Anda di halaman 1dari 9

Seminar Nasional Sains dan Teknologi (Senastek),Denpasar Bali 2015

KAJIAN PENGEMBANGAN DESA WISATA DI KABUPATEN


BADUNG
1) 2)
I Gst Ag. Oka Mahagangga, S. Sos, M. Si. , Drs. I Putu Anom, M. Par. Dra. Ida Ayu Suryasih,
3), 4) 5)
M. Par. Ida Bagus Suryawan, S.T. M. Si. , I Wayan Mertha, SE., M.Si,
PS. S1 Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Univ. Udayana,Jl. DR. R. Goris, No. 7,
1

Denpasar-Bali, Telp/Fax : (0361) 223798, E-mail : ragalanka@gmail.com


2
PS. S1 Dest. Par, Fakultas Pariwisata, Univ. Udayana,Jl. DR. R. Goris, No. 7, Denpasar-Bali
3
PS. S1 Dest. Par, Fakultas Pariwisata, Univ. Udayana,Jl. DR. R. Goris, No. 7, Denpasar-Bali
4
PS. S1 Dest. Par, Fakultas Pariwisata, Univ. Udayana,Jl. DR. R. Goris, No. 7, Denpasar-Bali
5
PS. DPW, STP Nusa Dua, Jl. Darmawangsa, Kampial, Nusa Dua-Bali (80363)

Abstrak

Tulisan ini berawal dari fakta bahwa desa-desa wisata (11 desa wisata yang memiliki SK.
Bupati) di Kabupaten Badung yang belum merata dalam pengembangan kepariwisataan sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan FGD dalam memperoleh
data, analisis data secara kualitatif dan teknik penyajian data secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan, dari keseluruhan desa wisata di Kabupaten Badung, hanya dua
desa yang sudah berjalan aktifitas desa wisatanya, yaitu desa wisata di Dusun Lawak, Desa Belok Sidan,
dan di Dusun Kiadan, Desa Plaga. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh pengelola desa wisata yang
tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di masing-masing desa wisata, seperti lemahnya
pemahaman tentang desa wisata, dukungan pemerintah kabupaten yang belum terintegrasi bersama
stakeholders pariwisata, pendanaan, potensi yang belum dikembangkan secara maksimal, dan
pengembangan daya tarik wisata tanpa perencanaan yang baik. Temuan penting lainnya adalah kerancuan
desa wisata dan daya tarik wisata, sehingga di tingkat aplikasi desa-desa wisata yang sudah memiliki daya
tarik wisata sudah mapan, akan lebih terangkat namanya, namun secara realitas aktifitas wisata yang
dilakukan justru berfokus kepada daya tarik wisata yang ada di desa tersebut. Sehingga produk-produk
wisata yang ditawarkan oleh pokdarwis, jarang disentuh bahkan banyak desa wisata yang belum memiliki
produk-produk wisata maupun atraksi wisata.

Kata Kunci : perencanaan, pengembangan, desa wisata

Abstract

This paper originated from the fact that the tourist villages (11 villages that have SK. Bupati) in Badung
not evenly distributed in the development of tourism in accordance with its potential. This study used a
qualitative approach and FGD in obtaining the data, data analysis and data presentation techniques in
qualitative descriptive.

The results showed that of the total tourist village in Badung, only two villages has been running activity
tourist village, which is a tourist village in the hamlet Comedy, Turn Sidan Village, and in the Hamlet
Kiadan, Plaga Village. Many of the problems faced by managers of tourist village of the Group of
Tourism Awareness (Pokdarwis) in each village, like a weak understanding of the tourist village, the
support of local governments that have not been integrated together stakeholders of tourism, finance, the
potential of which has not been developed to the maximum, and the development of a tourist attraction
without proper planning. Another important finding is confusion tourist village and tourist attraction, so
at the application level tourist villages that already has a tourist attraction has been established, will be
lifted name, but in real tourism activities are carried out precisely focused to a tourist attraction that exist
in the village. So the tourist products offered by Pokdarwis, rarely touched even many tourist villages that
do not have tourist products and attractions.

Keywords : planning, development, rural tourism


1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Keberadaaan desa wisata di Indonesia menjadi isu sentral sejak tahun 2000-an dengan
gagasan awal konsep yang cukup dikenal yaitu community based development, yang
diimplementasikan dalam ranah kepariwisataan sebagai community based tourism. Gagasan
pemberdayaan masyarakat menjadi isu yang penting sehubungan dengan kegagalan pola
pembangunan top down yang dianggap sangat jakarta sentris. Sejak saat itu konsep pemberdayaan
masyarakat menjadi jawaban atas pemecahan segala permasalahan pembangunan dengan
penekanannya kepada pola pembangunan bottom up atau pertemuan antara pola bottom up dengan
pola top down.
Kehadiran konsep pengembangan desa wisata di Bali disambut positif oleh banyak pihak,
seperti Lsm, travel agent, akademisi, pemerintah daerah, dan warga masyarakat yang memiliki
potensi pariwisata. Hanya saja pengembangan desa wisata di Bali masih bersifat partial dan
sporadis. Belum memiliki grand design di tingkat pemerintah provinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota. Bahkan sampai saat ini, masih ada kabupaten di Bali yang belum memiliki desa
wisata (pengesahan berdasarkan SK. Kepala Daerah). Ditambah banyak desa wisata yang sudah
berkembang dan dikenal oleh wisatawan, namun belum juga memiliki atau belum disahkan sebagai
desa wisata oleh pemerintah daerah setempat. Fakta ini menunjukkan, betapa desa wisata belum
menjadi fokus pembangunan dari pemerintah daerah di Bali. Sehingga banyak desa-desa di Bali
yang memiliki potensi untuk dikembangan sebagai desa wisata, belum menjadi desa wisata.
Sebaliknya, desa-desa yang memiliki potensi desa wisata, ditunjang oleh SDM memadai dan telah
membangun jaringan bersama stakeholders atau LSM mampu mengembangkan konsep desa
wisata meskipun tidak memiliki SK. Desa wisata dari pemerintah daerah setempat sebagai
legitimasi. Dalam kenyataannya meskipun desa-desa tersebut tidak memiliki SK. Penetapan Desa
Wisata dari pemerintah daerah setempat, namun produk dan atraksi wisata yang dimiliki mampu
menarik wisatawan datang berkunjung, menginap, beraktifitas dan membelanjakan uangnya di
desa-desa tersebut seperti di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.
Kemungkinan ide awal desa wisata-desa wisata di Kabupaten Badung adalah untuk
pemerataan pembangunan sektor pariwisata agar tidak hanya terfokus di Badung Selatan (Kuta,
Nusa Dua dan sekitarnya) yang sudah menjadi trade mark pariwisata Bali. Selain itu, masih
kentalnya tradisi nilai budaya lokal dan alam yang masih asri dipandang sebagai potensi yang layak
untuk pembangunan desa wisata dengan meminimalkan dampak-dampak negatif dari
kepariwisataan.
Berdasarkan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali Nomor 556/317/I/DISPAR tentang
Pengembangan 100 Desa Wisata 2014-2018 di Bali, dan ditegaskan oleh Peraturan Bupati Badung
Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung maka
Kabupaten Badung memiliki 11 desa wisata terletak di Badung Utara. Ada pun ke-11 desa wisata
di Kabupaten Badung dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah :

TABEL 1.1 Desa Wisata di Kab. Badung


No. Nama Desa Wisata Lokasi
1. Desa Bongkasa Pertiwi Banjar Karangdalem I Kec. Abiansemal
2. Desa Sangeh Kec. Abiansemal
3. Desa Pangsan Banjar Sekarmukti Pundung, Kec. Petang
4. Desa Petang Banjar Kerta Kec. Petang
5. Desa Pelaga Banjar Kiadan Kec. Petang
6. Desa Belok Banjar Lawak Kec. Petang
7. Desa Carangsari Kec. Petang
3

8. Desa Baha Kec. Mengwi


9. Desa Kapal Kec. Mengwi
10. Desa Mengwi Kec. Mengwi
11. Desa Munggu Kec. Mengwi
*Sumber : Disparda Kab. Badung (2015)
Penelitian ini diawali oleh pemikiran dan fakta perkembangan desa wisata di Kabupaten
Badung belum menunjukkan hasil maksimal. Indikator asumsi tersebut adalah masih minimnya
angka jumlah kunjungan wisatawan, bahkan ada desa wisata yang belum menunjukkan aktifitas
kepariwisataan seperti desa wisata pada umumnya. Meskipun ada desa wisata yang sudah
dikunjungi oleh wisatawan (domestik maupun mancanegara) masih bersifat sporadis dan dampak
langsung kepada warga masyarakat belum benar-benar dapat dirasakan sebagai model pariwisata
alternatif untuk kesejahterahaan masyarakat sebagai pariwisata yang berkelanjutan.
Seperti penelitian tesis Hari Nalayani (2015) berjudul “Evaluasi dan Strategi
Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung” menggunakan teknik analisis SWOT dengan
temuan dari 11 desa wisata yang dimiliki Kab. Badung, baru dua desa (desa wisata Sangeh dan
desa wisata Bongkasa Pertiwi) yang dinyatakan sudah berkembang, sisanya dikategorikan sedang
berkembang (embriotik). Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Program Studi (S1)
Destinasi Pariwisata, Fak. Pariwisata, Universitas Udayana berjudul “Pelestarian dan Pemanfaatan
Tinggalan Prabu Udayana sebagai Daya Tarik Wisata Unggulan di Bali (Upaya Merancang Desa
Pekraman Kutri sebagai Desa Wisata)” di tahun 2014, menggunakan pendekatan kualitatif dengan
hasil penelitian berupa model pengembangan desa pekraman Kutri sebagai Desa Wisata dengan
ikon Pura Bukit Darma Durga Kutri. Desa pekraman Kutri yang memiliki tinggalan purbakala
sebagai daya tarik wisata seharusnya dapat dimanfaatkan secara positif oleh masyarakat lokal
dengan menjadikan desa wisata sebagai salah satu pendekatannya. Ikon Pura Bukit Darma Durga
Kutri sebagai heritage tourism merupakan daya tarik luar biasa dengan segmentasi pangsa pasar
khusus (Suryasih, dkk, 2014).
Kejenuhan dunia pariwisata di negara-negara berkembang dengan mass tourism
kemungkinan disebabkan oleh pengetahuan dan pengalaman mereka, karena secara material
maupun nonmaterial mass tourism secara kuantitas memang menjanjikan namun secara kualitas
tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkannya. Mulai dari degradasi budaya, kerusakan
lingkungan, kriminalitas, kesenjangan ekonomi bahkan terjadi banyak kebocoran yang jutsru
menguntukan pihak luar selaku investor sebagai perwujudan konglomerasi atau lazim disebut
sebagai neo kapitalisme. Menyadari kenyataan tersebut banyak negara yang mengandalkan sektor
pariwisata mulai melirik pengembangan kepariwisataan yang kecil dalam artian secara kuantitas
namun memiliki kualitas yang baik, dari segi masyarakat lokal maupun dari segi wisatawan yang
dikenal sebagai pariwisata alternatif beserta ragam bentuknya (ecotourism, agrotourism, dll).
Apabila industri kepariwisataan ingin berhasil dalam mengemban misinya sebagai wacana
pemerataan pendapatan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, maka
pembangunan kepariwisataan harus memberi perhatian pada pariwisata alternatif. Secara umum
pariwisata alternatif ini dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk pariwisata yang sesuai dengan
nilai-nilai alami, sosial dan komunitas dan yang memungkinkan baik wisatawan maupun
masyarakat setempat menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat dan bertukar pengalaman
(Stupa, 2011).
Strategi pembangunan pada umumnya terlalu berfokus pada pola top down dan dalam
kenyataannya banyak meninggalkan permasalahan sosial, budaya dan ekonomi pada suatu
masyarakat. Masyarakat pedesaaan cenderung menjadi objek yang terkesan dieksploitasi dan jika
terjadi permasalahan maka akan ditinggalkan begitu saja. Fenomena ini, dampaknya justru
membuat masyarakat semakin tergantung yang lebih banyak menungggu adanya proyek
pemerintah dan sikapnya yang instant oriented. Sudah seharusnya paradigma pembangunan di-
review dan tidak hanya di atas kertas namun harus dalam tahap aplikatif, menjadi pembangunan
dari bawah (bottom up) yang berorientasi padat tenaga kerja, pengembangan industri kecil,
4

pengelolaan sumber daya alam, pemberdayaan desa, dan penerapan teknologi (appropriate
technology). Strategi ini memperhatikan variabel produktivitas, pendapatan untuk pengentasan
kemiskinan dan pengangguran (Suparta, 2009).
Salah satu model pengembangan pariwisata yang sejalan dengan pariwisata alternatif
adalah pariwisata berbasis masyarakat sebagai pola yang diyakini mampu memberikan keuntungan
dan pemerataan ekonomi, pelestarian lingkungan, pelestarian budaya lokal dan pemberdayaan
masyarakatnya. Pariwisata Berbasis Masyarakat adalah pengembangan pariwisata dengan tingkat
keterlibatan masyarakat setempat yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek sosial,
budaya dan lingkungan hidup, dengan menggunakan pendekatan kerjasama antara para pihak
seperti pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan lembaga-lembaga penelitian pada keseluruhan
tahapannya (Cifor, 2004).
Kusumahadi (2007) menyebutkan bahwa pemberdayaan dapat dilakukan dengan
memfokuskan pada berbagai aspek pembangunan seperti pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan
sosial, pemberdayaan kebudayaan dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan dapat
dilakukan secara pararel atau skuensial (bertahap). Paling tidak ada delapan hal yang harus
dilakukan dalam upaya pemberdayaan yaitu Enabling : Menciptakan suasana agar masyarakat lokal
menyadari potensi yang dimiliki, Motivating : Memotivasi masyarakat agar tergerak untuk
berpartisipasi, Educating : Membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mengetahui apa yang
terjadi dan menyadari pentingnya program pembangunan, Encouraging: mendorong supaya
masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam setiap prosesnya, Protecting: Melindungi
masyarakat yang lemah dengan berbagai kebijakan dan strategi proteksi dan tidak melepasnya
begitu saja, Empowering: Meningkatkan potensi dan kapabilitas masyarakat untuk bisa berperan
dalam pembangunan, Opurtuning : Mengembangkan peluang/kesempatan agar masyarakat bisa
berpartisipasi, dan Devoluting : Menyerahkan sebagian kewenangan kepada masyarakat sehingga
mereka bisa mengambil keputusan.
Paradigma partisipatoris merupakan pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan,
perancangan, perencanaan dan pelaksanaan program yang akan mewarnai kehidupan mereka,
sehingga dapat dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai
pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Setelah kesemua hal tersebut dilakukan
langkah selanjutnya adalah membuat umpan balik (feed back) yang pada hakikatnya merupakan
bagian tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan. Partisipasi dengan demikian adalah
keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka (Jamieson,
1989 dalam Mikkelsen 1995 : 63-64).

1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN


Ditetapkan dua rumusan permasalahan sebagai fokus penelitian untuk dapat secara nyata
menemukan secara langsung di lapangan permasalahan yang dihadapi oleh desa wisata. Tidak
bermaksud untuk mengesampingkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing-masing desa
wisata, karena logikanya ketika suatu desa ditetapkan sebagai desa wisata maka desa tersebut pasti
sudah memiliki potensi yang layak dan sumber daya pariwisata yang cukup untuk pengembangan
selanjutnya.
Jadi, penelitian bersifat praktis untuk penyelesaian suatu permasalahan (solve problem)
dengan tenaga ahli multidisipliner (beberapa ilmu pengetahuan digunakan bersama-sama untuk
mengkaji suatu permasalahan, berbeda dengan interdispliner) seperti Perencana Pariwisata
(Ekonomi Pariwisata & Ekowisata), Arkeologi, Antropologi dan Sosiologi pariwisata (Sosial
Budaya), dan Pengelolaan Obyek Wisata (manajemen). Berdasarkan latar belakang singkat di atas
maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Apa Permasalahan Mendasar Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung?
2. Bagaimana Upaya Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung Kedepan?

2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Ada pun
sumber data utama adalah data primer dibantu dengan data sekunder, dengan teknik penentuan
5

sampel yaitu teknik penentuan informan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan
data menggunakan observasi (Moleong, 2005 :126), wawancara mendalam (Bungin, 2003 : 62)
dan studi kepustakaan (Moleong, 2005 : 114). Menurut Miles dan Huberman (1992), kegiatan
analisis data kualitatif terdiri dari beberapa alur yaitu : komparasi data, verifikasi, penyajian data
dengan argumentasi dan interpretasi memakai kerangka budaya masyarakat setempat. Hubungan
beberapa alur tersebut secara sejajar membentuk wawasan umum yang disebut analisis. Analisis
data kualitatif meruapakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Komparasi data, penyajian
data dan verifikasi tampil secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang susul-
menyusul (Miles dan Huberman,1992 : 15). Data dari hasil observasi, beragam informasi dari para
informan, hasil studi kepustakaan di analisis secara kualiatatif, selanjutnya disajikan secara
deskriptif kualitatif (Arikunto, 1988).

3. HASIL / PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Mendasar Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung
Wilayah Badung Utara dikenal mengedepankan pembangunan sektor pertanian, berbeda
dengan wilayah Badung Selatan dapat dikatakan lebih dari 90% mengandalkan sektor jasa
pariwisata. Secara teoritis tidak terlihat terjadi ketertinggalan di Badung Utara, tetapi jika dicermati
terkesan terjadi kesenjangan pembangunan ketika dihubungkan dengan faktor-faktor ekonomi dan
kesejahterahaan. Secara singkat dapat disampaikan pesatnya pembangunan pariwisata di Badung
Selatan tidak sama halnya dengan pembangunan pertanian/perkebunan di Badung Utara. Artinya,
pembangunan sektor pertanian di Badung Utara masih lambat dan diperlukan percepatan akselerasi.
Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor seperti masih menggunakan pola tanam tradisional,
belum memaksimalkan diversifikasi pertanian, petani belum mampu mencukupi kebutuhan pasar,
minimnya minat generasi muda untuk terjun di sektor pertanian dan belum tercapainya sinergi antar
sektor seperti sektor pariwisata bersama sektor pertanian.
Perkembangan pariwisata di Badung Selatan seperti Nusa Dua, Kuta, Seminyak bahkan
sekarang sudah mengarah ke Canggu dan Munggu, begitu pesat memberikan banyak perubahan
dan manfaat bagi masyarakat Kabupaten Badung pada khususnya dan masyarakat Bali pada
umumnya. Tidak dapat dipungkiri pariwisata telah memberikan warna dalam kehidupan
masyarakat meskipun tidak secara keseluruhan merasakan dampak langsung dari nilai ekonomi
kepariwisataan. Pembangunan infrastruktur dengan mengedepankan pendekatan mass tourism
diyakini sangat mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun dalam kenyataannya tidak dapat
dipungkiri terjadi ketimpangan pembangunan antara Badung Utara dan Badung Selatan.
Pemerintah Kabupaten Badung pada satu dasa warsa terakhir mulai serius menyikapi
permasalahan di atas. Mulai era kepemimpinan Anak Agung Gde Agung selama dua periode
(2005-2010 dan 2010-2015) berupaya menciptakan pemerataan pembangunan antara Badung Utara
dan Badung Selatan. Langkah nyata yang sudah dilakukan antara lain dengan sangat berani
membuka SMK 1 Badung (Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian) di Petang/Badung Utara,
memberikan bantuan-bantuan secara berlanjut kepada subak-subak, termasuk pula upaya perpaduan
antara pertanian dan pariwisata dengan mengadakan festival tahunan yaitu Festival Budaya
Pertanian Badung yang digelar di Jembatan Tukad Bangkung/Badung Utara, dan upaya untuk
mengaktifkan desa-desa wisata yang berada di Kabupaten Badung.
Beberapa langkah nyata yang dilaksanakan Bupati Badung tersebut merupakan keberanian
yang patut dipuji. Meskipun out put-nya jika dilihat secara empiris mungkin belum sesuai yang
diharapkan. Memang bukan pekerjaan mudah mewujudkan perpaduan antar sektor seperti pertanian
dan pariwisata. Selain memerlukan perencanaan yang matang dan pendekatan
multidisipliner/transdisipliner, harus ditunjang oleh peranan segenap pihak seperti pemerintah,
stakeholders, akademisi, LSM dan partisipasi masyarakat yang aktif.
Keberadaan desa wisata di Kabupaten Badung diharapkan mampu melestarikan pertanian
dengan perpaduan bersama sektor pariwisata, memberikan manfaat bagi masyarakat lokal,
memberikan kesempatan kerja bagi warga masyarakat lokal, memberikan varian baru dalam produk
dan atraksi wisata, dan akhirnya mampu memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan di
tingkat desa dalam rangka mewujudkan kesejahterahaan masyarakat secara berkelanjutan. Besar
6

pula harapan pada akhirnya desa wisata dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung dengan perpaduan sektor pariwisata dan sektor
pertanian.
Dalam pelaksanaannya desa-desa wisata yang keseluruhannya berjumlah 11 desa di
Kabupaten Badung, berdasarkan hasil observasi di lapangan hanya dua desa wisata yang berjalan
dalam arti memiliki perencanaan, kelembagaan-pengelolaan yang berkesinambungan, SDM,
permodalan, produk dan atraksi wisata, aktifitas pariwisata, kunjungan wisatawan, promosi dan
manfaat ekonomi yang dirasakan langsung oleh warga masyarakat lokal. Kedua desa tersebut
adalah desa wisata di Dusun Lawak, Desa Belok Sidan, dan di Dusun Kiadan, Desa Plaga. Selain
kedua desa tersebut kesembilan desa wisata di Kabupaten Badung belum optimal pelaksanaan
programnya, bahkan ada desa wisata yang belum memiliki program kerja sehingga sangat minim
kunjungan wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara.
Ada pun permasalahan mendasar pengembangan desa wisata di Badung adalah sebagai
berikut :
1. Cara pandang yang salah mengenai keberadaan desa wisata
2. Minim sosialisasi dan pembinaan tentang desa wisata
3. Belum terjalin koordinasi antara pemerintahan di tingkat desa
4. Permodalan, pengelolaan kelembagaan dan Sdm
5. Kunjungan wisatawan belum sesuai harapan
6. Memaksakan Produk dan atraksi wisata tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki
7. Harapan besar bahwa desa wisata akan segera dan cepat mendatangkan uang
8. Dalam tataran implementasi pemerintah daerah terkesan lepas tangan
9. Pemasaran dan promosi
Kesembilan permasalahan mendasar yang dihadapi oleh desa-desa wisata di Kabupaten Badung
tersebut tampaknya belum dilihat oleh pemerintah kabupaten Badung, atau jika memang sudah
diketahui namun belum dianggap urgent sehingga sampai saat ini belum mendapatkan solusi.
Sementara di sisi lain, harapan dari masyarakat di desa wisata yang begitu besar untuk meraup
“dollar”, begitu lama mereka menanti ternyata tidak kunjung datang dengan cepat dan banyak. Hal
ini menimbulkan masyarakat di desa wisata yang masih embriotik mulai merasakan kejenuhan
menunggu kedatangan wisatawan. Dikhawatirkan hal itu akan merembet kepada permasalahan-
permasalahan lain bahkan kepada permasalahan pribadi di antara oknum pengelola desa wisata,
oknum pemerintah di tingkat desa maupun oknum pemerintahan desa adat maupun dengan oknum
masyarakat lainnya. Padahal sumber permasalahannya adalah sembilan permasalahan mendasar di
atas yang ternyata dapat bermanifestasi menjadi permasalahan-permasalahan lain, sehingga dari
luar terlihat desa wisata yang belum berkembang memiliki permasalahan kompleks, bahkan ada isu
yang mengatakan desa wisata sangat sulit berkembang sesuai dengan yang diharapkan.
Menyikapi permasalahan pengembangan desa wisata di Kabupaten Badung diperlukan
suatu upaya pengembangan desa wisata di Kabupaten Badung kedepannya. Hal ini bertujuan untuk
segera dapat memaksimalkan pengelolaan desa wisata dan mencegah terulangnya permasalahan-
permasalahan tersebut ketika dikeluarkannya SK-SK desa wisata baru di Kabupaten Badung.

3.2 Upaya Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung Kedepan


Berdasarkan pokok-pokok permasalahan mendasar di atas, berikut dapat disampaikan
upaya pengembangan desa wisata di kabupaten Badung kedepannya :

Tabel 3.1 Upaya Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung ke Depan

No. Upaya Pengembangan Grand Strategy Target Keterangan


1. Re-identifikasi potensi Pengembangan Produk dan Banyak potensi wisata
fisik dan potensi non potensi sebagai atraksi wisata namun belum optimal
fisik pariwisata sumber daya dalam penataan dan
(permasalahan 1,6) pariwisata pengemasannya
Urgensi : **
2. Pembentukan Ranperda Kesamaan visi Perda Desa Memperkuat posisi
7

tentang Desa Wisata dan misi serta Wisata tawar desa wisata
(permasalahan 1,2,3,4,5,6,7,8,9)
pengaturan desa dalam kinerja
Urgensi :********* wisata
3. Sosialisasi Desa Wisata Sosialisasi Top Pemahaman Selama ini pemahaman
sebagai alternative down dan bootom desa wisata desa wisata adalah
tourism berdasarkan up di tingkat desa mass tourism
partisipasi masyarakat secara
(permasalahan 1,3,6,7,8) berkelanjutan
Urgensi :*****
4. Penetapan struktur Struktur Meminimalkan Menciptakan pelayanan
organisasi (kelembagaan) organisasi yang miss prima dan hospitality,
desa wisata jelas, sejalan communication, karena basis
(permasalahan 3,4) dengan struktur like and dislike, masyarakat adalah
organisasi desa dan sektor pertanian
Urgensi : ** dinas dan desa memperjelas job
adat desk/operasional
kerja
5. Penataan Desa wisata Sinergi desa dinas Keharmonisan Tetap menggunakan
sesuai dengan Tri Hita dan desa adat secara adat dan budaya
Karana (permasalahan berkelanjutan sebagai ujung tombak
3,4,5) dan desa wisata
meminimalkan
Urgensi :*** terjadinya
konflik
6. Penguatan Permodalan Pengajuan Investor/praktisi Selama ini desa-desa
dan SDM (permasalahan proposal dana dan pariwisata di wisata mengutarakan
4,8,9) kerjasama dengan Badung Selatan permodalan adalah
dibantu oleh termasuk pihak masalah yang utama.
Pemkab Kabupaten Dari perspektif SDM
Badung melalui memerlukan banyak
Urgensi : *** APBD dan pelatihan-pelatihan
pemerintah terutama bahasa asing
pusat melalui dan akomodasi
APBN serta
kerjasama
dengan
perguruan tinggi
pariwisata
7. Strategi Pemasaran Menggunakan IT Membuka web- Mulai untuk
dengan segmentasi dan membuka site,membuat menjemput bola
khusus (permasalahan jaringan sesuai poster, brosur dengan
4,5,7,9) dengan target dan pendampingan/fasilitasi
pasar bekerjasama pada tahap-tahap awal
Urgensi :**** dengan travel
agent
*Sumber : Hasil Penelitian (2015)

Upaya pengembangan desa wisata di kabupaten Badung kedepannya sepatutnya


memperhatikan pemahaman masyarakat lokal tentang desa wisata melalui proses sosialisasi yang
terencana dan terukur sehingga penetapan SK Desa Wisata dari pemerintah kabupaten tidak sia-sia,
karena begitu SK Desa Wisata ditetapkan maka desa tersebut sudah siap dalam artian perencanaan,
pengelolaan dan pengembangan, permodalan, optimalisasi potensi wisata yang dimiliki, peran
8

pemerintah daerah, stakeholders / praktisi pariwisata, LSM, akademisi, pola pendampingan, SDM,
kerjasama, stratregi pemasaran, dll.

3.3 Kesimpulan
Menyikapi permasalahan mendasar yang pertama desa-desa wisata di Kabupaten Badung
yaitu cara pandang yang salah mengenai keberadaan desa wisata diperlukan upaya pemahaman
melalui proses sosialisasi tentang apa itu desa wisata. Tampak cara pandang tentang desa wisata
masih minim, sekedar mengikuti pencanangan program, dan menunggu untuk digerakkan. Ketika
aka ada suatu event atau program kerja dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat, baru
Pokdarwis di diarahkan oleh pemerintah kabupaten Badung untuk persiapan dan pelaksanaannya.
Setelah event berlalu maka desa-desa wisata seakan dibiarkan begitu saja dan akan kembali
berulang pada kasus yang sama. Ternyata ke-11 desa wisata yang ada di kabupaten Badung, tidak
semua memahami seperti apa model desa wisata sebagai bagian dari alternative tourism. Sebagian
besar memahami keberadaaan desa wisata sebagai upaya mendatangkan “bule” atau “tamu” (istilah
lokal) sebanyak-banyaknya ke desa mereka sehingga secara cepat mampu menghasilkan
keuntungan yang besar. Tidak lebih dari dua desa wisata saja di Kabupaten Badung yang benar dan
serius dalam pengelolaannya yaitu desa wisata Pangsan (bagian dari desa wisata Plaga) dan Desa
Lawak (bagian dari desa wisata Bilok Sidan). Desa wisata tanpa pendampingan yang mapan
(pemerintah daerah, LSM, akademisi, investor), maka pengelola desa wisata (Pokdarwis) tersebut
tidak mengetahui akan berbuat apa. Beberapa Pokdarwis yang kebetulan memiliki pengelola
sebagai praktisi pariwisata atau seniman akan berjalan sendiri-sendiri. Pokdarwis yang lain karena
kebetulan memiliki daya tarik wisata di desanya maka terkesan desa wisatanya berjalan dengan
baik atau Pokdarwis yang lain terlihat berjalan baik justru karena kebetulan di desa wisatanya
terdapat investor lokal/asing yang menanamkan modalnya seperti rafting, villa, dll.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010) Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan
Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung. Badung : Disparda Pemkab Badung
Anonim. (2014) Surat Edaran Kadisparda Provnsi Bali nomor 556/317/I/DISPAR
tentang pengembangan 100 Desa Wisata di Bali tahun 2014-2018. Denpasar :
Disrpada Pemrpov. Bali
Arikunto, Suharsini. (2006) Prosedur Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Geertz, Clifford. (1995) Interpretasi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
Hari Nalayani. (2015) “Evaluasi dan Strategi Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten
Badung”. Tesis S2 Program Pascasarjana Kajian Pariwisata. Denpasar : Universitas
Udayana
Ife Jim & Tesoriero Frank. (2008) Community Development. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Kusumahadi M. (2007) Practical Challenge to The Community Empowerment
Program. Yogyakarta : Satunama Foundation.
Miles dan Hubberman. (1992) Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI. Press
Mikkelsesn, Britha. (1999). Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Moleong, Lexy. (2005) Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda
Suparta, I Nyoman, dkk. (2009) Strategi Membangun Karangsasem. Denpasar :
Pustaka Nayottama
Suryasih, Ida Ayu, dkk. (2014) “Pelestarian dan Pemanfaatan Tinggalan Prabu Udayana
sebagai Daya Tarik Wisata Unggulan di Bali (Upaya Merancang Desa Pekraman
Kutri sebagai Desa Wisata)”. Laporan Akhir Hibah Unggulan Udayana. Denpasar LPPM
Unud.
9

Anda mungkin juga menyukai