GAGAL NAFAS
Pembimbing :
Disusun oleh:
1765050230
2019
1
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
GAGAL NAPAS
Dokter Pembimbing
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Hj. PN
No. RM : 23-18-40
Umur : 86 tahun
Tanggal Lahir : 6 Juni 1933
Alamat : Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Status pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal masuk IGD : 12 November 2019
III.Pemeriksaan Fisik
Primary Survey
A : Clear
B : RR 28x/ menit
C : N 100x/ menit
D : GCS 15 (E4M6V5)
Secondary Survey
a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6)
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 104/68 mmHg, MAP 77 mmHg
2) Nadi : 88x/menit, isi cukup, reguler
3) RR : 28 x/menit
4) Suhu : 39 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : normochepal
Rambut : sebagian berwarna putih, tidak mudah dicabut,
2) Mata
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak
langsung (+/+)
4
3) Telinga
Otore : (-/-)
Deformitas : (-/-)
Nyeri tekan : (-/-)
Discharge : (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung : (-)
Deformitas : (-/-)
Discharge : (-/-)
Rinorhea : (-/-)
Epistaksis : (-/-)
5) Mulut
Bibir sianosis : (-)
Bibir kering : (-)
Lidah kotor : (-)
Gusi berdarah : (-)
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : 5+2 cmH2O
7) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri anterior
vocal fremitus kanan = kiri posterior
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan kanan anterior.
Sonor pada lapang paru kiri dan kanan posterior.
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (+/+), Ronki(+/+)
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS
5
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
Inspeksi : perut tampak datar
Auskultasi : bising usus (+) 5x/menit
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar/Lien : tidak teraba perbesaran
9) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Superior Ekstremitas
Inferior
Darah Lengkap
Hb : 9.5 g/dl N: 11.7 – 15.5 gr/dl
Hematokrit : 31 % N : 35 % - 47 %
Leukosit : 12.0 x 10^3 /ul (H) N : 3.6 – 11/ul
Trombosit : 249.000/ul N: 150.000 - 440.000/ul
Eritrosit : 3.02 juta/ul (L) N : 3.80 - 5,20 juta/ul
MCV : 103 fL (H) N : 80 - 100 fL
MCH : 31 pg N : 26 - 34 pg
MCHC : 31 g/dl (L) N : 32 – 36 gr/dl
V. DIAGNOSIS
Gagal napas tipe 2 on Ventilator
Pneumonia
PPOK eksaserbasi akut
Hiperkalemia
Syok sepsis
AKI dd CKD
7
VI. PENATALAKSANAAN
Igd:
o Saturasi 87-90% oksigenasi dengan Non-Rebreathing mask 8-10 lpm
o Foto thorax
o Ngt dan folley catheter
o RL 500 ml/12 jam
o inhalasi combivent 1 respul / 3x selang 20 menit
o inj. Methylprednisolon 62.5 mg
o inj. omeprazole iv 40mg
o inj. ceftriaxone iv 2 gram nacl 100ml (skin test terlebih dahulu)
Post inhalasi pertama:
o saturasi 98-99% oksigenasi dengan Nasal kanul 2 lpm + inhalasi Pulmicort
8
o Aminofilin bolus 2 x BB dalam ns 30 cc drip 30 menit maintenance 0.5 x bb
x 12 dalam ns 500 ml/12 jam
o cek sputum gram
VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad malam
- Ad sanationum : Dubia ad malam
- Ad fungsionum : Dubia ad malam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pertukaran gas antara lingkungan dan pembuluh darah kapiler paru merupakan
respirasi eksterna. Unit fungsional paru terdiri dari alveolus dengan anyaman kapilernya.
(ventilasi) dan pasokan darah ke kapiler paru (perfusi). Hukum Henry menyebutkan
bahwa ketika larutan terpapar dengan gas atmosfer, kesetimbangan parsial gas mengikuti
antara molekul gas terlarut dalam larutan dan molekul gas di atmosfer. Konsekuensinya,
tekanan parsial O2 dan CO2 yang meninggalkan kapiler paru (darah vena paru) adalah
sama dengan tekanan parsial O2 dan CO2 yang masuk ke alveoli setelah tercapai
kesetimbangan. Pada keadaan setimbang, tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari
udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 pada udara
ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah yang memperfusi
alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh darah kapiler paru dipengaruhi
(metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb yang lebih rendah terdapat dalam darah yang
diperfusi ke kapiler paru sebagai akibat cardiac output yang rendah dan atau peningkatan
10
metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang tinggi di alveoli dan kesetimbangan tekanan
parsial O2 yang rendah. Dengan cara yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi
darah paru juga akan meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini
kadang kurang begitu penting. Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih lanjut
dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam pembuluh kapiler paru. Seperti telah
dinamik antara CO2 yang diangkut ke dalam alveolus dan CO2 yang keluar dari alveolus.
Jumlah dan tekanan parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan meningkatnya
metabolism jaringan dan dengan adanya cardiac output yang rendah (CO2 yang
dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam jumlah yang sedikit dalam darah vena). 1
Ventilasi dan perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam distribusi
ventilasi dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah pulmoner adalah
cardiac output, tekanan arteri pulmonalis, gravitasi, postur dan interaksi tekanan arteri
pulmonalis dengan tekanan jalan nafas dan tekanan vena pulmonalis. Secara umum,
perfusi lebih banyak di basal paru dibanding dengan di apeks dan perbedaan ini
meningkat dengan penurunan cardiac output, hipotensi dan dengan aplikasi pemberian
inspirasi. Pada umumnya volume alveolar lebih besar di daerah apeks dibanding dengan
daerah basal dan ventilasi lebih banyak di daerah apeks dari pada di basal. Secara teori,
pertukaran gas yang paling efesien akan terjadi jika perbandingan (match) yang sempurna
antara ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O2 dan CO2
yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh kapiler yang melewatinya,
dalam salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (1) Unit normal dimana ventilasi dan
perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space dimana alveolus terventilasi normal tetapi
tidak ada aliran darah pada kapiler.; (3) Unit shunting dimana alveolus tidak terventilasi
tetapi ada aliran darah normal melalui kapiler; dan (4) Unit silent dimana alveoli tidak
terventilasi dan tidak ada perfusi juga. Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q)
utamanya disebabkan oleh karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai
Paru-paru terdiri dari jutaan alveoli dengan anyaman kapilernya. Pada keadaan
sehat dan sakit hubungan ventilasi-perfusi dapat berada dalam berbagai kombinasi.
Pendek kata, tekanan parsial O2 dan CO2 dalam pembuluh darah arteri secara nyata
mencerminkan jumlah total dari efek semua faktor yang telah diuraikankan dimuka 1
Tekanan parsial O2 dan CO2 pada tiap alveolus ditentukan oleh rasio ventilasi-
perfusi (VA/Q) pada alveolus tersebut. Ketika rasio ventilasi-perfusi turun, tekanan
parsial O2 turun dan tekanan parsial CO2 meningkat pada pembuluh darah yang
keadaan/proses patologis yang mengenai jalan nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah
paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi dan akan menyebabkan
12
Derajat kegagalan pertukaran gas tergantung pada nilai ventilasi-perfusi dan bentuk
distribusinya. Sangat penting disadari bahwa hipoksemia dan hiperkapnea berasal dari
yang tinggi tidak mempunyai pengaruh yang buruk pada tekanan gas darah arteri, namun
akan meningkatkan jumlah ventilasi yang sia-sia (efek dead space). Bagian paru dengan
yang tinggi pada pembuluh vena pulmonalis, tetapi bagian paru dengan ventilasi-perfusi
rendah dan tinggi tersebut tidak saling menyeimbangkan satu dengan lainnya karena 2
alasan berikut: 1) Area dengan ventilasi-perfusi yang rendah umumnya menerima lebih
banyak aliran darah dari pada area dengan ventilasi-perfusi tinggi, 2) karena kurva
disosiasi haemoglobin tidak linier sehingga tekanan parsial O2 yang lebih tinggi pada
pembuluh darah di daerah ventilasi-perfusi tinggi tidak berarti bahwa secara proposional
akan meningkatkan saturasi haemoglobin dan O2 content dan oleh karena itu hanya
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alveoli yang mengalami perfusi tanpa
ventilasi merupakan suatu unit shunting (gambar. 1 C) darah vena lewat unit ini tanpa
mengalami perubahan. Ini merupakan shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri dan
perfusi mismatch biasanya tidak menyebabkan peningkatan tekanan parsial CO2 karena
parsial CO2 dalam range normal. Namun, peningkatan tekanan parsial CO2 akan terjadi
jika peningkatan ventilasi terbatas oleh karena depresi respirasi, disability neuromuskuler
13
atau WOB (work of breathing) yang berlebihan. 1
pulmoner
venous yang memperfusi kapiler paru adalah 75%. Saturasi haemoglobin yang rendah
tidak mempengaruhi oksigenasi dalam alveoli jika ada ventilasi yang adekuat. Namun,
tekanan parsial yang rendah (haemoglobin dengan saturasi yang rendah akan melepas
parsial dialveolus), kedua, efek dari unit shunting akan meluas akibat saturasi darah vena
yang rendah, dan ketiga, penurunan arterial O2 content selanjutnya akan menyebabkan
penurunan suplai O2 ke jaringan, jika konsumsi O2 jaringan tetap tidak berubah. Jadi
jelas bahwa adanya cardiac output yang rendah akan menyebabkan efek ventilasi perfusi
diperkirakan dari beberapa pengukuran yang berdasarkan persamaan gas alveolar ideal
Dimana PB adalah tekanan barometer, PH2O merupakan tekanan uap air dalam alveoli,
R adalah respiratory quotient, and PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteri.
Cara pengukuran yang berbeda yang biasa digunakan dalam praktek klinik untuk
CvO2)
Dimana Qva adalah venous admixture, Qt adalah cardiac output; Cc’O2, CaO2,
dan CvO2 adalah masing-masing kandungan O2 dalam pembuluh kapiler yang ideal
kandungan O2 dalam arteri dan kandungan O2 dalam mixed venous blood. Perhitungan
3. Pengaruh dead space, yaitu volume udara inspirasi yang tidak ikut dalam pertukaran
gas.
PaCO2 dan PECO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteria dan mixed exhaled gas.
Sayangnya, kegunaan klinik dari ketiga pengukuran tersebut sangat terbatas karena
adanya fakta bahwa semua dipengaruhi baik perubahan menit ventilasi maupun cardiac
15
2. 2 DEFINISI GAGAL NAFAS AKUT
Gagal nafas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan gagal
mempertahankan fungsi utamanya yaitu pertukaran gas, di mana PaO2 lebih rendah dari
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe.
Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah
inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh
kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru
(dipengaruhi metabolism jaringan dan cardiac output); (5) difusi melalui membrane
alveolar; dan (6) ventilation-perfusion matching. Gagal nafas tipe I ditandai dengan
tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh
intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2
arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2
16
Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:
1. Hipoventilasi
membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas tipe
II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive,
mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan
kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal
nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal
(PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2,
oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah. 1
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas
admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe
17
I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III. 1
adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac output dan ventilasi
semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer yang berlokasi di arkus aorta
Tujuan utama sistem respirasi adalah untuk pertukaran gas (hubungan kardiopulmoner)
di dalam parenkim paru. Jalan nafas menyediakan saluran lewatnya udara dari lingkungan ke
paru-paru, sistem neuromuskuler meyakinkan bahwa ventilasi dan parenkim paru menyediakan
hubungan antara ventilasi dan perfusi. Sehatnya parenkim paru dan jalan nafas menentukan
work of breathing (WOB) pada sistem neuromuskuler; peningkatan WOB akibat penyakit paru
dan jalan nafas dapat menekan dan memicu kegagalan sistem neuromuskuler. Pemburukan
fungsi paru pada pasien kritis dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya jalan nafas, parenkim
paru, interaksi kardiopulmoner dan sistem neuromuskuler. Penilaian fungsi paru sangatlah
penting untuk (1) memutuskan apakah bantuan ventilasi diindikasikan, (2) penilaian respon
terapi, (3) mengoptimalkan manajemen ventilator, dan (4) untuk memutuskan penyapihan dari
ventilator. 1
Penilaian klinis terhadap sistem respirasi sering berfokus pada penemuan auskultasi,
namun pertimbangan informasi dapat diperoleh dari inspeksi yang teliti dan pemeriksaan pola
pernafasan. Adanya wheezing, krepitasi, meningkatnya laju respirasi, retraksi interkostal dan
suprasternal, penggunaan otot bantu pernafasan, dan pergerakan paradoksal dinding dada
mengindikasikan peningkatan WOB. Terdapat berbagai tes untuk menilai komponen yang
berbeda. Pengukuran resistensi jalan nafas dan komplien paru memberikan evaluasi WOB
18
berdasarkan komponen neuromuskuler sedangkan penilaian fungsi pusat respirasi dan
Pengukuran tekanan penutupan jalan nafas (airway occlusion pressure /AOP) pada 0.1 detik
Tekanan penutupan diukur secara temporer dan diam-diam menutup jalan nafas selama
awal inspirasi dan mengukur perubahan tekanan jalan nafas setelah 0.1 detik sebelum pasien
bereaksi terhadap penutupan tersebut. Meskipun nilai AOP (Airway Occlution Pressure) 0.1
menggambarkan tekanan negatif, tetapi biasanya dilaporkan dalam unit tekanan positif, yang
pada orang normal selama pernafasan istirahat adalah 0.93 ± 0.48(SD) cm H2O. Nilai AOP 0.1
yang tinggi selama gagal nafas akut mengindikasikan peningkatan respiratory drive dan
neuromuscular activity dan jika menetap, mungkin akan menyebabkan kelemahan otot-otot
inspirasi. Ventilator modern menyediakan fasilitas pengukuran resistensi jalan nafas, komplien
Kekuatan otot dinilai dengan mengukur tekanan maksimum inspirasi dan ekspirasi
(Pimax and Pemax,) yang dihasilkan akibat penutupan jalan nafas. Pengukuran ini dapat
diperoleh dengan aneroid manometer. Kekuatan maksimal yang dapat dihasilkan oleh otot
ini dilakukan pada volume residual (Pimax) atau kapasitas paru total (total lung capacity
(Pemax)). Pimax dan Pemax pada dewasa sehat kira-kira masing-masing 111±34 dan 151±68
cm H2O. Nilainya cenderung turun dengan umur dan lebih rendah pada wanita. 1
Pada pasien rawat jalan dengan penyakit neuromuskuler tetapi tidak mempunyai
penyakit paru, hiperkapnea lebih mudah berkembang saat Pimax menurun 1/3 dari nilai yang
diperkirakan. Sistem respirasi berjalan terus menerus dan untuk mempertahankan ventilasi,
otot-otot respirasi harus mempunyai ketahan tanpa cepat lelah. Beberapa teknik seperti
19
pengukuran tekanan transdiafragma, stimulasi nervus frenicus dan penentuan indeks tekanan-
waktu digunakan untuk mendeteksi adanya suatu kelemahan otot. Ultrasonografi diafragma
telah ditemukan untuk membantu menilai fungsi diafragma. Caranya dengan menilai
perubahan ketebalan diafragma selama inspirasi dan dengan mudah dapat mengenali adanya
kelemahan diafragma. 1
Kapasitas vital/Vital capacity (VC) merupakan satu-satunya volume paru yang sering
diukur di ICU. Pada penelitian pasien dengan GBS (Guillain Barre syndrome), pengukuran VC
ditemukan sebagai prediktor gagal nafas beberapa jam sebelum dilakukan intubasi dan turunya
A. Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi): Adult respiratory distress syndrome
(ARDS), Asthma, Oedem Pulmo, Chronic obstructive pulmonary disease (COPD), Fibrosis
o Kelainan yang mengenai central ventilatory drive : Infark atau perdarahan batang otak,
C. Penyebab gagal nafas tipe 3 tersering : Adult respiratory distress syndrome (ARDS),
1
Asthma, Chronic obstructive pulmonary disease.
20
2.5 PATOGENESIS GAGAL NAFAS
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas akut merupakan hal yang sangat penting di
dalam hal penatalaksanaannya. Secara umum terdapat empat dasar mekanisme gangguan pertukaran
1. Hipoventilasi
Sesuai dengan patofisiologinya gagal nafas akut dapat dibedakan kedalam 2 bentuk yaitu:
hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia atau kegagalan oksigenasi. Gagal nafas pada
umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2, disertai dengan
penurunan pH yang abnormal, penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri
Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ektrapulmoner dan
ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan intrapulmoner atau terjadi kedua-duanya secara
bersamaan. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya
penurunan aliran udara antara atmosfer dengan paru tanpa kelainan pertukaran gas di parenkim paru.
Dengan demikian akan didapatkan peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal.
Kegagalan ventilasi pada penderita penyakit paru terjadi sebagai berikut : sebagian alve5oli mengalami
penurunan ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan ventilasi
relative terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat dikompesasi dengan daerah
terventilai tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan PaCO2. Tetapi apabila ketidakseimbangan ventilasi
21
ini sudah semakin beratnya maka mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan
ventilasi yang ditandai oleh peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-a) DO2 yang
bermakna.3 Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun, PaO2 adalah
menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe ini terjadi pada kelainan pulmoner dan
dan pintasan darah kanan-kiri, sedangkan gangguan difusi dapat merupakan gangguan penyerta. 3
Indikator gagal nafas frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal
ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
“kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi
2.6 DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis atau tanda gagal nafas akut dapat memberikan gambaran hipoksemiam
hiperkapnia ataupun keduanya. Dan disertai gejala dari penyakit yang mendasarinya. Sesak
merupakan gejala yang sering muncul. Penurunan status mental adalah gejala akibat hipoksemia
maupun hiperkapnia. Pasien mungkin mengalami disorientasi. Pada hiperkapnia pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma. Sakit kepala sering tedapat pada gagal
napas hiperkapnia. Patogenesis dari sakit kepala adalah dilatasi pembuluh darah cerebral akibat
peningkatan PCO2. 6 Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada sistem saraf
pusat (confusion, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular (aritmia, hipotensi, atau hipertensi), sistem
respirasi (disapnue, takipnue). Gejala hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan perubahan status
mental. Bila terdapat asidosis respiratori yang berat, dapat terjadi depresi miokard yang mengakibatkan
Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang mendasarinya. misalnya batuk dan
sputum pada pneumonia, nyeri dada pada tromboemboli pulmoner dengan infark. Pada gagal napas
yang dicetuskan karena adanya edema pulmoner kardiogenik, terdapat riwayat disfungsi ventrikel kiri
22
atau gangguan katup. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, nyeri dada akut, paroksismal nocturnal
dispnu, dan ortopnu mengarahkan pada kecurigaan edema pulmoner kardiogenik. Edema
nonkardiogenik (ARDS) dapat timbul pada kasus sepsis, trauma, pneumonia, pancreatitis, toksisitas
B. Pemeriksaan Fisik 4
- Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus paradoksus dapat menandakan
- Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau vasodilatasi cerebral · Pada
- Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran mukosa. Sianosis dapat
diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai
5 g/dL.
- Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli kimia akibat hipoksemia atau
23
hiperkapnia
- Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas. Mioklonus dan kejang dapat
terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
- Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik. Hipoksemia alveolar yang disebabkan
C. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran gas darah arteri pada semua pasien yang sakit parah atau yang dicurigai gagal napas
perlu dilakukan. Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk
membantu dalam perbedaan antara bentuk akut dan kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan
Hitung darah lengkap ( CBC ) dapat menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi terhadap
kronis. 1,4
Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk etiologi kegagalan
pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi yang terkait dengan kegagalan pernafasan.
Kelainan pada elektrolit seperti kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk kegagalan
Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu mengecualikan infark
miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat creatine kinase meningkat dengan tingkat troponin I
yang normal dapat menunjukkan myositis, yang kadangkadang dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum thyroid- stimulating hormone ( TSH )
harus diukur untuk mengevaluasi kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan
pernapasan. 4
Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin dilakukan tetapi kadang kadang
berguna. Tes fungsi paru jika memungkinkan, dapat membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus
D. Kriteria Diagnosis
- Acute Respiratory failure: PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
range
force
25
Terapi -Close Intubation-
monitoring tracheotomy
-Fisioterapi ventilation
dada
-Oksigenasi
Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus
oksigenasi dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien tidak
jatuh ke tahap gagal nafas. Kesemuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang
paling penting adalah mengetahu6i keseluruhan keadaan pasien dan mencegah agar
2.7 TATALAKSANA
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan
3. Fisioterapi dada
26
- Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi
akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan
tidak terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas. 1
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien
dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika
tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
27
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask
menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK
dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi
1
abnormal
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat
pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas
alami. 1
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan
respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya
resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi
ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik. 1,3
28
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah sebagai berikut 3
a. Secara Fisiologis:
b. Secara Klinis:
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor
lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut
ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau keadaan klinis
yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah
29
ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah
diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat
memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam
maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator)
jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama,
usia, dan jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan
pasien kanker kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %.
Sebagian penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi
pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan napas
mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator
(IPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan
Non Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan
dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat
tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat
terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat 3,5
- Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain
untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas
dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak
tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-
tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-
30
kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator. 4
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika
diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek
samping sacara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi.
Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga
empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih
besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi
kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek
kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan
iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan
- Antikolinergik/parasimpatolitik
parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas
tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien
dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan
agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose
inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi,
Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP),
translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti
inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah
- Kortikosteroid
pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah
pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal
napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis
non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning. 3
Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik sputum pada
pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan
volume dan menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan
bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan
langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit (3-5ml) NaCl 0,9 %,
salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan
(suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak. 3
32
B. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD
sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-
366p.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/.
Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.
Denpasar. Pp 42-49.
34