Anda di halaman 1dari 75

STUDI TUJUH UCAPAN CELAKA YANG DIUCAPKAN YESUS

DALAM MATIUS 23:13-32 DAN IMPLIKASINYA BAGI PERAN GURU KRISTEN

DI SEKOLAH PADA MASA KINI

LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam pengertiannya yang paling luas, pendidikan memainkan peran yang besar untuk

mewujudkan perubahan mendasar dalam cara hidup seseorang dan tindakannya. Pendidikan

adalah ‘kekuatan masa depan’ karena merupakan alat perubahan yang sangat ampuh. 1 Kamus

Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata

laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan latihan.2 Sejalan dengan definisi ini, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin

Makmun berpendapat bahwa pendidikan merupakan upaya yang dapat mempercepat

pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang diembankan kepadanya.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa pendidikan juga mempengaruhi perkembangan fisik, mental,

emosional, moral, serta keimanan dan ketakwaan seseorang.3 Dengan demikian pendidikan

menjadi krusial bagi hidup manusia karena pendidikan dibutuhkan manusia untuk

mengembangkan dirinya dalam mencapai kedewasaan.

Secara sederhana, proses pendidikan terjadi ketika ada seorang pendidik dan seorang

yang dididik saling berinteraksi. Ada guru yang mengajar dan murid yang diajar. Dalam

lingkup kecil, pendidikan pertama kali terjadi di dalam keluarga. Orang tua mengajarkan anak

mengenali lingkungannya, mengajarkan cara berbicara, berjalan dan lain sebagainya. Orang tua

1
Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2005) 9.
2
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) 204-205.
3
Udin Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun, Perencanaan Pendidikan (Bandung: Remaja
Rosdakarya) 6.

1
menjadi guru bagi anaknya sendiri. Dalam konteks yang lebih besar, proses pendidikan terjadi di

sebuah institusi yang disebut dengan sekolah di mana terdapat seorang guru yang mengajar

kepada sekumpulan orang yang disebut dengan murid.

Dalam proses pendidikan terdapat juga unsur-unsur yang tidak bisa terlepas di dalamnya.

Menurut Tholib Khasan unsur-unsur tersebut adalah tujuan pendidikan yang akan menentukan

ke arah mana peserta didik akan dibawa, lingkungan pendidikan sebagai faktor eksternal yang

akan mempengaruhi perkembangan anak, alat-alat pendidikan yang akan membantu pelaksanaan

pendidikan, guru atau pendidik sebagai pelaksana pendidikan, dan siswa atau anak didik sebagai

pribadi yang akan didik.4 Khasan menyatakan bahwa jika semua unsur-unsur ini dapat

terintegrasi maka akan dimungkinkan suatu proses pendidikan yang baik dan berhasil. 5

Di antara unsur-unsur di atas, guru adalah unsur yang berpengaruh sangat besar dalam

proses pendidikan. Mengapa? Karena guru mempunyai akses langsung untuk berinteraksi

kepada murid. Guru berperan sebagai ujung tombak pendidikan dalam pembentukan peserta

didik. Iftitah Nafika mengatakan, “Tanpa ada campur tangan dan bantuan dari guru, peserta

didik tidak akan bisa mengembangkan bakat, minat, kemampuan dan potensi-potensi yang

dimiliki secara maksimal.”6 Sejalan dengan itu Kunandar mengatakan:

Salah satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru. Gurulah yang
berada di garda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Guru
berhadapan langsung dengan para peserta didik di kelas melalui proses belajar mengajar.
Di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis,
skill (keahlian), kematangan emosional, dan moral serta spiritual. Dengan demikian akan
dihasilkan generasi masa depan yang siap hidup dengan tantangan zamannya.7

4
Dasar-dasar Pendidikan (Jakarta: Studio Press, 2009) 28-42.
5
Ibid. 28.
6
“Problematika guru dalam pendidikan” Wajah Kusam Pendidikan Kita (ed. Edi Purwanto; Malang:
Averroes, 2011) 28.
7
Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam
Sertifikasi Guru (Jakarta: Rajawali, 2009) 40.

2
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa peran seorang guru dalam proses pendidikan menjadi

penting karena guru merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas peserta didik. Oleh

karena itu, pembahasan mengenai peran guru dalam dunia pendidikan menjadi hal yang relevan

dan signifikan untuk dilakukan.

Di sekolah, peran guru pada dasarnya bukan hanya sekadar pemberi informasi atau

pengetahuan tetapi juga sebagai teladan bagi anak-anak didiknya. Masykur Arif Rahman

berpendapat bahwa apa pun yang dibicarakan dan dilakukan seorang guru, apalagi memang

diperintahkan, kemungkinan besar akan diikuti oleh muridnya, bahkan muridnya bisa

mengembangkan lebih jauh dibanding gurunya.8 Richard J. Edlin mengatakan:

The concept of the teacher as a role model is a much broader notion. It recognizes that
the informal, and often unconsciousnes actions and attitudes of the teacher, have a
powerfull potential impact on students and can become the foundations for patterns that
children re-express in their own lives. The way a teacher responds to conflict or handles
moral issues such cheating, gender concerns, competition versus cooperation, receptivity
to cultural diversity, etc., are all visible to the students. They are patterns that they can
observe and incorporate into their own worldviews. In this way, the teacher provide a
role model for her students that they may well emulate in their own lives.9

Dapat dilihat bahwa Edlin memberikan penekanan akan besarnya dampak dari sikap seorang

guru dalam kehidupan murid yang diajarnya. Semua tindakan dan perilakunya dilihat dan dapat

ditiru oleh muridnya. Oleh karena itu, peranan guru perlu diamati bukan hanya dalam segi

akademis dan kemampuan mengajar tetapi juga segi afektifnya, yaitu tindakan-tindakan atau

perilaku yang dilakukannya di dalam maupun di luar institusi sekolah.

Jika melihat kasus-kasus yang terjadi belakangan ini mengenai guru, maka akan didapati

adanya guru-guru yang memperlihatkan nilai-nilai yang buruk melalui tindakan mereka.

Permasalahan tentang adanya imoralitas guru tersebar di media-media massa. Dalam situs resmi

8
Masykur Arif Rahman, Kesalahan-kesalahan Fatal Paling Sering Dilakukan Guru dalam Kegiatan
Belajar-mengajar (Yogyakarta: Diva, 2011) 8.
9
The Cause of Christian Education (Colorado: ACSI, 1999)121-122.

3
Harian Kompas tidak sedikit diberitakan sikap-sikap guru yang sangat memprihatinkan. Pada

sebuah berita tertanggal 15 September 2008 dilaporkan seorang guru yang memukuli 60

siswanya karena ia jengkel dengan para siswanya yang mengolok-olok dia.10 Pada berita

tertanggal 10 April 2008 dicatat tentang seorang guru agama yang melakukan sodomi kepada

anak didiknya.11 Selain itu ada juga berita tentang seorang guru yang memperkosa muridnya

sendiri di kompleks sekolah.12 Kasus-kasus demikian tentu mengecewakan masyarakat. Guru

yang harusnya mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai yang baik kepada murid, sebaliknya

memberikan teladan yang buruk di mata anak didiknya dan masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan guru-guru Kristen? Dalam berita di beberapa situs internet

ditemukan juga adanya tindakan-tindakan buruk yang dilakukan oleh beberapa guru Kristen. Di

sebuah situs yang menyatakan diri sebagai Cahaya Bagi Negeri dilaporkan tentang seorang guru

Kristen di Texas yang hamil di luar nikah. Hal itu mengakibatkan dirinya harus dikeluarkan dari

sebuah sekolah Kristen. Pejabat sekolah menganggap apa yang dilakukannya itu menjadi contoh

yang buruk bagi siswa.13 Dalam berita lain di situs Metro TV News dikemukakan tentang

seorang guru SMA Kristen Palangkaraya memukul puluhan siswanya pada saat pelajaran

berlangsung. Guru tersebut mengaku kesal karena para siswa bersembunyi di belakang sekolah

ketika diperintahkan berbaris di halaman sekolah.14 Kasus pemukulan yang sama juga terjadi di

10
http://nasional.kompas.com/read/2008/09/15/07483373/diolok-olok.bu.guru.pukuli.60-an.siswanya,
diakses pada 3 April 2012.
11
http://nasional.kompas.com/read/2008/04/10/13260521/pelaku.sodomi.ditangkap, diakses pada 3 April
2012.
12
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/16/14361132/pak.guru.perkosa.murid.di.kompleks.sekolah,
diakses pada 2 Mei 2012.
13
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/120420161818/limit/0/Dipecat-Karena-
Hamil-Di-Luar-Nikah-Guru-Tuntut-Sekolah, diakses pada 1 Mei 2012.
14
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvideo/2008/12/26/73384/Guru-yang-Memukul-Murid-
Dipindahtugaskan/112, diakses pada 1 Mei 2012.

4
Mindanau Selatan. Dalam situs Komisi Kepolisian Indonesia15 dilaporkan seorang guru

beragama Kristen Protestan yang memukul dua orang muridnya. Situs tersebut mencatat bahwa

kejadian itu berawal ketika seorang murid bermain bola voli di luar jam pelajaran olahraga, maka

guru tersebut memanggil murid tersebut dan menampar pipi kirinya sebanyak satu kali hingga

menyebabkan memar. Melihat tindakan guru tersebut, teman dari murid yang ditampar itu

menegur gurunya. Namun, guru tersebut justru memukul pipi kiri murid itu dengan tangan yang

mengepal sehingga menyebabkan memar dan mulutnya mengeluarkan darah.16

Apa yang dilakukan beberapa guru Kristen di atas merupakan contoh buruk yang tidak

sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Sebagai seorang Kristen, guru punya perbedaan mendasar

yang membuat ia sama sekali berbeda dari guru non-Kristen. Richard Oseberg mengatakan:

The Christian teacher is not a teacher plus being a Christian; he is a Christian teacher.
There is an interrelationship here with regard to the unity of the person. He is just as
much a Christian outside the classroom as he is inside the classroom, because he is an
authentic person. He cannot switch Christ on and off depending on the demands a
situation places on him or the environment in which he finds himself functioning, because
Christ is his life. The integrity of his faith permeates his life in a total sense. When the
Christian teacher stands before his class he does so as an authentic person, a whole man
in Christ.17

Osberg memperlihatkan bahwa guru Kristen pada dasarnya adalah gambaran Kristus. Baik itu di

dalam kelas maupun di luar kelas, ia harus memiliki kehidupan yang mencerminkan Kristus.

Stephen Tong mengatakan bahwa guru Kristen seharusnya adalah guru yang mempunyai

kepercayaan dan mempunyai hidup dari Tuhan Yesus.18 Oleh karena itu, sebagai orang yang

15
Situs ini mendeskripsikan dirinya sebagai Komisi Kepolisian Indonesia sebagai lembaga independen.
Yang diamati adalah masalah-masalah yang menyangkut Kepolisian namun secara struktural tidak ada kaitannya
dengan Kepolisian Negara RI. Komisi ini selalu independen melihat secara obyektif permasalahan yang dihadapi
Polri sebagai penegak hukum, pengayom pelindung masyarakat serta aparat keamanan ketertiban masyarakat.
Sesuai dengan karakteristik utamanya Polri memiliki wewenang serta diskresi dalam penegakkan hukum.
http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=about, diakses pada 1 Mei 2012.
16
http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=sekilas&id=664, diakses pada 1 Mei 2012.
17
“The Christian Teacer−An Authentic Person” Journal of Christian Education 1/ 2 (Spring 1981) 53.
18
Arsitek Jiwa II (Jakarta: LRII, 2005) 10.

5
telah mengalami karya penebusan Kristus dan dengan demikian Kristus telah diam di dalam

dirinya, setiap guru Kristen harus menyatakan Allah dan karya-Nya melalui hidup dan

pengajarannya. H. W. Byrne mengatakan,

As a Christian the function of the teacher is to reveal God. As such, he is a witnesses


through giving a living demonstration of Christlikeness. Through voice, he gives
expression to the truth concerning the nature of God revealed in Divine Revelation as
seen in nature, in the Bible, and His Son Jesus Christ.19

Lebih lanjut ia mengatakan: “The Christian teacher is an oracle of God. The abilities and

talents which he possesses are to be considered God-given and should be used in His service and

for His glory. By exalting Jesus Christ we bring honor and glory to God.” Dengan demikian

Byrne melihat bahwa seorang guru Kristen adalah saksi Allah yang harus menyatakan Allah dan

mendemonstrasikan keserupaan dengan Kristus melalui hidupnya. Oleh karena itu, peran

seorang guru Kristen yang membuat ia sama sekali berbeda dari guru non-Kristen adalah

perannya dalam mengabarkan Allah dan karya-Nya. Seorang guru Kristen di sekolah adalah

seorang pelayan Allah yang diberikan karunia mengajar untuk menyatakan dan memperkenalkan

Allah dan karya-Nya kepada murid-muridnya melalui hidup dan pengajarannya.

Namun jika melihat kasus-kasus yang terjadi pada beberapa guru Kristen dalam bagian

sebelumnya, maka akan didapati bahwa ada guru-guru Kristen yang belum menjalankan

perannya sebagai pelayan Allah yang memperkenalkan Allah melalui hidupnya. Tindakan

kekerasan, amoral dan asusila yang dilakukan guru-guru tersebut tentu tidak memuliakan Allah

dan hanya akan menjadi batu sandungan bagi kekristenan. Orang-orang yang melihat atau

mengalaminya secara langsung, khususnya para murid, tentu dapat menyebabkan mereka

bukannya semakin dekat kepada Kristus tetapi justru semakin jauh. Dengan melihat realita yang

terjadi di atas dan dengan mempertimbangkan besarnya pengaruh guru dalam pendidikan di

19
A Christian Approach to Education (Grand Rapids: Baker, 1988) 126.

6
sekolah, maka penulis ingin melihat kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab mengenai peran

seperti apa yang seharusnya dilakukan seorang guru Kristen sebagai pengajar yang melayani

Allah di sekolah.

Di dalam Alkitab terdapat sekolompok guru yang juga bisa dikatakan gagal menjalankan

perannya sebagai pelayan Allah yang memperkenalkan Allah melalui hidupnya, bahkan Tuhan

Yesus sendiri mengecam hidup mereka (Mat. 23:-1-36). Kelompok tersebut adalah orang Farisi

dan ahli-ahli Taurat. Siapa kedua kelompok ini?

Orang Farisi merupakan kelompok agama atau sekte yang menyatakan diri sebagai orang

benar yang disisihkan atau diasingkan untuk dikuduskan, berlainan dengan umat pada umumnya.

Mereka menerima doktrin Perjanjian Lama, mementingkan upacara lahiriah, memelihara Taurat

yang tertulis maupun yang diturunkan secara lisan dengan ketat, dan memelihara semua sistem

ibadah yang diturunkan oleh leluhur mereka.20 Yesus mengatakan secara gamblang bahwa

kelompok ini adalah orang-orang yang suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil

Rabi21 (Mat. 23:7). W. R. F. Browing menyatakan bahwa dalam Injil Yohanes kelompok Farisi,

dalam persekutuan dengan imam-imam kepala adalah lawan-lawan Yesus yang juga tampil

sebagai pengajar hukum Taurat.22 Lalu bagaimana peran mereka di dalam masyarakat? Anthony

J. Saldarini menjelaskan,

The older theory that they were urban artisans is very unlikely because artisans were
poor, uneducated and uninfluential. The more common theory that the Pharisees were a
lay scribal movement, a group of religious scholars and intellectuals who displaced the
traditional leaders and gained great authority over the community is likewise very
unlikely. Though some Pharisees were part of governing class, most Pharisees were
subordinate officials bureaucrats, judges and educators. They are best understood as

20
Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru (Malang: SAAT, 1994) 39.
21
Secara literal dapat diterjemahkan “my great one” yang merupakan julukan bagi seorang guru yang
memiliki pengetahuan dan hikmat yang baik akan Taurat sebagai cara hidup. Jeffery E. Feinberg, “Rabi as
Educator” Evangelical Dictionary of Christian Education (Grand Rapids: Baker, 2001) 576.
22
W. R. F. Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK, 2007)103-104.

7
retainers who were literate servants of the governing class and had a program for Jewish
society and influence with the people and their patrons.23

Penjelasan Saldarini di atas memperlihatkan bahwa peran orang Farisi di dalam masyarakat

bukan hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Itu berarti

orang Farisi merupakan salah satu kelompok yang berpengaruh bagi masyarakat Yahudi.

Kelompok yang selanjutnya adalah ahli Taurat. Sebelum bangsa Israel ditawan, para ahli

Taurat tergolong dalam para pejabat, sekretaris dan penyalin (2 Sam. 20:25; 1 Raj. 4:3; 2 Raj.

12:10; 25:19).24 Setelah pulang dari penawanan, jabatan ahli Taurat dilakukan oleh imam Ezra,

seorang ahli Taurat paling ternama, yang menyalin hukum Taurat dan mengajarkan ketetapan-

ketetapan dan peraturan-peraturan Tuhan kepada bangsa Israel (Ez. 7:6-10).25 Menurut Lukas

Tjandra, tiga tugas utama ahli Taurat adalah: Pertama, menyalin Alkitab dan doktrin yang

terdapat di dalamnya. Kedua, menginterpretasikan hukum sipil dan hukum agama, serta

peraturan-peraturan kehidupan moral. Ketiga, meneliti dan mengajar hukum Taurat, sebagai

penafsir Alkitab zaman itu dan sebagai orang yang berotoritas dalam menginterpretasikan ayat

Alkitab.26 Jadi, dapat disimpulkan bahwa peran ahli taurat adalah meneliti, menafsirkan dan

mengajarkan Taurat kepada umat Allah pada zaman itu sehingga mereka dapat mengenal

hukum-hukum Allah.

Melalui pemaparan di atas terlihat bahwa baik ahli Taurat maupun orang Farisi, keduanya

mempunyai peran dalam bidang keagaamaan, secara khusus sebagai orang yang menafsir dan

mengajarkan Taurat. Namun demikian, dalam Matius 23:1-36, Yesus mengecam dua kelompok

ini. Apa yang dikecam Yesus? Ia berkata: “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu

23
Pharisees, Scribes and Sadduces in Palestinian Society (Grand Rapids: Eerdmans, 2001) 284.
24
Tjandra, Latar Belakang 48.
25
Ibid. 48.
26
Ibid. 48.

8
yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan mereka, karena mereka

mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (ay. 3). Perkataan Yesus ini mengindikasikan

bahwa Ia tidak sedang mengkritik ajaran mereka, melainkan cara hidup mereka. Dua kelompok

tersebut dinyatakan Yesus sebagai “orang yang mengajarkan tetapi tidak melakukannya.” Yesus

sedang mengecam hidup mereka yang tidak berintegritas. Kegagalan mereka sebagai pengajar

hukum Allah bukan terletak pada apa yang mereka ajarkan, tetapi cara hidup mereka yang tidak

benar.

Dengan melihat pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya terdapat

kesamaan peran antara orang Farisi, ahli Taurat dan guru Kristen. Orang Farisi dan ahli Taurat

memiliki peran sebagai pengajar Taurat untuk memperkenalkan dan mengajar tentang Allah dan

hukum-hukum-Nya. Guru Kristen juga mempunyai peran sebagai pengajar yang harus

menyatakan Allah dan karya-Nya. Baik orang Farisi, ahli Taurat maupun guru Kristen mereka

punya peran sebagai pengajar yang harusn mengajarkan tentang Allah, hukum-hukum-Nya dan

karya-Nya baik melalui hidup maupun pengajaran mereka.

Dengan memperhatikan adanya masalah yang terjadi pada guru-guru Kristen yang telah

penulis paparkan pada bagian sebelumnya, maka penulis ingin meneliti tujuh ucapan celaka yang

diucapkan Yesus dalam Matius 23:13-32. Pada bagian itu Yesus menggunakan frasa “celakalah

kamu” sebanyak tujuh kali27 yang ditujukan kepada orang Farisi dan ahli Taurat untuk

mengecam mereka. Penulis ingin menemukan kegagalan-kegagalan apa yang dilakukan orang

Farisi dan ahli Taurat sebagai guru yang mengajarkan hukum Allah sehingga dikecam oleh

Yesus. Dengan demikian dapat diperoleh prinsip-prinsip yang seharusnya dilakukan oleh orang

Bagian Matius 23:13-32 mencatat ada delapan kali penyataan “celakalah kamu.” Namun, ayat 14
27

tampaknya merupakan sisipan dari Markus 12:40 atau Lukas 20:47. John Nolland, The Gospel of Matthew (NIGTC;
Grand Rapids: Eerdmans, 2005) 933. Permasalahan tekstual ini akan penulis paparkan pada bagian bab dua di
dalam skripsi.

9
Farisi dan ahli Taurat sebagai seorang guru. Dengan melihat prinsip-prinsip tersebut, penulis

ingin mengimplikasikannya kepada peran guru Kristen di sekolah pada masa kini. Oleh karena

itu, signifikansi dari penelitian ini adalah menemukan kembali prinsip-prinsip apa yang

dinyatakan Alkitab, khususnya melalui tujuh perkataan celaka yang diucapkan Yesus kepada

orang Farisi dan ahli Taurat, yang harus dilakukan seorang guru Kristen dalam melayani Allah di

sekolah pada masa kini.

RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis akan mengangkat tiga

masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pertama, berdasarkan studi tujuh ucapan celaka

yang diucapkan Yesus dalam Matius 23:13-32, kegagalan apa saja yang dilakukan orang Farisi

dan ahli Taurat dalam menjalankan perannya sebagai seorang guru sehingga mereka dikecam

Yesus? Kedua, apa yang menjadi tantangan dan permasalahan yang dihadapi guru Kristen di

sekolah? Ketiga, bagaimana mengimplikasikan kegagalan-kegagalan orang Farisi dan ahli Taurat

dalam menjalankan perannya sebagai guru pada peran guru Kristen di sekolah pada masa kini?

Dengan demikian, tujuan penulisan skripsi ini adalah: Pertama, menjelaskan kegagalan-

kegagalan apa saja yang dikecam Yesus terhadap orang Farisi dan ahli Taurat sebagai seorang

guru berdasarkan studi tujuh ucapan celaka Yesus dalam Matius 23:13-32. Kedua, melihat

tantangan dan permasalahan apa saja yang dihadapi guru Kristen di sekolah. Ketiga, mencari

implikasi dari kecaman Yesus terhadap kegagalan-kegagalan orang Farisi dan ahli Taurat

sebagai seorang guru bagi peran guru Kristen di sekolah pada masa kini.

10
METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode penelitian deskriptif,

yaitu cara penelitian dengan melakukan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi

aktual berdasarkan penelitian terhadap literatur-literatur kepustakaan yang ada.28 Tujuan

penelitian ini adalah mendapatkan fakta aktual berdasarkan informasi-informasi yang dipadukan

menjadi sebuah penafsiran. Proses pengumpulan informasi tersebut dilakukan dengan cara

melakukan analisis terhadap tujuh ucapan celaka Yesus dalam Matius 23:13-32. Analisis akan

dilakukan dengan mempelajari konteks historis dari Matius 23:13-26, melakukan analisis historis

dan kata dari bagian tersebut, lalu kemudian melakukan perbandingan dengan buku-buku tafsiran

yang ada dengan mempertimbangkan konteks alkitabiah dan teologis. Bagian mengenai

tantangan dan permasalahan guru Kristen di sekolah akan penulis paparkan dengan metode

deskriptif berdasarkan penelitian terhadap literatur-literatur kepustakaan sehingga akan

ditemukan apa yang menjadi tantangan dan permasalahan guru Kristen di sekolah pada masa

kini.

Melalui pembahasan di atas penulis akan melakukan analisis kristis terhadap tujuh

ucapan celaka Yesus sehingga diperoleh hal-hal apa yang tidak dilakukan oleh orang Farisi dan

ahli Taurat sebagai seorang guru sehingga mereka dikecam Yesus. Berdasarkan penelitian

tersebut penulis akan memaparkan hasilnya dan menjelaskan hal apa saja yang dapat diterapkan

kepada peran guru Kristen di sekolah pada masa kini dengan metode aplikasi.

SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam bab satu penulis memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan

tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam bab dua penulis akan
28
Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) 14.

11
meneliti tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus dengan memaparkan terlebih dahulu tujuan

penulisan Injil Matius, latar belakang orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dan konteks Matius

23:13-32. Setelah itu, penulis kemudian akan meneliti tujuh ucapan celaka yang diucapkan

Yesus satu demi satu dan di bagian akhir penulis akan memberikan kesimpulan. Dalam bab tiga

penulis akan memaparkan tantangan dan permasalahan guru Kristen di sekolah pada masa kini.

Ada pun tantangan-tantangan yang akan dipaparkan adalah tantangan dari filsafat modern,

perkembangan teknologi, sistem pendidikan dan kondisi keluarga murid. Setelah itu, penulis

akan menguraikan permasalah yang terjadi pada guru-guru Kristen di sekolah. Pada bab empat,

penulis akan memberikan implikasi berdasarkan studi tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus

bagi peran guru Kristen di sekolah, yaitu guru Kristen sebagai pemberita Injil, pengajar dan

pelaku firman dan teladan hidup yang otentik. Akhirnya, pada bab lima penulis akan

memberikan kesimpulan atas penelitian yang dilakukan mengenai studi tujuh ucapan celaka yang

diucapkan Yesus dalam Matius 23:13-32 dan implikasinya bagi peran guru Kristen di sekolah.

12
GARIS BESAR TENTATIVE

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENULISAN

METODOLOGI PENELITIAN

SISTEMATIKA PENULISAN

BAB II STUDI TUJUH UCAPAN CELAKA YANG DIUCAPKAN YESUS DALAM


MATIUS 23:13-32

LATAR BELAKANG INJIL MATIUS 23:13-32


Tujuan Penulisan
Latar Belakang Orang Farisi dan Ahli Taurat
Konteks Matius 23:13-32

PEMAHAMAN TUJUH UCAPAN CELAKA YANG DIUCAPKAN YESUS


DALAM MATIUS 23:13-32

KESIMPULAN

BAB III TANTANGAN DAN PERMASALAHAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH

TANTANGAN YANG DIHADAPI GURU KRISTEN DI SEKOLAH

TANTANGAN DARI FILSAFAT MODERN

TANTANGAN DARI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

TANTANGAN DARI SISTEM PENDIDIKAN SEKOLAH

TANTANGAN DARI KONDISI KELUARGA MURID

PERMASALAHAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH

BAB IV IMPLIKASI STUDI TUJUH PERKATAAN CELAKA YANG DIUCAPKAN


YESUS BAGI PERAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH PADA MASA KINI

GURU KRISTEN SEBAGAI PEMBERITA INJIL

13
GURU KRISTEN SEBAGAI PENGAJAR DAN PELAKU FIRMAN

GURU KRISTEN SEBAGAI TELADAN HIDUP YANG OTENTIK BAGI


MURID

BAB V KESIMPULAN

14
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Hagner, Donald A. Matthew 14-28. WBC. Dallas: Words, 1995.

Morris, Leon. The Gospel of Matthew. PNTC. Leicester: Apollos, 1992.

Nickelsburg, George W. E. Ancient Judaism and Christian Origins. Minneapolis, Fortress,


2003.

Nolland, John. The Gospel of Matthew. NIGTC. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.

Saladarini, Anthony J. “Political and Social Roles of The Pharisees and Scribes in Galilee”

__________________. Pharisees, Scribes and Sadduces in Palestinian Society. Grand Rapids:


Eerdmans, 2001.

Society of Biblical Literature Seminar Paper Series. Ed. David J. Lull. Atlanta: Scholars, 1988.

Tjandra, Lukas. Latar belakang perjanjian baru II. Malang: SAAT, 1994.

Wilkins, Michael J. Matthew. NIVAC. Grand Rapids: Zondervan, 2004.

JURNAL

Andrew R. Simmonds, “Woe to you. . . Hypocrites!” Re-reading Matthew 23:13-36” Bibliotecha


Sacra 166/663 (July-September 2009) 336-349.

BAB III
PERMASALAHAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH PADA MASA KINI

Berkhof, Louis and Cornelius Van Til. Foundations of Christian Education. Surabaya:
Momentum, 2010.

Byrne, H. W. A Christian Approach to Education. Grand Rapids: Baker, 1988.

Foundations of Christian School Education. Eds. James Braley, Jack Layman and Ray White.
Colorado: Purposeful, 2003.

Graendorf, Werner G. Introduction to Biblical Christian Education. Chicago: Moody, 1981.

Hill, Brian. Faith at The Balckboard. Grand Rapids: Eerdmans, 1982.

Pazmino, Robert W. By What Authority Do We Teach?. Grand Rapids: Baker, 1994.

15
________________. Foundational Issus in Christian Education. Grand Rapids: Baker, 2008.

Stronks, Julia K. and Gloria Gorris Stronks. Christian Teacher in Public School. Grand Rapids:
Baker, 1999.

The Christian School: An Introduction by Noel Weeks. Carlisle: The Banner of Truth Trust,
1988.

Wajah Kusam Pendidikan Kita. Malang: Averroes, 2011.

Wolterstorff, Nicholas P. Mendidik untuk Kehidupan. Surabaya: Momentum, 2004.

BAB IV
IMPLIKASI STUDI TUJUH PERKATAAN CELAKA YANG DIUCAPKAN YESUS BAGI
PERAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH PADA MASA KINI

Benson, Clarence H. The Christian Teacher. Chicago: Moody, 1950.

Brummelen, Harro Van. Berjalan Bersama Tuhan di Dalam Kelas. Surabaya: ACSI, 2011.

Downs, Perry G. Teaching for Spiritual Growth. Grand Rapids: Zondervan, 1994.

Edlin, Richard J. The Cause of Christian Education. Colorado: ACSI, 1999.

Graham, Donovan L. Teaching Redemptive. Colorado: Purposeful, 2003.

Hendricks, Howard G. Mengajar untuk Mengubah Hidup. Yogyakarta: Gloria Grafa, 2009.

Knight, George R. Philosophy and Education. Barrien: Andrews, 2006.

Pazmino, Robert W. God Our Teacher. Grand Rapids: Baker, 2001.

The Christian Educator’s Handbook on Teaching. Eds. Kenneth O. Gangel and Howard G.
Hendricks. USA: Victor, 1988.

16
WAKTU PENGERJAAN

Penulis akan melakukan penelitian di atas dengan waktu pengerjaan sebagai berikut:

No. Bab Waktu Pengerjaan


1. Bab II dan revisi Bab I 30 Juli-19 Agustus 2012
2. Bab III dan revisi Bab II 20 Agustus-9 September 2012
3. Bab IV dan revisi Bab III 10 September-30 September 2012
4. Bab V dan revisi Bab IV 1 Oktober-15 Oktober 2012

17
BAB II

STUDI TUJUH UCAPAN CELAKA YANG DIUCAPKAN YESUS

DALAM MATIUS 23:13-32

LATAR BELAKANG MATIUS 23:13-32

Untuk meneliti maksud dari tujuh ucapan celaka yang ditujukan Yesus kepada ahli-ahli

Taurat dan orang-orang Farisi, maka terlebih dahulu perlu membahas latar belakang Injil Matius.

Dalam bagian ini penulis akan membahas mengenai tujuan penulisan Injil Matius, latar belakang

ahli Taurat dan orang Farisi, dan konteks Matius 23. Dengan demikian diharapkan penulis dapat

menguraikan latar belakang yang berkaitan dengan Matius 23:13-32 untuk mendukung penelitian

yang akan dilakukan.

Tujuan Penulisan

Salah satu ciri utama dari Injil Matius adalah banyaknya kutipan dan rujukan Perjanjian

Lama di dalamnya. Hal ini harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan atau

membahas tujuan penulisan Injil Matius. William Hendriksen berpendapat bahwa secara umum

tujuan dari penulisan Injil Matius adalah untuk memenangkan hati orang Yahudi bagi Kristus.

Hal ini dilihat dari karakter penulisan Injil Matius yang sangat bernuansa Ibrani.29 Di sisi lain,

Guthrie mencatat beberapa kemungkinan yang menjadi tujuan penulisan Injil Matius yang

dikemukakan para ahli. Pertama, adanya maksud apologetika Kristen dalam Injil Matius untuk

menjawab pertanyaan tentang Yesus yang diajukan oleh para pemfitnah. Misalnya, kisah

kelahiran Yesus, akan membantah tuduhan bahwa Yesus adalah anak haram. Kisah

penyingkiran ke Mesir dan kemudian kembalinya keluarga Yesus ke Nazaret akan menjelaskan
29
The Gospel of Matthew (Grand Rapids: Baker, 1973) 97.

18
mengapa Yesus tinggal di Nazaret dan bukan di Betlehem. Kemudian kisah tentang penyuapan

para penjaga akan membantah tuduhan bahwa para murid mencuri tubuh Yesus. Kedua, salah

satu teori mengaitkan tujuan penulisan Injil Matius dengan penganiayaan jemaat oleh orang

Yahudi. Penganiayaan ini dianggap telah berakhir saat Injil Matius di tulis dan perikop tentang

penganiayaan dianggap merujuk kepada prediksi-prediksi yang telah digenapi. Ketiga, dengan

melihat konstruksi Injil Matius, ada seorang ahli yang menyatakan bahwa penulisan Injil Matius

merupakan perevisian leksionari guna menjawab kebutuhan liturgi dari komunitas-komunitas

Kristen. Keempat, ada anggapan bahwa Injil Matius berasal dari aliran Matius dan ditulis bagi

para pengajar dan pemimpin gereja. Atau dengan kata lain seperti “pedoman pengajaran dan

administrasi gereja. Kelima, teori lain mengatakan bahwa Matius ingin menasihati komunitas

yang sedang berselisih, sehingga tujuan penulisan Injil Matius lebih bersifat pastoral. Keenam,

ada kemungkinan Injil Matius ditulis sebagai suatu biografi. Guthrie mencatat, seorang ahli,

yaitu P. L. Shuler yang meneliti genre Injil dan menyimpulkan bahwa Matius ingin

menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Allah, meski ia juga melihat bahwa Matius ingin

memberikan pengajaran kepada para murid gereja yang sungguh. 30 Jadi, Injil Matius dilihat

sebagai suatu biografi juga merupakan kemungkinan yang dapat diterima.

Melihat banyaknya teori yang dikemukakan para ahli berkaitan dengan tujuan penulisan

Injil Matius di atas, maka tampaknya agak sulit untuk menentukan tujuan penulisan Injil Matius

secara pasti. Paul J. Achtemier, Joel B. Green dan Marrianne Thompson sependapat

mengatakan, “Matthew has left his readers no shortage of structural features by which to help

make sense of his emphases. In fact, he has left so many that it has been difficult to sketch his

overall narrative plan with much certainty.”31 Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa

30
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru (Vol. 1; Surabaya: Momentum, 2008) 17-22.
31
Introducing The New Testament: It’s Literature and Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 2001) 91.

19
dengan banyaknya ciri struktural dalam narasi Injil Matius, maka sulit untuk melihat seluruh

perencaan narasi di dalamnya dengan tepat. Namun, dengan menyelidiki ciri-ciri struktural

dalam narasi Injil tersebut, maka Achtemier, Green dan Thompson berpendapat bahwa Yesus

adalah fokus dari Injil tersebut. Mereka mengatakan:

What is incontrovertible about Matthew’s plan is the gathering of Jesus’ teaching into
discourses, each with its own thematic focus, and together accentuating the pitcure of
Jesus as authoritative teacher. The importance of this narrative feature is highlighted in
Jesus’ closing words in 28:18-20, which place a premium on the substance of Jesus’
teaching. Equally transparent is the biographical character of Matthew’s Gospel − that
is, its primary focus on the ‘bios’ or life of Jesus, with the result that we cannot escape its
fundamental aim to promote a particular vision of Jesus’ person and work. Jesus is and
remains at center stage throughout the Gospel.32

Dengan demikian, pendapat di atas menyimpulkan bahwa pada dasarnya fokus dari Injil Matius

adalah Yesus Kristus. Narasi-narasi yang diceritakan di dalamnya, seperti kisah kelahiran

Yesus, masa pelayanan-Nya, penderitaan dan kematian-Nya serta kebangkitan dan kenaikan-Nya

ke sorga, dinyatakan untuk mengungkapkan pribadi Yesus dan pekerjaan-pekerjaan yang

dilakukan-Nya.

Ahli Taurat dan Orang Farisi

Ucapan celaka yang dilontarkan Yesus dalam bagian 23:13-32 ditujukan kepada dua

kelompok religius Yahudi, yaitu ahli Taurat dan orang Farisi. Yesus melekatkan dua kelompok

tersebut dalam kecaman-Nya. Berkaitan dengan kelompok ini, Anthony J. Saladarini

berpendapat bahwa mereka ini adalah kelompok yang ingin memberikan pengaruh dan kontrol

dalam masyarakat sebagai para pakar religius sehingga selalu mencoba menyudutkan Yesus

32
Ibid. 95.

20
yang mulai memberikan pengaruh besar dalam masyarakat.33 Siapa sebenanya mereka dan

bagaimana peran mereka di dalam masyarakat? Penulis akan mencoba menguraikannya.

Ahli Taurat

Menurut G. H. Twelftree, dalam sejarah Israel, ahli Taurat (Scribe) mulai berperan

sebagai pencatat dan penyalin data-data (2 Raj. 12:10), dan kemudian membentuk kelompok

menjadi sebuah perserikatan (1 Taw. 2:55). Golongan ini kemudian memegang jabatan politik

yang tinggi (1 Raj. 4:3; 2 Raj. 18:18; 25:19; 1 Taw. 27:32; 2 Taw. 26:11; Yes. 22:15), yang

kemudian menjadi penerus para imam dan orang Lewi sebagai penafsir-penafsir hukum (2 Taw.

34:13; Ezr.7:12), karena pengetahuan dan pemahaman mereka tentang Kitab Suci (1 Taw.

27:32).34 Ia juga menyatakan, dalam masa pembuangan para ahli Taurat muncul sebagai orang-

orang berhikmat yang penuh dengan pengertian (a wise men of understanding). Sebutan ini

diberikan kepada mereka karena orang-orang Yahudi yang berada di tanah asing pada saat itu

sangat bergantung kepada mereka untuk menafsirkan hukum Taurat di tengah situasi yang baru

tersebut. Salah satu contohnya adalah Barukh, sekertaris pribadi nabi Yeremia, juga merupakan

ahli Taurat. Dia menulis perkataan Yeremia ( Yer. 36:4, 18), mengumpulkan perkataan-

perkataan nabi (Yer. 36: 32) dan berlaku sebagai wakilnya (Yer. 36:6-15).35 Setelah pulang dari

penawanan, Lukas Tjandra mencatat bahwa jabatan ahli Taurat dilakukan oleh imam Ezra,

seorang ahli Taurat yang paling ternama yang menyalin hukum Taurat, mengajarkan ketetapan-

ketetapan dan peraturan-peraturan Tuhan kepada bangsa Israel (Ez. 7:6-10).36

33
“Political and Social Roles of the Pharisees and Scribes in Galilee” in Society of Biblical Literature
Seminar Papers Series (ed. David J. Lull; Atlanta: Scholars, 1988) 209.
34
“Scribe” in Dictionary of New Testament Background (Eds. Craig A. Evans. & Stanley E. Forter;
Leicester: InterVarsity, 2000) 1086.
35
Ibid. 1086.
36
Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru (Malang: SAAT, 1994) 48.

21
Twelftree mencatat ada beberapa tugas yang dimiliki oleh para ahli Taurat, yaitu

pertama, menafsirkan dan memelihara hukum. Mereka merupakan jalur nalar hukum dan

pembelanya, terutama pada zaman Helenistik, ketika keimaman telah bobrok. Mereka

menyampaikan keputusan-keputusan hukum tak tertulis yang telah muncul dalam usaha

menerapkan hukum Musa pada kehidupan sehari-hari. Kedua, mengajarkan hukum. Para ahli

Taurat mengumpulkan murid dan mengajar mereka. Para murid yang mereka kumpulkan

diwajibkan untuk mempertahankan bahan-bahan yang diajarkan dan menyampaikan ajaran-

ajaran itu tanpa perubahan. Mereka melakukan pengajarannya di Bait Allah (Luk. 2:46; Yoh.

18:20). Ketiga, sebagai pembela hukum (Lawyer). Setiap orang Yahudi dapat diminta untuk

mengadili sebuah kasus melalui komunitas, dan biasanya jika ada seorang ahli Taurat dalam

pengadilan itu, maka ia akan dipilih sebagai salah satu hakim. Keempat, sebagai seorang teolog.

Beberapa ahli Taurat memberi perhatian lebih untuk mempelajari dan meneliti doktin-doktrin

yang terdapat di dalam Kitab Suci dari pada elemen-elemen legalnya. Jika berkhotbah tidak

dibatasi bagi orang-orang tertentu saja, mereka-mereka inilah yang sebenarnya sangat punya

kualifikasi untuk berbicara di Sinagoge. Kelima, sebagai penjaga tradisi. Salah satu yang tugas

yang signifikan dari para ahli Taurat adalah dalam hubunganya menjaga tradisi-tradisi yang sulit

dimengerti (esoteric tradition).37 Keenam, sebagai kurator teks. Menyalin teks Kitab Suci dilihat

sebagai sebuah pekerjaan ilahi. Ketika seseorang telah selesai menyalin teks Kitab Suci, maka ia

harus membacakan salinan yang ia kerjakan. Di sinilah para ahli Taurat berperan sebagai

pengkoreksi.38 Dengan demikian dapat dilihat bahwa tugas para ahli Taurat cukup kompleks dan

37
Bandingkan dengan Lukas 11:52. Twelftree menuliskan, “They considered secrecy necessary because
Scripture was silent on the reasons for many laws, because of the offense of some stories, because the teaching
might be missused and because genealogical traditions might discredit public figures, “Scribe” in Dictionary 1087.
38
Penjelasan lebih lanjut mengenai keenam tugas ahli Taurat ini lihat G. H. Twelftree, “Scribe” in
Dictionary 1086-1089 dan C. L. Feinberg, “Taurat, Ahli-ahli Taurat” dalam Enslikopedia Masa Kini (Jilid 2; ed. J.
D. Douglas; Jakarta: Bina Kasih, 1997) 454.

22
selalu berhubungan dengan hukum Taurat. Mereka menyelidiki, menafsirkan dan mengajarkan

hukum Taurat kepada orang Yahudi.

Orang Farisi

Menurut J. Julius Scott, asal-usul golongan Farisi tidak dapat diketahui secara jelas dan

pasti. Ada yang beranggapan golongan ini muncul setelah zaman Ezra, ada juga yang

mengatakan muncul pada zaman Hasidim, dan yang lain berpendapat pada masa awal Makabe. 39

Meneliti arti nama dari “Farisi” juga tidak memberikan kepastian atas asal-usul golongan ini.

Scott mencatat bahwa nama “Farisi” berkaitan dengan kata Ibrani parash dan kata Aram perash

yang berarti “seseorang yang dipisahkan” atau “yang terpisah.” 40 Namun pertanyaan yang

diajukan scott selanjutnya adalah dari siapa mereka dipisahkan? Dari para imam yang memiliki

penafsiran hukum yang berbeda dengan mereka? atau dari orang-orang gentile dan Yahudi yang

terpengaruh budaya Helenistik? Atau bahkan dari golongan-golongan politik?41 Hal ini tidak

diketahui dengan pasti karena tidak adanya sumber-sumber yang menuliskan hal tersebut secara

spesifik. Namun H. Jagersma berpendapat bahwa kemungkinan besar sebutan tersebut ada

hubungannya dengan suatu pemisahan di mana tidak seluruh bangsa terlibat.42

Menurut Jagersma, golongan Farisi pertama kali muncul dengan nama tersebut pada saat

Yohanes Hirkanus berkuasa (134-104 sM). Pada saat itu, golongan Farisi mempunyai pengaruh

besar dan mendapat dukungan dari rakyat. Namun, diperkirakan sejak sekitar awal tarikh

39
Jewish Backgrounds of The New Testament (Grand Rapids: Baker, 1995) 204.
40
Namun ada juga teori yang mengatakan bahwa nama tersebut adalah nama ejekan “orang-orang Persia.”
Ibid. 202-203.
41
Ibid. 202-203.
42
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun juga sebutan tersebut diberikan kepada mereka oleh pihak ketiga
yaitu lawan-lawan mereka. Pada dasarnya golongan Farisi menyebut dirinya sendiri dengan istilah-istilah yang
berarti “kawan,” “pengarang,” atau “orang berhikmat.” Dalam kepustakaan Yahudi golongan Farisi terutama
disebut dengan istilah orang-orang berhimat” atau sering juga disebut “orang-orang kita yang berhikmat.” Dari
Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Jakarta: Gunung Mulia, 1991) 96.

23
Masehi orang-orang Farisi telah membentuk paguyuban-paguyuban. Mereka itu terdiri antara

lain dari imam-imam, para tukang, para petani dan para pedagang. Sebagian besar ahli-ahli

Taurat juga termasuk golongan Farisi, sekalipun tidak boleh dikatakan, bahwa ahli Taurat sama

dengan orang Farisi dan sebaliknya orang Farisi belum tentu ahli Taurat.43

Mengenai pengajaran mereka, Jagersma juga mencatat bahwa orang-orang Farisi sangat

menghargai tradisi lisan di samping tradisi tertulis.44 Mereka mementingkan upacara lahiriah,

memelihara Taurat dan memelihara semua sistem ibadah yang diturunkan oleh leluhur mereka.

Mengenai menjalankan upacara lahiriah, Lukas Tjandra menjelaskannya demikian,

Orang farisi mementingkan upacara lahiriah, seperti berpuasa, memberikan perpuluhan,


berdoa dengan panjang lebar, membasuh diri, mempersembahkan korban, memelihara
hari Sabat, mengenakan tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang agar dilihat
orang, dan menunjukkan betapa mereka bersemangat bagi Allah. Suka disanjung dan
dihormati orang. Semua Taurat dan peraturan dipelihara dengan kaku, secara harafiah,
satu titik atau satu koma pun tidak ada yang tertinggal. . .45

Lukas Tjandra memperlihatkan bahwa orang-orang Farisi merupakan kumpulan orang-orang

yang sangat teliti dalam menafsirkan dan menjalankan Taurat. Selain itu Lukas Tjandra juga

mengatakan bahwa ajaran yang mereka yakini adalah ajaran bahwa roh tidak binasa, adanya

kebangkitan orang mati, berkat kekal dan hukuman kekal. Golongan Farisi yakin bahwa yang

baik dan jahat masing-masing akan menerima balasannya. Mereka juga percaya akan adanya

malaikat yang baik dan yang jahat dan percaya bahwa di sorga nanti masih ada soal kawin dan

mengawini serta masih ada makanan jasmani. Mengenai pandangan mereka terhadap Mesias,

mereka memberi tekanan pada pengharapan Mesias yang akan lahir sebagai raja.46

43
Ibid. 97.
44
Ibid. 98.
45
Tjandra, Latar Belakang 40.
46
Ibid. 40.

24
Namun pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana peran orang-orang Farisi

dan seberapa besar pengaruhnya di dalam masyarakat Yahudi? Pertanyaan ini bisa dijawab

dengan melihat catatan sejarah mengenai kelompok Farisi tersebut. Josephus, seorang sejarawan

Yahudi yang hidup pada zaman kekaisaran Romawi pernah mencatat mengenai kelompok

tersebut. Dalam bukunya yang berjudul War, orang-orang Farisi disebutkan sebanyak empat

kali. Mereka disebutkan dalam pengaruh mereka yang besar di bawah kekuasaan Ratu

Aleksandra. Ada juga kisah di mana isteri saudara Herodes, Pheroas bekerja sama dengan orang

Farisi (dengan memberikan mereka subsidi) untuk menentang Herodes, namun berakhir dengan

dieksekusinya sejumlah orang Farisi. Dalam tulisan tersebut, Josephus juga menyebutkan orang

Farisi (bersama dengan golongan Saduki) sebagai one of the three traditional Jewish

philosophies. Dalam tulisan yang lain, the Antiquities, Josephus menyebutkan orang Farisi (baik

secara personal maupun komunal) sebanyak sembilan kali. Dia menceritakan konflik golongan

Farisi dengan Yohanes Hirkanus dan bagaimana mereka kemudian bergabung dengan Ratu

Aleksandra. Dalam tulisan yang berjudul Life, Josephus mencatat kisah bagaimana golongan

Farisi bersama dengan imam-imam kepala dan Josephus tampil sebagai pemimpin pasukan pada

malam pemberontakan.47 Jadi, dapat dilihat bahwa penyebab golongan Farisi memiliki pengaruh

yang cukup besar dalam masyarakat Yahudi karena adanya campur tangan dan perhatian mereka

dalam bidang politik dalam sejarah Yahudi.

Anthony J. Saldarini mencoba melihat posisi golongan Farisi dalam strata masyarakat

Yahudi pada waktu itu. Ia melihatnya berdasarkan pengklasifikasian yang dilakukan oleh

47
Anthony J. Saldarini, “Political and Social Roles of the Pharisees and Sribes in Galilee” in Society of
Biblical Literature Seminar Paper Series (ed. David J. Lull; Atlanta: Scholars, 1988) 202-204.

25
Gerhard Lenski mengenai pengolongan kelas dalam masyarakat agraria.48 Ia mengatakan bahwa

orang Farisi berada dalam golongan retainer class. Dia menjelaskannya demikian,

To some extent they shared in the life of the elite, but not in its direct power. Soldiers,
bureaucratic goverment officials, various kinds of servants, religious leaders and
educators were all necesarry for the functioning of society and as a group they had a
great impact on society and culture. However, individual retainers lacked power
because any one person could be easily replaced by another. Some retainers could
become very powerful and move into the governing class while others could lose their
positions and fall back into the peasantry. Their office could become hereditary, but
more often they were bureaucratic and so subject to the appointment of the ruler. This
group gained most power when the governing class ceased to be effective rulers and left
matters in their hands.49

Saldarini memperlihatkan bahwa orang-orang yang berada dalam golongan ini adalah orang-

orang yang punya fungsi krusial dalam masyarakat sekalipun tidak memiliki akses langsung

dalam pemerintahan. Oleh karena itu wajar jika dia berpendapat bahwa orang Farisi memang

tidak mempunyai kuasa langsung atas wilayah politik dan militer,50 ditambah lagi mereka juga

bukan anggota dari pemerintahan, namun mereka punya pengaruh besar karena punya hubungan

dengan pemerintahan dan masyarakat. Saldarini juga mengatakan bahwa walaupun tidak ada

kepastian mengenai peran golongan Farisi di dalam masyarakat Yahudi secara spesifik, tetapi

golongan ini selalu muncul dalam setiap era sejarah Yahudi, mulai dari masa Hasmonean hingga

penghancuran Bait Suci.51 Itu sebabnya Saldarini mengatakan, “It is most likely that Pharisees

were active in a number of occupations and roles in society and were bound together by certain

beliefs and practices and by endeavors to influance sosial change.”52 Dengan demikian

48
Lenski menjelaskan ada 9 kelompok masyarakat yang signifikan. Lima diantaranya adalah golongan atas,
dan empat yang lainnya adalah golongan bawah. Kelompok yang termasuk golongan atas adalah the governing
class, retainer class, merchant class, dan priestly class. Sedangkan kelompok yang termasuk golongan bawah
adalah peasant, artisants, an unclean degraded class, dan the expandable class. Sebagaimana dikutip Ibid. 200 dari
Power and Privilege: A Theory of Social Stratification (New York: McGraw, 1966) 214-296).
49
“Political and Social. . .” 201 dikutip dari Lenski, Power and Privilege 243-248.
50
Ibid. 203. Lihat juga S. Mason, “Pharisees” in Dictionary 783-784.
51
Ibid. 203.
52
“Political and Social. . .” 206.

26
pernyataan ini menjelaskan bahwa golongan Farisi memberikan pengaruhnya di dalam

masyarakat melalui kepercayaan-kepercayaan yang mereka yakini dan ritual-ritual yang mereka

lakukan.

Di dalam Perjanjian Baru, khususnya Injil, S. Mason mencatat bahwa Injil Markus dan

Yohanes menggambarkan orang Farisi sebagai musuh dari Yesus, sedangkan dalam Injil Matius,

orang Farisi sering digandengkan dengan orang Saduki, bahkan dengan imam-imam kepala,

untuk menggambarkan mereka semua sebagai para pemimpin-pemimpin Israel (Mt. 3:7; 16:1, 6).

Dalam Injil Lukas, orang Farisi digambarkan sebagai guru-guru yang dihormati oleh orang

banyak, yang terus mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan Yesus (Lk. 5:17).53

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang Farisi

merupakan sebuah sekte atau golongan agama Yudaisme yang memiliki penafsiran tertentu

terhadap Taurat. Mereka bergerak bukan hanya di dalam bidang keagamaan, tetapi juga politik

dalam sejarah Yahudi. Mereka selalu berusaha memiliki pengaruh di dalam masyarakat dengan

mengajar orang menghidupi Taurat dalam kehidupan sehari-hari secara praktis.54

Baik ahli Taurat maupun golongan Farisi, keduanya sama-sama ingin memiliki kuasa dan

pengaruh di dalam masyarakat Yahudi.55 Mereka mengusahakannya melalui kepercayaan-

kepercayaan yang mereka ajarkan dan ritual-ritual yang mereka lakukan dalam masyarakat.

Namun, sekalipun mereka adalah penafsir dan pengajar Taurat, ternyata kedua ahli Taurat dan

orang Farisi mendapat kecaman dari Yesus yang tertulis dalam Matius 23:1-32. Dalam bagian

tersebut, Yesus memperingatkan orang banyak dan murid-murid-Nya untuk waspada terhadap

ahli Taurat dan orang Farisi. Bahkan, kemudian Yesus menegur dengan keras dua kelompok

tersebut dengan mengucapkan kalimat, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang

53
Ibid. 784-785.
54
Ibid. 785.
55
“Political and Social. . .” 209.

27
Farisi.” Hal apa yang sebenarnya ditegur dengan keras oleh Tuhan Yesus terhadap ahli-ahli

Taurat dan orang-orang Farisi? Hal ini akan dibahas bagian selanjutnya.

Konteks Matius 23:13-32

Sebelum masuk ke dalam pembahasan tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus,

penulis akan terlebih dahulu menjelaskan konteks bagian 23:13-32. Pasal 23 berada di antara

narasi tentang Yesus yang bertanya kepada orang Farisi tentang mesias (22:41-46) dengan

pernyataan Yesus kepada murid-murid-Nya tentang Bait Allah yang akan diruntuhkan. Menurut

Michael J. Wilkins, pasal 23 ini merupakan kelanjutan dari beberapa perumpamaan Yesus yang

menyatakan kegagalan pemimpin-pemimpin agama untuk memimpin bangsa kepada pertobatan

(21:28-22:14), dan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan orang Farisi, Saduki dan ahli Taurat

terhadap Yesus untuk menjebak Dia.56 Lebih lanjut, R. T. France berpendapat bahwa pasal 23

ini bisa dilihat sebagai suatu tema yang dipersiapkan Matius sebelum masuk ke dalam pasal 24-

25 mengenai penghukuman yang akan datang. Ia melihat Matius sedang menunjukkan

keboborakan hati para pemimpin religius Yahudi, sehingga pasal 23:37-39 bisa menjadi

penghubung antara kedua bagian tersebut.57 Dengan demikian, pasal 23 dapat dilihat sebagai

bagian yang berbicara tentang kebobrokan para pemimpin religius Yahudi sebagai tema yang

dipersiapkan Matius sebelum beralih kepada tema tentang penghukuman dalam pasal 24-35.

Pasal 23 dimulai dengan peringatan Yesus kepada orang banyak dan murid-murid-Nya

tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (23:1-12). Di sini Yesus memperingatkan orang

banyak dan para murid untuk tidak mengikuti contoh buruk dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang

56
Matthew (NIVAC; Grand Rapids: Zondervan, 2004) 744.
57
Matthew (TNTC; Leicester: Inter-Varsity, 1985) 323.

28
Farisi.58 Kemudian, narasi tersebut dilanjutkan dengan kecaman yang dilontarkan Yesus kepada

mereka dengan menggunakan frasa “celakalah kamu” sebanyak tujuh kali (13-32). Menurut

Donald A. Hagner, Ayat 13-32 menjadi titik sentral dari pasal 23. Ia mengatakan bahwa bagian

ini merupakan penjabaran detai dari kemunafikan orang-orang Farisi yang telah digambarkan

Yesus dengan kalimat “mereka mengajarkannya, tetapi tidak melakukannya.”59 Bagian setelah

kecaman Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dilanjutkan dengan bagian yang

memperlihatkan konsekuensi hukuman yang harus ditanggung oleh para pemimpin religius

tersebut (33-36). Dengan demikian, maka pasal 23:13-32 merupakan sentral dari pertentangan

antara para pemimpin religius Yahudi dengan Yesus yang berisi kecaman-Nya terhadap mereka

yang menentang Dia.

PEMAHAMAN TUJUH UCAPAN CELAKA YESUS DALAM MATIUS 23:13-32

Terjemahan60

Ucapan Celaka Pertama


Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak
masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk (ay. 13).

Ucapan Celaka Kedua


Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja
menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang
dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri (ay. 15).

58
Wilkinks, Matthew 744.
59
Donald A. Hagner, Matthew 14-28 (WBC; Dallas: Word, 1995) 664.
60
Terjemahan ini diambil terjemahan LAI TB.

29
Ucapan Celaka Ketiga
Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci,
sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. Hai kamu
orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang
menguduskan emas itu? Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi
persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat. Hai kamu orang-orang buta, apakah
yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu? Karena itu
barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu
yang terletak di atasnya. Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait
Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ. Dan barangsiapa bersumpah demi sorga, ia
bersumpah demi takhta Allah dan juga demi Dia, yang bersemayam di atasnya (ay. 16-22).

Ucapan Celaka Keempat


Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam
hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus
dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu
tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan (ay. 23-24).

Ucapan Celaka Kelima


Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh
rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan
itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih (ay. 25-26).

Ucapan Celaka Keenam


Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih
tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.

30
Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah
dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan. (ay. 27-28).

Ucapan Celaka Ketujuh


Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan
berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka
dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu
sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi, penuhilah juga takaran
nenek moyangmu! (ay. 29-32).

Penjelasan

Menurut Grant R. Osborne, ketujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus berbicara

tentang dosa religius dari “ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,”61 khususnya mengenai

“kemunafikan” mereka yang mengetahui isi Kitab Suci, namun berbelok dari isinya. 62 Hal yang

sama juga dikemukkan oleh Wilkinks, di mana ia mengatakan, “Their woeful condition lies

especially in their hypocrisy and blindness, in which they disfigure the truth of God’s revelation

through their self-deception and inconsistency.63 Wilkins menegaskan bahwa kemunafikan dan

kebutaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menodai kebenaran Allah merupakan

penyebab mereka dicela. Jadi, dapat dilihat bahwa tujuh ucapan celaka yang dilontarkan Yesus

61
David L. Turner mengatakan bahwa kedua kelompok ini pertama kali digandengkan oleh Matius dalam
5:20. Turner mencatat bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan mengenai pengertian istilah
“ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.” Namun secara umum para ahli Taurat merupakan para murid dan guru
yang ahli dalam halakhah, yaitu penguraian dan pengaplikasian hukum Taurat secara praktis. Sedangkan “Farisi”
merupakan istilah bagi sebuah gerakan reformasi dalam Yudaisme di mana seseorang menganut dan mengabdi
kepada aturan-aturan praktis dari hukum, dengan penekanan khusus pada hal-hal seperti ritual pembasuhan, praktek
persepuluhan dan hari sabat. Turner mengatakan bahwa memang kedua istilah ini memperlihatkan dua kategori
yang berbeda, namun secara praktis tujuan dan cara hidupnya hampir sama, di tambah lagi memang banyak para
ahli Taurat yang juga merupakan anggota dari gerakan Farisi. Inilah yang mungkin menyebabkan mengapa Yesus
menggandengkan kedua kelompok tersebut dalam kecaman-Nya (Matthew [ECNT; Grand Rapids: Baker, 2008])
189.
62
Exegetical Commentary on The New Testament: Matthew (Grand Rapids: Zondervan, 2010) 843.
63
The Gospel According to (NIVAC; Grand Rapids: Zondervan, 2004) 750.

31
kepada ahli Taurat dan orang Farisi merupakan kecaman atas kemunafikan mereka sebagai

pemimpin religius.

Lebih lanjut, Daniel L. Turner mengatakan bahwa kecaman Yesus terhadap para

pemimpin religius Yahudi dalam bagian ini harus di lihat dalam latar belakang nabi-nabi dalam

Alkitab yang sering mengucapkan teriakan kesengsaraan bagi Israel atas dosa-dosa mereka.

Ungkapan tersebut merupakan perpaduan dari kemarahan, dukacita dan peringatan tentang

konsekuensi penghukuman yang akan dinyatakan kepada Israel atas dosa mereka. Turner

mencatat misalnya dalam Yesaya 5:8, 11, 18, 20, 21, dan 22 merupakan rangkaian dari enam

ucapan celaka. Kemudian terdapat juga dalam Amos 5:18; 6:1, 4 dan Habakuk 2:6, 9, 12, 15 dan

19 yang merupakan rangkaian lima ucapan celaka. Jadi, bentuk kecaman Yesus terhadap para

pemimpin religius tersebut bukanlah hal yang baru bagi para pendengar-Nya pada waktu itu.64

Di dalam kecaman-Nya, Yesus menggunakan kata “celakalah kamu” (Οὐαὶ δὲ ὑμῖν).

Menurut Wilkinks, kata seru Οὐαὶ (“celakalah”) mempunyai nuansa perpaduan antara

penyesalan, belas kasihan, dukacita dan kecaman (denunciation). Ia berkata ketika Yesus

mengungkapkan kecaman tersebut sebanyak tujuh kali, sesungguhnya Yesus sedang

menyesalkan keadaan orang-orang Farisi, namun di saat yang sama juga menyatakan nasib yang

akan menimpa mereka.65 Osborne mengatakan bahwa kata ini sudah dipakai dalam ayat 11:21

dan 18:7 yang secara umum berarti penghukuman ilahi kepada manusia. Jadi, dalam bagian

23:13-32 kata ini memang bernuansa penghukuman bagi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

atas dosa-dosa yang mereka lakukan.66 Dengan demikian tujuh ucapan celaka yang diucapkan

Yesus merupakan kecaman yang dinyatakan kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

dalam nuansa penghukuman ilahi.

64
Matthew 550.
65
The Gospel According to 750.
66
Exegetical 847.

32
Dalam ucapan celaka yang pertama Yesus menggunakan kata “orang-orang munafik”

(ὑποκριταί) dalam tegurannya (dan akan dipakai juga dalam ayat 15, 23, 25, 27 dan 29) yang

berarti “those who play-act” or who want to appear to be something they are not.67 Menurut

Hagner, isu yang dibahas disini bukanlah kebohongan terhadap diri sendiri (selff-deception)

melainkan kebohongan terhadap orang lain (deception of others).68 Oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa istilah “orang-orang munafik” dilekatkan Yesus kepada dua kelompok

agamawi tersebut sebagai sebutan untuk menggambarkan kehidupan mereka yang penuh

kebohongan terhadap orang lain.

Dalam ayat 13, ada beberapa kalimat yang perlu dicermati. Yesus mengatakan bahwa

ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi “menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang.”

Hagner menjelaskan bahwa istilah “menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga” sebenarnya sangat

berhubungan dengan pengajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka yang telah

menduduki kursi Musa mempunyai kuasa dan otoritas untuk mengajar Taurat. Oleh karena itu

pengajaran dan penafsiran mereka terhadap Taurat merupakan kunci untuk membuka pintu

Kerajaan Sorga agar orang lain dapat masuk dan menikmati pemerintahan Allah. Namun, dengan

memberikan pengajaran dan penafsiran tentang Taurat yang salah, mereka menyebabkan orang-

orang yang mengikuti mereka tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Sorga.69 Sejalan dengan ini

Osborne juga mengatakan,

The purpose of the Pharisees in ‘building a fence around the law’ should have been to
shepherd God’s flock through the gate or door to the kingdom. Their teaching should
have made the reign of God more apparent and meaningful in the lives of the people.
Instead, they have closed the door to God.70

67
Donald A. Hagner, Matthew 14-28 (WBC; Dallas: Word, 1995) 668.
68
Ibid. 668
69
Ibid. 668.
70
Exegetical 847.

33
Osborne menegaskan bahwa pengajaran orang-orang Farisi harusnya menjadi penuntun bagi

orang lain untuk datang kepada Allah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Yesus pernah

mengajarkan mengenai pintu yang sesak dan pintu yang lebar dan telah memberikan Petrus

(beserta dengan gereja) “kunci Kerajaan Sorga” yang berarti otoritas untuk membuka pintu-pintu

Sorga. Metafora ini merujuk kepada otoritas untuk membuka kebenaran-kebenaran kerajaan

melalui menafsirkan firman Allah dengan tepat. Orang-orang Farisi telah menolak otoritas

Yesus sebagai penafsir Taurat, dan dengan demikian mereka jatuh ke dalam pengajaran yang

salah.71 Jadi dapat disimpulkan bahwa kalimat “menutup pintu Kerajaan Sorga” merujuk kepada

pengajaran-pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang salah sehingga menyebakan

orang yang mengikut mereka menjadi tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Kalimat selanjutnya yang perlu dicermati adalah “sebab kamu sendiri tidak masuk dan

kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.” Osborne menjelaskannya demikian,

Christ has brought the true kingdom into this world, but the Jewish leaders have rejected
it and therefore have closed for themselves and their followers, not only by their false
teaching but even more so by their rejection of the Messiah . . . The opposition by these
leaders to God’s Messiah has made it impossible not only for themselves but also for all
who hope to enter the kingdom by following their teaching.”72

Osborne memperlihatkan bahwa penolakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi terhadap

Yesus memberikan pengaruh bukan hanya kepada diri mereka sendiri tetapi juga terhadap para

pengikut mereka untuk tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Inilah makna dari

perkataan mereka sendiri tidak masuk dan mereka merintangi orang-orang yang berusaha untuk

masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ucapan celaka dalam bagian ini

merupakan kecaman Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi atas kegagalan

mereka sebagai pengajar Taurat untuk dapat menuntun orang ke dalam Kerajaan Sorga.

71
Ibid. 847.
72
Exegetical 848.

34
Pengajaran mereka yang salah dan penolakan mereka terhadap Yesus telah menyebabkan pintu

Kerajaan Sorga tertutup bukan hanya untuk diri mereka sendiri namun juga untuk para pengikut

mereka.

Selanjutnya, dalam ucapan celaka pada ayat 14, terdapat permasalahan tekstual di

dalamnya. Ayat tersebut berbunyi demikian, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-

orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang

kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan

menerima hukuman yang lebih berat.” France menjelaskan bahwa ayat ini ditemukan dalam

manuskrip-manuskrip yang terkemudian, sehingga menjadikan rangkaian ucapan celaka yang

diucapkan Yesus dalam Matius 23 menjadi delapan. Ia mengatakan bahwa ayat ini merupakan

reproduksi dari Markus 12:40 yang berbunyi, “yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka

mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima

hukuman yang lebih berat.” 73 Sejalan dengan itu, Hagner melihat bahwa ayat tersebut diduga

dimasukkan kemudian, karena dalam manuskrip-manuskrip yang lebih awal seperti Alexandrian,

Western dan Caesarean tidak ditemukan adanya bagian ini. 74 Jadi, bagian ini memang dianggap

bukan bagian asli dari serangkaian tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus. 75 Oleh karena

itu, penulis tidak akan menguraikan bagian ini sebagai ucapan celaka yang kedua.

Ucapan celaka yang kedua dinyatakan Yesus dalam ayat 15. Yesus mengecam ahli-ahli

Taurat dan orang-orang Farisi dalam hal mencari pengikut. Dikatakan bahwa mereka

“mengarungi lautan dan menjelajahi daratan untuk mentobatkan satu orang saja” menjadi

penganut agama mereka. Menurut Morris, kalimat “mengarungi lautan dan menjelajah daratan”

merupakan ungkapan puitis (proverbial saying) untuk menunjukkan “tindakan yang dilakukan

73
Lihat catatan kaki nomor 1 dari France, The Gospel 865.
74
Lihat bagian Notes “d” in Hagner, Matthew 664.
75
Lihat catatan kaki nomor 1 dari France, The Gospel 865

35
dengan usaha keras untuk memperoleh hasil yang diinginkan.”76 Dalam hal ini, ahli-ahli Taurat

dan orang-orang Farisi melakukan usaha keras untuk mentobatkan seseorang menjadi penganut

agama mereka.77 Kata “penganut” (προσήλυτον), menurut Leon Morris hanya digunakan dalam

ayat ini saja di antara injil-injil yang lain. Kata tersebut berarti seseorang yang beralih kepada

agama mereka (Yudaisme).78 Ia juga mengatakan bahwa tampaknya di sini Yesus sedang

menyinggung secara khusus orang-orang Farisi yang pada saat itu memang aktif untuk

mempertobatkan seseorang untuk masuk ke dalam agama mereka.79 S. McKnight berpendapat

bahwa orang-orang yang dipertobatkan di sini bukanlah orang-orang non-Yahudi (gentile)

pemuja berhala yang beralih agama Yudaisme, melainkan orang-orang non-Yahudi yang takut

akan Allah (yang telah menganut sebagian dari Yudaisme) yang kemudian menjadi penganut

penuh (full proselyte) dari sekte Farisi tentang kebenaran Taurat.80 Jadi pernyataan “menjadi

penganut agamamu” merujuk kepada aktivitas orang Farisi untuk mempertobatkan seseorang

gentile yang takut akan Allah kepada ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang

dipegang oleh orang Farisi.

Menurut Morris, ketika seseorang menjadi penganut dari kepercayaan Farisi, itu berarti

orang tersebut harus diajarkan Yudaisme berdasarkan pemahaman sekte Farisi tentang iman

tersebut. Selain itu, karena petobat baru tersebut hanya sedikit mengerti, bahkan mungkin tidak

tahu sama sekali mengenai Yudaisme, selain dari perintah yang diberikan kepadanya oleh orang

76
Ibid. 579.
77
Osborne mencatat hal ini mungkin dilakukan dengan cara perjalanan ke sinagoge-sinagoge Diaspora oleh
guru-guru Yahudi (Exegetical 848).
78
Leon Morris, The Gospel According to Matthew (PNTC; Leicester: Apollos, 1992) 579.
79
Ibid. 580
80
Hagner, Matthew 14-28 669 mengutip A Light among the Gentiles: Jewish Missionary Activity in the
second Temple Period (Minneapolis: Fortress, 1991) 106-108.

36
yang mempertobatkan dia, maka dapat dikatakan orang tersebut bertobat kepada Farisi-isme.81

Dengan kata lain, ia menjadi seorang Farisi yang lainnya. Lebih lanjut Morris mengatakan,

He knew nothing of any other way of understanding Scripture, so that any door that
might have opened to him for a fuller knowledege of God was closed from the beginning.
By indoctrinating with their own errors mind that knew nothing of the new religion other
than what they taught them the Pharisees ensured that the proselytes were twice as sure
of finishing up on the wrong track as they were themselves.82

Pendapat di atas memperlihatkan bahwa seorang petobat baru dalam golongan Farisi hanya akan

mengikuti dan melakukan apa yang diajarkan oleh orang-orang Farisi yang mempertobatkannya.

Dengan demikian, dia juga akan melakukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang Farisi.

Dalam ayat 15, orang yang ditobatkan oleh orang-orang Farisi itu disebut Yesus sebagai

“orang neraka” yang dua kali lebih jahat dari mereka. Kata “orang neraka” berasal dari kata υἱὸν

γεέννης (“Child of hell”). Kata tersebut merupakan Semitic Idiom bagi seseorang yang

merupakan milik dari neraka dan memang ditentukan untuk masuk ke sana. 83 Wilkins

mengomentari hal ini dengan mengatakan, “These Pharisees have not entered the kingdom

themselves and also block their followers from entering (23:13), so when they win adherents,

they make their proselytes “twice as much of a child of hell as themselves.”84 Turner

mengungkapkan hal yang sama dengan berkata, “Since the leaders themselves are not entering

the kingdom, their efforts result only in preventing others from entering it. Their converts do not

become childern of the kingdom but of gehena.”85 Kedua pernyataan di atas memperlihatkan

bahwa seorang petobat baru disebut sebagai orang neraka karena orang Farisi yang dia ikuti telah

menolak masuk ke dalam Kerajaan Sorga dan juga menghalangi dia untuk masuk. Sejalan

81
Morris, The Gospel According to Matthew 580.
82
Ibid. 580.
83
France, The Gospel of 870-871.
84
Matthew 752.
85
Matthew 555.

37
dengan hal ini, Osborne mengatakan bahwa kata “neraka” (γέεννα) di sini merupakan metafora

yang merujuk kepada penghukuman atau siksaan kekal (5:22). Frasa “dua kali” kemungkinan

berarti bahwa seorang petobat baru tersebut masuk ke dalam pengajaran yang salah dan

penolakan terhadap Yesus, yang lebih dari pada yang dilakukan oleh para guru mereka.86

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam bagian ini Yesus mengecam tindakan orang

Farisi yang mempertobatkan seseorang hanya untuk menjadikan orang itu seperti diri mereka

yang menolak Kerajaan Sorga, yang dibawa oleh Yesus. Mereka mempertobatkan orang hanya

untuk membuat duplikat diri mereka sendiri.87 Jadi, baik mereka maupun para pengikut mereka

telah ditentukan untuk mendapatkan penghukuman kekal (ay. 33).

Selanjutnya, Yesus kembali mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam

ucapan celaka yang ketiga. Dalam bagian ini, Yesus mengecam mereka dengan tidak

menggunakan istilah “orang-orang munafik.” Kali ini Dia menyebut ahli-ahli Taurat dan orang-

orang Farisi dengan istilah “pemimpin-pemimpin buta” (ὁδηγοὶ τυφλοὶ ). Menurut Osborne,

istilah ini memberi penekanan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi bukan hanya orang-

orang munafik, tetapi juga orang-orang yang buta akan kebenaran.88 Sejalan dengan ini, Morris

mencatat bahwa istilah ini sebenarnya telah digunakan Yesus dalam bagian sebelumnya untuk

menggambarkan orang-orang Farisi yang menolak ajaran-Nya (15:4). Pada saat itu Yesus

mengatakan bahwa jika orang buta menuntun orang buta, maka keduanya pasti jatuh ke dalam

lobang. Maka dari itu Morris berpendapat bahwa istilah “pemimpin-pemimpin buta” yang

digunakan Yesus dalam ucapan celaka ketiga ini menggambarkan salah satu contoh spesifik akan

“kebutaan” mereka, yaitu mengenai perihal pengangkatan sumpah.

86
Exegetical 848.
87
Sebagaimana dikutip Wilkinks, Matthew 752 dari Donald Senior, Matthew (Abingdon New Testament
Commentaries; Nashville: Abingdon, 1998) 668-669.
88
Exegetical 848.

38
Dalam ucapan celaka yang ketiga terlihat bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

melakukan pembedaan di dalam sumpah. Mereka mengajarkan bahwa jika seseorang bersumpah

demi Bait Suci, maka sumpah tersebut tidak sah, namun jika orang tersebut bersumpah demi

emas Bait Suci, maka sumpah itu mengikat (ay. 16). Mereka juga mengatakan bahwa jika

seseorang bersumpah demi mezbah, maka sumpah tersebut tidak sah; tetapi jika seseorang

bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah maka tersebut mengikat (ay. 18)

mengikat. Dapat dilihat bahwa terdapat pembedaan sumpah di dalam pengajaran di atas, yaitu

adanya sumpah yang mengikat dan tidak. Osborne mengatakan bahwa perihal pengangkatan

sumpah adalah tindakan yang memang biasa dilakukan orang-orang Farisi untuk membuktikan

kejujuran perkataan mereka. Sumpah tersebut biasanya dilakukan dengan menyebut nama Allah

atau orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama sebagai saksi atas janji dan perkataan mereka. 89

Namun, menurut Craig S. Keener, pada masa itu, orang-orang Yahudi telah dilarang untuk

mengucapkan nama Allah yang suci di dalam sumpah. Lebih lanjut ia mengatakan,

By swearing lesser oaths, some people hoped to avoid the consequences of swearing by
God’s name if they could not keep their vow or if their oath turned out to be mistaken. As
people swore or vowed by things related to God instead of by God himself, more and
more things became substitutes for divine name and thus became roundabout ways of
seeming to swear by God while hoping to buffer the consequences. 90

Keener menyatakan bahwa orang-orang mulai mengganti penggunaan nama Allah di dalam

sumpah dengan menggunakan benda-benda yang berhubungan dengan Allah untuk menghindari

konsekuensi yang harus diterima jika mereka tidak dapat memenuhi sumpah tersebut. Hal ini

sejalan dengan pendapat Garland yang mengatakan bahwa pada masa itu penyalahgunaan

sumpah memang sudah terjadi. Orang-orang menghindari pengucapan sumpah dengan memakai

nama Allah atau objek-objek sakral lainnya, karena dianggap mengikat. Itu sebabnya orang-

89
Ibid. 849.
90
IVP Bible Background Commentary (Downers: InterVarsity, 1993) 109.

39
orang Yahudi kemudian mengucapkan sumpah dengan menggunakan objek-objek seperti “Bait

Suci” atau “mezbah” di dalam Bait Suci agar tidak dirasa terlalu mengikat mereka.91 Jadi, dapat

dilihat bahwa pembedaan di dalam sumpah yang dilakukan orang Yahudi pada saat itu dilakukan

karena keinginan mereka untuk menghindari konsekuensi yang harus diterima jika tidak dapat

memenuhi sumpah tersebut.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dalam konteks ayat 17 dan 18, mengapa

bersumpah demi emas Bait Suci atau persembahan di atas mezbah dianggap mengikat,

sedangkan bersumpah demi Bait Suci atau mezbah dianggap tidak mengikat? Morris mencatat

bahwa perihal mengenai sumpah memang merupakan hal umum yang tampak dalam literatur

para rabi. Di dalam Misnah terdapat begitu banyak esei yang berhubungan dengan pengangkatan

sumpah, di mana esei tersebut menjelaskan mengenai variasi dari berbagai bentuk sumpah serta

keabsahan dan ketidakabsahannya.92 Menurut Nolland, para rabi telah memberikan kejelasan

mengenai keabsahan dan ketikabsahan sebuah sumpah. Ia mengatakan bahwa sebuah sumpah

akan dianggap sah atau mengikat, jika terdapat satu atau lebih dari tiga hal utama berikut ini,

yaitu: penggunaan kata šbwʿh (‘oath’), penggunaan nama ilahi, dan penggunaan kata qrbn

(‘gift’) atau yang sepadan dengan itu.93 Maka dari itu, bersumpah demi emas bait suci (ay. 16)

atau persembahan di atas mezbah (ay. 18) dianggap mengikat atau sah karena keduanya

dianggap sebagai kurban (‘qrbn’) atau gifts dedicated to the temple.94

Yesus kemudian menentang ajaran ahli-ahli Taurat dan orang Farisi dengan mengajukan

pertanyaan yang bentuknya sama. Ia mengatakan “apakah yang lebih penting, emas atau Bait

Suci yang menguduskan emas itu?” (ay. 17), kemudian di ayat 19, “apakah yang lebih penting,

91
Exegetical 849.
92
Morris, The Gospel According 580-581.
93
The Gospel of Matthew 935.
94
Ibid. 935.

40
persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu?” Bait Suci adalah tempat yang

kudus (the place of holiness) di mana Allah hadir di sana, sedangkan emas di dalamnya,

memiliki nilai sakral karena emas tersebut merupakan bagian dari perkakas Bait Suci. Oleh

karena itu, pastilah Bait Suci lebih bernilai penting (greater) dari pada emas itu sendiri.95 Begitu

juga halnya dengan mezbah, di mana mezbahlah yang menguduskan persembahan yang ada di

atasnya, bukan sebaliknya.96 Mengenai hal ini, Hagner berkomentar bahwa poin yang

ditekankan di sini bukanlah merujuk kepada orang Farisi yang terbalik untuk mengerti yang

mana yang lebih penting dalam pengangkatan sumpah, namun poinnya adalah bahwa setiap

sumpah harus dipandang mengikat. Pengecualian-pengecualian yang dilakukan orang Farisi

adalah keliru.97

Yesus kemudian menentang pengajaran mengenai sumpah tersebut dalam ayat 20-22.

Ayat 20 merujuk kepada pemahaman bahwa ketika seseorang bersumpah demi mezbah, maka

sumpah tersebut mencakup “semua yang ada di dalamnya,” termasuk persembahan-

persembahan. Ayat 21 menekankan bahwa seseorang yang bersumpah demi Bait Suci, maka ia

bersumpah demi segala sesuatu yang ada di dalamnya, bahkan demi Allah sendiri yang diam di

sana. Mengenai hal ini, Osborne mengatakan, “This is ultimate point --- making oaths means

standing before God himself.”98 Sejalan dengan ini, Morris juga mengungkapkan bahwa yang

membuat Bait Suci menjadi Bait Suci adalah adanya Tuhan yang dipuja di dalamnya. Jika tidak

ada Tuhan, maka tidak ada Bait Suci. Oleh karena itu seseorang tidak dapat berkata bahwa dia

tidak terikat dengan sumpahnya karena dia melakukan sumpah dengan mengatasnamakan Bait

Suci, bukan Allah. Jika seseorang bersumpah demi Bait Suci Allah, berarti ia juga bersumpah

95
Osborne, Exegetical 849.
96
Ibid. 849.
97
Hagner, Matthew 14-28 669
98
Exegetical 850

41
demi Allah, karena Bait Suci tidak terpisah dengan Allah yang diam di dalamnya. 99 Pengertian

ini juga berlaku dalam ayat 22 mengenai bersumpah demi Sorga. Morris mencatat bahwa bagi

orang-orang Yahudi bersumpah demi sorga, bukanlah sumpah yang mengikat. Jadi pernyataan

ini menyatakan aplikasi yang sama, yaitu bersumpah demi Sorga berarti bersumpah demi takhta

Allah dan Dia yang bersemanyam diatasnya. 100 Dengan kata lain bersumpah demi Sorga adalah

sumpah yang mengikat. Sejalan dengan hal ini, Hagner berpendapat bahwa ayat 22 di atas

memberikan konklusi yang jelas, yaitu pembedaan dalam sumpah tidak dibenarkan. Setiap

sumpah yang diucapkan harus dihormati, karena pengangkatan sumpah selalu dalam persetujuan

Allah. 101 Seperti yang dikatakan Osborne, “Every oath, from the least to the greatest, involves

God and his throne and so is binding.”102 Jadi dapat disimpulakan bahwa dalam ucapan celaka

ketiga ini, Yesus menolak pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menyatakan

sebagian sumpah dipandang mengikat dan sebagian lagi tidak. Bagi Yesus, semua sumpah yang

diucapkan adalah mengikat dan berlaku, karena melibatkan Allah di dalamnya.

Ucapan celaka yang keempat dimulai Yesus dengan menyinggung tentang praktek

persepuluhan yang dilakukan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Praktek memberikan

persepuluhan merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dalam Perjanjian Lama

(Kej. 14:20). Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan tetap bangsa Yahudi, ketika Allah

memberikan perintah supaya setiap orang memberikan sepersepuluh dari penghasilannya kepada

Tuhan (Im. 27:30-33; Bil. 18:21; Ul. 12:5-19; 14:22-29).103 Perintah ini dijalankan ahli-ahli

Taurat dan orang-orang Farisi dengan memberikan sepersepuluh dari selasih (ἡδύοσμον, “mint”),

99
The Gospel According 582.
100
Ibid. 582.
101
Hagner, Matthew 14-28 670.
102
Exegetical 850.
103
Morris, The Gospel According 582.

42
adas manis (ἡδύοσμον, “dill”) dan jintan (κύμινον, “cummin”). Ketiga hal ini merupakan buah

pohon-pohonan yang kecil (Im. 27:30).

Sekalipun ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menjalankan perintah memberi

perpuluhan dengan baik, tetapi kemudian Yesus mengecam mereka karena tidak melakukan hal

“yang terpenting” (τὰ βαρύτερα, “weightier things”) dalam Taurat, yaitu keadilan, belas kasihan

dan kesetiaan. Dalam Perjanjian Lama, keadilan, belas kasihan dan kesetiaan merupakan hal-hal

yang sering dikumandangkan. Misalnya, Yesaya 1:17 mencatat, “belajarlah berbuat baik;

usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam. . .” Di dalam Yeremia 22:3 juga dikatakan,

“Beginilah firman TUHAN: Lakukanlah keadilan dan kebenaran, lepaskanlah dari tangan

pemerasnya orang yang dirampas haknya, janganlah engkau menindas dan janganlah engkau

memperlakukan orang asing, yatim dan janda dengan keras, dan janganlah engkau

menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini.” Kedua ayat ini dengan jelas

menekankan tentang keadilan. Sedangkan mengenai belas kasihan, tertulis dalam Hosea 6:6 dan

juga dalam Zakharia 7:9-10. Kombinasi dari kedua hal itu tertulis dalam Mikha 6:8, “Hai

manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari

padamu; selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan

Allahmu?” Keadilan dan belas kasihan merupakan tema-tema yang sering muncul dalam

Perjanjian Lama. Begitu juga dengan “kesetiaan,” yang digambarkan dalam Amsal 28:20 dan

Habakuk 2:4.104 Sekalipun ketiga hal tersebut adalah tema yang sering muncul dalam Perjanjian

Lama, namun Yesus mengatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

mengabaikannya.

Jadi permasalahan yang tampak dalam kecaman Yesus di sini adalah ahli-ahli Taurat dan

orang-orang Farisi melakukan perintah persepuluhan dalam hukum Taurat dengan memberikan
104
Hagner, Matthew 670.

43
sepersepuluh dari selasih, adas manis dan jintan dengan baik, namun mengabaikan yang

terpenting dalam Taurat itu sendiri, yaitu keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Menurut Morris,

orang-orang Farisi terbukti menjalankan perintah memberikan persepuluhan dengan sangat

serius dan menjalankannya dengan memperhatikan setiap detailnya. Mereka memberikan

kepada Tuhan buah-buah pohon yang kecil. Ini mengindikasikan sebuah tekad untuk memenuhi

persepuluhan beserta aturan detailnya dengan tepat. Lebih lanjut ia mengatakan,

The tithing of small herbs was probably going father than the tithing laws intended, but
there was nothing wrong in doing it (as Jesus agree). The trouble was that in their
concern that these small matters be properly attended to, the Pharisees neglected
weightier matters that were much more important.105

Morris memperlihatkan bahwa orang-orang Farisi lebih memperhatikan hal-hal detail dari

hukum dari pada esensi penting di dalamnya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Wilkinks,

bahwa Yesus di sini bukan sedang menyatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

mengabaikan perintah mengenai persepuluhan. Namun, perhatian mereka yang amat teliti dan

besar terhadap detail-detail hukum ceremonial menyebabkan mereka tidak melakukan hal-hal

yang lebih penting dalam kehidupan mereka, seperti membawa keadilan bagi orang-orang yang

disalahkan, memberikan belas kasihan terhadap mereka yang melakukan kesalahan, dan

menunjukkan kesetiaan kepada mereka yang telah jauh dari iman.106 Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa di sini Yesus sedang mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang

menjalankan perintah memberikan perpuluhan dengan aturan detailnya dengan baik, namun

gagal melakukan hal yang terpenting di dalamnya. Itu artinya mereka melakukan perintah yang

satu namun mengabaikan yang lain.

105
The Gospel According to 753
106
Ibid. 753.

44
Yesus kemudian menegur kedua kelompok religius tersebut dengan menggunakan

analogi nyamuk dan unta. Ia berkata, “nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi

unta yang di dalamnya kamu telan.” Nyamuk107 adalah binatang merayap yang dilarang untuk

dikonsumsi oleh umat Israel berdasarkan perintah dalam kitab Imamat (11:23, 41), demikian

juga halnya dengan unta (ay, 4). Keduanya merupakan binatang yang dianggap haram dan najis.

Menurut Hagner, poin yang ingin disampaikan di sini adalah ahli-ahli Taurat dan orang-orang

Farisi sangat memperhatikan hal-hal kecil yang relatif tidak signifikan, namun mereka

mengabaikan hal yang besar dan penting,108 yaitu “keadilan, belas kasihan dan kesetiaan.”

Sejalan dengan hal ini, Turner berpendapat bahwa pernyataan Yesus dalam bagian ini

menyatakan secara tidak langsung ketidakkonsistenan para pemimpin tersebut. 109 Jadi, Jika

disimpulkan, maka dapat dilihat, di sisi yang satu ucapan celaka keempat ini jelas menegur ahli-

ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang melakukan detail dari memberikan persepuluhan, namun

mengabaikan hal yang terpenting dalam hukum Taurat. Di sisi yang lain ucapan celaka ini

menunjukkan ketidakkonsistenan mereka dalam menjalankan hukum Taurat.

Yesus kembali menegur ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam ucapan celaka

yang kelima, dengan mengatakan “cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi

sebelah dalamnya penuh dengan rampasan dan kerakusan.” Membersihkan cawan dan pinggan

merupakan tindakan yang dilakukan orang Farisi dalam ritual pembasuhan (ritual purity).

Keener mencatat bahwa bagi orang Farisi ritual pembasuhan adalah hal yang penting, sehingga

mereka membersihkan bejana-bejana yang ingin mereka pakai sama seperti membersihkan diri

107
Yun. “κώνωπα” (gnat) adalah binatang kecil yang menyerupai nyamuk yang lebih tepat disebut sebagai
agas.
108
Matthew 14-28 671.
109
Matthew 556.

45
mereka sendiri.110 Namun, menurut Hagner, dalam bagian ini Yesus menggunakan ritual

pembasuhan tersebut sebagai analogi untuk kebersihan moral (moral cleanness) mereka.111 Hal

ini sejalan dengan pendapat France yang mengatakan,

The contrast here between “outside” and “inside” is clearly concerned with more then
the two phsyical surfaces of the vessels, for what Jesus says is on the “inside” is not the
sort of ritual uncleanness which washing was designed to remove but moral uncleanness
− cf. the things which “come out of the heart,” which “make a person unclean” (15:18-
19). So the inside (= contents) and outside of the vessel is being used as a metaphor for
the inside and outside of the person.112

Pernyataan France di atas menegaskan bahwa Yesus sedang menggunakan praktek ritual

pembasuhan untuk menganalogikan bagaimana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

memperhatikan kehidupan mereka. Menurut Morris perhatian orang-orang Farisi terhadap hal-

hal yang tampak luar, seperti ritual pembasuhan adalah tindakan yang dilakukan mereka agar

orang-orang dapat melihat dan terkesan akan kesalehan mereka. 113 Jadi, dapat dilihat bahwa

perkataan “cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya” merujuk kepada kehidupan

ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang sangat memperhatikan hal yang tampak luar dalam

ritual keagamaan mereka supaya terlihat saleh oleh orang lain.

Yesus selanjutnya mengatakan bahwa sebelah dalam cawan penuh dengan rampasan

(ἁρπαγῆς) dan kerakusan (ἀκρασίας, “self-indulgence”). Pernyataan ini berarti merujuk kepada

sebelah dalam dari diri ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. France berkata bahwa “rampasan

dan kerakusan” bukanlah sifat buruk yang dimiliki oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Namun, ia mengatakan bahwa, seperti yang diungkapkan dalam 15:19, bahwa dari hati timbul

segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat,

110
IVP Bible Background 109.
111
Hagner, Matthew 14-28 671.
112
Matthew 874-875.
113
Morris, The Gospel According 583.

46
maka dalam bagian ini, Yesus kelihatannya sedang menekankan bahwa hati adalah sesuatu yang

tidak akan dapat dilihat oleh orang lain.114 Dengan kata lain, kata “penuh dengan rampasan dan

kerakusan” mengacu kepada hati ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang kotor. Sejalan

dengan ini Wilkinks mengatakan bahwa hati adalah sumber dari segala pikiran, motivasi dan

perbuatan. Keinginan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mendapatkan pujian dari

masyarakat115 merupakan motivasi dari dalam diri mereka, yang akan berimbas kepada tindakan

mereka yang di luar. Oleh karena itu untuk mendapatkan kemurnian sejati, hati mereka perlu

dimurnikan terlebih dahulu.116

Oleh karena itu, Yesus mengatakan, “bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka

sebelah luarnya juga akan bersih.” Pernyataan ini menekankan bahwa ketika kedalaman hati

seseorang dimurnikan maka itu akan terpancar keluar pada tindakan orang tersebut.117 Morris

menjelaskan hal ini dengan mengatakan,

“The Pharisees are being taught that their method is all wrong. In the case of a person,
to concentrate on the outward does nothing for the inward, whereas to make sure that the
inward is clean means that the outward will also be clean. That follows inevitably”118

Pernyataan ini menegaskan bahwa yang harus menjadi perhatian yang lebih utama dari ahli-ahli

Taurat dan orang-orang Farisi adalah bagian dalam diri mereka bukan hal-hal yang tampak luar,

karena apa yang ada di dalam diri mereka akan berdampak kepada tindakan mereka di luar. Hati

mereka perlu dibersihkan dan dimurnikan terlebih dahulu. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa dalam ucapan kelima ini, Yesus mengecam tindakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang

Farisi yang memberi perhatian terhadap hal-hal yang tampak luar untuk terlihat saleh dan benar,

114
Ibid. 875.
115
Wilkinks menyebut hal ini sebagai “greed and self-indulgence” dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi (Matthew 754).
116
Ibid. 754.
117
Morris, The Gospel According to Matthew 584.
118
Ibid. 584.

47
namun di dalamnya, mereka sebenarnya penuh dengan kekotoran. Yesus mengingatkan mereka

untuk memurnikan bagian dalam diri mereka terlebih dahulu.

Tema mengenai kebersihan sebelah dalam dan luar dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang

Farisi berlanjut dalam ucapan celaka keenam. Di sini Yesus menggambarkan kehidupan ahli-

ahli Taurat dan orang-orang Farisi bagaikan kuburan yang dilabur putih yang sebelah luarnya

memang tampak bersih, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang-belulang dan pelbagai jenis

kotoran” (ay. 27). Tindakan melabur putih kuburan adalah tindakan yang biasa dilakukan dalam

budaya orang Yahudi. Hal ini biasanya dilakukan untuk memberikan tanda bahwa tempat yang

dilabur putih adalah kuburan. Tindakan ini menjadi perlu untuk dilakukan, karena di dalam

Bilangan 19:16 ada larangan tidak boleh menyentuh kuburan. Jika seseorang menyentuh

kuburan, maka ia menjadi najis. Oleh karena itu, untuk menghindari seseorang menjadi najis

karena menyentuh kuburan, maka orang-orang Yahudi melabur putih kuburan khususnya di

Yerusalem selama masa Paskah. Tujuannya supaya para peziarah yang datang ke Yerusalem

lebih berhati-hati jika melihat tanda labur putih tersebut, sehingga mereka tidak menjadi najis

pada saat masa perayaan Paskah.119

Yesus kemudian memakai kuburan yang dilabur putih tersebut sebagai metafora yang

menggambarkan kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebagaimana kuburan yang

dilabur putih, dari luar tampak bersih120 tetapi sebelah dalamnya penuh dengan kotoran,

demikian juga dengan para ahli Taurat dan orang Farisi yang sebelah luarnya tampak benar di

mata orang, tetapi di sebelah dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan. Menurut Mounce,

119
Wilkinks, Matthew 755.
120
ὡραῖοι, secara literal berarti “indah.” Pertanyaan yang muncul atas penggunaan kata ini adalah kuburan
dilabur putih bukan untuk kepentingan keindahan, melainkan sebagai tanda agar tempat tersebut dihindari, namun
mengapa Yesus menggunakan kata “indah” untuk menggambarkan tampak luar dari sebuah kuburan? Menurut
David E. Garland, penjelasan terbaik untuk hal tersebut adalah kata “indah” dalam kalimat tersebut bukan merujuk
kepada kuburan yang telah dilabur putih, melainkan kepada struktur ornamen yang terdapat pada kuburan tersebut
(Sebagaimana dikutip Osborne, Exegetical 853 dari The Intention of Matthew 23 [Novum Testamentum Supplement
52; Leiden: Brill, 1979] 155-157).

48
Yesus sepertinya sedang membandingkan kondisi orang-orang Farisi dengan kuburan yang

dibuat menarik dengan adanya tempelan-tempelan ornamen. Kuburan tersebut dari luar memang

tampak menarik, namun di dalamnya penuh dengan tulang-belulang. Demikian juga dengan

kehidupan orang-orang Farisi, dari luar orang melihat mereka tampak benar, padahal di

dalamnya mereka penuh kemunafikan dan kedurjanaan.121 Sejalan dengan ini, Morris

berpendapat bahwa “kemunafikan dan kedurjanaan” memang merupakan kualitas karakter dari

ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang diberikan Yesus. Kata “munafik” sudah diulang-

ulang dalam keseluruhan bagian ini, namun kata “kedurjanaan” (ἀνομίας, “lawlesness”)

merupakan penambahan yang menarik dan ironis. Morris menjelaskannya dengan mengatakan

demikian,

The Pharisees were puncitilious in observing the law as they understood it. But their
concentration on the externals to neglect of demands like justice and mercy and
faithfulnees meant that in the last resort they followed their own inclinations, not the law
of God. They rejected the divine demands in the place where those demands were most
significant,in the region of the heart. Because in their innermost being they refused to
submit to the law of God, in the fullest sense of the term they were lawless.122

Penjelasan Morris di atas memperlihatkan bahwa kehidupan orang Farisi dikatakan penuh

dengan kedurjanaan, karena mereka menolak hukum Allah dalam hati mereka. dengan demikian

mereka disebut sebagai orang-orang durjana. Jadi dapat dilihat bahwa kehidupan ahli-ahli

Taurat dan orang-orang Farisi digambarkan Yesus bagaikan kuburan yang dilabur putih karena

hidup mereka dari luar tampak benar, namun di dalam penuh kemnafikan dan kejahatan. Sejalan

dengan hal ini, Wilkinks mengatakan,

These religious leaders give the appearance of having avoided unrigtheousness by their
attention to their many legal many requirements, but inwardly they are unrigteousness,

121
Matthew (NIBC; Peabody: Hendrickson, 1991) 218
122
The Gospel According 585.

49
for they have not attended to the transformation of the heart that can come by responding
to Jesus.123

Wilkinks kembali menegaskan bahwa pada dasarnya ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

penuh dengan ketidakbenaran di dalamnya, sekalipun dari luar tampak benar dengan berbagai

peraturan yang mereka lakukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam ucapan celaka yang

keenam ini, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menampilkan diri

mereka tampak saleh dengan segala aturan-aturan yang mereka lakukan, namun di dalam diri

mereka, terdapat kemunafikan dan kejahatan. Ini menunjukkan hidup mereka yang hanya

tampak bersih dari luar, namun di dalamnya penuh dengan kotoran.

Ucapan celaka yang diucapkan Yesus mencapai klimaksnya pada ucapan celaka yang

ketujuh. Ia mengecam tindakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang membangun

makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh serta berkata bahwa mereka tidak

akan melakukan pembunuhan para nabi Allah, jika mereka hidup di zaman para leluhur mereka.

Menurut Morris membangun makam para nabi di sini merupakan tindakan yang dilakukan orang

Farisi untuk menghormati nabi yang diutus Allah pada zaman dahulu yang tidak mendapatkan

penghormatan yang baik dalam cara penguburan mereka. Sedangkan, memperindah tugu orang

saleh dilakukan untuk menghormati orang saleh yang pada masa lampau dikenal sebagai orang

yang memberi diri untuk melayani Allah dalam hidupnya.124 Dengan melakukan hal ini, orang

Farisi memperlihatkan bahwa mereka menghormati utusan Allah dan kemudian menyangkal

bahwa mereka tidak akan terlibat dalam pembunuhan nabi-nabi tersebut jika mereka hidup pada

zaman leluhur mereka. Jadi, tampaknya tindakan membangun makam para nabi dan

memperindah tugu orang-orang saleh merupakan cara yang mereka lakukan untuk dapat

123
Matthew 755.
124
The Gospel According to 586.

50
memproklamsikan bahwa mereka lebih baik dari pada orang-orang yang telah membunuh para

nabi di masa lalu.125

Yesus kemudian menyatakan bahwa apa yang diklaim oleh ahli-ahli Taurat dan orang-

orang Farisi mengenai pembunuhan para nabi oleh leluhur mereka, justru menjadi kesaksian

terhadap diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah keturunan para pembunuh tersebut. Osborne

menjelaskan bahwa kata “kamu bersaksi” berasal dari kata μαρτυρεῖτε. Kata ini menekan sifat

yang terus-menerus, yang berlanjut dari tindakan mereka. Frasa “terhadap kamu sendiri”

(ἑαυτοῖς yang berarti “against yourselves”) menggambarkan orang-orang Farisi yang berdiri

bersaksi menentang klaim mereka sendiri. Jadi, klaim mereka dalam ayat 30 menyaksikan

bahwa mereka adalah keturunan para pembunuh nabi Allah, dan dengan demikian mereka

menjadi bersalah karena mereka adalah keturunan para pembunuh.126 Sejalan dengan ini Keener

mengatakan, “Jesus’ point here is, ‘Like father, like son’; corporate sin and guilt continued

among the descendants of the wicked unless they repented (Ex. 20:5; Deut. 23:2–6; 1 Sam. 15:2–

3; Is 1:4; etc.).”127 Pernyataan ini menegaskan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi

tetap berada dalam garis yang sama dengan para leluhur mereka, karena mereka sendiri belum

bertobat. Senada dengan hal ini, Turner mengatakan bahwa penolakan mereka terhadap utusan

Allah seperti Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus itulah yang membuat mereka berada dalam

tempat yang sama dengan para leluhur mereka.128

Selanjutnya dalam ayat 32 Yesus berkata kepada mereka, “Jadi penuhilah juga takaran

nenek moyangmu!” Menurut Osborne ada dua tingkat pengertian di sini. Dalam tingkat yang

pertama, perkataan “jadi penuhilah” (you fill up) menunjukkan bahwa orang-orang Farisi harus

125
Ibid. 586.
126
Osborne, Exegetical 854.
127
IVPBible Background 110.
128
The Gospel of Matthew 877.

51
“menyelesaikan” apa yang telah dimulai oleh leluhur mereka, yaitu pembunuhan para utusan

Allah. Kemudian “takaran” (measure) berarti “takaran dosa,” dengan gambaran mengukur

bejana yang diisi secara perlahan hingga penuh. Ketika itu penuh, maka Allah akan bertindak di

dalam penghukuman. Hal ini dikatakan Osborne memimpin kepada tingkat yang kedua, yaitu

belas kasihan Allah yang hanya ditunjukkan sampai sejauh itu saja. Ia menyatakan bahwa ada

batas tertentu dari kejahatan di mana setelah sampai pada batas tersebut, Allah akan bertindak.

Ketika batas tersebut sudah “mencapai takaran yang penuh,” maka murka Allah akan dilepaskan

(Kej 15:16; 1 Tes. 2:16).129 Sejalan dengan ini, Hagner menyatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan

orang-orang Farisi akan menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh para leluhur mereka dengan

melakukan pembunuhan terhadap Sang Mesias (bdk. Kis. 7:52 dan 1 Tes. 2:15-16).130 Dengan

demikian, mereka akan mendapatkan penghukuman yang dinyatakan Yesus dalam ayat 33-36.

Menurut Wilinks, ucapan celaka ketujuh di atas memperlihatkan kontras antara tindakan

para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mencari hal-hal yang dari luar tampak benar dengan

motivasi yang jahat yang terdapat dalam diri mereka. Mereka menghormati para nabi dengan

membangun makam dan tugu. Mereka juga menyangkal akan ikut serta dalam pembunuhan

nabi-nabi jika mereka hidup di masa leluhur mereka. Padahal dalam hati, mereka sedang

mencari cara untuk menyingkirkan Yesus. Jadi, klaim yang mereka nyatakan hanya akan

menjadi sebuah kebohongan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ucapan celaka ketujuh

ini menunjukkan kecaman Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang klaim

mereka yang tidak sama dengan tindakan mereka. Mereka menghormati para nabi dengan

membangun makam dan mereka menyatakan bahwa tidak akan melakukan pembunuhan

terhadap utusan Allah. Padahal, dalam waktu yang sama mereka telah menolak utusan Allah

129
Exegetical 854-855
130
Ibid. 672.

52
yang tertinggi, yaitu Anak-Nya, Yesus Kristus Sang Mesias. Oleh karena itu mereka tidak akan

luput dari hukuman.

KESIMPULAN

Berdasarkan penguraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pertama, ucapan celaka

yang pertama dan kedua merupakan kecaman Yesus atas kegagalan ahli-ahli Taurat dan orang-

orang Farisi untuk menuntun orang masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Ucapan celaka yang

pertama memperlihatkan bahwa pengajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi harusnya

menjadi kunci agar orang dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Namun, pengajaran mereka

yang salah dan penolakan mereka terhadap Yesus, menyebabkan mereka gagal menuntun orang

ke dalam Kerajaan Sorga. Ucapan celaka yang kedua memperlihatkan tujuan ahli-ahli Taurat dan

orang-orang Farisi yang salah dalam mempertobatkan seseorang. Mereka berusaha keras untuk

mempertobatkan seseorang hanya untuk menjadikan orang tersebut penganut kepercayaan

mereka. Dengan demikian mereka menjadikan orang tersebut menjadi sama seperti mereka,

yang jatuh ke dalam pengajaran yang salah dan penolakan terhadap Yesus. Ini membuktikan

kegagalan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai pengajar hukum Allah untuk

menuntun orang masuk ke dalam kerajaan-Nya dan menikmati pemerintahan-Nya.

Kedua, ucapan celaka ketiga dan keempat memperlihatkan kegagalan ahli-ahli Taurat dan

orang-orang Farisi dalam mengajarkan dan melakukan hukum Allah. Ucapan celaka ketiga

menunjukkan bahwa Yesus menentang pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang

menyatakan sebagian sumpah dipandang mengikat dan sebagian lagi tidak. Mereka mengajarkan

dan melakukan sumpah dengan pemahaman yang salah. Dalam ucapan celaka keempat, Yesus

menegur ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang melakukan aturan-aturan detail dalam

53
hukum Taurat, tetapi gagal dalam mengerti dan melakukan esensi terpenting Taurat. Mereka

melakukan perintah yang satu namun mengabaikan yang lain. Dengan demikian mereka

menunjukkan ketidakkonsistenan mereka dalam menjalankan hukum Taurat. Kedua ucapan

celaka ini memperlihatkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai pengajar-pengajar

Taurat yang gagal dalam mengajarkan dan melakukan hukum Allah.

Ketiga, melalui ucapan celaka yang kelima, keenam dan ketujuh, Yesus memperlihatkan

kegagalan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk memiliki kehidupan yang otentik.

Ucapan celaka kelima dan keenam sangat jelas menggambarkan kontras antara sebelah dalam

dan sebelah luar diri mereka. Dari luar mereka “mendandani” diri mereka dengan berbagai

peraturan yang mereka lakukan agar terlihat saleh dan benar, namun dari dalam mereka penuh

dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Ucapan celaka ketujuh juga menunjukkan tindakan

mereka yang tidak sama dengan apa yang mereka katakan. Mereka membangun makam para

nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata tidak akan melakukan pembunuhan

yang sama seperti yang dilakukan para leluhur mereka. Padahal, penolakan mereka terhadap

Yesus telah menunjukkan penolakan mereka terhadap utusan Allah, yang berakhir pada peristiwa

pembunuhan-Nya. Jadi dengan kata lain, kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang

digambarkan Yesus dalam tiga ucapan celaka yang terakhir adalah kehidupan yang penuh

kemunafikan Mereka selalu ingin terlihat tampak saleh dan benar dari luar, namun di dalamnya

mereka penuh dengan ketidakbenaran. Dengan demikian, hidup mereka penuh dengan

kemunafikan yang menunjukkan ketidakotentikan.

54
BAB III

TANTANGAN YANG DIHADAPI GURU KRISTEN DI SEKOLAH

Guru Kristen tentu mendapat berbagai tantangan ketika ia mengajar di sekolah. Oleh

karena itu dalam bagian ini penulis akan menguraikan apa yang menjadi tantangan yang dihadapi

guru Kristen di sekolah. Namun, untuk menghindari pengertian yang salah mengenai istilah

“guru Kristen” (karena mengandung beberapa segi pengertian), penulis akan terlebih dahulu

mendefinisikan istilah guru Kristen.

ISTILAH GURU KRISTEN

Menurut B. S. Sidjabat dapat dipahami dari tiga segi, yakni: pertama, “guru dalam

perspektif Kristen”; kedua, “guru yang Kristen”; dan ketiga, “guru yang hanya memberi

pengajaran yang berkaitan dengan iman Kristen” di gereja, sekolah dan tempat pelayanan

lainnya. Sidjabat menjelaskan bahwa arti yang pertama menyangkut pembahasan umum tentang

guru serta seluk-beluk keguruan dari sudut pandang iman Kristen. Dalam arti yang kedua, “guru

yang Kristen” lebih berkaitan dengan identitas atau jati diri serta peranan guru sebagai orang

Kristen. Tidak tergantung di mana dan dalam bidang studi apa ia melayani. Lalu, arti terakhir

ialah “guru yang mengajarkan iman Kristen.” Pengertian ini memberi kesan lebih sempit tentang

lingkup tugasnya. Jika istilah “guru Kristen” hanya merujuk kepada mereka yang mengajarkan

agama Kristen, berarti mereka secara khusus, menggeluti pekerjaan itu.131 Dalam bagian penulis

akan membahas tentang guru Kristen berdasarkan pengertian dari segi yang kedua, yaitu guru

yang memiliki identitas dan jati diri sebagai orang Kristen dan menjalankan perannya sebagai

orang Kristen dalam profesinya. Byrne menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa guru atau
131
Menjadi Guru Profesional: Sebuah Perspektif Kristiani (Bandung: Kalam Hidup, 1994) 35.

55
pengajar Kristen adalah “pendidik Kristen.” Istilah “pendidik” dan “seorang Kristen” (christian)

dapat menyatakan fungsi dari guru Kristen. Sebagai pendidik, fungsi dari guru Kristen adalah

memenuhi mandat Allah untuk mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan dan pedagogi

dalam seluruh proses edukasi. Sedangkan sebagai seorang Kristen, fungsi dari guru Kristen

adalah untuk menyatakan Allah melalui pengajaran dan hidupnya. Dia menyaksikan

kehidupannya yang mendemonstrasikan keserupaan dengan Kristus. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa seorang guru Kristen adalah seorang guru yang memenuhi mandat Allah untuk mengajar

sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan untuk menyatakan Allah melalui hidup dan

pengajarannya yang mendemonstrasikan keserupaan dengan Kristus. Atau dengan kata lain guru

Kristen adalah seorang guru yang menjalankan kehidupannya sebagai aktualisasi dari iman

percayanya.132

Dengan mengacu kepada definisi di atas, penulis akan melihat tantangan-tantangan yang

dihadapi seorang guru Kristen dalam menjalankan perannya di sekolah. Tantangan tersebut

antara lain tantangan dari filsafat pendidikan modern, perkembangan teknologi, sistem

pendidikan di sekolah dan kondisi keluarga murid.

TANTANGAN DARI FILSAFAT PENDIDIKAN MODERN

Menurut Roger White, setiap orang yang terlibat di dalam pendidikan pasti memiliki

pemahaman tentang apa itu pendidikan dan bagaimana hal itu berjalan. Ia mengatakan bahwa

orang-orang mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang apa yang menjadi tujuan, sasaran

dan metode di dalam pendidikan. Keyakinan mereka tentang natur dari pendidikan tersebut

membuat mereka memiliki asumsi-asumsi dasar yang berbeda mengenai sebuah subjek di dalam

132
“Guru Kristen: ‘Guru-High Impact’ dalam Transformasi 3/1 (Februari 2007) 112.

56
pendidikan. Keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dan bagaimana mereka menjalankannya

akan membentuk sebuah filsafat pendidikan dalam diri seseorang.133

Lebih lanjut White menjelaskan bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya terbentuk dari

filsafat hidup pada umumnya. Apa yang dipercayai seseorang tentang kehidupan akan

memperlihatkan bagaimana ia memahami pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan

seperti identitas, masalah-masalah kehidupan dan kondisi manusia berdasar pada cara pandang

hidup seseorang. Jadi, bagaimana seseorang memberi perhatian terhadap realitas, dunia,

manusia, kematian, pengetahuan, etika dan sejarah akan menegaskan dasar hidup atau worldview

seseorang. Dari sinilah, orang-orang kemudian membentuk filsafat pendidikan dan

menerapkannya.134 Dengan kata lain, filosofi-filosofi hiduplah yang kemudian membentuk

filsafat pendidikan.

Robert W. Pazmino melihat fungsi filsafat pendidikan dengan berkata bahwa filosofi

pendidikan berusaha mengartikulasikan sebuah skema pemikiran yang sistematis dan

memberikan kehidupan yang berfungsi untuk memandu praktik pendidiknan. Ia mengatakan

bahwa hal ini menjadi krusial karena pendidikan adalah buah dari akar filosofinya.135 Ini artinya,

filsafat pendidikan akan menjadi “pemandu” bagi berjalannya proses pendidikan. Sejalan

dengan hal ini, George R. Knight berpendapat,

The task of educational philosophy is to bring future teachers, principals,


superintendents, counselors, and curriculum specialist into face to face contact with the
large questions underlying the meaning and purpose of life and education. To
understand these questions the student must wrestle with such issues as the nature of
reality, the meaning and sources of knowledge, and the structure of values. Educational
philosophy must bring students into a position where they can intelligently evaluate
alternative ends, relate their aims to desired ends, and select pedagogical methods that
harmonize with their aims.136

133
“Philosophy of Education” in Evangelical Dictionary 535.
134
Ibid.
135
Fondasi Pendidikan Kristen (Bandung: STTB, 2012) 110.
136
Philosophy and Education: An Introduction in Christian Perspective (Berrien: Andrew, 2006) 5.

57
Dengan demikian penjelasan di atas menegaskan bahwa pada dasarnya filosofi pendidikan

menjadi penting karena filosofi pendidikan menjadi dasar atas praktek pendidikan yang sangat

berpengaruh kepada seluruh proses pendidikan dan juga praktisinya.

Dalam dunia modern, filsafat pendidikan berkembang dengan berbagai macam bentuk

dan penekanannya. Nicholas P. Wollterstorff mengemukakan ada dua teori yang berkembang

sebagai ideologi pendidikan di dunia modern saat ini, khususnya di dunia barat. Kedua teori

tersebut adalah maturasi dan sosialisasi. Teori maturasi memiliki konsep pendidikan yang

berpusat pada pemuasan diri anak. Pemuasan tersebut bisa merupakan keinginan, minat, dan

motivasi yang harus dipuaskan dalam proses pendidikan. Pemikiran utamanya adalah anak akan

paling bahagia bila mereka berpeluang tumbuh bebas tanpa kekangan dalam lingkugan yang

mendukung. Jadi, menurut teori ini, tugas pendidikan adalah berupaya untuk mencapai

kepuasaan itu dengan cara apa pun. Teori-teori dasarnya adalah: (1) setiap pribadi terlahir

dengan beraneka ragam keinginan, minat dan motivasi alami; (2) kesehatan jiwa dan

kebahagiaan hanya dapat tercapai apabila keinginan-keinginan alami ini diberi kebebasan untuk

menemukan kepuasannya dalam lingkungan alami dan sosial; (3) kesehatan jiwa dan

kebahagiaan seseorang akan membawa kebaikan baginya. Dengan mengutamakan keinginan

dan kepuasan anak di dalam pendidikan, maka teori ini menyatakan bahwa memaksakan

keinginan dan pengharapan orang-orang lain pada seseorang adalah hal yang harus dihindari.

Maka, tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan yang memberi keleluasan pada anak dan

sarana yang dapat memuaskan keinginan dan minat anak. Oleh karena itu, teori maturasi ini

berhaluan antinomianisme atau egoisme etis. Dalam pandangan antinomian, tidak ada penerapan

kategori benar dan salah: tidak ada hal yang benar atau salah. Dalam egoisme etis, ada

58
penerapannya, tetapi apa yang benar bagi orang tertentu hanya berupa apa yang memuaskan

keinginan dan minatnya. Diri sendiri yang impulsif dan mempunyai keinginan itulah yang

menjadi normanya.137

Teori yang selanjutnya adalah adalah teori sosialisasi. Teori ini memiliki konsep yang

berlawanan dengan teori maturasi. Jika teori maturasi memandang pendidikan sebagai proses

mengasuh anak untuk memuaskan keinginan-keinginannya, maka teori sosialisai memiliki

pandangan bahwa pendidikan bertujuan membentuk atau mencetak anak sedemikian rupa,

sehingga dia kelak mampu bersosialisasi. Oleh karena itu, anak perlu ditanamkan peraturan-

peraturan dan peran-peran dari masyarakat sekelilingnya sehingga mereka dapat menjadi anggota

masyarakat yang berfungsi dengan baik dan mampu berkontribusi. Jadi, fokus pendidikan dari

teori ini berpusat pada masyarakat. Pendidikan dianggap sebagai sarana masyarakat untuk

mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya sebagai organisme yang berfungsi dengan baik.

Para teoretikus sosialisasi yakin bahwa pendidikan harus mendorong anak agar menyerap ciri-

ciri mental, emosional dan perilaku masyarakat mereka. Jadi, para teoretikus sosialisasi

berpendirian bahwa pendidik harus memperkenalkan anak dengan berbagai pengharapan atas

peran sosial dan memperlengkapi mereka untuk “memainkan” sekumpulan peran tertentu.

Sasaran mereka adalah memperlengkapi anak untuk posisi dan kewajiban mereka dalam

masyarakat. Untuk menemukan peran sosial anak tersebut, maka anak harus dilatih melalui

disiplin, bukan diberikan kebebasan. Teori normatif yang mengiringi pendidikan ini adalah

relativisme kebudayaan, di mana hukum-hukum normatif yang berlaku bagi anggota masyarakat

yang satu berbeda dari masyarakat yang lain. Itu disebabkan karena standar moral hanyalah

ciptaan dari masing-masing masyarakat. Hukum-hukum tersebutlah yang mengindikasikan

137
Mendidik untuk Kehidupan (Surabaya: Momentum, 2004) 114-116.

59
tindakan apa yang dianggap benar oleh masyarakat itu. Itu artinya, norma-norma moral adalah

peraturan sosial. Maka, tidak masul akal untuk bertanya apakah peraturan itu benar.138

Selain teori di atas, masih ada ragam bentuk filsafat pendidikan modern. Pazmino

mengungkapkan tujuh filsafat pendidikan modern yang berkembang. Pertama, perennialsime

yang menekankan pengolahan kekuatan rasional dan keunggulan akademis. Filsafat ini melihat

pendidik sebagai sarjana akademis (filsuf) yang memiliki keunggulan dalam beragam bidang

pengetahuan, sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk rasional yang perlu

dibimbing. Kedua, essensialisme yang menekankan keunggulan akademis, penguatan intelek,

serta transmisi dan asimilasi dari sekian mata pelajaran yang wajib sifatnya. Pendidik teladan

bagi filsafat ini adalah seorang yang mengerti kesusastraan dan ilmu pengetahuan, yang

mengikuti perkembangan zaman modern dan yang telah mencapai tingkat seorang ahli dalam

bidang kompetensinya. Sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk rasional yang

menguasai fakta-fakta yang esensial dan berbagai keterampilan yang menunjuang disiplin

intelektualnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan secara fisik dan sosial.

Ketiga, behaviorisme yang menekankan pembentukan manusia agar berfungsi secara efektif,

ekonomis, tepat, dan objektif. Filsafat ini memandang pendidik sebagai teknisi yang terampil,

pemahat manusia dan lingkungannya. Sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk yang

sangat mudah dibentuk untuk diarahkan dengan jelas dan pasti agar berfungsi secara optimal.

Keempat, progresivisme yang mendukung perkembangan pemikiran yang reflektif dalam rangka

penyelesaian masalah sosial, hubungan demokratis, dan pertumbuhan. Pendidik bukan dilihat

sebagai pemimpin kelas yang otoriter, namun sebagai pemimpin yang peduli pada kemajuan,

berkomitmen kepada masyarakat, beridealisme demokratis, dan peka terhadap pertumbuhan

peserta didik. Kemudian, peserta didik itu sendiri dilihat sebagai rekan pembelajar, pengelana,
138
Ibid. 116-118.

60
dan pembimbing yang memfasilitasi proses pembelajaran kelompok. Kelima,

rekonstruksionisme yang memiliki tujuan untuk membangun susunan masyarakat yang ideal dan

adil, di mana orang-orang dibebaskan dan dapat menjadi apa saja sesuai yang mereka kehendaki.

Pendidik dalam pandangan ini dilihat sebagai orang yang subversif, kritikus sosial dan pengatur

komunitas yang berusaha memunculkan kesadaran orang lain menuju terjadinya perubahan yang

dibutuhkan. Peserta didik dipandang sebagai agen perubahan yang berpotensial untuk

berkomitmen dan terlibat dalam membangun pembaruan dan pengarahan masyarakat secara

konstruktif. Keenam, naturalisme romantis yang menghargai kebebasan individu untuk

mengembangkan potensinya dengan tujuan aktualisasi diri. Di sini, pendidik dipandang sebagai

pemimpin visioner yang memberikan ruang bagi penemuan diri sendiri dan eksplorasi oleh orang

lain. Sedangkan, peserta didik dilihat sebagai bunga yang masih kuncup yang tidak terbebani

dengan batasan-batasn masyarakat. Ketujuh, eksistensialisme yang menekankan pada pencarian

makna keberadaan seseorang dalam merealiasikan jati dirinya. Filsafat ini melihat pendidik

sebagai rekan pencari dan rekan seperjalanan bagi peserta didik dalam pencarian makna tadi.

Sejalan dengan ini, maka peserta didik dilihat sebagai orang-orang yang sedang mencari makna

tentang keberadaan diri mereka sendiri dan terbuka terhadap penelitian dan eksplorasi.139

Berdasarkan penguraian di atas, dapat dilihat bahwa filsafat umum yang membentuk

filsafat pendidikan berkembang dengan luas dalam dunia modern. Setiap filsafat pendidikan

yang berkembang memperlihatkan cara pandang yang berbeda-beda terhadap pendidikan,

pendidik, dan peserta didik. Maka dari itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana

filsafat pendidikan modern yang telah diuraikan di atas menjadi tantangan tersendiri bagi guru-

guru Kristen?

139
Fondasi 158-166.

61
George R. Knight mengatakan bahwa kebanyakan filsafat dan teori-teori yang ada

memiliki elemen-elemen yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Tidak ada satu pun dari

pragmatisme, realisme, behaviorisme, eksistensialisme, progresivisme, postmodernisme,

rekonstruksionisme dan idealisme yang benar-benar berdasar pada filsafat pendidikan Kristen.140

Pendapat Knight menunjukkan bahwa pada dasarnya filsafat-filsafat pendidikan yang

berkembang belum tentu selaras dengan apa yang diajarkan Alkitab. Oleh karena itu, pendidik

Kristen perlu melihat setiap filsafat-filsafat pendidikan yang berkembang berdasarkan

kepercayaan-kepercayaan yang ia miliki di dalam kekristenan.141 Dengan kata lain, seorang

pendidik Kristen harus melihat setiap filsafat atau teori pendidikan yang berkembang

berdasarkan filosofi Kristen yang berbasis pada firman Tuhan. Ini sejalan dengan pendapat

Pazmino yang mengatakan bahwa tantangan bagi pendidik Kristen adalah menyusun suatu

filosofi pendidikan yang bersifat ekspilisit dan konsisten dengan cara pandang Kristiani.142

TANTANGAN DARI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

Tantangan guru-guru Kristen dalam mendidik di sekolah bertambah seiring dengan

perkembangan teknologi. Dalam lima dekade terakhir ini teknologi berkembang semakin pesat,

khususnya teknologi komunikasi dan media massa.143 Teknologi komunikasi yang semakin

canggih memudahkan seseorang untuk terhubung satu sama lain dari tempat yang jauh

sekalipun. Sedangkan media massa yang berkembang saat ini semakin memudahkan orang-

orang untuk mendapatkan informasi. Seperti yang dikatakan Robby I. Chandra,

Di masa lalu, media massa adalah media di mana komunikasi dikirimkan dari dari satu
sumber kepada sejumlah besar penerima proses komunikasi tadi. Jadi, media massa pada

140
Philosophy and Education 166.
141
Ibid. 166.
142
Fondasi 110.
143
Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006) 17.

62
waktu itu harus dipahami mencakup surat kabar, radio dan televisi. Kini dengan hadirnya
internet dan handphone, maka muncullah proses komunikasi yang memungkinkan
seorang pengirim pesan menyampaikan berita kepada beberapa penerima komunikasi.
Namun karena kecanggihan teknologinya, dimungkinkan juga dalam proses ini, berbagai
pihak mengirim pesan ke berbagai pihak atau ke satu individu. Untuk internet, proses
serupa itu dapat berjalan serempak, sedangkan untuk handphone prosesnya terjadi
bergantian. Jadi, handphone dan internet harus tercakup juga sebagai media massa,
karena mengandung fitur media massa di masa lalu.144

Jadi, dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan media massa membuat orang

semakin mudah untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dengan lebih cepat.

Perkembangan teknologi yang seperti inilah yang kemudian mempengaruhi dan menjadi milik

dari generasi-generasi sekarang.

Seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah generasi-generasi yang sarat dengan

pemakaian teknologi. Generasi ini disebut dengan generasi echo boomerang, yaitu mereka yang

lahir setelah tahum 1984. Sebutan tersebut didasari oleh ukuran jumlahnya yang besar, yaitu

mendekati 30% dari seluruh populasi dunia. Sebutan lain yang diberikan para ahli kepada

generasi ini adalah bridgers yang secara harafiah merujuk kepada fakta mereka terlahir di antara

peralihan milenium, yaitu dari abad 20 ke abad 21.145 Hellen Chou Pratama menuliskan bahwa

generasi ini terdiri dari dua sub-grup, yaitu generasi Y sebagai urutan logis dari kelanjutan

generasi X yaitu kelompok orang yang lahir tahun 1984-1993 dan Millenials kelahiran 1994-

2002 yang menempatkannya pada posisi terdepan di abad 21. Selain itu, Pratama juga

mengatakan bahwa saat ini satu angkatan lain sedang bertumbuh menjadi sebuah generasi baru

yang disebut-sebut sebagai generasi Z (Platinum), yaitu kelompok kelahiran setelah tahun 2002

144
Chandra, Pendidikan 18.
145
Helen Chou Pratama, Cyber Smart Parenting (Bandung: Visi Anugerah Indonesia, 2012) 34-35.

63
yang bertumbuh dalam era ketika berbagai temuan dan inovasi teknologi digital sedang

mencapai tahap kematangannya.146

Dalam bukunya Cyber Smart Parenting, pratama menyebut generasi yang lahir setelah

tahun 1984 (echo boomerang) sampai generasi Z sebagai Generasi Digitial. Dia memberikan

sebutan ini dalam sorotannya yang melihat pada satu kesamaan karakterisik yang menjadi

keunikan generasi tersebut, yakni dalam keahlian dan kecintaan generasi tersebut pada media

digital/komputer. Mereka adalah anak-anak yang lahir dan bertumbuh bersama kemajuan

teknologi digital dengan jaringan internet. Multimedia digitial menjadi bagian hidup mereka

secara tidak terpisahkan.147

Pratama menjelaskan ciri khas dari Generasi Digital adalah pertama, pelahap media

(mediavora). Dalam kehidupan sehari-harinya, hampir tidak ada waktu yang mereka lalui tanpa

menyentuh salah satu media. Misalnya, handphone canggih (yang dikenal dengan nama

Blackberry [BB]), Ipod, tablet, ataupun note book dan lain sebagainya. Kedua, multi-tasking. Ini

adalah kemampuan mereka untuk memikirkan ataupun melakukan beberapa aktifitas di saat yang

bersamaan. Mereka bisa membuka buku pelajaran untuk mengerjakan PR ataupun

mempersiapkan ulangan sambil mendengar musik. Ketiga, hiper-koneksi. Mereka ingin selalu

terhubung dengan baik dalam beberapa sambungan jaringan di saat bersamaan. Keempat,

toleran. Mereka bertumbuh di era keterbukaan, bersama dengan bangkitnya kesadaran

pluralisme dan menguatnya nilai relativisme. Kelima, tayang-langsung (real-time). Budaya

keterbukaan yang tumbuh dalam generasi ini menyebabkan mereka menjadi sangat ekspresif dan

komunikatif. Tidak sulit bagi generasi ini untuk menumpahkan apa yang dirasakan dan

dipikirkan seketika itu juga. Keenam, interaktif. Generasi Digital membangun hidup dan

146
Ibid. 35.
147
Ibid.

64
kehidupan mereka dengan topangan “jaringan” dan kebutuhan besar untuk bisa terkait dengan

menjadi bagian dari komunitas tertentu. Mereka ingin dilibatkan dan terlibat, sehingga pola

komunikasi yang dimiliki generasi ini sangat aktif dan interaktif.148

Dengan teknologi digital yang terus melekat dalam kehidupan generasi sekarang, maka

teknologi tersebut memberikan dampak-dampak yang positif dan negatif. Dampak positifnya

adalah generasi sekarang ini menjadi generasi yang canggih (mahir dengan teknologi), kreatif,

mampu berkolaborator dan enterpreneur (generasi digital memanfaatkan kekuatan media

berjejaring global untuk membuatnya dikenali atau dengan kata lain “memasarkan diri”).

Sedangkan dampak negatifnya adalah mereka dengan mudah mengkonsumsi games dan

tayangan-tanyangan dalam media yang berbau kekerasan dan seks yang kemudian mereka

lakukan dalam kehidupannya. Mereka juga dapat dengan mudah terjebak dalam pornografi dan

pemangsa maya. Pratama mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi pertama yang

memiliki akses point and click pada pornografi, mereka tidak perlu lagi merisikokan diri untuk

mencuri-curi mengintip, membeli majalah ataupun video porno, semua tersedia begitu mudah

dan bisa diakses di mana saja baik melalui komputer ataupun smatphone yang dimilikinya.149

Lebih dari itu mereka sangat rawan dijebak oleh “pemangsa maya,” yaitu orang yang mereka

jumpai di dunia maya. Orang tersebut biasanya akan mengajak anak untuk melakukan aktivitas

yang berhubungan dengan pornografi. Dampak negatif selanjutnya adalah adanya keterbukaan

yang menjadi ketelanjangan bagi Generasi Digital. Mereka dengan mudahnya membagikan

informasi yang sangat pribadi kepada dunia melalui media sosial seperti Facebook dan

Twitter.150 Jadi, dapat dilihat bahwa teknologi yang semakin berkembang memang membawa

dampak-danpak positif dalam kehidupan generasi sekarang ini, namun sekaligus memberikan

148
Ibid. 39-42
149
Ibid. 68.
150
Ibid. 76-79.

65
dampak negatif yang kemudian menjadi tantangan besar bagi para guru Kristen yang melayani di

sekolah.

Dengan melihat perkembangan teknologi di atas, maka dapat disimpulkan apa yang

menjadi tantangan bagi para guru Kristen pada masa sekarang ini. Pertama, kehidupan generasi

sekarang yang sangat sarat dengan teknologi “memaksa” para guru Kristen untuk bukan hanya

menguasai materi pengajaran, tetapi juga harus mampu menguasai teknologi. Seperti pendapat

yang dikatakan Kunandar,

Guru dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dalam masyarakat. Guru diharapkan
dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi
tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi. Oleh karena itu
guru harus harus bisa menyesuaikan diri dengan responsif, arif dan bijaksana. Responsif
artinya guru harus bisa menguasai produk iptek, terutama yang berkaitan dengan dunia
pendidikan, seperti pembelajaran dengan menggunakan media. Tanpa penguasaan iptek
yang baik, maka guru akan tertinggal dan menjadi korban iptek.151

Pendapat Kunandar memperlihatkan bahwa teknologi yang berhubungan dengan dunia

pendidikan perlu dikuasai oleh para guru. Penguasaan teknologi menjadi tantangan bagi para

guru Kristen.

Kedua, guru Kristen menghadapi tantangan besar dari nilai-nilai yang dilahirkan oleh

perkembangan teknologi. Bangkitnya kesadaran pluralisme dan menguatnya pola pikir relativis

yang bertumbuh dalam era keterbukaan generasi sekarang ini, membuat mereka di satu sisi

menempa sikap toleran terhadap perbedaan, namun di sisi yang lain mereka memandang

kebenaran bersifat relatif dan subjektif. Konsekuensinya mereka berada di bawah ancaman

kehilangan kompas moral; daya pindai terhadap apa itu “benar” dan “salah”; cenderung anti

“otoritas,” serta terbuka menerima perbedaan, moral dan pandangan (inklusif).152 Maka dari itu,

151
Guru Profesional 37-38.
152
Chou, Cyber 41.

66
tantangan bagi guru Kristen yang dipanggil Allah sebagai saksi Kristus di sekolah adalah

bagaimana mengajarkan iman Kristen yang eksklusif dan nilai-nilai Kristen yang alkitabiah

sebagai suatu kebenaran yang objektif kepada generasi sekarang ini.

Ketiga, guru-guru Kristen ditantang untuk melayani generasi yang sangat rawan terjatuh

dalam kecanduan pornografi dan praktek-praktek kekerasan yang merupakan buah dari teknologi

yang digunakan generasi tersebut. Guru Kristen ditantang untuk membimbing mereka

menggunakan teknologi untuk hal-hal yang baik dan membangun, sehingga anak didik mereka

dimungkinkan untuk tidak jatuh ke dalam dosa kekerasan dan seksualitas.

TANTANGAN DARI SISTEM PENDIDIKAN SEKOLAH

Menurut McAshan, sistem merupakan strategi yang menyeluruh atau rencana yang

dikomposisi oleh satu set elemen yang harmonis dan merepresentasikan kesatuan unit, di mana

elemen itu mempunyai tujuan sendiri yang semuanya berkaitan terurut dalam bentuk yang

logis.153 Sementara itu Immegart berpendapat bahwa esensi sistem adalah suatu keseluruhan

yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis. Bagian-bagian itu berelasi satu

dengan yang lain, serta peduli terhadap konteks lingkungannya.154 Oleh karena itu, menurut

Made Pidarta, sistem itu memiliki keteraturan. Sistem terdiri dari beberapa sub-sistem dan setiap

sub-sistem mungkin terdiri dari sub-sistem yang terdiri beberapa sub-sub sistem.155 Jadi, sistem

merupakan suatu strategi yang menyeluruh, atau rencana yang dikomposisi oleh satu set elemen

yang harmonis, memiliki keteraturan dan berelasi satu sama lain.

153
Sebagaimana dikutip Made Pidarta, Landasan Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) 27, dari
Comprehensive Planning for School Administrations (Boston: Little Brown and Company, 1977) -.
154
Ibid.
155
Ibid.

67
Semua yang ada di dunia bisa dipandang sebagai suatu sistem. Misalnya, tata surya,

bumi, negara, manusia, peredaran darah, bahkan satu biji gigi dapat dipandang sebagai suatu

sistem.156 Demikian juga halnya dengan pendidikan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang

biasanya disebut dengan sistem pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan

sistem pendidikan sebagai keseluruhan yang terpadu dari satuan kegiatan pendidikan yang

berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan.157 Berdasarkan definisi ini dapat

dilihat bahwa sistem pendidikan merupakan suatu susunan yang teratur dari berbagai kegiatan

pendidikan yang dipadu dalam rangka mencapai sebuah tujuan pendidikan.

Melihat penjelasan di atas, maka pada dasarnya setiap sekolah bisa saja memiliki

perumusan dan pelakasanaan sistem pendidikan yang berbeda-beda, bergantung dari tujuan yang

hendak dicapai sekolah tersebut. Oleh sebab itu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru

Kristen. Dalam bagian ini, penulis akan menguraikan tantangan secara umum yang dihadapi

guru Kristen dari sisitem pendidikan. Penulis akan menguraikan tantangan yang dihadapi guru

Kristen dari dua sistem pendidikan yang berbeda, yaitu sistem pendidikan sekolah Kristen

(Christian school) dan sekolah umum (public school).

Sekolah Kristen merupakan sebuah sekolah yang berdasar pada pendidikan Kristen.

Menurut Werner C. Graendon, pendidikan Kristen adalah adalah proses belajar-mengajar yang

berdasarkan Alkitab dan dimampukan oleh Roh Kudus (berpusat kepada Kristus). Lebih lanjut

ia mengatakan bahwa pendidikan Kristen berusaha membimbing individu di semua level

pertumbuhan lewat berbagai cara pengajaran kontemporer ke arah pengenalan dan pengalaman

akan rencana dan tujuan Allah melalui Kristus dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan

Kristen juga meperlengkapi mereka bagi pelayanan yang efektif, dengan keseluruhan fokusnya

156
Ibid. 28.
157
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “sistem-pendidikan” (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994) 951.

68
pada keteladanan Kristus Sang Guru Agung dan Amanat Agung-Nya dalam menghasilkan

murid-murid yang dewasa.158 Pendapat ini memperlihatkan bahwa pendidikan Kristen

merupakan proses belajar-mengajar yang berdasarkan Alkitab, mengandalkan kekuatan Roh

Kudus dan berpusat kepada Kristus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan

yang dijalankan di sekolah Kristen adalah sistem pendidikan yang berbasis pada Alkitab dan

berpusat kepada Kristus.

Dengan menjalankan sistem pendidikan yang berbasis pada Alkitab, maka guru-guru

Kristen yang melayani dalam sekolah-sekolah Kristen mendapatkan tantangan tersendiri. Harro

Van Brummelen dalam menjelaskan peran guru sebagai nabi mengatakan bahwa bahwa peran

nabi ini meminta mereka untuk mempunyai pengetahuan yang utuh tentang apa yang mereka

ajarkan dan mempunyai kemampuan untuk menafsirkan pengetahuan seperti itu secara jelas dan

benar.159 Ia juga mengatakan bahwa Allah memanggil guru untuk membantu siswa

mengembangkan wawasan, kemampuan, watak yang diperlukan untuk melayani Allah dan

kerajaan-Nya dalam semua aspek kehidupan mereka di dalam masyarakat. Guru perlu

membimbing dalam kebenaran. Oleh karena itu, mereka mencari kehendak Allah untuk isi

kurikulum mereka dan mencari jalan bagaimana mereka mengajarkannya.160 Ini artinya guru

Kristen harus benar-benar memahami kebenaran yang diajarkannya dan bagaimana cara

mengajarkannya. Guru Kristen dituntut untuk memiliki pemahaman yang luas dan utuh akan

pengetahuan yang diajarkannya. Lebih dari itu, guru Kristen perlu mempelajari dan memahami

pengajaran Kristen agar supaya mereka dapat mengaplikasikannya dalam situasi sekolah.

Mereka perlu mendorong murid-murid memenuhi panggilan mereka, bukan hanya untuk masa

158
Sebagaimana dikutip Pazmino, Fondasi Pendidikan 118-119 dari Introduction to Biblical Christian
Education (Chicago: Moody, 1981) 16.
159
Batu Loncatam Kurikulum (Tangerang: UPH, 2008) 10.
160
Ibid.

69
depan, tetapi sekarang dan hari ini. Mereka harus menolong anak-anak menjangkau sesama

yang juga dipanggil Allah untuk taat.161 Jadi, tantangan yang dihadapi guru Kristen dalam

sistem pendidikan dalam sekolah Kristen adalah dibutuhkannya pengetahuan yang lebih

mengenai Alkitab dan doktin-doktrin dari iman Kristen untuk dapat diintegrasikan dalam disiplin

ilmu yang diajarkan di kelas dan seluruh kegiatan pendidikan di sekolah.

Selanjutnya, dalam sistem pendidikan di sekolah umum guru Kristen sebenarnya

mendapat tantangan yang lebih besar ketika harus masuk ke dalam sistem tersebut. Sekolah

umum biasanya dikenal dengan sekolah yang didukung oleh negara dengan tujuan mendidik

murid-murid dari suku mana pun dengan kemampuan seperti apa pun. Atau bisa juga merujuk

kepada sekolah yang tidak memiliki atau berkaitan dengan worldview atau perspektif religius

tertentu.162 Dengan kata lain, sekolah umum bisa dilihat sebagai sekolah yang mendapat

dukungan langsung dari pemeritntah atau sebuah sekolah yang mengesampingkan pandangan-

pandangan religius atau sekte tertentu dalam pendidikan yang dilaksanakannya.

Salah satu pelopor awal dari sekolah umum adalah Horace Mann (1796-1859). Dia

merupakan seorang pendidik Amerika yang memiliki keyakinan bahwa pendidikan harus bebas,

universal, nonsecterian, berpusat pada memotivasi pembelajar dan percaya terhadap guru

profesional. Keyakinannya ini berpusat pada enam dalil pokoknya, yaitu pertama, sebuah

negara republik tidak boleh menyisakan kebodohan dan kebebasan. Maka dari itu, dibutuhkan

pendidikan umum (common) yang universal. Penekanannya adalah memberikan kualitas

pendidikan yang umum bagi semua orang. Kedua, masyarakat harus membayar, menyokong dan

memperhatikan pendidikan. Masyarakat perlu terlibat dalam pendidikan sebagai bentuk

kepercayaan mereka bagi generasi yang akan datang. Ketiga, pendidikan yang terbaik bukan

161
Harro Van Brummelen, Berjalan Bersama Tuhan di Dalam Kelas (Surabaya: ACSI, 2011) 10.
162
Julia K. Stronks and loria Goris Stronk, Christian Teacher in Public School (Grand Rapids: Baker, 1999)
12.

70
diadakan dalam sebuah sekolah khusus yang melayani anak-anak dari satu segmen tertentu,

melainkan pada sekolah umum yang dapat merangkul semua anak dari berbagai latar belakang

agama, sosial dan etnis apa pun. Keempat, pendidikan harus bermoral namun tidak sectarian di

mana tidak menekankan denominasi seseorang atau pengalaman beragamanya. Kelima,

pendidikan harus merefleksikan sebuah masyarakat yang bebas, bahkan di dalam pedagoginya,

yang bebas dari kekerasan, namun harus menanamkan kepada pembelajar sebuah hasrat untuk

belajar. Keenam, pendidikan harus dilaksanakan oleh orang-orang yang telah terlatih, yaitu para

guru profesional.163 Keenam dalil Mann di atas memperlihatkan bahwa pendidikan yang ia

harapkan adalah sebuah pendidikan tanpa pandangan-pandangan sekte atau agama tertentu.

Pendidikan yang dapat mencakup semua orang dari berbagai latar belakang yang berbeda tanpa

memihak kepada salah satu pandangan sekte atau agama tertentu yang dilaksnakan oleh seorang

guru yang profesional. Pandangan-pandangan seperti inilah yang terdapat di dalam sekolah-

sekolah umum; pandangan religius dikesampingkan, sedangkan kesamarataan ditinggikan.

Dengan demikian pluralitas menjadi sangat dihormati.

Sistem pendidikan sekolah umum yang menganut pandangan seperti di atas akan menjadi

tantangan tersendiri bagi guru Kristen. Guru-guru Kristen yang sadar akan panggilan sebagai

seorang pengajar yang bukan hanya mengajarkan disiplin ilmu, namun juga mengabarkan

Kristus kepada murid-muridnya, akan sulit untuk mengerjakan panggilannya itu. Dia tidak bisa

menginjili murid-murid yang diajarnya secara langsung, karena hal tersebut melanggar hukum

dan ia akan mendapatkan sanksi jika melakukannya. Oleh sebab itu, yang menjadi tantangan

bagi guru Kristen adalah bagaimana mengabarkan Kristus sebagai saksi Allah di tengah

pluralitas yang dijunjung tinggi tanpa harus membuat ia melanggar hukum.

163
Perry G. Downs, “Mann, Horace” in Evangelical 447-448.

71
Tantangan bagi guru Kristen dari sistem pendidikan di sekolah umum bukan hanya

tentang bagaimana sulitnya mengabarkan Kristus secara verbal kepada murid-muridnya, tetapi

juga tentang bagimana menjadi garam dan terang di tengah dunia yang sekuler. Edlin

mengatakan,

Cara pertama bagi seorang guru Kristen menjadi garam dan terang di sekolah umum
adalah dengan menjadi saksi Allah di tempat itu. Dia dapat berdoa bagi para muridnya
dan rekan-rekannya, sebagai bentuk kehidupan kekristenannya. Ini berarti dia akan
menganggap semua murid dan rekannya sebagai individu-individu, dan tidak melihat
mereka semua sama saja. Dia akan membuat dirinya rela dihina demi murid-muridnya.
Ketakutan, sukacita dan kedukaan murid-muridnya akan menjadi miliknya juga.
Pelayanannya di sekolah bukan hanya di dalam kelas, namun juga di area makan siang,
halte bus, tempat bermain dan dalam konsultasi dengan orang tua. Motivasinya bukan
untuk bayaran, melainkan ia akan terus mengajar dengan kemampuan yang terbaik untuk
memperkenan hati Bapa di sorga. Dia akan memberikan para muridnya kebebasan untuk
mengambil keputusan, namun kemudian ia akan meminta mereka untuk memikirkan
konsekuensi dari keputusan tersebut. Dia akan berusaha dengan keras untuk
memperlihatkan pola keserupaan dengan Kristus di dalam semua hubungan yang ada.164

Edlin menunjukkan bagaimana hidup yang harus dijalankan seorang guru Kristen di sekolah

umum. Sejalan dengan pendapat ini, Brummelen mengungkapkan pernyataannya yang ditujukan

kepada para guru Kristen yang melayani di sekolah umum dengan berkata “Hiduplah dengan

berintegritas, melaksanakan prinsip-prinsip yang berasal dari sudut pandang Allah. Berusahalah

mendekati situasi dengan cara-cara Yesus−dengan kasih dan integritas.”165 Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi guru Kristen dari sistem pendidikan di

sekolah umum adalah menjadi saksi Kristus dengan cara memiliki hidup yang senantiasa

berintegritas dan menunjukkan keserupaan dengan Kristus.

164
The Cause of 232-233
165
Berjalan 280.

72
TANTANGAN DARI KONDISI KELUARGA MURID

Keluarga adalah faktor yang sangat mempengaruhi murid dalam proses pendidikan.

Stephen Tong mengatakan,

Di dalam keluarga, anak-anak terbuka di hadapan orang tuanya dan mereka tidak
mungkin melarikan diri dari perhatian dan waktu yang sebanyak-banyaknya dari orang
tua, kecuali orang tuanya yang tidak menyediakan waktu dan tidak memperhatikan anak-
anaknya. Akibatnya orang tua sendiri menjual “hak sulung”-nya untuk mendidik anak-
anak mereka. Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang paling penting dan paling
mendasar.166

Pendapat di atas memperlihatkan bahwa pendidikan di dalam keluarga menjadi penting dan

mendasar karena di dalam keluargalah anak mendapatkan waktu yang paling banyak untuk

dididik oleh orang tuanya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi sebuah keluarga akan

sangat mempengaruhi seorang murid di dalam proses pendidikan.

Dari hasil penelitian Rollins dan Thomas yang dilaporkan oleh Lewin dan Havighurst

menyatakan bahwa (1) makin besar dukungan orang tua makin tinggi tingkat perkembangan

kognitif anak; (2) makin kuat pemaksaan yang diberikan oleh orang tua maka makin rendah

perkembangan kognitif anak; (3) makin besar dukungan orang tua, makin tinggi kemampuan

sosial dan kemampuan instrumental anak; (4) makin kuat tingkat pemaksaan yang diberikan

orang tua terhadap anak-anaknya maka makin rendah kemampuan sosialnya; (5) bagi anak

perempuan besarnya dukungan dan frekuensi usaha pengawasan orang tua berkorelasi negatif

terhadap pencapaian prestasi akademik; (6) bagi anak laki-laki besarnya dukungan orang tua dan

kuatnya pengawasan orang tua berkorelasi positif terhadap pencapaian prestasi belajar. 167 Selain

itu, berbagai hasil penelitian juga melaporkan hasil penelitian hubungan orang tua dengan

keberhasilan belajar anak. Clarke dan Stewart meneliti tentang perlakuan ibu dalam hubungan

166
Arsitek Jiwa 1 (Surabaya: Momentum, 2011) 60.
167
Sebagaimana dikutip t.n., “Pengaruh Keluarga terhadap Pendidikan Anak di Sekolah,”
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_162.html#top, diakses pada 24 Oktober 2012.

73
antara ibu dan anak terhadap prestasi belajar siswa dan menyimpulkan bahwa prestasi belajar

anak dipengaruhi oleh hubungan akrab antara ibu dan anak. Dalam hubungan yang akrab itu ibu

sering mengajak berbincang-bincang anaknya, ibu memberikan hiburan terhadap anaknya,

memberi pujian dan pertolongan. Ibu juga mengajar berbagai hal seperti bekerja sama dengan

anak lain serta mengembangkan kegiatan anak. Apabila perlakuan tersebut disertai suasana

hubungan dan kasih sayang ternyata lebih meningkatkan kemampuan intelektual dari pada

penerapan disiplin yang kaku, pengawasan yang ketat, membujuk, memberi perintah, dan

larangan atau ancaman dan hukuman. Selain itu, pengaruh hubungan akrab antara ayah dan anak

juga mempengaruhi kemampuan intelektual anak. Pergaulan yang akrab antara orang tua ayah

dan anak akan mengurangi rasa takut terhadap pengaulan antara anak dengan orang-orang di luar

keluarga. Pengaruh hubungan akrab anak laki-laki dan ayahnya terhadap prestasi belajar lebih

tinggi dari pada pengaruh hubungan akrab antara ayah dan anak putri terhadap prestasi belajar.

Berdasarkan penjelasan ini dapat dilihat bahwa hubungan orang tua dengan anak dalam sebuah

keluarga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sosial dan prestasi seorang anak.168

Selain itu, kondisi ekonomi keluarga juga mempengaruhi proses pendidikan anak.

Kondisi ekonomi keluarga akan sangat menentukan ada tidaknya fasilitas pendidikan yang

diperlukan. Keluarga lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas tentu akan memiliki

fasilitas pendidikan yang berbeda-beda. Keluarga lapisan bawah tentu akan memiliki fasilitas

yang kurang lengkap bila dibanding keluarga lapisan menengah dan lapisan atas. Padahal,

kelengkapan fasilitas mempunyai dampak yang positif terbadap pengembangan kognitif anak

yang belajar di sekolah.169

168
Ibid.
169
Ibid.

74
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kondisi keluarga sangat berdampak

pada diri anak dalam proses pendidikannya. Sekalipun demikian, dalam keluarga masa kini

ditemukan adanya masalah-masalah keluarga yang tentunya dapat mempengaruhi proses

pendidikan seorang anak. Masalah itu misalnya seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah

tangga, dan orang tua yang sibuk bekerja. Permasalahan-permasalahan seperti ini akan

menyebabkan lahirnya ketidakharmonisan dalam keluarga dan anak-anak yang tidak

mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya. Dengan demikian pendidikan di dalam

keluarga pun tidak akan berjalan dengan baik.

Oleh sebab itu, seorang guru punya peran yang krusial dalam melaksanakan pendidikan

di sekolah. Seperti yang dikatakan K. Stronks dan Goris Stronks,

Many childern and adolescents do not have the kind of parental support and guidance
they need, and often teachers are the only ones left to fill this gap. This means that
teachers are the only ones who will help these students learn to recognize the dangers of
drug use and how to deal with the violance that ia a part of daily life in and around some
schools. For many students, teachers are the only adults who will help them make wise
decisions concerning their sexuality.170

Pendapat di atas menunjukkan bahwa peran seorang guru di sekolah menjadi sangat diperlukan

karena orang tua masa kini tidak lagi menjalankan perannya untuk mendidik anak dengan baik.

Dengan demikian hal tersebut adalah bagian yang menjadi tantangan bagi guru Kristen, yaitu

mendidik murid-murid yang kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan di dalam

keluarganya agar tetap memiliki kehidupan yang baik.

170
Christian 13.

75

Anda mungkin juga menyukai