Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT ILMU ANASTESI

GAGAL NAFAS

Pembimbing :

DR. dr. Dyah Y, Sp.An KNA-KNIC.

Disusun oleh:

Mutiara Nindya Sari

1765050230

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI

PERIODE 04 NOVEMBER – 07 DESEMBER 2019

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
GAGAL NAPAS

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Di Departemen Ilmu


Anastesiologi Dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Telah disetujui, dan dipresentasikan


Pada tanggal: November 2019

Dokter Pembimbing

dr. Diah , Sp.An

2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Hj. PN
No. RM : 23-18-40
Umur : 86 tahun
Tanggal Lahir : 6 Juni 1933
Alamat : Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Status pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal masuk IGD : 12 November 2019

II. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)


Keluhan Utama: sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dirasakan setiap saat, dan tidak dipengaruhi dengan perpindahan posisi. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna kehijauan, dengan konsistensi kental, namun tidak
ada darah sejak 7 hari yang lalu. Pasien juga mengalami demam tinggi hingga menggigil sejak
2 hari yang lalu. Selama 2 hari belakangan, pasien hanya tirah baring akibat rasa sesaknya yang
makin memberat. Keluhan mual muntah disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri dada disangkal
oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Alergi makanan & obat disangkal
 Asma (+)
 Penyakit jantung (+) terkontrol dengan amlodipin 1x5 mg, tonicard 1x1, spironolakton
1x25 mg, candesartan 1x8 mg.
 Diabetes, penyakit paru disangkal
 Penyakit hepar & ginja disangkal
3
 Stroke, trauma dan operasi sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Diabetes dan hipertensi disangkal
 Asma dan riwayat alergi disangkal

III.Pemeriksaan Fisik
Primary Survey
A : Clear
B : RR 28x/ menit
C : N 100x/ menit
D : GCS 15 (E4M6V5)
Secondary Survey
a. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6)
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 104/68 mmHg, MAP 77 mmHg
2) Nadi : 88x/menit, isi cukup, reguler
3) RR : 28 x/menit
4) Suhu : 39 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : normochepal
Rambut : sebagian berwarna putih, tidak mudah dicabut,
2) Mata
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak
langsung (+/+)

4
3) Telinga
Otore : (-/-)
Deformitas : (-/-)
Nyeri tekan : (-/-)
Discharge : (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung : (-)
Deformitas : (-/-)
Discharge : (-/-)
Rinorhea : (-/-)
Epistaksis : (-/-)
5) Mulut
Bibir sianosis : (-)
Bibir kering : (-)
Lidah kotor : (-)
Gusi berdarah : (-)
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : 5+2 cmH2O
7) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri anterior
vocal fremitus kanan = kiri posterior
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan kanan anterior.
Sonor pada lapang paru kiri dan kanan posterior.
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (+/+), Ronki(+/+)
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS
5
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)

8) Abdomen
Inspeksi : perut tampak datar
Auskultasi : bising usus (+) 5x/menit
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar/Lien : tidak teraba perbesaran

9) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Superior Ekstremitas
Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra


Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (12/11/2019)
AGD
pH : 7.25 (L) N : 7.37-7.45
pCO2 : 55.4 (H) mmHg N : 33.0-44.0
pO2 : 97.4 mmHg N : 71.0-104.0
HCO3 : 24.2 mmol/L N : 22.0-29.0
6
SO2 : 95.6% N : 94.0-100.0
BE : -2.7 mmol/L N : -2 - +3
TCO2 : 25.9 mmol/L N : 23.0 – 27.0
Suhu : 36.9

Darah Lengkap
Hb : 9.5 g/dl N: 11.7 – 15.5 gr/dl
Hematokrit : 31 % N : 35 % - 47 %
Leukosit : 12.0 x 10^3 /ul (H) N : 3.6 – 11/ul
Trombosit : 249.000/ul N: 150.000 - 440.000/ul
Eritrosit : 3.02 juta/ul (L) N : 3.80 - 5,20 juta/ul
MCV : 103 fL (H) N : 80 - 100 fL
MCH : 31 pg N : 26 - 34 pg
MCHC : 31 g/dl (L) N : 32 – 36 gr/dl

GDS : 147 mg/dL N: 70 – 180


Ureum : 105 mg/dL (H) N: <48
Kreatinin : 2.94 mg/dL (H) N: 0.60 – 1.10
Natrium : 134
Kalium : 6.2
Chlorida : 99

V. DIAGNOSIS
 Gagal napas tipe 2 on Ventilator
 Pneumonia
 PPOK eksaserbasi akut
 Hiperkalemia
 Syok sepsis
 AKI dd CKD

7
VI. PENATALAKSANAAN
 Igd:
o Saturasi 87-90%  oksigenasi dengan Non-Rebreathing mask 8-10 lpm
o Foto thorax
o Ngt dan folley catheter
o RL 500 ml/12 jam
o inhalasi combivent 1 respul / 3x selang 20 menit
o inj. Methylprednisolon 62.5 mg
o inj. omeprazole iv 40mg
o inj. ceftriaxone iv 2 gram nacl 100ml (skin test terlebih dahulu)
Post inhalasi pertama:
o saturasi 98-99%  oksigenasi dengan Nasal kanul 2 lpm + inhalasi Pulmicort

Post inhalasi kedua :


o Saturasi 88-89%  Oksigenasi dengan Non-Rebreathing mask 8 lpm +
Aminofilin bolus 2 x BB (45kg) = 90 mg dalam ns 30 cc drip selama 30 menit
Pukul 13.15 :
o Saturasi 60-70%  Oksigenasi dengan Non-Rebreathing mask 15 lpm 
saturasi 70%, GCS E2V1M5, TD 60/39 mmHg  Pro Intubasi, Challenge test
200 cc, mulai vascon 0.01mcg/kgbb  Pro ICU
 Terapi sementara:
o Rawat ICU
o Diet : Lunak
o IVFD : RL 500 ml / 24 jam
o Terpasang Ventilator dengan mode SimV PC+PS, Fio2 50%, PEEP 5, RR 15,
PC 12, PS 12
o Inhalasi Combivent 1 resp/8 jam, Pulmicort 1 resp/12 jam
o inj. Methylprednisolon 2 x 62.5 mg
o inj. omeprazole iv 1 x 40mg
o Inj. Ceftriakson 1 x 2 gr , skin test terlebih dahulu

8
o Aminofilin bolus 2 x BB dalam ns 30 cc drip 30 menit  maintenance 0.5 x bb
x 12 dalam ns 500 ml/12 jam
o cek sputum gram

VII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad malam
- Ad sanationum : Dubia ad malam
- Ad fungsionum : Dubia ad malam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Respirasi

Pertukaran gas antara lingkungan dan pembuluh darah kapiler paru merupakan

respirasi eksterna. Unit fungsional paru terdiri dari alveolus dengan anyaman kapilernya.

Banyak faktor yang mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli

(ventilasi) dan pasokan darah ke kapiler paru (perfusi). Hukum Henry menyebutkan

bahwa ketika larutan terpapar dengan gas atmosfer, kesetimbangan parsial gas mengikuti

antara molekul gas terlarut dalam larutan dan molekul gas di atmosfer. Konsekuensinya,

tekanan parsial O2 dan CO2 yang meninggalkan kapiler paru (darah vena paru) adalah

sama dengan tekanan parsial O2 dan CO2 yang masuk ke alveoli setelah tercapai

kesetimbangan. Pada keadaan setimbang, tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari

kesetimbangan dinamik antara deliveri O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari alveolus,

dan deliveri CO2 ke alveolus dan CO2 yang dibuang/dikeluarkan. 1

Deliveri O2 ke alveolus berhubungan langsung dengan kecepatan aliran masuk

udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 pada udara

inspirasi; FIO2). Pada umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan

peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari alveolus

ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah yang memperfusi

alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh darah kapiler paru dipengaruhi

oleh pasokan O2 ke jaringan (cardiac output) dan ekstraksi O2 oleh jaringan

(metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb yang lebih rendah terdapat dalam darah yang

diperfusi ke kapiler paru sebagai akibat cardiac output yang rendah dan atau peningkatan

10
metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang tinggi di alveoli dan kesetimbangan tekanan

parsial O2 yang rendah. Dengan cara yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi

darah paru juga akan meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini

kadang kurang begitu penting. Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih lanjut

dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam pembuluh kapiler paru. Seperti telah

disebutkan sebelumnya tekanan parsial CO2 dalam alveolus karena kesetimbangan

dinamik antara CO2 yang diangkut ke dalam alveolus dan CO2 yang keluar dari alveolus.

Jumlah dan tekanan parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan meningkatnya

metabolism jaringan dan dengan adanya cardiac output yang rendah (CO2 yang

dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam jumlah yang sedikit dalam darah vena). 1

Ventilasi dan perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam distribusi

ventilasi dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah pulmoner adalah

cardiac output, tekanan arteri pulmonalis, gravitasi, postur dan interaksi tekanan arteri

pulmonalis dengan tekanan jalan nafas dan tekanan vena pulmonalis. Secara umum,

perfusi lebih banyak di basal paru dibanding dengan di apeks dan perbedaan ini

meningkat dengan penurunan cardiac output, hipotensi dan dengan aplikasi pemberian

ventilasi tekanan positif. Distribusi ventilasi dipengaruhi oleh gradient tekanan

tranpulmoner (TPP=Transpulmonary Pressure) regional dan perubahan TPP selama

inspirasi. Pada umumnya volume alveolar lebih besar di daerah apeks dibanding dengan

daerah basal dan ventilasi lebih banyak di daerah apeks dari pada di basal. Secara teori,

pertukaran gas yang paling efesien akan terjadi jika perbandingan (match) yang sempurna

antara ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O2 dan CO2

yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh kapiler yang melewatinya,

utamanya ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi pada alveolus tersebut. 1


11
Menurut West (1977) dan Nemaa (2003) unit fungsional tersebut dapat berada

dalam salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (1) Unit normal dimana ventilasi dan

perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space dimana alveolus terventilasi normal tetapi

tidak ada aliran darah pada kapiler.; (3) Unit shunting dimana alveolus tidak terventilasi

tetapi ada aliran darah normal melalui kapiler; dan (4) Unit silent dimana alveoli tidak

terventilasi dan tidak ada perfusi juga. Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q)

utamanya disebabkan oleh karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai

dengan unit shunting. 1

Paru-paru terdiri dari jutaan alveoli dengan anyaman kapilernya. Pada keadaan

sehat dan sakit hubungan ventilasi-perfusi dapat berada dalam berbagai kombinasi.

Pendek kata, tekanan parsial O2 dan CO2 dalam pembuluh darah arteri secara nyata

mencerminkan jumlah total dari efek semua faktor yang telah diuraikankan dimuka 1

Pengaruh Ketidakseimbangan antara Ventilasi-Perfusi

Tekanan parsial O2 dan CO2 pada tiap alveolus ditentukan oleh rasio ventilasi-

perfusi (VA/Q) pada alveolus tersebut. Ketika rasio ventilasi-perfusi turun, tekanan

parsial O2 turun dan tekanan parsial CO2 meningkat pada pembuluh darah yang

meninggalkan alveolus dan se sebaliknya jika rasio ventilasi-perfusi meningkat. Setiap

keadaan/proses patologis yang mengenai jalan nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah

paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi dan akan menyebabkan

area dengan rasio ventilasi-perfusi abnormal. 1

12
Derajat kegagalan pertukaran gas tergantung pada nilai ventilasi-perfusi dan bentuk

distribusinya. Sangat penting disadari bahwa hipoksemia dan hiperkapnea berasal dari

daerah yang rasio ventilasi-perfusinya rendah. Bagian/area dengan rasio ventilasi-perfusi

yang tinggi tidak mempunyai pengaruh yang buruk pada tekanan gas darah arteri, namun

akan meningkatkan jumlah ventilasi yang sia-sia (efek dead space). Bagian paru dengan

ventilasi-perfusi rendah menyebabkan tekanan parsial O2 yang rendah di pembuluh vena

pulmonalis. Bagian paru dengan ventilasi-perfusi tinggi menyebabkan tekanan parsial O2

yang tinggi pada pembuluh vena pulmonalis, tetapi bagian paru dengan ventilasi-perfusi

rendah dan tinggi tersebut tidak saling menyeimbangkan satu dengan lainnya karena 2

alasan berikut: 1) Area dengan ventilasi-perfusi yang rendah umumnya menerima lebih

banyak aliran darah dari pada area dengan ventilasi-perfusi tinggi, 2) karena kurva

disosiasi haemoglobin tidak linier sehingga tekanan parsial O2 yang lebih tinggi pada

pembuluh darah di daerah ventilasi-perfusi tinggi tidak berarti bahwa secara proposional

akan meningkatkan saturasi haemoglobin dan O2 content dan oleh karena itu hanya

sedikit O2 tambahan ke pembuluh darah yang meninggalkan area dengan ventilasi-

perfusi tinggi tersebut. 1

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alveoli yang mengalami perfusi tanpa

ventilasi merupakan suatu unit shunting (gambar. 1 C) darah vena lewat unit ini tanpa

mengalami perubahan. Ini merupakan shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri dan

menyebabkan hipoksemia dengan bertambahnya darah vena ke darah arteri. Ventilasi-

perfusi mismatch biasanya tidak menyebabkan peningkatan tekanan parsial CO2 karena

stimuli kemoreseptor meningkatkan menit ventilasi untuk mempertahankan tekanan

parsial CO2 dalam range normal. Namun, peningkatan tekanan parsial CO2 akan terjadi

jika peningkatan ventilasi terbatas oleh karena depresi respirasi, disability neuromuskuler
13
atau WOB (work of breathing) yang berlebihan. 1

Pengaruh saturasi haemoglobin yang rendah dalam pembuluh kapiler (vena)

pulmoner

Cardiac output yang rendah dan peningkatan metabolism jaringan merupakan

penyebab rendahnya saturasi haemoglobin. Saturasi haemoglobin normal dalam mixed

venous yang memperfusi kapiler paru adalah 75%. Saturasi haemoglobin yang rendah

tidak mempengaruhi oksigenasi dalam alveoli jika ada ventilasi yang adekuat. Namun,

ventilation-perfusion mismatch akan terjadi jika cardiac output rendah. Saturasi

haemoglobin yang rendah menyebabkan arterial hipoksemia melalui 3 mekanisme:

pertama, darah yang meninggalkan area dengan ventilasi-perfusi rendah akan

menyebabkan darah mempunyai tekanan parsial O2 yang rendah karena kesetimbangan

tekanan parsial yang rendah (haemoglobin dengan saturasi yang rendah akan melepas

lebih banyak O2 sebelum menjadi tersaturasi, dengan demikian menurunkan tekanan

parsial dialveolus), kedua, efek dari unit shunting akan meluas akibat saturasi darah vena

yang rendah, dan ketiga, penurunan arterial O2 content selanjutnya akan menyebabkan

penurunan suplai O2 ke jaringan, jika konsumsi O2 jaringan tetap tidak berubah. Jadi

jelas bahwa adanya cardiac output yang rendah akan menyebabkan efek ventilasi perfusi

rendah dan adanya area shunting. 1

Evaluasi ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

Berat ringannya ketidakseimbangan ventilation-perfusion mungkin bisa

diperkirakan dari beberapa pengukuran yang berdasarkan persamaan gas alveolar ideal

yang menggambarkan campuran gas alveolar dengan tidak adanya ketidakseimbangan

ventilasi perfusi. Tekanan parsial O2 Alveolar (PAO2) dihitung dari persamaan

modifikasi gas alveolar:


14
PAO2 = (PB – PH2O) FIO2 – PaCO2/R,

Dimana PB adalah tekanan barometer, PH2O merupakan tekanan uap air dalam alveoli,

R adalah respiratory quotient, and PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteri.

Cara pengukuran yang berbeda yang biasa digunakan dalam praktek klinik untuk

mengevaluasi ketidakseimbangan ventilasi perfusi yaitu: 1

1. Perbedaan tekanan parsial O2 alveolar-arterial (PAO2 – PaO2),

2. Pengaruh Venous admixture atau shunting: Qva/Qt = (Cc’O2 – CaO2)/(Cc’O2 –

CvO2)

Dimana Qva adalah venous admixture, Qt adalah cardiac output; Cc’O2, CaO2,

dan CvO2 adalah masing-masing kandungan O2 dalam pembuluh kapiler yang ideal

(darah meninggalkan alveoli dengan matching yang sempurna antara ventilasi-perfusi),

kandungan O2 dalam arteri dan kandungan O2 dalam mixed venous blood. Perhitungan

venous admixture pada 100% tekanan O2 inspirasi (FIO2=1) menghilangkan kontribusi

unit ventilasi-perfusi rendah dan mengukur fraksi shunting sesungguhnya (Qs/Qt).

3. Pengaruh dead space, yaitu volume udara inspirasi yang tidak ikut dalam pertukaran

gas.

Vd/VT = PaCO2 – PECO2/PaCO2

Dimana Vd adalah wasted ventilation; dead space, VT adalah volume tidal,

PaCO2 dan PECO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteria dan mixed exhaled gas.

Sayangnya, kegunaan klinik dari ketiga pengukuran tersebut sangat terbatas karena

adanya fakta bahwa semua dipengaruhi baik perubahan menit ventilasi maupun cardiac

output terpisah dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi . 1

15
2. 2 DEFINISI GAGAL NAFAS AKUT

Gagal nafas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan gagal

mempertahankan fungsi utamanya yaitu pertukaran gas, di mana PaO2 lebih rendah dari

60 mmHg dan / atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg. 2

2. 3 KLASIFIKASI GAGAL NAFAS

Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe.

Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah

gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi. 1

A. Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri)

Tekanan parsial O2 dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas

inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh

kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru

(dipengaruhi metabolism jaringan dan cardiac output); (5) difusi melalui membrane

alveolar; dan (6) ventilation-perfusion matching. Gagal nafas tipe I ditandai dengan

tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh

setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi atau shunting

intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2

arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2

– PaO2, venous admixture dan Vd/VT. 1

16
Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:

o Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli

1. Hipoventilasi

2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi

3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)

o Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)

o Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah)

1. Peningkatan kecepatan metabolisme

2. Penurunan cardiac output

3. Penurunan arterial O2 content

B. Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):

Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang

membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas tipe

II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive,

mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan

kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal

nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal

(PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2,

oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah. 1

C. Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):

Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia

(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas

alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2, venous

admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe
17
I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III. 1

Mekanisme Kompensasi pada Gagal Nafas:

Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk mengenali

adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac output dan ventilasi

semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer yang berlokasi di arkus aorta

dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke otak. 1

Penilaian Fungsi Paru pada pasien Kritis:

Tujuan utama sistem respirasi adalah untuk pertukaran gas (hubungan kardiopulmoner)

di dalam parenkim paru. Jalan nafas menyediakan saluran lewatnya udara dari lingkungan ke

paru-paru, sistem neuromuskuler meyakinkan bahwa ventilasi dan parenkim paru menyediakan

hubungan antara ventilasi dan perfusi. Sehatnya parenkim paru dan jalan nafas menentukan

work of breathing (WOB) pada sistem neuromuskuler; peningkatan WOB akibat penyakit paru

dan jalan nafas dapat menekan dan memicu kegagalan sistem neuromuskuler. Pemburukan

fungsi paru pada pasien kritis dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya jalan nafas, parenkim

paru, interaksi kardiopulmoner dan sistem neuromuskuler. Penilaian fungsi paru sangatlah

penting untuk (1) memutuskan apakah bantuan ventilasi diindikasikan, (2) penilaian respon

terapi, (3) mengoptimalkan manajemen ventilator, dan (4) untuk memutuskan penyapihan dari

ventilator. 1

Penilaian klinis terhadap sistem respirasi sering berfokus pada penemuan auskultasi,

namun pertimbangan informasi dapat diperoleh dari inspeksi yang teliti dan pemeriksaan pola

pernafasan. Adanya wheezing, krepitasi, meningkatnya laju respirasi, retraksi interkostal dan

suprasternal, penggunaan otot bantu pernafasan, dan pergerakan paradoksal dinding dada

mengindikasikan peningkatan WOB. Terdapat berbagai tes untuk menilai komponen yang

berbeda. Pengukuran resistensi jalan nafas dan komplien paru memberikan evaluasi WOB
18
berdasarkan komponen neuromuskuler sedangkan penilaian fungsi pusat respirasi dan

kekuatan otot-otot respirasi memberikan evaluasi terhadap efisiensi komponen neuromuskuler.

Pengukuran tekanan penutupan jalan nafas (airway occlusion pressure /AOP) pada 0.1 detik

menggambarkan hubungan tertutup intensitas dari respiratory neural drive. 1

Tekanan penutupan diukur secara temporer dan diam-diam menutup jalan nafas selama

awal inspirasi dan mengukur perubahan tekanan jalan nafas setelah 0.1 detik sebelum pasien

bereaksi terhadap penutupan tersebut. Meskipun nilai AOP (Airway Occlution Pressure) 0.1

menggambarkan tekanan negatif, tetapi biasanya dilaporkan dalam unit tekanan positif, yang

pada orang normal selama pernafasan istirahat adalah 0.93 ± 0.48(SD) cm H2O. Nilai AOP 0.1

yang tinggi selama gagal nafas akut mengindikasikan peningkatan respiratory drive dan

neuromuscular activity dan jika menetap, mungkin akan menyebabkan kelemahan otot-otot

inspirasi. Ventilator modern menyediakan fasilitas pengukuran resistensi jalan nafas, komplien

paru dan AOP pada pasien on ventilator. 1

Kekuatan otot dinilai dengan mengukur tekanan maksimum inspirasi dan ekspirasi

(Pimax and Pemax,) yang dihasilkan akibat penutupan jalan nafas. Pengukuran ini dapat

diperoleh dengan aneroid manometer. Kekuatan maksimal yang dapat dihasilkan oleh otot

inspirasi dan ekspirasi berhubungan dengan panjang inisiasinya. Konsekuensinya pengukuran

ini dilakukan pada volume residual (Pimax) atau kapasitas paru total (total lung capacity

(Pemax)). Pimax dan Pemax pada dewasa sehat kira-kira masing-masing 111±34 dan 151±68

cm H2O. Nilainya cenderung turun dengan umur dan lebih rendah pada wanita. 1

Pada pasien rawat jalan dengan penyakit neuromuskuler tetapi tidak mempunyai

penyakit paru, hiperkapnea lebih mudah berkembang saat Pimax menurun 1/3 dari nilai yang

diperkirakan. Sistem respirasi berjalan terus menerus dan untuk mempertahankan ventilasi,

otot-otot respirasi harus mempunyai ketahan tanpa cepat lelah. Beberapa teknik seperti
19
pengukuran tekanan transdiafragma, stimulasi nervus frenicus dan penentuan indeks tekanan-

waktu digunakan untuk mendeteksi adanya suatu kelemahan otot. Ultrasonografi diafragma

telah ditemukan untuk membantu menilai fungsi diafragma. Caranya dengan menilai

perubahan ketebalan diafragma selama inspirasi dan dengan mudah dapat mengenali adanya

kelemahan diafragma. 1

Kapasitas vital/Vital capacity (VC) merupakan satu-satunya volume paru yang sering

diukur di ICU. Pada penelitian pasien dengan GBS (Guillain Barre syndrome), pengukuran VC

ditemukan sebagai prediktor gagal nafas beberapa jam sebelum dilakukan intubasi dan turunya

VC <15 ml/kgBB mengindikasikan perlunya dilakukan intubasi. 1

2. 4. ETIOLOGI GAGAL NAFAS

A. Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi): Adult respiratory distress syndrome

(ARDS), Asthma, Oedem Pulmo, Chronic obstructive pulmonary disease (COPD), Fibrosis

interstitial, Pneumonia, Pneumothorax, Emboli Paru, Hipertensi Pulmonal. 1

B. Penyebab gagal nafas tipe II: 1

o Kelainan yang mengenai central ventilatory drive : Infark atau perdarahan batang otak,

Penekanan masa supratentoral pada batang otak, Overdosis obat, narkotik,

Benzodiazepines, agen anestesi, dll.

o Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi: Myasthenia Gravis,

Amyotrophic lateral sclerosis, Gullain-Barrè syndrome, Spinal –Cord injury, Multiple

sclerosis, Paralisis residual (pelumpuh otot).

o Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada: Muscular dystrophy,

Polymyositis, Flail Chest.

C. Penyebab gagal nafas tipe 3 tersering : Adult respiratory distress syndrome (ARDS),
1
Asthma, Chronic obstructive pulmonary disease.

20
2.5 PATOGENESIS GAGAL NAFAS

Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas akut merupakan hal yang sangat penting di

dalam hal penatalaksanaannya. Secara umum terdapat empat dasar mekanisme gangguan pertukaran

gas pada sistem pernafasan yaitu :3

1. Hipoventilasi

2. Ketidakseimbangan ventilasi atau perfusi

3. Pintasan darah kanan ke kiri

4. Gangguan difusi. Kelainan ektrapulmonel menyebabkan hipoventilasi sedangkan kelainan

intrapulmonel dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut. 3

Sesuai dengan patofisiologinya gagal nafas akut dapat dibedakan kedalam 2 bentuk yaitu:

hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia atau kegagalan oksigenasi. Gagal nafas pada

umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2, disertai dengan

penurunan pH yang abnormal, penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri

(A-a)DO2 meningkat atau normal. 1,3

Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ektrapulmoner dan

ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan intrapulmoner atau terjadi kedua-duanya secara

bersamaan. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya

penurunan aliran udara antara atmosfer dengan paru tanpa kelainan pertukaran gas di parenkim paru.

Dengan demikian akan didapatkan peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal.

Kegagalan ventilasi pada penderita penyakit paru terjadi sebagai berikut : sebagian alve5oli mengalami

penurunan ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan ventilasi

relative terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat dikompesasi dengan daerah

terventilai tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan PaCO2. Tetapi apabila ketidakseimbangan ventilasi
21
ini sudah semakin beratnya maka mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan

ventilasi yang ditandai oleh peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-a) DO2 yang

bermakna.3 Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun, PaO2 adalah

menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe ini terjadi pada kelainan pulmoner dan

ektrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terjadi akibat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

dan pintasan darah kanan-kiri, sedangkan gangguan difusi dapat merupakan gangguan penyerta. 3

Indikator gagal nafas frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal

ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena

“kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi

(normal 10-20 ml/kg). 3

2.6 DIAGNOSIS

A. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis atau tanda gagal nafas akut dapat memberikan gambaran hipoksemiam

hiperkapnia ataupun keduanya. Dan disertai gejala dari penyakit yang mendasarinya. Sesak

merupakan gejala yang sering muncul. Penurunan status mental adalah gejala akibat hipoksemia

maupun hiperkapnia. Pasien mungkin mengalami disorientasi. Pada hiperkapnia pasien dapat

mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma. Sakit kepala sering tedapat pada gagal

napas hiperkapnia. Patogenesis dari sakit kepala adalah dilatasi pembuluh darah cerebral akibat

peningkatan PCO2. 6 Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada sistem saraf

pusat (confusion, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular (aritmia, hipotensi, atau hipertensi), sistem

respirasi (disapnue, takipnue). Gejala hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan perubahan status

mental. Bila terdapat asidosis respiratori yang berat, dapat terjadi depresi miokard yang mengakibatkan

hipotensi. Hipoksemia dan hiperkapnia dapat memperjelas gejala disapnue.4

Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang mendasarinya. misalnya batuk dan

sputum pada pneumonia, nyeri dada pada tromboemboli pulmoner dengan infark. Pada gagal napas

yang dicetuskan karena adanya edema pulmoner kardiogenik, terdapat riwayat disfungsi ventrikel kiri
22
atau gangguan katup. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, nyeri dada akut, paroksismal nocturnal

dispnu, dan ortopnu mengarahkan pada kecurigaan edema pulmoner kardiogenik. Edema

nonkardiogenik (ARDS) dapat timbul pada kasus sepsis, trauma, pneumonia, pancreatitis, toksisitas

obat ataupun transfusi multipel. 1,4

Tabel 1. Gejala hipoksemia dan hiperkapnia

B. Pemeriksaan Fisik 4

- Takipnue dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik.

- Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus paradoksus dapat menandakan

risiko terjadinya gagal napas.

- Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau vasodilatasi cerebral · Pada

paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang mendasari.

- Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran mukosa. Sianosis dapat

diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai

5 g/dL.

- Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli kimia akibat hipoksemia atau

23
hiperkapnia

- Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas. Mioklonus dan kejang dapat

terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia

- Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik. Hipoksemia alveolar yang disebabkan

oleh hiperkapnia menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran gas darah arteri pada semua pasien yang sakit parah atau yang dicurigai gagal napas

perlu dilakukan. Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk

membantu dalam perbedaan antara bentuk akut dan kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan

pernapasan dan membantu dalam penanganan.

Hitung darah lengkap ( CBC ) dapat menunjukkan anemia, yang dapat berkontribusi terhadap

hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia mungkin menunjukkan kegagalan pernafasan hipoksemia

kronis. 1,4

Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk etiologi kegagalan

pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi yang terkait dengan kegagalan pernafasan.

Kelainan pada elektrolit seperti kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk kegagalan

pernapasan dan fungsi organ lainnya. 4

Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu mengecualikan infark

miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat creatine kinase meningkat dengan tingkat troponin I

yang normal dapat menunjukkan myositis, yang kadangkadang dapat menyebabkan kegagalan

pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum thyroid- stimulating hormone ( TSH )

harus diukur untuk mengevaluasi kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan

pernapasan. 4

Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin dilakukan tetapi kadang kadang

berguna. Tes fungsi paru jika memungkinkan, dapat membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus

dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab kardiovaskular sebagai kegagalan pernafasan,


24
tetapi juga dapat mendeteksi disritmia akibat hipoksemia berat atau asidosis. 4

D. Kriteria Diagnosis

Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty), adalah : 5

- Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,

- Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.

Kriteria gagal nafas menurut Petty adalah:

- Acute Respiratory failure: PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2

- Acute Ventilatory Failure: PaCO2 > 50 mmHg

Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan: 5

Yaitu menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan “mechanic of breathing”,

oksigenasi dan ventilasi seperti pada tabel berikut ini.

Acceptable Gawat nafas Gagal nafas

range

Mechanic of -RR 12-15 x/mnt 25-35 >35

breathing -Kapasitas Vital 70-30 ml/kg 30-15 <15

-Inspiratory 100-50 cmH2O 50-25 <25

force

Oksigenasi -AaDO2* 50-200 mmHg 200-350 >350

-PaO2 100-75 mmHg 200-70 <70

(room air) (on mask O2) (on mask O2)

Ventilasi -VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6

-PaCO2 35-45 mmHg 45-60 >60

25
Terapi -Close Intubation-

monitoring tracheotomy

-Fisioterapi ventilation

dada

-Oksigenasi

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus

dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi. Fisioterapi,

oksigenasi dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien tidak

jatuh ke tahap gagal nafas. Kesemuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang

paling penting adalah mengetahu6i keseluruhan keadaan pasien dan mencegah agar

pasien tidak mengalami gagal nafas.

2.7 TATALAKSANA

Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan

kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya. 1,4

A. Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik

Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan

untuk memperbaiki pertukaran gas.

1. Atasi hipoksemia : terapi oksigen

2. Atasi hiperkapnia : perbaiki ventilasi, perbaiki jalan nafas, bantuan ventilasi :

Face mask, ambu bag, ventilasi mekanik

3. Fisioterapi dada

26
- Terapi Oksigen

Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan

PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi

akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan

tidak terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya

kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe. 1

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar

membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan

harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan

menghindari toksisitas. 1

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien

dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika

tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus

diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.

Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. 1

Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem

arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang

digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan

aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak

meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran

menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,

diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan

dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
27
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask

menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk

mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK

dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan

memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing

diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat

mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total

kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini

adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi
1
abnormal

- Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi

Jalan napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat

pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya

obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal

tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas

alami. 1

Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan

respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya

resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi

obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi

ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi

fibreoptik. 1,3

28
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah sebagai berikut 3

a. Secara Fisiologis:

- Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

- PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25

- Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuscular

b. Secara Klinis:

- Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan napas

- Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik

- Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)

- Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien

Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea.

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin

berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor

lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan

positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif) 3

- Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik

Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut

ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan

memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru. Hiperkapnea mencerminkan

adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak

adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2

secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. 1

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau keadaan klinis

yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah
29
ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi

keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah

diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat

mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator harus

dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang ventilator umumnya

memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam

maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator)

jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama,

usia, dan jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan

pasien kanker kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %.

Sebagian penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi

pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan napas

mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator

(IPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan

Non Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan

dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat

tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat

terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat 3,5

- Fisioterapi dada.

Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain

untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas

dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak

tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-

tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-
30
kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator. 4

- Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)

Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika

diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek

samping sacara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi.

Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga

empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih

besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi

kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan

pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,

terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek

kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan

iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan

kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel

sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergic. 3

- Antikolinergik/parasimpatolitik

Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus

parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas

berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis

tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien

dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan

agonis beta adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose

inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi,

dan retensi urin. 3


31
- Teofilin

Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta adrenergik.

Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP),

translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti

inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah

adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang 3

- Kortikosteroid

Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui

pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah

pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal

napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping

kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati

steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis

dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot

non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan

kesulitan weaning. 3

- Ekspektoran dan nukleonik

Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik sputum pada

pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan

volume dan menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan

bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan

langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit (3-5ml) NaCl 0,9 %,

salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan

(suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak. 3
32
B. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik

Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.

Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing

penyakit akan berlainan.

Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD

sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah

penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal

nafas di ICU pada tahap berikutnya.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-

366p.

2. Shebi E, Burns B. Respiratory Failure. StatPearls-NCBI-Bookshelf [Internet]. May

2019. Diakses pada tanggal 30 November 2019 dari

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/.

3. Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care

Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89

4. Murat K, Michael R P. 2012. Respiratory Failure. Available from

http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview. Accessed: 1 Maret 2014

5. Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA and

Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.

6. Mangku G. 2002. Respirasi. In Universitas Kedokteran Fakultas Kedokteran

Laboratorium Anestesiologi dan Reanimasi. Diktat Kumpulan Kuliah Buku I.

Denpasar. Pp 42-49.

34

Anda mungkin juga menyukai