Abstrak
Penelitian ini membahas representasi transgender dan transeksual dalam pemberitaan di media
massa. Objek penelitian adalah artikel-artikel berita Pos Kota berupa media cetak dan online
selama tahun 2012-2013. Analisis wacana kritis yang digunakan dalam penelitian ini menga-
cu pada Michel Foucault, sekaligus juga menggunakan pemikiran Michel Foucault mengenai
kekuasaan dan seksualitas. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam representasi transgender
dan transeksual dalam pemberitaan memiliki unsur transphobia yaitu ketakutan terhadap trans-
gender dan transeksual, mengandung prasangka dan streotipe serta menampilkan adanya hate
(kebencian) terhadap transgender dan transeksual. Hal ini dikarenakan adanya kekuasaan be-
rupa konstruksi sosial yang mengkotak-kotakkan individu berdasar dua jenis kelamin sehingga
transgender dan transeksual dianggap sebagai individu yang sakit karena tidak berkonformitas
sesuai jenis kelamin lahiriah.
Pendahuluan
S
etiap manusia lahir dengan dapat hidup dengan layak. Hak asasi manusia
membawa hak asasi yang melekat menurut John Locke (1960) dinyatakan
dan tidak dapat dihilangkan. Hak sebagai berikut.
asasi tersebut harus dipenuhi agar manusia
37
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 9 Nomer 1, Desember 2013
37-49
38
Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan
Analisis Wacana Kritis
Anindita Ayu Pradipta Yudah
Stigmatisasi ini berkembang begitu kental di ‘diakui’ tetapi juga memperhatikan perlakuan
dalam konteks masyarakat Indonesia. Selain diskriminasi yang termotivasi oleh hate crime
dilatari oleh konstruksi patriarki yang begitu terhadap kelompok berbeda. Kampanye
kental di mana laki-laki dikonstruksikan seperti ini di dunia ditujukan untuk
adalah makhluk yang jantan, stigma terhadap mengatasi kekerasan karena homophobia dan
transgender dan transeksual juga dikaitkan transphobia yang dialami kelompok queer
dengan homophobia yang terkadang (Spade dalam McGarry, 2007:246).
bersumber pada keyakinan agama. Liska Namun demikian, pembahasan dan
dan Messner (1999) menjelaskan bahwa penggambaran mengenai kelompok trans
konstruksi dapat menjadi suatu interprestasi tidak hanya terjadi pada kehidupan nyata,
sosial yang mempengaruhi perilaku dan reaksi karena di dalam ruang teks fenomena ini
masyarakat (Hutton, 2009:6). juga menjadi perhatian. Contohnya ada
Transphobia erat pula kaitannya dengan karya sastra berupa novel yang mengangkat
konsekuensi berupa munculnya hate crime fenomena dan kehidupan transgender dan
dimana hate tidak selalu tentang kebencian, transeksual yang berjudul Taman Api. Novel
namun juga tentang bias dan prasangka. ini bercerita tentang waria yang dianggap
Terkadang apa yang menyebabkan terjadinya gender ketiga. Taman Api yang ditulis oleh
hate crime adalah ketidaksukaan, fanatisme, Yonathan Rahardjo ini menggambarkan
pikiran irrasional, dan pengalaman tidak sisi-sisi tersembunyi kehidupan transgender
menyenangkan sebelumnya terhadap dan transeksual yang kompleks. Dengan
objek yang kemudian menjadi sasaran pendekatan kritis, novel ini menyuguhkan
kebencian (Jacobs & Potter, 1998). Prasangka kehidupan transgender dan transeksual
yang dilekatkan kepada individu trans dari beragam segi serta menguak praktik
mengakibatkan mereka menjadi sasaran picik dan ilegal yang menempatkan individu
kebencian yang mengakibatkan mereka tidak trans sebagai obyek penderita, yaitu misi
diterima sebagai bagian dari masyarakat. rahasia berkedok agama untuk melenyapkan
Melalui Deklarasi Montreal, 29 Juli 2006, transgender dan transeksual melalui bisnis
dibuatlah sebuah rekomendasi kepada gelap bedah kelamin (Taman Api, 2011).
seluruh negara di bawah Perserikatan Bangsa Selain itu, tidak jarang dalam berita kita
Bangsa untuk mengakui dan mempromosikan melihat atau membaca pemberitaan yang
International Day against Homophobia mengangkat transgender dan transeksual
and Transphobia setiap tanggal 17 Mei. sebagai subjeknya. Terkadang, individu trans
Bagi Indonesia, deklarasi ini sebenarnya disalahrepresentasikan oleh media massa
didukung oleh Deklarasi Universal Hak-Hak dan juga sistem peradilan pidana. Mereka
Asasi Manusia yang jauh sebelumnya telah dikategorikan tidak hanya sebagai penyimpang
diratifikasi melalui Undang Undang No 39 namun juga penipu dan kriminal. Media massa
Tahun 1999. Di dalam UU ini ditegaskan memiliki tanggung jawab yang besar dalam
bahwa adalah sebuah keharusan antar merepresentasikan individu trans, dimana
sesama manusia untuk saling melindungi, terkadang dituliskan bahwa mereka adalah
menghormati, mempertahankan, dan “sins of deception” and “sexual fraud”. Hal
tidak mengurangi maupun mengabaikan ini menyebarkan stereotipe dan miskonsepsi
adanya hak asasi manusia. Untuk mengatasi dalam identitas individu trans (Whittle, 2006).
kekerasan, diusulkan adanya peningkatan Pemberitaan di media massa bisa diibaratkan
kerja sistem peradilan pidana untuk tidak sebuah lingkaran yang berhubungan dengan
hanya melindungi seks dan gender yang sistem yang berkembang di masyarakat,
39
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 9 Nomer 1, Desember 2013
37-49
aturan norma yang dianggap sebagai patokan laki-laki trans membutuhkan pelayanan
dan interprestasi terhadap suatu fenomena. ginekologis. Sedangkan transphobia
Semua hal tersebut berbentuk lingkaran yang langsung, segala kegiatan yang merugikan
saling mempengaruhi. Teks yang terdapat individu didasari identitas gender mereka.
dalam berita memiliki kekuatan untuk Transphobia secara langsung termasuk
mempengaruhi. Teks memproduksi wacana praktik diskriminasi, perkataan menghina
(Parker, 1992). Menurut Parker, wacana atau gangguan fisik dan emosi, ancaman dan
adalah sistem dari pernyataan yang menggagas kekerasan. Hal ini dikarenakan keyakinan
objek. Parker juga mendefinisikan wacana dari bahwa gender yang tidak dikonstruksikan
menjadi teks (ada berbagai macam teks, tidak secara tradisional bukan bagian dari sistem
hanya yang tertulis), melanggengkan adat, sosial dan karenanya harus mendapatkan
memproduksi relasi kekuasaan dan memiliki pengobatan.
efek ideologi (Whittle, 2002:41). Individu trans yang dikategorikan
sebagai transgender dan transeksual oleh
Tinjauan Teoritis Bettcher (2007) didefinisikan sebagai
Kerangka konsep dalam penelitian berikut. Transgender adalah orang yang
ini adalah transphobia, transgender dan tidak berpenampilan sama dengan peranan
transeksual, cisgender, representasi, analisis gender yang telah diterima sejak lahir.
wacana kritis, media massa, stereotipe dan Sedangkan transeksual adalah individu
prasangka serta hate crime. Sedangkan, yang secara hormonal atau pembedahan
landasan teori yang peneliti gunakan adalah melakukan ‘perubahan’ pada alat kelamin
pendekatan kriminologi kritis dari Michel dan tubuhnya. Secara sederhana merujuk
Foucault mengenai seksualitas dan kekuasaan. pada individu yang mengalami gender
Transphobia dituliskan oleh Hill dan dysphoria atau terperangkap pada tubuh
Willoughby (2005) sebagai emosi berbentuk yang salah (Garland, 2009:74). Gay, Lesbian,
kebencian kepada individu yang tidak Straight, Education Network (GLSEN)
menyesuaikan diri berdasar ekspektasi gender juga memberikan definisinya mengenai
yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. transgender dan transeksual sebagai berikut.
Sama dengan homophobia, ketakutan atau Transgender adalah payung untuk individu
keengganan akan homoseksual, transphobia yang berekspresi gender tidak sesuai dengan
juga mencakup reaksi akan perempuan seksnya, contohnya transeksual, cross dresser,
maskulin, laki-laki feminin, cross dresser, dragking dan dragqueens. Sedangkan
transgender dan atau transeksual. Fobia transeksual adalah individu yang tidak
sendiri secara sederhana dijelaskan sebagai mengikuti gender sesuai jenis kelamin saat ia
ketakutan atau kebencian irasional yang dilahirkan, dan terkadang melakukan operasi
terkadang dipengaruhi oleh ideologi kultural atau intervensi hormon untuk ‘bertransisi’
(Lewis Turner, 2009:7). (Gay, Lesbian, Straight, Education Network/
Transphobia ini dibagi menjadi dua bentuk GLSEN, 2002).
yaitu; transphobia secara tidak langsung dan Dalam konteks lokal Indonesia transgender
transphobia langsung. Transphobia secara dan transeksual lebih dikenal dengan istilah
tidak langsung, disengaja atau tidak disengaja waria yang memiliki kepanjangan wanita-
aksinya didasari atas ketidaktahuan akan pria. Selain itu ada julukan lain yaitu banci
orang-orang yang beridentitaskan trans, tetapi konteks penggunaan banci ini diperluas
seperti menyamakan transgender perempuan pemakaiannya. Tidak hanya merujuk pada
sebagai ‘men’s clinic’ atau menganggap bahwa transgender dan transeksual tetapi pada laki-
40
Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan
Analisis Wacana Kritis
Anindita Ayu Pradipta Yudah
laki yang dianggap penakut, pengecut atau Prasangka dan stereotipe terhadap individu
tidak bertanggung jawab. trans ini lambat laun menjelma menjadi hate
Konstruksi masyarakat tidak berhenti pada crime yang merujuk pada Espiritu dapat
pendefinisian transgender dan transeksual didefinisikan sebagai berikut:
yang dianggap ‘menyimpang’. Dikenal pula Hate crime or bias motivation
istilah cisgender yang dianggap lawan dari refers to hate-motivated violence
transgender. Istilah ini mengacu pada orang and this type of offense is personal
yang identitas gender dan ekspresi gendernya in nature, pertaining to one’s race,
cocok dengan jenis kelamin lahiriahnya (Jobe, ethnicity or nationality, religion,
2013). Pada orang-orang yang dianggap tidak disability, or sexual orientation. A
berkonformitas berdasar jenis kelaminnya hate crime that is associated to one’s
ini muncullah prasangka dan stereotipe sexual orientation is an incident
yang akhirnya dilekatkan pada komunitas that is often not reported due to the
atau kelompok mereka. Prasangka sosial degradation associated with being
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ostracized based on an individual’s
berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan- sexual preference (Hutton, 2009:2)
keyakinan, yaitu ekspresi perasaan negatif, Dengan terjemahan bebas sebagai
penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku berikut. Hate crime atau bias motivasi
diskriminatif terhadap anggota kelompok lain. merujuk pada kekerasan yang dimotivasi
Beberapa kasus tertentu yang berhubungan oleh kebencian berdasar pada ras, etnik,
dengan tindakan seksisme dan rasisme juga agama, disabilitas atau orientasi seksual. Hate
dianggap sebagai prasangka. Prasangka crime yang berhubungan dengan orientasi
sosial yang pada mulanya hanya merupakan seksual seringkali tidak dilaporkan karena
sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat menyangkut dengan preferensi seksual
laun menyatakan dirinya dalam tindakan- individu.
tindakan yang diskriminatif terhadap Hate crime yang terbentuk karena
orang-orang yang termasuk golongan yang preferensi seksual adalah salah satu bentuk
diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan- manifestasi dari ‘ketakutan’ akan individu yang
alasan yang objektif pada pribadi orang yang dianggap tidak heteroseksual. Prasangka ini
dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. biasa disebut homophobia atau transphobia.
Prasangka ini dapat bersumber dari dorongan Dalam konstruksi sosial masyarakat,
sosiopsikologis, proses-proses kognitif, dan heteroseksualitas adalah seksualitas
pengaruh keadaan sosiokultural terhadap yang normal sehingga muncul adanya
individu dan kelompoknya. Prasangka sosial heteronormitas yang mengkotak-kotakkan
ini bergandengan pula dengan stereotipe. antara orang yang dianggap berkonformitas
Istilah ini mengacu pada suatu gambaran dan tidak.
atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat Konstruksi sosial mengenai seksualitas ini
dan watak pribadi orang golongan lain yang diperkuat dengan bantuan media sebagai salah
bercorak negatif. Menurut Manstead dan satu pemilik kuasa dalam membentuk opini
Hewstone stereotipe didefinisikan sebagai masyarakat. Gayatri (1993) melihat bahwa
keyakinan-keyakinan tentang karakteristik perkembangan media selama tahun 1980
seseorang (ciri kepribadian, perilaku, hingga awal tahun 1990 memiliki kesamaan
nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu di mana media tidak pernah memberikan
kebenaran kelompok sosial (Manstead dan gambaran positif tentang seksualitas
Hewstone dalam Rahman 2002:3). orang-orang yang tidak berada dalam
41
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 9 Nomer 1, Desember 2013
37-49
42
Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan
Analisis Wacana Kritis
Anindita Ayu Pradipta Yudah
43
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 9 Nomer 1, Desember 2013
37-49
pada kurun waktu 2013-2012 penelitian sebagai transphobia dilihat dari penggunaan
dilanjutkan dengan mengidentifikasi kata yang digunakan untuk merepresentasikan
‘pernyataan’ mengenai transgender dan transgender dan trasnseksual, antara lain
transeksual. Penelitian ini menggunakan kata ‘aneh’. Penggunaan kata aneh dalam
teori sekaligus metode dari Michel Foucault mendeskripsikan banci seakan-akan
mengenai wacana dimana disebutkan bahwa menjelaskan bahwa banci adalah suatu
analisis wacana adalah analisis pernyataan. fenomena yang ganjil. Dalam pengkategorian
Pernyataan yang direpresentasikan dalam transphobia, deskripsi mengenai banci yang
teks berita mengenai transgender dan disebut aneh dapat dimasukkan dalam
transeksual pada setiap berita dikumpulkan transphobia tidak langsung dimana ketakutan
untuk dianalisis. Analisis dilakukan dengan yang dialami berupa ketidaktahuan mengenai
menginterpretasikan pernyataan yang ada. trans sehingga mendeskripsikannya
Salah satunya dengan pemilihan kata-kata menggunakan kata ‘aneh’. Ketidaktahuan
yang digunakan untuk merepresentasikan yang dimiliki tersebut akhirnya menjadi
transgender dan transeksual yang tertuang anggapan yang berkembang pada masyarakat
dalam teks berita. kebanyakan.
Analisis wacana menggunakan konsep Lalu ada penggunaan kata ‘meresahkan’
tematik dimana wacana yang telah dimana kata ini dalam kehidupan sosial
dikumpulkan dikategorisasikan berdasar dapat diartikan sebagai ketidaknyamanan.
konsep utama serta teori yang digunakan. Selain itu dalam artikel berita juga
Ada tiga konsep utama yang digunakan yaitu ditemukan penggunaan kata ‘haram’
transphobia, stigma dan stereotipe serta hate dalam merepresentasikan transgender.
crime. Teori pada penelitian ini adalah milik Penggunaan kata haram secara harafiah
Michel Foucault tentang seksualitas dan dapat diartikan secara agama adalah sesuatu
kekuasaan. yang tidak diperbolehkan. Pelabelan ini
semakin melanggengkan konstruksi bahwa
Hasil Penelitian dan Pemba- transgender bukan bagian dari sistem
hasan masyarakat sehingga semakin memicu
Pada pemberitaan di media massa transphobia pada transgender karena adanya
yang merepresentasikan transgender dan pengetahuan minim yang akhirnya semakin
transeksual terdapat transphobia dimana ditegaskan bahwa transgender adalah haram.
ketakutan ini adalah reaksi terhadap Selain haram, anggapan bahwa transgender
perempuan maskulin, laki-laki feminine, cross adalah suatu kelainan menjadi dasar dari
dresser, transgender dan transeksual. Reaksi transphobia. Sesuatu yang ‘lain’ dianggap
yang diberikan sebagai jenis manifestasi rasa tidak dapat berkonformitas sehingga
takut ini pun bermacam-macam. Pada artikel akhirnya menjadi tidak dapat diterima dalam
berita, jenis transphobia diidentifikasi sebagai sistem sosial. Inilah yang dialami oleh para
transphobia tidak langsung dimana disengaja transgender yang menjadi objek transphobia
atau tidak disengaja aksinya didasari dengan karena adanya ketakutan terhadap mereka
ketidaktahuan akan orang-orang yang yang akhirnya menjadikan mereka korban
beridentitas trans. Seperti menyamakan dari diskriminasi.
transgender perempuan sebagai ‘men’s clinic’ Transphobia yang berkembang di
atau menganggap bahwa laki-laki trans masyarakat dapat berjalan ke arah prasangka
membutuhkan pelayanan ginekologis. dan stereotipe pada individu trans. Pada
Beberapa diskursusyangdapatdiidentifikasi beberapa artikel di berita terdapat prasangka
44
Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan
Analisis Wacana Kritis
Anindita Ayu Pradipta Yudah
dan streotipe yang dapat diidentifikasikan dari pemerintah dan polisi bekerja sama untuk
sebagai representasi terhadap individu trans. menangkap apa yang didefinisikan sebagai
Ada beberapa artikel berita yang berulang kali pengganggu ketertiban umum. Pengganggu
menyebutkan bahwa transgender atau yang ketertiban umum adalah golongan yang
lebih dikenal dengan waria memiliki pekerjaan dianggap menganggu kenyaman masyarakat.
sebagai pekerja seks komersial. Prasangka Waria tidak disebutkan secara eksplisit pada
yang sering sekali diberitakan ini akhirnya perilaku yang seperti apa mereka dianggap
menjadi stereotipe yang melihat bahwa mengganggu ketertiban umum. Waria adalah
waria adalah seorang pekerja seks komersial. sebuah pilihan seksualitas tetapi dianggap
Stereotipe ini akhirnya digeneralisir dan sebagai sesuatu yang salah dan harus
ditempelkan pada setiap individu trans. ditertibkan.
Mereka yang tidak berprofesi sebagai pekerja Konstruksi lainnya dari waria adalah
seks pun akhirnya mendapat dampak dari melalui tulisan ‘pria gemulai’. Laki-
pelabelan ini. Stereotipe dan prasangka yang laki berdasarkan kontruksi gendernya
dilekatkan pada waria sebagai pekerja seks diidentikkan oleh masyarakat sebagai sosok
memberikan ketidakleluasaan pada waria maskulin. Maskulin yang identik dengan
untuk mencari pekerjaan. Waria disempitkan jantan tidak bersikap gemulai. Kata gemulai
maknanya menjadi pekerja seks. Selain itu, dilekatkan pada pria yang memilih menjadi
prasangka yang terkonstruksi terhadap waria waria. Stereotipe bahwa waria adalah pria
menjadikan waria dianggap sebagai salah satu yang menjadi perempuan menjadikan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. konstruksi terhadap waria adalah seorang pria
Sebagai dampaknya, waria dianggap perlu yang mengambil gender seorang perempuan
untuk direhabilitasi seakan-akan mereka sehingga pada deskripsinya identitas pria
sedang mengalami masalah dengan dirinya tetap dilekatkan dan dipasangkan dengan
yang akhirnya memberikan ketidaknyamanan streotipe yang dikonstruksikan bersama
pada masyarakat di lingkungannya. sebagai karakteristik dari seorang waria.
Prasangka diikuti oleh streotipe yang Transphobia yang berkembang menjadi
berhubungan dengan sifat-sifat dan watak prasangka dan stereotipe pada akhirnya akan
pribadi orang golongan lain. Pada transgender berkembang menjadi hate crime. Hate crime
waria misalnya, dengan kepanjangan dari yang telah berbentuk diskriminasi juga dapat
wanita pria, waria digambarkan adalah digolongkan sebagai transphobia langsung
laki-laki yang menjadi wanita. Untuk dimana telah ada kekerasan yang berupa
menggambarkan mengenai waria dalam fisik kepada individu trans. Pemahaman
kutipan berita dituliskan bahwa waria berlari mengenai hate crime dapat dijelaskan
dengan menjinjing sepatu hak tinggi. Saat ini, melalui definisi hate crime yang berada pada
sepatu hak tinggi atau biasa disebut dengan high masyarakat. Hate crime memiliki banyak
heels identik sebagai aksesoris perempuan. definisi. Hate crime merupakan istilah yang
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa merujuk kepada tingkah laku kejahatan, tidak
waria memiliki karakteristik yaitu laki-laki hanya karena kebencian tetapi juga karena
yang menggunakan atribut perempuan untuk prasangka, walaupun terkadang merupakan
terlihat menjadi perempuan. gabungan keduanya. Secara umum, hate crime
Selain itu juga dituliskan adanya stereotipe membedakan antara kejahatan yang dilakukan
yang melekat pada waria yaitu sebagai karena prasangka dari kejahatan yang
pengganggu ketertiban umum. Dalam dilakukan karena nafsu, cemburu, kerakusan,
kutipan berita juga dituliskan bahwa aparat politik dan yang lainnya (Crocker, 1992). Hate
45
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 9 Nomer 1, Desember 2013
37-49
crime termasuk juga prasangka berdasar ras, waria yang cenderung menggunakan kata
warna, agama dan kewarganegaraan (Wang, kasar juga termasuk hate crime. Di mana
1995). Pada beberapa wilayah di Colombia, penggunaan kata-kata tersebut akhirnya
gender atau bias orientasi seksual juga mengintimidasi waria dan memberikan
dimasukkan dalam salah satu pemicu dari stereotipe dan stigma pada mereka.
hate crime (Potter, 1997:2). Gayatri (1993), sebagaimana disinggung
Dalam formasi diskursus pada artikel sebelumnya, melihat bahwa perkembangan
berita dapat dilihat beberapa hate crime yang media tidak pernah memberikan gambaran
menimpa waria pada kehidupan sehari-hari. positif tentang seksualitas orang-orang yang
Diskursus yang dimunculkan memperlihatkan tidak berada dalam heteronormitas. LGBT
praktik dari hate crime yang didapatkan waria digambarkan dekat dengan aktifitas kriminal,
karena identitas gender mereka. Diskursus prostitusi, obat terlarang, sex bebas dan
tersebut antara lain adalah adanya berita yang penyimpangan. Pemberitaan adalah faktor
menuliskan waria sebagai target penangkapan penting yang membentuk anggapan mengenai
dari para petugas polisi pamong praja (Satpol yang normal ini, melalui penggunaan
PP). Terjadi praktik subordinasi terhadap kata ‘sakit’. Representasi media tersebut
para waria karena prasangka yang dilekatkan dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap
kepada mereka sebagai pekerja seks. Waria norma heteroseksual dengan memperlihatkan
menjadi target operasi dari Satpol PP sehingga perbedaan ‘abnormal’, ’sakit’ dengan
dilakukan pengejaran terhadap mereka. ‘heteroseksual normal’ (Blackwood, 2005).
Diskursus lainnya yang ditampilkan Representasi media mengenai kaum LGBT
sebagai praktik hate crime terhadap waria mengarahkan publik kepada hate crime.
adalah bahwa waria harus dikirim ke panti Pada representasi media massa terhadap
sosial untuk pembinaan. Pembinaan yang waria yang diberitakan, terdapat penulisan
berdasar dari kata bina dalam Kamus Besar identitas yang ganda. Pada berita yang
Bahasa Indonesia merujuk pada membuat memuat pelaku atau korbannya adalah waria
menjadi lebih baik. Waria harus dikirimkan ke menuliskan nama yang dianggap nama
panti sosial karena dianggap tidak baik. Waria laki-laki dan nama perempuan. Di mana
yang merupakan kepanjangan dari wanita nama dikonstruksikan sebagai pembeda
pria dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik. jenis kelamin seolah-olah nama juga adalah
Mekanisme untuk mengirim waria ke panti penentu jenis kelamin seseorang. Nama
sosial merupakan praktik kekuasaan yang yang dikonstruksikan sebagai nama untuk
berkaitan dengan seksualitas. Seksualitas jenis kelamin laki-laki dan perempuan
telah dikonstruksikan oleh masyarakat dan disandingkan bersamaan pada satu individu.
menjadi patokan mengenai apa yang harus Representasi ini menampilkan dalam tubuh
dilakukan dan tidak harus dilakukan. waria ada dua identitas yaitu perempuan dan
Craig (1999) menambahkan bahwa laki-laki. Penggunaan dua nama dalam satu
kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian tubuh ini terlihat bahwa nama yang menjadi
termasuk kata-kata dan tingkah laku ciri identitas memiliki jenis kelamin. Ada
yang diniatkan untuk menyakiti atau konstruksi yang memisahkan penggunaan
mengintimidasi individu karena mereka nama untuk individu berjenis kelamin laki-
berada pada suatu kelompok tertentu (Green, laki dan individu berjenis kelamin perempuan.
2001: 480). Merujuk pada definisi Craig, pada Nama laki-laki dianggap adalah nama yang
pemberitaan di media massa pemilihan kata- memiliki sifat maskulin sedangkan nama
kata yang digunakan untuk merepresentasikan perempuan dianggap sebagai nama feminin.
46
Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan
Analisis Wacana Kritis
Anindita Ayu Pradipta Yudah
Dalam konstruksi ini dapat dilihat adanya secara universal seharusnya dipahami
kekuasaan yang bersinggungan dengan sebagai kehendak bebas. Tetapi saat ini
seksualitas dimana adanya pengkotak- dalam konstruksi sosial yang berkembang,
kotakan individu pada dua jenis kelamin yaitu kesepakatan tentang tubuh adalah bentuk
perempuan dan laki-laki. operasi dari kekuasaan (Foucault, 1980:55).
Persoalan utama dalam representasi Penjelasan lebih lanjut tentang bentuk operasi
adalah bagaimana realitas atau objek dari kekuasaan terhadap seksualitas dapat
ditampilkan (Eriyanto, 2012:113). Media dilihat bahwa kekuasaan mendesak aturan-
massa juga selektif mengklasifikasikan sistem aturan untuk membatasi seksualitas dengan
berdasarkan pemetaan yang ditetapkan contoh menentukan tatanan tertentu bagi
oleh kelompok dominan (Kali, 2013:110). seks. Kekuasaan bisa melakukan sensor
Sebagaimana Foucault jelaskan, seksualitas dengan demikian bisa membungkam seks
adalah merupkan bentuk konstruksi (Ritzer, 2005:116). Pembungkaman seks
sosial. Di sini media berperan di dalam adalah salah satu praktik diskriminasi yang
melakukan intervensi terhadap konstruksi akhirnya menjadikan orang-orang tidak
sosial mengenai seksualitas melalui berita dapat berekspresi terhadap tubuhnya sendiri
yang dibuatnya. Kepada transgender atau karena adanya aturan yang memaksa mereka
transeksual misalnya, penggunaan istilah untuk berkonformitas dan pada mereka yang
waria atau banci untuk merepresentasikan memilih ‘berbeda’ dilekatkan streotipe dan
mereka dalam pemberitaan dan ikut prasangka yang menjadikan pembenaran
menyertakan nama sesuai dengan identitas terhadap tindakan hate crime yang menjadikan
pada kartu pengenal menunjukkan bahwa mereka korban.
media merepresentasikan dua identitas dalam
satu tubuh. Lalu bagaimana peristiwa tersebut Kesimpulan
diorganisir ke dalam kebiasaan yang dapat Melalui analisis wacana kritis pemberitaan
diterima secara ideologis. Ini merupakan Pos Kota selama tahun 2012-2013 baik berupa
tahapan di mana media massa memasukkan versi cetak maupun online terlihat bahwa
konten berita yang secara halus mengandung adanya konstruksi sosial di masyarakat
wacana bahwa ada anggota dari sistem sosial mengenai seks dan seksualitas yang cenderung
masyarakat yang tidak menjalankan gender menyekat hak asasi atas ekspresi tubuh.
sex sesuai yang telah dikonstruksikan oleh Seksualitas yang menjadi pilihan direpresi
masyarakat bahwa hanya ada dua sex yaitu dengan aturan untuk berekspresi sesuai
laki-laki dan perempuan. dengan seksnya. Laki-laki harus menjadi
Foucault mengklaim bahwa sex adalah maskulin dan perempuan menjadi feminin.
komponen utama dalam strategi dimana Lalu yang terjadi pada para laki-laki yang
kekuasaan dapat menggenggam tubuh memilih ekspresi bersifat feminin dituliskan
(Taylor, 2011:90). Dalam praktiknya di media, dalam berita sebagai waria yang memiliki
salah satu relasi kekuasaan yang merupakan kepanjangan wanita-pria. Konstruksi sosial
sisa dari abad ke 17 yang dapat dicermati masyarakat yang diangap sebagai standar
adalah representasi media massa mengenai perilaku tercermin dalam representasi isi
transgender atau transeksual secara negatif. berita mengenai waria. Konstruksi sosial
Kebanyakan waria diberitakan sebagai pekerja terkait seks dan seksualitas mengakibatkan
sex, sehingga menimbulkan prasangka dan waria dianggap bukan bagian dari masyarakat
stigma bagi transgender dan transeksual. karena tidak “normal”. Muncul ketakutan-
Michel Foucault percaya bahwa tubuh ketakutan terhadap waria karena representasi
47
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 9 Nomer 1, Desember 2013
37-49
Daftar Referensi
48
Representasi Transgender dan Transeksual dalam Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan
Analisis Wacana Kritis
Anindita Ayu Pradipta Yudah
49