Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

Laporan kasus...................................................................................................................2-8
I. Tinjauan pustaka
Pendahuluan.......................................................................................................9
Definisi...................................................................................................10
Anataomi dan fisiologi sinus paranasal......................................................10-15
Epidemiologi, etiologi, dan faktor predisposisi......................................... 15-16
Patofisiologi.............................................................................................16-17
Gejala klinis..............................................................................................17-18
Diagnosis klinis........................................................................................18-21
Penatalaksanaan....................................................................................21-23
Komplikasi..........................................................................................23-24
Prognosis.....................................................................................................24
II. Kesimpulan.............................................................................................................25
III. Daftar pustaka..................................................................................................26-27

1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Sabtu, 19 September 2015
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO

Nama Mahasiswa : Jordy Tanda Tangan

NIM : 112014223 ......................

Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Erwinantyo Budi K, Sp.THT ......................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. AP Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 38 tahun Agama : Kristen
Pekerjaan : Karyawan swasta Pendidikan : Sarjana
Alamat : Jati Sari Permai Status Menikah : Menikah

ANAMNESIS
Diambil secara auto-anamnesis pada hari Sabtu, 5 September 2015, jam 16.30
Keluhan utama :
Hidung kanan dan kiri tersumbat sejak dua minggu yang lalu
Keluhan tambahan :
Lendir sulit dikeluarkan, kepala pusing dan sakit
Riwayat perjalanan penyakit (RPS) :
Sejak dua minggu yang lalu, hidung kanan dan kiri pasien tersumbat. Hidung
tersumbat tidak secara bergantian. Pasien menjadi sulit bernapas lewat hidung. Lendir sulit
dikeluarkan dari hidung pasien. Lendir pasien dengan konsistensi cair, berwarna jernih, dan
tidak ada darah. Lendir tidak berbau. Pasien merasakan lendirnya turun dari hidung ke
tenggorokan. Pasien pusing dan kepalanya sakit di bagian tengah dahi sampai pangkal
hidung. Tidak ada sakit di kedua pipi pasien. Wajah pasien terasa membengkak dan seperti
tertekan. Pasien tidak ada demam dan tidak ada gangguan penciuman. Tidak ada riwayat
sakit gigi dan sakit telinga pada pasien. Keluhan hidung tersumbat sudah dirasakan pasien
sejak 6 bulan yang lalu, namun semakin lama semakin memburuk.

2
Pasien sering pilek berulang, batuk-batuk, dan tenggorokan terasa gatal. Hidung
pasien juga tersumbat, terkadang disertai dengan gatal-gatal dan mata berair. Keluhan
tersebut muncul ketika pasien terkena debu atau dingin. Pasien memiliki riwayat alergi
terhadap debu dan dingin sejak kecil. Tidak ada nyeri tenggorokan dan nyeri menelan pada
pasien. Pasien selalu minum obat apabila timbul gejala-gejala tersebut, tetapi apabila obatnya
sudah habis dan terkena debu atau dingin lagi, maka akan kambuh.
Pasien pernah operasi polip dan sinus sebelah kanan tahun 2011. Tidak ada riwayat
asma, darah tinggi, dan kencing manis pada pasien. Tidak ada riwayat alergi obat-obatan
pada pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :
- Riwayat operasi polip dan sinus kanan tahun 2011
- Riwayat alergi terhadap debu dan dingin, pasien pilek berulang, batuk, dan kadang
hidung gatal-gatal, sejak kecil
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) :
- Riwayat asma pada kakak

PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal Pemeriksaan : 5 September 2015
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,60C
Status Lokalis Kepala dan Leher
Kepala : Normosefali
Wajah : Simetris
Leher : Tidak ada perbesaran KGB

TELINGA
DEXTRA SINISTRA
Auricula Bentuk normal, benjolan (-), Bentuk normal, benjolan (-),

3
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Tragus pain (-), fistula (-), Tragus pain (-), fistula (-),
Preauricula
abses (-) abses (-)
Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
Retroauricula
hiperemis (-) hiperemis (-)
Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
Mastoid
hiperemis (-) hiperemis (-)
Discharge (-), serumen (-), Discharge (-), serumen (-),
CAE hiperemis (-), edema (-), hiperemis (-), edema (-),
corpus alienum (-) corpus alienum (-)
Membran Timpani
 Perforasi (-) (-)
 Cone of light (+) (+)
 Warna Putih abu-abu Putih abu-abu

TES PENALA
DEXTRA SINISTRA
Rinne Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Weber Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Swabach Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Penala yang dipakai Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan

HIDUNG
DEXTRA SINISTRA
Nyeri tekan :
 Pangkal hidung (+) (+)
 Pipi (-) (-)
 Dahi (+) (+)
Bentuk Normal Normal
Sekret (+), encer, jernih (+), encer, jernih
Cavum nasi Sempit Sempit
Mukosa Edema, pucat Edema, pucat
Massa, perdarahan, krusta (-) (-)

4
Konka inferior Livid (+), hipertrofi (+) Livid (+), hipertrofi (+)
Septum nasi Deviasi (+) Deviasi (-)

NASOPHARNYX
 Koana : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Tuba eustachius : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Post nasal drip : (+)

PEMERIKSAAN TRANSLUMINASI
 Sinus frontalis kanan, grade : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Sinus frontalis kiri, grade : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Sinus maksilaris kanan, grade : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Sinus maksilaris kiri, grade : Tidak dilakukan pemeriksaan
TENGGOROK
 Orofaring :
- Oral : Baik, terawat, halitosis (-)
- Mukosa bukal : Tidak hiperemis, ulkus (-)
- Gigi : Tidak ditemukan karang maupun karies gigi, tidak ada gigi
berlubang
- Lidah 2/3 anterior : Merah muda
- Arkus faring : Simetris
- Palatum : Tidak hiperemis, edema (-)

 Tonsil
DEXTRA SINISTRA
Ukuran T1 T1
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Permukaan Rata Rata
Detritus (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)

5
Hiperemis (-) (-)

 Laring
- Epiglotis : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Plica aryepglotis : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Arytenoids : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Ventricular band : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pita suara : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Rima gloditis : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Cincin, trakea : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Sinus piriformis : Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Prick test (tidak dilakukan)
 Endoskopi THT (sudah dilakukan)
 CT Scan sinus paranasalis tanpa kontras:
- Tampak jelas ada penebalan mukosa sinus maksilaris kanan kiri
- Tidak tampak air fluid level
- Tampak jelas juga ada kesuraman dalam sinus etmoidalis kiri
- Sel etmoid kanan tak jelas, ada defek pada dinding medial sinus maksilaris kanan,
pasca operasi polip kanan?
- Atap etmoid sesuai dengan klasifikasi KEROS II
- Sinus sfenoid kanan kiri tampak juga ada kesuraman
- Arteria karotis kanan kiri tak menonjol ke dalam sinus sfenoidalis
- Sinus frontalis tenang
- Konka nasalis tampak menebal
- Tak tampak pneumatisasi konka
- Tampak ada deviasi septum nasi ke kanan
- KOM kanan tampak obliterasi
Kesan:
- Gambaran pansinusitis
- Pasca operasi sinus lama
- Deviasi ringan septum nasi ke kanan
- Obliterasi KOM kanan
6
RESUME
Dari anamnesis didapatkan keluhan:
Seorang perempuan usia 38 tahun datang dengan keluhan hidung kanan dan kiri
tersumbat sejak 2 minggu yang lalu. Lendir sulit dikeluarkan dengan konsistensi cair, jernih,
dan tidak ada darah. Pasien merasakan lendirnya turun dari hidung ke tenggorokan. Pasien
pusing dan kepalanya sakit di bagian tengah dahi sampai pangkal hidung. Wajah pasien
terasa membengkak dan seperti tertekan. Keluhan hidung tersumbat sudah dirasakan pasien
sejak 6 bulan yang lalu, namun semakin lama semakin memburuk. Pasien sering pilek
berulang, batuk-batuk, dan tenggorokan terasa gatal. Hidung pasien juga tersumbat,
terkadang disertai gata-gatal dan mata berair. Keluhan tersebut muncul ketika pasien kontak
dengan debu atau dingin. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap debu dan dingin sejak
kecil. Pasien pernah operasi polip dan sinus sebelah kanan tahun 2011.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
Pemeriksaan telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan nyeri
tekan pada dahi dan pangkla hidung. Terdapat sekret dengan konsistensi cair, jernih, dan
tidak ada darah pada kedua rongga hidung. Kedua cavum nasi juga sempit, disertai dengan
edema mukosa dan pucat. Ada hipertrofi konka inferior dan livid pada kedua rongga hidung.
Terdapat deviasi septum nasi ke kanan. Pemeriksaan nasofaring didapatkan post nasal drip.
Pada pemeriksaan CT Scan SPN tanpa kontras didapatkan kesan gambaran pansinusitis,
pasca operasi sinus lama, deviasi ringan septum nasi ke kanan, dan obliterasi KOM kanan.

WORKING DIAGNOSIS
Rinosinusitis kronik (gambaran pansinusitis) tanpa polip nasi ec rinitis alergika + deviasi
ringan septum nasi ke kanan

DIAGNOSA BANDING
 Viral rhinitis
 Polip nasi
 Sinus neoplasma

PENATALAKSANAAN
I. Operatif: FESS
II. Non Operatif

7
i. Medika mentosa:
o R/ Amoxicillin caps No XXX
S3dd1
o R/ Fluticasone furoat nasal spray fl No II
S1dd spray II, selama 1 minggu
o R/ Cetirizine tab No X
S1dd1
o R/ Ambroksol tab No XV
S3dd1
ii. Non medika mentosa:
o Kontrol THT
o Hindari kontak dengan debu dan dingin
o Menggunakan masker
o Hindari makan dan minuman dingin, makan makanan yang bergizi dan
bervitamin

PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

8
I. TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi,
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung.1
Sinusitis merupakan peradangan pada sinus, sedangkan rinitis adalah peradangan pada
selaput lendir hidung. Adanya suatu hubungan yang dekat antara rongga sinus dengan saluran
hidung serta kesamaan epitelnya, maka sering menyebabkan keterlibatan antara kedua
struktur tersebut.2
Rinosinusitis adalah istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami
peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.3,4
Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang lebih
diterima adalah rinosinusitis. Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan
kronik.3 Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu,
subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.1,5,6

Gambar 1. Sinus Paranasal7

9
Definisi
Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS tahun 2007
yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua
belas minggu atau lebih, disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu
hidung (nasal blockage / obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior
nasal drip):3,8
± nyeri fasial / pressure
± penurunan / hilangnya daya penciuman
dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain:
- Endoskopik, dimana terdapat: polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius.
- CT – scan: perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal.
Disertai dengan gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata gatal, dan berair.
Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat dibedakan lagi
menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi. EP3OS 2007
menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer sedangkan polip nasi
merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.2,8

Anatomi Sinus Paranasal


Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun.1

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksilla
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus
adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan
10
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superiorm dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klnik, yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

- Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan
P2, M1 dan M2, kadang-kadang C, dan M3. Akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis.
- Sinusitis dapat menimbulkan komplikasi orbita.
- Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
tergantung dari gerak silia. Drainase harus melalui infndibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang serta alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.
- Vaskularisasi: cabang dari a.maksilaris interna memperdarahai sinus ini, termasuk
juga infraorbital (yang berjalan dengan n.infraorbital), cabang lateral dari
sfenopalatina, palatina mayor, v.axilaris, dan v.jugularis dural sinus.
- Inervasi oleh cabang V2 yaitu n.palatina mayor dan cabang dari n.infraorbital.1,9

Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal, mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun, dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri bisanya tidak simetris, satu lebih besar dari yang lain,
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak pada garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%, sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekak-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen merupakan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.1,9

11
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di anterior, 1,5
cm di posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, terletak di antara media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letak sinusnya, sinus
etmoid dibagi menjadi anterior dan posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
meghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya,
dan terletak di posterior dari lamina basalis.1,9
Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit yaitu resesus frontal,
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang besar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid disebut fovea
etmoidalis, berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.1,9

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak di os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi oleh dua sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tinggi,
dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai identasi pada dinding sinus sfenoid. Batas superior
terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak
sebagai identasi), dan di posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior dan pons.1,9

12
Kompleks Ostio-Meatal (KOM)
KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus
frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari
sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus terkait.1

Gambar 2. Sinus Paranasal dan KOM6

Fisiologi Sinus Paranasal


Sampai saat ini, belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan
sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:1
1. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembapan udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
2. Penahan suhu (thermal insulators)

13
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi, kenyatannya sinus-
sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi, ada yang berpendapat posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Lagi pula, tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah.
5. Peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi, karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya, mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding
lateral hidung terdapat dua aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di
depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung
di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada
sekret di rongga hidung.1

14
Tabel 1. Perkembangan Sinus Paranasal9

Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4 %
penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka waktu 12
bulan.10 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi rinosinusitis kronik pada
penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16%, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk
dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.3,10,11 Dengan demikian rinosinusitis kronik
menjadi salah satu penyakit kronik yang paling populer di AS melebihi penyakit asma,
penyakit jantung, diabetes, dan sefalgia.4,11 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya
peningkatan jumlah kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta
pertahun antara tahun 1989 dan 1992.12 Dari Kanada, tahun 2003 diperoleh angka prevalensi
rinosinusitis kronik sekitar 5%, dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 berbanding 4
(lebih tinggi pada kelompok wanita).3,10 Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen
THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50% penderita sinusitis
kronik.13 Dampak yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain
aspek kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.3,10,11

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks otio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagener, dan di luar negri adalah fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid
merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
15
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-
lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1
Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
Tabel 2. Faktor Etiologi Rinosinusitis Kronik4

Patofisiologi
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal, baik dari
segi viskositas, volume, dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk
mempertahankan drainase dan aerasi.14,15

Gambar 3. Siklus Patologis Rinosinusitis Kronik15

Kompleks ostio-meatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus


anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport

16
mukus dan debris, serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang
sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.15 Organ-organ yang membentuk KOM
letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.1 Namun demikian, kedua faktor
yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu
atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya
kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada
mukosa sinus dan juga mukosa nasal.15
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada
rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab
utama.4,15 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat
multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel.10

Gejala Klinis
Gejala rinosinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip
dengan gejala rinosinusitis akut; namun di luar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh
pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang sering kali mukopurulen. Kadang-kadang
terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala
penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya menonjol. Batuk
kronik dengan laringitis kronik ringan atau faringitis seringkali menyertai sinusitis kronik,
dan gejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter.16
Rinosinusitis kronik berlangsung lebih dari dua belas minggu dan diagnosa
dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil
pada pemeriksaan fisik. Tabel 3 menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan
dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor
mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila
hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi
diferensial diagnosa.12,17

17
Major factors Minor factors
Facial pain, pressure (alone does not constitute a Headache
suggestive history for rhinosinusitis in absence of another Fever
major symptom) (all nonacute)
Facial congestion, fullness Halitosis
Nasal obstruction/blockage Fatigue
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Dental pain
Hyposmia/anosmia Cough
Purulence in nasal cavity on examination Ear pain/pressure/
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone fullness
does not constitute a strongly supportive history for acute
in the absence of another major nasal symptom or sign
Tabel 3. Faktor Mayor dan Minor17

Diagnosis Klinis
Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang dibutuhkan
untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik
seperti ditampilkan pada tabel 4. Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan
radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya.4

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be present)
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
symptoms (as described by swelling on anterior rhinoscopy (with decongestion) or
1996 Task Force) or nasal endoscopy
physical findings 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve
the middle meatus, imaging is required for diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b

Tabel 4. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan
gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.4

Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:3


1) Buntu hidung, kongesti atau sesak

18
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang
menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah
ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi
nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi
mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.3

Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-
gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang
kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi
atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat
penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat,
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.4 Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif
yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:8
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk
menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian
kualitas hidup penderita.
19
Pemeriksaan Fisik18
- Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). Dengan
rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi
septum, tumor, atau polip.
- Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.

Pemeriksaan Penunjang
- Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18
- Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid, dan penampakan mukosa sinus.3,14 Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi
bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik,
endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.18
- Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto
posisi Water, CT-scan, MRI, dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam
menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut
bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon.3,18 Ini mutlak diperlukan
pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.3,4,18
- Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:3,4,18
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi, dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop
elektron, dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik, dan rinostereometri

20
Gambar 4. Algoritma Diagnosa5

Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik,
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rinosinusitis kronik), dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya, yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung. Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain:19,20

21
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi
utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip
nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
b. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan
nutrisi yang cukup

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:23
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
22
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Atresia koanae

Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.1
1. Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
2. Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
23
e) Trombosis sinus kavernosus
4. Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.

Gambar 5. Komplikasi Rinosinusitis Kronik9

Prognosis
Karena sifatnya yang persisten, sinusitis kronik dapat menjadi penyebab morbiditas
yang signifikan. Bila tidak ditangani, sinusitis kronik dapat mengurangi kualitas hidup dan
produktivitas pasien yang terkena. Sinusitis kronik erat kaitannya dengan eksaserbasi asma
dan komplikasi serius seperti abses otak dan meningitis, yang dapat memicu morbiditas dan
mortalitas yang signifikan.22
Perawatan medikamentosa dini dan agresif untuk sinusitis kronik biasanya
memberikan hasil yang memuaskan. FESS dapat mengembalikan kesehatan sinus secara
lengkap atau memulihkan gejala pada 80-90% pasien dengan sinusitis kromik yang tidak
berhasil dengan pengobatan medikamentosa. Sinusitis kronik jarang mengancam nyawa,
walaupun komplikasi serius dapat terjadi karena letaknya yang berdekatan dengan orbita dan
rongga kepala. Sekitar 75% dari semua infeksi orbita berkaitan dengan sinusitis. Komplikasi
intrakranial masih tergolong jarang, dengan 3,7-10% infeksi intrakranial yang berhubungan
dengan sinusitis.22

24
II. KESIMPULAN

Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering didapatkan dan memberikan dampak bagi kualitas hidup
penderita. Patofisiologi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa bersifat
multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat dibedakan menjadi faktor
fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor struktural. Diagnosis ditetapkan berdasarkan
kombinasi kriteria obyektif dan subyektif serta ditunjang oleh pemeriksaan endoskopi nasal
dan CT-scan (bila diperlukan). Modalitas terapi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
orang dewasa dibedakan menjadi terapi medikamentosa dan terapi pembedahan.

25
III. DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, ed. Bukua ajar ilmu kesehatan:
telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h.145-53.
2. AACI. Canadian cilinical practice guidline for acute and chronic rhinosinusitis.
Diakses dari: http://www.aacijournal.com/content/pdf/1710-1492-7-2.pdf, 8
September 2015.
3. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
4. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006;
406-416.
5. AAAI. The diagnosis and management of sinusitis: a practice parameter update.
Diakses dari:
https://www.aaaai.org/Aaaai/media/MediaLibrary/PDF%20Documents/Practice%20a
nd%20Parameters/sinusitis2005.pdf, 8 September 2015.
6. Lalwani AK, ed. Current diagnosis and treatment: otolaryngology-head & neck
surgery. 2nd edition. New York: Mc Graw Hill; 2008.h.273-81.
7. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy. Edisi XV. Munich :
Elsevier; 2011.
8. EP3OS. Euoropean position paper on rhinosinusitis and polyps nasi 2007. Diakses
dari: http://www.ep3os.org/pdf/pocketguide/indonesia.pdf, 8 September 2015.
9. Dhingra PL. Disesases of ear, nose, and throat. 4th edition. London: Elsevier;
2012.p.177-79, 184-90.
10. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to
management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.
11. Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care
expenditure. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis
and medical management. New York: Informa,2007; 15-21.
12. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis and nasal
polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.
13. NN. Sinusitis termasuk penyakit mahal. Waspada Online.2007 Agustus 9.
http://www.waspada.co.id. Accessed at 8 September 2015.
26
14. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical immunology,
2000; 106: 213-226.
15. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis
from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129.
16. Wijaya C, alih bahasa. Boies: buku ajar penyakit tht. Ed ke-6. Jakarta: EGC;
2013.h.206-22.
17. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
18. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis
dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
19. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 59-65.
20. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger
WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton:
BC Decker Inc,2001;155-165.
21. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 67-74.
22. Brook I. Chronic sinusitis. Medscape 2014 Apr 7. Diakses tanggal 8 September 2015.
Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview#a0101.

27

Anda mungkin juga menyukai