Anda di halaman 1dari 13

Arti Khilafah dan Perbedaannya dengan

Sistem Pemerintahan Lainnya


Liputan6.com, Jakarta Arti khilafah banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Perbincangan dan
pembahasan tentang arti khilafah terutama terjadi di Indonesia. Hal ini bisa disebabkan karena
berbagai macam isu-isu agama yang sedang berkembang dalam tahun politik dan semakin
dekatnya pemilihan presiden Indonesia.

Apa arti khilafah sebenarnya? Sistem khilafah ini diterapkan di era setelah nabi Muhammad
SAW meninggal dunia, di mana ada 4 khilafah. Sistem kekhilafahan ini adalah sistem yang
memang sangat ideal diterapkan di era awal-awal berkambangnnya agama Islam, seperti di era 4
khilafah tersebut.

Dari pengertian tersebut kita dapat membedakan sistem khilafah dengan sistem pemerintahan
lainnya seperti Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (2/4/2019).

2 dari 7 halaman

Pengertian Khilafah

Arti Khilafah secara bahasa dapat diartikan sebagai penguasa atau pemimpin, dapat juga diartikan
sebagai pengganti. Arti Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslim untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut khalifah.

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan
Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi
Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun dengan
penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu
sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.

Perbedaan Khilafah dengan Sistem Kerajaan

Dalam sistem kerajaan, yang memiliki kedaulatan (kewenangan membuat undang-undang) adalah
raja. Raja kemudian membuat undang-undang dan hukum yang akan diterapkan atas rakyatnya.
Dari aspek yang paling mendasar yaitu kedaulatan dan kekuasaan maka khilafah sangat berbeda
dengan sistem kerajaan.
Khilafah diangkat oleh umat melalui proses baiat dengan keridhaan. Calon khalifah yang muncul
berdasarkan penunjukkan, pencalonan sendiri, maupun cara yang lain baru akan sah menjadi
khalifah ketika telah mendapatkan baiat dari umat. Baiat merupakan metode pengangkatan
seseorang menjadi khalifah.

Dalam hal kedaulatan, khalifah diangkat bukan untuk membuat aturan atau hukum berdasarkan
hawa nafsunya melainkan hanya menerapkan hukum yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul SAW (syariat Islam).

Oleh karena itu khalifah bisa saja salah dan bisa dihukum yaitu ketika dia nyata-nyata
menyimpang dari ketentuan syariat Islam. Hal ini dapat juga menjadi pendukung ilmu bagi kita
dalam memaknai arti khilafah.

Perbedaan Khilafah dengan Sistem Kekaisaran

Dari aspek kedaulatan dan kekuasaan maka sistem kekaisaran sama dengan sistem kerajaan
sehingga otomatis juga sangat berbeda dengan khilafah. Berbeda dengan kerajaan, dalam sistem
kekaisaran dilakukan pembedaan pemerintahan di antara suku-suku dan bangsa di wilayah kaisar
yaitu dengan memberikan keistimewaan kepada pemerintah pusat (kekaisaran) baik dalam hal
pemerintahan, harta, maupun perekonomian. Negeri atau wilayah taklukan hanya akan menjadi
“sapi perah” bagi negeri (pusat) kekaisaran.

Dalam hal ini sistem khilafah sangat berbeda. Dalam negara khilafah tidak terdapat pembedaan
antara wilayah awal dengan wilayah yang sebelumnya ditaklukan. Ketika suatu negeri telah
bergabung ke dalam khilafah maka mereka otomatis menyatu, menjadi satu kesatuan dengan
tidak ada beda atau keistimewaan antara satu dengan lainnya.

Perbedaan Khilafah dengan Sistem Federasi

Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dengan memiliki
kemerdekaan (otonomi) sendiri, dan hanya dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum)
yang bersifat umum. Sebuah wilayah atau propinsi yang pemasukannya kecil maka akan menjadi
propinsi yang miskin, dan sebaliknya.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, khilafah merupakan negara satu kesatuan. Satu
kesatuan dalam pemerintahan, hukum, keamanan, maupun keuangan. Keuangan seluruh wilayah
khilafah dianggap satu kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan untuk kemaslahatan
seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya. Hal ini dapat juga menjadi pendukung ilmu bagi
kita dalam memaknai arti khilafah.

Perbedaan Khilafah dengan Sistem Republik

Sistem republik merupakan perlawanan terhadap sistem kerajaan atau kekaisaran yang
melakukan penindasan. Tentu dalam kedaulatan dan kekuasaan sistem republik akan berbeda
dengan sistem kerajaan maupun kekaisaran. Pada sistem republic ini, kekuasaan terbesar ada di
tangan rakyat, yang biasa juga disebut dengan demokrasi.
Dalam sistem kerajaan dan kekaisaran pembuat hukumnya adalah raja dan kaisar, sementara
dalam sistem republik pembuat hukumnya adalah rakyat (atau wakil rakyat).

Dalam sistem khilafah, kedaulatan berada di tangan syara’ (Allah SWT). Khalifah dalam hal ini
bukan sebagai pembuat hukum tetapi hanya sebatas menerapkan hukum. Sumber hukum sudah
ada yaitu al-Quran, al-Hadits, Ijma’ sahabat, dan qiyas.

Aturan dan hukum hanya tinggal digali dari sumber hukum dan setelah itu oleh khalifah aturan
dan hukum tersebut diterapkan. Hal ini dapat juga menjadi pendukung ilmu bagi kita dalam
memaknai arti khilafah.

Perbedaan Khilafah dengan Sistem Teokrasi

Dalam sistem teokrasi, aturan yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari aturan agama
tertentu. Dari sini muncul kesan adanya kemiripan dengan sistem khilafah. Namun dari salah satu
aspek yang paling mendasar yaitu kekuasaan maka khilafah sangat berbeda dengan sistem
teokrasi.

Dalam sistem teokrasi kekuasaan dianggap “takdir” atau penunjukkan Tuhan. Sehingga
pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, terbebas dari salah
maupun dosa.

Sangat berbeda dengan sistem khilafah, karena khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at.
Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi
dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat.

Khalifah juga bisa salah dan bisa dihukum -yang dalam struktur khilafah fungsi ini dilakukan
oleh mahkamah madzalim- yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam. Hal
ini dapat juga menjadi pendukung ilmu bagi kita dalam memaknai arti khilafah.

Dengan mengetahui perbedaan sistem khilafah dengan sistem pemerintahan lainnya ini, kita
dapat memaknai sistem khilafah dengan semestinya dan mendapatkan pencerahan dalam
pemaknaan khilafah itu sendiri.

Apa Itu Khilafah?


15 Juni 2010 pukul 12.32

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab
menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang
juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-
hadits shahih.
Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia
Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut
kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah
sistem politik yang khas.
Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan
seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas
memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa
menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan
dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat
ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya
berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari
pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang
hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang
terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum
Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa
dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment kepada
Khalifah dan menggantinya.
Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin
Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah
bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam.
Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak
sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.
Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh
kekuasaannya melalui akad bai’at. Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak
terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan
luar negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup
masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan
sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam
kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti
sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi,
dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.
Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah
lain. Nasionalisme dan rasisme tidak memiliki tempat dalam Islam, dan hal itu diharamkan. Seorang
Khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, ras apapun, warna kulit apapun, dan dari mazhab manapun,
yang penting dia adalah Muslim. Khilafah memang memiliki karakter ekspansionis, tapi Khilafah tidak
melakukan penaklukkan wilayah baru untuk tujuan menjarah kekayaan dan sumber daya alam wilayah
lain. Khilafah memperluas kekuasaannya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, yaitu menyebarkan
risalah Islam.
Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia
Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini
berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di
tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri,
yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri.
Khilafah bukanlah negara totaliter. Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang
Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan
ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau
dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.
Khilafah tidak boleh menindas kaum minoritas. Orang-orang non Muslim dilindungi oleh negara dan
tidak dipaksa meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk agama Islam. Rumah, nyawa, dan
harta mereka, tetap mendapat perlindungan dari negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini.
Imam Qarafi, seorang ulama salaf merangkum tanggung jawab Khalifah terhadap kaum dzimmi: “Adalah
kewajiban seluruh kaum Muslim terhadap orang-orang dzimmi untuk melindungi mereka yang lemah,
memenuhi kebutuhan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur
mereka dengan santun, dan bahkan menoleransi kesalahan mereka bahkan jika itu berasal dari tetangganya,
walaupun tangan kaum Muslim sebetulnya berada di atas (karena faktanya itu adalah Negara Islam). Kaum
Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusannya dan melindungi mereka dari ancaman siapa saja
yang berupaya menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta kekayaannya, atau melanggar hak-
haknya.”
Dalam sistem Khilafah, wanita tidak berada pada posisi inferior atau menjadi warga kelas
dua. Islam memberikan hak bagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian,
sekaligus memegang jabatan di masyarakat. Islam menetapkan aturan berpakaian yang khas bagi wanita –
yaitu khimar dan jilbab, dalam rangka membentuk masyarakat yang produktif serta bebas dari pola
hubungan yang negatif dan merusak, seperti yang terjadi di Barat.
Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di
seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan
kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri.
Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.
Khilafah yang akan datang akan melahirkan era baru yang penuh kedamaian, stabilitas dan
kemakmuran bagi Dunia Islam, mengakhiri tahun-tahun penindasan oleh para tiran paling kejam yang
pernah ada dalam sejarah. Masa-masa kolonialisme dan eksploitasi Dunia Islam pada akhirnya akan
berakhir, dan Khilafah akan menggunakan seluruh sumber daya untuk melindungi kepentingan Islam dan
kaum Muslim, sekaligus menjadi alternatif pilihan rakyat terhadap sistem Kapitalisme. (hti)

Makna Khilafah dalam Al-Qur'an dan Sunnah


Bandung - persis.or.id, Dapat dikatakan bahwa di antara bahasa politik Islam yang
terpenting dan terpopuler adalah terma khilâfah. Selain karena faktor penyebutan dan
pengungkapannya yang begitu sering di dalam sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi, juga karena makna yang dikandungnya begitu dalam dan luas.
Dengan terma khilafah dirajut relasi interaktif antara Tuhan, manusia, dan alam melalui
hukum (syariat). Terma khilafah juga memadukan antara dua aspek yang sering
dipandang sebagai dua hal yang berlawanan: antara dunia dan akhirat, antara politik
dan agama, dan antara ruh dengan akal.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam terma khilafah itulah terpendam idealisme
peradaban yang sempurna yang dicita-citakan Islam.[1] Khilafah sebagai praktek
kepemimpinan politik Islam secara formal telah lama dinyatakan berakhir dengan
dihapuskannya sistem Khilafah Turki Usmani pada tahun 1924. Sejak itu dunia Islam
terpecah berkeping-keping menjadi negeri-negeri muslim yang berdiri sendiri sebagai
negara bangsa (nation state). Meski demikian, spirit khilafah tidak pernah padam --dan
memang tidak mungkin bisa dipadamkan-- dari pemikiran, teori dan perjuangan politik
Islam.

Paper singkat ini tidak berkompeten untuk mengulas seluruh aspek dari terma khilafah
yang spektrumnya sangat luas itu. Tulisan ini hanya berusaha menelusuri dan
mengungkap asal usul kata khilâfah, penggunaan kata tersebut dalam Al Qur’an dan
Sunnah serta perkembangan pemaknaannya sebagai terma politik Islam. Dengan
demikian diharapkan mendapat pengertian dasar tentang konsep khilafah sebagai
bahasa politik Islam yang orisinil dari nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Al Khilâfah dal Al-Qur’an Kata ‫( الخالفة‬al khilâfah) berasal dari akar kata ‫( خلف‬khalfun)
yang arti asalnya “belakang” atau lawan kata “depan”.[2] Dari akar kata khalfun
berkembang menjadi berbagai pecahan kata benda seperti khilfatan (bergantian);
khilâfah (kepemimpinan sebagai pengganti); khalîfah, khalâif, khulafâ (pemimpin,
pengganti); ikhtilâf (berbeda pendapat); dan istikhlâf (penggantian). Kata kerja yang
muncul dari kata khalfun adalah kha-la-fa (‫ )خلف‬artinya mengganti; ikh-ta-la-fa (‫)إختلف‬
yang artinya berselisih, berbeda pendapat; dan kata is-takh-la-fa ( ‫ )استخلف‬yang artinya
menjadikan sesuatu sebagai pengganti.

Di dalam al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 127 ayat yang menyebut kata yang
berakar dari kata khalfun. Tetapi hanya dua kali menyebut dalam bentuk kata benda
yang diatributkan kepada manusia sebagai “khalîfah”, yaitu pada surat Al Baqarah ayat
30 dan surat Shâd ayat 26. Selebihnya berbicara tentang kedudukan manusia sebagai
makhluk yang saling bergantian menempati dan memakmurkan bumi dari generasi ke
generasi berikutnya, atau dalam makna pergantian siang malam, dan perpedaan
pendapat. Sebagai contoh penggunaan ayat-ayat tersbut dapat kita lihat di bawah ini:
Pertama, kata khalfun dalam pengertian “generasi pengganti yang berperilaku buruk”.
Disebutkan dua kali yaitu pada surat al A’raf ayat 169 dan surat Maryam ayat 59. Pada
surat al A’raf dikatakan,

‫ض مِ ثْلُهُ يَأ ْ ُخذُوهُ أَلَ ْم يُؤْ َخ ْذ‬


ٌ ‫ع َر‬ َ ‫سيُ ْغف َُر لَنَا َوإِ ْن يَأْتِ ِه ْم‬
َ َ‫ض َهذَا ْاْل َ ْدنَى َويَقُولُون‬ َ َ‫َاب يَأ ْ ُخذُون‬
َ ‫ع َر‬ َ ‫ف َو ِرثُوا ْال ِكت‬ ٌ ‫ف مِ ْن بَ ْع ِد ِه ْم خ َْل‬
َ َ‫فَ َخل‬
َ‫هار ْاْلخِ َرة ُ َخي ٌْر لِلهذِينَ يَتهقُونَ أ َفَالَ ت َ ْع ِقلُون‬ ُ ‫سوا َما فِي ِه َوالد‬ ُ ‫َّللا ِإاله ْال َح هق َو َد َر‬ ِ ‫اق ْال ِكت َا‬
ِ ‫ب أ َ ْن الَ يَقُولُوا َعلَى ه‬ ُ َ ‫علَ ْي ِه ْم مِ يث‬
َ
(169:‫اْلعراف‬

"Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang
mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun."
Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya
mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari
mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar,
padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. Dan kampung
akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak
mengerti?"

َ َ‫ف يَ ْلقَ ْون‬


Pada surat Maryam dikatakan: ‫غيًّا‬ َ َ‫ت ف‬
َ ‫س ْو‬ ‫صالَة َ َواتهبَعُوا ال ه‬
ِ ‫ش َه َوا‬ ‫ضاعُوا ال ه‬ ٌ ‫ف مِ ْن بَ ْع ِد ِه ْم خ َْل‬
َ َ‫ف أ‬ َ َ‫فَ َخل‬
(59:‫ )مريم‬Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
kesesatan, Yang dimaksud dengan generasi yang jahat pada ayat pertama di atas
menunjuk kepada generasi yang datang sesudah masa dan generasi para Nabi dan
Rasul di kalangan Bani Israil. Mereka adalah generasi yang mempermainkan hukum
Allah dan memperjual belikannya ayat-ayatnya dengan keuntungan materi. Di antaranya
dengan menyelewengkan hukum melalui penyuapan, risywah dan korupsi dalam
kekuasaan. Sedang generasi yang buruk pada ayat kedua di atas menunjukan generasi
yang datang seduah masa generasi para nabi dan orang-orang saleh dari kalangan
Bani Israil, dan termasuk juga generasi yang buruk yang datang pada umat Nabi
Muhammad di akhir zaman. Mereka adalah generasi yang meninggalkan shalat dan
tenggelam dalam pemuasan berbagai kesenangan dunia. [3]

Kedua, kata khulafâ (bentuk jamak mudzakar maknawi dari kata khalîfah), [4] yang
berarti generasi baru atau kaum pengganti yang mewarisi bumi dari kaum sebelumnya
yang binasakan karena mereka tidak beriman.

(69 : ‫َّللا لَعَله ُك ْم ت ُ ْف ِلحُونَ )اْلعراف‬


ِ ‫طةً فَا ْذ ُك ُروا َآال َء ه‬ ِ ‫وح َوزَ ا َد ُك ْم فِي ْالخ َْل‬
َ ‫ق بَ ْس‬ ٍ ُ‫َوا ْذ ُك ُروا إِ ْذ َجعَلَ ُك ْم ُخلَفَا َء مِ ْن بَ ْع ِد قَ ْو ِم ن‬

“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-
pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan
kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-
nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

ِ ‫ورا َوت َ ْنحِ تُونَ ْال ِجبَا َل بُيُوتًا فَا ْذ ُك ُروا َآال َء ه‬
‫َّللا‬ ً ‫ص‬ ِ ‫عا ٍد َوبَ هوأ َ ُك ْم فِي ْاْل َ ْر‬
ُ ‫ض تَتهخِ ذُونَ مِ ْن‬
ُ ُ‫س ُهو ِل َها ق‬ َ ‫َوا ْذ ُك ُروا ِإ ْذ َجعَلَ ُك ْم ُخلَفَا َء مِ ْن بَ ْع ِد‬
(74: ‫ض ُم ْف ِسدِينَ )اْلعراف‬ ِ ‫َوالَ ت َ ْعث َ ْوا فِي ْاْل َ ْر‬

“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang


berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan
istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk
dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di
muka bumi membuat kerusakan.”

Ketiga, Al Khalâif (bentuk jamak lafdzi dari kata khalîfah), yang berarti kaum yang
datang untuk menggantikan kaum yang lain dalam menempati dan menguasai bumi.[5]

ِ ‫س ِري ُع ْال ِعقَا‬


ٌ ُ‫ب َوإِنههُ لَغَف‬
‫ور‬ َ َ‫ت ِليَ ْبلُ َو ُك ْم فِي َما آت َا ُك ْم إِ هن َربهك‬ ٍ ‫ض ُك ْم فَ ْوقَ بَ ْع‬
ٍ ‫ض َد َر َجا‬ َ ‫ض َو َرفَ َع بَ ْع‬ َ ‫َوه َُو الهذِي َجعَلَ ُك ْم َخالَئ‬
ِ ‫ِف ْاْل َ ْر‬
( 165:‫َرحِ ي ٌم )اْلنعام‬

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

14 : ‫ْف ت َ ْع َملُونَ )يونس‬ ُ ‫مِن بَ ْع ِد ِه ْم ِلنَ ْن‬


َ ‫ظ َر َكي‬ ْ ‫ض‬ َ ‫ث ُ هم َجعَ ْلنَا ُك ْم َخالَئ‬
ِ ‫ِف فِي ْاْل َ ْر‬
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah
mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat”.

َ‫ض فَ َم ْن َكف ََر فَعَلَ ْي ِه ُك ْف ُره ُ َوالَ يَ ِزي ُد ْالكَاف ِِرينَ ُك ْف ُر ُه ْم ِع ْن َد َربِِّ ِه ْم إِاله َم ْقتًا َوالَ يَ ِزي ُد ْالكَاف ِِرين‬ َ ‫ه َُو الهذِي َجعَلَ ُك ْم َخالَئ‬
ِ ‫ِف فِي ْاْل َ ْر‬
(39:‫ارا )فاطر‬ ً ‫س‬َ ‫ُك ْف ُر ُه ْم ِإاله َخ‬

“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir,
maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan
kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian
mereka belaka”. Keempat, kata Khalîfah dengan bentuk mufrad (singular) dalam
pengertian seseorang yang diberi mandat kekuasaan oleh Allah sebagai penguasa bumi
dan pemimpin terhadap manusia lainnya. Istilah khalîfah dalam bnetuk singular
disebutkan Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu ketika menyebutkan kedudukan Nabi
Adam dan Nabi Dawud.

ِ ‫َوإِ ْذ قَا َل َربُّكَ ل ِْل َمالَئِ َك ِة إِنِِّي َجا ِع ٌل فِي ْاْل َ ْر‬
َ ُ‫ض َخلِيفَةً قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها َم ْن يُ ْف ِس ُد فِي َها َويَ ْس ِفكُ ال ِ ِّد َما َء َونَحْ نُ ن‬
َ‫سبِِّ ُح بِ َح ْمدِك‬
(30 :‫ِّس لَكَ قَا َل إِنِِّي أ َ ْعلَ ُم َما الَ ت َ ْعلَ ُمونَ )البقرة‬ ُ ‫َونُقَ ِد‬

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui."

َ ‫ضلُّونَ َع ْن‬
‫س ِبي ِل‬ ِ َ‫َّللا ِإ هن الهذِينَ ي‬
ِ ‫س ِبي ِل ه‬ َ ‫ع ْن‬ ِ ‫ق َو َال تَت ه ِب ِع ْال َه َوى فَي‬
َ َ‫ُضلهك‬ ِ ِّ ‫اس ِب ْال َح‬ ِ ‫يَا َد ُاوو ُد ِإنها َجعَ ْلنَاكَ َخلِيفَةً فِي ْاْل َ ْر‬
ِ ‫ض فَاحْ ُك ْم بَيْنَ النه‬
(26 : ‫ب )ص‬ ِ ‫سا‬ َ ِ‫سوا يَ ْو َم ْالح‬ َ ٌ‫عذَاب‬
ُ َ‫شدِي ٌد ِب َما ن‬ َ ‫َّللا لَ ُه ْم‬
ِ‫ه‬

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. Kelima, dalam bentuk kata kerja
Istakhlafa, yang artinya menjadikan seseorang atau satu kaum sebagai khalifah, para
pemimpin, pewarits dan penguasa bumi setelah kaum yang lain.

‫ف الهذِينَ مِ ْن قَ ْب ِل ِه ْم َولَيُ َم ِ ِّكن هَن لَ ُه ْم دِينَ ُه ُم الهذِي‬ ِ ‫ت لَيَ ْست َْخ ِلفَنه ُه ْم فِي ْاْل َ ْر‬
َ َ‫ض َك َما ا ْست َْخل‬ ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫َّللاُ الهذِينَ آ َمنُوا مِ ْن ُك ْم َو‬
‫عمِ لُوا ال ه‬ ‫ع َد ه‬
َ ‫َو‬
ُ
(55:‫ش ْيئًا َو َم ْن َكف ََر بَ ْع َد ذَلِكَ فَأولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُونَ )النور‬ َ ‫ضى لَ ُه ْم َولَيُبَ ِ ِّدلَنه ُه ْم مِ ْن بَ ْع ِد خ َْوفِ ِه ْم أ َ ْمنًا يَ ْعبُدُونَنِي َال يُ ْش ِر ُكونَ بِي‬ َ َ ‫ارت‬
ْ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka (para khalifah) berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik”. Keenam, kata mustakhlaf (bentuk maf’ul dari istakhlafa) artinya
orang-orang yang dijadikan pewaris bumi dan diberi kewenangan atau mandat untuk
menguasainya, untuk menunjukan bahwa penguasaan manusia terhadap dunia adalah
penguasaan nisbi dan majazi, karena penguasa dan pemilik hakikinya hanyalah Allah
Ta’ala.[6]

ٌ ِ‫سو ِل ِه َوأ َ ْن ِفقُوا مِ هما َجعَلَ ُك ْم ُم ْست َْخلَفِينَ فِي ِه فَالهذِينَ آ َمنُوا مِ ْن ُك ْم َوأ َ ْنفَقُوا لَ ُه ْم أَجْ ٌر َكب‬
(71: ‫ير )الحديد‬ ِ ‫آمِ نُوا بِ ه‬
ُ ‫اَّلل َو َر‬

"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala
yang besar" Khilafah dalam Hadist Nabi Dalam hadits Nabi, penyebutan kata khalifah
atau khulafâ lebih banyak daripada yang disebutkan dalam Al Qur’an dengan makna
yang lebih tegas terhadap kepemimpinan. Di bawah ini dibawakan beberapa contoh:

‫س ُه ْم‬
ُ ‫سو‬ ُ َ ‫َت بَنُو ِإس َْرائِي َل ت‬ ْ ‫سله َم قَا َل كَان‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬‫صلهى ه‬ َ ‫ي‬ ِِّ ‫ع ْن النه ِب‬ ُ ‫سمِ ْعتُهُ يُ َح ِد‬
َ ‫ِّث‬ َ َ‫س ِسنِينَ ف‬ َ ‫عدْتُ أَبَا ه َُري َْرة َ خ َْم‬ َ ‫از ٍم قَا َل قَا‬ِ ‫ع ْن أ َ ِبي َح‬ َ
‫طو ُه ْم‬ ُ ‫ي بَ ْعدِي َو َست َ ُكونُ ُخلَفَا ُء ت َ ْكث ُ ُر قَالُوا فَ َما ت َأ ْ ُم ُرنَا قَا َل فُوا ِببَ ْيعَ ِة ْاْل َ هو ِل فَ ْاْل َ هو ِل َوأ َ ْع‬ ‫ِ ه‬ ‫ب‬َ ‫ن‬ َ ‫ال‬ ُ ‫ه‬‫ه‬ ‫ن‬‫إ‬ ‫و‬ ‫ي‬
ِ َ ٌّ ِ ‫ب‬َ ‫ن‬ ُ ‫ه‬َ ‫ف‬َ ‫ل‬ ‫خ‬
َ ‫ي‬ ‫ب‬َ ‫ن‬ َ ‫ل‬ ‫ه‬
ٌّ ِ َ‫ِ َ ُ َ َ ك‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ُ
‫ك‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫ب‬‫ن‬ْ َ ْ
‫اْل‬
‫عا ُه ْم‬َ ‫ع هما ا ْست َْر‬ ُ
َ ‫سائِل ُه ْم‬ َ ‫َّللا‬ ‫ه‬ َ
َ ‫َحق ُه ْم فإِن ه‬‫ه‬

Dari Abu Hazim dia berkata, "Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah selama
lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap
Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh,
tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala
pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa." Para sahabat bertanya, "Apa
yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?" beliau menjawab: "Tepatilah baiat
yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah
akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka." (Shahih
Muslim, No. 3429; Shahih Bukhari, No. 3196; Musnad Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah
No. 2862)

‫سله َم ت َ ُكونُ النُّب هُوة ُ فِي ُك ْم َما شَا َء ه‬


ُ‫َّللاُ أ َ ْن ت َ ُكونَ ث ُ هم يَ ْرفَعُ َها إِذَا شَا َء أ َ ْن يَ ْرفَعَ َها ث ُ هم ت َ ُكون‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن ُحذَ ْيفَةُ قَا َل َر‬ َ
ُ
‫عاضًّا فَيَكونُ َما شَا َء‬ ً ْ ُ ُ
َ ‫َّللاُ أ ْن يَ ْرفَعَ َها ث هم تَكونُ ُملكا‬ َ َ ُ ُ
‫َّللاُ أ ْن تَكونَ ث هم يَ ْرفَعُ َها إِذا شَا َء ه‬َ ُ ْ َ
‫على مِ ن َهاجِ النُّب هُوةِ فَتَكونُ َما شَا َء ه‬ ٌ
َ ‫خِ َالفَة‬
ُ‫َّللاُ أ َ ْن ت َ ُكونَ ث ُ هم يَ ْرفَعُ َها إِذَا شَا َء أ َ ْن يَ ْرفَعَ َها ث هم‬ ً ْ
‫َّللاُ أ َ ْن يَ ُكونَ ث هم يَ ْرفَعُ َها إِذَا شَا َء أ ْن يَ ْرفَعَ َها ث هم ت َ ُكونُ ُمل ًكا َجب ِْريهة فَت َ ُكونُ َما شَا َء ه‬
ُ َ ُ ‫ه‬
َ‫س َكت‬ ُ
َ ‫اج النُّب هُوةِ ث هم‬ ِ ‫علَى مِ ْن َه‬ ً
َ ‫ت َ ُكونُ خِ الَفَة‬
Dari Hudzaifah, Rasulullah bersabda, “Di tengah-tengah kalian ada Kenabian dan akan
berlangsung sekehendak Allah. Lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak
mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian dan
berlangsung sekendak-Nya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia
menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang lalim yang berlangsung
sekehendak Allah. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya.
Kemudian akan ada Kerajaan yang Otoriter berlangsung sekendak Allah. Kemudian Dia
akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar
manhaj kenabian”. Kemudian beliau (Nabi SAW) diam. (Musnad Ahmad, No. 18406)

‫ضى َحتهى‬ ِ َ‫سمِ ْعتُهُ يَقُو ُل إِ هن َهذَا اْل َ ْم َر الَ يَ ْنق‬


َ َ‫ ف‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َ ‫س ُم َرة َ قَا َل َدخ َْلتُ َم َع أَبِى‬
ِّ ِ ِ‫علَى النهب‬ َ ‫ع ْن َجابِ ِر ب ِْن‬
َ
‫مِن قُ َري ٍْش‬ ُّ َ ْ
ْ ‫ فَقُلتُ ْلبِى َما قَا َل قَا َل « كُل ُه ْم‬- ‫ قَا َل‬- ‫ى‬ ‫عل َ ه‬ ‫ه‬ ُ ً
َ ‫ قَا َل ث هم تَكَل َم بِ َكالَ ٍم َخف‬.» ‫عش ََر َخلِيفَة‬
َ ‫ِى‬ ْ
َ ‫ى فِي ِه ُم اثنَا‬َ ‫ض‬ ِ ‫يَ ْم‬

Dari Jabir bin Samurah, Aku bersama bapakku masuk kepada Nabi, maka aku
mendengar beliau bersabda, “Sesungguhnya urusan (Agama Islam) ini tidak akan
berakhir sampai berlangsung di tengah mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau
berkata dengan perkataan yang samar bagiku. Maka Aku bertanya kepada ayahku apa
yang disabdakan beliau? Ayahku menjawab, “Semuanya dari Quraesy”. (Shahih Muslim,
No. 4809. Sunan Abu Dawud, No. 4279)

ُ‫ضه‬ ُّ ‫طانَةٌ ت َأ ْ ُم ُرهُ ِب ْال َخي ِْر َوت َ ُح‬


َ ‫َان ِب‬ ِ ‫طانَت‬َ ‫ِف َخلِيفَةٌ ِإالِِّّّ لَهُ ِب‬ َ ‫سله َم قَا َل َما ا ْست ُ ْخل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ِِّ ‫ع ْن النه ِب‬
َ ‫ي‬ِِّ ‫سعِي ٍد ْال ُخد ِْر‬
َ ‫ع ْن أ َ ِبي‬
َ
‫َّللا‬ ‫م‬ ‫ص‬ ‫ع‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ص‬ ‫ع‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬
ُ ‫ُ ُ ُ ِ ِ ِّ َ ُ ُّ َ ِ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ ه‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ُ ‫ه‬ ‫ض‬ ‫ح‬ َ ‫ت‬‫و‬ ‫ر‬ ‫ه‬
‫ش‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫ر‬ ‫م‬ ْ ‫َأ‬ ‫ت‬ ٌ ‫ة‬َ ‫ن‬‫ا‬ َ
‫ط‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ
ِ َ ِ َ َ ‫ل‬ ‫ع‬

Dari Abu Said al Hudri, dari nabi SAW. “Tidaklah seorang khalifah diangkat melainkan ia
mempunyai dua teman setia. Teman setia yang menyuruh dengan kebaikan dan teman
setia yang menyuruh dengan keburukan dan menganjurkannya. Orang yang terpelihara
adalah ia yang dipelihara Allah.” [7] (Shahih Bukhari, No. 6611. Sunan Tirmidzi, No.
2474) Beberapa kaidah ilmiyah Dari beberapa ayat dan hadits yang dikemukakan di
atas, kita dapat mengambil beberapa kaidah yang berkaitan dengan kepemimpinan atau
kekhilafahan: Pertama, bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan manusia sebagai khalifah
di bumi.

Pengertian kekhalifahan manusia di muka bumi mencakup dua makna; makna yang
umum dan makna yang khusus. Secara umum seluruh manusia adalah khalifah karena
ia makhluk yang dipilih Allah sebagai penguasa dan pemimpin atas makhluk lainnya
yang ada di muka bumi. Manusia juga sebagai khalifah karena setiap orang, kaum dan
bangsa datang dan pergi, hidup dan mati, berjaya dan hancur, saling bergantian antara
satu generasi dengan generasi berikutnya. Kekhilafahan seperti ini dapat diistilahkan
sebagai khilafah takwiniyah, kekhilafahan manusia di muka bumi sebagai ketetapan
atau taqdir kehidupan yang Allah gariskan bagi manusia, baik ia manusia beriman
ataupun manusia kafir. Makna khilafah secara khusus, yaitu kekhalifahan dalam
pengertian kepemimpinan seseorang atas manusia yang lain. Kekhilafahan dalam
makna ini tentu saja tidak mungkin ditujukan kepada semua manusia, bahkan tidak
setiap orang beriman dapat menduduki kekhilafahan ini, terlebih lagi orang-orang kafir.
Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu yang telah diatur oleh syariat yang
berhak menjabatnya.

Kekhilafahan dalam makna ini identik dengan imamah atau kepemimpinan formal dalam
masyarakat dan negeri muslim. Kekhilafahan dalam makna ini pula yang dimaksud
dalam hadits-hadits Nabi yang berbicara tentang kepemimpinan Islam. Atas dasar itu,
kekhilafahan dalam konteks ini dapat diistilahkan sebagai khilafah syar’iyah
kepemimpinan berdasarkan syariat Islam. Kedua. Kekhalifahan pada umat Islam adalah
kepemimpinan sebagai pengganti dan pelanjut kepemimpinan kenabian, karenanya ia
disebut sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Dengan demikian khalifah adalah
khalifatur rasûl (pengganti dan pelanjut kepemimpinan nabi) bukan khalifatullâh
(pengganti atau wakil Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Mawardi,

‫س ِة ال ُّد ْنيَا‬
َ ‫ِّين َو ِسيَا‬ َ ‫عةٌ لِخِ الَفَ ِة النُّب هُوةِ فِي حِ َرا‬
ِ ‫س ِة ال ِد‬ َ ‫اإل َما َمةُ َم ْوضُو‬
ِ

“Imamah adalah maudhu’(peristilahan yang dibuat) bagi khilafah nubuwah dalam


menjaga agama dan menata dunia”[8] Kalaupun kata khilafah itu disandarkan kepada
Allah, khalîfatullâh, maka maknanya adalah penghormatan dan kemuliaan dari Allah
yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya, bukan sebagai pengganti dan wakil
Allah di muka bumi. Karena tidak ada satu makhlukpun yang dapat menempati,
menggantikan, dan mewakili Allah Ta’ala. Sebagaimana dikatakan Al Ragib al
Asfahany,

‫والخالفة النيابة عن الغير إما لغيبة المنوب عنه وإما لموته وإما لعجزه وإما لتشريف المستخلف وعلى هذا الوجه اْلخير‬
‫استخلف هللا أولياءه في اْلرض‬

“Khilafah itu adalah perwakilan dari orang lain. Adakalanya (perwakilan itu) disebabkan
ketiadaan orang yang diwakilinya, karena kematiannya, atau karena kelemahannya.
Adakalanya juga karena sebagai penghormatan atas orang yang disuruh mewakilinya.
Makna terakhir inilah yang dimaksud Allah menjadikan khalifah para kekasih-Nya di
muka bumi”. [9] Ketiga. Al-Qur’an dan hadits tidak menetapkan bentuk, format maupun
prosedur yang baku tentang negara khilafah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa
kekhilafahan dibangun berdasarkan prinsip musyawarah, keadilan, kesamaan,
penegakan hukum syariat, dan kemaslahatan umat. Dari semua itu prinsip dasarnya
adalah penegakan hukum syariat secara konsisten dan konsekwen berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di
dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyatakan,

‫ إذ أحوال الدنيا ترجع‬،‫والخالفة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم اْلخروية والدنيوية الراجعة إليها‬
‫كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح اْلخرة‬
“Dan khilafah itu adalah menggiring seluruh (manusia) kepada yang sesuai dengan
tinjauan syar’i dalam kemaslahatan ukhrawi, dan kemaslahatan duniawi mereka yang
kembali kepadanya (kepada kemaslahatan akhirat). Sebab segala kemaslahatan urusan
dunia menurut syariat harus ditinjau berdasarkan kemaslahatan akhirat”.[10] Karena itu,
andaipun kepimpinan atau pemerintahan itu menggunakan terma kekhilafahan Islam,
tetapi jika syariat tidak dilaksanakan, kezaliman dan kekejaman merajalela, maka tidak
patut disebut sebagai kepemimpinan khilafah yang syar’i, melainkan sebagai Mulkan
Jabariyan dan Mulkan ‘Adhan (kepemimpinan raja-raja otoriter yang memeras rakyat).
Sebaliknya meskipun suatu kepemimpinan dan pemerintahan berbentuk kerajaan,
republik, atau yang lainnya, maka ia dikatakan sebagai khilafah dan pemimpinya layak
disebut sebagai Khalifah atau Amirul mukminin. Sebagaimana Allah memanggil Nabi
Dawud sebagai Khalifah meskipun beliau berkedudukan sebagai Nabi dan Raja Bani
Israil. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, dalam pemerintahan Dinasti Umayah, dan Harun
Al Rasyid dalam Dinasti Abasiyah, meskipun keduanya dipilih bukan berdasarkan syura
seperti para Khulafaur Rasyidin, keduanya diakui sebagai Khalifah dan Amirul
Mukminin. Dalam konteks inilah sangat tepat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah, “Dan
boleh saja menamai para pemimpin setelah Khulafa Rasyidin dengan sebutan para
khaifah walaupun mereka adalah para raja, dan bukan para khalifah para Nabi dengan
dalil apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim pada kitab Shahih mereka dari
Abu Huraerah dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Dahulu Bani Israel dipimpin para Nabi,
setiap meninggal seorang nabi digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi
sepeninggalku tidak akan ada Nabi tetapi akan ada khalifah-khalifah yang banyak.’ Para
shahabat bertanya, ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’. Nabi bersabda,
‘Tunaikanlah baiat yang pertama kemudian berikan kepada mereka hak-hak mereka
karena sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaan mereka tentag rakyat
mereka.’ Penyebutan “akan ada khalifah-khaifah yang banyak’ menunjukan bahwa
mereka bukanlah Khulafa Rasyidin sebab jumlah Khulafa Rasyidin tidaklah banyak.
Demikian pula pernyataan, ‘tunaikanah baiat pertama dan pertama’ bahwa para khalifah
tersebut berselisih sedangkan para Khulafa Rasyidun tidaklah berselisih. Sedang
pernyataan, ‘berikanlah hak mereka karena mereka akan diminta pertanggungjawaban
tentag rakyatnya’, menjadi dalil atas madzhab ahu sunnah tentang memberikan hak-hak
para pemimpin dari harta dan ghanimah sebagimana saya telah menjelaskan bukan
hanya di tempat ini saja, bahwa mengambalikan pelbagai persoalan kepada para raja
dan pembantunya dari para pemimpin dan qadhi bukan semata karena kekurangan
(kelemahan dan keburukan) yang ada pada mereka saja, melainkan kekurangan
(kelemahan) itu juga ada pada rakyat secara bersama-sama, sebab sebagaimana
dikatakan (dalam hadits), ‘sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian’.
Allah berfirman, ‘demikianlah kami jadikan orang-orang zalim sebagai pemimpin atas
sebagian yang lainnya”.[11]
Penutup

Demikianlah beberapa pengertian penting yang dapat diambil dari terma khilafah yang
terdapat dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Intinya bahwa Istilah khilafah adalah istilah
syar’i, tetapi interpretasi dan aplikasinya dalam politik Islam tidaklah baku dan kaku,
melainkan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat Islam itu sendiri. Sesuai
dengan pernyataan Syekh Muhammad Rasyid Ridha bahwa ajaran Islam telah
mengatur prinsip-prinsip politik-kenegaraan, tetapi pada tataran paraktisnya menuntut
ijtihad yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan
tempat. [12] Wallahu A’lam bish shawab! [1] Ahmad Ramadhan Ahmad, Al Khilafah fi al
hadarah al islâmiyah, (Jedah:Darul Bayan Al Arabiyah, t.t), hlm. 5 [2] Al Raghib al
Asbahani, Al Mufradât fî gharîb al Qur’ân, (Libanon: Darul Ma’rifah, tt.), hlm. 155 [3] Al
Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, (Darut Thayibah, 1999), Juz III, hlm. 498,
dan Juz V, hlm. 245 [4] Syamsuddin Al Qurthuby, Al Jâmi’ li ahkâm al Qur’ân, (Kairo:
Darul Kutub al Misriyah, 1964), Juz VII, hlm. 236. [5] Ibid, hlm. 158 [6] Syamsuddin Al
Qurtuby, ibid, Juz XVII, hlm. 238 [7] Shahih Bukhari, No. 6611. Sunan Tirmidzi, No.
2474 [8] Imam al Mawardi, Al Ahkam al sulthaniyah, (Maktabah Syamilah), hlm. 3 [9] Al
Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al Ragib al Asbahani, Al Mufradat fi gharîbil
qur’an, (Libanon: Darul Ma’rifah, t.t), hlm. 156 [10] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut:
Darul Qalam, 1984), hlm. 97 [11] Ibnu Taimiyah, Al Khilfah wal Muluk dalam Majmu’
Fatwa, jld. 35 hlm. 20

‫ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين خلفاء وإن كانوا ملوكا ولم يكونوا خلفاء اْلنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم فى‬
‫صحيحيهما عن أبى هريرة رضى هللا عنه عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال ) كانت بنو إسرائيل يسوسهم اْلنبياء كلما‬
‫هلك نبي خلفه نبي وأنه ال نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر قالوا فما تامرنا قال فوا ببيعة اْلول فاْلول ثم أعطوهم حقهم فإن هللا‬
‫سائلهم عما استرعاهم ) فقوله ) فتكثر ) دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا وأيضا قوله ) فوا ببيعة اْلول‬
‫فاْلول ) دل على أنهم يختلفون والراشدون لم يختلفوا وقوله ) فأعطوهم حقهم فإن هللا سائلهم عما استرعاهم ) دليل على مذهب‬
‫أهل السنة فى إعطاء اْلمراء حقهم من المال والمغنم وقد ذكرت فى غير هذا الموضوع أن مصير اْلمر إلى الملوك ونوابهم‬
‫من الوالة والقضاة واْلمراء ليس لنقص فيهم فقط بل لنقص فى الراعي والرعية جميعا فإنه ) كما تكونون يول عليكم ) وقد قال‬
‫] ) هللا تعالى ) وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا‬12] Perhatikan pernyataan Muhammad Rasyid
Ridha dalam kitabnya Al Khilafah, (Kairo: Al Zahra Li I’lamil ‘Arabi, t.t), hlm. 9: ‫وأما السياسة‬
‫ ْلنها تختلف باختالف الزمان‬، ‫ وشرع لألمة الرأي واالجتهاد فيها‬، ‫االجتماعية المدنية فقد وضع اإلسالم أساسها وقواعدها‬
‫ وأن حكومتها‬، ‫ وأمرها شورى بينها‬، ‫ ومن قواعده فيها أن سلطة اْلمة لها‬، ‫والمكان وترتقي بارتقاء العمران وفنون العرفان‬
‫ وإنما هو منفذ لحكم الشرع‬، ‫ وخليفة الرسول فيها ال يمتاز في أحكامها على أضعف أفراد الرعية‬، ‫ضرب من الجمهورية‬
‫ وممهدة لتعميم اْلخوة‬، ‫ والمنافع المادية‬، ‫ وجامعة بين الفضائل اْلدبية‬، ‫ وأنها حافظة للدين ومصالح الدنيا‬، ‫ورأي اْلمة‬
‫ بتوحيد مقومات اْلمم الصورية والمعنوية‬، ‫ اإلنسانية‬.

Penulis Dr. KH. Jeje Zaenudin.

Anda mungkin juga menyukai