Anda di halaman 1dari 28

DRAFT PENYUSUNAN RENCANA AKSI PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT/KELOMPOK MARGINAL
Dian Aji Pangestu
19105040031
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGEMBANGAN DESA WISATA
(Studi Kasus Desa Karangasem, Kec. Bulu Kab. Sukoharjo)

BAB I
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 yang
menjelaskan tenang otonomi daerah dan Undang-undang Nomor 6 tahun
2014 tentang desa sebagai solusi dalam mengatasi kesenjangan
pembangunan di setiap daerah yang memiliki kesempatan untuk
mengembangkan potensi dari segala bidang. Banyak contohnya, seperti
kuliner khas daerah, kerajinan khas daerah, bahkan wisata daerah bisa
dijadikan tombak utama untuk menjunjung ekonomi. Wisata merupakan
salah satu sektor pembangunan yang sedang gencar-gencarnya
dikemmbangkan oleh pemerintah karena berperan penting dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Selainn itu, wisata juga salah
satu penyumbang devisa terbesar untuk pendapatan suatu daerah dan
negara.
Sumber daya alam atau sering disebut SDA, dapat mmenjadi daya
tarik wisata yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Bahkan sumber
daya budaya dapat menjadi pesona bagi kebanyakan wisatawan yang ingin
mempelajari atau memahami budaya dari suatu masyarakat di destinasi
wisata. Budaya dan alam merupakan perpaduan yang ciamik sehingga
memiliki potensi untuk dikunjungi oleh para wisatawan dari berbagai
daerah. Sehingga potensi ini ada baiknya dikelola semaksimal mungkin,
salah satunya melalui kegiatan pariwisata. Tujuan dari pengelolaan
tersebut tidak lain adalah untuk memberikan manfaat yang besar bagi
kesejahteraan masyarakatnya. Ketika potensi wisata ada di suatu pedesaan,
maka potensi tersebut baiknya dikelola oleh masyarakat yang mendiami
desa tersebut. ini menjadi salah satu bentuk implementasi pariwisata
berbasis masyarakat, pendekatan yang menjadikan masyarakat desa
sebagai pengelola atau pelaksana kegiatan pariwisata.1
Potensi desa perlu dikelola semaksimal mungkin melalui peran
pemerintah daerah dan juga lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang
dibentuk oleh masyarakat sendiri. Dengan pengelolaan yang baik dan
berjalannya fungsi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat
memungkinkan pengembangan desa wisata bisa berjalan dengan baik dan
terus berkembang sampai bisa dinikmati oleh generasi berikutnya. Dewasa
ini salah satu daerah di Kabupaten Sukoharjo juga turut meramaikan
pembangunan pariwisata, tepatnya berada di Desa Karangasem, Kecamatan

1
Junaid, Ilham dan Muh. Arifin M. Salim. 2019. Peran Organisasi Tata Kelola Dalam Pengelolaan Desa Wisata
Nglanggeran, yogyakarta: PUSAKA: Journal of Tourism, Hospitality, Traveland Business Event, 1(2)
Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Desa Karangasem ini memiliki
potensi wisata alam tersembunyi yang terkenal dengan nama Gunung
Pegat. Wisata ini mulai digarap pada tahun 2018 dan sampai sekarang
masih terus dilakukan pengembangan guna menarik perhatian para
wisatawan baru. Dalam proses pembangunan dan pengelolaan desa wisata
sendiri tidal lepas dari adanya pemerintah daerah yang dibantu oleh
organisasi masyarakat dan masyarakat sekitar. Walaupun masih tergolong
baru, pengunjung wisata Gunung Pegat sudah bisa dibilang ramai
pengunjung. Para pengunjung biasanya ramai berkunjung pada hari
minggu atau hari libur nasional. Yang menjual dari wisata Gunung Pegat ini
adalah pemandangan sekitar yang membuat mata menjadi segar setelah
penat melalui hiruk pikuk dunia. Para pengunjung juga bisa menikmati
sunrise dan sunset dari atas Gunung Pegat. Banyaknya pengunjung yang
berdatangan juga karena harga tiket yang relatif murah.
Salah satu tujuan pemerintah daerah membuat wisata tersebut selain
tuntutan untuk menggali potensi desa dari segala bidang, tujuan lain dari
pembangunan wisata ini adalah untuk memberdayakan masyarakat sekitar
yang memiliki keahlian di bidang tertentu namun belum bisa atau kurang
akses untuk memasarkan dan menjual keahlian mereka ke masyarakat
luas. Pemberdayaan masyarakat sendiri bertujuan agar seluruh potensi
yang ada di desa Karangasem dan tentunya wisata Gunung Pegat bisa
dikembangkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya wisata ini jelas sangat membantu masyarakat sekitar
khususnya masyarakat desa Karangasem, hal tersebut disebabkan karena
semua pengelola wisata tersebut hanya boleh diisi oleh warga lokal saja,
khusunya yang tidak memiliki pekerjaan. di dalam wisata juga disediakan
beberapa spot yang menjual seperti pasar kuliner, wahana permainan anak,
kolam refleksi ikan dan lain sebagainya. Semua spot tersebut hanya boleh
dikelola atau diisi oleh warga lokal saja, sehingga semakin ke sini ekonomi
warga lokal semakin membaik dari pada sebelumnya.
Tahapan pertama yang dilakukan untuk memulai rencana ini adalah
dengan melakukan koordinasi antara lurah desa Karangasem dengan
berbagai stakeholder, pihak BUMDES, maupun masyarakat untuk
mengumpulkan informasi, meminta pendapat dalam rangkan memulai
pembangunan tempat wisata Gunung Pegat yang pada akhirnya akan
menjadi tempat untuk pemberdayaan masyarakat desa Karangasem. Semua
rencana tersebut tentulah memiliki tujuan, salah satunya adalah dengan
terlaksananya pembangunan tempat wisata Gunung Pegat maka harapan
selanjutnya rencana pemberdayaan masyarakat dapat tersusun dan
tentunya tepat sasaran agar dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki
masyarakat desa Karangasem.
BAB II

Dari pengamatan mengenai masyarakat di desa Karangasem, banyak


warga yang sebetulnnya memiliki keahlian, entah itu pada bidang masak
memasak, menjahit, membuat layangan besar yang bentuknya macam-
macam, menari, dan lain-lain. Dengan segala keahlian yang dimiliki warga
desa Karangasem tersebut, namun mereka belum bisa memasarkan
keahlian mereka sehingga bisa mendapatkan uang untuk menambah
pemasukan mereka. Di sisi lain, pemerintah kabupaten menuntut para
desa agar bisa menemukan potensi yang dimilikinya. Hingga pada akhirnya,
pemerintah desa Karangasem melihat ada lahan di dataran tinggi yang
memiliki nilai untuk dijadikan wisata. Berawal dari situlah pemerintah desa
mulai melakukan pembangunan wisata Gunung Pegat yang akan menjadi
ikon desa sekaligus melakukan pemberdayaan masyarakat melalui wisata
tersebut. Dengan adanya ikon desa yaitu Gunung Pegat, pemerintah akan
lebih mudah memasarkan berbagai keahlian yang dimiliki warga desa
Karangasem. Dari yang keahliannya hanya untuk diri sendiri tanpa
menghasilkan apapun, hingga kini para warga bisa menghasilkan uang dari
keahlian mereka berkat adanya bantuan pemerintah yang melakukan
pembangunan wisata Gunung Pegat.
Untuk mencari perbedaan dari fokus topik dari penelitian
sebelumnya, maka diperlukan kajian pustaka dari beberapa karya ilmiah
seperti jurnal dan skripsi. Di bawah peneliti mencantumkan sepuluh
referensi karya ilmiah dari penelitian sebelumnya.
Dari penelitian Andriyani, Anak Agung Istri, Edhi Martono, dan
Muhammad (2017) yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Dan
Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah (Studi Di Desa
Wisata Panglipur Bali)”. Menjelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk
memahami berlangsungnya proses pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan desa wisata di Desa Wisata Panglipuran dan implikasinya
terhadap ketahanan sosial budaya wilayah. Penelitian ini bersifat deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu
pengumpulan data dari sejumlah literatur berupa buku, jurnal, majalah,
koran ataupun karya tulis lainnya yang relevan dengan topik penelitian.
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis data meliputi pengumpulan data, reduki data, penyajian data dan
pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian ini diketahi bahwa proses
pemberdayaan masyarakat di Desa Wisata Panglipuran berlangsung dalam
tiga tahap yaitu tahap penyadaran, pengkapasitasan dan pemberian daya.2
Dari penelitian Rosita Desiati (2013) yang berjudul “Pemberdayaan
Masyarakat Melalui pengelolaan Program Desa Wisata”. Menjelaskan bahwa

2
Andiyani, Anak Agung Istri, Edhi Martono, Muhammad. (2017). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pengembangan Desa Wisata dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah (Studi di Desa
Wisata Panglipur Bali). Jurnal Ketahanan Nasional. 23(1).
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemberdayaan masyarakat
melalui pengelolaan program Desa Wisata Oleh Pokdarwis Krebet Binangun,
mendeskripsikan faktor pendukunng dalam pemberdayaan masyarakat
melalui pengelolaan program Desa Wisata oleh Pokdarwis Krebet Binangun.
Penelitian ini bersifat kualitatif, sedangkan metode yang digunakan adalah
deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu.
hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan masyarakat oleh
Pokdarwis Krebet Binangun diterapkan dengan menyelenggarakan kegiatan
sosialsasi atau penyuluhan, diskusi, kompetisi, percontohan dan
perintisan.3
Dari penelitian Novie Istoria Hidayah (2017) yang berjudul
“Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Jatimulyo,
Girimulyo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Menjelaskan bahwa
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan
untuk memberdayakan masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata
Jatimulyo serta mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan tersebut. Desain penelitian ini
menggunakan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis pemberdayan masyarakat dalam
pengembangan Desa Wisata Jatimulyo. Dalam penelitian ini menggunakan
sumber data primer dan sekunder. Data primer didapat melalui proses
wawancara dan observasi dengan narasumber. Sedangkan data sekunder
didapat dari dokumen-dokumen resmi seperti artikel mengenai profil Desa
Wisata Jatimulyo. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kegiatan
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Jatimulyo
melalui tiga tahap yaitu tahap penyadaran dan pembentukan perilaku,
tahap transformasi kemampuan berupa wawasan (pengetahuan,
kecakapan, ketrampilan), dan yang terakhir tahap peningkatan
kemampuan intelektual.4
Dari penelitian Tyas Arma Rindi (2019) yang berjudul “Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata (Studi Kasus Desa
Wonokarto, Kec. Sekampung Kab. Lampung timur)”. Menjelaskan bahwa
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pemberdayaan
masyarakat dan untuk mengetahui langkah-langkah pengembangan dari
potensi pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan
menggunakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan
dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan
yang ada di desa Wonokarto yang bergerak pada sektor pariwisata
unggulan. Dengan destinasi yang ada di desa Wonokarto yaitu kerajinan
bambu yang dibuat oleh sekelompok paguyuban guyub rukun. Selain itu
juga ditemukan kreasi unik dan ide menarik dengan adanya desa wisata
menambah peluang penghasilan bagi masyarakat dan mengurangi

3
Desiati, Rosita. (2013). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Program Desa Wisata”. Diklus: Jurnal
Pendidikan Luar Sekolah. 17(1).
4
Hidayah, Novia Istoria. (2017). “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Jatimulyo,
Girimulyo, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam skripsi jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
pengangguran bahkan melatih anak muda membuat kreasi terbaru dan
bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri.5
Dari penelitian Sabtimarlia (2015) yang berjudul “Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Pengelolaan Desa Wisata Sambi di Dusun Sambi,
Pakembinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Menjelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
tentang pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan desa
wiisata sambi, hasil pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan desa
wisata sambi, dan faktor pendukung dan faktor penghambat pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan desa wisata sambi. Penelitian ini berjenis
kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,
observasi dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan
bahwa pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan desawisata sambi
dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu tahap penyadaran, tahap
transformasi kemampuan, dan tahap peningkatan kemampuan intelektual.
selain itu hasil dari pemberdayaan masyarakat tersebut adalah peningkatan
ketrampilan dan kemandirian masyarakat. Lalu faktor yang mendukung
yaiitu semangat dan kerjasama yang apik antara pengurus dan masyarakat.
sedangkan faktor penghambatnya adalah kecemburuan sosial di
masyarakat.6
Dari penelitian Erich Fitriawan (2012) yang berjudul “Pemberdayaan
Obyek Wisata Goa Jati Jajar Melalui Partisipasi Masyarakat di Desa
Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen”. Penelitian ini berjenis
kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik pengumpulan data
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini
singkatnya ada 3 yaitu mengembangkan Pokdarwis atau kelompok sadar
wisata. Adanya kerjasama yang baik antara dinas wisata dengan
masyarakat, khususnya dalam menjaga keamanan dan kelestarian obyek
wisata goa jati jajar. Yang terakhir, meningkatkan perekonomian
masyarakat.7
Dari penelitian Abdur Rohim (2017) yang berjudul “Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata”. Penelitian ini berjenis
kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah strategi yang terbagi
menjadi 8 yaitu pengkoordinasian antara pengelola desa wisata dengan
masyarakat, fasilitas pemerintah memberikan pendanaan untuk mengelola
desa wisata, mengembangkan atraksi wisata, mempromosikan desa wisata,

5
Rindi, Tyas Arma. (2019). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata (Studi Kasus Desa
Wonokarto, Kec. Sekampung Kab. Lampung Timur)”. Dalam skripsi Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas
Ekonomi dan Bisnis IAIN Metro Lampung.
6
Sabtimarlia. (2015). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Desa Wisata Sambi di Dusun Sambi,
Pakembinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam skripksi jurusan Pendidikan Luar
Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
7
Fitriawan, Erich. (2012). “Pemberdayaan Obyek Wisata Goa Jatijajar Melalui Partisipasi Masyarakat di Desa
Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen”. Dalam skripsi Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
penyediaan akomodasi, analisis program kelembagaan, pengelolaan
souvenir, pengadaan fasilitas umum. 8
Dari penelitan Okta Sucianti (2009) yang berjudul “Pemberdayaan
Kelompok Industri Rumah Tangga Emping Garut di Desa Kunti, Kecamatan
Andong, Kabupaten Boyolali”. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan
menggunakan teknik pengumpulan data wawancara, dokumentasi, dan
obsevasi. Hasil dari penelitian ini yaitu strategi pemberdayaan yang
dilakukan oleh pihak pemberdayaa yang ditambah dengan adanya
pemberdayaan indikator pemberdayaan kelompok pada akhirnya mampu
mengubah wawasan dan pendapatan kelompok sehingga dinamika
perekonomian mereka bisa berkelanjutan.9
Dari penelitian Lediana Apriyani (2019) yang berjudul “Pemberdayaan
Masyarakat Berbasis Potensi Lokal di Desa Wisata Kunjir Kecamatan
Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana proses pemberdayaan masyarakat berbasis potensi
lokal di desa Kunjir. Penelitian ini berjenis kualitatif yang bersifat deskriptif
dengan menggunakan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Hasil dari penelitian ini yaitu menunjukan bahwa proses
pemberdayaan masyarakat berbasis potensi lokal melalui tiga tahapan yaitu
tahap penyadaran atau upaya yang dilakukan untuk memberikan
pengetahuan kepada masyarakat. pengkapasitasan yaitu proses pemberian
kapasitas kepada masyarakat agar menjadi masyarakat yang berkualitas.
Lalu yang terakhir tahap pendayaan yaitu pemberian kuasa kepada
masyarakat, yang mana masyarakat diberikan peluang untuk mengelola
segala kegiatan yang ada dengan memanfaatkan segala potensi yang
dimiliki.10
Dari penelitian Fransisca Sherly Maharani Cahya Putri (2021) yang
berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata
Blue Lagoon Kabupaten Sleman”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana cara masyarakat dalam mengelola dan
mengembangkan objek wisata Blue Lagoon serta mengetahui apa saja
dampak ke masyarakat sekitar. Penelitian ini berjenis kualitatif yang
bersifat deskriptif dengan menggunakan teknik pengumpulan data
wawancara secara langsung dengan narasumber. Hasil dari peneliian ini
menunjukan bahwa pengembangan Desa Wisata Blue Lagoon memberikan
dampak positif bagi warga sekitar. Beberapa diantaranya adalah adanya
peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan kesejahteraan
masyarakat, serta peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dalam proses

8
Rohim, Abdur. (2013). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata (Studi di Desa
Wisata Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, DIY)”. Dalam skripsi Program Studi
Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
9
Sucianti, Okta. (2009). “Pemberdayaan Kelompok Industri Rumah Tangga Emping Garut (Studi Deskriptif
Kualitatif menegnai Pemberdayaan Kelompok Industri Rumah Tangga Emping Garut di Desa Kunti, Kecamatan
Andong, Kabupaten Boyolali)”. Dalam skripsi Program Studi Sosiologi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10
Apriyana, Lediana. (2019). “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Lokal di Desa Wisata Kunjir
Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan”. Dalam skripsi Program Studi Pengembangan Masyarakat
Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung.
pengembangan desa wisata warga masyarakat sekitar terlebih pengelola
berperan dalam merencanakan, melaksanakan, serta melaporkan.11
Pada penyusunan rencana aksi pemberdayaan masyarakat kali ini
dapat menggunakan setidaknya salah satu dari teori-teori di bawah ini:
1. Community Development
Community Development bisa diartikan sebagai kegiatan
pengembangan masyarakat yang ditujukan untuk memperbesar akses
masyarakat untuk mencapai kondisi seperti ekonomi, sosial, dan budaya
yang lebih bagus kedepannya apabila dibandingkan dengan sebelumnya.
Singkatnya community development adalah proses di mana upaya
masyarakat disatukan dengan otoritas pemerintah untuk meningkatkan
kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat untuk mengintergrasikan
komunitas-komunitas ini ke dalam kehidupan berbangsa dan untuk
memungkinkan mereka berkontribusi penuh bagi kemajuan sebuah
bangsa. 12 Dalam community development tentu saja memiliki tujuan, di
antaranya adalah:
- Untuk membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraan dengan
cepat.
- Membuka ruang untuk masyarakat agar dapat berkontribusi dalam
memberdayakan dan meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi.
Karena masyarakat sendirilah yang dapat menciptakan pertumbuhan
dan perkembangan itu sendiri.
- Sebagai cara kontributif dan ilmiah untuk mengurangi masalah
sosial, busaya, dan ekonomi yang terjadi di suatu daerah. Karena
fondasi dari pengembangan masyarakat adalah pelaksanaan berbagai
tahapan, mulai dari penelitian, implementasi hingga evaluasi.13

2. Empowerment
Empowerment adalah pemberian tanggung jawab terhadap pekerja
untuk mengambil sebuah keputusan. Selain itu, dapat juga diartikan
sebuah hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk membangun
kepercayaan antara karyawan dan manajemen.14 Pemberdayaan juga dapat
diartikan sebuah cara untuk membangun kepercayaan karyawan dan
manajemen. Paling tidak ada dua karakteristik pemberdayaan, bahwa
karyawan didorong untuk menggunakan inisiatif mereka sendiri, selain itu
karyawan juga diberi sumber daya untuk melakukan keputusan yang
mereka ambil. Dengan kata lain, pemberdayaan mengandung pengertian
perlunya keleluasaan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus

11
Putri, Fransisca Sherly Maharani Cahya. (2021). “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Desa
Wisata Blue Lagoon Kabupaten Sleman”. Dalam Skripsi Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
12
Catatan perkulliahan yang disampaikan oleh cak Abd. Aziz Faiz, M. Hum.
13
“Community Development (Pengertian, Aspek, tujuannya)”. Olahkarsa.
https://blog.olahkarsa.com/community-development-pengertian-aspek-dan-tujuannya/
14
Budi W. Soetjipto, et.al. (2002). Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: Amara
Book. Hlm. 123.
bertangung jawab atas tindakan yang sesuai dengan apa yang menjadi
tugas mereka.15 Selain itu, pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
untuk memberikan sebuah daya kepada masyarakat. pemberdayaan
masyarakat bisa dikatakan sebagai kemampuan individu yang bisa
menyatu dengan masyarakat dalam membangun sebuah keberdayaan
masyarakat sehingga bisa menemukan cara-cara baru dalam pembangunan
masyarakat (Mardikanto, 2014). Menurut Khan dalam Fernando Stefanus
Lodjo, ada beberapa tahapan dalam empowerment, di antaranya adalah
sebagai berikut:
- Memberikan pemahaman tentang program empowerment secara
menyeluruh.
- Membuat daftar kesempatan atau kegiatan yang bisa mendukung
sebuah pemberdayaan.
- Menyeleksi kegiatan yang sifatnya bermacam-macam sehingga bisa
memiliki kesempatan yang lebih signifikan.
- Memberi pemahaman kepada supaya bisa memahami harapan dari
sebuah pekerjaan.
- Menetapkan prosedur follow-up untuk saling bertukar pengertian
tentang kemajuan kepada setiap karyawan baik secara individu
maupun kelompok.
- menciptakan sikap rasa saling percaya satu sama lain.
- Menilai peningkatan atau kemajuan yang didapat dari program
pemberdayaan.16

3. Community Engagement
Community engagement pada umumnya dilatar belakangi oleh nilai-
nilai dan cita-cita keadilan sosial. Community engagement dapat berupa
sukarelawan di bak makanan, tempat penampungan tunawisma, program
bantuan darurat, dan program pembersihan lingkungan. Hal ini juga
didefinisikan sebagai proses relasional dinamis yang memfasilitasi
komunikasi, interaksi, keterlibatan, dan pertukaran antara organisasi dan
komunitas untuk berbagai hasil sosial dan organisasi. Sebagai sebuah
konsep, keterlibatan ini menampilkan atribut koneksi, interaksi, partisipasi,
dan keterlibatan yang dirancang untuk mencapai atau memperoleh hasil di
tingkat individu, organisasi, atau sosial.17
Community engagement menawarkan pendekatan etis, refleksi, dan
responsif terhadap kebutuhan, pandangan, dan harapan komunitas.
Community engagement sangat penting, terutama untuk penelitian seputar
masalah kesehatan dan kebugaran populasi. Sangat penting bahwa para
peneliti menggunakan pendekatan yang melibatkan masyarakat di mana
anggota masyarakat dan organisasi saling bahu-membahu untuk

15
Fernando Stefanus Lodjo. (2014). “Pengaruh Pelatihan, Pemberdayaan dan Efikasi Diri Terhadap Kepuasan
Kerja”. Jurnal Emba. 1(3). Hlm.. 749.
16
Budi W. Soetjipto, et.al. (2002). Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: Amara
Book. Hlm. 131-132.
17
Marie Weil, Michael S. Reisch, Marry L. Ohmer. (2012). The Handbook of Community Practice. USA: SAGE
Publications. Hlm. 169
mengidentifikasi masalah, mengembangkan solusi bersama dan
merekomendasikan perubahan kebijakan. Community engagement
memungkinkan pemahaman yang lebih kontekstual tentang persepsi
anggota masyarakat, juga tentang topik dan konteks, memfasilitasi
hubungan yang lebih kuat di antara anggota masyarakat. Hasil dari
community engagement pada akhirnya adalah modal sosial dan jaringan
relasional yang lebih kuat. Sementara pengorganisasian komunitas
melibatkan proses membangun gerakan akar rumput yang melibatkan
komunitas, pelibatan komunitas terutama berkaitan dengan praktik
menggerakkan komunitas menuju perubahan. 18
Community engagement merupakan kerjasama dengan anggota
masyarakat untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga indikator community
engagement bisa dikatakan sukses yaitu terciptanya suatu hubungan
dengan anggota masyarakat yang mejadi sasaran, terciptanya kepercayaan,
dan yang terakhir terciptanya isu bersama dan adanya aksi koektif.
Community engagement menjadi penting sebab untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan, haruslah ada hubungan yang seimbang
antara kehidupan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang mungkin bisa
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain di mana suatu
masyarakat itu tinggal.19
4. Teori Sistem
Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang
perubahan. Seperti para pendahulunya, beliau menganalogikan perubahan
sosial yang terjadi pada masyarakat. Beliau berasumsi bahwa setiap
masyarakat tersusun dari kumpulan sistem yang berbeda berdasarkan
strukturnya maupun berdasarkan definisi fungsionalnya untuk masyarakat
yang lebih luas. Pada saat masyarakat berubah, seringnya masyarakat
tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk
memperbaiki permasalahan hidupnya. Bisa dikatakan Talcott Parsons
termasuk dalam golongan yang melihat dengan optimis sebuah proses
perubahan.20 Menurut Talcott Parsons, supaya terjadi keseimbangan dan
kelestarian pada suatu sistem sosial, maka di dalam sebuah organisasi atau
di dalam sebuah masyarakat haruslah memiliki fungsi-fungsi yang meliputi
empat aspek fungsi yaitu:
- Adaptasi

Dalam sebuah sistem haruslah mampu untuk memperbaiki situasi


eksternal yang bahaya. Sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan
masyarakat/lingkungan.

- Pencapaian

18
Cathryn Crosby, Frederick Brockmeier. (2016). Student Experiences and Educational Outcomes in Community
Engagement for the 21st Century. USA: IGI Global. Hlm. 45.
19
Sunyoto Usman. (2008). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
20
Parsons,Talcott. (1986). Esei-Esei Sosiologi (Terjemahan S. Aji) Jilid I dan II. Jakarta: Aksara Persada Press.
Suatu perkumpulan bisa bercerai-berai apabila tujuan sudah
tercapai. Maka dari itu, supaya suatu organisasi tetap berjalan baik maka
harus senantiasa dirumuskan tujuan-tujuan yang baru, setelah tujuan
yang lama sudah tercapai.

- Integrasi antar anggota

Integrasi adalah penyesuaian dan koordinasi antar unsur-unsur di


dalam suatu sistem sosial. Maka dari itu, suatu sistem harus bisa
mengelola hubungan-hubungan antar bagian yang menjadi komponennya.

- Pemeliharaan pola

Dalam suatu sistem sosial harus bisa memelihara, memperbaiki, dan


melengkapi motivasi individu maupun pola-pola yang kultural yang dapat
menciptakan dan menopang motivasi.21

Jika teori ini dimasukkan ke dalam aspek pemberdayaan masyarakat,


maka teori sistem sosial ini mengarah pada salah satu kekuatan yang wajib
dimiliki oleh kelompok supaya kelompok tersebut bisa berdaya yaitu
memiliki sekumpulan massa atau orang. Jika suatu kelompok tersebut
memiliki orang atau massa yang besar dan bisa bertahan serta
berkemmbang menjadi lebih besar lagi, maka kelompok tersebut bisa
dikatakan berdaya.

BAB III
Karangasem merupakan desa di kecamatan Bulu, Sukoharjo, Jawa
Tengah, Indonesia. Desa ini terdiri dari beberapa dusun yaitu: Terok, Klile,
Cuwono, dan Karangasem. Selain empat dusun, desa ini juga terdiri dari
beberapa dukuh yaitu: Bendan, Cuwono, Jajar, Jowongan, Juwono,
Karangasem, Klile, Malon, Mojorejo, Sumberagung, Terok, Tlogo, dan
Kawenan. Desa ini dibatasi oleh; sebelah selatan merupakan Desa Tiyaran,
Sebelah Utara merupakan Bengawan Solo dan Kecamatan Nguter, Sebelah
Barat merupakan Desa Ngasinan, dan sebelah Timur berbatasan langsung
dengan wilayah Kabupaten Wonogiri.
Desa Karangasem sendiri memiliki beberapa lembaga yang terdiri
dari:
- BPD

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga


perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD
dapat dianggap sebagai “Parlemen”-nya desa. BPD merupakan lembaga
baru di desa pada era otonomi daerah di Indonesia. Semua anggota BPD
21
Parsons,Talcott. (1986). Esei-Esei Sosiologi (Terjemahan S. Aji) Jilid I dan II. Jakarta: Aksara Persada Press.
adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan
wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota
BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi,
pemuka agama, dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan
angota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1
kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak
diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat
Desa. peresmian anggota BPD ditetapkan dengan keputusan
Bupati/Walikota, di mana sebelum memangku jabatan mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama dihadapan masyarakat dan dipandu
oleh Bupati/Walikota. Ketua BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara
langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus. BPD berfungsi
menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.

- LPM

Tugas dan fungsi Lembaga Pemberdaya Masyarakat (LPM) beserta


definisinya konsep Lembaga Pemberdayaan Masyarakat berdasarkan
peraturan daerah nomor 13 tahun 2006 tentang lembaga kemasyarakatan
dan lembaga adat menyebutkan bahwa pengertian lembaga pemberdayaan
masyarakat yang selanjutnya disingkat LPM adalah lembaga, organisasi,
atau wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra
pemerintah kelurahan dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat di bidang pembangunan.

- RT/RW

Rukun warga atau sering disingkat RW merupakan lembaga


pemerintah yang terdiri dari beberapa RT di dalam suatu desa. Sedangkan
Rukun Tetangga atau sering disingkat RT merupakan lembaga yang
menghimpun beberapa KK atau Kepala Keluarga di setiap desa.

- PKK (Pemberdaya Kesejahteraan Keluarga)

PKK desa Karangasem mempunyai pengurus dan anggota, yang


diketuai Tim Penggerak PKK, Istri dari Kepala Desa. Adapun pengurus dan
anggota terdiri dari ibu atau istri perangkat desa, ibu atau istri-istri tokoh-
tokoh masyarakat yang ada di wilayah desa Karangasem.

- Karang Taruna

Karang taruna sendiri diciptakan untuk tujuan memberikan


pembinaan kepada para remaja di desa Karangasem, misalnya dalam
bidangg olahraga, ekonomi, ketrampilan, kesenian, dan keagamaan.

- BUMDES
BUMDES sendiri singkatan dari Badan Usaha Milik Desa. BUMDES ini dikelola
oleh pemerintah desa dan juga masyarakat. Peran utama dari BUMDES ini adalah untuk
mendorong perekonomian desa yang lebih baik lagi serta mendorong peningkatan desa
berdasarkan potensinya. Seperti contohnya adalah Wisata Gunung Pegat ini yang juga
dikelola oleh BUMDES.

Potensi wisata di desa Kaarangasem adalah potensi yang patut untuk


dikelola dengan baik supaya bisa memberikan pendapatan kepada
masyarakat desa Karangasem. Desa Karangasem memiliki potensi wisata
seperti Gunung Pegat. Selain itu, para warga desa Karangasem juga banyak
yang memiliki potensi seperti halnya ibu-ibu yang bisa masak jajanan
tradisional, kerajinan dari kayu, kerajinan dalam membuat layang-layang
besar dengan berbagai macam bentuk, ibu-ibu yang bisa menjahit, dan
banyak anak yang bisa menari tradisional juga. Namun, para warga belum
bisa mendapatkan penghasilan dari keahlian yang mereka milliki. Maka
dari itu wisata Gunung Pegat menjadi wadah bagi para warga yang memiliki
keahlian. Pemerintah desa menyediakan berbagai fasilitas yang bisa
menunjang keahlian para warganya seperti menyediakan pasar kuliner
yang hanya boleh diisi oleh warga desa Karangasem, pembuatan souvenir
seperti kaos, gantungan, topi, gelang, dan tas kecil yang dibuat oleh warga
yang pandai menjahit.

Selain potensi-potensi yang sudah disebutkan sebelumnya, ternyata


meninggalkan satu masalah yang di rasa bisa merugikan desa Karangasem
sendiri jika tidak ditindak lanjuti. Masalah yang dimaksud adalah adanya
pergesekan dari beberapa warga yang memiliki lahan atau tanah di sekitar
wilayah wisata. Beberapa warga tersebut merasa tanahnya dipakai untuk
pembangunan wisata. Padahal sebelum membuat wisata pihak desa sudah
memanggil petugas yang berwajib untuk mengecek luas lahan yang bakal
dipakai untuk wisata. Menurut penuturan pemerintah desa, para warga
tersebut hanya memanfaatkan momentum supaya bisa mendapatkan uang
ganti rugi. Parahnya, mereka menghasut para remaja dan beberapa warga
sekitar untuk tidak turut serta dalam kemajuan wisata Gunung Pegat.
Tentu saja jika dibiarkan, hal ini akan merugikan desa. Maka dari itu,
pihak pemerintah mengumpulkan bukti-bukti tentang luas lahan wisata
yang dipakai berapa. Setelah itu, pihak desa memberikan bukti-bukti
tersebut ke pihak yang bersangkutan. Syukurnya, para pihak yang
bersangkutan langsung paham dan tidak membuat keributan lagi.

BAB IV

Metode yang digunakan dalam pemberdayaan ini adalah PRA atau


Participatory Rural Appraisal, yaitu suatu pendekatan yang mengajak orang
dalam atau masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam proses
pembangunan atau pemberdayaan. Pada intinya, PRA ini adalah
pendekatan yang memungkinkan masyarakat untuk bisa saling
meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan
kehidupan desa, serta membuat rencana dan tindakan nyata. Menurut
Adimihardja & Hikmat, 2003. Prinsip-prinsip penerapan PRA yaitu seorang
peneliti memposisikan dirinya sebagai orang dalam bukan orang luar,
masyarakat dilihat sebagai subjek bukan objek, pemberdayaan dan
partisipatif masyarakat dalam menentukan indikator sosial.22

Dalam proses pengembangan dan pembangunan desa wisata, PRA


merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan melalui
pemerintah daerah atau desa sebagai pemegang kekuasaannya. Dengan
mengajak partisipasi dari masyarakat desa secara keseluruhan dalam
setiap kegiatan untuk mengembangkan wisata berbasis masyarakat. mulai
dari menganalisa potensi, menyusun rencana kerja serta evaluasi bersama
semua pihak yang terlibat. Setiaknya ada empat proses dalam
pengembangan dan pembangunan melalui PRA, diantarannya adalah:

- Analisa Potensi

Melihat, mengamati segala potensi, kondisi yang ada dan dimiliki


desa. baik sumber daya alam, sumber daya manusia, infrastruktur, seni
budaya dan lainnya.

- Musyawarah Mufakat

Dalam hal ini merupakan lanjutan dari analisa potensi kondisi desa
yaitu menyepakati sesuatu terkait apa yang menjadi kekuatan desa untuk
siap dipromosikan kepada pihak luar sebagai keunggulan desa tersebut.

- Penyusunan Perencanaan Kegiatan

Merupakan tahapan penting di mana apa yang dilakukan pemerintah


desa akan dipertanggung jawabkan secara administrasi. Dari rencana
kegiatan, rencana anggaran sampai rencana pelaksanaan kegiatan.

- Evaluasi Kegiatan

Tahapan penting yang harus dipertanggung jawabkan kepada


masyarakat, berkembang dan majunya sebuah desa wisata terganutng
bagaimana kerja sama yang dibangun antara pemerintah desa dan

22
Very Yudha. (2019, Oktober 22). “Participatory Rural Appraisal Dalam Praktik Desa Wisata”. desabisa.com.
https://www.desabisa.com/participatory-rural-appraisal-dalam-praktik-desa-wisata/ diakses pada 31 Mei 2022
masyarakat secara keseluruhan. Harapannya, ada masukan dan saran dari
evaluasi kegiatan.23

Dalam pemberdayaann yang ada di desa wisata Gunung Pegat


tentunya ada dasar pelaksanaan pemberdayaan atau undang-undangnya.
Selama wawancara dengan pihak kelurahan, peneliti menangkap ada dua
undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan yaitu Undang-undang
Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dan Undang-undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Selain dasar pelaksanaan
pemberdayaan, ada pula pelaku pemberdayaan di desa wisata Gunung
Pegat ini di antaranya adalah sebagai berikut:

- Bambang Minarno, S. Ag.


- Sigit Ariyaden, S.E.
- Gatot Subroto
- Dwi Fitriawan

Dalam teknis pelaksanaan pemberdayaan dimulai dengan melakukan


diskusi dengan para pihak terkait seperti kepala desa, kaur pembangunan,
dan seluruh pegawai kelurahan, ada pula dari pihak BUMDES, karang
taruna, juga masyarakat desa Karangasem. Kegiatan tersebut meliputi
pengumpulan informasi, masukan dan evaluasi terkait pengembangan apa
yang bisa dilakukan khususnya meminta usulan bentuk kegiatan
pemberdayaan masyarakat termasuk penanggungjawaban dan
kemungkinan untuk pendanaannya.

BAB V

Sebagian besar desa di negara kita, negara Indonesia, saat ini


memilik anggaran yang cukup besar untuk membuka dan mengembangkan
potensi yang dimiliki suatu desa. Seperti halnya yang dilakukan oleh desa
Karangasem, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Pada
tahun 2018, pemerintah desa Karangasem mencoba mengembangkan
wisata. Dalam rangkan mengembangkan wisata, pemerintah setempat
mencoba mencari-cari tempat atau lahan yang sekiranya cocok untuk
dijadikan wisata. Setelah menemukan lahan yang sekiranya cocok,
pemerintah daerah memastikan terlebih dahulu apakah lahan tersebut
milik desa atau bukan. Setelah status tanahnya sudah jelas, pemerintah
setempat langsung membuat rencana pembangunan wisata di wilayah
tersebut. Wilayah yang akan dibanguun unutk dijadikan wisata ternyata
adalah sebuah tanah kosong yang ada di kawasan Gunung Pegat.

23
Very Yudha. (2019, Oktober 22). “Participatory Rural Appraisal Dalam Praktik Desa Wisata”. desabisa.com.
https://www.desabisa.com/participatory-rural-appraisal-dalam-praktik-desa-wisata/ diakses pada 31 Mei 2022
Seperti biasa, karena ini lahan kosong yang sebelunya tidak
berpenghuni dan masih sangat rapat dengan pepohonan dan bebatuan.
Maka dari itu hal yang pertama kali dilakukan adalah membuka untk akses
jalan ke lokasi yang akan dijadikan wisata terlebih dahulu. Setelah akses
sudah terbuka, barulah dimulai pembangunan wisata di wilayah tersebut.
Dari awal pembangunan di tahun 2018 sampai dengan sekarang
pembangunan wisata di gunung pegat belum bisa dibilang selesai, masih
ada beberapa sektor yang akan terus dikembangkan seperti membuat spot-
spot selfie alami, membuat gazebo supaya para pengunjung bisa bersantai
dan masih banyak lagi.

Menurut penuturan salah satu pegawai kelurahan (Bapak Sigit)


mengatakan bahwa yang diunggulkan dari wisata Gunung Pegat ini adalah
pemandangannya, baik itu di pagi hari maupun malam hari. Pengelola
wisata akan terus menggali spot-spot alami yang memungkinkan untuk
dibangun guna menambah daya tarik pengunjung. Untuk saat ini ada
beberapa hal yang masih dibenahi, termasuk peraturan-peraturan dan
larangan-larangannya, seperti dilarang berbuat mesum, dilarang membawa
senjata tajam, dilarang berburu hewan di kawasan Gunung Pegat. Pengelola
juga sudah memasang papan informasi yang salah satunya berisi sanksi
bagi pelanggar peraturan, misalnya jika ada yang berbuat mesum akan
didenda sebesar lima juta rupiah.

Gunung Pegat yang ada di Kabupaten Sukoharjo menjadi salah satu


alternatif tujuan warga kota Solo dan sekitarnya bagi yang ingin
menyaksikan keindahan matahari terbit maupun tenggelam. Objek wisata
alam itu menawarkan keindahan panaroma sunrise dan sunset yang begitu
indah dengan pemandangan terbuka ke arah timur. Meski tidak terlalu
tinggi, pengunjung tetap akan disuguhkan dengan panaroma alam yang
menawan. Selain sunrise dan sunset, pemandangan berupa hamparan
sawah dan perbukita di sekitarnya benar-benar memanjakan mata.
Pemandangan seperti itu jelas menjadi latar belakang terbaik untuk berfoto.
Pengunjung juga bisa berkemah untuk menikmati keindahan gemerlap
bintang langit pada malam hari.

Bagi para pengunjung yang ingin menikmati keindahan alam di


Gunung Pegat tidak perlu khawatir tentang biaya masuk, karena biaya
masuk di sini relatif murah. Dimulai dari biaya parkir, di sini biaya parkit
dibagi menjadi tiga golongan yaitu tiket parkir sepeda Rp. 1000, tiket parkir
sepeda motor Rp. 2000, dan tiket parkir mobil Rp. 5000. Sedangkan unut
tiket masuk dibagi menjadi dua golongan , yang pertama untuk anak-anak
sebesar Rp. 1000 dan untuk dewasa sebesar Rp. 3000 saja.

Selain pemandangan alam, pihak pengelola juga menyediakan pasar


kuliner tradisional yang buka setiap hari minggu. Walaupun pasar kuliner
tradisional hanya buka pada hari minggu, tapi setiap hari masih ada yang
jualan walaupun tidak seramai hari minggu. Para pedagang di sini juga
ditarik biaya retribusi sebesar Rp. 5000 setiap buka di hari biasa dan Rp.
10.000 di hari minggu. Para pedagang di sini tidak berjualan bebas
membuka lapak sendiri, akan tetapi sudah disediakan kios. Sampai saat ini
hanya ada 10 kios, setiap kios bisa diisi maksimal 3 pedagang. Terlepas
dari hal tersebut, ada aturan unik yang harus dipatuhi setiap pedagang di
pasar kuliner yaitu setiap pedagang tidak boleh menjual makanan yang
sama. Hal tersebut dilakukan supaya para pedagang tidak merasa tersaingi
karena ada persamaan barang dagangan. Bagi para pengunjung yang tidak
mau membeli makanan, mereka juga bisa membeli souvenir sebagai oleh-
oleh ketika pulang dari gunung pegat. Banyak variasi souvenir yang bisa
dipilih dan dibeli oleh para pengunjung, di antaranya seperti kaos,
gantungan, topi, gelang, dan juga tas kecil. Semua souvenir yang
disediakan di gunung pegat tentunya hasil produksi dari ibu-ibu warga
desa Karangasem yang pandai menjahit.

Selain itu, yang menjadi daya tarik dari pengunjung ada spot-spot
selfie berlattar belakang bentangan alam yang indah. Di pagi atau sore hari,
para pengunjung juga bisa mengabadikan momen dengan matahari terbit
atau tenggelam. Khusus anak-anak, pihak pengelola juga menyediakan
beberapa permainan untuk anak-anak seperti trampolin, mandi bola, mini
coaster dan lain sebagainya. Biaya untuk setiap spot selfie dan setiap
permainan anak sebesar Rp. 5000 saja. Wisata Gunung Pegat tidak hanya
ada di waktu pagi sampai sore saja, bahkan di malam hari juga di buka
untuk wiatawan biasa atau wisatawan yang mau berkemah. Khusus malam
hari biayanya berbeda karena kalau berkunjung malam hari itu sudah
dianggap akan berkemah di wilayah Gunung Pegat maka dari itu akan
dikenakan tarif camp sebesar Rp. 15.000.
Dengan adanya wisata di suatu wilayah, tentu saja akan mengangkat
sumber pendapatan desa bahkan sumber pendapatan masyarakat
setempat. Seperti halnya pada Wisata Gunung Pegat yang meningkatkan
sumber pendapat desa dan sumber pendapatan masyarakat. Maka dari
pihak pengelola mengkususkan, hanya warga desa Karangasem saja yang
boleh berjualan di pasar kulinernya. Tidak hanya itu, mulai dari para
pengelola, penjaga tiket, tukang parkir, tukang bersih-bersih, produksi
souvenir, pembuatan gazebo semuanya dari warga lokal. Belum lagi jika
ada event-event yang membutuhkan tenaga kerja lebih banyak.

Wisata Gunung Pegat benar-benar sangat membantu perekonomian


desa dan masyarakat setempat. Dilihat dari penjualan tiket, setiap hari
minggu tidak kurang dari seribu tiket habis dan di hari-hari biasa hanya
terjual sekitar 200an tiket. Belum lagi penjualan makanan, biaya untuk
masuk spot selfie, permainan anak, parkir, dan lain sebagainya.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh desa Karangasem sampai
saat sudah berjalan cukup baik, tinggal bagaimana pemerintah desa
mempertahankan dan meningkatkannya. Dengan adanya wisata Gunung
Pegat di desa Karangasem ini diharapkan supaya desa-desa lain yang
berada di dekat karangasem juga mengembangkan potensinya.

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan, maka pihak-pihak


yang berkepentingan baik sebagai pelaksana dan pemberi dampak, serta
yang menerima dampak dalam pengelolaan wisata Gunung Pegat adalah
sebagai berikut:

- Bambang Minarno, S. Ag. Selaku kepala desa Karangasem


- Sigit Ariyaden, S.E. selaku kaur pembangunan di desa Karangasem
- Gatot Subroto selaku ketua BUMDES
- Dwi Fitriawan selaku bendahara BUMDES
- Serta seluruh masyarakat desa Karangasem

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dan hasil wawancara dengan


pihak terkait, maka ditemukan beberapa isu-isu strategi yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah desa seperti halnya adanya pergesekan dari
beberapa warga yang memiliki lahan atau tanah di sekitar wilayah wisata.
Beberapa warga tersebut merasa tanahnya dipakai untuk pembangunan
wisata. Padahal sebelum membuat wisata pihak desa sudah memanggil
petugas yang berwajib untuk mengecek luas lahan yang bakal dipakai
untuk wisata. Menurut penuturan pemerintah desa, para warga tersebut
hanya memanfaatkan momentum supaya bisa mendapatkan uang ganti
rugi. Parahnya, mereka menghasut para remaja dan beberapa warga sekitar
untuk tidak turut serta dalam kemajuan wisata Gunung Pegat. Tentu saja
jika dibiarkan, hal ini akan merugikan desa. Maka dari itu, pihak
pemerintah mengumpulkan bukti-bukti tentang luas lahan wisata yang
dipakai berapa. Setelah itu, pihak desa memberikan bukti-bukti tersebut ke
pihak yang bersangkutan. Syukurnya, para pihak yang bersangkutan
langsung paham dan tidak membuat keributan lagi. Selain itu, ada
beberapa proyek yang tertunda seperti festival layangan dan semenjak ada
wabah covid-19 di wisata Gunung Pegat ini belum mengadakan event-event
yang tentunya bisa meningkatkan penghasilan dari wisata ini.

Sehingga pada analisis keberlanjutan program menunjukan bahwa


pihak pengelola harus segera mengadakan event-event di wisata Gunung
Pegat yang bisa meningkatkan penghasilan. lalu pihak pengelola harus bisa
menemukan potensi-potensi yang mungkin bisa digali dan segera dapat
diberdayakan. Selebihnya, menurut analisis peneliti dengan adanya wisata
gunung pegat ini sudah sangat bagus karena bisa mengangkat nama desa
dan bisa menjadi wadah bagi para masyarakat mengoptimalkan potensi-
potensi yang dimiliki.

Gambar peneliti turun lapangan

Gb. Penulis wawancara dengan Bapak Sigit Gb. Penulis mengunjungi wisata

(Kaur Pembangunan)
Gb. Penambilan Gazebo Gb. Tiket masuk dan parkir

Gb. Wilayah perkemahan Gb. Pemandangan Sekitar Gunung

Gb. Kios di pasar kuliner Gb. Salah satu spot foto


Gb. Penulis wawancara dengan Muhhamad Ikhsan

(Sekretaris BUMDES)

BAB VI

Ada beberapa saran dan keberlanjutan untuk pemberdayaan ini,


diantaranya adalah:

- Diharapkan pengelola bisa membuat event-event yang diadakan


minimal seminggu sekali sehingga dengan adanya event tersebut bisa
meningkatkan pendapatan.
- Diharapkan pemerintah desa atau pihak pengelola bisa menemukan
potensi-potensi yang bisa digali lagi dan bisa segera diberdayakan.
- Diharapkan program-program yang sempat tertunda karena adanya
pembangunan atau karena adanya wabah Covid-19 bisa segera
dimulai.

Daftar Pustaka
Junaid, Ilham dan Muh. Arifin M. Salim. 2019. Peran Organisasi Tata Kelola
Dalam Pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran, yogyakarta: PUSAKA:
Journal of Tourism, Hospitality, Traveland Business Event.

Andiyani, Anak Agung Istri, Edhi Martono, Muhammad. (2017).


“Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata dan
Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah (Studi di
Desa Wisata Panglipur Bali). Jurnal Ketahanan Nasional.

Desiati, Rosita. (2013). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan


Program Desa Wisata”. Diklus: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah.
Hidayah, Novia Istoria. (2017). “Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengembangan Desa Wisata Jatimulyo, Girimulyo, Kulonprogo,
Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam skripsi jurusan Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Rindi, Tyas Arma. (2019). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui


Pengembangan Desa Wisata (Studi Kasus Desa Wonokarto, Kec.
Sekampung Kab. Lampung Timur)”. Dalam skripsi Program Studi
Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis IAIN Metro Lampung.

Sabtimarlia. (2015). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Desa


Wisata Sambi di Dusun Sambi, Pakembinangun, Pakem, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam skripksi jurusan Pendidikan
Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta.

Fitriawan, Erich. (2012). “Pemberdayaan Obyek Wisata Goa Jatijajar Melalui


Partisipasi Masyarakat di Desa Jatijajar Kecamatan Ayah Kabupaten
Kebumen”. Dalam skripsi Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Rohim, Abdur. (2013). “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan


Desa Wisata (Studi di Desa Wisata Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo,
Kabupaten Gunung Kidul, DIY)”. Dalam skripsi Program Studi
Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sucianti, Okta. (2009). “Pemberdayaan Kelompok Industri Rumah Tangga


Emping Garut (Studi Deskriptif Kualitatif menegnai Pemberdayaan
Kelompok Industri Rumah Tangga Emping Garut di Desa Kunti,
Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali)”. Dalam skripsi Program
Studi Sosiologi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret Surakarta.

Apriyana, Lediana. (2019). “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi


Lokal di Desa Wisata Kunjir Kecamatan Rajabasa Kabupaten
Lampung Selatan”. Dalam skripsi Program Studi Pengembangan
Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden
Intan Lampung.

Putri, Fransisca Sherly Maharani Cahya. (2021). “Pemberdayaan


Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Blue Lagoon
Kabupaten Sleman”. Dalam Skripsi Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Catatan perkulliahan yang disampaikan oleh cak Abd. Aziz Faiz, M. Hum.
“Community Development (Pengertian, Aspek, tujuannya)”. Olahkarsa.
https://blog.olahkarsa.com/community-development-pengertian-
aspek-dan-tujuannya/

Budi W. Soetjipto, et.al. (2002). Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya


Manusia. Jogjakarta: Amara Book.

Fernando Stefanus Lodjo. (2014). “Pengaruh Pelatihan, Pemberdayaan dan


Efikasi Diri Terhadap Kepuasan Kerja”. Jurnal Emba. 1(3).

Budi W. Soetjipto, et.al. (2002). Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya


Manusia. Jogjakarta: Amara Book.

Marie Weil, Michael S. Reisch, Marry L. Ohmer. (2012). The Handbook of


Community Practice. USA: SAGE Publications.

Cathryn Crosby, Frederick Brockmeier. (2016). Student Experiences and


Educational Outcomes in Community Engagement for the 21st
Century. USA: IGI Global.

Sunyoto Usman. (2008). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.


Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Parsons,Talcott. (1986). Esei-Esei Sosiologi (Terjemahan S. Aji) Jilid I dan


II. Jakarta: Aksara Persada Press.

Very Yudha. (2019, Oktober 22). “Participatory Rural Appraisal Dalam


Praktik Desa Wisata”. desabisa.com.
https://www.desabisa.com/participatory-rural-appraisal-dalam-
praktik-desa-wisata/ diakses pada 31 Mei 2022

Lampiran

Transkrip wawancara dengan Bapak Sigit Ariyaden salah satu


pegawai kelurahan (Kaur Pembangunan), pada 13 April 2022.

Keterangan:

T: Tanya

J: Jawab

T: “Bagaimana gagasan dan tujuan awal tentang terciptanya ide


pembangunan wisata di gunung pegat?”
J: “Jadikan desa atas dasar Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 dan
Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 berupaya untuk mempunyai
BUMDES. Terus untuk usaha itukan dari karangasem sendiri terus
menggali potensi. Pada tahun 2018 kita mencoba mengembangkan wisata
Gunung Pegat. Awalnya cukup berat, karena yang pertama kali kita
pikirkan itu harus membuka akses jalan dulu ke gunung pegat, termasuk
memperjelas status tanahnya. Kita dari desa itu memperjelas status tanah
yang akan dijadikan wisata. Jadi termasuk pengembangan desa wisata itu
termasuk salah satu tuntutan dari mentri pariwisata termasuk amanat
undang-undang desa 2014, desa dituntut untuk mempunyai usaha. Pada
awalnya kita menggunakan anggaran dana desa, sambil berjalan itu mulai
2018 mulai dibuka dan sampai sekarang berjalan terus. Selain itu, di desa
Karangasem ini memiliki warga yang kreatif-kreatif. Contohnya banyak
yang bisa memasak makanan tradisional dan snack, membuat layangan,
menjahit, tari tradisional dan masih banyak lagi. Tapi kebanyakan hanya
dipakai untuk pribadi saja, dari situ kami selaku pemerintah ingin
memberikan wadah bagi mereka agar tersalurkan dan yang penting bisa
menghasilkan uang”

T: “Sebelum menjadi wisata seperti sekarang, lahan wisata gunung pegat


dulu digunakan unutk apa?”
J: “Dulu sebelum jadi wisata seperti sekarang, lahan tersebut diberi nama
‘tanah O’ atau tanah tak bertuan, maka dari itu status tanahnya diperjelas.
Sekarang tanah tersebut sudah jelas milik desa dan dimanfaatkan untuk
lokasi wisata.”

T: “Sampai saat ini, sektor mana saja yang masih perlu diperbaiki?”
J: “Kalau gunung pegat ini terus bebenah, baik itu meningkatkan
kenyamanan pengunjung kita buat spot-spot selfie, membuat gazebo,
membuat spot-spot alami buat foto.”

T: “Spot mana yang menjadi daya tarik utama dari gunung pegat?”
J: “Yang kita unggulkan itu kan di pemandangannya, baik itu
pemandangan di pagi atau sore bahkan malam hari. Kalau yang rame
itukan di sore hari dan malam hari, kalau pagi itu yang paling rame hari
ahad karena ada pasar kulinernya. Ya itu, kita terus mengembangkan atau
menggali spot-spot alami yang memungkinkan untuk kita bangun untuk
menambah daya tarik. Ya masih ada beberapa hal yang masih perlu kita
benahi, termasuk peraturan-peraturan dan larangan-larangannya, seperti
dilarang berbuat mesum, dilarang membawa sajam, dilarang berburu
hewan di sana. Kita juga sudah memasang papan informasi yang slaah
satunya berisi sanksi bagi pelanggar peraturan, misalnya kalau ada yang
berbuat mesum itu kita sanksi untuk membayar denda lima juta.”

T: “Berapa biaya sewa untuk tempat berjualan?”


J: “Untuk pasarnya itu dikenai retribusi karena gunung pegat itukan
dikelola BUMDES. BUMDES membuat peraturan sedemikian rupa
termasuk mengenakan retribusi unutk para pedagang, kemudian termasuk
pengunjung. Pendapatan yang di dapatkan ya dari itu tadi, dari tiket parkir,
retribusi masuk, retribusi pedagang itukan masuk ke BUMDES. Nha kalau
untuk retribusi pedagang itu sehari lima ribu, tapi semisal libur tidak
ditarik uang retribusi. Untuk pasar kuliner yang buka hari minggu beda
lagi, setiap kios ditarik sepuluh ribu.”

T: “Apakah di pasar kuliner ada aturan-aturannya?”


J: “Aturan jelas ada mas, seperti misalnya setiap pedagang tidak boleh
menjual makanan yang sama dengan yang lain. Contohnya kalau sampeyan
jualan ketan, saya tidak boleh jualan ketan. Satu kios itu dipakai tiga
orang, di gunung pegat kita menyediakan sepuluh kios jadi total ada tiga
puluh pedagang, nah itu harus beda-beda jualannya.”

T: “Yang boleh dagang di pasar kuliner itu harus dari warga sekitar atau
bebas?”
J: “Pasar kuliner itu khusus untuk penduduk lokal atau penduduk desa
karangasem. Jadi untuk pemberdayaan masyarakat di karangasem begitu
mas.”

T: “Bagaimana sistem jam buka di gunung pegat?”

J: “Kalau pagi itu sebelum jam enam sudah buka sampai malam itu jam
sembilan. Kalau lebih jam sembilan kita kenakan tarif camp.”

T: “Semenjak ada wabah covid ini pengunjungnya apa tetap banyak?”

J: “Dilihat dari penjualan tiket pas hari minggu itu tidak kurang dari seribu
pengunjung. Kalau hari biasa ya dua ratusan lah mas.”

T: “Apakah ekonomi masyarakat sekitar terbantu dengan adanya wisata


gunung pegat?”

J: “Sangat membantu mas, karena pemberdayaannya kan tidak hanya di


pasar, termasuk pengelola, penjaga tiket, tukang parkir, tukang bersih-
bersih, produksi souvenir, pembuatan gazebo itu semua kan dari warga
lokal. Nanti kalau misal ada event-event kan tambah tenaga kerja, itu juga
dari warga lokal.”

T: “Lalu bagaimana peran pemerintah desa dalam pengembangan wisata


ini?"

J: “Ya seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi, contohnya seperti
menggali potensi desa, memperjelas status tanah yang akan dijadikan
wisata nanti, mengakomodasi pengembangan wisata setelah semua sudah
berjalan lancar pemerintah desa juga membentuk BUMDES.”

T: “Bisa dijelaskan tentang BUMDES ini?”


J: “Jadi BUMDES itu Badan Usaha Milik Desa yang pengelolaannya
dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. fungsi dari BUMDES ini
intinya untuk mendorong perekonomian desa yang lebih baik. Dan
BUMDES ini dapat mendorong peningkatan perekonomian desa bedasarkan
potensinya. Misalnya kalau di sini kan lewat wisata Gunung Pegat.”

T: “Untuk organisasi masyarakat sendiri bagaimana perannya?”

J: “Kalau organisasi masyarakat sendiri seperti dari karang taruna


perannya banyak ya mas. Kita melibatkan karang taruna, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan bahkan saat evaluasi. Saat mencari spot-spot
yang bagus untuk dijadikan tempat foto kita juga meminta bantuan dari
pemuda, ya karena pemuda sekarang ini kan banyak sekali referensinya.
Karang taruna juga memberikan ide-ide tambahan untuk pengembangan
wisata Gunung Pegat. Bahkan kita mengandalkan karang taruna untuk
mempromosikan tempat wisata ini. biasanya mereka melakukan promosi
lewat media sosial atau memberi tahu teman-teman luar daerah kalau pas
nongkrong, kan pemuda sekarang juga sering nongkrong jadi lebih mudah
memberi tahu ke orang lain seperti ‘di tempatku ini lho ada tempat wisata
yang murah dan bagus’, ya kira-kira seperti itulah mas peran dari karang
tarunanya.

T: “Kalau dari organisasi masyarakat yang lain seperti Ibu-ibu PKK apakah
ada perannya juga?”

J: “kalau Ibu-ibu PKK mungkin perannya dari program latihan masak


bareng setiap seminggu sekali ya mas. Jadi kegiatan ini ibu-ibu diajari
masak mulai dari membuat kue pasar ,masakan tradisional dan lain-lain
mas. Terus pasar kuliner tradisional di wisata gunung pegatkan yang jualan
dikhususkan dari masyarakat desa saja. Jadi tujuan dari kegiatan ibu-ibu
PKK tadi ya supaya ibu-ibu bisa jualan di sana sekaligus meramaikan pasar
kuliner tradisonal di wisata Gunung Pegat.
Transkkrip wawancara dengan Muhammad Ikhsan (sekretaris
bumdes) pada 20 April 2022.

T: Melanjutkan dari wawancara dengan bapak Sigit sebelumnya, menurut


sampeyan untuk potensi dari wisata ini apa saja ya mas?

J: Jadi, untuk desa Karangasem sendiri potensinya cukup banyak, yang


pertama dari ibu-ibu yang bisa masak makanan tradisional. Kedua,
kerajinan seperti kerajinan kayu, pembuatan layangan besar dengan
berbagai macam bentuk. Nha, untuk layangan ini sebenarnya banyak sekali
anak-anak muda yang bisa membuat macam-macam bentuk. Tapi ya
namanya masih anak muda, mikirnya hanya untuk dimainkan sendiri
sama teman-teman di lapangan. Maka dari itu, pada awal tahun ini mau
dibuat festival layangan, tapi kami dari pihak pemerintah masih
mempersiapkan proses pembangunan. Jadi sementara dituunda
dulu,mungkin akan diselenggarakan setelah proses pembangunannya
selesai. Semoga nanti setelah diadakannya festival layangan, anak-anak
muda kami jadi semangat unutk pamer karya mereka, dan yang terpenting
mereka bisa dapat penghasilan lebih dari karya mereka. Lalu ibu-ibu di
desa Karangasem sendiri juga banyak yang bisa menjahit. maka dari itu,
kami memaksimalkan potensi ibu-ibu tersebut untuk membuatkan
souvenir yang bakal dijual di wisata gunung pegat seperti kaos, gantungan,
topi, gelang, dan rencana selanjutnya akan ada tas kecil juga. Lalu banyak
yang bisa menari juga, tapi untuk yang satu ini masih belum
dikembangkan karena itu masih target selanjutnya.

T: Kalau untuk metode pelaksanaannya menggunakan PRA atau RRA? Atau


malah pakai metode yang lain?

J: Mungkin lebih condong ke PRA mas, karena sampai saat ini hanya
dikelola oleh pemerintah desa, terus dari BUMDES, masyarakat desa, dan
dari dana pensiun.

T: Maaf mas, maksud dari dana pensiun itu bagaimana ya? Apakah dari
mantan pegawai yang pernah kerja di kelurahan?

J: Iya mas benar, jadi untuk mendukung adanya wisata gunung pegat ini
para mantan pegawai kelurahan desa Karangasem membantu dengan
menyumbang uang dari dana pensiun mereka. Walaupun nanti juga bakal
kami ganti mas. Selain itu, Pak Bambang selaku lurah juga sangat sibuk
cari dana ke kabupaten. Bahkan, jika dananya masih kurang, beliau sendiri
yang nambahin.

T: Kalau untuk pelaku pemberdayaan/stakeholder siapa saja ya mas?


J: Yang jelas dari pemerintah desa. Pertama, Pak Bambang Minarno, S. Ag.
(Kepala desa), kedua Pak Sigit Ariyaden, S. E. (Kaur Pembangunan), ketiga
Pak Gatot Subroto (ketua BUMDES), terakhir Pak Dwi Fitriawan (bendahara
BUMDES)

T: Sampai saat ini apa ada hambatan-hambatan atau isu permasalahan


dalam pengelolaan tersebut?

J: Sebenarnya akhir-akhir ini lumayan terjadi pergesekan ya mas dari


beberapa warga yang memiliki tanah di sekitar wilayah wisata. Mereka
merasa tanah mereka kegeser dengan wisata gitu mas. Padahal sebelum
membuat wisata pun kami sudah memanggil petugas untuk mengecek luas
wilayah biar kejadian seperti ini tidak terjadi. tapi ya namanya pemikiran
setiap warga berbeda-beda, jadi ada beberapa warga yang memanfaatkan
momentum. Alhamdulillah-nya, setelah kami beri bukti bahwa luas lahan
wisata sekian-sekian, mereka langsung paham. Masalah kami dalam
pengembangan ini sebenarnya masih banyak ya, mulai dari program-
program seperti festival layangan yang belum berjalan karena masalah
pembangunan yang belum selesai, lalu menggali lebih dalam lagi perihal
para warga yang bisa menari ini nanti programnya akan dibuat seperti apa.
Ya intinya seperti itulah mas, karena wisata ini masih baru juga, jadi
mohon dimaklumi kalau masih banyak PR-nya.

Anda mungkin juga menyukai