Dalam pengertiannya yang paling luas, pendidikan memainkan peran yang besar untuk
mewujudkan perubahan mendasar dalam cara hidup seseorang dan tindakannya. Pendidikan
adalah ‘kekuatan masa depan’ karena merupakan alat perubahan yang sangat ampuh. 1 Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan.2 Sejalan dengan definisi ini, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin
pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang diembankan kepadanya.
emosional, moral, serta keimanan dan ketakwaan seseorang.3 Dengan demikian pendidikan
menjadi krusial bagi hidup manusia karena pendidikan dibutuhkan manusia untuk
Secara sederhana, proses pendidikan terjadi ketika ada seorang pendidik dan seorang
yang dididik saling berinteraksi. Ada guru yang mengajar dan murid yang diajar. Dalam
lingkup kecil, pendidikan pertama kali terjadi di dalam keluarga. Orang tua mengajarkan anak
mengenali lingkungannya, mengajarkan cara berbicara, berjalan dan lain sebagainya. Orang tua
1
Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2005) 9.
2
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) 204-205.
3
Udin Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun, Perencanaan Pendidikan (Bandung: Remaja
Rosdakarya) 6.
1
menjadi guru bagi anaknya sendiri. Dalam konteks yang lebih besar, proses pendidikan terjadi di
sebuah institusi yang disebut dengan sekolah di mana terdapat seorang guru yang mengajar
Dalam proses pendidikan terdapat juga unsur-unsur yang tidak bisa terlepas di dalamnya.
Menurut Tholib Khasan unsur-unsur tersebut adalah tujuan pendidikan yang akan menentukan
ke arah mana peserta didik akan dibawa, lingkungan pendidikan sebagai faktor eksternal yang
akan mempengaruhi perkembangan anak, alat-alat pendidikan yang akan membantu pelaksanaan
pendidikan, guru atau pendidik sebagai pelaksana pendidikan, dan siswa atau anak didik sebagai
pribadi yang akan didik.4 Khasan menyatakan bahwa jika semua unsur-unsur ini dapat
terintegrasi maka akan dimungkinkan suatu proses pendidikan yang baik dan berhasil. 5
Di antara unsur-unsur di atas, guru adalah unsur yang berpengaruh sangat besar dalam
proses pendidikan. Mengapa? Karena guru mempunyai akses langsung untuk berinteraksi
kepada murid. Guru berperan sebagai ujung tombak pendidikan dalam pembentukan peserta
didik. Iftitah Nafika mengatakan, “Tanpa ada campur tangan dan bantuan dari guru, peserta
didik tidak akan bisa mengembangkan bakat, minat, kemampuan dan potensi-potensi yang
Salah satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru. Gurulah yang
berada di garda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Guru
berhadapan langsung dengan para peserta didik di kelas melalui proses belajar mengajar.
Di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis,
skill (keahlian), kematangan emosional, dan moral serta spiritual. Dengan demikian akan
dihasilkan generasi masa depan yang siap hidup dengan tantangan zamannya.7
4
Dasar-dasar Pendidikan (Jakarta: Studio Press, 2009) 28-42.
5
Ibid. 28.
6
“Problematika guru dalam pendidikan” Wajah Kusam Pendidikan Kita (ed. Edi Purwanto; Malang:
Averroes, 2011) 28.
7
Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam
Sertifikasi Guru (Jakarta: Rajawali, 2009) 40.
2
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa peran seorang guru dalam proses pendidikan menjadi
penting karena guru merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas peserta didik. Oleh
karena itu, pembahasan mengenai peran guru dalam dunia pendidikan menjadi hal yang relevan
Di sekolah, peran guru pada dasarnya bukan hanya sekadar pemberi informasi atau
pengetahuan tetapi juga sebagai teladan bagi anak-anak didiknya. Masykur Arif Rahman
berpendapat bahwa apa pun yang dibicarakan dan dilakukan seorang guru, apalagi memang
diperintahkan, kemungkinan besar akan diikuti oleh muridnya, bahkan muridnya bisa
The concept of the teacher as a role model is a much broader notion. It recognizes that
the informal, and often unconsciousnes actions and attitudes of the teacher, have a
powerfull potential impact on students and can become the foundations for patterns that
children re-express in their own lives. The way a teacher responds to conflict or handles
moral issues such cheating, gender concerns, competition versus cooperation, receptivity
to cultural diversity, etc., are all visible to the students. They are patterns that they can
observe and incorporate into their own worldviews. In this way, the teacher provide a
role model for her students that they may well emulate in their own lives.9
Dapat dilihat bahwa Edlin memberikan penekanan akan besarnya dampak dari sikap seorang
guru dalam kehidupan murid yang diajarnya. Semua tindakan dan perilakunya dilihat dan dapat
ditiru oleh muridnya. Oleh karena itu, peranan guru perlu diamati bukan hanya dalam segi
akademis dan kemampuan mengajar tetapi juga segi afektifnya, yaitu tindakan-tindakan atau
Jika melihat kasus-kasus yang terjadi belakangan ini mengenai guru, maka akan didapati
adanya guru-guru yang memperlihatkan nilai-nilai yang buruk melalui tindakan mereka.
Permasalahan tentang adanya imoralitas guru tersebar di media-media massa. Dalam situs resmi
8
Masykur Arif Rahman, Kesalahan-kesalahan Fatal Paling Sering Dilakukan Guru dalam Kegiatan
Belajar-mengajar (Yogyakarta: Diva, 2011) 8.
9
The Cause of Christian Education (Colorado: ACSI, 1999)121-122.
3
Harian Kompas tidak sedikit diberitakan sikap-sikap guru yang sangat memprihatinkan. Pada
sebuah berita tertanggal 15 September 2008 dilaporkan seorang guru yang memukuli 60
siswanya karena ia jengkel dengan para siswanya yang mengolok-olok dia.10 Pada berita
tertanggal 10 April 2008 dicatat tentang seorang guru agama yang melakukan sodomi kepada
anak didiknya.11 Selain itu ada juga berita tentang seorang guru yang memperkosa muridnya
yang harusnya mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai yang baik kepada murid, sebaliknya
Lalu, bagaimana dengan guru-guru Kristen? Dalam berita di beberapa situs internet
ditemukan juga adanya tindakan-tindakan buruk yang dilakukan oleh beberapa guru Kristen. Di
sebuah situs yang menyatakan diri sebagai Cahaya Bagi Negeri dilaporkan tentang seorang guru
Kristen di Texas yang hamil di luar nikah. Hal itu mengakibatkan dirinya harus dikeluarkan dari
sebuah sekolah Kristen. Pejabat sekolah menganggap apa yang dilakukannya itu menjadi contoh
yang buruk bagi siswa.13 Dalam berita lain di situs Metro TV News dikemukakan tentang
seorang guru SMA Kristen Palangkaraya memukul puluhan siswanya pada saat pelajaran
berlangsung. Guru tersebut mengaku kesal karena para siswa bersembunyi di belakang sekolah
ketika diperintahkan berbaris di halaman sekolah.14 Kasus pemukulan yang sama juga terjadi di
10
http://nasional.kompas.com/read/2008/09/15/07483373/diolok-olok.bu.guru.pukuli.60-an.siswanya,
diakses pada 3 April 2012.
11
http://nasional.kompas.com/read/2008/04/10/13260521/pelaku.sodomi.ditangkap, diakses pada 3 April
2012.
12
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/16/14361132/pak.guru.perkosa.murid.di.kompleks.sekolah,
diakses pada 2 Mei 2012.
13
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/120420161818/limit/0/Dipecat-Karena-
Hamil-Di-Luar-Nikah-Guru-Tuntut-Sekolah, diakses pada 1 Mei 2012.
14
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvideo/2008/12/26/73384/Guru-yang-Memukul-Murid-
Dipindahtugaskan/112, diakses pada 1 Mei 2012.
4
Mindanau Selatan. Dalam situs Komisi Kepolisian Indonesia15 dilaporkan seorang guru
beragama Kristen Protestan yang memukul dua orang muridnya. Situs tersebut mencatat bahwa
kejadian itu berawal ketika seorang murid bermain bola voli di luar jam pelajaran olahraga, maka
guru tersebut memanggil murid tersebut dan menampar pipi kirinya sebanyak satu kali hingga
menyebabkan memar. Melihat tindakan guru tersebut, teman dari murid yang ditampar itu
menegur gurunya. Namun, guru tersebut justru memukul pipi kiri murid itu dengan tangan yang
Apa yang dilakukan beberapa guru Kristen di atas merupakan contoh buruk yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Sebagai seorang Kristen, guru punya perbedaan mendasar
yang membuat ia sama sekali berbeda dari guru non-Kristen. Richard Oseberg mengatakan:
The Christian teacher is not a teacher plus being a Christian; he is a Christian teacher.
There is an interrelationship here with regard to the unity of the person. He is just as
much a Christian outside the classroom as he is inside the classroom, because he is an
authentic person. He cannot switch Christ on and off depending on the demands a
situation places on him or the environment in which he finds himself functioning, because
Christ is his life. The integrity of his faith permeates his life in a total sense. When the
Christian teacher stands before his class he does so as an authentic person, a whole man
in Christ.17
Osberg memperlihatkan bahwa guru Kristen pada dasarnya adalah gambaran Kristus. Baik itu di
dalam kelas maupun di luar kelas, ia harus memiliki kehidupan yang mencerminkan Kristus.
Stephen Tong mengatakan bahwa guru Kristen seharusnya adalah guru yang mempunyai
kepercayaan dan mempunyai hidup dari Tuhan Yesus.18 Oleh karena itu, sebagai orang yang
15
Situs ini mendeskripsikan dirinya sebagai Komisi Kepolisian Indonesia sebagai lembaga independen.
Yang diamati adalah masalah-masalah yang menyangkut Kepolisian namun secara struktural tidak ada kaitannya
dengan Kepolisian Negara RI. Komisi ini selalu independen melihat secara obyektif permasalahan yang dihadapi
Polri sebagai penegak hukum, pengayom pelindung masyarakat serta aparat keamanan ketertiban masyarakat.
Sesuai dengan karakteristik utamanya Polri memiliki wewenang serta diskresi dalam penegakkan hukum.
http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=about, diakses pada 1 Mei 2012.
16
http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=sekilas&id=664, diakses pada 1 Mei 2012.
17
“The Christian Teacer−An Authentic Person” Journal of Christian Education 1/ 2 (Spring 1981) 53.
18
Arsitek Jiwa II (Jakarta: LRII, 2005) 10.
5
telah mengalami karya penebusan Kristus dan dengan demikian Kristus telah diam di dalam
dirinya, setiap guru Kristen harus menyatakan Allah dan karya-Nya melalui hidup dan
Lebih lanjut ia mengatakan: “The Christian teacher is an oracle of God. The abilities and
talents which he possesses are to be considered God-given and should be used in His service and
for His glory. By exalting Jesus Christ we bring honor and glory to God.” Dengan demikian
Byrne melihat bahwa seorang guru Kristen adalah saksi Allah yang harus menyatakan Allah dan
mendemonstrasikan keserupaan dengan Kristus melalui hidupnya. Oleh karena itu, peran
seorang guru Kristen yang membuat ia sama sekali berbeda dari guru non-Kristen adalah
perannya dalam mengabarkan Allah dan karya-Nya. Seorang guru Kristen di sekolah adalah
seorang pelayan Allah yang diberikan karunia mengajar untuk menyatakan dan memperkenalkan
Namun jika melihat kasus-kasus yang terjadi pada beberapa guru Kristen dalam bagian
sebelumnya, maka akan didapati bahwa ada guru-guru Kristen yang belum menjalankan
perannya sebagai pelayan Allah yang memperkenalkan Allah melalui hidupnya. Tindakan
kekerasan, amoral dan asusila yang dilakukan guru-guru tersebut tentu tidak memuliakan Allah
dan hanya akan menjadi batu sandungan bagi kekristenan. Orang-orang yang melihat atau
mengalaminya secara langsung, khususnya para murid, tentu dapat menyebabkan mereka
bukannya semakin dekat kepada Kristus tetapi justru semakin jauh. Dengan melihat realita yang
terjadi di atas dan dengan mempertimbangkan besarnya pengaruh guru dalam pendidikan di
19
A Christian Approach to Education (Grand Rapids: Baker, 1988) 126.
6
sekolah, maka penulis ingin melihat kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab mengenai peran
seperti apa yang seharusnya dilakukan seorang guru Kristen sebagai pengajar yang melayani
Allah di sekolah.
Di dalam Alkitab terdapat sekolompok guru yang juga bisa dikatakan gagal menjalankan
perannya sebagai pelayan Allah yang memperkenalkan Allah melalui hidupnya, bahkan Tuhan
Yesus sendiri mengecam hidup mereka (Mat. 23:-1-36). Kelompok tersebut adalah orang Farisi
Orang Farisi merupakan kelompok agama atau sekte yang menyatakan diri sebagai orang
benar yang disisihkan atau diasingkan untuk dikuduskan, berlainan dengan umat pada umumnya.
Mereka menerima doktrin Perjanjian Lama, mementingkan upacara lahiriah, memelihara Taurat
yang tertulis maupun yang diturunkan secara lisan dengan ketat, dan memelihara semua sistem
ibadah yang diturunkan oleh leluhur mereka.20 Yesus mengatakan secara gamblang bahwa
kelompok ini adalah orang-orang yang suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil
Rabi21 (Mat. 23:7). W. R. F. Browing menyatakan bahwa dalam Injil Yohanes kelompok Farisi,
dalam persekutuan dengan imam-imam kepala adalah lawan-lawan Yesus yang juga tampil
sebagai pengajar hukum Taurat.22 Lalu bagaimana peran mereka di dalam masyarakat? Anthony
J. Saldarini menjelaskan,
The older theory that they were urban artisans is very unlikely because artisans were
poor, uneducated and uninfluential. The more common theory that the Pharisees were a
lay scribal movement, a group of religious scholars and intellectuals who displaced the
traditional leaders and gained great authority over the community is likewise very
unlikely. Though some Pharisees were part of governing class, most Pharisees were
subordinate officials bureaucrats, judges and educators. They are best understood as
20
Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru (Malang: SAAT, 1994) 39.
21
Secara literal dapat diterjemahkan “my great one” yang merupakan julukan bagi seorang guru yang
memiliki pengetahuan dan hikmat yang baik akan Taurat sebagai cara hidup. Jeffery E. Feinberg, “Rabi as
Educator” Evangelical Dictionary of Christian Education (Grand Rapids: Baker, 2001) 576.
22
W. R. F. Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK, 2007)103-104.
7
retainers who were literate servants of the governing class and had a program for Jewish
society and influence with the people and their patrons.23
Penjelasan Saldarini di atas memperlihatkan bahwa peran orang Farisi di dalam masyarakat
bukan hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Itu berarti
orang Farisi merupakan salah satu kelompok yang berpengaruh bagi masyarakat Yahudi.
Kelompok yang selanjutnya adalah ahli Taurat. Sebelum bangsa Israel ditawan, para ahli
Taurat tergolong dalam para pejabat, sekretaris dan penyalin (2 Sam. 20:25; 1 Raj. 4:3; 2 Raj.
12:10; 25:19).24 Setelah pulang dari penawanan, jabatan ahli Taurat dilakukan oleh imam Ezra,
seorang ahli Taurat paling ternama, yang menyalin hukum Taurat dan mengajarkan ketetapan-
ketetapan dan peraturan-peraturan Tuhan kepada bangsa Israel (Ez. 7:6-10).25 Menurut Lukas
Tjandra, tiga tugas utama ahli Taurat adalah: Pertama, menyalin Alkitab dan doktrin yang
terdapat di dalamnya. Kedua, menginterpretasikan hukum sipil dan hukum agama, serta
peraturan-peraturan kehidupan moral. Ketiga, meneliti dan mengajar hukum Taurat, sebagai
penafsir Alkitab zaman itu dan sebagai orang yang berotoritas dalam menginterpretasikan ayat
Alkitab.26 Jadi, dapat disimpulkan bahwa peran ahli taurat adalah meneliti, menafsirkan dan
mengajarkan Taurat kepada umat Allah pada zaman itu sehingga mereka dapat mengenal
hukum-hukum Allah.
Melalui pemaparan di atas terlihat bahwa baik ahli Taurat maupun orang Farisi, keduanya
mempunyai peran dalam bidang keagaamaan, secara khusus sebagai orang yang menafsir dan
mengajarkan Taurat. Namun demikian, dalam Matius 23:1-36, Yesus mengecam dua kelompok
ini. Apa yang dikecam Yesus? Ia berkata: “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu
23
Pharisees, Scribes and Sadduces in Palestinian Society (Grand Rapids: Eerdmans, 2001) 284.
24
Tjandra, Latar Belakang 48.
25
Ibid. 48.
26
Ibid. 48.
8
yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan mereka, karena mereka
mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (ay. 3). Perkataan Yesus ini mengindikasikan
bahwa Ia tidak sedang mengkritik ajaran mereka, melainkan cara hidup mereka. Dua kelompok
tersebut dinyatakan Yesus sebagai “orang yang mengajarkan tetapi tidak melakukannya.” Yesus
sedang mengecam hidup mereka yang tidak berintegritas. Kegagalan mereka sebagai pengajar
hukum Allah bukan terletak pada apa yang mereka ajarkan, tetapi cara hidup mereka yang tidak
benar.
Dengan melihat pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya terdapat
kesamaan peran antara orang Farisi, ahli Taurat dan guru Kristen. Orang Farisi dan ahli Taurat
memiliki peran sebagai pengajar Taurat untuk memperkenalkan dan mengajar tentang Allah dan
hukum-hukum-Nya. Guru Kristen juga mempunyai peran sebagai pengajar yang harus
menyatakan Allah dan karya-Nya. Baik orang Farisi, ahli Taurat maupun guru Kristen mereka
punya peran sebagai pengajar yang harusn mengajarkan tentang Allah, hukum-hukum-Nya dan
Dengan memperhatikan adanya masalah yang terjadi pada guru-guru Kristen yang telah
penulis paparkan pada bagian sebelumnya, maka penulis ingin meneliti tujuh ucapan celaka yang
diucapkan Yesus dalam Matius 23:13-32. Pada bagian itu Yesus menggunakan frasa “celakalah
kamu” sebanyak tujuh kali27 yang ditujukan kepada orang Farisi dan ahli Taurat untuk
mengecam mereka. Penulis ingin menemukan kegagalan-kegagalan apa yang dilakukan orang
Farisi dan ahli Taurat sebagai guru yang mengajarkan hukum Allah sehingga dikecam oleh
Yesus. Dengan demikian dapat diperoleh prinsip-prinsip yang seharusnya dilakukan oleh orang
Bagian Matius 23:13-32 mencatat ada delapan kali penyataan “celakalah kamu.” Namun, ayat 14
27
tampaknya merupakan sisipan dari Markus 12:40 atau Lukas 20:47. John Nolland, The Gospel of Matthew (NIGTC;
Grand Rapids: Eerdmans, 2005) 933. Permasalahan tekstual ini akan penulis paparkan pada bagian bab dua di
dalam skripsi.
9
Farisi dan ahli Taurat sebagai seorang guru. Dengan melihat prinsip-prinsip tersebut, penulis
ingin mengimplikasikannya kepada peran guru Kristen di sekolah pada masa kini. Oleh karena
itu, signifikansi dari penelitian ini adalah menemukan kembali prinsip-prinsip apa yang
dinyatakan Alkitab, khususnya melalui tujuh perkataan celaka yang diucapkan Yesus kepada
orang Farisi dan ahli Taurat, yang harus dilakukan seorang guru Kristen dalam melayani Allah di
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis akan mengangkat tiga
masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pertama, berdasarkan studi tujuh ucapan celaka
yang diucapkan Yesus dalam Matius 23:13-32, kegagalan apa saja yang dilakukan orang Farisi
dan ahli Taurat dalam menjalankan perannya sebagai seorang guru sehingga mereka dikecam
Yesus? Kedua, apa yang menjadi tantangan dan permasalahan yang dihadapi guru Kristen di
sekolah? Ketiga, bagaimana mengimplikasikan kegagalan-kegagalan orang Farisi dan ahli Taurat
dalam menjalankan perannya sebagai guru pada peran guru Kristen di sekolah pada masa kini?
Dengan demikian, tujuan penulisan skripsi ini adalah: Pertama, menjelaskan kegagalan-
kegagalan apa saja yang dikecam Yesus terhadap orang Farisi dan ahli Taurat sebagai seorang
guru berdasarkan studi tujuh ucapan celaka Yesus dalam Matius 23:13-32. Kedua, melihat
tantangan dan permasalahan apa saja yang dihadapi guru Kristen di sekolah. Ketiga, mencari
implikasi dari kecaman Yesus terhadap kegagalan-kegagalan orang Farisi dan ahli Taurat
sebagai seorang guru bagi peran guru Kristen di sekolah pada masa kini.
10
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode penelitian deskriptif,
yaitu cara penelitian dengan melakukan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi
penelitian ini adalah mendapatkan fakta aktual berdasarkan informasi-informasi yang dipadukan
menjadi sebuah penafsiran. Proses pengumpulan informasi tersebut dilakukan dengan cara
melakukan analisis terhadap tujuh ucapan celaka Yesus dalam Matius 23:13-32. Analisis akan
dilakukan dengan mempelajari konteks historis dari Matius 23:13-26, melakukan analisis historis
dan kata dari bagian tersebut, lalu kemudian melakukan perbandingan dengan buku-buku tafsiran
yang ada dengan mempertimbangkan konteks alkitabiah dan teologis. Bagian mengenai
tantangan dan permasalahan guru Kristen di sekolah akan penulis paparkan dengan metode
ditemukan apa yang menjadi tantangan dan permasalahan guru Kristen di sekolah pada masa
kini.
Melalui pembahasan di atas penulis akan melakukan analisis kristis terhadap tujuh
ucapan celaka Yesus sehingga diperoleh hal-hal apa yang tidak dilakukan oleh orang Farisi dan
ahli Taurat sebagai seorang guru sehingga mereka dikecam Yesus. Berdasarkan penelitian
tersebut penulis akan memaparkan hasilnya dan menjelaskan hal apa saja yang dapat diterapkan
kepada peran guru Kristen di sekolah pada masa kini dengan metode aplikasi.
SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam bab satu penulis memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan
tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam bab dua penulis akan
28
Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) 14.
11
meneliti tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus dengan memaparkan terlebih dahulu tujuan
penulisan Injil Matius, latar belakang orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dan konteks Matius
23:13-32. Setelah itu, penulis kemudian akan meneliti tujuh ucapan celaka yang diucapkan
Yesus satu demi satu dan di bagian akhir penulis akan memberikan kesimpulan. Dalam bab tiga
penulis akan memaparkan tantangan dan permasalahan guru Kristen di sekolah pada masa kini.
Ada pun tantangan-tantangan yang akan dipaparkan adalah tantangan dari filsafat modern,
perkembangan teknologi, sistem pendidikan dan kondisi keluarga murid. Setelah itu, penulis
akan menguraikan permasalah yang terjadi pada guru-guru Kristen di sekolah. Pada bab empat,
penulis akan memberikan implikasi berdasarkan studi tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus
bagi peran guru Kristen di sekolah, yaitu guru Kristen sebagai pemberita Injil, pengajar dan
pelaku firman dan teladan hidup yang otentik. Akhirnya, pada bab lima penulis akan
memberikan kesimpulan atas penelitian yang dilakukan mengenai studi tujuh ucapan celaka yang
diucapkan Yesus dalam Matius 23:13-32 dan implikasinya bagi peran guru Kristen di sekolah.
12
GARIS BESAR TENTATIVE
BAB I PENDAHULUAN
METODOLOGI PENELITIAN
SISTEMATIKA PENULISAN
KESIMPULAN
13
GURU KRISTEN SEBAGAI PENGAJAR DAN PELAKU FIRMAN
BAB V KESIMPULAN
14
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Nolland, John. The Gospel of Matthew. NIGTC. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.
Saladarini, Anthony J. “Political and Social Roles of The Pharisees and Scribes in Galilee”
Society of Biblical Literature Seminar Paper Series. Ed. David J. Lull. Atlanta: Scholars, 1988.
Tjandra, Lukas. Latar belakang perjanjian baru II. Malang: SAAT, 1994.
JURNAL
BAB III
PERMASALAHAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH PADA MASA KINI
Berkhof, Louis and Cornelius Van Til. Foundations of Christian Education. Surabaya:
Momentum, 2010.
Foundations of Christian School Education. Eds. James Braley, Jack Layman and Ray White.
Colorado: Purposeful, 2003.
15
________________. Foundational Issus in Christian Education. Grand Rapids: Baker, 2008.
Stronks, Julia K. and Gloria Gorris Stronks. Christian Teacher in Public School. Grand Rapids:
Baker, 1999.
The Christian School: An Introduction by Noel Weeks. Carlisle: The Banner of Truth Trust,
1988.
BAB IV
IMPLIKASI STUDI TUJUH PERKATAAN CELAKA YANG DIUCAPKAN YESUS BAGI
PERAN GURU KRISTEN DI SEKOLAH PADA MASA KINI
Brummelen, Harro Van. Berjalan Bersama Tuhan di Dalam Kelas. Surabaya: ACSI, 2011.
Downs, Perry G. Teaching for Spiritual Growth. Grand Rapids: Zondervan, 1994.
Hendricks, Howard G. Mengajar untuk Mengubah Hidup. Yogyakarta: Gloria Grafa, 2009.
The Christian Educator’s Handbook on Teaching. Eds. Kenneth O. Gangel and Howard G.
Hendricks. USA: Victor, 1988.
16
WAKTU PENGERJAAN
Penulis akan melakukan penelitian di atas dengan waktu pengerjaan sebagai berikut:
17
BAB II
Untuk meneliti maksud dari tujuh ucapan celaka yang ditujukan Yesus kepada ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, maka terlebih dahulu perlu membahas latar belakang Injil Matius.
Dalam bagian ini penulis akan membahas mengenai tujuan penulisan Injil Matius, latar belakang
ahli Taurat dan orang Farisi, dan konteks Matius 23. Dengan demikian diharapkan penulis dapat
menguraikan latar belakang yang berkaitan dengan Matius 23:13-32 untuk mendukung penelitian
Tujuan Penulisan
Salah satu ciri utama dari Injil Matius adalah banyaknya kutipan dan rujukan Perjanjian
Lama di dalamnya. Hal ini harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan atau
membahas tujuan penulisan Injil Matius. William Hendriksen berpendapat bahwa secara umum
tujuan dari penulisan Injil Matius adalah untuk memenangkan hati orang Yahudi bagi Kristus.
Hal ini dilihat dari karakter penulisan Injil Matius yang sangat bernuansa Ibrani.29 Di sisi lain,
Guthrie mencatat beberapa kemungkinan yang menjadi tujuan penulisan Injil Matius yang
dikemukakan para ahli. Pertama, adanya maksud apologetika Kristen dalam Injil Matius untuk
menjawab pertanyaan tentang Yesus yang diajukan oleh para pemfitnah. Misalnya, kisah
kelahiran Yesus, akan membantah tuduhan bahwa Yesus adalah anak haram. Kisah
penyingkiran ke Mesir dan kemudian kembalinya keluarga Yesus ke Nazaret akan menjelaskan
29
The Gospel of Matthew (Grand Rapids: Baker, 1973) 97.
18
mengapa Yesus tinggal di Nazaret dan bukan di Betlehem. Kemudian kisah tentang penyuapan
para penjaga akan membantah tuduhan bahwa para murid mencuri tubuh Yesus. Kedua, salah
satu teori mengaitkan tujuan penulisan Injil Matius dengan penganiayaan jemaat oleh orang
Yahudi. Penganiayaan ini dianggap telah berakhir saat Injil Matius di tulis dan perikop tentang
penganiayaan dianggap merujuk kepada prediksi-prediksi yang telah digenapi. Ketiga, dengan
melihat konstruksi Injil Matius, ada seorang ahli yang menyatakan bahwa penulisan Injil Matius
Kristen. Keempat, ada anggapan bahwa Injil Matius berasal dari aliran Matius dan ditulis bagi
para pengajar dan pemimpin gereja. Atau dengan kata lain seperti “pedoman pengajaran dan
administrasi gereja. Kelima, teori lain mengatakan bahwa Matius ingin menasihati komunitas
yang sedang berselisih, sehingga tujuan penulisan Injil Matius lebih bersifat pastoral. Keenam,
ada kemungkinan Injil Matius ditulis sebagai suatu biografi. Guthrie mencatat, seorang ahli,
yaitu P. L. Shuler yang meneliti genre Injil dan menyimpulkan bahwa Matius ingin
menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Allah, meski ia juga melihat bahwa Matius ingin
memberikan pengajaran kepada para murid gereja yang sungguh. 30 Jadi, Injil Matius dilihat
Melihat banyaknya teori yang dikemukakan para ahli berkaitan dengan tujuan penulisan
Injil Matius di atas, maka tampaknya agak sulit untuk menentukan tujuan penulisan Injil Matius
secara pasti. Paul J. Achtemier, Joel B. Green dan Marrianne Thompson sependapat
mengatakan, “Matthew has left his readers no shortage of structural features by which to help
make sense of his emphases. In fact, he has left so many that it has been difficult to sketch his
overall narrative plan with much certainty.”31 Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa
30
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru (Vol. 1; Surabaya: Momentum, 2008) 17-22.
31
Introducing The New Testament: It’s Literature and Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 2001) 91.
19
dengan banyaknya ciri struktural dalam narasi Injil Matius, maka sulit untuk melihat seluruh
perencaan narasi di dalamnya dengan tepat. Namun, dengan menyelidiki ciri-ciri struktural
dalam narasi Injil tersebut, maka Achtemier, Green dan Thompson berpendapat bahwa Yesus
What is incontrovertible about Matthew’s plan is the gathering of Jesus’ teaching into
discourses, each with its own thematic focus, and together accentuating the pitcure of
Jesus as authoritative teacher. The importance of this narrative feature is highlighted in
Jesus’ closing words in 28:18-20, which place a premium on the substance of Jesus’
teaching. Equally transparent is the biographical character of Matthew’s Gospel − that
is, its primary focus on the ‘bios’ or life of Jesus, with the result that we cannot escape its
fundamental aim to promote a particular vision of Jesus’ person and work. Jesus is and
remains at center stage throughout the Gospel.32
Dengan demikian, pendapat di atas menyimpulkan bahwa pada dasarnya fokus dari Injil Matius
adalah Yesus Kristus. Narasi-narasi yang diceritakan di dalamnya, seperti kisah kelahiran
Yesus, masa pelayanan-Nya, penderitaan dan kematian-Nya serta kebangkitan dan kenaikan-Nya
dilakukan-Nya.
Ucapan celaka yang dilontarkan Yesus dalam bagian 23:13-32 ditujukan kepada dua
kelompok religius Yahudi, yaitu ahli Taurat dan orang Farisi. Yesus melekatkan dua kelompok
berpendapat bahwa mereka ini adalah kelompok yang ingin memberikan pengaruh dan kontrol
dalam masyarakat sebagai para pakar religius sehingga selalu mencoba menyudutkan Yesus
32
Ibid. 95.
20
yang mulai memberikan pengaruh besar dalam masyarakat.33 Siapa sebenanya mereka dan
Ahli Taurat
Menurut G. H. Twelftree, dalam sejarah Israel, ahli Taurat (Scribe) mulai berperan
sebagai pencatat dan penyalin data-data (2 Raj. 12:10), dan kemudian membentuk kelompok
menjadi sebuah perserikatan (1 Taw. 2:55). Golongan ini kemudian memegang jabatan politik
yang tinggi (1 Raj. 4:3; 2 Raj. 18:18; 25:19; 1 Taw. 27:32; 2 Taw. 26:11; Yes. 22:15), yang
kemudian menjadi penerus para imam dan orang Lewi sebagai penafsir-penafsir hukum (2 Taw.
34:13; Ezr.7:12), karena pengetahuan dan pemahaman mereka tentang Kitab Suci (1 Taw.
27:32).34 Ia juga menyatakan, dalam masa pembuangan para ahli Taurat muncul sebagai orang-
orang berhikmat yang penuh dengan pengertian (a wise men of understanding). Sebutan ini
diberikan kepada mereka karena orang-orang Yahudi yang berada di tanah asing pada saat itu
sangat bergantung kepada mereka untuk menafsirkan hukum Taurat di tengah situasi yang baru
tersebut. Salah satu contohnya adalah Barukh, sekertaris pribadi nabi Yeremia, juga merupakan
ahli Taurat. Dia menulis perkataan Yeremia ( Yer. 36:4, 18), mengumpulkan perkataan-
perkataan nabi (Yer. 36: 32) dan berlaku sebagai wakilnya (Yer. 36:6-15).35 Setelah pulang dari
penawanan, Lukas Tjandra mencatat bahwa jabatan ahli Taurat dilakukan oleh imam Ezra,
seorang ahli Taurat yang paling ternama yang menyalin hukum Taurat, mengajarkan ketetapan-
33
“Political and Social Roles of the Pharisees and Scribes in Galilee” in Society of Biblical Literature
Seminar Papers Series (ed. David J. Lull; Atlanta: Scholars, 1988) 209.
34
“Scribe” in Dictionary of New Testament Background (Eds. Craig A. Evans. & Stanley E. Forter;
Leicester: InterVarsity, 2000) 1086.
35
Ibid. 1086.
36
Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru (Malang: SAAT, 1994) 48.
21
Twelftree mencatat ada beberapa tugas yang dimiliki oleh para ahli Taurat, yaitu
pertama, menafsirkan dan memelihara hukum. Mereka merupakan jalur nalar hukum dan
pembelanya, terutama pada zaman Helenistik, ketika keimaman telah bobrok. Mereka
menyampaikan keputusan-keputusan hukum tak tertulis yang telah muncul dalam usaha
menerapkan hukum Musa pada kehidupan sehari-hari. Kedua, mengajarkan hukum. Para ahli
Taurat mengumpulkan murid dan mengajar mereka. Para murid yang mereka kumpulkan
ajaran itu tanpa perubahan. Mereka melakukan pengajarannya di Bait Allah (Luk. 2:46; Yoh.
18:20). Ketiga, sebagai pembela hukum (Lawyer). Setiap orang Yahudi dapat diminta untuk
mengadili sebuah kasus melalui komunitas, dan biasanya jika ada seorang ahli Taurat dalam
pengadilan itu, maka ia akan dipilih sebagai salah satu hakim. Keempat, sebagai seorang teolog.
Beberapa ahli Taurat memberi perhatian lebih untuk mempelajari dan meneliti doktin-doktrin
yang terdapat di dalam Kitab Suci dari pada elemen-elemen legalnya. Jika berkhotbah tidak
dibatasi bagi orang-orang tertentu saja, mereka-mereka inilah yang sebenarnya sangat punya
kualifikasi untuk berbicara di Sinagoge. Kelima, sebagai penjaga tradisi. Salah satu yang tugas
yang signifikan dari para ahli Taurat adalah dalam hubunganya menjaga tradisi-tradisi yang sulit
dimengerti (esoteric tradition).37 Keenam, sebagai kurator teks. Menyalin teks Kitab Suci dilihat
sebagai sebuah pekerjaan ilahi. Ketika seseorang telah selesai menyalin teks Kitab Suci, maka ia
harus membacakan salinan yang ia kerjakan. Di sinilah para ahli Taurat berperan sebagai
pengkoreksi.38 Dengan demikian dapat dilihat bahwa tugas para ahli Taurat cukup kompleks dan
37
Bandingkan dengan Lukas 11:52. Twelftree menuliskan, “They considered secrecy necessary because
Scripture was silent on the reasons for many laws, because of the offense of some stories, because the teaching
might be missused and because genealogical traditions might discredit public figures, “Scribe” in Dictionary 1087.
38
Penjelasan lebih lanjut mengenai keenam tugas ahli Taurat ini lihat G. H. Twelftree, “Scribe” in
Dictionary 1086-1089 dan C. L. Feinberg, “Taurat, Ahli-ahli Taurat” dalam Enslikopedia Masa Kini (Jilid 2; ed. J.
D. Douglas; Jakarta: Bina Kasih, 1997) 454.
22
selalu berhubungan dengan hukum Taurat. Mereka menyelidiki, menafsirkan dan mengajarkan
Orang Farisi
Menurut J. Julius Scott, asal-usul golongan Farisi tidak dapat diketahui secara jelas dan
pasti. Ada yang beranggapan golongan ini muncul setelah zaman Ezra, ada juga yang
mengatakan muncul pada zaman Hasidim, dan yang lain berpendapat pada masa awal Makabe. 39
Meneliti arti nama dari “Farisi” juga tidak memberikan kepastian atas asal-usul golongan ini.
Scott mencatat bahwa nama “Farisi” berkaitan dengan kata Ibrani parash dan kata Aram perash
yang berarti “seseorang yang dipisahkan” atau “yang terpisah.” 40 Namun pertanyaan yang
diajukan scott selanjutnya adalah dari siapa mereka dipisahkan? Dari para imam yang memiliki
penafsiran hukum yang berbeda dengan mereka? atau dari orang-orang gentile dan Yahudi yang
terpengaruh budaya Helenistik? Atau bahkan dari golongan-golongan politik?41 Hal ini tidak
diketahui dengan pasti karena tidak adanya sumber-sumber yang menuliskan hal tersebut secara
spesifik. Namun H. Jagersma berpendapat bahwa kemungkinan besar sebutan tersebut ada
Menurut Jagersma, golongan Farisi pertama kali muncul dengan nama tersebut pada saat
Yohanes Hirkanus berkuasa (134-104 sM). Pada saat itu, golongan Farisi mempunyai pengaruh
besar dan mendapat dukungan dari rakyat. Namun, diperkirakan sejak sekitar awal tarikh
39
Jewish Backgrounds of The New Testament (Grand Rapids: Baker, 1995) 204.
40
Namun ada juga teori yang mengatakan bahwa nama tersebut adalah nama ejekan “orang-orang Persia.”
Ibid. 202-203.
41
Ibid. 202-203.
42
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun juga sebutan tersebut diberikan kepada mereka oleh pihak ketiga
yaitu lawan-lawan mereka. Pada dasarnya golongan Farisi menyebut dirinya sendiri dengan istilah-istilah yang
berarti “kawan,” “pengarang,” atau “orang berhikmat.” Dalam kepustakaan Yahudi golongan Farisi terutama
disebut dengan istilah orang-orang berhimat” atau sering juga disebut “orang-orang kita yang berhikmat.” Dari
Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Jakarta: Gunung Mulia, 1991) 96.
23
Masehi orang-orang Farisi telah membentuk paguyuban-paguyuban. Mereka itu terdiri antara
lain dari imam-imam, para tukang, para petani dan para pedagang. Sebagian besar ahli-ahli
Taurat juga termasuk golongan Farisi, sekalipun tidak boleh dikatakan, bahwa ahli Taurat sama
dengan orang Farisi dan sebaliknya orang Farisi belum tentu ahli Taurat.43
Mengenai pengajaran mereka, Jagersma juga mencatat bahwa orang-orang Farisi sangat
menghargai tradisi lisan di samping tradisi tertulis.44 Mereka mementingkan upacara lahiriah,
memelihara Taurat dan memelihara semua sistem ibadah yang diturunkan oleh leluhur mereka.
yang sangat teliti dalam menafsirkan dan menjalankan Taurat. Selain itu Lukas Tjandra juga
mengatakan bahwa ajaran yang mereka yakini adalah ajaran bahwa roh tidak binasa, adanya
kebangkitan orang mati, berkat kekal dan hukuman kekal. Golongan Farisi yakin bahwa yang
baik dan jahat masing-masing akan menerima balasannya. Mereka juga percaya akan adanya
malaikat yang baik dan yang jahat dan percaya bahwa di sorga nanti masih ada soal kawin dan
mengawini serta masih ada makanan jasmani. Mengenai pandangan mereka terhadap Mesias,
mereka memberi tekanan pada pengharapan Mesias yang akan lahir sebagai raja.46
43
Ibid. 97.
44
Ibid. 98.
45
Tjandra, Latar Belakang 40.
46
Ibid. 40.
24
Namun pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana peran orang-orang Farisi
dan seberapa besar pengaruhnya di dalam masyarakat Yahudi? Pertanyaan ini bisa dijawab
dengan melihat catatan sejarah mengenai kelompok Farisi tersebut. Josephus, seorang sejarawan
Yahudi yang hidup pada zaman kekaisaran Romawi pernah mencatat mengenai kelompok
tersebut. Dalam bukunya yang berjudul War, orang-orang Farisi disebutkan sebanyak empat
kali. Mereka disebutkan dalam pengaruh mereka yang besar di bawah kekuasaan Ratu
Aleksandra. Ada juga kisah di mana isteri saudara Herodes, Pheroas bekerja sama dengan orang
Farisi (dengan memberikan mereka subsidi) untuk menentang Herodes, namun berakhir dengan
dieksekusinya sejumlah orang Farisi. Dalam tulisan tersebut, Josephus juga menyebutkan orang
Farisi (bersama dengan golongan Saduki) sebagai one of the three traditional Jewish
philosophies. Dalam tulisan yang lain, the Antiquities, Josephus menyebutkan orang Farisi (baik
secara personal maupun komunal) sebanyak sembilan kali. Dia menceritakan konflik golongan
Farisi dengan Yohanes Hirkanus dan bagaimana mereka kemudian bergabung dengan Ratu
Aleksandra. Dalam tulisan yang berjudul Life, Josephus mencatat kisah bagaimana golongan
Farisi bersama dengan imam-imam kepala dan Josephus tampil sebagai pemimpin pasukan pada
malam pemberontakan.47 Jadi, dapat dilihat bahwa penyebab golongan Farisi memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam masyarakat Yahudi karena adanya campur tangan dan perhatian mereka
Anthony J. Saldarini mencoba melihat posisi golongan Farisi dalam strata masyarakat
Yahudi pada waktu itu. Ia melihatnya berdasarkan pengklasifikasian yang dilakukan oleh
47
Anthony J. Saldarini, “Political and Social Roles of the Pharisees and Sribes in Galilee” in Society of
Biblical Literature Seminar Paper Series (ed. David J. Lull; Atlanta: Scholars, 1988) 202-204.
25
Gerhard Lenski mengenai pengolongan kelas dalam masyarakat agraria.48 Ia mengatakan bahwa
orang Farisi berada dalam golongan retainer class. Dia menjelaskannya demikian,
To some extent they shared in the life of the elite, but not in its direct power. Soldiers,
bureaucratic goverment officials, various kinds of servants, religious leaders and
educators were all necesarry for the functioning of society and as a group they had a
great impact on society and culture. However, individual retainers lacked power
because any one person could be easily replaced by another. Some retainers could
become very powerful and move into the governing class while others could lose their
positions and fall back into the peasantry. Their office could become hereditary, but
more often they were bureaucratic and so subject to the appointment of the ruler. This
group gained most power when the governing class ceased to be effective rulers and left
matters in their hands.49
Saldarini memperlihatkan bahwa orang-orang yang berada dalam golongan ini adalah orang-
orang yang punya fungsi krusial dalam masyarakat sekalipun tidak memiliki akses langsung
dalam pemerintahan. Oleh karena itu wajar jika dia berpendapat bahwa orang Farisi memang
tidak mempunyai kuasa langsung atas wilayah politik dan militer,50 ditambah lagi mereka juga
bukan anggota dari pemerintahan, namun mereka punya pengaruh besar karena punya hubungan
dengan pemerintahan dan masyarakat. Saldarini juga mengatakan bahwa walaupun tidak ada
kepastian mengenai peran golongan Farisi di dalam masyarakat Yahudi secara spesifik, tetapi
golongan ini selalu muncul dalam setiap era sejarah Yahudi, mulai dari masa Hasmonean hingga
penghancuran Bait Suci.51 Itu sebabnya Saldarini mengatakan, “It is most likely that Pharisees
were active in a number of occupations and roles in society and were bound together by certain
beliefs and practices and by endeavors to influance sosial change.”52 Dengan demikian
48
Lenski menjelaskan ada 9 kelompok masyarakat yang signifikan. Lima diantaranya adalah golongan atas,
dan empat yang lainnya adalah golongan bawah. Kelompok yang termasuk golongan atas adalah the governing
class, retainer class, merchant class, dan priestly class. Sedangkan kelompok yang termasuk golongan bawah
adalah peasant, artisants, an unclean degraded class, dan the expandable class. Sebagaimana dikutip Ibid. 200 dari
Power and Privilege: A Theory of Social Stratification (New York: McGraw, 1966) 214-296).
49
“Political and Social. . .” 201 dikutip dari Lenski, Power and Privilege 243-248.
50
Ibid. 203. Lihat juga S. Mason, “Pharisees” in Dictionary 783-784.
51
Ibid. 203.
52
“Political and Social. . .” 206.
26
pernyataan ini menjelaskan bahwa golongan Farisi memberikan pengaruhnya di dalam
masyarakat melalui kepercayaan-kepercayaan yang mereka yakini dan ritual-ritual yang mereka
lakukan.
Di dalam Perjanjian Baru, khususnya Injil, S. Mason mencatat bahwa Injil Markus dan
Yohanes menggambarkan orang Farisi sebagai musuh dari Yesus, sedangkan dalam Injil Matius,
orang Farisi sering digandengkan dengan orang Saduki, bahkan dengan imam-imam kepala,
untuk menggambarkan mereka semua sebagai para pemimpin-pemimpin Israel (Mt. 3:7; 16:1, 6).
Dalam Injil Lukas, orang Farisi digambarkan sebagai guru-guru yang dihormati oleh orang
banyak, yang terus mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan Yesus (Lk. 5:17).53
merupakan sebuah sekte atau golongan agama Yudaisme yang memiliki penafsiran tertentu
terhadap Taurat. Mereka bergerak bukan hanya di dalam bidang keagamaan, tetapi juga politik
dalam sejarah Yahudi. Mereka selalu berusaha memiliki pengaruh di dalam masyarakat dengan
Baik ahli Taurat maupun golongan Farisi, keduanya sama-sama ingin memiliki kuasa dan
kepercayaan yang mereka ajarkan dan ritual-ritual yang mereka lakukan dalam masyarakat.
Namun, sekalipun mereka adalah penafsir dan pengajar Taurat, ternyata kedua ahli Taurat dan
orang Farisi mendapat kecaman dari Yesus yang tertulis dalam Matius 23:1-32. Dalam bagian
tersebut, Yesus memperingatkan orang banyak dan murid-murid-Nya untuk waspada terhadap
ahli Taurat dan orang Farisi. Bahkan, kemudian Yesus menegur dengan keras dua kelompok
tersebut dengan mengucapkan kalimat, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang
53
Ibid. 784-785.
54
Ibid. 785.
55
“Political and Social. . .” 209.
27
Farisi.” Hal apa yang sebenarnya ditegur dengan keras oleh Tuhan Yesus terhadap ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi? Hal ini akan dibahas bagian selanjutnya.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus,
penulis akan terlebih dahulu menjelaskan konteks bagian 23:13-32. Pasal 23 berada di antara
narasi tentang Yesus yang bertanya kepada orang Farisi tentang mesias (22:41-46) dengan
pernyataan Yesus kepada murid-murid-Nya tentang Bait Allah yang akan diruntuhkan. Menurut
Michael J. Wilkins, pasal 23 ini merupakan kelanjutan dari beberapa perumpamaan Yesus yang
(21:28-22:14), dan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan orang Farisi, Saduki dan ahli Taurat
terhadap Yesus untuk menjebak Dia.56 Lebih lanjut, R. T. France berpendapat bahwa pasal 23
ini bisa dilihat sebagai suatu tema yang dipersiapkan Matius sebelum masuk ke dalam pasal 24-
keboborakan hati para pemimpin religius Yahudi, sehingga pasal 23:37-39 bisa menjadi
penghubung antara kedua bagian tersebut.57 Dengan demikian, pasal 23 dapat dilihat sebagai
bagian yang berbicara tentang kebobrokan para pemimpin religius Yahudi sebagai tema yang
dipersiapkan Matius sebelum beralih kepada tema tentang penghukuman dalam pasal 24-35.
Pasal 23 dimulai dengan peringatan Yesus kepada orang banyak dan murid-murid-Nya
tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (23:1-12). Di sini Yesus memperingatkan orang
banyak dan para murid untuk tidak mengikuti contoh buruk dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang
56
Matthew (NIVAC; Grand Rapids: Zondervan, 2004) 744.
57
Matthew (TNTC; Leicester: Inter-Varsity, 1985) 323.
28
Farisi.58 Kemudian, narasi tersebut dilanjutkan dengan kecaman yang dilontarkan Yesus kepada
mereka dengan menggunakan frasa “celakalah kamu” sebanyak tujuh kali (13-32). Menurut
Donald A. Hagner, Ayat 13-32 menjadi titik sentral dari pasal 23. Ia mengatakan bahwa bagian
ini merupakan penjabaran detai dari kemunafikan orang-orang Farisi yang telah digambarkan
Yesus dengan kalimat “mereka mengajarkannya, tetapi tidak melakukannya.”59 Bagian setelah
kecaman Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dilanjutkan dengan bagian yang
memperlihatkan konsekuensi hukuman yang harus ditanggung oleh para pemimpin religius
tersebut (33-36). Dengan demikian, maka pasal 23:13-32 merupakan sentral dari pertentangan
antara para pemimpin religius Yahudi dengan Yesus yang berisi kecaman-Nya terhadap mereka
Terjemahan60
58
Wilkinks, Matthew 744.
59
Donald A. Hagner, Matthew 14-28 (WBC; Dallas: Word, 1995) 664.
60
Terjemahan ini diambil terjemahan LAI TB.
29
Ucapan Celaka Ketiga
Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci,
sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. Hai kamu
orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang
menguduskan emas itu? Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi
persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat. Hai kamu orang-orang buta, apakah
yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu? Karena itu
barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu
yang terletak di atasnya. Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait
Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ. Dan barangsiapa bersumpah demi sorga, ia
bersumpah demi takhta Allah dan juga demi Dia, yang bersemayam di atasnya (ay. 16-22).
30
Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah
dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan. (ay. 27-28).
Penjelasan
Menurut Grant R. Osborne, ketujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus berbicara
tentang dosa religius dari “ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,”61 khususnya mengenai
“kemunafikan” mereka yang mengetahui isi Kitab Suci, namun berbelok dari isinya. 62 Hal yang
sama juga dikemukkan oleh Wilkinks, di mana ia mengatakan, “Their woeful condition lies
especially in their hypocrisy and blindness, in which they disfigure the truth of God’s revelation
through their self-deception and inconsistency.63 Wilkins menegaskan bahwa kemunafikan dan
kebutaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menodai kebenaran Allah merupakan
penyebab mereka dicela. Jadi, dapat dilihat bahwa tujuh ucapan celaka yang dilontarkan Yesus
61
David L. Turner mengatakan bahwa kedua kelompok ini pertama kali digandengkan oleh Matius dalam
5:20. Turner mencatat bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan mengenai pengertian istilah
“ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.” Namun secara umum para ahli Taurat merupakan para murid dan guru
yang ahli dalam halakhah, yaitu penguraian dan pengaplikasian hukum Taurat secara praktis. Sedangkan “Farisi”
merupakan istilah bagi sebuah gerakan reformasi dalam Yudaisme di mana seseorang menganut dan mengabdi
kepada aturan-aturan praktis dari hukum, dengan penekanan khusus pada hal-hal seperti ritual pembasuhan, praktek
persepuluhan dan hari sabat. Turner mengatakan bahwa memang kedua istilah ini memperlihatkan dua kategori
yang berbeda, namun secara praktis tujuan dan cara hidupnya hampir sama, di tambah lagi memang banyak para
ahli Taurat yang juga merupakan anggota dari gerakan Farisi. Inilah yang mungkin menyebabkan mengapa Yesus
menggandengkan kedua kelompok tersebut dalam kecaman-Nya (Matthew [ECNT; Grand Rapids: Baker, 2008])
189.
62
Exegetical Commentary on The New Testament: Matthew (Grand Rapids: Zondervan, 2010) 843.
63
The Gospel According to (NIVAC; Grand Rapids: Zondervan, 2004) 750.
31
kepada ahli Taurat dan orang Farisi merupakan kecaman atas kemunafikan mereka sebagai
pemimpin religius.
Lebih lanjut, Daniel L. Turner mengatakan bahwa kecaman Yesus terhadap para
pemimpin religius Yahudi dalam bagian ini harus di lihat dalam latar belakang nabi-nabi dalam
Alkitab yang sering mengucapkan teriakan kesengsaraan bagi Israel atas dosa-dosa mereka.
Ungkapan tersebut merupakan perpaduan dari kemarahan, dukacita dan peringatan tentang
konsekuensi penghukuman yang akan dinyatakan kepada Israel atas dosa mereka. Turner
mencatat misalnya dalam Yesaya 5:8, 11, 18, 20, 21, dan 22 merupakan rangkaian dari enam
ucapan celaka. Kemudian terdapat juga dalam Amos 5:18; 6:1, 4 dan Habakuk 2:6, 9, 12, 15 dan
19 yang merupakan rangkaian lima ucapan celaka. Jadi, bentuk kecaman Yesus terhadap para
pemimpin religius tersebut bukanlah hal yang baru bagi para pendengar-Nya pada waktu itu.64
Menurut Wilkinks, kata seru Οὐαὶ (“celakalah”) mempunyai nuansa perpaduan antara
penyesalan, belas kasihan, dukacita dan kecaman (denunciation). Ia berkata ketika Yesus
menyesalkan keadaan orang-orang Farisi, namun di saat yang sama juga menyatakan nasib yang
akan menimpa mereka.65 Osborne mengatakan bahwa kata ini sudah dipakai dalam ayat 11:21
dan 18:7 yang secara umum berarti penghukuman ilahi kepada manusia. Jadi, dalam bagian
23:13-32 kata ini memang bernuansa penghukuman bagi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
atas dosa-dosa yang mereka lakukan.66 Dengan demikian tujuh ucapan celaka yang diucapkan
Yesus merupakan kecaman yang dinyatakan kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
64
Matthew 550.
65
The Gospel According to 750.
66
Exegetical 847.
32
Dalam ucapan celaka yang pertama Yesus menggunakan kata “orang-orang munafik”
(ὑποκριταί) dalam tegurannya (dan akan dipakai juga dalam ayat 15, 23, 25, 27 dan 29) yang
berarti “those who play-act” or who want to appear to be something they are not.67 Menurut
Hagner, isu yang dibahas disini bukanlah kebohongan terhadap diri sendiri (selff-deception)
melainkan kebohongan terhadap orang lain (deception of others).68 Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa istilah “orang-orang munafik” dilekatkan Yesus kepada dua kelompok
agamawi tersebut sebagai sebutan untuk menggambarkan kehidupan mereka yang penuh
Dalam ayat 13, ada beberapa kalimat yang perlu dicermati. Yesus mengatakan bahwa
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi “menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang.”
Hagner menjelaskan bahwa istilah “menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga” sebenarnya sangat
berhubungan dengan pengajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka yang telah
menduduki kursi Musa mempunyai kuasa dan otoritas untuk mengajar Taurat. Oleh karena itu
pengajaran dan penafsiran mereka terhadap Taurat merupakan kunci untuk membuka pintu
Kerajaan Sorga agar orang lain dapat masuk dan menikmati pemerintahan Allah. Namun, dengan
memberikan pengajaran dan penafsiran tentang Taurat yang salah, mereka menyebabkan orang-
orang yang mengikuti mereka tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Sorga.69 Sejalan dengan ini
The purpose of the Pharisees in ‘building a fence around the law’ should have been to
shepherd God’s flock through the gate or door to the kingdom. Their teaching should
have made the reign of God more apparent and meaningful in the lives of the people.
Instead, they have closed the door to God.70
67
Donald A. Hagner, Matthew 14-28 (WBC; Dallas: Word, 1995) 668.
68
Ibid. 668
69
Ibid. 668.
70
Exegetical 847.
33
Osborne menegaskan bahwa pengajaran orang-orang Farisi harusnya menjadi penuntun bagi
orang lain untuk datang kepada Allah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Yesus pernah
mengajarkan mengenai pintu yang sesak dan pintu yang lebar dan telah memberikan Petrus
(beserta dengan gereja) “kunci Kerajaan Sorga” yang berarti otoritas untuk membuka pintu-pintu
Sorga. Metafora ini merujuk kepada otoritas untuk membuka kebenaran-kebenaran kerajaan
melalui menafsirkan firman Allah dengan tepat. Orang-orang Farisi telah menolak otoritas
Yesus sebagai penafsir Taurat, dan dengan demikian mereka jatuh ke dalam pengajaran yang
salah.71 Jadi dapat disimpulkan bahwa kalimat “menutup pintu Kerajaan Sorga” merujuk kepada
pengajaran-pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang salah sehingga menyebakan
orang yang mengikut mereka menjadi tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Kalimat selanjutnya yang perlu dicermati adalah “sebab kamu sendiri tidak masuk dan
kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.” Osborne menjelaskannya demikian,
Christ has brought the true kingdom into this world, but the Jewish leaders have rejected
it and therefore have closed for themselves and their followers, not only by their false
teaching but even more so by their rejection of the Messiah . . . The opposition by these
leaders to God’s Messiah has made it impossible not only for themselves but also for all
who hope to enter the kingdom by following their teaching.”72
Osborne memperlihatkan bahwa penolakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi terhadap
Yesus memberikan pengaruh bukan hanya kepada diri mereka sendiri tetapi juga terhadap para
pengikut mereka untuk tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Inilah makna dari
perkataan mereka sendiri tidak masuk dan mereka merintangi orang-orang yang berusaha untuk
masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ucapan celaka dalam bagian ini
merupakan kecaman Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi atas kegagalan
mereka sebagai pengajar Taurat untuk dapat menuntun orang ke dalam Kerajaan Sorga.
71
Ibid. 847.
72
Exegetical 848.
34
Pengajaran mereka yang salah dan penolakan mereka terhadap Yesus telah menyebabkan pintu
Kerajaan Sorga tertutup bukan hanya untuk diri mereka sendiri namun juga untuk para pengikut
mereka.
Selanjutnya, dalam ucapan celaka pada ayat 14, terdapat permasalahan tekstual di
dalamnya. Ayat tersebut berbunyi demikian, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang
kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan
menerima hukuman yang lebih berat.” France menjelaskan bahwa ayat ini ditemukan dalam
diucapkan Yesus dalam Matius 23 menjadi delapan. Ia mengatakan bahwa ayat ini merupakan
reproduksi dari Markus 12:40 yang berbunyi, “yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka
mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima
hukuman yang lebih berat.” 73 Sejalan dengan itu, Hagner melihat bahwa ayat tersebut diduga
dimasukkan kemudian, karena dalam manuskrip-manuskrip yang lebih awal seperti Alexandrian,
Western dan Caesarean tidak ditemukan adanya bagian ini. 74 Jadi, bagian ini memang dianggap
bukan bagian asli dari serangkaian tujuh ucapan celaka yang diucapkan Yesus. 75 Oleh karena
itu, penulis tidak akan menguraikan bagian ini sebagai ucapan celaka yang kedua.
Ucapan celaka yang kedua dinyatakan Yesus dalam ayat 15. Yesus mengecam ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi dalam hal mencari pengikut. Dikatakan bahwa mereka
“mengarungi lautan dan menjelajahi daratan untuk mentobatkan satu orang saja” menjadi
penganut agama mereka. Menurut Morris, kalimat “mengarungi lautan dan menjelajah daratan”
merupakan ungkapan puitis (proverbial saying) untuk menunjukkan “tindakan yang dilakukan
73
Lihat catatan kaki nomor 1 dari France, The Gospel 865.
74
Lihat bagian Notes “d” in Hagner, Matthew 664.
75
Lihat catatan kaki nomor 1 dari France, The Gospel 865
35
dengan usaha keras untuk memperoleh hasil yang diinginkan.”76 Dalam hal ini, ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi melakukan usaha keras untuk mentobatkan seseorang menjadi penganut
agama mereka.77 Kata “penganut” (προσήλυτον), menurut Leon Morris hanya digunakan dalam
ayat ini saja di antara injil-injil yang lain. Kata tersebut berarti seseorang yang beralih kepada
agama mereka (Yudaisme).78 Ia juga mengatakan bahwa tampaknya di sini Yesus sedang
menyinggung secara khusus orang-orang Farisi yang pada saat itu memang aktif untuk
pemuja berhala yang beralih agama Yudaisme, melainkan orang-orang non-Yahudi yang takut
akan Allah (yang telah menganut sebagian dari Yudaisme) yang kemudian menjadi penganut
penuh (full proselyte) dari sekte Farisi tentang kebenaran Taurat.80 Jadi pernyataan “menjadi
penganut agamamu” merujuk kepada aktivitas orang Farisi untuk mempertobatkan seseorang
gentile yang takut akan Allah kepada ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang
Menurut Morris, ketika seseorang menjadi penganut dari kepercayaan Farisi, itu berarti
orang tersebut harus diajarkan Yudaisme berdasarkan pemahaman sekte Farisi tentang iman
tersebut. Selain itu, karena petobat baru tersebut hanya sedikit mengerti, bahkan mungkin tidak
tahu sama sekali mengenai Yudaisme, selain dari perintah yang diberikan kepadanya oleh orang
76
Ibid. 579.
77
Osborne mencatat hal ini mungkin dilakukan dengan cara perjalanan ke sinagoge-sinagoge Diaspora oleh
guru-guru Yahudi (Exegetical 848).
78
Leon Morris, The Gospel According to Matthew (PNTC; Leicester: Apollos, 1992) 579.
79
Ibid. 580
80
Hagner, Matthew 14-28 669 mengutip A Light among the Gentiles: Jewish Missionary Activity in the
second Temple Period (Minneapolis: Fortress, 1991) 106-108.
36
yang mempertobatkan dia, maka dapat dikatakan orang tersebut bertobat kepada Farisi-isme.81
Dengan kata lain, ia menjadi seorang Farisi yang lainnya. Lebih lanjut Morris mengatakan,
He knew nothing of any other way of understanding Scripture, so that any door that
might have opened to him for a fuller knowledege of God was closed from the beginning.
By indoctrinating with their own errors mind that knew nothing of the new religion other
than what they taught them the Pharisees ensured that the proselytes were twice as sure
of finishing up on the wrong track as they were themselves.82
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa seorang petobat baru dalam golongan Farisi hanya akan
mengikuti dan melakukan apa yang diajarkan oleh orang-orang Farisi yang mempertobatkannya.
Dengan demikian, dia juga akan melakukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang Farisi.
Dalam ayat 15, orang yang ditobatkan oleh orang-orang Farisi itu disebut Yesus sebagai
“orang neraka” yang dua kali lebih jahat dari mereka. Kata “orang neraka” berasal dari kata υἱὸν
γεέννης (“Child of hell”). Kata tersebut merupakan Semitic Idiom bagi seseorang yang
merupakan milik dari neraka dan memang ditentukan untuk masuk ke sana. 83 Wilkins
mengomentari hal ini dengan mengatakan, “These Pharisees have not entered the kingdom
themselves and also block their followers from entering (23:13), so when they win adherents,
they make their proselytes “twice as much of a child of hell as themselves.”84 Turner
mengungkapkan hal yang sama dengan berkata, “Since the leaders themselves are not entering
the kingdom, their efforts result only in preventing others from entering it. Their converts do not
become childern of the kingdom but of gehena.”85 Kedua pernyataan di atas memperlihatkan
bahwa seorang petobat baru disebut sebagai orang neraka karena orang Farisi yang dia ikuti telah
menolak masuk ke dalam Kerajaan Sorga dan juga menghalangi dia untuk masuk. Sejalan
81
Morris, The Gospel According to Matthew 580.
82
Ibid. 580.
83
France, The Gospel of 870-871.
84
Matthew 752.
85
Matthew 555.
37
dengan hal ini, Osborne mengatakan bahwa kata “neraka” (γέεννα) di sini merupakan metafora
yang merujuk kepada penghukuman atau siksaan kekal (5:22). Frasa “dua kali” kemungkinan
berarti bahwa seorang petobat baru tersebut masuk ke dalam pengajaran yang salah dan
penolakan terhadap Yesus, yang lebih dari pada yang dilakukan oleh para guru mereka.86
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam bagian ini Yesus mengecam tindakan orang
Farisi yang mempertobatkan seseorang hanya untuk menjadikan orang itu seperti diri mereka
yang menolak Kerajaan Sorga, yang dibawa oleh Yesus. Mereka mempertobatkan orang hanya
untuk membuat duplikat diri mereka sendiri.87 Jadi, baik mereka maupun para pengikut mereka
Selanjutnya, Yesus kembali mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam
ucapan celaka yang ketiga. Dalam bagian ini, Yesus mengecam mereka dengan tidak
menggunakan istilah “orang-orang munafik.” Kali ini Dia menyebut ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi dengan istilah “pemimpin-pemimpin buta” (ὁδηγοὶ τυφλοὶ ). Menurut Osborne,
istilah ini memberi penekanan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi bukan hanya orang-
orang munafik, tetapi juga orang-orang yang buta akan kebenaran.88 Sejalan dengan ini, Morris
mencatat bahwa istilah ini sebenarnya telah digunakan Yesus dalam bagian sebelumnya untuk
menggambarkan orang-orang Farisi yang menolak ajaran-Nya (15:4). Pada saat itu Yesus
mengatakan bahwa jika orang buta menuntun orang buta, maka keduanya pasti jatuh ke dalam
lobang. Maka dari itu Morris berpendapat bahwa istilah “pemimpin-pemimpin buta” yang
digunakan Yesus dalam ucapan celaka ketiga ini menggambarkan salah satu contoh spesifik akan
86
Exegetical 848.
87
Sebagaimana dikutip Wilkinks, Matthew 752 dari Donald Senior, Matthew (Abingdon New Testament
Commentaries; Nashville: Abingdon, 1998) 668-669.
88
Exegetical 848.
38
Dalam ucapan celaka yang ketiga terlihat bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
melakukan pembedaan di dalam sumpah. Mereka mengajarkan bahwa jika seseorang bersumpah
demi Bait Suci, maka sumpah tersebut tidak sah, namun jika orang tersebut bersumpah demi
emas Bait Suci, maka sumpah itu mengikat (ay. 16). Mereka juga mengatakan bahwa jika
seseorang bersumpah demi mezbah, maka sumpah tersebut tidak sah; tetapi jika seseorang
bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah maka tersebut mengikat (ay. 18)
mengikat. Dapat dilihat bahwa terdapat pembedaan sumpah di dalam pengajaran di atas, yaitu
adanya sumpah yang mengikat dan tidak. Osborne mengatakan bahwa perihal pengangkatan
sumpah adalah tindakan yang memang biasa dilakukan orang-orang Farisi untuk membuktikan
kejujuran perkataan mereka. Sumpah tersebut biasanya dilakukan dengan menyebut nama Allah
atau orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama sebagai saksi atas janji dan perkataan mereka. 89
Namun, menurut Craig S. Keener, pada masa itu, orang-orang Yahudi telah dilarang untuk
mengucapkan nama Allah yang suci di dalam sumpah. Lebih lanjut ia mengatakan,
By swearing lesser oaths, some people hoped to avoid the consequences of swearing by
God’s name if they could not keep their vow or if their oath turned out to be mistaken. As
people swore or vowed by things related to God instead of by God himself, more and
more things became substitutes for divine name and thus became roundabout ways of
seeming to swear by God while hoping to buffer the consequences. 90
Keener menyatakan bahwa orang-orang mulai mengganti penggunaan nama Allah di dalam
sumpah dengan menggunakan benda-benda yang berhubungan dengan Allah untuk menghindari
konsekuensi yang harus diterima jika mereka tidak dapat memenuhi sumpah tersebut. Hal ini
sejalan dengan pendapat Garland yang mengatakan bahwa pada masa itu penyalahgunaan
sumpah memang sudah terjadi. Orang-orang menghindari pengucapan sumpah dengan memakai
nama Allah atau objek-objek sakral lainnya, karena dianggap mengikat. Itu sebabnya orang-
89
Ibid. 849.
90
IVP Bible Background Commentary (Downers: InterVarsity, 1993) 109.
39
orang Yahudi kemudian mengucapkan sumpah dengan menggunakan objek-objek seperti “Bait
Suci” atau “mezbah” di dalam Bait Suci agar tidak dirasa terlalu mengikat mereka.91 Jadi, dapat
dilihat bahwa pembedaan di dalam sumpah yang dilakukan orang Yahudi pada saat itu dilakukan
karena keinginan mereka untuk menghindari konsekuensi yang harus diterima jika tidak dapat
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dalam konteks ayat 17 dan 18, mengapa
bersumpah demi emas Bait Suci atau persembahan di atas mezbah dianggap mengikat,
sedangkan bersumpah demi Bait Suci atau mezbah dianggap tidak mengikat? Morris mencatat
bahwa perihal mengenai sumpah memang merupakan hal umum yang tampak dalam literatur
para rabi. Di dalam Misnah terdapat begitu banyak esei yang berhubungan dengan pengangkatan
sumpah, di mana esei tersebut menjelaskan mengenai variasi dari berbagai bentuk sumpah serta
keabsahan dan ketidakabsahannya.92 Menurut Nolland, para rabi telah memberikan kejelasan
mengenai keabsahan dan ketikabsahan sebuah sumpah. Ia mengatakan bahwa sebuah sumpah
akan dianggap sah atau mengikat, jika terdapat satu atau lebih dari tiga hal utama berikut ini,
yaitu: penggunaan kata šbwʿh (‘oath’), penggunaan nama ilahi, dan penggunaan kata qrbn
(‘gift’) atau yang sepadan dengan itu.93 Maka dari itu, bersumpah demi emas bait suci (ay. 16)
atau persembahan di atas mezbah (ay. 18) dianggap mengikat atau sah karena keduanya
Yesus kemudian menentang ajaran ahli-ahli Taurat dan orang Farisi dengan mengajukan
pertanyaan yang bentuknya sama. Ia mengatakan “apakah yang lebih penting, emas atau Bait
Suci yang menguduskan emas itu?” (ay. 17), kemudian di ayat 19, “apakah yang lebih penting,
91
Exegetical 849.
92
Morris, The Gospel According 580-581.
93
The Gospel of Matthew 935.
94
Ibid. 935.
40
persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu?” Bait Suci adalah tempat yang
kudus (the place of holiness) di mana Allah hadir di sana, sedangkan emas di dalamnya,
memiliki nilai sakral karena emas tersebut merupakan bagian dari perkakas Bait Suci. Oleh
karena itu, pastilah Bait Suci lebih bernilai penting (greater) dari pada emas itu sendiri.95 Begitu
juga halnya dengan mezbah, di mana mezbahlah yang menguduskan persembahan yang ada di
atasnya, bukan sebaliknya.96 Mengenai hal ini, Hagner berkomentar bahwa poin yang
ditekankan di sini bukanlah merujuk kepada orang Farisi yang terbalik untuk mengerti yang
mana yang lebih penting dalam pengangkatan sumpah, namun poinnya adalah bahwa setiap
adalah keliru.97
Yesus kemudian menentang pengajaran mengenai sumpah tersebut dalam ayat 20-22.
Ayat 20 merujuk kepada pemahaman bahwa ketika seseorang bersumpah demi mezbah, maka
persembahan. Ayat 21 menekankan bahwa seseorang yang bersumpah demi Bait Suci, maka ia
bersumpah demi segala sesuatu yang ada di dalamnya, bahkan demi Allah sendiri yang diam di
sana. Mengenai hal ini, Osborne mengatakan, “This is ultimate point --- making oaths means
standing before God himself.”98 Sejalan dengan ini, Morris juga mengungkapkan bahwa yang
membuat Bait Suci menjadi Bait Suci adalah adanya Tuhan yang dipuja di dalamnya. Jika tidak
ada Tuhan, maka tidak ada Bait Suci. Oleh karena itu seseorang tidak dapat berkata bahwa dia
tidak terikat dengan sumpahnya karena dia melakukan sumpah dengan mengatasnamakan Bait
Suci, bukan Allah. Jika seseorang bersumpah demi Bait Suci Allah, berarti ia juga bersumpah
95
Osborne, Exegetical 849.
96
Ibid. 849.
97
Hagner, Matthew 14-28 669
98
Exegetical 850
41
demi Allah, karena Bait Suci tidak terpisah dengan Allah yang diam di dalamnya. 99 Pengertian
ini juga berlaku dalam ayat 22 mengenai bersumpah demi Sorga. Morris mencatat bahwa bagi
orang-orang Yahudi bersumpah demi sorga, bukanlah sumpah yang mengikat. Jadi pernyataan
ini menyatakan aplikasi yang sama, yaitu bersumpah demi Sorga berarti bersumpah demi takhta
Allah dan Dia yang bersemanyam diatasnya. 100 Dengan kata lain bersumpah demi Sorga adalah
sumpah yang mengikat. Sejalan dengan hal ini, Hagner berpendapat bahwa ayat 22 di atas
memberikan konklusi yang jelas, yaitu pembedaan dalam sumpah tidak dibenarkan. Setiap
sumpah yang diucapkan harus dihormati, karena pengangkatan sumpah selalu dalam persetujuan
Allah. 101 Seperti yang dikatakan Osborne, “Every oath, from the least to the greatest, involves
God and his throne and so is binding.”102 Jadi dapat disimpulakan bahwa dalam ucapan celaka
ketiga ini, Yesus menolak pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menyatakan
sebagian sumpah dipandang mengikat dan sebagian lagi tidak. Bagi Yesus, semua sumpah yang
Ucapan celaka yang keempat dimulai Yesus dengan menyinggung tentang praktek
persepuluhan yang dilakukan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Praktek memberikan
persepuluhan merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dalam Perjanjian Lama
(Kej. 14:20). Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan tetap bangsa Yahudi, ketika Allah
memberikan perintah supaya setiap orang memberikan sepersepuluh dari penghasilannya kepada
Tuhan (Im. 27:30-33; Bil. 18:21; Ul. 12:5-19; 14:22-29).103 Perintah ini dijalankan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi dengan memberikan sepersepuluh dari selasih (ἡδύοσμον, “mint”),
99
The Gospel According 582.
100
Ibid. 582.
101
Hagner, Matthew 14-28 670.
102
Exegetical 850.
103
Morris, The Gospel According 582.
42
adas manis (ἡδύοσμον, “dill”) dan jintan (κύμινον, “cummin”). Ketiga hal ini merupakan buah
perpuluhan dengan baik, tetapi kemudian Yesus mengecam mereka karena tidak melakukan hal
“yang terpenting” (τὰ βαρύτερα, “weightier things”) dalam Taurat, yaitu keadilan, belas kasihan
dan kesetiaan. Dalam Perjanjian Lama, keadilan, belas kasihan dan kesetiaan merupakan hal-hal
yang sering dikumandangkan. Misalnya, Yesaya 1:17 mencatat, “belajarlah berbuat baik;
usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam. . .” Di dalam Yeremia 22:3 juga dikatakan,
“Beginilah firman TUHAN: Lakukanlah keadilan dan kebenaran, lepaskanlah dari tangan
pemerasnya orang yang dirampas haknya, janganlah engkau menindas dan janganlah engkau
memperlakukan orang asing, yatim dan janda dengan keras, dan janganlah engkau
menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini.” Kedua ayat ini dengan jelas
menekankan tentang keadilan. Sedangkan mengenai belas kasihan, tertulis dalam Hosea 6:6 dan
juga dalam Zakharia 7:9-10. Kombinasi dari kedua hal itu tertulis dalam Mikha 6:8, “Hai
manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari
padamu; selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan
Allahmu?” Keadilan dan belas kasihan merupakan tema-tema yang sering muncul dalam
Perjanjian Lama. Begitu juga dengan “kesetiaan,” yang digambarkan dalam Amsal 28:20 dan
Habakuk 2:4.104 Sekalipun ketiga hal tersebut adalah tema yang sering muncul dalam Perjanjian
Lama, namun Yesus mengatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
mengabaikannya.
Jadi permasalahan yang tampak dalam kecaman Yesus di sini adalah ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi melakukan perintah persepuluhan dalam hukum Taurat dengan memberikan
104
Hagner, Matthew 670.
43
sepersepuluh dari selasih, adas manis dan jintan dengan baik, namun mengabaikan yang
terpenting dalam Taurat itu sendiri, yaitu keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Menurut Morris,
kepada Tuhan buah-buah pohon yang kecil. Ini mengindikasikan sebuah tekad untuk memenuhi
The tithing of small herbs was probably going father than the tithing laws intended, but
there was nothing wrong in doing it (as Jesus agree). The trouble was that in their
concern that these small matters be properly attended to, the Pharisees neglected
weightier matters that were much more important.105
Morris memperlihatkan bahwa orang-orang Farisi lebih memperhatikan hal-hal detail dari
hukum dari pada esensi penting di dalamnya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Wilkinks,
bahwa Yesus di sini bukan sedang menyatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
mengabaikan perintah mengenai persepuluhan. Namun, perhatian mereka yang amat teliti dan
besar terhadap detail-detail hukum ceremonial menyebabkan mereka tidak melakukan hal-hal
yang lebih penting dalam kehidupan mereka, seperti membawa keadilan bagi orang-orang yang
disalahkan, memberikan belas kasihan terhadap mereka yang melakukan kesalahan, dan
menunjukkan kesetiaan kepada mereka yang telah jauh dari iman.106 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa di sini Yesus sedang mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang
menjalankan perintah memberikan perpuluhan dengan aturan detailnya dengan baik, namun
gagal melakukan hal yang terpenting di dalamnya. Itu artinya mereka melakukan perintah yang
105
The Gospel According to 753
106
Ibid. 753.
44
Yesus kemudian menegur kedua kelompok religius tersebut dengan menggunakan
analogi nyamuk dan unta. Ia berkata, “nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi
unta yang di dalamnya kamu telan.” Nyamuk107 adalah binatang merayap yang dilarang untuk
dikonsumsi oleh umat Israel berdasarkan perintah dalam kitab Imamat (11:23, 41), demikian
juga halnya dengan unta (ay, 4). Keduanya merupakan binatang yang dianggap haram dan najis.
Menurut Hagner, poin yang ingin disampaikan di sini adalah ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi sangat memperhatikan hal-hal kecil yang relatif tidak signifikan, namun mereka
mengabaikan hal yang besar dan penting,108 yaitu “keadilan, belas kasihan dan kesetiaan.”
Sejalan dengan hal ini, Turner berpendapat bahwa pernyataan Yesus dalam bagian ini
menyatakan secara tidak langsung ketidakkonsistenan para pemimpin tersebut. 109 Jadi, Jika
disimpulkan, maka dapat dilihat, di sisi yang satu ucapan celaka keempat ini jelas menegur ahli-
ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang melakukan detail dari memberikan persepuluhan, namun
mengabaikan hal yang terpenting dalam hukum Taurat. Di sisi yang lain ucapan celaka ini
Yesus kembali menegur ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam ucapan celaka
yang kelima, dengan mengatakan “cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi
sebelah dalamnya penuh dengan rampasan dan kerakusan.” Membersihkan cawan dan pinggan
merupakan tindakan yang dilakukan orang Farisi dalam ritual pembasuhan (ritual purity).
Keener mencatat bahwa bagi orang Farisi ritual pembasuhan adalah hal yang penting, sehingga
mereka membersihkan bejana-bejana yang ingin mereka pakai sama seperti membersihkan diri
107
Yun. “κώνωπα” (gnat) adalah binatang kecil yang menyerupai nyamuk yang lebih tepat disebut sebagai
agas.
108
Matthew 14-28 671.
109
Matthew 556.
45
mereka sendiri.110 Namun, menurut Hagner, dalam bagian ini Yesus menggunakan ritual
pembasuhan tersebut sebagai analogi untuk kebersihan moral (moral cleanness) mereka.111 Hal
The contrast here between “outside” and “inside” is clearly concerned with more then
the two phsyical surfaces of the vessels, for what Jesus says is on the “inside” is not the
sort of ritual uncleanness which washing was designed to remove but moral uncleanness
− cf. the things which “come out of the heart,” which “make a person unclean” (15:18-
19). So the inside (= contents) and outside of the vessel is being used as a metaphor for
the inside and outside of the person.112
Pernyataan France di atas menegaskan bahwa Yesus sedang menggunakan praktek ritual
memperhatikan kehidupan mereka. Menurut Morris perhatian orang-orang Farisi terhadap hal-
hal yang tampak luar, seperti ritual pembasuhan adalah tindakan yang dilakukan mereka agar
orang-orang dapat melihat dan terkesan akan kesalehan mereka. 113 Jadi, dapat dilihat bahwa
perkataan “cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya” merujuk kepada kehidupan
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang sangat memperhatikan hal yang tampak luar dalam
Yesus selanjutnya mengatakan bahwa sebelah dalam cawan penuh dengan rampasan
(ἁρπαγῆς) dan kerakusan (ἀκρασίας, “self-indulgence”). Pernyataan ini berarti merujuk kepada
sebelah dalam dari diri ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. France berkata bahwa “rampasan
dan kerakusan” bukanlah sifat buruk yang dimiliki oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Namun, ia mengatakan bahwa, seperti yang diungkapkan dalam 15:19, bahwa dari hati timbul
segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat,
110
IVP Bible Background 109.
111
Hagner, Matthew 14-28 671.
112
Matthew 874-875.
113
Morris, The Gospel According 583.
46
maka dalam bagian ini, Yesus kelihatannya sedang menekankan bahwa hati adalah sesuatu yang
tidak akan dapat dilihat oleh orang lain.114 Dengan kata lain, kata “penuh dengan rampasan dan
kerakusan” mengacu kepada hati ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang kotor. Sejalan
dengan ini Wilkinks mengatakan bahwa hati adalah sumber dari segala pikiran, motivasi dan
perbuatan. Keinginan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mendapatkan pujian dari
masyarakat115 merupakan motivasi dari dalam diri mereka, yang akan berimbas kepada tindakan
mereka yang di luar. Oleh karena itu untuk mendapatkan kemurnian sejati, hati mereka perlu
Oleh karena itu, Yesus mengatakan, “bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka
sebelah luarnya juga akan bersih.” Pernyataan ini menekankan bahwa ketika kedalaman hati
seseorang dimurnikan maka itu akan terpancar keluar pada tindakan orang tersebut.117 Morris
“The Pharisees are being taught that their method is all wrong. In the case of a person,
to concentrate on the outward does nothing for the inward, whereas to make sure that the
inward is clean means that the outward will also be clean. That follows inevitably”118
Pernyataan ini menegaskan bahwa yang harus menjadi perhatian yang lebih utama dari ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi adalah bagian dalam diri mereka bukan hal-hal yang tampak luar,
karena apa yang ada di dalam diri mereka akan berdampak kepada tindakan mereka di luar. Hati
mereka perlu dibersihkan dan dimurnikan terlebih dahulu. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam ucapan kelima ini, Yesus mengecam tindakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi yang memberi perhatian terhadap hal-hal yang tampak luar untuk terlihat saleh dan benar,
114
Ibid. 875.
115
Wilkinks menyebut hal ini sebagai “greed and self-indulgence” dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi (Matthew 754).
116
Ibid. 754.
117
Morris, The Gospel According to Matthew 584.
118
Ibid. 584.
47
namun di dalamnya, mereka sebenarnya penuh dengan kekotoran. Yesus mengingatkan mereka
Tema mengenai kebersihan sebelah dalam dan luar dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi berlanjut dalam ucapan celaka keenam. Di sini Yesus menggambarkan kehidupan ahli-
ahli Taurat dan orang-orang Farisi bagaikan kuburan yang dilabur putih yang sebelah luarnya
memang tampak bersih, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang-belulang dan pelbagai jenis
kotoran” (ay. 27). Tindakan melabur putih kuburan adalah tindakan yang biasa dilakukan dalam
budaya orang Yahudi. Hal ini biasanya dilakukan untuk memberikan tanda bahwa tempat yang
dilabur putih adalah kuburan. Tindakan ini menjadi perlu untuk dilakukan, karena di dalam
Bilangan 19:16 ada larangan tidak boleh menyentuh kuburan. Jika seseorang menyentuh
kuburan, maka ia menjadi najis. Oleh karena itu, untuk menghindari seseorang menjadi najis
karena menyentuh kuburan, maka orang-orang Yahudi melabur putih kuburan khususnya di
Yerusalem selama masa Paskah. Tujuannya supaya para peziarah yang datang ke Yerusalem
lebih berhati-hati jika melihat tanda labur putih tersebut, sehingga mereka tidak menjadi najis
Yesus kemudian memakai kuburan yang dilabur putih tersebut sebagai metafora yang
menggambarkan kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebagaimana kuburan yang
dilabur putih, dari luar tampak bersih120 tetapi sebelah dalamnya penuh dengan kotoran,
demikian juga dengan para ahli Taurat dan orang Farisi yang sebelah luarnya tampak benar di
mata orang, tetapi di sebelah dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan. Menurut Mounce,
119
Wilkinks, Matthew 755.
120
ὡραῖοι, secara literal berarti “indah.” Pertanyaan yang muncul atas penggunaan kata ini adalah kuburan
dilabur putih bukan untuk kepentingan keindahan, melainkan sebagai tanda agar tempat tersebut dihindari, namun
mengapa Yesus menggunakan kata “indah” untuk menggambarkan tampak luar dari sebuah kuburan? Menurut
David E. Garland, penjelasan terbaik untuk hal tersebut adalah kata “indah” dalam kalimat tersebut bukan merujuk
kepada kuburan yang telah dilabur putih, melainkan kepada struktur ornamen yang terdapat pada kuburan tersebut
(Sebagaimana dikutip Osborne, Exegetical 853 dari The Intention of Matthew 23 [Novum Testamentum Supplement
52; Leiden: Brill, 1979] 155-157).
48
Yesus sepertinya sedang membandingkan kondisi orang-orang Farisi dengan kuburan yang
dibuat menarik dengan adanya tempelan-tempelan ornamen. Kuburan tersebut dari luar memang
tampak menarik, namun di dalamnya penuh dengan tulang-belulang. Demikian juga dengan
kehidupan orang-orang Farisi, dari luar orang melihat mereka tampak benar, padahal di
dalamnya mereka penuh kemunafikan dan kedurjanaan.121 Sejalan dengan ini, Morris
berpendapat bahwa “kemunafikan dan kedurjanaan” memang merupakan kualitas karakter dari
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang diberikan Yesus. Kata “munafik” sudah diulang-
ulang dalam keseluruhan bagian ini, namun kata “kedurjanaan” (ἀνομίας, “lawlesness”)
merupakan penambahan yang menarik dan ironis. Morris menjelaskannya dengan mengatakan
demikian,
The Pharisees were puncitilious in observing the law as they understood it. But their
concentration on the externals to neglect of demands like justice and mercy and
faithfulnees meant that in the last resort they followed their own inclinations, not the law
of God. They rejected the divine demands in the place where those demands were most
significant,in the region of the heart. Because in their innermost being they refused to
submit to the law of God, in the fullest sense of the term they were lawless.122
Penjelasan Morris di atas memperlihatkan bahwa kehidupan orang Farisi dikatakan penuh
dengan kedurjanaan, karena mereka menolak hukum Allah dalam hati mereka. dengan demikian
mereka disebut sebagai orang-orang durjana. Jadi dapat dilihat bahwa kehidupan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi digambarkan Yesus bagaikan kuburan yang dilabur putih karena
hidup mereka dari luar tampak benar, namun di dalam penuh kemnafikan dan kejahatan. Sejalan
These religious leaders give the appearance of having avoided unrigtheousness by their
attention to their many legal many requirements, but inwardly they are unrigteousness,
121
Matthew (NIBC; Peabody: Hendrickson, 1991) 218
122
The Gospel According 585.
49
for they have not attended to the transformation of the heart that can come by responding
to Jesus.123
Wilkinks kembali menegaskan bahwa pada dasarnya ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
penuh dengan ketidakbenaran di dalamnya, sekalipun dari luar tampak benar dengan berbagai
peraturan yang mereka lakukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam ucapan celaka yang
keenam ini, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menampilkan diri
mereka tampak saleh dengan segala aturan-aturan yang mereka lakukan, namun di dalam diri
mereka, terdapat kemunafikan dan kejahatan. Ini menunjukkan hidup mereka yang hanya
Ucapan celaka yang diucapkan Yesus mencapai klimaksnya pada ucapan celaka yang
ketujuh. Ia mengecam tindakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang membangun
makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh serta berkata bahwa mereka tidak
akan melakukan pembunuhan para nabi Allah, jika mereka hidup di zaman para leluhur mereka.
Menurut Morris membangun makam para nabi di sini merupakan tindakan yang dilakukan orang
Farisi untuk menghormati nabi yang diutus Allah pada zaman dahulu yang tidak mendapatkan
penghormatan yang baik dalam cara penguburan mereka. Sedangkan, memperindah tugu orang
saleh dilakukan untuk menghormati orang saleh yang pada masa lampau dikenal sebagai orang
yang memberi diri untuk melayani Allah dalam hidupnya.124 Dengan melakukan hal ini, orang
Farisi memperlihatkan bahwa mereka menghormati utusan Allah dan kemudian menyangkal
bahwa mereka tidak akan terlibat dalam pembunuhan nabi-nabi tersebut jika mereka hidup pada
zaman leluhur mereka. Jadi, tampaknya tindakan membangun makam para nabi dan
memperindah tugu orang-orang saleh merupakan cara yang mereka lakukan untuk dapat
123
Matthew 755.
124
The Gospel According to 586.
50
memproklamsikan bahwa mereka lebih baik dari pada orang-orang yang telah membunuh para
Yesus kemudian menyatakan bahwa apa yang diklaim oleh ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi mengenai pembunuhan para nabi oleh leluhur mereka, justru menjadi kesaksian
terhadap diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah keturunan para pembunuh tersebut. Osborne
menjelaskan bahwa kata “kamu bersaksi” berasal dari kata μαρτυρεῖτε. Kata ini menekan sifat
yang terus-menerus, yang berlanjut dari tindakan mereka. Frasa “terhadap kamu sendiri”
(ἑαυτοῖς yang berarti “against yourselves”) menggambarkan orang-orang Farisi yang berdiri
bersaksi menentang klaim mereka sendiri. Jadi, klaim mereka dalam ayat 30 menyaksikan
bahwa mereka adalah keturunan para pembunuh nabi Allah, dan dengan demikian mereka
menjadi bersalah karena mereka adalah keturunan para pembunuh.126 Sejalan dengan ini Keener
mengatakan, “Jesus’ point here is, ‘Like father, like son’; corporate sin and guilt continued
among the descendants of the wicked unless they repented (Ex. 20:5; Deut. 23:2–6; 1 Sam. 15:2–
3; Is 1:4; etc.).”127 Pernyataan ini menegaskan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
tetap berada dalam garis yang sama dengan para leluhur mereka, karena mereka sendiri belum
bertobat. Senada dengan hal ini, Turner mengatakan bahwa penolakan mereka terhadap utusan
Allah seperti Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus itulah yang membuat mereka berada dalam
Selanjutnya dalam ayat 32 Yesus berkata kepada mereka, “Jadi penuhilah juga takaran
nenek moyangmu!” Menurut Osborne ada dua tingkat pengertian di sini. Dalam tingkat yang
pertama, perkataan “jadi penuhilah” (you fill up) menunjukkan bahwa orang-orang Farisi harus
125
Ibid. 586.
126
Osborne, Exegetical 854.
127
IVPBible Background 110.
128
The Gospel of Matthew 877.
51
“menyelesaikan” apa yang telah dimulai oleh leluhur mereka, yaitu pembunuhan para utusan
Allah. Kemudian “takaran” (measure) berarti “takaran dosa,” dengan gambaran mengukur
bejana yang diisi secara perlahan hingga penuh. Ketika itu penuh, maka Allah akan bertindak di
dalam penghukuman. Hal ini dikatakan Osborne memimpin kepada tingkat yang kedua, yaitu
belas kasihan Allah yang hanya ditunjukkan sampai sejauh itu saja. Ia menyatakan bahwa ada
batas tertentu dari kejahatan di mana setelah sampai pada batas tersebut, Allah akan bertindak.
Ketika batas tersebut sudah “mencapai takaran yang penuh,” maka murka Allah akan dilepaskan
(Kej 15:16; 1 Tes. 2:16).129 Sejalan dengan ini, Hagner menyatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi akan menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh para leluhur mereka dengan
melakukan pembunuhan terhadap Sang Mesias (bdk. Kis. 7:52 dan 1 Tes. 2:15-16).130 Dengan
demikian, mereka akan mendapatkan penghukuman yang dinyatakan Yesus dalam ayat 33-36.
Menurut Wilinks, ucapan celaka ketujuh di atas memperlihatkan kontras antara tindakan
para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mencari hal-hal yang dari luar tampak benar dengan
motivasi yang jahat yang terdapat dalam diri mereka. Mereka menghormati para nabi dengan
membangun makam dan tugu. Mereka juga menyangkal akan ikut serta dalam pembunuhan
nabi-nabi jika mereka hidup di masa leluhur mereka. Padahal dalam hati, mereka sedang
mencari cara untuk menyingkirkan Yesus. Jadi, klaim yang mereka nyatakan hanya akan
menjadi sebuah kebohongan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ucapan celaka ketujuh
ini menunjukkan kecaman Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang klaim
mereka yang tidak sama dengan tindakan mereka. Mereka menghormati para nabi dengan
membangun makam dan mereka menyatakan bahwa tidak akan melakukan pembunuhan
terhadap utusan Allah. Padahal, dalam waktu yang sama mereka telah menolak utusan Allah
129
Exegetical 854-855
130
Ibid. 672.
52
yang tertinggi, yaitu Anak-Nya, Yesus Kristus Sang Mesias. Oleh karena itu mereka tidak akan
KESIMPULAN
Berdasarkan penguraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pertama, ucapan celaka
yang pertama dan kedua merupakan kecaman Yesus atas kegagalan ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi untuk menuntun orang masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Ucapan celaka yang
pertama memperlihatkan bahwa pengajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi harusnya
menjadi kunci agar orang dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Namun, pengajaran mereka
yang salah dan penolakan mereka terhadap Yesus, menyebabkan mereka gagal menuntun orang
ke dalam Kerajaan Sorga. Ucapan celaka yang kedua memperlihatkan tujuan ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi yang salah dalam mempertobatkan seseorang. Mereka berusaha keras untuk
mereka. Dengan demikian mereka menjadikan orang tersebut menjadi sama seperti mereka,
yang jatuh ke dalam pengajaran yang salah dan penolakan terhadap Yesus. Ini membuktikan
kegagalan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai pengajar hukum Allah untuk
Kedua, ucapan celaka ketiga dan keempat memperlihatkan kegagalan ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi dalam mengajarkan dan melakukan hukum Allah. Ucapan celaka ketiga
menunjukkan bahwa Yesus menentang pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang
menyatakan sebagian sumpah dipandang mengikat dan sebagian lagi tidak. Mereka mengajarkan
dan melakukan sumpah dengan pemahaman yang salah. Dalam ucapan celaka keempat, Yesus
menegur ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang melakukan aturan-aturan detail dalam
53
hukum Taurat, tetapi gagal dalam mengerti dan melakukan esensi terpenting Taurat. Mereka
melakukan perintah yang satu namun mengabaikan yang lain. Dengan demikian mereka
celaka ini memperlihatkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai pengajar-pengajar
Ketiga, melalui ucapan celaka yang kelima, keenam dan ketujuh, Yesus memperlihatkan
kegagalan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk memiliki kehidupan yang otentik.
Ucapan celaka kelima dan keenam sangat jelas menggambarkan kontras antara sebelah dalam
dan sebelah luar diri mereka. Dari luar mereka “mendandani” diri mereka dengan berbagai
peraturan yang mereka lakukan agar terlihat saleh dan benar, namun dari dalam mereka penuh
dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Ucapan celaka ketujuh juga menunjukkan tindakan
mereka yang tidak sama dengan apa yang mereka katakan. Mereka membangun makam para
nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata tidak akan melakukan pembunuhan
yang sama seperti yang dilakukan para leluhur mereka. Padahal, penolakan mereka terhadap
Yesus telah menunjukkan penolakan mereka terhadap utusan Allah, yang berakhir pada peristiwa
pembunuhan-Nya. Jadi dengan kata lain, kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang
digambarkan Yesus dalam tiga ucapan celaka yang terakhir adalah kehidupan yang penuh
kemunafikan Mereka selalu ingin terlihat tampak saleh dan benar dari luar, namun di dalamnya
mereka penuh dengan ketidakbenaran. Dengan demikian, hidup mereka penuh dengan
54
BAB III
Guru Kristen tentu mendapat berbagai tantangan ketika ia mengajar di sekolah. Oleh
karena itu dalam bagian ini penulis akan menguraikan apa yang menjadi tantangan yang dihadapi
guru Kristen di sekolah. Namun, untuk menghindari pengertian yang salah mengenai istilah
“guru Kristen” (karena mengandung beberapa segi pengertian), penulis akan terlebih dahulu
Menurut B. S. Sidjabat dapat dipahami dari tiga segi, yakni: pertama, “guru dalam
perspektif Kristen”; kedua, “guru yang Kristen”; dan ketiga, “guru yang hanya memberi
pengajaran yang berkaitan dengan iman Kristen” di gereja, sekolah dan tempat pelayanan
lainnya. Sidjabat menjelaskan bahwa arti yang pertama menyangkut pembahasan umum tentang
guru serta seluk-beluk keguruan dari sudut pandang iman Kristen. Dalam arti yang kedua, “guru
yang Kristen” lebih berkaitan dengan identitas atau jati diri serta peranan guru sebagai orang
Kristen. Tidak tergantung di mana dan dalam bidang studi apa ia melayani. Lalu, arti terakhir
ialah “guru yang mengajarkan iman Kristen.” Pengertian ini memberi kesan lebih sempit tentang
lingkup tugasnya. Jika istilah “guru Kristen” hanya merujuk kepada mereka yang mengajarkan
agama Kristen, berarti mereka secara khusus, menggeluti pekerjaan itu.131 Dalam bagian penulis
akan membahas tentang guru Kristen berdasarkan pengertian dari segi yang kedua, yaitu guru
yang memiliki identitas dan jati diri sebagai orang Kristen dan menjalankan perannya sebagai
orang Kristen dalam profesinya. Byrne menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa guru atau
131
Menjadi Guru Profesional: Sebuah Perspektif Kristiani (Bandung: Kalam Hidup, 1994) 35.
55
pengajar Kristen adalah “pendidik Kristen.” Istilah “pendidik” dan “seorang Kristen” (christian)
dapat menyatakan fungsi dari guru Kristen. Sebagai pendidik, fungsi dari guru Kristen adalah
memenuhi mandat Allah untuk mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan dan pedagogi
dalam seluruh proses edukasi. Sedangkan sebagai seorang Kristen, fungsi dari guru Kristen
adalah untuk menyatakan Allah melalui pengajaran dan hidupnya. Dia menyaksikan
bahwa seorang guru Kristen adalah seorang guru yang memenuhi mandat Allah untuk mengajar
sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan untuk menyatakan Allah melalui hidup dan
pengajarannya yang mendemonstrasikan keserupaan dengan Kristus. Atau dengan kata lain guru
Kristen adalah seorang guru yang menjalankan kehidupannya sebagai aktualisasi dari iman
percayanya.132
Dengan mengacu kepada definisi di atas, penulis akan melihat tantangan-tantangan yang
dihadapi seorang guru Kristen dalam menjalankan perannya di sekolah. Tantangan tersebut
antara lain tantangan dari filsafat pendidikan modern, perkembangan teknologi, sistem
Menurut Roger White, setiap orang yang terlibat di dalam pendidikan pasti memiliki
pemahaman tentang apa itu pendidikan dan bagaimana hal itu berjalan. Ia mengatakan bahwa
orang-orang mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang apa yang menjadi tujuan, sasaran
dan metode di dalam pendidikan. Keyakinan mereka tentang natur dari pendidikan tersebut
membuat mereka memiliki asumsi-asumsi dasar yang berbeda mengenai sebuah subjek di dalam
132
“Guru Kristen: ‘Guru-High Impact’ dalam Transformasi 3/1 (Februari 2007) 112.
56
pendidikan. Keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dan bagaimana mereka menjalankannya
Lebih lanjut White menjelaskan bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya terbentuk dari
filsafat hidup pada umumnya. Apa yang dipercayai seseorang tentang kehidupan akan
seperti identitas, masalah-masalah kehidupan dan kondisi manusia berdasar pada cara pandang
hidup seseorang. Jadi, bagaimana seseorang memberi perhatian terhadap realitas, dunia,
manusia, kematian, pengetahuan, etika dan sejarah akan menegaskan dasar hidup atau worldview
filsafat pendidikan.
Robert W. Pazmino melihat fungsi filsafat pendidikan dengan berkata bahwa filosofi
bahwa hal ini menjadi krusial karena pendidikan adalah buah dari akar filosofinya.135 Ini artinya,
filsafat pendidikan akan menjadi “pemandu” bagi berjalannya proses pendidikan. Sejalan
133
“Philosophy of Education” in Evangelical Dictionary 535.
134
Ibid.
135
Fondasi Pendidikan Kristen (Bandung: STTB, 2012) 110.
136
Philosophy and Education: An Introduction in Christian Perspective (Berrien: Andrew, 2006) 5.
57
Dengan demikian penjelasan di atas menegaskan bahwa pada dasarnya filosofi pendidikan
menjadi penting karena filosofi pendidikan menjadi dasar atas praktek pendidikan yang sangat
Dalam dunia modern, filsafat pendidikan berkembang dengan berbagai macam bentuk
dan penekanannya. Nicholas P. Wollterstorff mengemukakan ada dua teori yang berkembang
sebagai ideologi pendidikan di dunia modern saat ini, khususnya di dunia barat. Kedua teori
tersebut adalah maturasi dan sosialisasi. Teori maturasi memiliki konsep pendidikan yang
berpusat pada pemuasan diri anak. Pemuasan tersebut bisa merupakan keinginan, minat, dan
motivasi yang harus dipuaskan dalam proses pendidikan. Pemikiran utamanya adalah anak akan
paling bahagia bila mereka berpeluang tumbuh bebas tanpa kekangan dalam lingkugan yang
mendukung. Jadi, menurut teori ini, tugas pendidikan adalah berupaya untuk mencapai
kepuasaan itu dengan cara apa pun. Teori-teori dasarnya adalah: (1) setiap pribadi terlahir
dengan beraneka ragam keinginan, minat dan motivasi alami; (2) kesehatan jiwa dan
kebahagiaan hanya dapat tercapai apabila keinginan-keinginan alami ini diberi kebebasan untuk
menemukan kepuasannya dalam lingkungan alami dan sosial; (3) kesehatan jiwa dan
dan kepuasan anak di dalam pendidikan, maka teori ini menyatakan bahwa memaksakan
keinginan dan pengharapan orang-orang lain pada seseorang adalah hal yang harus dihindari.
Maka, tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan yang memberi keleluasan pada anak dan
sarana yang dapat memuaskan keinginan dan minat anak. Oleh karena itu, teori maturasi ini
berhaluan antinomianisme atau egoisme etis. Dalam pandangan antinomian, tidak ada penerapan
kategori benar dan salah: tidak ada hal yang benar atau salah. Dalam egoisme etis, ada
58
penerapannya, tetapi apa yang benar bagi orang tertentu hanya berupa apa yang memuaskan
keinginan dan minatnya. Diri sendiri yang impulsif dan mempunyai keinginan itulah yang
menjadi normanya.137
Teori yang selanjutnya adalah adalah teori sosialisasi. Teori ini memiliki konsep yang
berlawanan dengan teori maturasi. Jika teori maturasi memandang pendidikan sebagai proses
pandangan bahwa pendidikan bertujuan membentuk atau mencetak anak sedemikian rupa,
sehingga dia kelak mampu bersosialisasi. Oleh karena itu, anak perlu ditanamkan peraturan-
peraturan dan peran-peran dari masyarakat sekelilingnya sehingga mereka dapat menjadi anggota
masyarakat yang berfungsi dengan baik dan mampu berkontribusi. Jadi, fokus pendidikan dari
teori ini berpusat pada masyarakat. Pendidikan dianggap sebagai sarana masyarakat untuk
mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya sebagai organisme yang berfungsi dengan baik.
Para teoretikus sosialisasi yakin bahwa pendidikan harus mendorong anak agar menyerap ciri-
ciri mental, emosional dan perilaku masyarakat mereka. Jadi, para teoretikus sosialisasi
berpendirian bahwa pendidik harus memperkenalkan anak dengan berbagai pengharapan atas
peran sosial dan memperlengkapi mereka untuk “memainkan” sekumpulan peran tertentu.
Sasaran mereka adalah memperlengkapi anak untuk posisi dan kewajiban mereka dalam
masyarakat. Untuk menemukan peran sosial anak tersebut, maka anak harus dilatih melalui
disiplin, bukan diberikan kebebasan. Teori normatif yang mengiringi pendidikan ini adalah
relativisme kebudayaan, di mana hukum-hukum normatif yang berlaku bagi anggota masyarakat
yang satu berbeda dari masyarakat yang lain. Itu disebabkan karena standar moral hanyalah
137
Mendidik untuk Kehidupan (Surabaya: Momentum, 2004) 114-116.
59
tindakan apa yang dianggap benar oleh masyarakat itu. Itu artinya, norma-norma moral adalah
peraturan sosial. Maka, tidak masul akal untuk bertanya apakah peraturan itu benar.138
Selain teori di atas, masih ada ragam bentuk filsafat pendidikan modern. Pazmino
yang menekankan pengolahan kekuatan rasional dan keunggulan akademis. Filsafat ini melihat
pendidik sebagai sarjana akademis (filsuf) yang memiliki keunggulan dalam beragam bidang
pengetahuan, sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk rasional yang perlu
serta transmisi dan asimilasi dari sekian mata pelajaran yang wajib sifatnya. Pendidik teladan
bagi filsafat ini adalah seorang yang mengerti kesusastraan dan ilmu pengetahuan, yang
mengikuti perkembangan zaman modern dan yang telah mencapai tingkat seorang ahli dalam
bidang kompetensinya. Sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk rasional yang
menguasai fakta-fakta yang esensial dan berbagai keterampilan yang menunjuang disiplin
intelektualnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan secara fisik dan sosial.
Ketiga, behaviorisme yang menekankan pembentukan manusia agar berfungsi secara efektif,
ekonomis, tepat, dan objektif. Filsafat ini memandang pendidik sebagai teknisi yang terampil,
pemahat manusia dan lingkungannya. Sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk yang
sangat mudah dibentuk untuk diarahkan dengan jelas dan pasti agar berfungsi secara optimal.
Keempat, progresivisme yang mendukung perkembangan pemikiran yang reflektif dalam rangka
penyelesaian masalah sosial, hubungan demokratis, dan pertumbuhan. Pendidik bukan dilihat
sebagai pemimpin kelas yang otoriter, namun sebagai pemimpin yang peduli pada kemajuan,
peserta didik. Kemudian, peserta didik itu sendiri dilihat sebagai rekan pembelajar, pengelana,
138
Ibid. 116-118.
60
dan pembimbing yang memfasilitasi proses pembelajaran kelompok. Kelima,
rekonstruksionisme yang memiliki tujuan untuk membangun susunan masyarakat yang ideal dan
adil, di mana orang-orang dibebaskan dan dapat menjadi apa saja sesuai yang mereka kehendaki.
Pendidik dalam pandangan ini dilihat sebagai orang yang subversif, kritikus sosial dan pengatur
komunitas yang berusaha memunculkan kesadaran orang lain menuju terjadinya perubahan yang
dibutuhkan. Peserta didik dipandang sebagai agen perubahan yang berpotensial untuk
berkomitmen dan terlibat dalam membangun pembaruan dan pengarahan masyarakat secara
mengembangkan potensinya dengan tujuan aktualisasi diri. Di sini, pendidik dipandang sebagai
pemimpin visioner yang memberikan ruang bagi penemuan diri sendiri dan eksplorasi oleh orang
lain. Sedangkan, peserta didik dilihat sebagai bunga yang masih kuncup yang tidak terbebani
makna keberadaan seseorang dalam merealiasikan jati dirinya. Filsafat ini melihat pendidik
sebagai rekan pencari dan rekan seperjalanan bagi peserta didik dalam pencarian makna tadi.
Sejalan dengan ini, maka peserta didik dilihat sebagai orang-orang yang sedang mencari makna
tentang keberadaan diri mereka sendiri dan terbuka terhadap penelitian dan eksplorasi.139
Berdasarkan penguraian di atas, dapat dilihat bahwa filsafat umum yang membentuk
filsafat pendidikan berkembang dengan luas dalam dunia modern. Setiap filsafat pendidikan
pendidik, dan peserta didik. Maka dari itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana
filsafat pendidikan modern yang telah diuraikan di atas menjadi tantangan tersendiri bagi guru-
guru Kristen?
139
Fondasi 158-166.
61
George R. Knight mengatakan bahwa kebanyakan filsafat dan teori-teori yang ada
memiliki elemen-elemen yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Tidak ada satu pun dari
rekonstruksionisme dan idealisme yang benar-benar berdasar pada filsafat pendidikan Kristen.140
berkembang belum tentu selaras dengan apa yang diajarkan Alkitab. Oleh karena itu, pendidik
pendidik Kristen harus melihat setiap filsafat atau teori pendidikan yang berkembang
berdasarkan filosofi Kristen yang berbasis pada firman Tuhan. Ini sejalan dengan pendapat
Pazmino yang mengatakan bahwa tantangan bagi pendidik Kristen adalah menyusun suatu
filosofi pendidikan yang bersifat ekspilisit dan konsisten dengan cara pandang Kristiani.142
perkembangan teknologi. Dalam lima dekade terakhir ini teknologi berkembang semakin pesat,
khususnya teknologi komunikasi dan media massa.143 Teknologi komunikasi yang semakin
canggih memudahkan seseorang untuk terhubung satu sama lain dari tempat yang jauh
sekalipun. Sedangkan media massa yang berkembang saat ini semakin memudahkan orang-
Di masa lalu, media massa adalah media di mana komunikasi dikirimkan dari dari satu
sumber kepada sejumlah besar penerima proses komunikasi tadi. Jadi, media massa pada
140
Philosophy and Education 166.
141
Ibid. 166.
142
Fondasi 110.
143
Robby I. Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006) 17.
62
waktu itu harus dipahami mencakup surat kabar, radio dan televisi. Kini dengan hadirnya
internet dan handphone, maka muncullah proses komunikasi yang memungkinkan
seorang pengirim pesan menyampaikan berita kepada beberapa penerima komunikasi.
Namun karena kecanggihan teknologinya, dimungkinkan juga dalam proses ini, berbagai
pihak mengirim pesan ke berbagai pihak atau ke satu individu. Untuk internet, proses
serupa itu dapat berjalan serempak, sedangkan untuk handphone prosesnya terjadi
bergantian. Jadi, handphone dan internet harus tercakup juga sebagai media massa,
karena mengandung fitur media massa di masa lalu.144
Jadi, dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan media massa membuat orang
semakin mudah untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dengan lebih cepat.
Perkembangan teknologi yang seperti inilah yang kemudian mempengaruhi dan menjadi milik
pemakaian teknologi. Generasi ini disebut dengan generasi echo boomerang, yaitu mereka yang
lahir setelah tahum 1984. Sebutan tersebut didasari oleh ukuran jumlahnya yang besar, yaitu
mendekati 30% dari seluruh populasi dunia. Sebutan lain yang diberikan para ahli kepada
generasi ini adalah bridgers yang secara harafiah merujuk kepada fakta mereka terlahir di antara
peralihan milenium, yaitu dari abad 20 ke abad 21.145 Hellen Chou Pratama menuliskan bahwa
generasi ini terdiri dari dua sub-grup, yaitu generasi Y sebagai urutan logis dari kelanjutan
generasi X yaitu kelompok orang yang lahir tahun 1984-1993 dan Millenials kelahiran 1994-
2002 yang menempatkannya pada posisi terdepan di abad 21. Selain itu, Pratama juga
mengatakan bahwa saat ini satu angkatan lain sedang bertumbuh menjadi sebuah generasi baru
yang disebut-sebut sebagai generasi Z (Platinum), yaitu kelompok kelahiran setelah tahun 2002
144
Chandra, Pendidikan 18.
145
Helen Chou Pratama, Cyber Smart Parenting (Bandung: Visi Anugerah Indonesia, 2012) 34-35.
63
yang bertumbuh dalam era ketika berbagai temuan dan inovasi teknologi digital sedang
Dalam bukunya Cyber Smart Parenting, pratama menyebut generasi yang lahir setelah
tahun 1984 (echo boomerang) sampai generasi Z sebagai Generasi Digitial. Dia memberikan
sebutan ini dalam sorotannya yang melihat pada satu kesamaan karakterisik yang menjadi
keunikan generasi tersebut, yakni dalam keahlian dan kecintaan generasi tersebut pada media
digital/komputer. Mereka adalah anak-anak yang lahir dan bertumbuh bersama kemajuan
teknologi digital dengan jaringan internet. Multimedia digitial menjadi bagian hidup mereka
Pratama menjelaskan ciri khas dari Generasi Digital adalah pertama, pelahap media
(mediavora). Dalam kehidupan sehari-harinya, hampir tidak ada waktu yang mereka lalui tanpa
menyentuh salah satu media. Misalnya, handphone canggih (yang dikenal dengan nama
Blackberry [BB]), Ipod, tablet, ataupun note book dan lain sebagainya. Kedua, multi-tasking. Ini
adalah kemampuan mereka untuk memikirkan ataupun melakukan beberapa aktifitas di saat yang
mempersiapkan ulangan sambil mendengar musik. Ketiga, hiper-koneksi. Mereka ingin selalu
terhubung dengan baik dalam beberapa sambungan jaringan di saat bersamaan. Keempat,
keterbukaan yang tumbuh dalam generasi ini menyebabkan mereka menjadi sangat ekspresif dan
komunikatif. Tidak sulit bagi generasi ini untuk menumpahkan apa yang dirasakan dan
dipikirkan seketika itu juga. Keenam, interaktif. Generasi Digital membangun hidup dan
146
Ibid. 35.
147
Ibid.
64
kehidupan mereka dengan topangan “jaringan” dan kebutuhan besar untuk bisa terkait dengan
menjadi bagian dari komunitas tertentu. Mereka ingin dilibatkan dan terlibat, sehingga pola
Dengan teknologi digital yang terus melekat dalam kehidupan generasi sekarang, maka
teknologi tersebut memberikan dampak-dampak yang positif dan negatif. Dampak positifnya
adalah generasi sekarang ini menjadi generasi yang canggih (mahir dengan teknologi), kreatif,
berjejaring global untuk membuatnya dikenali atau dengan kata lain “memasarkan diri”).
Sedangkan dampak negatifnya adalah mereka dengan mudah mengkonsumsi games dan
tayangan-tanyangan dalam media yang berbau kekerasan dan seks yang kemudian mereka
lakukan dalam kehidupannya. Mereka juga dapat dengan mudah terjebak dalam pornografi dan
pemangsa maya. Pratama mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi pertama yang
memiliki akses point and click pada pornografi, mereka tidak perlu lagi merisikokan diri untuk
mencuri-curi mengintip, membeli majalah ataupun video porno, semua tersedia begitu mudah
dan bisa diakses di mana saja baik melalui komputer ataupun smatphone yang dimilikinya.149
Lebih dari itu mereka sangat rawan dijebak oleh “pemangsa maya,” yaitu orang yang mereka
jumpai di dunia maya. Orang tersebut biasanya akan mengajak anak untuk melakukan aktivitas
yang berhubungan dengan pornografi. Dampak negatif selanjutnya adalah adanya keterbukaan
yang menjadi ketelanjangan bagi Generasi Digital. Mereka dengan mudahnya membagikan
informasi yang sangat pribadi kepada dunia melalui media sosial seperti Facebook dan
Twitter.150 Jadi, dapat dilihat bahwa teknologi yang semakin berkembang memang membawa
dampak-danpak positif dalam kehidupan generasi sekarang ini, namun sekaligus memberikan
148
Ibid. 39-42
149
Ibid. 68.
150
Ibid. 76-79.
65
dampak negatif yang kemudian menjadi tantangan besar bagi para guru Kristen yang melayani di
sekolah.
Dengan melihat perkembangan teknologi di atas, maka dapat disimpulkan apa yang
menjadi tantangan bagi para guru Kristen pada masa sekarang ini. Pertama, kehidupan generasi
sekarang yang sangat sarat dengan teknologi “memaksa” para guru Kristen untuk bukan hanya
menguasai materi pengajaran, tetapi juga harus mampu menguasai teknologi. Seperti pendapat
pendidikan perlu dikuasai oleh para guru. Penguasaan teknologi menjadi tantangan bagi para
guru Kristen.
Kedua, guru Kristen menghadapi tantangan besar dari nilai-nilai yang dilahirkan oleh
perkembangan teknologi. Bangkitnya kesadaran pluralisme dan menguatnya pola pikir relativis
yang bertumbuh dalam era keterbukaan generasi sekarang ini, membuat mereka di satu sisi
menempa sikap toleran terhadap perbedaan, namun di sisi yang lain mereka memandang
kebenaran bersifat relatif dan subjektif. Konsekuensinya mereka berada di bawah ancaman
kehilangan kompas moral; daya pindai terhadap apa itu “benar” dan “salah”; cenderung anti
“otoritas,” serta terbuka menerima perbedaan, moral dan pandangan (inklusif).152 Maka dari itu,
151
Guru Profesional 37-38.
152
Chou, Cyber 41.
66
tantangan bagi guru Kristen yang dipanggil Allah sebagai saksi Kristus di sekolah adalah
bagaimana mengajarkan iman Kristen yang eksklusif dan nilai-nilai Kristen yang alkitabiah
Ketiga, guru-guru Kristen ditantang untuk melayani generasi yang sangat rawan terjatuh
dalam kecanduan pornografi dan praktek-praktek kekerasan yang merupakan buah dari teknologi
yang digunakan generasi tersebut. Guru Kristen ditantang untuk membimbing mereka
menggunakan teknologi untuk hal-hal yang baik dan membangun, sehingga anak didik mereka
Menurut McAshan, sistem merupakan strategi yang menyeluruh atau rencana yang
dikomposisi oleh satu set elemen yang harmonis dan merepresentasikan kesatuan unit, di mana
elemen itu mempunyai tujuan sendiri yang semuanya berkaitan terurut dalam bentuk yang
logis.153 Sementara itu Immegart berpendapat bahwa esensi sistem adalah suatu keseluruhan
yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis. Bagian-bagian itu berelasi satu
dengan yang lain, serta peduli terhadap konteks lingkungannya.154 Oleh karena itu, menurut
Made Pidarta, sistem itu memiliki keteraturan. Sistem terdiri dari beberapa sub-sistem dan setiap
sub-sistem mungkin terdiri dari sub-sistem yang terdiri beberapa sub-sub sistem.155 Jadi, sistem
merupakan suatu strategi yang menyeluruh, atau rencana yang dikomposisi oleh satu set elemen
153
Sebagaimana dikutip Made Pidarta, Landasan Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) 27, dari
Comprehensive Planning for School Administrations (Boston: Little Brown and Company, 1977) -.
154
Ibid.
155
Ibid.
67
Semua yang ada di dunia bisa dipandang sebagai suatu sistem. Misalnya, tata surya,
bumi, negara, manusia, peredaran darah, bahkan satu biji gigi dapat dipandang sebagai suatu
sistem.156 Demikian juga halnya dengan pendidikan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang
biasanya disebut dengan sistem pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
sistem pendidikan sebagai keseluruhan yang terpadu dari satuan kegiatan pendidikan yang
berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan pendidikan.157 Berdasarkan definisi ini dapat
dilihat bahwa sistem pendidikan merupakan suatu susunan yang teratur dari berbagai kegiatan
Melihat penjelasan di atas, maka pada dasarnya setiap sekolah bisa saja memiliki
perumusan dan pelakasanaan sistem pendidikan yang berbeda-beda, bergantung dari tujuan yang
hendak dicapai sekolah tersebut. Oleh sebab itu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru
Kristen. Dalam bagian ini, penulis akan menguraikan tantangan secara umum yang dihadapi
guru Kristen dari sisitem pendidikan. Penulis akan menguraikan tantangan yang dihadapi guru
Kristen dari dua sistem pendidikan yang berbeda, yaitu sistem pendidikan sekolah Kristen
Sekolah Kristen merupakan sebuah sekolah yang berdasar pada pendidikan Kristen.
Menurut Werner C. Graendon, pendidikan Kristen adalah adalah proses belajar-mengajar yang
berdasarkan Alkitab dan dimampukan oleh Roh Kudus (berpusat kepada Kristus). Lebih lanjut
pertumbuhan lewat berbagai cara pengajaran kontemporer ke arah pengenalan dan pengalaman
akan rencana dan tujuan Allah melalui Kristus dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan
Kristen juga meperlengkapi mereka bagi pelayanan yang efektif, dengan keseluruhan fokusnya
156
Ibid. 28.
157
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “sistem-pendidikan” (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994) 951.
68
pada keteladanan Kristus Sang Guru Agung dan Amanat Agung-Nya dalam menghasilkan
Kudus dan berpusat kepada Kristus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan
yang dijalankan di sekolah Kristen adalah sistem pendidikan yang berbasis pada Alkitab dan
Dengan menjalankan sistem pendidikan yang berbasis pada Alkitab, maka guru-guru
Kristen yang melayani dalam sekolah-sekolah Kristen mendapatkan tantangan tersendiri. Harro
Van Brummelen dalam menjelaskan peran guru sebagai nabi mengatakan bahwa bahwa peran
nabi ini meminta mereka untuk mempunyai pengetahuan yang utuh tentang apa yang mereka
ajarkan dan mempunyai kemampuan untuk menafsirkan pengetahuan seperti itu secara jelas dan
benar.159 Ia juga mengatakan bahwa Allah memanggil guru untuk membantu siswa
mengembangkan wawasan, kemampuan, watak yang diperlukan untuk melayani Allah dan
kerajaan-Nya dalam semua aspek kehidupan mereka di dalam masyarakat. Guru perlu
membimbing dalam kebenaran. Oleh karena itu, mereka mencari kehendak Allah untuk isi
kurikulum mereka dan mencari jalan bagaimana mereka mengajarkannya.160 Ini artinya guru
Kristen harus benar-benar memahami kebenaran yang diajarkannya dan bagaimana cara
mengajarkannya. Guru Kristen dituntut untuk memiliki pemahaman yang luas dan utuh akan
pengetahuan yang diajarkannya. Lebih dari itu, guru Kristen perlu mempelajari dan memahami
pengajaran Kristen agar supaya mereka dapat mengaplikasikannya dalam situasi sekolah.
Mereka perlu mendorong murid-murid memenuhi panggilan mereka, bukan hanya untuk masa
158
Sebagaimana dikutip Pazmino, Fondasi Pendidikan 118-119 dari Introduction to Biblical Christian
Education (Chicago: Moody, 1981) 16.
159
Batu Loncatam Kurikulum (Tangerang: UPH, 2008) 10.
160
Ibid.
69
depan, tetapi sekarang dan hari ini. Mereka harus menolong anak-anak menjangkau sesama
yang juga dipanggil Allah untuk taat.161 Jadi, tantangan yang dihadapi guru Kristen dalam
sistem pendidikan dalam sekolah Kristen adalah dibutuhkannya pengetahuan yang lebih
mengenai Alkitab dan doktin-doktrin dari iman Kristen untuk dapat diintegrasikan dalam disiplin
mendapat tantangan yang lebih besar ketika harus masuk ke dalam sistem tersebut. Sekolah
umum biasanya dikenal dengan sekolah yang didukung oleh negara dengan tujuan mendidik
murid-murid dari suku mana pun dengan kemampuan seperti apa pun. Atau bisa juga merujuk
kepada sekolah yang tidak memiliki atau berkaitan dengan worldview atau perspektif religius
tertentu.162 Dengan kata lain, sekolah umum bisa dilihat sebagai sekolah yang mendapat
dukungan langsung dari pemeritntah atau sebuah sekolah yang mengesampingkan pandangan-
Salah satu pelopor awal dari sekolah umum adalah Horace Mann (1796-1859). Dia
merupakan seorang pendidik Amerika yang memiliki keyakinan bahwa pendidikan harus bebas,
universal, nonsecterian, berpusat pada memotivasi pembelajar dan percaya terhadap guru
profesional. Keyakinannya ini berpusat pada enam dalil pokoknya, yaitu pertama, sebuah
negara republik tidak boleh menyisakan kebodohan dan kebebasan. Maka dari itu, dibutuhkan
pendidikan yang umum bagi semua orang. Kedua, masyarakat harus membayar, menyokong dan
kepercayaan mereka bagi generasi yang akan datang. Ketiga, pendidikan yang terbaik bukan
161
Harro Van Brummelen, Berjalan Bersama Tuhan di Dalam Kelas (Surabaya: ACSI, 2011) 10.
162
Julia K. Stronks and loria Goris Stronk, Christian Teacher in Public School (Grand Rapids: Baker, 1999)
12.
70
diadakan dalam sebuah sekolah khusus yang melayani anak-anak dari satu segmen tertentu,
melainkan pada sekolah umum yang dapat merangkul semua anak dari berbagai latar belakang
agama, sosial dan etnis apa pun. Keempat, pendidikan harus bermoral namun tidak sectarian di
pendidikan harus merefleksikan sebuah masyarakat yang bebas, bahkan di dalam pedagoginya,
yang bebas dari kekerasan, namun harus menanamkan kepada pembelajar sebuah hasrat untuk
belajar. Keenam, pendidikan harus dilaksanakan oleh orang-orang yang telah terlatih, yaitu para
guru profesional.163 Keenam dalil Mann di atas memperlihatkan bahwa pendidikan yang ia
harapkan adalah sebuah pendidikan tanpa pandangan-pandangan sekte atau agama tertentu.
Pendidikan yang dapat mencakup semua orang dari berbagai latar belakang yang berbeda tanpa
memihak kepada salah satu pandangan sekte atau agama tertentu yang dilaksnakan oleh seorang
guru yang profesional. Pandangan-pandangan seperti inilah yang terdapat di dalam sekolah-
Sistem pendidikan sekolah umum yang menganut pandangan seperti di atas akan menjadi
tantangan tersendiri bagi guru Kristen. Guru-guru Kristen yang sadar akan panggilan sebagai
seorang pengajar yang bukan hanya mengajarkan disiplin ilmu, namun juga mengabarkan
Kristus kepada murid-muridnya, akan sulit untuk mengerjakan panggilannya itu. Dia tidak bisa
menginjili murid-murid yang diajarnya secara langsung, karena hal tersebut melanggar hukum
dan ia akan mendapatkan sanksi jika melakukannya. Oleh sebab itu, yang menjadi tantangan
bagi guru Kristen adalah bagaimana mengabarkan Kristus sebagai saksi Allah di tengah
163
Perry G. Downs, “Mann, Horace” in Evangelical 447-448.
71
Tantangan bagi guru Kristen dari sistem pendidikan di sekolah umum bukan hanya
tentang bagaimana sulitnya mengabarkan Kristus secara verbal kepada murid-muridnya, tetapi
juga tentang bagimana menjadi garam dan terang di tengah dunia yang sekuler. Edlin
mengatakan,
Cara pertama bagi seorang guru Kristen menjadi garam dan terang di sekolah umum
adalah dengan menjadi saksi Allah di tempat itu. Dia dapat berdoa bagi para muridnya
dan rekan-rekannya, sebagai bentuk kehidupan kekristenannya. Ini berarti dia akan
menganggap semua murid dan rekannya sebagai individu-individu, dan tidak melihat
mereka semua sama saja. Dia akan membuat dirinya rela dihina demi murid-muridnya.
Ketakutan, sukacita dan kedukaan murid-muridnya akan menjadi miliknya juga.
Pelayanannya di sekolah bukan hanya di dalam kelas, namun juga di area makan siang,
halte bus, tempat bermain dan dalam konsultasi dengan orang tua. Motivasinya bukan
untuk bayaran, melainkan ia akan terus mengajar dengan kemampuan yang terbaik untuk
memperkenan hati Bapa di sorga. Dia akan memberikan para muridnya kebebasan untuk
mengambil keputusan, namun kemudian ia akan meminta mereka untuk memikirkan
konsekuensi dari keputusan tersebut. Dia akan berusaha dengan keras untuk
memperlihatkan pola keserupaan dengan Kristus di dalam semua hubungan yang ada.164
Edlin menunjukkan bagaimana hidup yang harus dijalankan seorang guru Kristen di sekolah
umum. Sejalan dengan pendapat ini, Brummelen mengungkapkan pernyataannya yang ditujukan
kepada para guru Kristen yang melayani di sekolah umum dengan berkata “Hiduplah dengan
berintegritas, melaksanakan prinsip-prinsip yang berasal dari sudut pandang Allah. Berusahalah
mendekati situasi dengan cara-cara Yesus−dengan kasih dan integritas.”165 Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi guru Kristen dari sistem pendidikan di
sekolah umum adalah menjadi saksi Kristus dengan cara memiliki hidup yang senantiasa
164
The Cause of 232-233
165
Berjalan 280.
72
TANTANGAN DARI KONDISI KELUARGA MURID
Keluarga adalah faktor yang sangat mempengaruhi murid dalam proses pendidikan.
Di dalam keluarga, anak-anak terbuka di hadapan orang tuanya dan mereka tidak
mungkin melarikan diri dari perhatian dan waktu yang sebanyak-banyaknya dari orang
tua, kecuali orang tuanya yang tidak menyediakan waktu dan tidak memperhatikan anak-
anaknya. Akibatnya orang tua sendiri menjual “hak sulung”-nya untuk mendidik anak-
anak mereka. Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang paling penting dan paling
mendasar.166
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa pendidikan di dalam keluarga menjadi penting dan
mendasar karena di dalam keluargalah anak mendapatkan waktu yang paling banyak untuk
dididik oleh orang tuanya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi sebuah keluarga akan
Dari hasil penelitian Rollins dan Thomas yang dilaporkan oleh Lewin dan Havighurst
menyatakan bahwa (1) makin besar dukungan orang tua makin tinggi tingkat perkembangan
kognitif anak; (2) makin kuat pemaksaan yang diberikan oleh orang tua maka makin rendah
perkembangan kognitif anak; (3) makin besar dukungan orang tua, makin tinggi kemampuan
sosial dan kemampuan instrumental anak; (4) makin kuat tingkat pemaksaan yang diberikan
orang tua terhadap anak-anaknya maka makin rendah kemampuan sosialnya; (5) bagi anak
perempuan besarnya dukungan dan frekuensi usaha pengawasan orang tua berkorelasi negatif
terhadap pencapaian prestasi akademik; (6) bagi anak laki-laki besarnya dukungan orang tua dan
kuatnya pengawasan orang tua berkorelasi positif terhadap pencapaian prestasi belajar. 167 Selain
itu, berbagai hasil penelitian juga melaporkan hasil penelitian hubungan orang tua dengan
keberhasilan belajar anak. Clarke dan Stewart meneliti tentang perlakuan ibu dalam hubungan
166
Arsitek Jiwa 1 (Surabaya: Momentum, 2011) 60.
167
Sebagaimana dikutip t.n., “Pengaruh Keluarga terhadap Pendidikan Anak di Sekolah,”
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_162.html#top, diakses pada 24 Oktober 2012.
73
antara ibu dan anak terhadap prestasi belajar siswa dan menyimpulkan bahwa prestasi belajar
anak dipengaruhi oleh hubungan akrab antara ibu dan anak. Dalam hubungan yang akrab itu ibu
memberi pujian dan pertolongan. Ibu juga mengajar berbagai hal seperti bekerja sama dengan
anak lain serta mengembangkan kegiatan anak. Apabila perlakuan tersebut disertai suasana
hubungan dan kasih sayang ternyata lebih meningkatkan kemampuan intelektual dari pada
penerapan disiplin yang kaku, pengawasan yang ketat, membujuk, memberi perintah, dan
larangan atau ancaman dan hukuman. Selain itu, pengaruh hubungan akrab antara ayah dan anak
juga mempengaruhi kemampuan intelektual anak. Pergaulan yang akrab antara orang tua ayah
dan anak akan mengurangi rasa takut terhadap pengaulan antara anak dengan orang-orang di luar
keluarga. Pengaruh hubungan akrab anak laki-laki dan ayahnya terhadap prestasi belajar lebih
tinggi dari pada pengaruh hubungan akrab antara ayah dan anak putri terhadap prestasi belajar.
Berdasarkan penjelasan ini dapat dilihat bahwa hubungan orang tua dengan anak dalam sebuah
keluarga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sosial dan prestasi seorang anak.168
Selain itu, kondisi ekonomi keluarga juga mempengaruhi proses pendidikan anak.
Kondisi ekonomi keluarga akan sangat menentukan ada tidaknya fasilitas pendidikan yang
diperlukan. Keluarga lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas tentu akan memiliki
fasilitas pendidikan yang berbeda-beda. Keluarga lapisan bawah tentu akan memiliki fasilitas
yang kurang lengkap bila dibanding keluarga lapisan menengah dan lapisan atas. Padahal,
kelengkapan fasilitas mempunyai dampak yang positif terbadap pengembangan kognitif anak
168
Ibid.
169
Ibid.
74
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kondisi keluarga sangat berdampak
pada diri anak dalam proses pendidikannya. Sekalipun demikian, dalam keluarga masa kini
pendidikan seorang anak. Masalah itu misalnya seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah
tangga, dan orang tua yang sibuk bekerja. Permasalahan-permasalahan seperti ini akan
mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya. Dengan demikian pendidikan di dalam
Oleh sebab itu, seorang guru punya peran yang krusial dalam melaksanakan pendidikan
Many childern and adolescents do not have the kind of parental support and guidance
they need, and often teachers are the only ones left to fill this gap. This means that
teachers are the only ones who will help these students learn to recognize the dangers of
drug use and how to deal with the violance that ia a part of daily life in and around some
schools. For many students, teachers are the only adults who will help them make wise
decisions concerning their sexuality.170
Pendapat di atas menunjukkan bahwa peran seorang guru di sekolah menjadi sangat diperlukan
karena orang tua masa kini tidak lagi menjalankan perannya untuk mendidik anak dengan baik.
Dengan demikian hal tersebut adalah bagian yang menjadi tantangan bagi guru Kristen, yaitu
170
Christian 13.
75