Dosen Pembimbing:
Dr. Husaini Ibrahim, MA.
Di Susun
Oleh:
Khairullah
1606101020042
DARUSSALAM–BANDA ACEH
2019
1
PENDAHULUAN
Puji syukur kehadhirat Allah SWT yang maha pengasih lagi Maha Penyayang,
shalawat besertakan salam kita haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabat beliau, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
sehingga Laporan Praktik Kuliah Lapangan (PKL) ini dapat disusun dan diselesaikan
berdasarkan waktu yang telah diberikan untuk memenuhi salah satu tugas kami. Laporan
ini merupakan laporan terakhir dari praktik lapangan ini yang berjudul “Observasi Situs-
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen
pengasuh mata kuliah PKL Bapak Dr. Husaini Ibrahim, MA. yang telah memberikan
pengetahuan serta bimbingan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.
Terima kasih penulis juga kepada semua pihak yang telah yang telah berkontribusi dalam
Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka Penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat
memperbaiki laporan ini. Akhir kata Penulis berharap semoga laporan ini dapat
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Praktik Kuliah Lapangan (PKL) merupakan salah satu mata kuliah wajib yang
harus diikuti oleh setiap mahasiswa sejarah, mata kuliah ini pada dasarnya sama seperti
mata kuliah lain namun yang berbeda pada mata kuliah ini yaitu mahasiswa dituntun agar
dapat menganalisi suatu kejadian yang terjadi di lapangan dengan cara terjun langsung ke
situs-situs seperti ke makam, tempat terjadinya sebuah peristiwa, museum dan lain
sebagainya. Tepat pada tanggal 23-25 Desember 2019, mahasiswa Jurusan Sejarah FKIP
Unsyiah melakukan kunjungan ke beberapa situs bersejarah yang terletak di sekitar Kota
Takengon.
Takengon adalah salah satu kota wisata penting di Aceh. Setiap jengkal Tanah
Gayo menyimpan keindahan. Gunung dan bukit. Perkebunan kopi rakyat. Kebun nenas
Sekitar tahun 1904 kolonial Belanda dating ke Aceh Tengah, hal ini tidak terlepas
dari potensi perkebunan tanoh Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika,
tembakau dan damar. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling
Nordkus Atjeh, Sigli sebagai ibukotanya. Pada saat itu kota Takengon di dirikan sebuah
perusahaan pengolahan kopi dan damar. Baru kemudian kota Takengon mulai
berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya
Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun, dipimpin oleh Gunco. Setelah
3
tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi kabupaten. Aceh
Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948
a. Kewedanaan Takengon,
pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah
dan Aceh Tenggara melalui undang-undang No. 4 Tahun 1974. Dan kemudian pada 7
Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah dengan undang-undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh
Cara belajar pada mata kuliah ini yaitu, sebelum mahasiswa/i menghadiri pada
situs tertentu, Dosen akan membimbing terlebih dahulu apa yang akan kita lakukan seperti
dokumentasi seperti kamera untuk merekam informasi yang ada dari penjaga situs disana,
membawa alat tulis untuk mencatat apa yang diperlukan serta tak lupa tanda pengenal
yaitu Almamater.
B. Tujuan Kegiatan
Tujuan daripada kegiatan PKL ini yaitu agar mahasiswa, khususnya mahasiswa
sejarah mengetahui dan sadar akan pentingnya menjaga kelestarian situs-situs peninggalan
4
sejarah. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari Praktek Kuliah Lapangan kali ini antara
lain adalah:
Praktik kuliah lapangan (PKL) ini merupakan salah satu bentuk kegiatan yang
berlandaskan pada setiap semester ganjil. Jadwal praktik ini dilaksanakan pada hari Selasa
dan Rabu. Adapun waktu dan tempat pada praktik ini dilakukan pada 23-25 Desember
2019 di sekitaran Danau Lut Tawar, Takengon Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Masyarakat Gayo menyebutnya Goa Kerbau. Dalam bahasa Gayo, kata Loyang
yang berarti Goa, sedangkan Koro adalah Kerbau. Goa ini berada di pinggiran Danau
Laut Tawar, dengan jarak tempuh sekitar 5 Kilometer dari timur kota Takengon. Letaknya
tepat di kaki Gunung Birahpanyang, turun ke bawah sekitar 15 meter melalui bibir tebing
Danau Laut Tawar. Tepatnya di Desa Toweren Uken, jalan lintas menuju Kec. Bintang.
Goa ini juga menjadi saksi bisu akan pertentangan masyarakat Aceh kepada
Kolonial Belanda. Goa yang memiliki sejarah ketika bangsa Indonesia di jajah oleh
Belanda ini di kenal dengan nama Goa Loyang Koro. Goa ini merupakan salah satu goa
yang cukup terkenal di daerah Takengon. Selain keunikannya, pengunjung juga bisa belajar
dari goa yang merupakan salah satu situs peninggalan sejarah yang merekam kehidupan
6
Adapun sejarah tentang Goa ini menurut masyarakat setempat khususnya Gayo.
Dulunya Goa ini terhubung dengan Desa Isak atau kota Takengon. Para pengembala
membawa ternaknya seperti Kerbau menuju desa Isak melalui Goa ini untuk berdagang.
Begitu juga sebaliknya, di Desa Isak terdapat Goa kambing yang terhubung dengan Goa
Loyang koro. Menurut legenda tertutupnya atau terputusnya kedua Goa ini akibat
perselisihan sesama pengembala ternak karena tidak ingin mengalah atau mundur saat
menyebabkan dinding Goa runtuh, sehingga terputuslah hubungan antara dua Goa
tersebut.
Sebelum kita menuju goa, kita akan terlebih dulu melewati jalan setapak, jalan yang
di kelilingi dengan pemandanganya yang mempesona, dari jalan ini juga kita bisa melihat
birunya danau dan merasakan kencangannya hembusan angin yang berasal dari arah
Danau Laut Tawar. Teduhnya daerah ini karena berada di antara pepohonan yang rindang
seolah menyiratkan kesan eksotis pada pintu Goa Loyang Koro. Melewati pintu goa yang
berada beberapa meter saja dari tepi danau, kita akan langsung di sambut dengan lorong-
lorong yang ada di dalamnya. Lorong yang menurut cerita zaman dulu bisa tembus di
berbagai tempat. Selain beberapa lorong yang menyimpan banyak rahasia, keindahan lain
yang tidak boleh di abaikan adalah batuan runcingnya yang terdapat hampir di setiap
Dari sisi pesona, Goa ini di dalamnya di hiasi dengan bebatuan putih berkelip-
kelip seperti bintang. Setiap dindingnya pun memiliki struktur indah yang bermacam
bentuk stalakmit. Untuk masuk jauh lebih dalam Goa, kita harus merunduk karena
ruangan gua semakin sempit. Ada yang unik dari Goa ini yaitu Pemandunya. Mayoritas
pemandu disini anak kecil dan masih duduk di sekolah SD. kita akan di ajak dan di
7
ceritakan kisah tentang Goa ini. Dengan lincahnya mereka memasuki setiap tuang yang
Berada di dalam goa ini, para pengunjung juga akan merasakan sensasi yang aneh,
sensasi yang seolah menegaskan bahwa tempat ini memang menyimpan banyak misteri
yang belum terpecahkan dan menjadi saksi bisu dari kejadian besar yang pernah terjadi
pada masa penjajahan kolonial Belanda. Suasana inilah yang menjadikan Goa Loyang
Menurut penjaga goa, keunikan lain dari Goa Loyang Koro adalah terdapatnya
patung berbentuk manusia dan hewan yang berada di tengah-tengah goa. Konon patung
ini adalah manusia beserta ternaknya yang di kutuk oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Terlepas dari cerita yang banyak di kaitan dengan Goa Loyang Koro, menurut para
wisatawan yang pernah berkunjung, keindahan goa ini memang pantas di jadikan tempat
8
Mengunjungi Goa ini, Wisatawan bisa merasakan berlibur sambil belajar, Karena
sejarah yang di miliki oleh Goa ini. Harga tiket masuk Goa ini pun cukup murah. Hanya
Rp 10.000 per orang dan kita sudah di pandu oleh pemandu cilik. Kebersihan Goa ini pun
cukup terawat dan bersih. Tapi sayangnya di sisi lain banyak terlihat bebatuan Stalakmit
yang terukir nama pengunjung, sehingga kesan Goa tersebut hilang karena ulah manusia
itu sendiri.
Rumah raja yang disebut umah pitu ruang (rumah adat Gayo dengan 7 ruangan)
milik Reje Baluntara ini berlokasi di Kampung Toweren, Kecamatan Lut Tawar. Bisa
dikatakan satu-satunya peninggalan rumah Urang Gayo yang masih berdiri tegak dalam
Salah satu keistimewaan Umah Reje Baluntara yang kerap dijadikan lokasi
pengambilan gambar oleh stasiun televisi ini adalah hiasan ornamen kerawang Gayo
9
Rumah ini menjadi daya tarik wisata dan sudah dijadikan cagar budaya oleh Dinas
Kebudayaan setempat. Syeh Syamsudin mengatakan rumah raja ini memiliki tujuh ruang,
terdiri dari empat kamar dan tiga ruangan untuk melayani rakyat. Rumah yang dibangun
tahun 1860 ini masih tegak berdiri menghadap Danau Lut Tawar.
memiliki empat kamar, dua ruang keluarga dan beranda yang dibangun menurut pola
tradisional dengan tiang kayu berukuran besar dan diberi pasak. Rumah adat ini didirikan
penuh dengan filosofi pada ukiran dindingnya. Pemahat didatangkan dari Jawa dan Cina,
untuk memahat ukiran yang melambangkan keseharian masyarakat Toweren saat itu.
Ada ukiran yang sering kita lihat di rumah adat Aceh yang berbentuk rantai,
melambangkan hubungan antar warga yang akur. Ada ukiran ikan dan ayam yang
Masyarakat setempat juga mencari ikan dan berternak di sekitar danau terluas di
Aceh ini. Yang sangat unik adalah ukiran naga sebagai binatang reptil paling ditakuti di
masa itu. Naga ini menurut pengakuannya tak pernah dilihat langsung oleh Pak
Syamsuddin. Akan tetapi beliau menyebutkan bahwa dulu naga dipercaya sebagai penjaga
danau dan akan muncul kalau orang-orang tak patuh pada peraturan adat.
10
Motif Pahatan ikan, ayam dan naga
Menurut legenda lain ada dua naga besar di daratan ini, yaitu naga jantan dan
betina yang diusir dari daratan Cina karena tidak punya keturunan. Naga tersebut pernah
bertarung dengan Tuan Tapa dan daerah pertarungan itu sekarang menjadi Tapaktuan
sampai dibuatkan patung naga yang sekarang menjadi daya tarik wisata di sana. Juga ada
legenda lain yang mengisahkan bahwa naga di dinding rumah Reje Toweren ini adalah
naga hulu yang bertarung dengan naga hilir dari Sungai Peusangan.
Ketika kami bertanya tentang sejarah penamaan Kampung Toweren ini, Reje
Syeh Syamsudin menyatakan bahwa ada yang bilang asal usul orang di kampung ini berasal
dari Iran. Toweren adalah logat di Gayo klasik dari nama Teheran, ibukota Iran. Ada juga
yang bilang dari kata ‘terheran’, karena keturunan keluarga kerajaan Baluntara benar-benar
terpilih dari segi fisik. Bahkan untuk menikahi putri-putri raja dipastikan harus putra
mahkota juga, sehingga putri raja yang lahir begitu cantik dan membuat orang yang
11
Pemilihan keluarga baru ini dimaksudkan agar raja selanjutnya terpilih tidak asal-
asalan. Putri tetap harus menerima pilihan ayahnya, sang raja, yang mencarikan pangeran
Rumah adat ini dibangun dengan kayu Jempa, kayu yang terkuat. Masih dijaga agar
tetap seperti pertama dibangun tanpa pengecatan. Hanya bagian atap saja yang aslinya dari
ijuk diganti dengan seng tebal karena takut mudah terbakar di masa konflik.
profesor mereka. Ratusan mahasiswa ini mengatakan bahwa istana raja ini masih seperti
sediakala, sama seperti buku referensi mereka yang mereka dapatkan dari perpustakaan di
Amsterdam, Belanda.
Ternyata rumah ini sudah pernah diteliti dan didokumentasi Belanda saat
menjajah Indonesia ratusan tahun lalu. Tapi dalam foto di buku kolonial itu terdapat
Sayangnya sudah dirobohkan dan bangunan dapur ini sudah tidak ada lagi. Tinggal
tiang-tiangnya saja disimpan di bawah rumah panggung ini. Dibuku itu pula, ada sebuah
lukisan ditemukan Reje Baluntara juga memakai kopiah Aceh, sama seperti yang dipakai
Peninggalan rumah adat Gayo asli ini menjadi tempat wisata sejarah sampai
sekarang. Rumah Reje Baluntara ini menjadi rujukan bagi masyarakat maupun pengiat
wisata purbakala yang ingin melihat bagaimana rumah adat Gayo yang masih asli.
Fisik bangunan berupa rumah panggung berdenah persegi panjang berukuran 11,8
x 9 m yang membujur arah utara-selatan. Arah hadap rumah ke utara dan memiliki
beranda dengan ukuran 2 x 9 m. Tinggi bangunan dari tanah ke jurai atap paling bawah
adalah 2,8 m. Atap bangunan berbentuk limas panjang. Jumlah tiang penyangga bangunan
keseluruhan sebanyak 28 buah tiang, terdiri atas 4 tiang depan dan belakang, 6 tiang di
12
samping kiri-kanan, dan 12 tiang di bagian tengah bangunan. Pada bagian beranda yang
Pintu masuk ke dalam rumah yang ada di beranda terletak di sisi kiri-kanan,
sementara di bagian tengah ditempatkan 2 buah jendela. Ruang di dalam terdiri atas 3
buah kamar yang disusun di tengah berurutan memanjang ke arah belakang. Susunan ini
membentuk lorong di sepanjang sisi ruang dalam rumah. Kedua lorong di beri pintu
Lorong sisi timur di ambang pintu belakang dipasangi tangga turun. Dinding timur
berjendela satu buah, sisi selatan berjendela satu buah, sisi barat berjendela dua buah.
Jendela terdiri dari 2 daun dan terdapat hiasan bulan sabit dengan bintang sebagai
lambang bendera Alam Zulfikar Kerajaan Aceh. Bahan baku rumah ini berasal dari kayu
jenis Kuli dan Jeumpa yang didatangkan dari daerah Bintang dan Isaq. Atap bangunan
sekarang terbuat dari lembaran seng. Kondisi kayu bahan bangunan saat ini kelihatan
kurang terawat, sebagian besar kelihatan berubah warna karena terkena air.
Rumah Tradisional Toweren, dibangun oleh Raja Jalaluddin yang digelari dengan
Reje Baluntara Toweren (Raja Hutan Belantara) sebagai raja yang memerintah di wilayah
Toweren. Rumah ini dibangun pada masa kolonial Belanda. Pada awal masa
pembangunannya, atap rumah masih terbuat dari ijuk dan ini merupakan rumah induk
atau utama yang berfungsi sebagai rumah raja. Sedangkan sebagai ruang pelengkap atau
dapur telah terbakar. Rumah adat ini terletak di tengah kebun dan sawah sehingga untuk
menjangkaunya harus melalui pematang sawah dan kebun karena tidak ada jalan khusus.
Hal yang paling menonjol adalah kayanya ornamen ukiran di seluruh bagian
rumah, mulai dari tiang penyangga, list atap, blandar, list dinding luar dan dalam rumah.
List atap didominasi oleh ukiran kerawang (berlobang). Jenis ornamen yang khas yaitu tali
13
berpilin, awan berarak, bunga, sulur-suluran masih tampak. Pada beberapa tempat,
ornamen ukiran ini diberi warna dengan cat hitam, kuning dan merah.
Warna hitam melambangkan bumi yang mempunyai makna bahwa siapa yang
masuk ke wilayah Aceh Tengah semua dianggap saudara atau keluarga dari masyarakat
Aceh Tengah. Warna kuning menandakan warna kerajaan. Sedangkan warna merah
khusus melambangkan keberanian dan digunakan oleh panglima. Satu ciri khusus
ornamen ukiran di rumah toweren adalah ukiran ikan, naga dan ayam di list dinding bawah
sisi timur. Menurut informan setempat, motif-motif ukiran hewan tersebut memiliki
makna khusus yakni: Motif ikan (jenis ikan yang disebutkan adalah ikan bawal) bermakna
kemuliaan, dalam hubungannya dengan kekayaan Danau Laut Tawar yang dimanfaatkan
Kemudian motif ayam juga bermakna kemuliaan atau kesejahteraan (sebagai salah
satu jenis hewan yang paling awal didomestikasi manusia), sementara itu motif naga
bermakna kekuatan dari masyarakat Gayo. Mengenai motif naga ini ada satu cerita atau
mitos di Aceh Tengah dari satu sumber yang mengisahkan tentang naga yang berasal dari
hulu Sungai Peusangan dan berdiam di danau laut tawar bertarung dengan naga yang
berasal dari hilir. Apakah motif ukiran naga ini ada hubungannya dengan cerita tersebut,
Masjid Tue Nosar terletak di tengah pemukiman warga Kampung Mude Nosar,
Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah. Informasi tetang sejarah masjid ini sangat
sulit kita dapatkan, bahkan warga sekitar masjid tidak begitu paham mengenai sejarah
masjid mungil ini. Ada beberapa blog yang saya kunjungi ada yang menjelaskan bahwa
14
Tampak depan
Masjid Tue Nosar ini berurukuran sekitar 6 X 6 meter persegi dengan material
bangunan terbuat dari beton dan papan. Mimbar terbuat dari semen dan bentuknya
hampir sama dengan beberapa masjid tua di Kota Takengon. Dari hasil observasi kami
masjid ini kurang tidak terawat dan beberapa bagiannya sudah lapuk dimakan rayap dan
terkena hujan serta terik matahari. Ruangan masjid dipakai untuk gudang sejumlah barang
15
D. Buntul Kubu/Hotel Belanda
Buntul Kubu terletak disebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Buntul Kubu
dibangun oleh kolonial Belanda sebagai tempat penginapan. Konstruksi bangunan Buntul
Kubu adalah kayu dengan setengah beton. Corak arsitektur bangunannya khas Eropa.
Bangunan Buntul Kubu nyaris tidak pernah mengalami perubahan kalua dilihat
dari luar, bangunan aslinya masih tetap dipertahankan. Dikutip dari serambinews.com
bangunan Buntul Kubu pernah dijadikan tempat penginapan oleh pemerintah daerah,
namun tidak bertahan lama. Tempat ini juga pernah dijadikan Museum Gayo, tapi juga
16
Sekarang bagunan Buntul Kubu difungsikan sebagai kantor Satpol PP. kondisi ini
sangat disayangkan, seharusnya bangunan tetap dijadikan Museum agar nilai sejarah pada
Rumah ibadah pertama bagi masyarakat muslim Aceh Tengah, Takengon adalah
mesjid yang berada di desa Bukit Kecamatan Kebayakan yang dinamakan Masjid Tue atau
Masjid Tua. Masjid Tue berdiri pada tahun 1901, Masjid Tua ini dulunya masih beratapkan
rumbia yakni daun yang berasal dari daun sagu dan Ijuk yakni daun yang berasal dari
pelepah daun kelapa. Masjid ini didirikan pada tahun 1895 di Kampung Kabayakan,
Pada saat Belanda menyerang Kampung Kabayakan pada 22 Mei 1905, masjid ini
oleh masyarakat Kampung Lot Kala, Gunung Bukit, dan Kampung Jongok Meluem atau
Sagi Onom dan Sagi Lime yang kepanitiaannya diketuai oleh Teungku Khatib. Arsitektur
masjid ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Cina bernama Burik.
17
Menurut riwayat atau cerita, masjid Tue ini adalah masjid pertama yang dibuat di
Kabupaten Aceh tengah dibawah kepemimpinan Reje atau raja Mamat, dilanjutkan Reje
Ma’un, lalu Reje Ilang dan dilanjutkan Reje Bukit terakhir yakni Reje Ampon Zainuddin.
tersebut. Namun demi masa perubahan itu ada sehingga akhir-akhir ini dijadikan sirus
Setelah dijadikannya masjid itu menjadi salah satu situs sejarah lahirlah masjid-
masjid lain seperti Masjid Al-Abrar, Masjid Az-Zikra atau Lot Kala, Masjid Al-Ikhlas atau
Pinangan, Masjid Mendale dan Lain-lain. Reje Kampung Bukit saat ini, Bapak Gamura
Ali Bersah mengatakan “Kami selaku rakyat Kampung Bukit selalu menjaga dan
Loyang Mendale kini sudah diresmikan sebagai situs nasional dengan nilai sejarah
yang sangat tinggi. Pemerintah lokal juga sudah melakukan tindak pengamanan dengan
memasang pagar di sekitar lokasi. Namun, masyarakat tetap bisa mengakses tempat ini
untuk melihat jejak bersejarah di Dataran Tinggi Gayo. Loyang Mendale bukan hanya
menjadi objek wisata sejarah. Tempat ini juga bisa menjadi sarana edukasi bagi generasi
18
masa kini dan yang akan datang. Loyang Mendale telah membuka pengetahuan tentang
awal identitas masyarakat Gayo dimulai. Dalam area ini ditemukan tengkorak manusia
purba serta sejumlah ornamen dan artefak kuno yang mencerminkan kehidupan masa lalu
nenek moyang suku Gayo. Situs ini terletak di ujung barat Danau Laut Tawar. Tepatnya
juru kunci goa yang tinggal tidak jauh dari situs tersebut.
Kebayakan, Aceh Tengah, Aceh, memiliki makna besar. Ternyata, tiga kelompok manusia
pernah hidup di goa itu pada rentang waktu 8.800 tahun hingga 3.500 tahun lalu.
Melalui penelusuran seperti ini kita bisa memastikan. Kalau kekeberen yang ada di
Gayo, kisah yang ada di pesisir dan juga Singkil. Semua berdasarkan kisah-kisah yang
sudah kentara berbau Islam yang baru masuk ke Aceh pada paruh milenium kedua.
Padahal, Rasulullah Muhammad SAW saja lahir 5000 tahun sesudah pemilik kerangka di
19
Ceruk Mendale meninggal. Jadi dengan ditemukannya bukti arkeologi yang ada di Ceruk
Mendale, jelas sudah tidak pada tempatnya lagi kita yang ada di pesisir, Singkil dan juga
Gayo sendiri bicara tentang sejarah asal-usul orang Gayo berdasarkan kisah dan legenda.
Fakta sejarah menunjukkan, 6500 tahun silam. Jauh sebelum peradaban yang kita kenal
Satu demi satu anak tangga dinaiki, hingga pada anak ke-42 baru kita dapati
makam seorang tokoh pejuang DI/TI dan GAM yang bernama Teungku Ilyas Leube.
Dari gerbang masuk pemakaman, di sisi kanan pejuang tiga masa itu, ada makam anaknya
Ilham yang meninggal 25 Februari 2014, dan juga Iqlil yang meninggal 30 Juli 2015.
Teungku Ilyas Leube sendiri syahid 15 April 1982 di Pengunungan Jeunib 15 April 1982
20
Foto tangga menuju makam mendiang Teungku Ilyas Leube
Tengku Ilyas Leube memang satu perjuangan dengan Abu Daud Beureueh, dan
menjadi pejuang terakhir yang “turun gunung”. Namun, karena apa yang diharapkan bagi
Aceh tidak diwujudkan, Teungku Ilyas Leube kembali “naik gunung”, memilih jalan
perjuangan bersama Hasan Tiro. Sebuah pilihan tidak mudah namun cukup mendasar,
apalagi usai dirinya berdiskusi panjang dengan Hasan Tiro, bisa jadi di pinggir Lut Tawar,
sebelum keduanya sepakat bertemu lagi di Gunung Halimun, tempat GAM dideklarasi 42
Namun, kesadaran ahli dakwah itu masih tersimpan, di ingatan istrinya, Salamah. “Karena
sudah ditanya maka saya terangkan, Teungku, suami saya, ingin apa yang dimiliki oleh
Aceh bermanfaat bagi semua yang tinggal di Aceh tanpa membeda-bedakan suku, ” kata
21
Salamah usai acara Maulid Nabi yang digelar di depan rumahnya, Bandar Lampahan, tidak
jauh dari komplek makam suami dan juga anak-anaknya. Menurut Salamah, kepentingan
Aceh harus diperjuangkan, dan tidak menjadi soal jika harus berbeda-beda jalur
perjuangan.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praktik kuliah lapangan ini merupakan suatu mata kuliah wajib bagi mahasiswa
jurusan sejarah guna menambah wawasan dan pengetahuan langsung dari lingkungan
sehingga mampu membentuk pola pikir yang lebih detail dan kritis.
Dari semua situs yang dikunjungi dapat disimpulkan kurangnya perhatian dan
kesadaran pemerintah daerah dan warga di sekitarnya untuk melestarikan situs sejarah.
Sehingga situs-situs tersebut kurang terawat dan bahkan ada yang disalahfungsikan.
wilayah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Situs-situs tersebut juga dapat
mendatangkan manfaat bagi wilayah dan warga sekitar, yaitu dapat bangkitnya
perekonomian daerah dan warga sekitar karena adanya pelancong dan penggunggung dari
berbagai daerah.
B. Saran
Tulisan laporan ini tidak akan terlepas dari kesalahan, dibalik itu semua penulis
sudah berkuliah keras untuk menyelesaikan laporan ini. Perbaikan sangat penting jadi
kritik dan saran dari pembaca sangat membangun untuk perbaikan laporan ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
https://www.acehtrend.com/2018/12/04/ziarah-sunyi-muharuddin-di-makam-tgk-
ilyas-leube/. Diakses: 1 Januari 20.30 PM
http://www.lingkarsuaranews.com/loyang-mendale-asal-mula-peradaban-suku-gayo/.
Diakses: 1 Januari 20.30 PM
https://aceh.tribunnews.com/2019/11/30/menelurusi-jejak-kerajaan-raja-bukit-di-
toweren?page=2. diakses: 30 Desember 22:38 PM.
https://lintasgayo.co/2019/11/30/menelusuri-jejak-kerajaan-reje-bukit-di-toweren.
diakses: 30 Desember 22:40 PM.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/pemeliharaan-situs-loyang-mandale-
aceh-tengah/. diakses: 30 Desember 22:40 PM.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/rumah-adat-toweren-kabupaten-aceh-
tengah/. diakses: 30 Desember 22:40 PM.
https://situsbudaya.id/rumah-adat-toweren-kabupaten-aceh-tengah/. diakses: 30
Desember 22:50 PM.
24