EPISTAXIS POSTERIOR
Disusun oleh:
Albert Riantho ( 01073180003)
Penguji:
Identitas Pasien
Nama : Tn. JA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 37 tahun
Tanggal Lahir : 18 Januari 1981
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Katholik
Alamat : Cilegon
No. Rekam medis : LV.00-84-02-xx
Tangal masuk : 1 Januari 2019
Tanggal pemeriksaan : 1 Januari 2019
Tanggal Keluar RS : 7 Januari 201
1.1 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 1 Januari 2019 pukul
23.45 di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Siloam Lippo Village
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan mimisan dari lubang hidung sebelah kanan
sejak 3 jam SMRS. Keluhan tersebut muncul secara tiba tiba pada saat pasien
sedang tiduran di ranjang. Pasien mengatakan bahwa awalnya darah yang
keluar menetes, namun semakin lama semakin deras dan tidak berhenti. Pasien
sempat mencoba untuk menghentikan mimisan dengan mengganjal hidungnya
dengan tissue, namun darah tetap keluar. Darah yang keluar berwarna merah
terang disertai gumpalan darah. Darah yang keluar awalnya hanya melalui
2
hidung, namun lama kelamaan pasien merasakan bahwa darah tersebut masuk
hingga ke rongga mulut dan terkadang harus ditelan. Pasien sempat berobat ke
RS Cilegon 1 jam setelah mimisan, kemudian diberikan vit K 10 mg IV dan
mimisan tidak juga berhenti. Tidak ada posisi atau kondisi yang dapat
meringankan atau mengurangi keluarnya darah dari hidung pasien. Kemudian
pasien datang ke IGD LV dan dipasang tampon hidung untuk menghentikan
perdarahan. Tiba tiba pasien hilang kesadaran dan muntah sebanyak 1 Liter,
dengan konten darah bercampur gumpalan disertai sedikit sisa makanan dan
berwarna merah gelap. Setelah muntah pasien mengeluhkan lemas pada
seluruh tubuh, jantung berdebar, pusing, sesak nafas dan kepala terasa ringan.
Pasien menyangkal adanya riwayat trauma, ataupun riwayat mengorek-ngorek
hidung sebelum mimisan terjadi. Pasien mengatakan belum pernah mengalami
kejadian seperti ini sebelumnya.
3
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Tanda Vital
Laju nadi : 115 x/ menit
Laju napas : 25x / menit
Tekanan darah : 105/ 75 mm Hg
Suhu : 36 oC
Sp O2 : 100 % ( tanpa oksigen)
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Warna sawo matang, lesi (-), perdarahan (-), jaundice (-), petechiae (-),
Kulit
hematoma (-), ekimosis (-), telangiektasis (-),
Kepala Normosefali, rambut hitam keputihan, tersebar merata
Wajah Normofascies, simetris, pucat (+), icterus (-), sianosis (-)
4
Inspeksi: perkembangan rongga dada saat statis dan dinamis simetris
(+/+), pasien tampak sesak nafas
Palpasi: pengembangan dada simetris kanan dan
Paru-paru kiri Perkusi: tidak dilakukan
Auskultasi: vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing -/-
Iktus kordis tidak terlihat, tidak
teraba Bunyi jantung S1 & S2 reguler
Jantung
Murmur (-), gallop (-)
5
Rinoskopi
Posterior Tidak dilakukan
Inspeksi Oral hygiene baik, gigi baik, tidak tampak ada pendarahan gusi.
Mulut Faring dan Arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil: T1/T1, massa (-), tampak
tonsil bekas darah pada dinding nasoropharynx
Laboratorium ( 1/01/2019)
6
Blood Glucose POCT 153 mg /dL < 200
Sodium (Na) 141 mmol/ L 137 – 145
Potasium (K) 4.3 mmol/ L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 104 mmol/ L 98 - 107
EKG ( 1/01/2019)
1.4 RESUME
Pasien datang dengan keluhan mimisan dari lubang hidung sebelah kanan sejak 3
jam SMRS. Keluhan tersebut muncul secara tiba tiba pada saat pasien sedang tiduran di
ranjang. Pasien mengatakan bahwa awalnya darah yang keluar menetes, namun semakin
lama semakin deras dan tidak berhenti. Darah yang keluar berwarna merah terang disertai
gumpalan darah. Darah yang keluar awalnya hanya melalui hidung, namun lama
kelamaan pasien merasakan bahwa darah tersebut masuk hingga ke rongga mulut dan
terkadang harus ditelan. Pasien tiba di IGD LV dan dipasang tampon, lalu tiba tiba pasien
tidak sadarkan diri dan muntah sebanyak 1 Liter, dengan konten darah bercampur
gumpalan disertai sedikit sisa makanan dan berwarna merah gelap. Setelah muntah pasien
mengeluhkan lemas pada seluruh tubuh, jantung berdebar, pusing, sesak nafas dan kepala
terasa ringan. Pasien memiliki riwayat operasi amandel dan hidung pada tanggal 5
7
Desember 2018, riwayat tekanan darah tinggi tidak terkontrol, dan riwayat gejala OSA
walaupun belum didiagnosis dengan pasti oleh dokter.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien dalam keadaan umum baik dan
tampak sakit sedang, dengan tanda-tanda vital yang normal kecuali penurunan TD 105/
75 mHg dan Nadi 115x / menit. Pada pemeriksaan status generalis ditemukan bahwa
pasien pucat, sesak nafas, konjungtiva anemis, dan akral dingin. Pemeriksaan kepala dan
telinga dalam batas normal, pemeriksaan hidung menunjukkan adanya pendarahan aktif
dari lubang hidung sebelah kanan, gumpalan (+), dan pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior tidak ditemukan adanya massa. Pada pemeriksaan tenggorok, tampak bekas darah
pada dinding posterior nasooropharynx pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa laboratorium darah rutin, dan
ditemukan adanya anemia dan tanda - tanda inflamasi. Pemeriksaan EKG dalam batas
normal.
1.7 TATALAKSANA
a. Medikamentosa
- Cairan rumatan IVFD Normal saline
- Asam Tranexamat IV 500 mg
- Vit K IV 10 mg
- Gastridin IV 50 mg
- Transfusi PRC 2 kantung
- Tricefin 2x 1g
- Pemasangan kassa tampon lidocaine 2% + Epinephrine pada cavun nasi
sebelah kanan
- Pasien dikonsul ke bagian THT
- Saran pembedahan ligase pembuluh darah
8
b. Bedah
- Tindakan bedah eksplorasi epistaxis posterior dan ligase pembuluh darah
a. Sphenopalatina.
1.10 PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi hidung dibagi menjadi 2 bagian bersaarkan struktur dan fungsinya, yaitu hidung
bagian luar (external) dan hidung bagian dalam (internal).
Gambar 1. Kavitas hidung. A. Dasar, atap, dan dinding lateral hidung. B. Konka dan
dinding lateral. C. Seksi koronal. D. Saluran udara dari kavitas hidung kanan.(1)
10
2.1.1 Vaskularisasi Rongga Hidung 2,3
Kavum nasi memiliki suplai pembuluh darah yang kaya untuk mengubah
kelembaban dan temperatur dari udara yang masuk. Arteri yang memperdarahi hidung
berasal dari kedua arteri karotis interna dan eksterna.
Cabang arteri karotis eksterna: arteri sphenopalatina, greater palatine, superior
labial, dan lateral nasal,
Cabang arteri karotis interna: arteri ethmoidalis anterior dan posterior.
Arteri sphenopalatina
Arteri ini adalah yang terbesar yang memperdarahi kavum nasi, yang merupakan
cabang akhir dari arteri maksilari dari fossa pterygopalatine. Arteri ini meninggalkan
fossa pterygopalatine dan masuk kedalam hidung melalui foramen sphenopalatine dan
menuju dinding lateral dari kavum nasi.
11
Ateri ethmoidalis anterior dan posterior
Kedua arteri ini berasal dari arteri opthalmicus yang berasal dari kavitas kranial
sebagai cabang utama dari arteri karotikus interna. Mereka melewati kanal-kanal pada
bagian dinding medial orbit diantara labirin ethmoidalis dan os frontali, memperdarahi
sinus paranasal, dan masuk kedalam kavitas kranial dari lateral dan superior cribriform
plate.
Arteri ethmoidalis posterior turun kedalam rongga hidung melalui cribriform plate
dan memiliki cabang-cabang yang memperdarahi bagian atas dari dinding medial dan
lateral. Sementara arteri ethmoidalis anterior melewati bagian depan dengan bersama
nervus ethmoidalis anterior. Pada sebuah lekukan pada cribriform plate dan masuk ke
rongga hidung turun melalui foramen slit-like segera lateral dari crista galli.
Perdarahan pada rongga hidung memiliki banyak anastomoses pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan bagian anterior pada dinding medial dimana terdapat banyak
anastomoses antar cabang pembuluh darah dari arteri greater palatina, sfenopalatina,
labialis superior dan ethmoidalis anterior, dan dimana pembuluh darah ini dekat dengan
permukaan. Area ini disebut sebagai pleksus Hiesselbach dimana merupakan area yang
sering menyebabkan terjadinya epistaksis pada anak –anak atau remaja.1
Pembuluh darah balik pada hidung pada umumnya mengikuti arteri:
Vena yang melalui cabang dari arteri maksilaris akan didrainase ke pleksus
pterygoid dari fena pada fossa infratemporal,
Vena dari region anterior nasi akan bergabung dengan vena fasialis.
Gambar 6. Suplai darah terhadap rongga hidung. A. Dinding lateral dari rongga hidung
kanan. B. Septum (dinding medial dari rongga hidung kanan).
12
2.2 Epistaksis 4
2.2.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari dalam hidung. Hal ini cukup sering dan terlihat
pada seluruh golongan umur. Hal ini sering muncul sebagai emergensi. Epistaksis adalah
tanda dan bukan sebuah penyakit dan perlu selalu ditentukan untuk mencari penyebab
konstitusional atau lokal. Kebanyakan episode epistaksis adalah tidak berkomplikasi,
namun terkadang dapat sulit dikontrol. Epistaksis dibagi menjadi anterior dan posterior
dengan epistaksis anterior lebih sering terjadi dibandingkan dengan posterior.
2.2.2 Epidemiologi
Data menyatakan bahwa walaupun kejadian epistaksis pada dewasa berkisar 60%,
namun hanya 10% atau kurang mendapatkan atensi medis. 4 Epistaksis adalah masalah
umum pada bidang THT yang mengakibatkan pasien datang ke rumah sakit. Epistaksis
memiliki distribusi umur paling sering pada anak-anak sebelum usia 10 tahun, dan pada
dewasa antara 45 – 65 tahun. Diantara pasien yang dirawat terdapat prevalensi laki-laki
lebih tinggi dikarenakan adanya efek protektif dari estrogen pada wanita yang mana
menyebabkan mukosa nasal yang lebih sehat atau menghindari penyakit vaskular secara
umum.5 Faktor iklim telah diteliti memiliki hubungan dengan kejadian epistaksis yaitu
pada musim dingin. Faktor iklim yang juga mempengaruhi insidensi dari epistaksis
adalah infeksi saluran pernapasan atas, rhinitis alergi, dan perubahan mukosa yang
diasosiasikan dengan fluktuasi dari temperatur dan kelembaban udara.
2.2.3 Etiologi
Penyebab dari epistaksis secara umum dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu: (1)
lokal pada hidung atau nasofaring, (2) general, dan (3) idiopatik.
1. Penyebab lokal
Hidung
a. Trauma: trauma kuku, cedera hidung, operasi intranasal, fraktur pada 1/3
tengah wajah dan dasar tengkorak, meniup hidung dengan keras, bersin
yang keras
13
b. Infeksi
i. Akut: rhinitis viral, diphteria nasal, sinusitis akut.
ii. Kronik: rhinitis atrofi, rhinitis sicca, tuberculosis, perforasi septal
sifilis, lesi granulomatosa dari hidung (rhinosporidiosis)
c. Benda asing
i. Benda mati
ii. Benda hidup
d. Neoplasma dari hidung dan sinus paranasalis
i. Jinak: hemangioma, papilloma
ii. Ganas: karsinoma atau sarkoma
e. Perubahan atmosfer: ketinggian tinggi, dekompresi mendadak
f. Deviasi septum nasi
Nasofaring
a. Adenoiditis
b. Juvenile angiofibroma
c. Tumor malignant
2. Penyebab umum
a. Sistem kardiovaskular: hipertensi, arteriosclerosis, mitral stenosis,
kehamilan (hipertensi dan hormonal)
b. Penyakit darah dan pembuluh darah: anemia aplastik, leukemia,
trombositopenia dan purpura vaskular, hemofilia, Christmas disease,
scurvy, defisiensi vit K, dan telangiectasia herediter
c. Penyakit hepar: sirhosis hepatis (defisiensi factor II, VII, IX dan X)
d. Penyakit ginjal: nefritis kronik
e. Kompresi mediastinal: tumor mediastinum anterior (meningkatkan
tekanan vena pada hidung)
f. Infeksi general akut: influenza, measles, varicella, whooping cough,
demam rheumatik, mononukleosis infeksiosa, tifoid, pneumonia, malaria,
dan demam dengue.
g. Menstruasi vicarious: epistaksis terjadi bersamaan dengan menstruasi.
3. Idiopatik
14
2.2.4 Patofisiologi
Hidung adalah bagian tubuh dengan suplai pembuluh darah yang kaya baik dari
sistem carotid eksterna dan interna, pada kedua septum dan dinding lateral.
Pada septum nasi:
Sistem karotikus interna
o Arteri ethmoidalis anterior
o Arteri ethmoidalis posterior
Terdapat area kecil pada bagian anterior inferior dari septum nasi, hanya sedikit
diatas vestibulum. Empat arteri – ethmoidalis anterior, cabang septalis dari arteri labialis
superior, cabang septalis dari arteri sfenopalatina dan palatina major, beranastomosis pada
region ini dan membentuk pleksus vaskular yang disebut “pleksus Kiesselbach”. Area ini
terekspos oleh efek kering dari udara inspirasi dan trauma kuku, dan merupakan lokasi
umum dari epistaksis.
15
Vena retrocolumellar berjalan vertical kebawah persis dibelakang columella,
menyilang pada dasar hidung dan bergabung dengan vena pleksus pada dinding lateral
nasi. Ini adalah situs umum dari perdarahan vena pada orang muda.
Pleksus Woodruff adalah pleksus vena terletak di inferior terhadap ujung posterior
dari konka inferior. Ini adalah lokasi epistaksis posterior pada dewasa.
16
Posterior
Epistaksis posterior ini adalah perdarahan yang terjadi melewati konka media atau
pada aspek posterior dan superior dari kavum nasi. Pembuluh darah yang paling
bertanggung jawab terhadap epistaksis posterior adalah cabang dari arteri
sfenopalatina dan arteri ethmoidalis anterior. Epistaksis posterior adalah kondisi
yang paling sering diasosiasikan dengan penyakit atherosklerotik.6
2.2.5 Diagnosis
17
dengan tampon anterior dan jika tidak dapat mengidentifikasi sumber perdarahan anterior.
Penemuan lain yang didapatkan saat curiga epistaksis posterior yaitu jika perdarahan
berat dari kedua lubang hidung atau terlihat adanya aliran darah di belakang tenggorokan.
c. Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan menggunakan spekulum nasal dan mengidentifikasi bagian pleksus
Kiesselbach untuk erosi, perdarahan atau ulserasi. Juga inspeksi vestibulum nasi,
septum, dan tubinat untuk sumber perdarahan.
18
2.2.6 Tatalaksana
Pada saat pasien dalam kondisi epistaksis dapat dilakukan pertolongan pertama
sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan atau pun saat pasien pertama kali datang ke
rumah sakit. Adapun pertolongan pertama yang dapat dilakukan yakni:
Setelah melakukan tindakan tersebut biasanya pada kasus kasus epistaksis yang ringan,
makan melalui metode tersebut mimisan sudah bisa reda dan darah sudah bisa berhenti.
Tidak sedikit juga epistaksis yang belum berhenti walaupun sudah dilakukan metode
tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan untuk segera berobat ke rumah
sakit untuk memeriksakan kondisi tersebut. 5 Kondisi tertentu pada epistaksis
mengharuskan pasien untuk segara dibawah ke rumah sakit, diantaranya adalah :
a. Mimisan tidak berhenti dengan penekanan
b. Mimisan hebat sampai menyebabkan pingsan
c. Mimisan pada bayi atau anak 2 tahun
d. Sumbatan jalan nafas
e. Mimisan akibat kelainan anatomi dan trauma pada wajah
19
Penatalaksanaan Epistaksis di Rumah Sakit 6
20
terbentuk. Selain itu juga mempermudah untuk pemasangan tampon. Pada pasien dengan
syok hipovolemik akibat perdarahan hebat bisa diberikan cairan kristaloid karena sifatnya
yang isotonis sehingga mempertahankan cairan yang berada di interstitial. Hindari
pemberian cairan hipertonis , karena menyebabkan darah intrasel dan interstitial tertarik
kedalam pembuluh darah sehingga semakin memperburuk keadaan. Transfusi mulai
diberikan pada sien dengan syok hipovolemik grade 2-3. Trasnfusi diberikan apabila
adanya Hb turun, kehilangan cairan 15% makan diberika transfuse PRC karena yang
hilang adalah komponen darahnya bukan volume darahnya.
21
Setelah kondisi dan tanda-tanda vital pasien stabil, maka bisa dilakukan tamponade awal
dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan dan juga mencari sumber perdarahan.
Tamponade awal dapat dilakukan dengan :
a. Pasien diminta menghembuskan hidung untuk membuang darah dan juga bekuan
darah atau bisa dengan menggunakan suction
b. Menyemprotkan oxymetazoline ke hidung
c. Minta pasien menekan hidung bagian alae ke septum dan menahannya selama 10
menit
Jika perdarahan minimal maka cobalah untuk melokalisasi sumber perdarahan yang
spesifik dengan menggunakan speculum hidung. Jika perdarahan masih banyak bisa juga
digunakan lagi oxymetazoline atau cara lain gunakan tampon kapas yang direndam dalam
kokain dimasukan ke dalam cavum nasal. 6
Follow-Up
Jika tanda-tanda vital dan fungsi respirasi tetap normal, pasien dapat dirujuk untuk
follow up dengan spesialis setelah 24 – 48 jam. Rujuk spesialis tidak diperlukan untuk
pasien yang sehat dan tanda vital stabil dan tidak memiliki komplikasi dengan lokasi
perdarahan yang teridentifikasi jelas yang tertangani dengan kauteri simple atau packing
1 kali.
Pencegahan
Pasien dengan perdarahan anterior tanpa komplikasi disarankan untuk tidur pada
lingkungan yang lembab. Antibakterial topikal atau bakteriostatik dapat digunakan pada
22
mukosa hidung dengan cotton swab. Medikasi hidung spray menjauh dari septum dapat
mengurangi resiko epistaksis.
23
c. Medikamentosa 8
Pemberian obat yang diperlukan untuk pasien epistaksis
- Antibiotik (injeksi/ oral)
- Antihemolitik ( Asam traneksamat, vit K, Adona, Dycinone)
- Analgetik
24
2.2.7 Komplikasi
Pasien yang dihospitalisasi termasuk anterior dan posterior terjadi pada 3% dari
pasien. Komplikasi termasuk sinekia (adhesi intranasal), aspirasi, angina, infark
miokardial dan hypovolemia.
Resiko dari packing posterior tidak termasuk hipotetikal “reflex nasopulmonary”,
yang dipercaya untuk menyebabkan hipoventilasi dan menurunkan tekanan oksigen
arterial dengan packing posterior nasi, menyebabkan rekomendasi untuk operasi awal.
25
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien Tn. JA ( 37 tahun) datang ke IGD LV dengan keluhan mimisan dari lubang hidung
sebelah kanan yang timbul sejak 3 jam SMRS dan menetap terus menerus. Dalam
anamnesis selanjutnya darah yang keluar itu berupa darah dengan gumpalan akibat
sumbatan yang pasien lakukan dengan menggunakan tissue selama perjalanan menuju
IGD. Darah juga terasa mengalir di tenggorokan belakang sehingga kadang ada darah
yang tertelan pasien. Sesampainya di IGD pasien sempat muntah bercampur darah dan
tidak sadarkan diri. Pasien memiliki riwayat operasi amandel dan hidung pada tanggal 5
Desember 2019, riwayat penyakit tekanan darah tinggi dan sedang tidak minum obat
selama 1 bulan. Pasien tidak sedang memakai obat-obatan melalui hidung ataupun jenis
pengencer darah, tidak ada riwayat trauma ataupun riwayat mimisan berulang
sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien tampak sakit sedang dan
pasien tampak pucat, lemas, konjungtiva anemis, dan akral dingin. Dari pemeriksaan
hidung ditemukan perdarahan dari kavum nasi sebelah kanan massif dan aktif. Tidak ada
tanda-tanda massa dari hidung yang dapat terlihat melalui pemeriksaan rhinoskopi
sederhana dan darah mengalir dan membekas di bagian dinding naso-oropharnxy pasien.
Keluhan pasien secara garis besar merupakan gambaran dari sebuah epistasxis.
Epistaxis berdasarkan lokasi dibagi menjadi 2 yakni epistaxis anterior dan
epistaxis posterior. Kedua kategori tersebut dibentuk untuk mempermudah mencari
kemungkinan penyebab dari epistaxis dari pasien itu sendiri. Namun penting untuk
diketahui bahwa dalam menangani kasus epistaxis, langkah awal yang harus dilakukan
adalah menstabilisasi pasien dari segi tanda-tanda vital berhubung kasus epistaxis
merupakan salah satu kasus emergensi. Semua pasien yang datang dengan pendarahan
aktif harus dipastikan tidak sedang dalam kondisi syok hipovolemik, kemudian
pendarahan harus dikontrol dan selanjutnya menggali kemungkinan penyebab dari
pendarahan tersebut. Tanda tanda vital Tn. JA ketika datang ke IGD LV memang sudah
dapat dibilang tidak baik karena tekanan darah pasien mencapai 105/75 mm Hg dengan
kondisi adanya riwayat tekanan darah tinggi dan tidak minum obat selama 1 bulan.
Kemudian ditemukan peningkatan nadi dengan laju 115x / menit dan pasien sempat tidak
sadarkan diri. Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lab pun ditemukan adanya tanda -
tanda anemis. Hal ini menujukkan bahwa pasien mengalami syok hipovolemik. Pasien
diberikan penangan awal di IGD untuk mengatasi syok hipovolemik yang di alami pasien
26
yaitu dengan diberikan resusitasi cairan dan transfusi darah. Kondisi yang dialami pasien
ini bisa dihubungkan dimana pasien mengaku bahwa telah mimisan selama kurang lebih 3
jam terus menerus tanpa berhenti. Setelah kondisi pasien sudah dipastikan stabil, langkah
berikutnya yang harus dilakukan adalah mengontrol pendarahan pasien. Untuk
mengontrol pendarahan epistaxis tersebut, maka harus dibedakan apakah epistaxis
tersebut berasal dari anterior ataupun posterior.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, kemungkinan besar Tn. JA mengalami epistaxis
posterior, dikarenakan jenis pendarahannya yang mengalir hingga ke bagian nasopharynx
dan sifatnya yang lebih hebat dibandingkan dengan anterior. Sesuai algoritma yang sudah
dipaparkan di atas, pendarahan pasien dikontrol dengan pemberian kassa dengan
lidocaine 2% + epinephrine. Tujuan dari pemberian kassa lidocaine 2% + epinephrine
untuk menekan pendarahan melalui efek vasokonstriksi dari pemberian epinephrine
secara local. Sembari menunggu pendarahan berhenti, barulah evaluasi mencari
kemungkinan etiologi pasien dapat dilakukan.
Etiologi dari epistaxis posterior secara umum dibagi menjadi lokal dan sistemik.
Setelah melakukan anamnesis terhadap pasien, memang ditemukan terdapat faktor yang
dapat menjadi penyebab terjadi nya epistaxis posterior, dimana pasien sempat melakukan
tindakan operasi intranasal dan juga adanya riwayat penyakit tekanan darah tinggi yang
tidak terkontrol. Hal ini yang menjadi pemicu terjadinya epistaxis posterior pada pasien,
ditambah lagi durasi perdarahan yang sudah kurang lebih berlalu 6 jam, maka tindakan
pembedahan dipilih sebagai langkah untuk menghentikan pendarahan pasien. Prosedur
pembedahan yang ditujukan pasien merupakan prosedur ligasi dari pembuluh darah
hidung yang mengalami pendarahan tersebut. Berdasarkan prevalensinya, epistaxis
posterior umumnya disebabkan oleh gangguan pada daerah arteri sphenopalatina.
Prosedur ligasi ini dilakukan pada hidung sebelah kanan yang menjadi sumber
perdarahan. Setelah prosedur ligasi selesai, pasien kemudian dirawat inap setidaknya 24
jam untuk melihat perkembangan dari hasil operasi tersebut.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray’s Anatomy for Students.
3rd ed. Canada: Elsevier; 2015.
2. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 7th
ed. China: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
3. Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat
& Head and Neck Surgery. 6th ed. New Delhi: Elsevier; 2014.
4. Villwock J, Jones K. Recent trends in epistaxis management in the
United States: 2008-2010. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg.
139(12):1279–84.
5. Primacakti F, ,IDAI;23 Januari 2016.www. idai.or.id
6. Fishpool S, Tomkinson A. Patterns of hospital admission with epistaxis
for 26,725 patients over an 18-year period in Wales, UK. Ann R Coll
Surg Engl. 94(8):559–62.
7. Scott K, Debo RF, Keyes AS, Leonard DW. Quick Reference for
Otolaryngology. 1st ed. New York: Springer US; 2014.
8. Roberts J.,James R Hadges., 2014. Clinical Procedure in Emergency
Medicine. Philadelphia: Elsevier.
28