Anda di halaman 1dari 37

PANGKALAN TNI AU ISWAHJUDI Lampiran

RSAU dr.EFRAM HARSANA Kep. Kepala RSAU dr. Efram Harsana


Nomor Kep / 637 /III/ 2016
Tanggal 09 Maret 2016

PEDOMAN PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH SAKIT


RSAU dr. EFRAM HARSANA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Rumah sakit dengan berbagai kegiatannya menghasilkan limbah yang saat ini
mulai disadari dapat menimbulkan gangguan kesehatan akibat bahan yang terkandung
didalamnya dan menjadi mata rantai penyebab penyakit, selain itu juga dapat menjadi
sumber pencemaran lingkungan udara, air dan tanah. Sampah rumah sakit dapat
digolongkan berdasarkan jenis unit penghasil dan jenis pengelolaannya.
Secara garis besar limbah rumah sakit digolongkan menjadi limbah medis dan
non medis. Limbah medis meliputi limbah infeksius dan limbah berbahaya (B3) banyak
dihasilkan dari kegiatan pelayanan rumah sakit. Limbah medis Rumah Sakit termasuk
kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun yang sangat penting untuk dikelola
secara benar. Sebagian limbah medis termasuk ke dalam kategori limbah berbahaya
dan sebagian lagi termasuk kategori infeksius. Limbah medis berbahaya yang berupa
limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah, genotoxic dan wadah bertekanan
masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan limbah infeksius
merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada
karyawan rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien ataupun masyarakat di
sekitar lingkungan Rumah Sakit. Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh
pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang
bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan tercemari
oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan berisiko terhadap
penularan penyakit. Beberapa risiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat
keberadaan rumah sakit antara lain penyakit menular.
Limbah non medis dihasilkan oleh ruang administrasi, ruang gizi, ruang diklat,
dan lain-lain. Limbah non medis seperti; sisa makanan, kertas,plastik dan sampah
rumah tangga lainnya juga membutuhkan penanganan yang serius dan tepat, agar
tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan. Semua limbah tersebut harus
dikelola dengan baik sehingga tidak berdampak dan membahayakan manusia maupun
lingkungan.
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan dan meminimalkan resiko
pencemaran lingkungan di Rumah Sakit, diperlukan implementasi program
pengelolaan limbah medis rumah sakit yang baik dan benar. Peningkatan upaya
pengelolaan lingkungan rumah sakit khususnya limbah medis akan berdampak pada
peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara menyeluruh serta memberikan
keamanan dan kepuasan terhadap karyawan, pasien, keluarga dan masyarakat.
Dengan adanya pengelolaan lingkungan (limbah medis) yang baik dan aman dapat
menghindari tuntutan masyarakat dan keluhan pelanggan baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap pelayanan kesehatan yang dihasilkan oleh kegiatan
pelayanan rumah sakit.
Sesuai dengan Visi dan Misi RSAU dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
serta upaya pengelolaan lingkungan rumah sakit yang berkualitas maka diperlukan
pedoman pengelolaan limbah medis rumah sakit. Pedoman pengelolaan limbah medis
tersebut harus memperhatikan proses manajemen pengelolaan limbah medis yang
dimulai dari Input, Proses dan Output serta Outcome.
Guna pemantauan mutu pengelolaan limbah medis tersebut diperlukan
indikator sebagai tolok ukur atau petunjuk, kriteria dan standar yang ditetapkan oleh
Undang-undang dan Permenkes yang berlaku. Monitoring dan evaluasi serta audit
lingkungan rumah sakit perlu dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan,
sehingga mutu kesehatan lingkungan rumah sakit dapat ditingkatkan.
Pengelolaan limbah medis di rumah sakit meliputi limbah padat, cair, tajam dan
bahan berbahaya (B3), yang seluruhnya harus dikelola dengan baik dan benar.
B. TUJUAN .
1. Tujuan umum .
Meningkatnya mutu pengelolaan lingkungan kesehatan rumah sakit melalui
program peningkatan mutu pengelolaan limbah medis dan B3
2. Tujuan Khusus
Tercapainya peningkatan mutu pelayanan kesehatan lingkungan rumah sakit
meliputi:
a. Pelaksanaan prosedur dalam pengemasan, pemberian label, penampungan,
pengangkutan dan pembuangan limbah medis dan berbahaya di RSAU
dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
b. Evaluasi limbah medis padat dan cair serta berbahaya di RSAU dr.EFRAM
HARSANA LANUD ISWAHJUDI
c. Menentukan strategi pengelolaan limbah yang tepat dengan memperhatikan
faktor-faktor khusus dan unit yang ada pada setiap situasi, kondisi, persyaratan
peraturan yang berlaku
d. Pelaksanaan implementasi dokumen lingkungan UKL-UPL
e. Evaluasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan RSAU dr.EFRAM HARSANA
LANUD ISWAHJUDI

C. RUANG LINGKUP
1. Limbah cair
2. Limbah padat medis
3. Limbah benda tajam
4. Limbah Bahan Berbahaya (B3)

D. BATASAN OPERASIONAL.
Pengelolaan limbah rumah sakit meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Pengukuran limbah medis internal
2. Pengukuran limbah medis eksternal (laboratorium)
3. Evaluasi dari implementasi UKL-UPL (upaya kelola lingkungan dan upaya pantau
lingkungan)

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Kesehatan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah dan
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30/2009 tentang Tata Laksana
Perizinan dan Pengawasan PLB3 serta Pengawasan Pemulihan Akibat
Pencemaran Limbah B3 oleh Pemerintah Daerah
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/IV/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/Menkes/SK/IV/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
9. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Industri Dan /Atau Kegiatan Usaha Lainnya
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

Berdasarkan standar tenaga kesehatan dalam pengelolaan kesehatan lingkungan


terdiri dari :
1. 1 (satu) orang koordinator dengan kualifikasi S1 (SKM/Tehnik Lingkungan) atau D3
Kesehatan Lingkungan dengan pengalaman 3 tahun di rumah sakit.
2. 1 (satu) orang pelaksana dengan kualifikasi D3 Kesehatan Lingkungan

Kualifikasi pegawai yang dapat diangkat dalam pengelola Kesehatan Lingkungan


Rumah Sakit sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja RSAU
dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
2. Pengalaman pekerjaan di bidang Kesehatan Lingkungan minimal 2 tahun
3. Memiliki kompetensi di bidang Kesehatan Lingkungan
4. Loyal terhadap manajemen RSAU dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
5. Memiliki integritas yang tinggi dan prilaku yang baik

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN

Petugas pengelola Lingkungan sejumlah 2 (dua) orang dimana masing-masing


sebagai penanggung jawab sebagai berikut :
1. Penanggung jawab mutu pengelolaan limbah medis
2. Penanggung jawab operasional pengelolaan limbah medis

C. URAIAN TUGAS

Menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi dibidang kesehatan lingkungan sebagai


berikut :
1. Mengkoordinasikan penyusunan perencanaan kegiatan pengelolaan dan
penyehatan lingkungan RSAU dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
2. Mengajukan usulan program upaya kelola dan pemantauan lingkungan RSAU
dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
3. Melaksanakan program upaya kelola dan pemantauan lingkungan RSAU
dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
4. Mensosialisasikan program penyehatan dan sanitasi lingkungan RSAU dr.EFRAM
HARSANA LANUD ISWAHJUDI kepada tenaga medis dan non medis
5. Memonitor dan melaporkan pelaksanaan program upaya kelola dan pemantauan
lingkungan RSAU dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
6. Mengevaluasi program penyehatan dan sanitasi lingkungan RSAU dr.EFRAM
HARSANA LANUD ISWAHJUDI RSAU dr.EFRAM HARSANA LANUD ISWAHJUDI
7. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala
Rumah Sakit dan instansi terkait.
BAB III

STANDAR FASILITAS

A. RUANG
Ruang Kesling berada di ruangan IPSRS RSAU dr.EFRAM HARSANA Lanud
Iswahjudi dengan fasilitas sebagai berikut :
1. Lemari
2. Meja dan kursi kerja

B. STANDAR FASILITAS.
Tabel 1.1
Fasilitas dan Peralatan Kesling

No Fasilitas Jumlah
A Fisik /bangunan
Ruang Kerja 1
IPAL 1
TPS Limbah Infeksius/B3 1
TPS Limbah Non Infeksius/Domestik 1
B Peralatan
Meja 1
Kursi 1
Lemari dokumen 1
C Sanitarian kit 1
Botol sampling air limbah 4
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

Pengelolaan limbah medis adalah serangkaian kegiatan dalam penanganan limbah


medis mulai dari sumbernya sampai dengan pemusnahan akhir. Limbah medis adalah
semua sisa hasil kegiatan Rumah Sakit yang berasal dari kegiatan / tindakan medis,
berupa benda tajam, sisa jaringan tubuh, sisa obat kadaluarsa, bahan kimia dan lain-lain
baik yang bersifat padat maupun cair. Langkah-langkah pengelolaan limbah medis di
rumah sakit meliputi :

A. Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun (B3) dan Limbah B3 terdiri :


1. Identifikasi dan pemberian label B3 dan limbah B3
2. Inventarisasi B3 dan Limbah B3
3. Pengelolaan B3 : a Penanganan
B3 b Penyimpanan B3
4. Pengumpulan Limbah B3
5. Penyimpanan Limbah B3
6. Pembuangan Limbah B3
7. Penanganan tumpahan Limbah B3
8. Alat Pelindung Diri (APD) penanganan B3 dan Limbah B3

B. Identifikasi dan pemberian label B3 dan limbah B3

Untuk menentukan bahan berbahaya yang digunakan di RS Hermina Daan


Mogot mengacu pada PP RI No. 74 tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya Beracun
serta Permenkes RI No. 472/MENKES/PER/V/1999 tentang Pengamanan Bahan
Berbahaya dengan klasifikasi Bahan Berbahaya Beracun (B3) terdiri dari :
1. Mudah meledak;
2. Pengoksidasi;
3. Mudah Menyala;
4. Beracun;
5. Berbahaya;
6. Korosif;
7. Bersifat iritan ;
8. Infeksius;
Identifikasi limbah medis dan B3 dapat dilakukan dengan mengecek ada tidaknya
label/simbol pada kemasan.

Gambar 1.2
Lambang B3 dan Limbah B3

C. Inventarisasi B3 dan Limbah B3


Setelah identifikasi bahan berbahaya, dilakukan inventarisasi instalasi/unit
kerja yang menggunakan bahan berbahaya. Adapun instalasi/unit kerja yang
menggunakan bahan berbahaya di Rumah Sakit meliputi :
1. Instalasi Laboratorium
Menggunakan lebih dari satu bahan berbahaya beracun (B3) yang digunakan
bersifat irritant (Iritasi), toxic (beracun), flammable (mudah menyala).
2. Farmasi
Menggunakan bahan iritan, beracun dan mudah terbakar.
3. Instalasi ruang operasi (OK)
Menggunakan bahan berbahaya yang bersifat toxic (racun)
4. Unit Kesehatan Lingkungan
Menggunakan bahan berbahaya bersifat toxic (racun) dan irritant (iritasi)
5. Unit Laundry
Menggunakan bahan berbahaya bersifat irritant (iritasi)
6. Dapur
Menggunakan bahan berbahaya bersifat flammable (mudah menyala)
7. IPSRS
Menggunakan bahan berbahaya bersifat flammable (mudah menyala) dan toxic
(beracun).
8. Gudang
Menggunakan bahan berbahaya bersifat toxic (beracun) dan irritant (Iritasi)

D. Pengelolaan Bahan dan Limbah B3


I.Tahapan Pemrosesan Limbah Medis
1) Identifikasi
Jenis limbah
a) Limbah padat:
◦ Infeksius
◦ Non infeksius
b) Limbah cair
◦ Infeksius
◦ Non infeksius
c) Limbah benda tajam
2) Pemisahan
a) Pemisahan dimulai dari awal penghasil limbah
b) Pisahkan limbah sesuai dengan jenis limbah
c) Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya
d) Limbah cair segera dibuang ke wastafel di spoelhoek

Gambar 1.3
Tempat Sampah dan pengelolaan limbah sesuai Jenisnya

Sampah Non Infeksius Sampah Infeksius Sampah Botol


Infus

Sampah
Material Kaca
(Flakon, Ampul
dll)

Sampah
Benda Tajam
( Spuit &
Jarum) Instalasi Pengolahan Air Limbah
3) Labeling.
Kode warna pembungkus
 Kuning : SampahInfeksius
 Hitam : Non infeksius
 Merah : Radioaktif
 Ungu : Cytotoksik
 Kotak kuning (Safety box) Limbah benda tajam
tahan tusukan dan tahan air

4) Packing
 Tempatkan dalam wadah limbah tertutup
 Tutup mudah dibuka, sebaiknya dengan menggunakan kaki (meminimalkan
kontaminasi silang)
 Kontainer dalam keadaan bersih
 Kontainer terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak berkarat
 Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10 – 20 meter
 Ikat limbah jika sudah terisi 2/3 penuh
 Kontainer limbah harus dicuci setiap hari

5) Pengumpulan Sementara
6) Penyimpanan sementara
7) Pengangkutan
8) Treatment

II. Tahapan manajemen pengelolaan limbah medis :

1. Penanganan dan penampungan limbah padat


a. Pemisahan dan pengurangan limbah B3
Dalam pengembangan strategi pengelolaan limbah, alur limbah harus
diidentifikasi dan dipilah-pilah. Pemilahan dan reduksi volume limbah klinis yang
sejenis merupakan persyaratan keamanan yang penting untuk petugas
cleaning service, petugas kesehatan lingkungan dan masyarakat. Pemilahan
dan reduksi volume limbah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1) Kelancaran penanganan dan penampungan limbah
2) Pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan khusus, dengan
pemisahan limbah B3 dan non B3
3) Diusahakan sedapat mungkin menggunakan bahan kimia non B3
4) Pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah
untuk mengurangi biaya, tenaga kerja dan pembuangan. Pemisahan limbah
berbahaya dari semua limbah padat pada tempat penghasil limbah adalah
kunci pembuangan yang baik. Penempatan limbah dalam kantong atau
konteiner yang sama untuk menyimpan, pengangkutan dan pembuangan
akan mengurangi kemungkinan kesalahan petugas dalam penanganan
limbah.Proses pemilahan limbah dilakukan oleh perawat, petugas paramedis
non perawatan dan petugas cleaning service dengan membedakan limbah
infeksius dan non infeksius sesuai dengan label pada tempat sampah dan
warna kantong plastik limbah infeksius dan non infeksius. Pemilahan Limbah
medis dibedakan menjadi limbah medis benda tajam yang dibuang kedalam
safety box yang telah disediakan, dan untuk limbah medis bukan benda
tajam (infeksius) kedalam tempat sampah dengan kantong plastik berwarna
kuning.
b. Penanganan bahan B3
Dalam penanganan Bahan Berbahaya Beracun (B3), hal penting yang harus
diperhatikan adalah sifat fisik, kimia, bahaya dan akibat dari bahaya tersebut.
Untuk menghindari paparan bahan beracun, cara penanganan yang dilakukan
sebagai berikut :
1) Pemisahan Jenis B3
a) Mudah meledak
i. Potensi terbentuknya uap atau debu flammable di udara
ii. Potensi sumber panas
iii. Gelombang tekanan ledakan
b) Pengoksidasi
i. Pisahkan dengan bahan berbahaya lain yang mudah terbakar
ii. Penyimpanan khusus di almari
c) Mudah Menyala
Untuk mencegah bahaya kebakaran dalam pananganan bahan mudah
terbakar, cara yang dilakukan :
i. Pisahkan 3 unsur terjadinya kebakaran meliputi bahan mudah terbakar
O2 dan sumber panas
ii. Simpan bahan tersebut pada tempat dengan temperature ruang dan
berventilasi cukup
d) Beracun

Untuk menghindari paparan bahan beracun, cara penanganan yang


dilakukan sebagai berikut :
i. Penanganan dalam ruang khusus atau almari asam
ii. Bekerja dengan arah angin dari pekerja ke sumber emisi
iii. Ruang kerja berventilasi
iv. Memakai alat pelindung masker atau respirator yang tepat

e) Berbahaya

i. Identifikasi Lembar data keselamatan bahan berbahaya.


ii. Petugas yang terpapar bahan berbahaya menggunakan APD (Alat
Pelindung diri).
f) Korosif
Untuk mencegah paparan bahan kimia korosif, penanganan jenis bahan
ini dilakukan dengan :
i. Menggunakan sarung tangan (gloves)
ii. Pelindung muka (google)
iii. Pelindung badan (jas lab)
g) Bersifat iritan
Untuk menghindari paparan iritasi, cara penanganan yang
dilakukan sebagai berikut:
i. Kemasan menggunakan bahan pvc/plastic
ii. Ruangan harus berventilasi cukup
iii. Penanganan harus menggunakan alat pelindung diri (sarung
tangan)
h) Infeksius
Kantung limbah dikumpulkan dan sekaligus dipisahkan menurut
kode warnanya. Untuk jenis sampah padat di masukan ke dalam tempat
sampah medis, untuk sampah medis jenis tajam di masukan ke safety
box, dan untuk limbah cair berbahaya di masukkan ke dalam wadah
tertutup atau jerigen. Sedangkan untuk limbah cair infeksius (darah, urin
dan lain-lain) diolah didalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
2. Penyimpanan
Dalam penyimpanan Bahan Berbahaya Beracun (B3), hal penting yang
diperhatikan adalah sifat-sifat dari bahan tersebut dan reaksi akibat interaksi bahan
dalam penyimpanan. Interaksi yang terjadi selama dalam proses penyimpanan,
interaksi bahan dengan lingkungan, interaksi bahan dengan wadah, interaksi bahan
dengan bahan.
a. Mudah meledak
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin
2) Jauhkan dari sumber api/panas
3) Hindarkan tumbukan / benturan mekanis
b. Pengoksidasi
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin dan ventilasi cukup
2) Jauhkan dari sumber api/panas
3) Jauhkan dari bahan mudah terbakar/reduktor
c. Mudah Menyala
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin
2) Jauh dari sumber api
3) Sediakan Alat Pemadam Api Ringan (APAR)
d. Beracun
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin dan ventilasi cukup
2) Disimpan terpisah dari bahan-bahan yang mungkin bereaksi
3) Sediakan alat pelindung diri, masker,sarung tangan dan pakaian kerja
e. Berbahaya
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin dan ventilasi cukup
2) Di tempatkan di TPS sesuai dengan jenis limbah bahan berbahaya antara
lain jenis padat, tajam dan cair.
f. Korosif
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin dan ventilasi cukup
2) Disimpan terpisah dari bahan beracun
3) Wadah tertutup dan beretiket
4) Sediakan alat pelindung diri, masker, sarung tangan dan pakaian kerja
g. Bersifat iritan
1) Tempat penyimpanan bersuhu dingin dan ventilasi cukup
2) Disimpan terpisah dari bahan berbahaya
3) Wadah tertutup (jerigen) dan beretiket
4) Sediakan alat pelindung diri, masker, sarung tangan dan pakaian kerja
h. Infeksius

1) Disimpan terpisah antara sampah infeksius padat,botol infus,sampah


infeksisus dari material kaca, dan sampah infekius benda tajam.
2) Sediakan alat pelindung diri, masker, sarung tangan dan pakaian kerja.

3. Pengumpulan Limbah B3
a. Limbah B3 sejak dari sumbernya telah dipisahkan dengan kemasan yaitu plastic
kuning, safety box dan wadah jerigen/drum untuk B3 yg dalam bentuk cair
b. Dari sumber limbah B3 dikumpulkan dan diangkut dengan trolley tertutup (BIN) ke
Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) limbah B3
c. Pengangkutan ke Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) limbah B3
menggunakan jalur terpisah (gunakan lift barang) agar tidak terjadi kontak
dengan pasien dan pengunjung sehingga dapat dihindari risiko infeksi yang
disebabkan oleh limbah Rumah Sakit.

4. Pengangkutan limbah

Strategi pembuangan limbah rumah sakit meliputi pengangkutan limbah dari


titik penampungan awal ketempat penampungan sementara (TPS) untuk limbah
infeksius dan non infeksius dengan menggunakan kereta dorong. Peralatan
tersebut harus jelas dan diberi label, dibersihkan secara reguler dan hanya
digunakan untuk mengangkut sampah. Setiap petugas
hendaknya dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.
Pengangkutan limbah medis ketempat pembuangan akhir
menggunakan kendaraan khusus pengangkut limbah medis yang berijin
sebagai pihak ketiga pemusnah limbah medis. Pengangkutan menggunakan
konteiner khusus, konteiner harus kuat dan tidak bocor. Pihak ketiga selaku
pemusnah limbah medis harus memiliki ijin dari KLH dan ijin pengangkutan dari
Kementerian Perhubungan untuk kendaraan yang digunakan sebagai pengangkut
limbah medis.

Pengangkutan limbah internal dari ruangan ke TPS (Tempat Pembuangan


Sementara) sebagai berikut :
a. Petugas cleaning service melakukan pengangkutan setiap hari, maksimal 24 jam
sekali atau setiap 2/3 bagian tempat telah terisi penuh oleh limbah medis dan non
medis.
b. Plastik sampah diikat rapat oleh petugas cleaning service yang akan mengangkut,
kemudian dimasukkan ke dalam trolly/container dan dipastikan tidak ada limbah
yang tercecer saat pengangkutan ke TPS.
c. Setelah limbah medis dan non medis dibuang ke TPS sesuai dengan jenis
limbah, petugas cleaning service membersihkan tempat sampah.

5. Penyimpanan /penampungan Limbah B3


Sarana penampungan untuk limbah harus memadai, diletakkan pada tempat
yang pas, aman dan hygenis. Faktor-faktor tersebut perlu mendapat perhatian
dalam pengembangan seluruh strategi pembuangan limbah untuk rumah sakit.
Pemadatan limbah adalah cara yang efisien dalam penyimpanan limbah yang
bisa dibuang dengan landfill untuk limbah domestik. Pemadatan tidak boleh
dilakukan pada limbah infeksius dan limbah benda tajam.
Penampungan limbah :
a. Prosedur penyimpanan atau penampungan sementara limbah B3 pada tempat
pembuangan sementara (TPS) sebagai berikut :
1) Limbah yang diangkut dari ruangan dimasukkan ke TPS pada bak yang
terpisah antara limbah medis dan non medis dan dicek oleh petugas sanitasi
2) Petugas sanitasi memastikan bahwa bak TPS harus selalu dalam keadaan
tertutup.
3) Sebelum limbah B3 dimasukan ke dalam TPS limbah B3 dilakukan
penimbangan dan dicatat di dalam log book/catatan limbah B3 untuk
mengetahui jumlah limbah B3 setiap harinya
4) Penyimpanan limbah B3 disimpan berdasarkan karakteristiknya :
a) Limbah B3 padat Infeksius
b) Limbah B3 cair Infeksius
c) Limbah B3 non medis
5) Tempat penyimpanan limbah B3 padat Infeksius menggunakan penyimpanan
bak stainless tertutup dan Limbah B3 cair infeksius dan non medis
menggunakan pallet agar lantai dapat dibersihkan setiap saat.
6) Ruang penyimpanan limbah B3 harus memiliki ventilasi yang baik,
dilengkapi dengan penerangan dan APAR.
b. Wadah limbah di rumah sakit disediakan oleh bagian Rumah Tangga berdasarkan
usulan dari Kesehatan Lingkungan, sebagai berikut :
1) Bagian Rumah Tangga menyediakan tempat sampah, safety box dan plastik
sampah warna kuning dan hitam sesuai dengan kebutuhan setiap tahun
2) Perawat ruangan, Poliklinik, IGD, IKEP, Rehabilitasi Psikososial dan pelayanan
penunjang (Radiologi, Laboratorium) memasukkan limbah medis kedalam tempat
sampah dengan label sampah medis dan kantong plastik berwarna kuning, limbah
benda tajam dimasukkan kedalam safety box dan limbah non medis dimasukkan
kedalam tempat sampah dengan label sampah non medis kantong plastik warna
hitam.
3) Kepala ruangan berserta petugas kesehatan lingkungan mengawasi proses
pemilahan dan pewadahan limbah medis.
c. Tempat penampungan limbah padat yang digunakan untuk menampung sampah di
ruangan perawatan dan ruangan lain di rumah sakit terdiri dari :
1) Tempat sampah dengan kantong plastik berwarna kuning untuk limbah infeksisus
dengan tulisan ”sampah infeksisus” pada tempat sampah
2) Tempat sampah dengan kantong plastik berwarna hitam untuk limbah non
infeksisus dengan tulisan ”sampah non infeksisus” pada tempat sampah
3) Safety box berwarna kuning dengan tulisan ”limbah benda tajam” untuk limbah
medis tajam.
d. Standarisasi kantong dan konteiner pembuangan limbah
Berbagai kantong yang digunakan untuk membuang limbah di rumah
sakit dengan menggunakan bermacam-macam warna. Standarisasi kode
warna dan identifikasi kantong dan konteiner limbah. Keberhasilan
pemisahan limbah bergantung kepada kesadaran, prosedur yang jelas serta
keterampilan petugas sampah pada semua tingkat.
Keseragaman standar kantong dan konteiner limbah mempunyai
keuntungan sebagai berikut :
1) Mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf yang dimutasikan antar
instansi/unit.
2) Meningkatkan keamanan secara umum, baik pada pekerjaan di
lingkungan rumah sakit maupun pada penanganan limbah di luar rumah
sakit.
3) Pengurangan biaya produksi kantong dan konteiner.

Jenis wadah limbah medis padat sesuai kategorinya :

Tabel 1.2
6. Pembuangan/ Pemusnahan Limbah B3:
a. Prosedur pemusnahan / pembuangan limbah B3 di rumah sakit sebagai
berikut :
1) Limbah non infeksisus padat diangkut Dinas Kebersihan Kota Magetan untuk
dilakukan pemusnahan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Kota
Magetan.
2) Limbah medis padat diangkut oleh rekanan pihak ketiga yang memiliki ijin
pengangkutan limbah B3 untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut yaitu
PT.Triata Mulia Indonesia. Pembuangan dan pemusnahan limbah B3 di RS
dilakukan oleh pihak ketiga yang sudah memenuhi syarat dari Kementrian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia yaitu PT Wastec International dn
PT.Tenang Jaya Sejahtera.
3) Limbah cair biologis disalurkan ke swage treatment plan (IPAL) untuk dilakukan
pengolahan
4) Limbah gas disalurkan melalui screen ke udara bebas
5) Frekuensi pengangkutan seminggu 2 kali pengangkutan.
6) Sebelum limbah B3 diangkut oleh pihak kedua, dilakukan penimbangan
disaksikan oleh petugas Rumah Sakit yang bertanggungjawab terhadap
penanganan limbah B3.
7) Pihak kedua harus memberikan manifest tentang jumlah dan jenis limbah yang
akan dimusnahkan kepada pihak rumah sakit yang telah ditandatangani pihak
kedua.

b. Metode pembuangan limbah


Sebagian besar limbah medis klinis dan yang sejenis dibuang dengan
menggunakan pihak ketiga untuk melakukan pembuangan dan pemusnahan
limbah. Metode pembuangan limbah tergantung faktor-faktor khusus sesuai
dengan situasi dan kondisi rumah sakit.
1) Desinfeksi dengan bahan kimia, di rumah sakit digunakan untuk mengepel
lantai dan membasuh tumpahan dan mencuci tempat limbah medis dan TPS.
Limbah infeksius dalam jumlah kecil dapat didesinfeksi (membunuh
mikroorganisme tetapi tidak membunuh spora bakteri) dengan bahan kimia
seperti hypochlorit atau permanganate.
2) Pemusnahan limbah medis padat dilakukan oleh pihak ketiga yang memiliki ijin
usaha pengelola limbah medis. Limbah medis cair biologis dialirkan ke dalam
saluran pembuangan limbah medis akhir yaitu swage treatment plan (STP) atau
saluran IPAL rumah sakit. Pengelolaan dan pemusnahan limbah berada
dibawah tanggung jawab petugas sanitasi/kesehatan lingkungan rumah sakit.

7. Penanganan Tumpahan Limbah B3


Penanganan tumpahan limbah B3 adalah tindakan gawat darurat terhadap
tumpahan limbah B3 yang tercecer di area instalasi yang menghasilkan limbah
B3, area rumah sakit dan Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah
B3.Untuk Penanganan tumpahan Infeksius & B3 dibersihkan dg menggunakan
Spill Kit.Spill Kitt adalah kit atau seperangkat alat yang digunakan untuk
menangani jika terjadi tumpahan bahan Infeksius & B3 agar tidak membahayakan
penghuni atau lingkungan sekitar

E. Pengelolaan Limbah Cair

Limbah cair rumah sakit adalah seluruh limbah cair yang berasal dari
seluruh aktivitas pelayanan rumah sakit yang dihasilkan baik dari ruang perawatan,
IGD, poliklinik, laboratorium, radiologi dan ruang toilet di rumah sakit. Limbah cair
rumah sakit kemungkinan mengandung mikro organisme, bahan kimia beracun,
dan radioaktif.
Limbah cair di buang dari sumber penghasil limbah baik dari kamar
mandi,spoolhook,dan watafel di buang ke saluran untuk di alirkan ke IPAL.Rumah
sakit Dr Efram Harsana lanud Iswahyudi Madiun mempunyai jumlah kapasitas tidur
100 bed, sehingga diperkirakan menghasilkan volume limbah kurang lebih 40 m3
perhari dengan asumsi perhitungan 100 bed x 500 ltr/bed x 80% = 40.000 ltr atau
40 m3 per hari. Dengan asumsi perhitungan tersebut, bangunan kontruksi IPAL
yang dibuat lebih besar dari kapasitas sesungguhnya yaitu 60 m3 sebagai
pertimbangan agar apabila terjadi pengembangan rumah sakit dan penambahan
sampai jumlah tempat tidur 150 bed, masih mampu menampung dan mengolah
volume limbah yang dihasilkan.
1. Sumber dan sifat-sifat air limbah :
a. Sifat limbah yang dibuang ke saluran. Ukuran, fungsi dan kegiatan rumah sakit
mempengaruhi kondisi air limbah yang dihasilkan. Secara umum air limbah
mengandung buangan pasien, sisa makanan dari dapur, limbah laundry, limbah
laboratorium berbagai macam bahan kimia baik toksik maupun non toksik dan
lain-lain.
b. Karakteristik kimia, fisik, dan biologi limbah. Limbah rumah sakit mengandung
bermacam-macam mikro-organisme tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat
pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang
dan jenis sarana yang ada.
Limbah rumah sakit seperti limbah lain akan mengandung bahan-bahan
organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air
kotor/limbah pada umumnya seperti BOD, COD, TSS dan lain-lain. Bila di rumah
sakit memilki unit atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sendiri, maka
kandungan ini harus dimonitor untuk menilai hasil kerja IPAL dan berbagai bakteri
indikator perlu diperiksa setelah air limbah didesinfeksi.
2. Komponen Primer Air Limbah
Elemen biologis dalam sistem perairan berkaitan erat dengan komponen-
komponen kimia. Pengetahuan mengenai komponen primer sangat penting untuk
menganalisis elemen biologis dan menganalisis efek dari perubahan kualitas air.
Komponen-komponen dalam perairan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok
yang disebut zat-zat organik yang terdiri dari senyawa organik alam dan senyawa
organik sintetis, bahan-bahan anorganik dan gas. Komponen dasar dari senyawa
organik adalah karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor dan sulfur. Tiga dari
kelompok senyawa organik adalah protein, karbohidrat dan lipida. Protein
merupakan bahan dasar dari sel-sel binatang, yakni sekitar 40-60%. Karakteristik
yang diketahui dari protein adalah kandungan nitrogren didalamnya. Karbohidrat
merupakan bahan penyusun utama dalam sel tumbuhan dan meliputi selulosa,
serat kayu, gula dan tepung. Lipida tidak terlarut dalam air dan meliputi lemak,
minyak, dan lilin. Zat-zat organik di dalam air dalam kadar yang rendah dan hanya
sebagian kecil dari seluruh jumlah padatan yang ada. Keberadaan senyawa organik
di dalam air akan menimbulkan berbagai masalah, antara lain masalah rasa dan
bau. Keberadaaan senyawa organik juga menyebabkan air memerlukan
proses pengolahan air bersih yang lebih kompleks, menurunkan kandungan
oksigen, serta menyebabkan terbentuknya substansi beracun.
3. Karakter Air Limbah
Karakteristik limbah cair dapat diketahui menurut sifat dan karakteristik kimia,
biologis dan fisika. Studi karakteristik limbah perlu dilakukan agar dapat dipahami
sifat-sifat tersebut serta konsentrasinya dan sejauh mana tingkat pencemaran dapat
ditimbulkan limbah terhadap lingkungan.
Dalam menentukan karakteristik limbah maka ada tiga jenis sifat yang harus
diketahui yaitu:
a) Sifat Fisik
a) Padatan
Dalam limbah ditemukan zat padat yang secara umum diklasifikasikan
kedalam dua kelompok besar yaitu padatan terlarut dan padatan
tersuspensi. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel koloid dan partikel
biasa. Jenis partikel dapat dibedakan berdasarkan diameternya. Jenis
padatan terlarut maupun tersuspensi dapat bersifat organis dan anorganis
tergantung dari mana sumber limbah. Disamping kedua jenis padatan ini
adalagi padatan terendap karena mempunyai diameter yang lebih besar
dan dalam keadaan tenang dalam beberapa waktu akan mengendap
sendiri karena beratnya. Zat padat tersuspensi yang mengandung zat-zat
organik pada umumnya terdiri dari protein, ganggang dan bakteri.
b) Kekeruhan
Sifat keruh air dapat dilihat dengan mata secara langsung karena ada partikel
koloidal yang terdiri dari tanah liat, sisa bahan-bahan, protein dan ganggang
yang terdapat dalam limbah. Kekeruhan merupakan sifat optis larutan. Sifat
keruh membuat hilang nilai estetikanya.
c) Bau
Sifat bau limbah disebabkan karena zat-zat organik yang telah berurai dalam
limbah mengeluarkan gas-gas seperti sulfida atau amoniak yang menimbulkan
penciuman tidak enak yang disebabkan adanya campuran dari nitrogen, sulfur
dan fosfor yang berasal dari pembusukan protein yang dikandung limbah.
Timbulnya bau yang diakibatkan limbah merupakan suatu indicator bahwa
terjadi proses alamiah.
d) Temperatur
Limbah yang mempunyai temperatur panas akan mengganggu pertumbuhan
biota tertentu. Temperatur yang dikeluarkan suatu limbah cair harus
merupakan temperatur alami. Suhu berfungsi memperlihatkan aktivitas
kimiawi dan biologis. Pada suhu tinggi pengentalan cairan berkurang dan
mengurangi sedimentasi. Tingkat zat oksidasi lebih besar daripada suhu tiggi
dan pembusukan jarang terjadi pada suhu rendah.
e) Warna
Warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan (secara
alami), humus, plankton, tanaman air dan buangan. Warna berkaitan dengan
kekeruhan dan dengan menghilangkan kekeruhan kelihatan warna nyata.
Demikian pula warna dapat disebabkan oleh zat-zat terlarut dan zat
tersuspensi. Warna menimbulkan pemandangan yang jelek dalam air limbah
meskipun warna tidak menimbulkan racun.

b. Sifat Kimia
Karakteristik kimia air limbah ditentukan oleh Biological Oxygen Demand
(BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan logam-logam berat yang terkandung
dalam air limbah. Tes BOD dalam air limbah merupakan salah satu metode yang
paling banyak digunakan sampai saat ini. Metode pengukuran limbah dengan cara
ini sebenarnya merupakan pengukuran tidak langsung dari bahan organik.
Pengujian dilakukan pada temperatur 200 C selama 5 hari. Kalau disesuaikan
dengan temperatur alami Indonesia maka seharusya pengukuran dapat dilakukan
pada lebih kurang 300 C. Pengukuran dengan COD lebih singkat tetapi tidak
mampu mengukur limbah yang dioksidasi secara biologis. Nilai-nilai COD selalu
lebih tinggi dari nilai BOD.
a) Biological Oxygen Demand (BOD)
Pemeriksaan BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat
organis dengan oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat berlangsung
karena ada sejumlah bakteri. Diperhitungkan selama dua hari reaksi lebih dari
sebagian reaksi telah tercapai.BOD adalah kebutuhan oksigen bagi sejumlah
bakteri untuk menguraikan semua zat-zat organik yang terlarut maupun
sebagian tersuspensi dalam air menjadi bahan organik yang lebih sederhana.
Nilai ini hanya merupakan jumlah bahan organik yang dikonsumsi bakteri.
Penguraian zat-zat organis ini terjadi secara alami. Dengan habisnya oksigen
terkonsumsi membuat biota lainnya yang membutuhkan oksigen menjadi
kekurangan dan akibatnya biota yang memerlukan oksigen ini tidak dapat
hidup. Semakin tinggi angka BOD semakin sulit bagi makhluk air yang
membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup.

b) Chemical Oxygen Demand (COD)


Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran
kebutuhan oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat waktuya
dibandingkan dengan analisis BOD. Pengukuran ini menekankan kebutuhan
oksigen akan kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-
bahan yang tidak dipecah secara biokimia. Adanya racun atau logam tertentu
dalam limbah pertumbuhan bakteri akan terhalang dan pengukuran BOD
menjadi tidak realistis. Untuk mengatasinya lebih tepat meggunakan
analisis COD.
COD adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat
anorganis dan organis sebagaimana pada BOD. Angka COD merupakan
ukuran bagi pencemaran air oleh zat anorganik. Semakin dekat nilai BOD
terhadap COD menunjukkan bahwa semakin sedikit bahan anorganik yang
dapat dioksidasi dengan bahan kima. Pada limbah yang mengandung logam-
logam pemeriksaan terhadap BOD tidak memberi manfaat karena tidak ada
bahan organik dioksida. Hal ini bisa jadi karena logam merupakan racun bagi
bakteri. Pemeriksaan COD lebih cepat dan sesatannya lebih mudah
mengantisipasinya. Perbandingan BOD dengan COD pada umumnya bervariasi
untuk berbagai jenis limbah.
c) Metan
Gas metan terbentuk akibat penguraian zat-zat organik dalam kondisi anaerob
pada air limbah. Gas ini dihasilkan oleh lumpur yang membusuk pada dasar kolam,
tidak berdebu, tidak berwarna dan mudah terbakar. Metan juga dapat ditemukan
pada rawa-rawa dan sawah. Suatu kolam limbah yang menghasilkan gas metan
akan sedikit sekali menghasilkan lumpur, sebab lumpur telah habis terolah menjadi
gas metan dan air serta CO2.
d) Keasaman Air
Keasaman air diukur dengan pH meter. Keasaman ditetapkan berdasarkan tinggi
rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air buangan yang mempunyai pH
tinggi atau rendah menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh
mikroorganisme air yang diperlukan untuk keperluan biota tertentu. Demikian juga
makhluk-makhluk lain tidak dapat hidup seperti ikan. Air yang mempunyai pH
rendah membuat air korosif terhadap bahan-bahan konstruksi besi dengan kontak
air.
e) Alkalinitas
Tinggi rendahnya alkalinitas air ditentukan air senyawa karbonat, garamgaram
hidroksida, kalsium, magnesium, dan natrium dalam air. Tingginya kandungan zat-
zat tersebut mengakibatkan kesadahan dalam air. Semakin tinggi kesadahan suatu
air semakin sulit air berbuih. Untuk menurunkan kesadahan air dilakukan
pelunakan air. Pengukuran alkalinitas air adalah pegukuran kandungan ion CaCO3,
ion Mg bikarbonat dan lain-lain.
f) Lemak dan minyak
Kandungan lemak dan minyak yang terkandung dalam limbah bersumber dari
instalasi yang mengolah bahan baku mengandung minyak. Lemak dan minyak
merupakan bahan organis bersifat tetap dan sukar diuraikan bakteri. Limbah ini
membuat lapisan pada permukaan air sehingga membentuk selaput.
g) Oksigen terlarut
Keadaan oksigen terlarut berlawanan dengan keadaan BOD. Semakin tiggi BOD
semakin rendah oksigen terlarut. Keadaan oksigen terlarut dalam air dapat
menunjukkan tanda-tanda kehidupan ikan dan biota dalam perairan.Kemampuan
air untuk mengadakan pemulihan secara alami banyak tergantung pada
tersedianya oksigen terlarut. Angka oksigen yang tinggi menunjukkan keadaan air
semakin baik. Pada temperatur dan tekanan udara alami kandungan oksigen
dalam airalami bisa mencapai 8 mg/liter.Aerator salah satu alat yang berfungsi
meningkatkan kandungan oksigen dalam air. Lumut dan sejenis ganggang menjadi
sumber oksigen karena proses fotosintesis melalui bantuan sinarmatahari.Semakin
banyak ganggang semakin besar kandungan oksigennya
h) Klorida
Klorida merupakan zat terlarut dan tidak menyerap. Sebagai klor bebas berfungsi
desinfektan tetapi dalam bentuk ion yang bersenyawa dengan ion
i) Natrium menyebabkan air menjadi asin dan dapat merusak pipa-pipa instalasi
j) Phospat
Kandungan phospat yang tinggi menyebabkan suburnya algae dan organisme
lainnya yang dikenal dengan eutrophikasi. Ini terdapat pada ketel uap yang
berfungsi untuk mencegah kesadahan. Pengukuran kandungan phospat dalam air
limbah berfungsi untuk mencegah tingginya kadar phospat sehingga tumbuh-
tumbuhan dalam air berkurang jenisnya dan pada gilirannya tidak merangsang
pertumbuhan tanaman air. Kesuburan tanaman ini akan menghalangi kelancaran
arus air. Pada danau suburnya tumbuh-tumbuhan air akan mengakibatkan
berkurangnya oksigen terlarut.
c. Sifat Biologi
Mikroorganisme ditemukan dalam jenis yang sangat bervariasi hampir dalam
semua bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-108 organisme/ml.
Kebanyakan merupakan sel tunggal yang bebas ataupun berkelompok dan
mampu melakukan proses-proses kehidupan (tumbuh, metabolisme, dan
reproduksi).
Secara tradisional mikroorganisme dibedakan menjadi binatang dan tumbuhan.
Namun, keduanya sulit dibedakan. Oleh karena itu, mikroorganisme kemudian
dimasukkan kedalam kategori protista, status yang sama dengan binatang
ataupun tumbuhan. Virus diklasifikasikan secara terpisah. Keberadaan bakteri
dalam unit pengolahan air limbah merupakan kunci efisiensi proses biologis.
Bakteri juga berperan penting dalam mengevaluasi kualitas air.
4. Penampungan dan sistem pengolahan limbah rumah sakit:
a. Waste Stabilization Pond System (kolam stabilisasi air limbah)
Sistem pengelolaan ini cukup efektif dan efisien kecuali masalah lahan, karena
kolam stabilisasi memerlukan lahan yang cukup luas; maka biasanya dianjurkan
untuk rumah sakit di luar kota (pedalaman) yang biasanya masih mempunyai lahan
yang cukup. Sistem ini terdiri dari bagian-bagian yang
cukup sederhana yakni :
1) Pump Swap (pompa air kotor).
2) Stabilization Pond (kolam stabilisasi) 2 buah.
3) Bak Klorinasi
4) Control room (ruang kontrol)
5) Inlet
6) Incinerator antara 2 kolam stabilisasi
7) Outlet dari kolam stabilisasi menuju sistem klorinasi
b. Waste Oxidatin Ditch Treatmen System (kolam oxidasi air limbah) Sistem ini terpilih
untuk pengolahan air limbah rumah sakit di kota, karena tidak memerlukan lahan
yang luas. Kolam oksidasi dibuat bulat atau elips, dan air limbah dialirkan secara
berputar agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara
(aerasi). Kemudian air limbah dialirkan ke bak sedimentasi untuk mengendapkan
benda padat dan lumpur. Selanjutnya air yang sudah jernih masuk ke bak klorinasi
sebelum dibuang ke selokan umum atau sungai. Sedangkan lumpur yang
mengendap diambil dan dikeringkan pada Sludge drying bed (tempat pengeringan
Lumpur). Sistem kolam oksidasi ini terdiri dari :
1) Pump Swap (pompa air kotor).
2) Oxidation Ditch (pompa air kotor).
3) Sedimentation Tank (bak pengendapan) .
4) Chlorination Tank (bak klorinasi).
5) Sludge Drying Bed (tempat pengeringan lumpur, biasanya 1-2 petak).
6) Control Room (ruang kontrol).
c. Anaerobic Filter Treatment System
Sistem pengolahan melalui proses pembusukan anaerob melalui filter/saringan, air
limbah tersebut sebelumnya telah mengalami pretreatment dengan septic tank
(inchaff tank). Proses anaerobic filter treatment biasanya akan menghasilkan
effluent yang mengandung zat-zat asam organik dan senyawa anorganik yang
memerlukan klor lebih banyak untuk proses oksidasinya. Oleh sebab itu sebelum
effluent dialirkan ke bak klorida ditampung dulu di bak stabilisasi untuk memberikan
kesempatan oksidasi zat-zat tersebut di atas, sehingga akan menurunkan jumlah
klorin yang dibutuhkan pada proses klorinasi nanti. Sistem Anaerobic Treatment
terdiri dari komponen-komponen antara lain sebagai berikut :
1) Pump Swap (pompa air kotor).
2) Septic Tank (inhaff tank).
3) Anaerobic filter.
4) Stabilization tank (bak stabilisasi).
5) Chlorination tank (bak klorinasi).
6) Sludge drying bed (tempat pengeringan lumpur).
7) Control room (ruang kontrol).
Kontruksi Anaerobic Filter Treatment System dapat disesuaikan dengan debit
air buangan dari rumah sakit yang juga tergantung dari besar kecilnya rumah sakit,
atau jumlah tempat tidur kebutuhan tersebut, misalnya :
1) Volume septic tank.
2) Jumlah anaerobic filter.
3) Volume stabilization tank.
4) Jumlah chlorination tank.
5) Jumlah sludge drying bed.
6) Perkiraan luas lahan yang diperlukan.
d. Septic-Tank
Septik tank dipergunakan untuk mengolah air kotor pada rumah tangga
termasuk limbah cair rumah sakit. Penyaluran semua limbah cair ke dalam septik
tank akan menjadi lebih baik oleh karena cara ini akan menjadi hasil pembersihan
yang lebih baik.
Konstruksi septik tank bermacam-macam dari yang sederhana sampai yang
lengkap, tetapi prinsip dari septik tank adalah sama. Septik tank dipersiapkan
bahwa pemakaian air setiap orang per hari sebesar 100 liter. Waktu berdiamnya
limbah cair didalam septik tank selama 24 jam, bila kemungkinan bertambahnya
pemakaian air sampai 200 liter per orang per hari masih dapat diberi waktu tinggal
selama 12 jam.
Dasar septik tank dibuat miring sehingga lumpur dapat agak berkumpul
menyebelah dan kemudian mengalir dengan sendirinya kedalam ruang lumpur
kedua yang letaknya berdampingan dengan septik tank. Dengan adanya ruang
lumpur kedua ini dapat terjamin bahwa yang dikeluakan hanyalah lumpur yang
betul-betul sudah menjadi busuk dan stabil serta tidak terdapat lagi bakteri
pathogen dan dapat diharapkan tidak mengandung telur cacing.
Untuk menjamin terpakainya seluruh bidang resapan dibuat suatu alat
pembubuh, yang terdiri dari bak untuk mengumpulkan air kotor yang keluar dari
septik tank dengan syphon otomoatis yang dapat mengalirkan seluruh isi bak
pembubuh dengan sekaligus ke bidang peresapan.
5. Pengolahan Air Limbah
Pengolahan limbah dengan memanfaatkan teknologi pengolahan dapat dilakukan
dengan cara fisika, kimia dan biologi atau gabungan dari ketiga system pengolahan
tersebut. Pengolahan limbah secara biologis dapat digolongkan menjadi pengolahan
cara aerob dan pegolahan limbah dengan cara anaerob.
Berdasarkan sistem unit operasinya teknologi pengolahan limbah dibagi menjadi
unit operasi phisik, unit operasi kimia dan unit operasi biologi. Sedangkan bila dilihat
dari tigkatan perlakuan pengolahan maka sistem perlakuan limbah diklasifikasikan
menjadi: pretreatment, primary treatment system, secondary treatment system dan
tertiary treatment system.
a. Proses Pengolahan Fisika
1) Screening
Screening merupakan tahap awal pada proses pengolahan air limbah. Proses
ini bertujuan untuk memisahkan potongan-potongan kayu, plastik, dan
sebagainya. Screen terdiri atas batangan-batangan besi yang berbentuk lurus
atau melengkung dan dipasang dengan tingkat kemirigan 750-900 terhadap
horisontal.
2) Grit Chamber
Bertujuan untuk menghilangkan kerikil, pasir, dan partikel-partikel lain
yang dapat mengendap di dalam saluran dan pipa-pipa serta untuk melindungi
pompa-pompa dan peralatan lain dari penyumbatan.
3) Equalisasi
Equalisasi laju alir digunakan untuk menangani variasi laju alir dan memperbaiki
proses berikutnya. Di samping itu, equalisasi juga bermanfaat untuk
mengurangi ukuran dan biaya proses berikutnya. Adapun keuntungan yang
diperoleh dari peggunaan equalisasi sebagai berikut:
a) Pada pegolahan biologi, perubahan beban secara mendadak dapat dihindari
dan pH dapat diatur supaya konstan.
b) Pengaturan bahan-bahan kimia lebih dapat terkontrol.
c) Pencucian filter lebih dapat teratur.
d) Performance filter dapat diperbaiki.
e) Lokasi equalisasi harus dipertimbangkan pada saat pembuatan diagram alir
pengolahan limbah. Lokasi equalisasi yang optimal dan sangat bervariasi
menurut tipe pengolahan limbah yang dilakukan, karakteristik sistem
pegumpulan, dan jenis air limbah. Pada beberapa kasus, equalisasi dapat
ditempatkan setelah pengolahan primer dan sebelum pengolahan biologis.
Equalisasi yang diletakkkan setelah pengolahan primer biasanya disebabkan
oleh masalah-masalah ynag ditimbulkan oleh lumpur dan buih. Dalam
pelaksanaan equalisasi dibutuhkan pengadukan untuk mencegah
pegendapan dan aerasi untuk menghilangkan bau. Equalisasi biasanya
dilaksanakan bersamaan dengan netralisasi.
4) Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan partikel dari air dengan memanfaatkan gaya
gravitasi. Proses ini bertujuan untuk memperoleh air buangan yang jernih dan
mempermudah proses penanganan lumpur. Dalam proses sedimentasi hanya
partikel-partikel yang lebih berat dari air yang dapat terpisah misalnhya, kerikil
dan pasir. Bagian terpenting dalam perencanaan unit sedimentasi adalah
mengetahui kecepatan pengendapan dari partikel-partikel yang akan
dipindahkan. Kecepatan pegendapan ditentukan oleh ukuran, densitas larutan,
viskositas cairan, dan temperatur.
5) Floatasi
Floatasi atau pengapungan digunakan untuk memisahkan padatan dari air. Unit
floatasi digunakan jika densitas partikel lebih kecil dibandingkan dengan
densitas air sehingga cenderung megapung. Floatasi antara lain digunakan
dalam proses pemisahan lemak dan minyak serta pengentalan lumpur.
b. Proses Pengolahan Kimia
1) Netralisasi
Netralisasi adalah reaksi antara asam dan basa yang menghasilkan air dan
garam. Dalam pengolahan air limbah pH diatur antara 6,0-9,5. Di luar kisaran
pH tersebut, air limbah akan bersifat racun bagi kehidupan air termasuk bakteri.
Jenis bahan kimia yang dapat ditambahkan tergantung pada jenis dan jumlah
air limbah serta kondisi lingkungan setempat. Netralisasi air limbah yang
bersifat asam dapat dilakukan dengan penambahan NaOH (natrium
hidroksida); sedangkan netralisasi air limbah yang bersifat basa dapat
dilakukan dengan penambahan H2SO4 (asam sulfat).
2) Koagulasi dan flokulasi
Proses koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan yang
tersuspensi koloid yang sangat halus di dalam air limbah, menjadi gumpalan-
gumpalan yang dapat diendapkan, disaring atau diapungkan.
c. Proses Pengolahan Biologi
Secara umum proses pegolahan biologi menjadikan pengolahan air limbah secara
modern lebih terstruktur, tergantung pada syarat-syarat air yang harus dijaga atau jenis
air limbah yang harus dikelola. Pengolahan air limbah secara biologi bertujuan untuk
membersihkan zat-zat organik atau mengubah bentuk zat-zat organik menjadi bentuk-
bentuk yang kurang berbahaya. Proses pengolahan secara biologi juga bertujuan
untuk mengunakan kembali zat-zat organik yang terdapat dalam air limbah.
6. Pemeriksaan Limbah Olahan
a. Chemical Oxygen Demand (COD)
Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran
kebutuhan oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat waktunya
dibandingkan dengan analisis BOD. Pengukuran ini menekankan kebutuhan
oksigen akan kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan
yang tidak dipecah secara biokimia.
Pemeriksaan COD, dilakukan sebagai suatu ukuran pencemaran dari air
limbah. Hal ini,untuk mengukur oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat
organik. Metode pemeriksaan dilakukan dengan titrasi di laboratorium (tanpa refluks)
dengan prinsip analisis sebagai berikut; pemeriksaan parameter COD ini
menggunakan oksidator potassium dikromat yang berkadar asam tinggi dan
dipertahankan pada temperature tertentu. Penambahan oksidator ini menjadikan
proses oksidasi bahan organic menjadi air dan CO2, setelah pemanasan.
Perbedaan Kadar BOD, COD, TSS maka sisa dikromat diukur. Pengukuran ini
dengan jalan titrasi, oksigen yang equivalen dengan dikromat inilah yang
menyatakan COD dalam satuan ppm.
b. Biological Oxygen Demand (BOD)
Pemeriksaan BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat
organis dengan oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat berlangsung
karena ada sejumlah bakteri. Diperhitungkan selama dua hari reaksi lebih dari
sebagian reaksi telah tercapai.
Pemeriksaan BOD merupakan salah satu dari pemeriksaan ujicoba-ujicoba
yang paling penting untuk menentukan daya cemar air limbah. Pemeriksaan
biokimia yang mengukur zat-zat organik yang kemungkinan akan dioksidasi oleh
kegiatan-kegiatan bakteri aerobik dalam masa 5 hari pada 200 0C. Metode
pemeriksaanya dengan Winkler (Titrasi di Laboratorium), dan menggunakan prinsip
analisis sebagai berikut:
Pemeriksaan parameter BOD didasarkan pada reaksi oksidasi zat organik
dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya
bakteri aerobik.
Untuk menguraikan zat organik memerlukan waktu ± 2 hari untuk 50% reaksi,
5 hari untuk 75% reaksi tercapai dan 20 hari untuk 100% reaksi tercapai. Dengan
kata lain tes BOD berlaku sebagai simulasi proses biologi secara alamiah, mula-
mula diukur DO nol dan setelah mengalami inkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C
atau 3 hari pada suhu 25°C–27°C diukur lagi DO air tersebut. Perbedaan DO air
tersebut yang dianggap sebagai konsumsi oksigen untuk proses biokimia akan
selesai dalam waktu 5 hari dipergunakan dengan anggapan segala proses biokimia
akan selesai dalam waktu 5 hari, walau sesungguhnya belum selesai.
c. Total Suspended Solid (TSS)
TSS yaitu jumlah berat zat yang tersuspensi dalam volume tertentu di dalam air
ukurannya mg/l. Pengukuran TSS dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Menyiapkan kertas saring dan cawan penguapan dipanaskan
dengan suhu 1050C selama 1 jam. Kemudian diambil dan didinginkan ke dalam
desikator selama ± 15 menit lalu ditimbang untuk mengetahui beratnya.
2) Mengukur air limbah sebanyak 1000 ml, 6 ml/L EM-4 dan 6 gram/L starbio.
3) Mengambil air limbah sebanyak 100 ml/L, 6 ml/L EM-4 dan 100 ml/L air limbah,
6 gram/L starbio.
4) Kemudian masing-masing sampel dicampur merata lalu amati keduanya antara
air limbah yang dicampur 6 ml/L EM-4 dan 6 gram/L starbio, terdapat endapan
airnya keruh atau tidak.
5) Menyaring masing- masing sampel dengan kertas saring yang sudah diketahui
beratnya lalu masukkan ke dalam oven dengan suhu 105 0C selama 1 jam,
kemudian dinginkan dalam desikator selama ±15 menit lalu ditimbang untuk
mengetahui beratnya.
6) TSS dihitung dengan menggunakan rumus : (B - A) Mg/1
zat padat terlarut = C x 1000
A = berat cawan dan residu sesudah pemanasan 105 0 C (mg)
B = berat cawan kosong (mg) C = M1 sampel
d. pH
pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan
mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. pH dapat ditentukan dengan mudah dengan
mempermudah petunjuk-petunjuk colorimetric, petunjuk-petunjuk ini memberikan
suatu ketepatan pada kira-kira 0,2 unit. Pengukuran pH adalah sesuatu yang
penting dan praktis, karena banyak reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang penting
terjadi pada tingkat pH yang khusus atau pada lingkungan pH yang sangat sempit.
Untuk pengukuran yang lebih tepat dapat digunakan sebuah potentioner yang
mengukur kekuatan listrik yang dikeluarkan oleh ion-ion H. Apabila hasil
pengukuran menunjukkan kadar pH melebihi baku mutu, maka dapat dilakukan
upaya untuk menurunkan kadar dengan cara penggunaan Reverse Osmosis selain
dapat menghasilkan air murni / tanpa mineral juga dapat menurunkan pH air dari 7
menjadi 6,5 hingga 5,0.
e. Phosphat
Keberadaan phosphat yang berlebihan di badan air menyebabkan suatu fenomena
yang disebut eutrofikasi (pengkayaan nutrien). Untuk mencegah kejadian tersebut,
air limbah yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu untuk mengurangi
kandungan phosphat sampai pada nilai tertentu (baku mutu efluen 2 mg/l). Dalam
pengolahan air limbah, phosphat dapat disisihkan dengan proses fisika-kimia
maupun biologis. Penyisihan phosphat secara presipitasi kimiawi dapat dilakukan
dalam filter teraerasi secara biologis dengan menambahkan FeSO4.
Media yang digunakan adalah plastik dengan luas permukaan spesifik 275 m2/m3
dan porositas 0,95. Penambahan presipitan pada filter biologis ini tidak
mempengaruhi secara signifikan penyisihan BOD, COD, NH4, TKN dan SS, tetapi
mampu meningkatkan efisiensi penyisihan fosfat dari 35,5 % menjadi 85,3 %. Ratio
P : Fe optimum yang didasarkan pada pertimbangan paling efisien dan ekonomis
adalah 1 : 1,25. Penyisihan fosfat dalam fluidized bed reactor (FBR) menggunakan
pasir kuarsa dapat menghasilkan kristal struvite (MgNH4PO4).
Penyisihan dengan kristalisasi ini dilakukan dengan aerasi kontinyu dan dapat
mencapai efisiensi 80% dalam waktu 120 - 150 menit.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan penurunan
konsentrasi Phosphat antara lain:
1) Enhanced Biological Phosphorus Removal (EBPR)
Enhanced Biological Phosphorus Removal (EBPR) adalah pengembangan dari
biological phosphorus removal dengan metode dan proses untuk mereduksi
konsentrasi Phosphat dari outlet pengolahan biologis konvensional. EBPR
memiliki kinerja yang sangat baik dengan menghasilkan effluent <0,1 mg/l.
Untuk menurunkan konsentrasi Phosphat ada alternatife lain yaitu EBPR yang
menggunakan proses anaerobic. Telah diketahui bahwa poly Phosphat
accumulating organisms (PAOs) dan volatile fatty acids (VFAs) digunakan oleh
Bio-P bacteria pada kondisi anaerobic sebagai sumber energy. EBPR
menggunakan Acinetobacter dan Microthrix parvicella karena bisa menyimpan
Phosphate dalam bentuk poly Phosphate untuk perkembangannya. Kedua
bakteri tersebut dapat bertahan dalam kondisi anaerobic karena memiliki poly-P,
PAO juga memberikan keuntungan pada kondisi anaerobic dengan
menggunakan VFA dan energi dari poly-P.

2) Sequencing Anoxic/Anaerobic Membrane Bioreactor (SAM)


Untuk membandingkan proses fisik (filtrasi) antara biosand filter dengan
teknologi alternative SAM (Sequencing anoxic/anaerobic membrane bioreactor)
yang merupakan pengembangan dari Enhanced biological phosphorus removal
(EBPR) dengan menggunakan filter papper 0,4 μm dan telah diuji
kemampuanya. SAM sangat stabil dan efektif untuk menurunkan konsentrasi
Phosphate hingga 93%. Sedangkan pada biosand filter Dengan ukuran media
0,25 mm, maka partikel berukuran > 20 μm akan tertahan pada media. Koloid
(0,001-1 μm) dan bakteri (1 μm) tidak dapat disisihkan dengan mekanisme ini.
Mechanical straining terjadi pada permukaan filter sampai kedalaman 5 cm.
Klasifikasi Phosphate berdasarkan sifat fisis adalah fosfat terlarut, fosfat
tersuspensi (tidak terlarut), dan fosfat total (terlarut dan tersuspensi).
f. Amonia Bebas
Metode standar untuk menentukan amonia bebas dalam air dapat dilakukan
dengan prosedur Kjeldahl, namun prosedur pemeriksaan ini sangat rumit dan
membutuhkan banyak waktu, yakni sekitar enam jam. Prosedur Kjeldahl terdiri dari
beberapa langkah. Pada prosedur ini, seluruh senyawa ammonia bebas diuraikan
secara kimia dengan menggunakan campuran asam sulfur, merkuri sulfat, dan
potasium sulfat. Selanjutnya, amonia dan bentukan yang baru di destilasi dengan
penambahan NaOH ke dalam larutan asam borat. Kadar amonia dapat diketahui
dengan cara titrasi menggunakan asam sulfur 0,02 N.

g. Suhu
Suhu air limbah biasanya ±300C dari suhu udara. Pengukuran dilakukan
membelakangi sinar matahari, sehingga panas yang diukur tidak terpengaruh oleh
sinar matahari. Temperatur air limbah akan mempengaruhi kecepatan reaksi kimia
serta tata kehidupan dalam air, sehingga perlu dilakukan pengukuran suhu di unit
pengolahan limbah. Pengukuran suhu dilakukan insitu di bak equalisasi, bak
aerasi, dan outlet. Pengukuran suhu menggunakan thermometer berdasarkan
prinsip pemuaian.

7. Pendokumentasian bahan berbahaya beracun serta limbah B3 meliputi perijinan


baik pengadaan B3, ijin penyimpanan sementara serta pemusnahan B3.
a. Pencatatan Sebagai bahan pelaporan, dilakukan pencatatan yang
berhubungan dengan kegiatan pengelolaan B3. Pencatatan yang dilakukan
adalah pencatatan jumlah limbah B3 yang dihasilkan dan yang diangkut oleh
pihak kedua.
b. Pelaporan
1) Pelaporan dilaksanakan oleh petugas kesehatan lingkungan kepada
Manager Rumah untuk kemudian dilaporkan ke Direktur rumah sakit
dan kepada Departemen Penunjang umum setiap 6 bulan sekali
dalam bentuk laporan UKL/UPL.
2) Pelaporan juga diberkan kepada Instansi diluar RS yaitu kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi dan BPLHD (Badan Pengelola
Lingkungan Hidup) Kabupaten Bekasi.
3) Pelaporan disertai evaluasi dilakukan setahun sekali untuk
mengevaluasi kinerja pihak kedua sebagai pengangkut dan
pemusnah limbah B3.
c. Tindak lanjut
Pelaporan setiap 6 bulan sekali dalam bentuk laporan UKL/UPL, dimana
hasil evaluasi dan tindaklanjut dilakukan pada semester berikutnya.

8. ALUR PROSEDUR PENGELOLAAN LIMBAH / B3

Limbah Rumah Sakit /Limbah B3

Padat Cair Gas

Infeskius Non Kimia/B3 Biologis


Infeksius

Kantong Kantong
Plastik plastik
hitam kuning

Jerigen Saluran
Pembuangan

Pengumpulan

Pengangkutan
Internal

TPS Non Infeksius dan


TPS Infeksius/B3

Pengangkutan
Eksternal oleh
Pihak Ketiga

Pemusnahan
Limbah Oleh IPAL Udara Bebas
Pihak Ketiga
BAB V
LOGISTIK

A. PERENCANAAN BARANG

Tata cara logistik pengelolaan limbah rumah sakit :


1. Barang rutin :
Plastik sampah, safety box, jerigen/container, manifest pengangkutan limbah B3,
log book, Kertas HVS, tinta printer, ballpoint, buku tulis, format pengukuran
indikator/standar limbah medis, format laporan pengelolaan limbah, format SPO,
format laporan kinerja, buku pemantauan dan pengelolaan limbah padat, cair dan
B3.
2. Barang tidak rutin :
a. Surat dokumen pelaksanaan pemusnahan limbah medis dengan pihak ketiga
b. Pengadaan leaflet dan stiker untuk kegiatan pengelolaan limbah medis
c. Botol dan jerigen untuk pengambilan limbah cair

B. PERMINTAAN BARANG.

1. Permintaan barang rutin disampaikan ke bagian gudang


2. Untuk pengadaan format, user mengusulkan ke Direktur untuk dibuat dalam
bentuk dokumen yang dicetak/diperbanyak melalui anggaran APBD
3. Pengadaan barang tidak rutin berupa leaflet maupun stiker harus diusulkan
melalui Bidang Penunjang kepada Kepala Rumah Sakit.
4. Setelah disetujui Direktur melalui disposisi maka pengadaan barang diproses
sesuai ketentuan yang berlaku melalui PPBJ.

C. PENDISTRIBUSIAN

1. Barang kantong plastik limbah medis dan non medis, safety box,
jerigen/container dari gudang didistribusikan ke cleaning service dan kesling
untuk diletakkan di unit-unit penghasil limbah medis dan B3.
2. Untuk barang ATK user/Kesling mengisi format permintaan barang dan
mengajukan kepada bagian gudang.
BAB VI
KESELAMATAN KERJA

A. Kewaspadaan dan upaya pencegahan kejadian kecelakaan kerja dilakukan dengan


upaya :
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) penanganan B3 dan limbah B3 Bahan
dan limbah B3 berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Sesuai UU Depnaker RI No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, maka setiap
rumah sakit harus menyediakan peralatan pelindung diri yang digunakan secara
benar disertai prosedur tertulis cara penggunaannya serta dipelihara dalam kondisi
layak pakai. Pimpinan RS menetapkan secara tertulis jenis dan jumlah alat
pelindung diri yang harus ada di rumah sakit, dimana dan pada saat apa
dipergunakan serta siapa yang mempergunakan alat pelindung diri tersebut. Jenis
alat pelindung diri, diantaranya :
1. Masker
2. Sepatu Boot
3. Sarung tangan
4. Kaca mata / Google
5. Helmet/Helm
6. Ear Muff / Penutup telinga
7. Celemek, apron
8. Baju Operasional

B. Keselamatan dan kesehatan kerja pegawai melakukan pemeriksaan kesehatan


meliputi :
1. Pemeriksaan kesehatan prakerja
2. Pemeriksaan kesehatan berkala setahun sekali khususnya di unit yang bersik tinggi
seperti : laboratorium, ruang rawat inap psikiatri dengan komplikasi fisik, Laundry
dan Kesehatan Lingkungan.

C. Perijinan sarana, prasarana dan peralatan pengelolaan limbah medis dan


berbahaya meliputi :
1. Ijin pembuangan limbah cair (IPLC) yang dkeluarkan oleh
BPLHD
2. Ijin penyimpanan limbah sementara B3 (TPS B3) yang
dikeluarkan oleh BPLHD
3. Ijin operasional Incenerator (pihak ketiga) yang dikeluarkan
oleh KLH
BAB VII

STANDAR DAN INDIKATOR MUTU

A. Standar pengelolaan (pengolah) bahan dan limbah B3 meliputi :


1. Pengolah limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan
kegiatan pengolahan limbah B3.
2. Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang akan diolah paling lama
90(sembilan puluh) hari
3. Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya pa1ing lama
90 (sembilan puluh) hari.
4. Penyimpanan limbah B3 dilakukan di tempat penyimpanan yang sesuai dengan
persyaratan.

B. Standar Tempat penyimpanan limbah B3 wajib memenuhi syarat :


1. Lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir , tidak rawan bencana dan di luar
kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang;
2. Rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah. karakteristik limbah B3 dan
upaya pengendalian pencemaran lingkungan.
3. Penyimpanan limbah B3 yang dihasilkannya pa1ing lama 90 (sembilan puluh) hari.

C.Indikator pengelolaan limbah cair rumah sakit ini akan mencerminkan mutu pengelolaan
lingkungan dirumah sakit tersebut. Kriteria indikator limbah cair adalah sebagai berikut :
1. BOD/COD limbah yaitu untuk mengukur keberhasilan hasil pengolahan limbah
2. TSS yaitu mampu menunjukkan hasil pegolahan limbah berupa endapan yang
dihasilkan.
3. PH yaitu untuk mengukur keasaman dan kebasaan hasil olahan air limbah ,
sehingga tidak mencemari lingkungan.
Mengacu kepada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 tahun 2013 tentang Baku
Mutu Air Limbah bagi industri dan/atau kegiatan usaha lainnya sebagai berikut :
1. Baku mutu air limbah adalah : ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau
jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang
akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
2. Pemantauan air limbah adalah suatu upaya untuk mengetahui kualitas dan
kuantitas air limbah yang dilakukan secara berkala dan terus menerus.
3. Swa-Pantau Harian adalah pemantauan air limbah yang dilakukan oleh
penanggung jawab kegiatan dan/ atau usaha meliputi pencatatan debit air limbah,
jumlah produksi atau konsumsi bahan baku yang digunakan dan kualitas air limbah
setiap hari.
4. Memeriksakan air limbah rumah sakit secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam sebulan ke laboratorium terakreditasi dan terintegrasi dan dan setiap 3 (tiga)
bulan sekali wajib diperiksakan ke BPLHD Provinsi Jwa Timur sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan.
5. Menyampaikan hasil Swa-Pantau Harian, kadar parameter Baku Mutu Air Limbah,
jumlah produksi bulanan titik penaatan dan pencatatan debit harian air limbah
kepada Gubernur melalui BPLHD, Dinas Kesehatan dan Bupati Magetan.
6. Parameter air limbah rumah sakit berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur
Nomor 72 Tahun 2013 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri Dan/Atau
Kegiatan Usaha Lainnya:
Tabel 1.3
BAB VIII
PENUTUP

Upaya pengelolaan kesehatan lingkungan rumah sakit khususnya Pengelolaan


Limbah Rumah Sakit merupakan hal yang mutlak perlu diperhatikan oleh rumah sakit, hal
ini dimaksudkan agar sisa buangan hasil upaya pelayanan kesehatan tidak mencemari
lingkungan dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat sekitarnya. Lingkungan kesehatan
rumah sakit yang baik akan menunjang proses peningkatan mutu pelayanan dan
keselamatan pasien di RSAU dr.EFRAM HARSANA.
Pelaksanaan Upaya Kelola Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-
UPL) di rumah sakit, serta pelaksanaan program kesehatan lingkungan memerlukan
komitmen pimpinan dan seluruh unit dalam keberhasilan pelaksanaan program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien kesehatan lingkungan rumah sakit.
Pemantauan dan pelaporan hasil pengukuran indikator Baku Mutu Air Limbah serta
pembuangan limbah infeksius dan bahan Berbahaya (B3) sesuai dengan indikator yang
telah ditetapkan sehingga aman dan tidak mencemari rumah sakit dan lingkungannya.
Demikianlah pedoman Pengelolaan Limbah Rumah Sakit RSAU dr.EFRAM
HARSANA dibuat agar dapat menjadi pedoman pelaksanaan pengelolaan limbah di
rumah sakit.

Kepala RSAU dr. Efram Harsana,

dr. Iman Fatchurrohman W., Sp. B


Letkol Kes NRP 524330

Anda mungkin juga menyukai