Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK THT

EPISTAXIS POSTERIOR

Disusun oleh:
Albert Riantho ( 01073180003)

Penguji:

dr. Michael Lekatompessy, sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE DESEMBER - JANUARI 2019
TANGERANG
DAFTAR PUSTAKA

BAB I ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK ……………………………………………………… 2


Identitas Pasien ………………………………………………………………………………………... 2
1.1 Anamnesis ………………………………………………………………………………………….. 2
1.2 Pemeriksaan Fisik ………………………………………………………………………………. 4
1.3 Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………………………………… 6
1.4 Resume ……………………………………………………………………………………………… 7
1.5 Diagnosis Kerja ……………………………………………………………………………………8
1.6 Diagnosis Banding ……………………………………………………………………………… 8
1.7 Tatalaksana ……………………………………………………………………………………….. 8
1.8 Laporan Operasi ………………………………………………………………………………… 9
1.9 Diagnosis Pasca Operasi …………………………………………………………………….. 9
1.10 Prognosis ………………………………………………………………………………………....9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………………………….10
2.1 Anatomi Hidung ………………………………………………………………………………..10
2.1.1 Vaskularisasi Rongga Hidung ……………………………………………………….....11
2.2 Epistaksis ……………………………………………………………………………………..…..13
2.2.1 Definisi ……………………………………………………………………………..…13
2.2.2 Epidemiologi ………………………………………………………………………..13
2.2.3 Etiologi …………………………………………………………………………..……13
2.2.4 Patofisiologi …………………………………………………………………..…….15
2.2.5 Diagnosis .……………………………………………………………………..……..17
2.2.6 Tatalaksana. ………………………………………………………………..……….19
2.2.7 Komplikasi ………………………………………………………………..………....25
BAB III ANALISA KASUS ………………………………………………………………………………….…26
BAB 1
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Identitas Pasien

 Nama : Tn. JA
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 37 tahun
 Tanggal Lahir : 18 Januari 1981
 Status Pernikahan : Menikah
 Agama : Katholik
 Alamat : Cilegon
 No. Rekam medis : LV.00-84-02-xx
 Tangal masuk : 1 Januari 2019
 Tanggal pemeriksaan : 1 Januari 2019
 Tanggal Keluar RS : 7 Januari 201

1.1 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 1 Januari 2019 pukul
23.45 di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Siloam Lippo Village

a. Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan mimisan sejak 3 jam SMRS.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan mimisan dari lubang hidung sebelah kanan
sejak 3 jam SMRS. Keluhan tersebut muncul secara tiba tiba pada saat pasien
sedang tiduran di ranjang. Pasien mengatakan bahwa awalnya darah yang
keluar menetes, namun semakin lama semakin deras dan tidak berhenti. Pasien
sempat mencoba untuk menghentikan mimisan dengan mengganjal hidungnya
dengan tissue, namun darah tetap keluar. Darah yang keluar berwarna merah
terang disertai gumpalan darah. Darah yang keluar awalnya hanya melalui

2
hidung, namun lama kelamaan pasien merasakan bahwa darah tersebut masuk
hingga ke rongga mulut dan terkadang harus ditelan. Pasien sempat berobat ke
RS Cilegon 1 jam setelah mimisan, kemudian diberikan vit K 10 mg IV dan
mimisan tidak juga berhenti. Tidak ada posisi atau kondisi yang dapat
meringankan atau mengurangi keluarnya darah dari hidung pasien. Kemudian
pasien datang ke IGD LV dan dipasang tampon hidung untuk menghentikan
perdarahan. Tiba tiba pasien hilang kesadaran dan muntah sebanyak  1 Liter,
dengan konten darah bercampur gumpalan disertai sedikit sisa makanan dan
berwarna merah gelap. Setelah muntah pasien mengeluhkan lemas pada
seluruh tubuh, jantung berdebar, pusing, sesak nafas dan kepala terasa ringan.
Pasien menyangkal adanya riwayat trauma, ataupun riwayat mengorek-ngorek
hidung sebelum mimisan terjadi. Pasien mengatakan belum pernah mengalami
kejadian seperti ini sebelumnya.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Sebelumnya pasien memiliki riwayat operasi amandel dan hidung pada
tanggal 5 Desember 2018
 Pasien memiliki riwayat penyakit tekanan darah tinggi dan sedang
tidak minum obat selama 1 bulan
 Pasien mengatakan memiliki gejala OSA , namun belum sempat
melakukan pemeriksaan mengenai keluhan yang berhubungan dengan
diagnosa OSA
 Pasien menyangkal memiliki keluhan mimisan atau mudah berdarah
berulang, pemakaian obat-obatan hidung ataupun pengencer darah

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki gejala serupa dengan pasien.

3
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien tinggal bersama istri dengan kedua anaknya di rumah sendiri.


Pasien tinggal di daerah Cilegon. Pasien tidak merokok dan mengaku
jarang mengkonsumsi minuman beralkohol. Pembiayaan perawatan
pasen selama dirawat dirumah sakit secara pribadi. Status ekonomi
pasien menengah ke atas

1.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 1 Januari 2019


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis ( GCS E4M6V5)

Tanda Vital
Laju nadi : 115 x/ menit
Laju napas : 25x / menit
Tekanan darah : 105/ 75 mm Hg
Suhu : 36 oC
Sp O2 : 100 % ( tanpa oksigen)

Status Generalis

Sistem Deskripsi
Warna sawo matang, lesi (-), perdarahan (-), jaundice (-), petechiae (-),
Kulit
hematoma (-), ekimosis (-), telangiektasis (-),
Kepala Normosefali, rambut hitam keputihan, tersebar merata
Wajah Normofascies, simetris, pucat (+), icterus (-), sianosis (-)

Mata Konjunctiva anemis (+), skelra ikterik (-), ekimosis (-)

Leher Pembesaran KGB (-)

Dada Bentuk normal simetris, retraksi (-)

4
Inspeksi: perkembangan rongga dada saat statis dan dinamis simetris
(+/+), pasien tampak sesak nafas
Palpasi: pengembangan dada simetris kanan dan
Paru-paru kiri Perkusi: tidak dilakukan
Auskultasi: vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing -/-
Iktus kordis tidak terlihat, tidak
teraba Bunyi jantung S1 & S2 reguler
Jantung
Murmur (-), gallop (-)

Inspeksi: bentuk datar, distensi (-), lesi (-), scar


(-) Auskultasi: BU (+) normal 6x/min
Abdomen Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi: supel, hepatomegaly (-), nyeri tekan (-), splenomegali (-)
Massa (-), lesi
Punggung
(-) Deformitas
(-)
Akral dingin, CRT <2
Ekstremitas
detik Edema (-/-)
Aurikula simetris, tidak ada eritema, tidak ada nyeri tekan tragus,
Aurikula tidak ada sikatriks
Meatus Dekstra Liang telinga lapang, tidak ada sekret, serumen minimal
akustikus
eksternus Sinistra Liang telinga lapang, tidak ada sekret, serumen (-)

Dekstra Membran timpani utuh (+), sekret (-)


Membrana
timpani Sinistra Membran timpani utuh (+), sekret (-)

Telinga Tes pendengaran


Dekstra Kesan Normal
Tes bisik Sinistra Kesan Normal
Tes penala
Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan
Dekstra Tidak dilakukan
Tes
Schwabach Sinistra Tidak dilakukan

Simetris, tampak pendarahan keluar dari lubang hidung sebelah


Inspeksi kanan, gumpalan (+), berwarna merah terang, dan terpasang
tampon dengan rembesan darah
Tidak ada nyeri, tidak ada nyeri tekan sinus paranasal. Penekanan pada
Palpasi
hidung memberikan kesan tidak nyaman karena pernafasan terganggu.
Kavum nasi lapang, konka inferior eutrofi, konka media
Hidung Dekstra sulit terlihat, darah (+), gumpalan (+), massa (-)
Rinoskopi
Kavum nasi lapang, konka inferior eutrofi, , konka media
Anterior Sinistra tampak normal, darah (-), massa (-)

5
Rinoskopi
Posterior Tidak dilakukan

Inspeksi Oral hygiene baik, gigi baik, tidak tampak ada pendarahan gusi.

Mulut Faring dan Arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil: T1/T1, massa (-), tampak
tonsil bekas darah pada dinding nasoropharynx

1.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium ( 1/01/2019)

Test Results Unit Reference Ranges


HEMATOLOGY
Hb / Hemoglobin 9. 4 g/dL 13.20 – 17.30
Hematrocrit 31. 2 % 40.000 – 52.00
Erythrocyte 5.15 106/ ul 4.40 – 5.90
WBC 18. 24 103/ ul 3,80-10,60
Differential Count
Basophil 0 % 0-1
Eosinophil 1 % 1–3
Band Neutrophil 3 % 2–6
Segment Neutrophil 73 % 50 -70
Lymphocyte 16 % 25 – 40
Monocyte 7 % 2- 8
Platelet count 366 103/ ul 150.00 – 440.00
ESR 32 mm / hours 0 – 15
MCV 60. 6 fL 80,00-100,00
MCH 18. 30 pg 26,00-34,00
MCHC 30. 10 g/dL 32,00-36,00
PT-APTT
Prothrombin Time
Control 11.7 seconds 9.2 – 12.4
Patient 10.4 seconds 9.4 – 11.3
INR 0.96
A.P.T.T
Control 35. 2 seconds 27.5 – 37.3
Patient 24. 5 seconds 27.7 – 40.20
BIOCHEMISTRY
Ureum 69 mg /dL < 50.00
Creatinine 1.23 mg /dL 0.5 – 1.3
eGFR 74.5 mL/mnt/1.73m2
Uric acid 7.7 mg /dL 3.5 – 7.2
SGOT (AST) 16 U/ L 0 – 40
SGPT (ALT) 22 U/ L 0 – 41

6
Blood Glucose POCT 153 mg /dL < 200
Sodium (Na) 141 mmol/ L 137 – 145
Potasium (K) 4.3 mmol/ L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 104 mmol/ L 98 - 107

EKG ( 1/01/2019)

Kesan : Normal sinus Rhythm

1.4 RESUME

Pasien datang dengan keluhan mimisan dari lubang hidung sebelah kanan sejak 3
jam SMRS. Keluhan tersebut muncul secara tiba tiba pada saat pasien sedang tiduran di
ranjang. Pasien mengatakan bahwa awalnya darah yang keluar menetes, namun semakin
lama semakin deras dan tidak berhenti. Darah yang keluar berwarna merah terang disertai
gumpalan darah. Darah yang keluar awalnya hanya melalui hidung, namun lama
kelamaan pasien merasakan bahwa darah tersebut masuk hingga ke rongga mulut dan
terkadang harus ditelan. Pasien tiba di IGD LV dan dipasang tampon, lalu tiba tiba pasien
tidak sadarkan diri dan muntah sebanyak  1 Liter, dengan konten darah bercampur
gumpalan disertai sedikit sisa makanan dan berwarna merah gelap. Setelah muntah pasien
mengeluhkan lemas pada seluruh tubuh, jantung berdebar, pusing, sesak nafas dan kepala
terasa ringan. Pasien memiliki riwayat operasi amandel dan hidung pada tanggal 5

7
Desember 2018, riwayat tekanan darah tinggi tidak terkontrol, dan riwayat gejala OSA
walaupun belum didiagnosis dengan pasti oleh dokter.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien dalam keadaan umum baik dan
tampak sakit sedang, dengan tanda-tanda vital yang normal kecuali penurunan TD 105/
75 mHg dan Nadi 115x / menit. Pada pemeriksaan status generalis ditemukan bahwa
pasien pucat, sesak nafas, konjungtiva anemis, dan akral dingin. Pemeriksaan kepala dan
telinga dalam batas normal, pemeriksaan hidung menunjukkan adanya pendarahan aktif
dari lubang hidung sebelah kanan, gumpalan (+), dan pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior tidak ditemukan adanya massa. Pada pemeriksaan tenggorok, tampak bekas darah
pada dinding posterior nasooropharynx pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa laboratorium darah rutin, dan
ditemukan adanya anemia dan tanda - tanda inflamasi. Pemeriksaan EKG dalam batas
normal.

1.5 DIAGNOSIS KERJA


Epitaxis posterior ec hipertensi, syok hipovolemik

1.6 DIAGNOSIS BANDING


Epitaxis posterior ec trauma operasi intranasal, ec infeksi , ec idiopathic

1.7 TATALAKSANA
a. Medikamentosa
- Cairan rumatan IVFD Normal saline
- Asam Tranexamat IV 500 mg
- Vit K IV 10 mg
- Gastridin IV 50 mg
- Transfusi PRC 2 kantung
- Tricefin 2x 1g
- Pemasangan kassa tampon lidocaine 2% + Epinephrine pada cavun nasi
sebelah kanan
- Pasien dikonsul ke bagian THT
- Saran pembedahan ligase pembuluh darah

8
b. Bedah
- Tindakan bedah eksplorasi epistaxis posterior dan ligase pembuluh darah
a. Sphenopalatina.

1.8 LAPORAN OPERASI


- Pasien terbaring terlentang dalam anestesi umum
- Dilakukan asepsis dan antisepsis area operasi
- Tampak konka inferior hipotrofi dan tulang konka protusi  mukosa
hidung berdarah
- Insisi C pada daerah foramen Sphenopalatina  a. Sphenopalatina dextra
di cauter dan di reseksi
- Perdarahan dikontrol dengan tampon
- Dipasang surgicell dan spongostan
- Operasi selesai

1.9 DIAGNOSIS PASCA OPERASI


Pasca Ligasi a. Sphenopalatina dextra

1.10 PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Kedua kavum nasi adalah bagian paling atas dari saluran pernapasan dan memiliki
reseptor olfaktori. Hidung adalah rongga berbentuk wedge dengan dasar yang lebih luas
dan apeks yang sempit dan dibentuk terbuka terutama oleh tulang dan tulang rawan.
Kavitas hidung dibatasi oleh:
 Dari satu sama lain oleh septum nasi
 Dari kavitas mulut dibawah oleh palatum durum, dan
 Dari kavitas kranial oleh bagian dari tulang frontal, ethmoid, dan
sphenoid.1

Anatomi hidung dibagi menjadi 2 bagian bersaarkan struktur dan fungsinya, yaitu hidung
bagian luar (external) dan hidung bagian dalam (internal).

Gambar 1. Kavitas hidung. A. Dasar, atap, dan dinding lateral hidung. B. Konka dan
dinding lateral. C. Seksi koronal. D. Saluran udara dari kavitas hidung kanan.(1)

10
2.1.1 Vaskularisasi Rongga Hidung 2,3

Kavum nasi memiliki suplai pembuluh darah yang kaya untuk mengubah
kelembaban dan temperatur dari udara yang masuk. Arteri yang memperdarahi hidung
berasal dari kedua arteri karotis interna dan eksterna.
 Cabang arteri karotis eksterna: arteri sphenopalatina, greater palatine, superior
labial, dan lateral nasal,
 Cabang arteri karotis interna: arteri ethmoidalis anterior dan posterior.

Arteri sphenopalatina
Arteri ini adalah yang terbesar yang memperdarahi kavum nasi, yang merupakan
cabang akhir dari arteri maksilari dari fossa pterygopalatine. Arteri ini meninggalkan
fossa pterygopalatine dan masuk kedalam hidung melalui foramen sphenopalatine dan
menuju dinding lateral dari kavum nasi.

Arteri greater palatine


Cabang akhir dari ateri greater palatine masuk ke aspek anterior dari dasar hidung
melalui kanalis insisivus dari bagian atap rongga mulut. Arteri ini juga berasal dari fossa
pterygopalatina sebagai cabang dari arteri maksilaris. Arteri ini pertama-tama menuju
atap rongga mulut melalui kanalis palatina dan foramen greater palatine menuju aspek
posterior dari palatum, kemudian menuju kedepan pada permukaan bawah palatum, dan
kemudian naik melalui fossa insisivus untuk mencapai dasar dari rongga hidung. Arteri
ini memperdarahi bagian anterior dari dinding medial dan dasar dari kavitas hidung, dan
anastomosis dengan cabang septalis dari arteri sfenopalatina.

Arteri labialis superior dan nasalis lateral


Kedua arteri ini berasal dari arteri fasialis pada bagian depan dari wajah. Arteri
labialis superior dari arteri fasialis dekat dengan ujung lateral dari fissure mulut dan
melalui medial bibir, memperdarahi hidung dan kavitasnya. Cabang alar nya
memperdarahi region sekitar aspek lateral dari lubang hidung dan cabang septal melewati
kavum nasi dan memperdarahi bagian anterior dari septum nasi.
Arteri nasalis lateral berasal dari arteri fasialis berhubungan dengan batas dari
hidung luar dan kontribusi untuk perdarahan terhadap hidung luar. Cabang alar melewati
batas lateral dari rongga hidung dan memperdarahi vestibulum nasi.

11
Ateri ethmoidalis anterior dan posterior
Kedua arteri ini berasal dari arteri opthalmicus yang berasal dari kavitas kranial
sebagai cabang utama dari arteri karotikus interna. Mereka melewati kanal-kanal pada
bagian dinding medial orbit diantara labirin ethmoidalis dan os frontali, memperdarahi
sinus paranasal, dan masuk kedalam kavitas kranial dari lateral dan superior cribriform
plate.
Arteri ethmoidalis posterior turun kedalam rongga hidung melalui cribriform plate
dan memiliki cabang-cabang yang memperdarahi bagian atas dari dinding medial dan
lateral. Sementara arteri ethmoidalis anterior melewati bagian depan dengan bersama
nervus ethmoidalis anterior. Pada sebuah lekukan pada cribriform plate dan masuk ke
rongga hidung turun melalui foramen slit-like segera lateral dari crista galli.
Perdarahan pada rongga hidung memiliki banyak anastomoses pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan bagian anterior pada dinding medial dimana terdapat banyak
anastomoses antar cabang pembuluh darah dari arteri greater palatina, sfenopalatina,
labialis superior dan ethmoidalis anterior, dan dimana pembuluh darah ini dekat dengan
permukaan. Area ini disebut sebagai pleksus Hiesselbach dimana merupakan area yang
sering menyebabkan terjadinya epistaksis pada anak –anak atau remaja.1
Pembuluh darah balik pada hidung pada umumnya mengikuti arteri:
 Vena yang melalui cabang dari arteri maksilaris akan didrainase ke pleksus
pterygoid dari fena pada fossa infratemporal,
 Vena dari region anterior nasi akan bergabung dengan vena fasialis.

Gambar 6. Suplai darah terhadap rongga hidung. A. Dinding lateral dari rongga hidung
kanan. B. Septum (dinding medial dari rongga hidung kanan).

12
2.2 Epistaksis 4

2.2.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari dalam hidung. Hal ini cukup sering dan terlihat
pada seluruh golongan umur. Hal ini sering muncul sebagai emergensi. Epistaksis adalah
tanda dan bukan sebuah penyakit dan perlu selalu ditentukan untuk mencari penyebab
konstitusional atau lokal. Kebanyakan episode epistaksis adalah tidak berkomplikasi,
namun terkadang dapat sulit dikontrol. Epistaksis dibagi menjadi anterior dan posterior
dengan epistaksis anterior lebih sering terjadi dibandingkan dengan posterior.

2.2.2 Epidemiologi
Data menyatakan bahwa walaupun kejadian epistaksis pada dewasa berkisar 60%,
namun hanya 10% atau kurang mendapatkan atensi medis. 4 Epistaksis adalah masalah
umum pada bidang THT yang mengakibatkan pasien datang ke rumah sakit. Epistaksis
memiliki distribusi umur paling sering pada anak-anak sebelum usia 10 tahun, dan pada
dewasa antara 45 – 65 tahun. Diantara pasien yang dirawat terdapat prevalensi laki-laki
lebih tinggi dikarenakan adanya efek protektif dari estrogen pada wanita yang mana
menyebabkan mukosa nasal yang lebih sehat atau menghindari penyakit vaskular secara
umum.5 Faktor iklim telah diteliti memiliki hubungan dengan kejadian epistaksis yaitu
pada musim dingin. Faktor iklim yang juga mempengaruhi insidensi dari epistaksis
adalah infeksi saluran pernapasan atas, rhinitis alergi, dan perubahan mukosa yang
diasosiasikan dengan fluktuasi dari temperatur dan kelembaban udara.

2.2.3 Etiologi

Penyebab dari epistaksis secara umum dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu: (1)
lokal pada hidung atau nasofaring, (2) general, dan (3) idiopatik.
1. Penyebab lokal
Hidung
a. Trauma: trauma kuku, cedera hidung, operasi intranasal, fraktur pada 1/3
tengah wajah dan dasar tengkorak, meniup hidung dengan keras, bersin
yang keras

13
b. Infeksi
i. Akut: rhinitis viral, diphteria nasal, sinusitis akut.
ii. Kronik: rhinitis atrofi, rhinitis sicca, tuberculosis, perforasi septal
sifilis, lesi granulomatosa dari hidung (rhinosporidiosis)
c. Benda asing
i. Benda mati
ii. Benda hidup
d. Neoplasma dari hidung dan sinus paranasalis
i. Jinak: hemangioma, papilloma
ii. Ganas: karsinoma atau sarkoma
e. Perubahan atmosfer: ketinggian tinggi, dekompresi mendadak
f. Deviasi septum nasi

Nasofaring
a. Adenoiditis
b. Juvenile angiofibroma
c. Tumor malignant
2. Penyebab umum
a. Sistem kardiovaskular: hipertensi, arteriosclerosis, mitral stenosis,
kehamilan (hipertensi dan hormonal)
b. Penyakit darah dan pembuluh darah: anemia aplastik, leukemia,
trombositopenia dan purpura vaskular, hemofilia, Christmas disease,
scurvy, defisiensi vit K, dan telangiectasia herediter
c. Penyakit hepar: sirhosis hepatis (defisiensi factor II, VII, IX dan X)
d. Penyakit ginjal: nefritis kronik
e. Kompresi mediastinal: tumor mediastinum anterior (meningkatkan
tekanan vena pada hidung)
f. Infeksi general akut: influenza, measles, varicella, whooping cough,
demam rheumatik, mononukleosis infeksiosa, tifoid, pneumonia, malaria,
dan demam dengue.
g. Menstruasi vicarious: epistaksis terjadi bersamaan dengan menstruasi.
3. Idiopatik

14
2.2.4 Patofisiologi

Hidung adalah bagian tubuh dengan suplai pembuluh darah yang kaya baik dari
sistem carotid eksterna dan interna, pada kedua septum dan dinding lateral.
Pada septum nasi:
 Sistem karotikus interna
o Arteri ethmoidalis anterior
o Arteri ethmoidalis posterior

Keduanya adalah cabang arteri opthalmikus.


 Sistem karotikus eksterna
o Arteri sphenopalatine (cabang arteri maxillaris) memberi cabang
nasopalatine dan posterior medial nasal
o Cabang septalis dari arteri palatina major (cabang arteri maxillaris)
o Cabang septalis dari arteri labialis superior (cabang arteri fasialis)

Pada dinding lateral:


 Sistem karotikus interna
o Ethmoidalis anterior
o Ethmoidalis posterior
 Sistem karotikus eksterna
o Cabang nasalis lateralis posterior  dari arteri sfenopalatina
o Arteri palatina major  dari arteri maxillaris
o Cabang nasalis dari dentalis anterior superior  dari cabang infraorbital
dari arteri maxillaris
o Cabang dari arteri fasialis ke vestibulum nasi

Terdapat area kecil pada bagian anterior inferior dari septum nasi, hanya sedikit
diatas vestibulum. Empat arteri – ethmoidalis anterior, cabang septalis dari arteri labialis
superior, cabang septalis dari arteri sfenopalatina dan palatina major, beranastomosis pada
region ini dan membentuk pleksus vaskular yang disebut “pleksus Kiesselbach”. Area ini
terekspos oleh efek kering dari udara inspirasi dan trauma kuku, dan merupakan lokasi
umum dari epistaksis.

15
Vena retrocolumellar berjalan vertical kebawah persis dibelakang columella,
menyilang pada dasar hidung dan bergabung dengan vena pleksus pada dinding lateral
nasi. Ini adalah situs umum dari perdarahan vena pada orang muda.
Pleksus Woodruff adalah pleksus vena terletak di inferior terhadap ujung posterior
dari konka inferior. Ini adalah lokasi epistaksis posterior pada dewasa.

Gambar 7. Perdarahan septum nasi.3

Dengan demikian, epistaksis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi menjadi


epistaksis anterior dan epistaksis posterior:
 Anterior
Merupakan bentuk paling sering dari epistaksis dimana lokasinya terdapat pada
area pleksus Kiesselbach, juga disebut sebagai “Little’s area”. Regio ini adalah
bagian anteroinferior dari septum nasi dimana 4 arteri beranastomosis. Mukosa
yang melapisi area ini tipis dan rentan. Kongesti dari pembuluh darah yang
disebabkan kondisi seperti infeksi saluran pernapasan atas atau mukosa kering
dikarenakan humiditas yang rendah membuat area ini lebih suseptibel.

16
 Posterior
Epistaksis posterior ini adalah perdarahan yang terjadi melewati konka media atau
pada aspek posterior dan superior dari kavum nasi. Pembuluh darah yang paling
bertanggung jawab terhadap epistaksis posterior adalah cabang dari arteri
sfenopalatina dan arteri ethmoidalis anterior. Epistaksis posterior adalah kondisi
yang paling sering diasosiasikan dengan penyakit atherosklerotik.6

Tabel 1. Perbedaan epistaksis anterior dan posterior.


Epistaksis Anterior Epistaksis Posterior
Insidensi Lebih sering Lebih jarang
Lokasi Kebanyakan pada area Little’s Kebanyakan dari bagian
atau bagian anterior dari posterosuperior dari kavum nasi;
dinding lateral seringkali sulit untuk melokasikan
lokasi perdarahan
Usia Biasanya pada anak-anak atau Setelah 40 tahun
dewasa muda
Penyebab Paling sering trauma Spontan; seringkali oleh karena
hipertensi dan arteriosklerosis
Perdarahan Biasanya ringan, dapat dengan Perdarahan parah, memerlukan
mudah terkontrol dengan perawatan; pack postnasal
penekanan lokal atau pack seringkali diperlukan
anterior

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis epistaksis secara umum berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien,


walau beberapa individu dapat saja tidak mengalami perdarahan aktif saat mencari
pertolongan medis. Pemeriksa perlu mencari sumber perdarahan dan menentukan apakah
perdarahan tersebut merupakan perdarahan anterior atau posterior. Selebihnya, penyebab
lain yang mungkin didapatkan dari riwayat medis dan penemuan pada pemeriksaan fisik.
Diagnosis epistaksis posterior biasanya didapatkan saat perdarahan tidak dapat berhenti

17
dengan tampon anterior dan jika tidak dapat mengidentifikasi sumber perdarahan anterior.
Penemuan lain yang didapatkan saat curiga epistaksis posterior yaitu jika perdarahan
berat dari kedua lubang hidung atau terlihat adanya aliran darah di belakang tenggorokan.

1. Riwayat – harus menanyakan berbagai keluhan berikut:


 Kondisi yang mempredisposisikan perdarahan, seperti tumor, gangguan koagulasi
(riwayat pribadi dan keluarga), trauma atau operasi dalam waktu dekat, medikasi
(seperti, aspirin, warfarin, clopidrogrel, glukokortikoid nasal), dan kondisi lain
(seperti sirhosis, HIV, penggunaan kokain nasal).
 Frekuensi, waktu, dan keparahan dari epistaksis.
 Kemungkinan adanya penyakit kronik yang dapat mengeksaserbasi hilangnya
darah, seperti penyakit arteri coroner dan PPOK, dan gejala yang dapat
berhubungan (seperti rasa tidak nyaman pada dada, dispnea, dan kepala terasa
ringan).
2. Studi koagulasi darah dan lainnya
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan umum
Diperiksakan tanda-tanda vital pasien dan cari tanda dari kompromasi saluran
pernapasan dan tanda syok hipovolemik. Pasien juga perlu dievaluasi untuk tanda
dari koagulopati (seperti ekimosis, peteki, dan lesi telangiektasis)
b. Sebelum penanganan
Kavum nasi perlu dianastesis sebelum dilakukan pemeriksaan detail.

c. Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan menggunakan spekulum nasal dan mengidentifikasi bagian pleksus
Kiesselbach untuk erosi, perdarahan atau ulserasi. Juga inspeksi vestibulum nasi,
septum, dan tubinat untuk sumber perdarahan.

18
2.2.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan Epistaksis sebelum masuk Rumah Sakit

Pada saat pasien dalam kondisi epistaksis dapat dilakukan pertolongan pertama
sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan atau pun saat pasien pertama kali datang ke
rumah sakit. Adapun pertolongan pertama yang dapat dilakukan yakni:

a. Posisikan kepala menunduk dan duduk condong ke depan


b. Tekan cuping hidung selama 10-15 menit (metode trotter)
c. Bernafas melalui mulut
d. Kompres pangkal hidung dengan air dingin

Setelah melakukan tindakan tersebut biasanya pada kasus kasus epistaksis yang ringan,
makan melalui metode tersebut mimisan sudah bisa reda dan darah sudah bisa berhenti.
Tidak sedikit juga epistaksis yang belum berhenti walaupun sudah dilakukan metode
tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan untuk segera berobat ke rumah
sakit untuk memeriksakan kondisi tersebut. 5 Kondisi tertentu pada epistaksis
mengharuskan pasien untuk segara dibawah ke rumah sakit, diantaranya adalah :
a. Mimisan tidak berhenti dengan penekanan
b. Mimisan hebat sampai menyebabkan pingsan
c. Mimisan pada bayi atau anak 2 tahun
d. Sumbatan jalan nafas
e. Mimisan akibat kelainan anatomi dan trauma pada wajah

19
Penatalaksanaan Epistaksis di Rumah Sakit 6

Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Epistaksis 6

a. Penanganan awal – harus difokuskan kepada saluran pernapasan dan stabilitas


kardiovaskular. Intervensi saluran nafas, resusitasi cairan, dan konsultasi THT
diperlukan pada kasus epistaksis berat.6

Prinsip awal dalam menangani pasien dengan perdarahan hidung adalah


identifikasi perdarahan dan kontrol perdarahan. Sebelum melakukan penanganan awal
posisi pasien dengan epistaksis juga perlu diperhatikan. Jika pasien sadar maka posisikan
pasien duduk tegak dan kepala menunduk. Jika pasien dalam kondisi kesadaran menurun,
posisikan pasien berbaring dengan kepala miring ke posisi yang berlawanan dari hidung
yang mengalami epistaksis. Hal ini dilakukan untuk mecegah terjadinya aspirasi jika
pasien mengalami penurunan kesadaran. Posisi kepala dimiringkan kearah yang
berlawanan karena darah membeku mengikuti arah gravitasi, jika posisi miring ke arah
yang terjadi epistaksi makan akan menyumbat rongga hidung karena bekuan darah yang

20
terbentuk. Selain itu juga mempermudah untuk pemasangan tampon. Pada pasien dengan
syok hipovolemik akibat perdarahan hebat bisa diberikan cairan kristaloid karena sifatnya
yang isotonis sehingga mempertahankan cairan yang berada di interstitial. Hindari
pemberian cairan hipertonis , karena menyebabkan darah intrasel dan interstitial tertarik
kedalam pembuluh darah sehingga semakin memperburuk keadaan. Transfusi mulai
diberikan pada sien dengan syok hipovolemik grade 2-3. Trasnfusi diberikan apabila
adanya Hb turun, kehilangan cairan 15% makan diberika transfuse PRC karena yang
hilang adalah komponen darahnya bukan volume darahnya.

Gambar 9. Klasifikasi derajat syok Hipovolemik

21
Setelah kondisi dan tanda-tanda vital pasien stabil, maka bisa dilakukan tamponade awal
dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan dan juga mencari sumber perdarahan.
Tamponade awal dapat dilakukan dengan :
a. Pasien diminta menghembuskan hidung untuk membuang darah dan juga bekuan
darah atau bisa dengan menggunakan suction
b. Menyemprotkan oxymetazoline ke hidung
c. Minta pasien menekan hidung bagian alae ke septum dan menahannya selama 10
menit

Jika perdarahan minimal maka cobalah untuk melokalisasi sumber perdarahan yang
spesifik dengan menggunakan speculum hidung. Jika perdarahan masih banyak bisa juga
digunakan lagi oxymetazoline atau cara lain gunakan tampon kapas yang direndam dalam
kokain dimasukan ke dalam cavum nasal. 6

a. Penanganan pada Perdarahan Anterior


1) Perdarahan dapat berhenti dengan tindakkan konservatif,
2) Kauteri menggunakan silver nitrate stick,
3) Packing nasal,
o Tampon nasal
o Gauze packing
o Kateter balon nasal
4) Foam dan gel thrombogenic

Follow-Up
Jika tanda-tanda vital dan fungsi respirasi tetap normal, pasien dapat dirujuk untuk
follow up dengan spesialis setelah 24 – 48 jam. Rujuk spesialis tidak diperlukan untuk
pasien yang sehat dan tanda vital stabil dan tidak memiliki komplikasi dengan lokasi
perdarahan yang teridentifikasi jelas yang tertangani dengan kauteri simple atau packing
1 kali.

Pencegahan
Pasien dengan perdarahan anterior tanpa komplikasi disarankan untuk tidur pada
lingkungan yang lembab. Antibakterial topikal atau bakteriostatik dapat digunakan pada

22
mukosa hidung dengan cotton swab. Medikasi hidung spray menjauh dari septum dapat
mengurangi resiko epistaksis.

b. Penanganan pada Perdarahan Posterior


Penanganannya secara umum berbeda dengan perdarahan anterior, walaupun juga
dengan prinsip tamponade. Dari berbagai metode packing posterior, diantaranya:
1) Kateter balon
Kateter balon digunakan untuk memudahkan packing posterior.
a) Posisi pasien dengan baik dan tangani awal dengan anasteti topikal dan
vasokonstriktor.
b) Masukkan kateter sepanjang dasar kavum hidung sampai mencapai cincin
retensi masuknya naris.
c) Inflasi balon posterior dengan air steril 10 mL.
d) Retraksi kateter perlahan sampai tinggal berlawanan terhadap koana
posterior pada nasofaring.
e) Ketika balo posterior ditinggal, kembangkan balon dengan air steril 30
mL. Jika pasien merasa sakit atau deviasi dari septum nasi atau palatum
mole, deflasi balon perlahan balon anterior sampai deviasi atau nyeri
berkurang.
f) Proteksi ala dan masuknya naris ketika dibutuhkan untuk mecegah tekanan
berlebihan.
2) Kateter Foley
Jika kateter balon tidak tersedia maka tamponade dapat digunakan kateter Foley.
3) Packing kapas ( Belloque tampon)
4) Tampon anterior dan posterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu
dilakukan ligase arteri spesifik.

23
c. Medikamentosa 8
Pemberian obat yang diperlukan untuk pasien epistaksis
- Antibiotik (injeksi/ oral)
- Antihemolitik ( Asam traneksamat, vit K, Adona, Dycinone)
- Analgetik

Obat anti perdarahan ( Antihemolitik)


a. Asam Traneksamat
Mekanis kerja dari asam traneksamat yaitu menghambat aktivasi
plasminogen dengan membentuk kompleks reversible yang menggantikan
plasminogen dari fibrin , sehingga akan menghambat terjadinya fibrinolysis.
Asam traneksamat diindikasikan untuk perdarahan gastrointestinal dan jika
ada resiko perdarahan seperti hemofilia, menoragia,dan ekstrasi dental dengan
efek samping mual, mudah, dan diare.
b. Ethamsylate (Dycinone)
Merupakan agen non hormonal yang mengurangi eksudasi kapiler dan
kehilangan darah yang tidak mempengaruhi proses koagulasi karena tidak
memiliki efek terhadap prothrombine times, fibrinolisis,fungsi maupun hitung
trombosit. Walaupun mekanime tepatnya masih belum diketahui, ethamsylate
dipercayamenigkatkan resistensi dinding kapiler, perlekatan trombosit melalui
inhibisi sintesis dan aksi prostaglandid yang mentebabkan disagregasi platelet,
dan meningkatkan permeabilitas kapiler
c. Vit K
Vitamin K bekerja dengan meningkatkan produksi dari faktor-faktor
pembekuan darah sehingga mempercepat waktu pembekuan dan
memperpendek waktu perdarahan
d. Adona

Adona bekerja dengan memicu bradikinin sehingga menginduksi sel-sel


endotel dengan meningkatkan permeabilitasnya sehingga mengurangi
pembentukan actin dan memperbaiki ikatan antar sel sehingga rapat kembali

24
2.2.7 Komplikasi
Pasien yang dihospitalisasi termasuk anterior dan posterior terjadi pada 3% dari
pasien. Komplikasi termasuk sinekia (adhesi intranasal), aspirasi, angina, infark
miokardial dan hypovolemia.
Resiko dari packing posterior tidak termasuk hipotetikal “reflex nasopulmonary”,
yang dipercaya untuk menyebabkan hipoventilasi dan menurunkan tekanan oksigen
arterial dengan packing posterior nasi, menyebabkan rekomendasi untuk operasi awal.

25
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien Tn. JA ( 37 tahun) datang ke IGD LV dengan keluhan mimisan dari lubang hidung
sebelah kanan yang timbul sejak 3 jam SMRS dan menetap terus menerus. Dalam
anamnesis selanjutnya darah yang keluar itu berupa darah dengan gumpalan akibat
sumbatan yang pasien lakukan dengan menggunakan tissue selama perjalanan menuju
IGD. Darah juga terasa mengalir di tenggorokan belakang sehingga kadang ada darah
yang tertelan pasien. Sesampainya di IGD pasien sempat muntah bercampur darah dan
tidak sadarkan diri. Pasien memiliki riwayat operasi amandel dan hidung pada tanggal 5
Desember 2019, riwayat penyakit tekanan darah tinggi dan sedang tidak minum obat
selama 1 bulan. Pasien tidak sedang memakai obat-obatan melalui hidung ataupun jenis
pengencer darah, tidak ada riwayat trauma ataupun riwayat mimisan berulang
sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien tampak sakit sedang dan
pasien tampak pucat, lemas, konjungtiva anemis, dan akral dingin. Dari pemeriksaan
hidung ditemukan perdarahan dari kavum nasi sebelah kanan massif dan aktif. Tidak ada
tanda-tanda massa dari hidung yang dapat terlihat melalui pemeriksaan rhinoskopi
sederhana dan darah mengalir dan membekas di bagian dinding naso-oropharnxy pasien.
Keluhan pasien secara garis besar merupakan gambaran dari sebuah epistasxis.
Epistaxis berdasarkan lokasi dibagi menjadi 2 yakni epistaxis anterior dan
epistaxis posterior. Kedua kategori tersebut dibentuk untuk mempermudah mencari
kemungkinan penyebab dari epistaxis dari pasien itu sendiri. Namun penting untuk
diketahui bahwa dalam menangani kasus epistaxis, langkah awal yang harus dilakukan
adalah menstabilisasi pasien dari segi tanda-tanda vital berhubung kasus epistaxis
merupakan salah satu kasus emergensi. Semua pasien yang datang dengan pendarahan
aktif harus dipastikan tidak sedang dalam kondisi syok hipovolemik, kemudian
pendarahan harus dikontrol dan selanjutnya menggali kemungkinan penyebab dari
pendarahan tersebut. Tanda tanda vital Tn. JA ketika datang ke IGD LV memang sudah
dapat dibilang tidak baik karena tekanan darah pasien mencapai 105/75 mm Hg dengan
kondisi adanya riwayat tekanan darah tinggi dan tidak minum obat selama 1 bulan.
Kemudian ditemukan peningkatan nadi dengan laju 115x / menit dan pasien sempat tidak
sadarkan diri. Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lab pun ditemukan adanya tanda -
tanda anemis. Hal ini menujukkan bahwa pasien mengalami syok hipovolemik. Pasien
diberikan penangan awal di IGD untuk mengatasi syok hipovolemik yang di alami pasien

26
yaitu dengan diberikan resusitasi cairan dan transfusi darah. Kondisi yang dialami pasien
ini bisa dihubungkan dimana pasien mengaku bahwa telah mimisan selama kurang lebih 3
jam terus menerus tanpa berhenti. Setelah kondisi pasien sudah dipastikan stabil, langkah
berikutnya yang harus dilakukan adalah mengontrol pendarahan pasien. Untuk
mengontrol pendarahan epistaxis tersebut, maka harus dibedakan apakah epistaxis
tersebut berasal dari anterior ataupun posterior.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, kemungkinan besar Tn. JA mengalami epistaxis
posterior, dikarenakan jenis pendarahannya yang mengalir hingga ke bagian nasopharynx
dan sifatnya yang lebih hebat dibandingkan dengan anterior. Sesuai algoritma yang sudah
dipaparkan di atas, pendarahan pasien dikontrol dengan pemberian kassa dengan
lidocaine 2% + epinephrine. Tujuan dari pemberian kassa lidocaine 2% + epinephrine
untuk menekan pendarahan melalui efek vasokonstriksi dari pemberian epinephrine
secara local. Sembari menunggu pendarahan berhenti, barulah evaluasi mencari
kemungkinan etiologi pasien dapat dilakukan.
Etiologi dari epistaxis posterior secara umum dibagi menjadi lokal dan sistemik.
Setelah melakukan anamnesis terhadap pasien, memang ditemukan terdapat faktor yang
dapat menjadi penyebab terjadi nya epistaxis posterior, dimana pasien sempat melakukan
tindakan operasi intranasal dan juga adanya riwayat penyakit tekanan darah tinggi yang
tidak terkontrol. Hal ini yang menjadi pemicu terjadinya epistaxis posterior pada pasien,
ditambah lagi durasi perdarahan yang sudah kurang lebih berlalu 6 jam, maka tindakan
pembedahan dipilih sebagai langkah untuk menghentikan pendarahan pasien. Prosedur
pembedahan yang ditujukan pasien merupakan prosedur ligasi dari pembuluh darah
hidung yang mengalami pendarahan tersebut. Berdasarkan prevalensinya, epistaxis
posterior umumnya disebabkan oleh gangguan pada daerah arteri sphenopalatina.
Prosedur ligasi ini dilakukan pada hidung sebelah kanan yang menjadi sumber
perdarahan. Setelah prosedur ligasi selesai, pasien kemudian dirawat inap setidaknya 24
jam untuk melihat perkembangan dari hasil operasi tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray’s Anatomy for Students.
3rd ed. Canada: Elsevier; 2015.
2. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 7th
ed. China: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
3. Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat
& Head and Neck Surgery. 6th ed. New Delhi: Elsevier; 2014.
4. Villwock J, Jones K. Recent trends in epistaxis management in the
United States: 2008-2010. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg.
139(12):1279–84.
5. Primacakti F, ,IDAI;23 Januari 2016.www. idai.or.id
6. Fishpool S, Tomkinson A. Patterns of hospital admission with epistaxis
for 26,725 patients over an 18-year period in Wales, UK. Ann R Coll
Surg Engl. 94(8):559–62.
7. Scott K, Debo RF, Keyes AS, Leonard DW. Quick Reference for
Otolaryngology. 1st ed. New York: Springer US; 2014.
8. Roberts J.,James R Hadges., 2014. Clinical Procedure in Emergency
Medicine. Philadelphia: Elsevier.

28

Anda mungkin juga menyukai