Anda di halaman 1dari 9

Sejarah perkeretaapian di Indonesia dimulai ketika pencangkulan pertama jalur kereta

api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jendral


Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele tanggal 17 Juni 1864. Pembangunan
dilaksanakan oleh perusahaan swasta Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM)
menggunakan lebar sepur 1435 mm.

Suasana kesibukan pembangunan jaur kereta api Semarang-Tanggung. (Sumber: Koleksi


Album NISM)

Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api negara
melalui Staatssporwegen (SS) pada tanggal 8 April 1875. Rute pertama SS meliputi
Surabaya-Pasuruan-Malang. Keberhasilan NISM dan SS mendorong investor swasta
membangun jalur kereta api seperti Semarang Joana Stoomtram
Maatschappij (SJS), Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), Serajoedal
Stoomtram Maatschappij (SDS), Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS), Pasoeroean
Stoomtram Maatschappij (Ps.SM), Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM), Probolinggo
Stoomtram Maatschappij (Pb.SM), Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM), Malang
Stoomtram Maatschappij (MS), Madoera Stoomtram Maatschappij (Mad.SM), Deli
Spoorweg Maatschappij (DSM).

Jalur kereta api Surabaya-Pasuruan sepanjang 63 km menjadi jalur kereta api pertama milik
perusahaan Negara Staatssporwegen (SS). (Sumber: media-kitlv.nl)

Selain di Jawa, pembangunan jalur kereta api dilaksanakan di Aceh (1876), Sumatera
Utara (1889), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), dan Sulawesi (1922).
Sementara itu di Kalimantan, Bali, dan Lombok hanya dilakukan studi mengenai
kemungkinan pemasangan jalan rel, belum sampai tahap pembangunan. Sampai akhir tahun
1928, panjang jalan kereta api dan trem di Indonesia mencapai 7.464 km dengan perincian rel
milik pemerintah sepanjang 4.089 km dan swasta sepanjang 3.375 km.
Staatssporwegen meresmikan jalur trem pertama di Sulawesi. Jalur yang menghubungkan
Pasarbutung-Takalar sejauh 12 km.

Pada tahun 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Semenjak itu, perkeretaapian Indonesia diambil alih Jepang dan berubah nama menjadi
Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api). Selama penguasaan Jepang, operasional kereta api
hanya diutamakan untuk kepentingan perang. Salah satu pembangunan di era Jepang adalah
lintas Saketi-Bayah dan Muaro-Pekanbaru untuk pengangkutan hasil tambang batu bara guna
menjalankan mesin-mesin perang mereka. Namun, Jepang juga melakukan pembongkaran rel
sepanjang 473 km yang diangkut ke Burma untuk pembangunan kereta api disana.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945,


beberapa hari kemudian dilakukan pengambilalihan stasiun dan kantor pusat kereta api yang
dikuasai Jepang. Puncaknya adalah pengambil alihan Kantor Pusat Kereta Api Bandung
tanggal 28 September 1945 (kini diperingati sebagai Hari Kereta Api Indonesia). Hal ini
sekaligus menandai berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI).
Ketika Belanda kembali ke Indonesia tahun 1946, Belanda membentuk kembali
perkeretaapian di Indonesia bernama Staatssporwegen/Verenigde Spoorwegbedrif (SS/VS),
gabungan SS dan seluruh perusahaan kereta api swasta (kecuali DSM).

Berdasarkan perjanjian damai Konfrensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949,


dilaksanakan pengambilalihan aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan dalam
bentuk penggabungan antara DKARI dan SS/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) tahun
1950. Pada tanggal 25 Mei DKA berganti menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).
Pada tahun tersebut mulai diperkenalkan juga lambang Wahana Daya Pertiwi yang
mencerminkan transformasi Perkeretaapian Indonesia sebagai sarana transportasi andalan
guna mewujudkan kesejahteraan bangsa tanah air. Selanjutnya pemerintah mengubah struktur
PNKA menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) tahun 1971. Dalam rangka
meningkatkan pelayanan jasa angkutan, PJKA berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum
Kereta Api (Perumka) tahun 1991. Perumka berubah menjadi Perseroan Terbatas, PT. Kereta
Api (Persero) tahun 1998. Pada tahun 2011 nama perusahaan PT. Kereta Api (Persero)
berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan meluncurkan logo baru.

Logo Perusahaan dari masa ke masa. (Sumber: Lokomotif & Kereta Rel Diesel, Hartono)
Saat ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero) memiliki tujuh anak perusahaan yakni PT
Reska Multi Usaha (2003), PT Railink (2006), PT Kereta Api Indonesia Commuter
Jabodetabek (2008), PT Kereta Api Pariwisata (2009), PT Kereta Api Logistik (2009), PT
Kereta Api Properti Manajemen (2009), PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (2015).

Perkembangan di luar Jawa

Selain di Jawa, pembangunan rel KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatra


Utara (1886), Sumatra Barat (1891), Sumatra Selatan (1914), bahkan
tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 Km antara Makasar-
Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang-
Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat
dibangun, studi jalan KA Pontianak - Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian juga di
pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA.

Jaringan rel

Jaringan setelah tahun 1875 hingga tahun 1888

Pembangunan Tahap I terjadi tahun 1876-1888. Awal pembangunan rel adalah 1876,
berupa jaringan pertama di Hindia Belanda, antara Tanggung dan Gudang di Semarang pada
tahun 1876, sepanjang 26 km. Setelah itu mulai dibangun lintas Semarang - Gudang. Pada
tahun 1880 dibangun lintas Batavia (Jakarta) - Buitenzorg (Bogor) sepanjang 59 km,
kemudian dilanjutkan ke Cicalengka melalui Cicurug - Sukabumi - Cibeber - Cianjur -
Bandung. Pada tahun 1877 dibangun lintas Kediri - Blitar, dan digabungkan dengan lintas
Surabaya - Cilacap lewat Kertosono - Madiun - Solo, dan juga lintas Jogya - Magelang.

Hingga tahun 1888 jaringan rel terbangun adalah:

 Batavia - Buittenzorg - Sukabumi - Bandung - Cicalengka


 Batavia - Tanjung Priok dan Batavia - Bekasi
 Cilacap - Kutoarjo - Yogya - Solo - Madiun - Sidoarjo - Surabaya
 Kertosono - Kediri - Blitar
 Sidoarjo - Malang dan Bangil - Pasuruan - Probolinggo
 Solo - Purwodadi - Semarang dan Semarang - Rembang
 Tegal - Balapulang

Jaringan setelah tahun 1889 hingga tahun 1899

Hingga tahun 1899 jaringan rel terbangun adalah:

 Djogdja - Tjilatjap
 Soerabaja - Pasoeroean - Malang
 Madioen - Solo
 Sidoardjo - Modjokerto
 Modjokerto - Kertosono
 Kertosono - Blitar
 Kertosono - Madioen - Solo
 Buitenzorg (Bogor) - Tjitjalengka
 Batavia - Rangkasbitung
 Bekasi - Krawang
 Cicalengka - Cibatu (Garut) - Tasikmalaya - Maos - Banjarnegara
 Cirebon - Semarang dan Semarang - Blora
 Yogya - Magelang
 Blitar - Malang dan Krian - Surabaya
 Sebagian jalur Madura

Jaringan setelah tahun 1899 hingga tahun 1913

Hingga tahun 1913 jaringan rel terbangun adalah:

 Rangkasbitung - Labuan dan Rangkasbitung - Anyer


 Krawang - Cirebon dan Cikampek - Bandung
 Pasuruan - Banyuwangi
 Seluruh jaringan Madura
 Blora - Bojonegoro - Surabaya
Jaringan setelah tahun 1913 hingga tahun 1925

Hingga tahun 1925 jaringan rel terbangun adalah:

 Sisa jalur Pulau Jawa


 Elektrifikasi Jatinegara - Tanjung Priok
 Elektrifikasi Batavia - Bogor:
 Sumatra Selatan: Panjang - Palembang dan
 Sumatra Barat: sekitar Sawahlunto dan Padang
 Sumatra Utara: Tanjung Balai - Medan - Pematangsiantar; dan Medan - Belawan -
Pangkalansusu.
 Sulawesi: Makasar - Takalar dan rencana Makasar - Maros - Sinkang
 Sulawesi Utara: rencana Manado - Amurang
 Kalimantan: rencana Banjarmasin - Amuntai; dan rencana Pontianak - Sambas.
 Untuk Kalimantan dan Sulawesi tidak terlaksana karena baru akan dimulai dibangun
tahun 1941 dan Perang Dunia II meletus.

Jaringan kereta listrik Batavia - Buitenzorg 1918

Stasiun Bogor (Buitenzorg) dibangun tahun 1880 pada waktu membuat lintas
Buitenzorg - Soekaboemi - Tjiandjoer - Tjitjalengka. Namun jaringan kereta listrik hanya ada
di Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor) yang dibangun tahun 1918, kemudian tahun 1925
jaringan listrik juga dibuat ke Meester Cornelis (Jatinegara) ke Tandjoeng Priok.

Berbagai lokomotif uap di Indonesia

Artikel utama: Daftar lokomotif di Indonesia § Lokomotif uap

Di Indonesia pernah ada lokomotif uap dari berbagai jenis, antara lain:

 Tipe B
 Tipe BB
 Tipe C
 Tipe CC
 Tipe D
 Tipe DD
 Tipe F
Sebagian lokomotif uap yang pernah ada di Indonesia tersebut di atas (seri B, C, BB, CC,
DD, D dan F) telah dipajang di Museum Kereta Api Ambarawa dan Museum Transportasi
Taman Mini Indonesia Indah. Sebagian di antaranya sudah tidak diketahui lagi
keberadaannya karena tersisa fotonya saja.[4]

Jenis kereta 1876-1925

Kereta penumpang adalah sarana untuk mengangkut penumpang, sedangkan untuk


mengangkut barang disebut gerbong sedangkan untuk mengangkut barang cair
disebut ketel.[5][6] Sejak dahulu, kereta dibuat secara lokal, dengan sasis dan
rangka baja sedangkan bodi dibuat dari kayu. Pada waktu itu belum ada pendingin udara,
sehingga kelas kereta dibedakan jenis kursi dan jumlah kursi per kereta. Kelas 1 terdapat 3
tempat duduk per baris, kelas 2 terdapat 4 tempat duduk per baris dan kelas 3 terdapat 5
tempat duduk per baris. Sehingga tiap kereta kelas 3 terdapat 60-72 tempat duduk, sedangkan
tiap kereta kelas 2 terdapat 24-32 tempat duduk dan kelas 1 terdapat 12 tempat duduk.
Biasanya kelas 1 dan kelas 2 menjadi satu, sedangkan kelas 3 tersendiri. Namun kelas 1,
kelas 2, dan kelas 3 dirangkai dalam satu rangkaian.

Perkembangan dan Pemeliharaan

Sebagai salah satu model transportasi massal yang dipakai oleh jutaan masyarakat,
perkembangan perkeretaapian di Indonesia tak lepas dari sorotan dan kelemahan. Faktor yang
sering menjadi perhatian saat ini adalah tingkat kecelakaan yang masih relatif tinggi baik
gerbong yang anjlok, tabrakan antara kereta api dengan kereta api, tabrakan antara kereta api
dengan kendaraan lain, adanya banjir/longsor dan masalah lain yang sering dihadapi oleh
pengguna Kereta Api. Penyebab utama dari problematika ini dapat dilihat pada sarana dan
pemeliharaan rel yang tidak merata sehingga mengakibatkan berbagai masalah. Pada tahun
2009, tercatat 255 orang menjadi korban kecelakaan kereta api baik luka ataupun
tewas.[21] Sekitar 60 % kecelakaan kereta api terjadi di perlintasan kereta api, yang umumnya
tak memiliki palang pintu bahkan tak berpenjaga.[22] Sebanyak 2.923 palang pintu perlintasan
kereta api yang tersebar di pulau Jawa, tercatat sekitar 1.192 tidak dijaga petugas.[23] Artinya
40% perlintasan luput dari pengawasan pihak PT KAI yang bertanggung jawab penuh
menjamin keamanan dan keselamatan lalu lintas sebagaimana tercantum dalam UU Nomor
23 Tahun 2007 pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan pasal 124 yang telah disahkan oleh
legislatif.

Anda mungkin juga menyukai