mengalami deskuamasi ke
dalam air mata. Proses diferensiasi ini memakan waktu sekitar 7-14 hari. Sel
epitel basal mensekresikan kolagen tipe IV, laminin, dan protein lainnya yang
membentuk membrane tebal (50nm). Kejernihan kormea bergantung pada
susunan lapisan epitel yang rapat menciptakan indeks refraktif yang seragam
dan hamburan cahaya minimal.1 Epitel kornea berasal dari ektoderm
permukanaan.2

b. Membran Bowman
Membrane bowman merupakan lapisan aseluler yang yang dibentuk
oleh serat kolagen yang tersusun tidak teratur terletak di bawah
membran basal epitel dan merupakan modifikasi dari bagian anterior
stroma dengan ketebalan 8-14 µm. lapisan ini tidak dapat mengalami
regenerasi dan akan digantikan oleh jaringan parut apabila mengalami
trauma.2

c. Stroma
Terdiri atas lamella yang merupakan susunan kolagen (tipe I dan V)
yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang

5
teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang,
terbentuknya kembali serat kolagen memkan waktu hingga mencapai 15
bulan.2 Selain kologen terdapat juga proteoglikan yaitu decorin
(dermatan sulfate) dan lumican (keratin sulfate). Konsentrasi dan rasio
proteoglikan bervariasi dari anterior ke posterior.Diantara lamella
kolagen terdapat sel fibroblast.1
Diantara serat kolagen stroma tersebut terdapat keratosit yang
diduga membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma, namun seiring pertambahan usia kepadatan
keratosit menurun. Keratosit juga menghasilkan protein yang analog
dengan lensa kristalin yang berfungsi dalam mengendalikan sifat optic
kornea. Pengaturan susunan serat kolagen ini sebagian bertanggung
jawab atas transparansi kornea dan sebagai kisi difraksi bertujuan untuk
mengurangi hamburan cahaya dengan cara merusaknya. Hamburan
cahaya lebihbesar di bagian anterior, menghasilkan indeks bias yang
tinggi di epitel sebesar 1,401, selanjutnya akan menurun menjadi 1,380
di stroma dan menjadi 1,373 bagian posterior.1 kornea berwarna
transparan karena ukuran kisi elemen lebih kecil dari panjang
gelombang cahaya tampak.1
Kornea manusia memiliki sedikit elastisitas dan dapat meregang
hanya 0,25% pada tekanan intraocular normal. Hidrasi kornea sebagian
besar dikendalikan oleh epitel yang intak dan barrier endotel serta
berfungsinya pompa endotel yang terkait dengan sistem transpor ion
yang diatur oleh temperature-dependent enzymes seperti Na+, K+ -
ATPase.1

d. Membran Descemet
Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea di hasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya. Berkembang terus sumur hidup dan bersifat sangat elastik,

6
mempunyai tebal 40 µm.2 Ketebalan membrane descemet ketika baru
lahir sekitar 3 µm, dan bertambah ketebalannya menjadi 10-12 µm
setelah dewasa.1

e. Endotel
Endotel tersusun dari sel-sel yang saling berdekatan sebagian besar
membentuk pola heksagonal, berasal dari mesotelium. Endotel melekat
pada membrane descemet melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Sel induk endotel serta kepadatannya akan menurun sejalan
bertambahnya usia. Kematian atau hilangnya sel mengakibatkan
pembesaran dan penyebaran sel-sel disebelahnya atau sel tetangga untuk
menutupi area yang rusak terutama akibat trauma atau operasi.
Kerapatan sel bervariasi, dan biasanya bagian perifer lebih rapat.
Kepadatan endotel normal sekitar 2000-3000 sel/mm2. Kerusakan
endotel kornea dan kepadatannya yang kurang dari 800 sel/mm2
menyebabkan edema dan pembengkakan stroma dengan akibat
hilangnya transparansi kornea.
Endotel kornea menjaga kejernihan kornea dengan 2 fungsi, yaitu
bertindak sebagai pertahanan aqueous humor dan menyediakan pompa
metabolisme. Permeabilitas meningkat dan insufisiensi pompa
metabolise akan menyebabkan penurunan kepadatan sel-sel endotel dan
dapat menyebabkan terjadinya edema, walaupun tidak mutlak.
Perubahan endotel ini dapat bersifat reversible (contoh pseudogutata),
dan bersifat irreversible atau permanen (contoh cornea gutata).1

7
Gambar 3. Struktur histologi kornea. Terdiri dari epitel, membrane bowman, stroma, membrane
descemet, dan endotel. Epitel terdiri dari lima lapis berfungsi untuk menjaga permukaan
kornea tetap halus.1

2.1.3. Fisiologi Kornea


Kornea memberikan lapisan luar yang kaku dan kuat untuk mata.
Membran bowman dan stroma merupakan struktur yang bertanggung jawab
terhadap sifat biomekanik kornea itu. Membran bowman tersusun dari fibril
kolagen tipe I berbentuk anyaman yang tersebar secara acak., lebih kaku dan
lebih kuat dibandingkan daripada stroma yang mendasarinya, sedangkan
stroma anterior yang berupa anyaman lebih kaku dibandingkan dengan stroma
posterior yang bukan merupakan anyaman. Perbedaan ini secara klinis
terbukti karena diseksi dari bagian anterior lebih sulit dibandingkan dari
posterior. Kegagalan biomekanik ini dapat terjadi pada ektasia kornea atau
keratectesia. Pada keratektasia, bentuk kornea terdistorsi menyebabkan
astigmatisme ireguler dan visual loss. Karatektasia dapat terjadi akibat
kelelahan jaringan, yang disebabkan lelah tingkat kronis dan menyebabkan
kegagalan biomekanik. Kelelahan jaringan dapat disebabkan oleh kebiasaan
mengkucek mata, operasi refraksi, peningkatan tekanan intraocular, dan
kemungkinan tekanan nokturnal eksternal pada mata.1

8
Endotel kornea memiliki dua fungsi utama, yaitu jalur masuk
penyerapan nutrisi kornea, dan pembuangan hasil metabolisme melalui proses
difusi dan mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan
mempertahankan transparansi kornea. Fungsi endotel ini disebabkan karena
adanya pompa metabolic aktif di endotel kornea. Terdapat tiga sistem
transport ion yang telah diketahui, yaitu sodium-potasium yang mengeluarkan
ion sodium keluar dari sel bergantung enzim Na+ , K+-ATPase, pompa ion
sodium-hidrogen yang menggerakan ion sodium ke dalam sel, pompa
bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke aqueous humor.
Pompa-poma transport ion ini bekerja sama untuk mempertahankan
transparansi kornea.4
Transparansi kornea tergantung pada terjaganya kadar air pada kornea
stroma sekitar 78%. Ketika fungsi endotel ini terganggu, maka aqueous humor
akan berdifusi masuk ke stroma kornea dan menyebabkan edema kornea.4

Epitel merupakan bagian terdepan kornea yang berfungsi sebagai


penghalang masuknya mikroorganisme ke dalam kornea, apabila terjadi
trauma pada epitel, stroma avascular dan membran bowman menjadi rentan
terhadap infeksi dengan berbagai organisme seperti bakteri, amoeba, dan
jamur. Streptococcus pneumonia (Pneumococcus), merupakan patogen kornea
sejati, patogen lain membutuhkan inokulum berat atau terganggunya sistem
imun host untuk menghasilkan infeksi. Beberapa mikroorganisme baru telah
diintifikasi menjadi bakteri oportunistik pada kornea diantaranya
Mycobacterium fortuitum-chelonei, Streptococci viridans, Staphylococcus
epidermidis, dan berbagai organisme coliform dan proteus, bersama dengan
virus, ameba, dan jamur.5

9
2.2 Mooren Ulcer
2.2.1. Definisi
Mooren ulcer merupakan keratitis ulseratif yang jarang terjadi , yang
dimulai dari perifer, yaitu daerah limbus dan berlangsung melingkar atau
terpusat.6
Mooren ulcer merupakan keratitis ulseratif perifer yang jarang terjadi,
kronis, dan tanpa henti, terjadi tanpa melibatkan sklera atau penyakit sistemik
yang mendasari yang dapat menghasilkan gambaran klinis yang serupa.
Mooren ulcer bersifat sangat nyeri, dan dapat mengakibatkan hilangnya
pengelihatan pada penderitanya.7

2.2.2. Epidemiologi
Tidak terdapat data jumlah prevalensi mooren ulcer saat ini. Penyakit
ini jarang terjadi dan belum diketahui etiologinya secara pasti. Dalam
berbagai penelitian, mooren ulcer lebih sering terjadi pada usia pertengahan
dan lansia, kemungkinan karena perngaruh imunosupresi. Imunosupresi
dikaitkan dengan berbagai kelainan pada sistem kekebalan tubuh dan
peningkatan kejadian penyakit autoimun pada populasi lanjut usia. Mooren
ulcer pada anak sangat jarang terjadi, meskipun tidak diketahui jumlah angka
kejadiannya.7

2.2.3. Etiologi
Etiologi kelainan ini tidak sepenuhnya diketahui, autoimun dikatakan
menjadi salah satu penyebab terjadinya mooren ulcer, yaitu hilangnya
toleransi terhadap autoantigen stroma kornea yang melibatkan sistem imunitas
humoral dan seluler.1
Sistem kekebalan tubuh memicu reaksi stroma kornea yang pada kasus
parah dan rekuren dapat menyebabkan kerusakan kornea, perforasi, dan
kehilangan pengelihatan yang parah. Beberapa faktor yang diduga memicu
terjadinya reaksi ini yaitu operasi, trauma, dan infeksi sistemik dan lokal pada

10
7
individu yang rentan secara genetis. Banyak teori yang mengatkan bahwa
reaksi hipersensitivitas terhadap protein tuberculosis, virus, alergi terhadap
toksin ankilostoma dapat mencetuskan mooren ulcer.2 Kejadian mooren ulcer
sangat tinggi di daerah endemis infeksi parasite (seperti cacing).

2.2.4 Patofisiologi
Meskipun penyebab pasti maroon ulcer tidak diketahui, bukti yang
ada saat ini menunjukan bahwa autoimun berperan menyebabkan terjadinya
penyakit ini, dibuktikan dengan ditemukannya beberapa hal berikut ini pada
penderita maroon ulcer :1
a. Fungsi sel T supresor yang abnormal.
b. Peningkatan jumlah IgA.
c. Peningkatan konsentrasi sel plasma dan limfosit di konjungtiva yang
berdekatan dengan daerah yang mengalami ulserasi.
d. Peningkatan rasio CD4 +/ CD8 + dan B7-2 / J APC serta peningkatan
adhesi sel vaskular Molekul 1, very late antigen 4, dan molekul adhesi
interselular 1 di endotel pembuluh darah konjungtiva.
e. Tisuue-fixed immunoglobulin dan komplemen pada epitel konjungtiva
dan kornea perifer.

Sejumlah besar sel penghuni maroon ulcer mengekspresikan antigen


MHC II, menggambarkan tingkat inflamasi jaringan yang diperantarai sistem
imun. Diperkirakan bahwa autoraktivitas terhadap antigen spesifik kornea
dapat berperan dalam pathogenesis penyakit ini, dan mekanisme imun selular
dan humoral berperan dalam inisiasi dan proses destruksi kornea.1
Pada pemeriksaaan patologi, sel plasma, netrofil, mast cell, dan
eosinofil ditemukan di konjungtiva di dekatnya; sedangkan pada area yang
terkena, Brown memperlihatkan adanya enzim proteolitik dalam kadar yang
tinggi dan mereka menemukan sejumlah netrofil aktif yang merupakan
sumber protease dan kolagenase yang dapat menghancurkan stromal kornea.7

11
Trauma, operasi, infeksi dapat menyebabkan peradangan yang
setelahnya dapat mengubah ekspresi antigen kornea maupun konjungtiva
(dimana autoantibodi dihasilkan) kemudian terjadi reaktivitas silang antara
efektor imun yang dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi dan
autoantigen kornea. Interaksi sel-sel inflamasi, molekul adhesi dan
autoantigen yang terbentuk karena faktor pencetus akan menimbulkan respon
imun yang berkelanjutan, dan selanjutnya dapat menyebabkan destruksi
membran bowman dan stroma kornea.1
Mooren ulcer terjadi pada bagian kornea perifer, dimana bagian ini
memiliki karakteristik morfologi dan imunologi yang berbeda yang
memengaruhi reaksi inflamasi. Berbeda dengan kornea sentral yang avascular,
kornea perifer lebih dekat dengan konjungtiva limbal dan sumber pasokan
nutrisi yang berasal dari arcade kapiler limbal yang merupakan sumber sel
imunokompeten seperti makrofag, sel Langerhans, limfosit dan sel plasma.
Setiap rangsangan inflamasi, pada kasus mooren ulcer berupa reaksi antigen-
antibodi dapat merangsang respon imun lokal maupun sistemik. Respon imun
lokal atau sistemik akan memanggil neutrofil dan mengaktivasi komplemen di
jaringan pembuluh darah. Komplemen yang diaktivasi akan meningkatkan
permeabilitas vascular dan selanjutnya mengaktifkan faktor kemotaksis untuk
neutrofil (misalnya C3a, C5a). neutrofil selanjutnya akan masuk ke dalam
kornea perifer dan melepaskan enzim proteolitik dan kolagenolitik, metabolit
oksigen reaktif, dan zat proinflamasi (misalnya faktor pengaktivan platelet,
leukotrien, dan prostaglandin) yang menyebabkan disolusi dan degradasi
stroma kornea. Selain itu, konjungtiva limbal yang meradang itu sendiri
mampu menghasulkan kolagenase yang dapat menyebabkan degradasi stroma
kornea.9

2.2.5. Tanda dan Gejala Klinis


Mooren ulcer digambarkan sebagai tukak kornea kronik, progresif,
yang terdapat di perifer kornea. Penderita mooren ulcer akan merasa sangat

12
nyeri, hal ini disebabkan karena di kornea terdapat banyak serabut saraf yang
sensitif terhadap rasa nyeri, bahkan 100x lebih besar dibandingkan dengan
konjungtiva.1 Sekitar 60-80% terjadi unilateral, namun 25% kasus terjadi
bilateral.2
Ulkus Mooren dimulai sebagai infiltrasi abu-abu putih di kornea
perifer yang diikuti oleh kerusakan epitel dan pelepasan stroma. Kemudian
berkembang menjadi ulkus kornea perifer kronis yang menyakitkan
berkembang secara melingkar dan terpusat, menciptakan tepi yang menjorok
di perbatasan tengahnya. Konjungtiva dan sklera yang berdekatan biasanya
meradang dan hiperemik.9
Penderita biasaya mengeluh mata merah, berair, dan fotofobia atau
silau, dan nyeri sebagai gejala yang paling menonjol. Ulserasi dimulai dari
bagian tepi kornea, pada kebanyakan penderita proses terjadinya di daerah
fissura intrapalpebra, yaitu berupa infiltrate tipis ke abu-abuan di sekitar
limbus. Daerah medial dan lateral kuadran lebih sering dibandingkan superior
dan inferior.7 proses ulserasi lambat di daerah sklera. Perforasi dapat terjadi
dengan trauma ringan atau infeksi sekunder.1 Neovaskularisasi tidak terlihat
pada bagian yang sedang aktif , bila kronik akan terlihat jaringan parut atau
fibrosis dengan jaringan vaskularisasi.2
Berdasarkan gejala klinis dan hasil fluorescein angiographic pada
segmen anterior, Watson membagi 3 jenis mooren ulcer, yaitu 1

Tipe I Unilateral Mooren′s Terjadi usia yang lebih tua, distribusi


Ulceration kelamin pria dan wanita sama, bersifat
progresif perlahan dan disertai rasa
sakit. Terjadi obliterasi pada pembuluh
darah superfisial di daerah limbus.
Tipe II Bilateral Aggressive Lebih sering terjadi pada laki-laki,
Mooren′s Ulceration perjalanan penyakitnya lebih cepat
secara sirkumferensial daripada menuju

13
sentral kornea. Terjadi kebocoran
pembuluh darah dan terbentuknya
pembuluh darah baru yang meluas
sampai ke daerah dasar ulkus, sering
terjadi perforasi. Bersifat progresif
dengan cepat, lebih sering terjadi di
Afrika, biasanya kurang responsif
dengan terapi medis maupun
pembedahan. Penderita maroon ulcer
tipe ini biasanya disertai dengan
keadaan parasitemia. Pada populasi
pria di Afrika Barat, ulkus ini dipicu
oleh reaksi antigen-antibodi terhadap
toxin helminthes yang tersimpan di
limbus kornea.

Gambar 1. Mooren Ulcer1

14
Gambar 2. Ulserasi kornea pada derah perifer7

Gambar 3. Perkembangan sirkumferensial mooren ulcer7

Gambar 4. Mooren ulcer dengan ulserasi dan penipisan limbal1

15
2.2.6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis mooren ulcer dapat ditegakan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis keluhan utama
yang menonjol dirasakan penderita berupa nyeri yang berat, dapat terjadi pada
satu mata atau kedua mata. Keluhan tambahan yang menyertai dapat berupa
mata berair, silau, mata merah, terlihat warna ke abu-abuan di mata (daerah
perifer kornea) yang secara cepat menyebar secara sirkumferensial
(melingkar) kemudian menuju tengah. Apabila berat, penderita dapat
mengeluh terjadi penurunan pengelihatan. Mooren ulcer dapat terjadi di
beberapa daerah yang endemic dengan infeksi parasit. Oleh karena itu, tempat
tinggal penderita harus diketahui. Mooren ulcer dapat ditegakan jika tidak
terdapat penyakit sistemik lain yang mengiringinya seperti penyakit-penyakit
kolagen (Rheumatoid artritis, Wegners granulomatosis, poliartritis nodusa),
SLE dan lain-lain.9 Oleh karena itu, adanya penyakit lain harus disingkirkan.
Riwayat trauma, penggunaan kontak lens juga harus ditanyakan.
Pada pemeriksaan fisik, tetap perlu melihat seluruh keadaan dari
kepala trunkus, persendian, ekstremitas, lesi kulit juga perlu diperhatikan
untuk membantu menegakan diagnosa, dan menyingkirkan diagnosa banding.
Pemeriksaan oftalmik lengkap harus dilakukan dengan difokuskan ke
konjungtiva, sklera, kornea, pemeriksaan segmen anterior, segmen posterior
juga penting. Ruang anterior harus diilai untuk melihat kedalaman dan tanda
peradangan.9
Ulkus kornea akan memberikan kekeruhan berwarna putih pada
kornea dengan defek epitel yang bira diberi pewarnaan flueresein akan
berwarna hijau. Iris dapat sukar dilihat akibat keruhnya kornea akibat edema
dan infiltrasi sel radang pada kornea. Daerah kornea yang tidak terlibat tetap
berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang.2
Pemeriksaan dengan slit lamp memperlihatkan lesi destruktif
berbentuk bulan sabit dari stroma kornea juxtalimbal yag terkait dengan defek
epitel, infiltrat kuning putih stroma yang tersusun dari sel-sel inflamasi, dan

16
berbagai tingkat penipisan stromal kornea (minimal sampai ketebalan penuh)
bersebelahan dengan limbus. Pada kasus berat, kornea perifer semakin hancur
secara melingkar dan terpusat.9
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menyingkirkan
adanya penyakit vascular kolagen, infeksi, malignansi, dan penyakit-penyakit
lain yang disebabkan adanya oklusi dan iskemik.7

2.2.7. Diagnosis Banding

Diagnosa banding dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan oftalmik yang


terlihat, yaitu terdapatnya lesi berwarna abu-keputihan pada perifer kornea,
disertai dengan keluhan berupa rasa nyeri, mata merah, berair, dan silau
adalah sebagai berikut:9

a. Kondisi noninfeksius
1. Sistemik  Rheumatoid arthritis, SLE, rosacea, juvenile idiopathic
arthritis, pyoderma gangrenosum, wegener granulomatosis dan lain-
lain
2. Lokal  Marginal keratitis, blefaritis (infeksi Staphilococcal),
Rosacea), trauma kimia pada mata, trauma, dan lain-lain.
b. Kondisi infeksius
1. Sistemik  Tuberculosis, spesies Shigella, HIV, hepatitis, spesies
Salmonella
2. Lokal  Herpes simpleks keratitis, varicella zooster keratitis, fungal
keratitis, bacterial keratitis.

Ulkus yang terdapat di daerah perifer kornea biasanya terjadi karena


alergi, toksik, infeksi dan penyakit kolagen vascular, hampir 50% kelainan ini
berhubungan dengan infeksi stafilokokus.

17
Pada bacterial keratitis terjadi ulserasi epitel infiltrasi kornea tanpa
kehilangan jaringan yang signifikan, peradangan stroma supuratif dengan
batas tidak jelas, hilangnya jaringan stroma, disertai edema stroma. Terdapat
anterior chamber reaction (cell and flare), hiperemis konjunctiva, dapat
ditemukan eksudat mukopurulen.10

Pada herpes simpleks keratitis gejala klinis yang ada lebih ringan,
dimulai dengan ulserasi epitel yang diiukuti dengan terjadinya infiltrasi di
daerah stroma dan disertai dengan hilangnya atau turunnya sensasi pada
kornea.7

Penyakit jaringan kolagen memberikan gambaran klinis menyerupai


mooren ulcer, berdasarkan pemeriksaan biomikroskopik dapat terlihat pada
tempat lesi tidak dijumpai adanya epitel, dan terjadi penipisan stroma. Lesi
awalnya terdapat 2 mm disekitar limbus, beserta vasa-oklusi jaringan vaskular
limbal yang berdekatan. Apabila penyakit terdeteksi lebih dini, kerusakan
jaringan tidak berat, konjungtiva yang berdekatan juga dapat mengalami
peradangan.1

2.2.8. Penatalaksanaan
Banyak pengobatan yang dicoba untuk menatalaksana mooren ulcer
seperti steroid, antibiotika, anti virus, anti jamur, kolagenase inhibitor,
heparin, dan pembedahan seperti keratektomi, lamellar keratoplasti dan eksisi
konjungtiva, asetilsistein 10% dam L-sistein 0,2 molar, siklosporin topikal,
eksisi konjungtiva limbal dan memberikan hasil yang berbeda-beda.1,2 baru-
bari ini ditemukan terapi alternatif untuk pengobatan penyakit ini yaitu
interferon a2(IFN-a2), siklosporin topikal 2%, dan infliximab. Agen
imunosupresif sistemik seperti kortikosteroid oral, siklofosfamid, metrotrexat,
dan siklosporin juga dapat dijadikan pilihan.1
Terapi awal dari mooren ulcer adalah pemberian kortikosteroid yang
agresif. Jika terjadi reepitelisasi, makan penggunaan kortikosteroid dapat di

18
tapering off. Pemberian steroid topikal yang agresif seperti prednisolone
asetat atau pospat 1% setiap jam, siklopegik, dan antibiotik profilaksis dapat
ditambahkan. Jika reepitelisasi tidak terjadi dalam waktu 2-3 hari, maka
penggunaan steroid dapat dinaikan setiap setengah jam. Apabila terjadi
perbaikan, maka dosis steroid dapat diturunkan sampai beberapa bulan.
Pemberian prednisone oral dengan dosis 60-100 mg dapat dipikirkan apabila
dengan steroid topikal tidak efektif seteah diberikan selama 7-10 hari.
Penggunaan soft contact lens dan patching pada mata yang terlibat sangat
bermanfaat untuk menghindari trauma pada saat mata berkedip. 7
Reseksi konjungtiva diperlukan apabila ulkus bertambah luas
meskipun telah diberi steroid, dapat dilakukan reseksi konjungtiva dengan
anestesi topikal atau subkonjungtiva. Eksisi konjungtiva dengan bare sclera ,
diperluas minimal 2 mm di antara ulkus perifer dan 4 mm posterior ke
korneosklera limbus sejajar dengan ulkus. Reseksi yang multipel mungkin
diperlukan karena diperkirakan konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus
mengandung sel-sel inflamasi yang dapat menghasilkan antibodi terhadap
kornea dan sitokin, yang dapat memperbesar peradangan dan sel-sel
inflamasi.11,12 Berdasar penelitian yang telah dilakukan, 8 dari 10 mata
memberikan hasil yang baik dengan eksisi limbal konjungtiva disekitar ulkus
yang progresif. Reseksi konjungtiva dan termokoagulasi juga dapat
memperbaiki daerah ulkus, namun dapat terjadi kekambuhan dengan ankga
kekambuhan mencapai 50%.7
Pada kasus mooren ulcer bilateral atau progresif yang gagal dengan
terapi steroid dan konjungtiva reseksi memerlukan terapi imunosupresif
kemoterapi. Penggunaan imunosupresif sistemik seperti kortikosteroid,
siklofosfamid (2mg/kgBB/hari), metotrexat (7,5-15 mg/ minggu),
azathioprine (2mg/kgBB/hr) dan topikal siklosforin A (0,05%) menunjukan
hasil yang cukup baik.7
Jika pengobatan dengan steroid topikal, reseksi konjungtiva, dan
imunosupresi sistemik gagal, maka prosedur bedah tambahan dapat

19
dipikirkan. Prosedur yang dapat digunakan seperti penggunaan tissue
adhesive, lensa kontak bandage, keratoplasty penetrasi atau lamellar, dan
patch grafts atau flap konjungtiva. Perforasi kecil dapat ditangani dengan
tisuue adhesive, lensa kontak bandage atau transplantasi membrane amnion.
Jika perforasi lebih besar, maka dapat dilakukan penetrating keratoplasty.
Tatalaksana alternatif lainnya untuk untuk ulkus kornea adalah impending
perforation atau perforasi kecil adalah dengan transplantasi membrane
amnion, untuk rekonstruksi permukaan kornea, stroma dan keduanya.7 Perlu
diperatikan bahwa prognosis partial penetrating keratoplasty pada mooren
ulcer yang mengalami inflamasi akut adalah jelek. Oleh karena itu,
transplantasi membrane amion efektif untuk ulkus kornea dengan perforasi
ataupun ulkus yang dalam.7
Follow up dilakukan pada hari ke 5 setelah 4 hari mata diperban tekan,
dan diberi obat kortikosteroid serta antibiotik topikal, fungsi nya untuk
melihat apakah telah terjadi reepitelisasi.7
Dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan bahwa mooren ulcer dapat
menimbulkan perforasi kornea, descemetokel, dan prolapse iris. Tujuan
jangka pendek dalam menangani perforasi kornea dan dan descemetokel
adalah untuk menutupi defek perforasi segera, mempertahankan bentuk
kornea, dan menghentikan penyebab perforasi serta mengurangi kerusakan
lebih lanjut dari segmen anterior mata.7
Apabila mooren ulcer tidak di tatalaksana dengan baik, maka dapat
menyebabkan hilangnya pengelihatan dan destruksi kornea akibat
progresivitas pembentukan pembuluh darah baru, merubah opasifikasi kornea.

2.2.9. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini yaitu perforasi kornea,
prolapse iris, hilangnya pengelihatan, astigmatisme ireguler, bahkan sampai
hilangnya mata.

20
2.2.10. Prognosis
Prognosis mooren ulcer ditentukan berdasarkan tipe penyakit, serta
pengobatan yang adekuat. Pada tipe I, bersifat lebih ringan dan unilateral,
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan tipe II yang
biasanya bilateral, dan sangat progresif. Apabila telah terjadi gangguan visus,
maka prognosis lebih buruk, karena biasanya pada kasus ini terlambat
dilakukan penatalaksanaan sehingga telah terjadi komplikasi.

21
BAB III
KESIMPULAN

Mooren ulcer merupakan keratitis ulseratif yang jarang terjadi, yang dimulai
dari perifer, yaitu daerah limbus dan berlangsung melingkar atau terpusat. Etiologi
penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun dari penelitian yang ada saat ini
diperkirakan bahwa penyakit ini yang disebabkan proses autoimun yang dipicu oleh
berbagai faktor seperti yaitu operasi, trauma, dan infeksi sistemik dan lokal pada
individu yang rentan secara genetis.
Manifestasi klinis yang utama dirasakan penderita yaitu nyeri, selain itu keluhan
lainnya seperti mata merah, fotofobia, berair, dan dapat ditemukan penurunan visus.
Pada pemeriksaan fisik, nilai kondisi dari kepala trunkus, persendian, ekstremitas,
dan lesi kulit. Pemeriksaan oftalmik lengkap harus dilakukan dengan difokuskan ke
konjungtiva, sklera, kornea, pemeriksaan segmen anterior, segmen posterior juga
penting. Ulkus kornea akan memberikan kekeruhan berwarna putih pada kornea
dengan defek epitel yang bira diberi pewarnaan flueresein akan berwarna hijau.
Pemeriksaan dengan slit lamp memperlihatkan lesi destruktif dari stroma kornea yang
terkait dengan defek epitel, infiltrat kuning putih stroma, dan berbagai tingkat
penipisan stromal kornea (minimal sampai ketebalan penuh) bersebelahan dengan
limbus. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan adanya penyakit
vascular kolagen, infeksi, malignansi, dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan
adanya oklusi dan iskemik. Mooren ulcer dapat ditegakan bila tidak ditemukan
adanya penyakit sistemik yang mendasarinya.
Terapi yang diberikan berupa medikamentosa yaitu steroid topikal yang agresif,
obat imunosupresan sistemik, sampai tindakan pembedahan seperti reseksi
konjungtiva, keratoplasty, dan transplantasi membrane amnion.
Prognosis mooren ulcer ditentukan berdasarkan tipe penyakit, serta pengobatan
yang adekuat. Tipe I, unilateral memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan tipe II yang biasa terjadi bilateral, progresif, dan resisten dengan pengobatan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Cantor LB., Rapuano CJ and Ciofi GA.Diagnosis and Management of


Immune-Related Disorders of the External Eye. In External Disease and
Cornea. Section 8. American Academy of Ophthalmology. San Francisco.
2014-2015. P199-201.
2. Ilyas SH dan Sri, RY. 2012. Ulkus Mooren, Dalam: Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI, hal. 63
3. Forrester JV., Dick AD., McMenamin PG.,et al. Anatomy of the Eye and
Robit. In The Eye Basic Science and Practice 4th Edition. UK: Elsevier.
2016.p14.
4. Cantor LB., Rapuano CJ and Ciofi GA. Structure and Function of the External
Eye and Cornea In External Disease and Cornea. Section 8. American
Academy of Ophthalmology. San Francisco. 2014-2015. p6-10
5. Biswell Roderick. Cornea. In: Riordan-Eva P, Whitaker JP, editors. Vaughan
& Asbury’s general ophthalmology 16lh ed San Fransisco:McGraw-Hill; 2007,
52-57.
6. Guindolet D, Reynaud C, Clavel G, et al. Management of Severe and
Refractory Mooren′s Ulcer with Rituximab. British Journal of Ophtalmology.
2017.p1-6.
7. Matur A., Ashar J., and Sangwan V. Mooren′s Ulcer in Children. British
Journal of Ophtalmology. 2012. P1-5.
8. Putri LW., Vitresia H., Sukmawati G. Case Report Management for
perforated Mooren Ulcer. OphtalmolIna 41(2). 2015. P124-130.
9. Yu-Keh EN., Peripheral Ulcerative Keratitis. 2016. 1-10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1195980-differential
10. Foster S. Mooren ulcer. In: Smolin and Thoft’s. The Cornea. Scientific
Foundation and Clinical Practice. Fourth edition. Lippicott Williams &
Wilkins.2005.p.55-556

23

Anda mungkin juga menyukai