Anda di halaman 1dari 24

Laporan Praktikum Kuliah Lapangan (PKL)

“Observasi Situs-Situs Cagar Budaya di Takengon”

Dosen Pembimbing:
Dr. Husaini Ibrahim, MA.

Di Susun
Oleh:
Khairullah
1606101020042

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM–BANDA ACEH

2019

1
PENDAHULUAN

Puji syukur kehadhirat Allah SWT yang maha pengasih lagi Maha Penyayang,

shalawat besertakan salam kita haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga dan para sahabat beliau, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, atas karunia dan rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis,

sehingga Laporan Praktik Kuliah Lapangan (PKL) ini dapat disusun dan diselesaikan

berdasarkan waktu yang telah diberikan untuk memenuhi salah satu tugas kami. Laporan

ini merupakan laporan terakhir dari praktik lapangan ini yang berjudul “Observasi Situs-

Situs Cagar Budaya di Takengon”.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen

pengasuh mata kuliah PKL Bapak Dr. Husaini Ibrahim, MA. yang telah memberikan

pengetahuan serta bimbingan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.

Terima kasih penulis juga kepada semua pihak yang telah yang telah berkontribusi dalam

penyusunan laporan ini.

Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan

tangan terbuka Penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat

memperbaiki laporan ini. Akhir kata Penulis berharap semoga laporan ini dapat

menambah pengetahuan dan wawasan kita semua.

Banda Aceh, 30 Desember 2019

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kegiatan

Praktik Kuliah Lapangan (PKL) merupakan salah satu mata kuliah wajib yang

harus diikuti oleh setiap mahasiswa sejarah, mata kuliah ini pada dasarnya sama seperti

mata kuliah lain namun yang berbeda pada mata kuliah ini yaitu mahasiswa dituntun agar

dapat menganalisi suatu kejadian yang terjadi di lapangan dengan cara terjun langsung ke

situs-situs seperti ke makam, tempat terjadinya sebuah peristiwa, museum dan lain

sebagainya. Tepat pada tanggal 23-25 Desember 2019, mahasiswa Jurusan Sejarah FKIP

Unsyiah melakukan kunjungan ke beberapa situs bersejarah yang terletak di sekitar Kota

Takengon.

Takengon adalah salah satu kota wisata penting di Aceh. Setiap jengkal Tanah

Gayo menyimpan keindahan. Gunung dan bukit. Perkebunan kopi rakyat. Kebun nenas

Pegasing. Danau Lut Tawar dengan segala legendanya.

Sekitar tahun 1904 kolonial Belanda dating ke Aceh Tengah, hal ini tidak terlepas

dari potensi perkebunan tanoh Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika,

tembakau dan damar. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling

Nordkus Atjeh, Sigli sebagai ibukotanya. Pada saat itu kota Takengon di dirikan sebuah

perusahaan pengolahan kopi dan damar. Baru kemudian kota Takengon mulai

berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya

sayuran dan kopi.

Pada masa penjajahan Jepang tahun (1942-1945), sebutan Onder Afdeeling

Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun, dipimpin oleh Gunco. Setelah

kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, sebutan

3
tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi kabupaten. Aceh

Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948

dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten.

Pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun

1956, wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu:

a. Kewedanaan Takengon,

b. Kewedanaan Gayo Lues dan

c. Kewedanaan Tanah Alas.

Dikarenakan sulitnya transportasi dan di dukung aspirasi masyarakat, akhirnya

pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah

dan Aceh Tenggara melalui undang-undang No. 4 Tahun 1974. Dan kemudian pada 7

Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh

Tengah dan Bener Meriah dengan undang-undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh

Tengah tetap beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah

beribukota di Simpang Tiga Redelong.

Cara belajar pada mata kuliah ini yaitu, sebelum mahasiswa/i menghadiri pada

situs tertentu, Dosen akan membimbing terlebih dahulu apa yang akan kita lakukan seperti

halnya membawa camera untuk mengambil dokumentasi, membawa peralatan

dokumentasi seperti kamera untuk merekam informasi yang ada dari penjaga situs disana,

membawa alat tulis untuk mencatat apa yang diperlukan serta tak lupa tanda pengenal

yaitu Almamater.

B. Tujuan Kegiatan

Tujuan daripada kegiatan PKL ini yaitu agar mahasiswa, khususnya mahasiswa

sejarah mengetahui dan sadar akan pentingnya menjaga kelestarian situs-situs peninggalan

4
sejarah. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari Praktek Kuliah Lapangan kali ini antara

lain adalah:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa sejarah mengenai peninggalan

sejarah yang berada di kawasan Takengon.

2. Mampu mengadakan perbandingan antara ilmu yang diperoleh di perkuliahan

secara teori dangan selama peraktek kuliah lapangan.

3. Mengetahui situs-situs penting sejarah pada masanya untuk pembelajaran dan

pendalaman ilmu untuk masa mendatang.

C. Waktu dan Tempat Kegiatan

Praktik kuliah lapangan (PKL) ini merupakan salah satu bentuk kegiatan yang

berlandaskan pada setiap semester ganjil. Jadwal praktik ini dilaksanakan pada hari Selasa

dan Rabu. Adapun waktu dan tempat pada praktik ini dilakukan pada 23-25 Desember

2019 di sekitaran Danau Lut Tawar, Takengon Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Goa Loyang Koro

Masyarakat Gayo menyebutnya Goa Kerbau. Dalam bahasa Gayo, kata Loyang

yang berarti Goa, sedangkan Koro adalah Kerbau. Goa ini berada di pinggiran Danau

Laut Tawar, dengan jarak tempuh sekitar 5 Kilometer dari timur kota Takengon. Letaknya

tepat di kaki Gunung Birahpanyang, turun ke bawah sekitar 15 meter melalui bibir tebing

Danau Laut Tawar. Tepatnya di Desa Toweren Uken, jalan lintas menuju Kec. Bintang.

Dengan kedalaman Goa kurang lebih 110 meter.

Foto pintu masuk goa

Goa ini juga menjadi saksi bisu akan pertentangan masyarakat Aceh kepada

Kolonial Belanda. Goa yang memiliki sejarah ketika bangsa Indonesia di jajah oleh

Belanda ini di kenal dengan nama Goa Loyang Koro. Goa ini merupakan salah satu goa

yang cukup terkenal di daerah Takengon. Selain keunikannya, pengunjung juga bisa belajar

dari goa yang merupakan salah satu situs peninggalan sejarah yang merekam kehidupan

silam masyarakat daerah Aceh Gayo.

6
Adapun sejarah tentang Goa ini menurut masyarakat setempat khususnya Gayo.

Dulunya Goa ini terhubung dengan Desa Isak atau kota Takengon. Para pengembala

membawa ternaknya seperti Kerbau menuju desa Isak melalui Goa ini untuk berdagang.

Begitu juga sebaliknya, di Desa Isak terdapat Goa kambing yang terhubung dengan Goa

Loyang koro. Menurut legenda tertutupnya atau terputusnya kedua Goa ini akibat

perselisihan sesama pengembala ternak karena tidak ingin mengalah atau mundur saat

membawa ternaknya menuju tempat masing-masing. Akhirnya mereka berkelahi dan

menyebabkan dinding Goa runtuh, sehingga terputuslah hubungan antara dua Goa

tersebut.

Sebelum kita menuju goa, kita akan terlebih dulu melewati jalan setapak, jalan yang

di kelilingi dengan pemandanganya yang mempesona, dari jalan ini juga kita bisa melihat

birunya danau dan merasakan kencangannya hembusan angin yang berasal dari arah

Danau Laut Tawar. Teduhnya daerah ini karena berada di antara pepohonan yang rindang

seolah menyiratkan kesan eksotis pada pintu Goa Loyang Koro. Melewati pintu goa yang

berada beberapa meter saja dari tepi danau, kita akan langsung di sambut dengan lorong-

lorong yang ada di dalamnya. Lorong yang menurut cerita zaman dulu bisa tembus di

berbagai tempat. Selain beberapa lorong yang menyimpan banyak rahasia, keindahan lain

yang tidak boleh di abaikan adalah batuan runcingnya yang terdapat hampir di setiap

sudut Goa Loyang Koro.

Dari sisi pesona, Goa ini di dalamnya di hiasi dengan bebatuan putih berkelip-

kelip seperti bintang. Setiap dindingnya pun memiliki struktur indah yang bermacam

bentuk stalakmit. Untuk masuk jauh lebih dalam Goa, kita harus merunduk karena

ruangan gua semakin sempit. Ada yang unik dari Goa ini yaitu Pemandunya. Mayoritas

pemandu disini anak kecil dan masih duduk di sekolah SD. kita akan di ajak dan di

7
ceritakan kisah tentang Goa ini. Dengan lincahnya mereka memasuki setiap tuang yang

sempit untuk membawa para pengunjung.

Foto tampak dalam goa

Berada di dalam goa ini, para pengunjung juga akan merasakan sensasi yang aneh,

sensasi yang seolah menegaskan bahwa tempat ini memang menyimpan banyak misteri

yang belum terpecahkan dan menjadi saksi bisu dari kejadian besar yang pernah terjadi

pada masa penjajahan kolonial Belanda. Suasana inilah yang menjadikan Goa Loyang

Koro di sebut-sebut oleh warga sekitar sebagai goa penuh sejarah.

Menurut penjaga goa, keunikan lain dari Goa Loyang Koro adalah terdapatnya

patung berbentuk manusia dan hewan yang berada di tengah-tengah goa. Konon patung

ini adalah manusia beserta ternaknya yang di kutuk oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Terlepas dari cerita yang banyak di kaitan dengan Goa Loyang Koro, menurut para

wisatawan yang pernah berkunjung, keindahan goa ini memang pantas di jadikan tempat

wisata yang harus di kunjungi.

8
Mengunjungi Goa ini, Wisatawan bisa merasakan berlibur sambil belajar, Karena

sejarah yang di miliki oleh Goa ini. Harga tiket masuk Goa ini pun cukup murah. Hanya

Rp 10.000 per orang dan kita sudah di pandu oleh pemandu cilik. Kebersihan Goa ini pun

cukup terawat dan bersih. Tapi sayangnya di sisi lain banyak terlihat bebatuan Stalakmit

yang terukir nama pengunjung, sehingga kesan Goa tersebut hilang karena ulah manusia

itu sendiri.

B. Rumah Adat Toweren (Umah Pitu Ruang)

Rumah raja yang disebut umah pitu ruang (rumah adat Gayo dengan 7 ruangan)

milik Reje Baluntara ini berlokasi di Kampung Toweren, Kecamatan Lut Tawar. Bisa

dikatakan satu-satunya peninggalan rumah Urang Gayo yang masih berdiri tegak dalam

usianya yang diperkirakan lebih dari 100 tahun.

Fota tampak depan

Salah satu keistimewaan Umah Reje Baluntara yang kerap dijadikan lokasi

pengambilan gambar oleh stasiun televisi ini adalah hiasan ornamen kerawang Gayo

dengan berbagai bentuk yang menghias beberapa bagiannya.

9
Rumah ini menjadi daya tarik wisata dan sudah dijadikan cagar budaya oleh Dinas

Kebudayaan setempat. Syeh Syamsudin mengatakan rumah raja ini memiliki tujuh ruang,

terdiri dari empat kamar dan tiga ruangan untuk melayani rakyat. Rumah yang dibangun

tahun 1860 ini masih tegak berdiri menghadap Danau Lut Tawar.

Konstruksi rumah panggung berbahan kayu dengan ukuran 9 X 12 meter ini

memiliki empat kamar, dua ruang keluarga dan beranda yang dibangun menurut pola

tradisional dengan tiang kayu berukuran besar dan diberi pasak. Rumah adat ini didirikan

penuh dengan filosofi pada ukiran dindingnya. Pemahat didatangkan dari Jawa dan Cina,

untuk memahat ukiran yang melambangkan keseharian masyarakat Toweren saat itu.

Ada ukiran yang sering kita lihat di rumah adat Aceh yang berbentuk rantai,

melambangkan hubungan antar warga yang akur. Ada ukiran ikan dan ayam yang

melambangkan mata pencaharian warga selain bertani di daerah subur ini.

Motif pahatan rantai

Masyarakat setempat juga mencari ikan dan berternak di sekitar danau terluas di

Aceh ini. Yang sangat unik adalah ukiran naga sebagai binatang reptil paling ditakuti di

masa itu. Naga ini menurut pengakuannya tak pernah dilihat langsung oleh Pak

Syamsuddin. Akan tetapi beliau menyebutkan bahwa dulu naga dipercaya sebagai penjaga

danau dan akan muncul kalau orang-orang tak patuh pada peraturan adat.

10
Motif Pahatan ikan, ayam dan naga

Menurut legenda lain ada dua naga besar di daratan ini, yaitu naga jantan dan

betina yang diusir dari daratan Cina karena tidak punya keturunan. Naga tersebut pernah

bertarung dengan Tuan Tapa dan daerah pertarungan itu sekarang menjadi Tapaktuan

sampai dibuatkan patung naga yang sekarang menjadi daya tarik wisata di sana. Juga ada

legenda lain yang mengisahkan bahwa naga di dinding rumah Reje Toweren ini adalah

naga hulu yang bertarung dengan naga hilir dari Sungai Peusangan.

Ketika kami bertanya tentang sejarah penamaan Kampung Toweren ini, Reje

Syeh Syamsudin menyatakan bahwa ada yang bilang asal usul orang di kampung ini berasal

dari Iran. Toweren adalah logat di Gayo klasik dari nama Teheran, ibukota Iran. Ada juga

yang bilang dari kata ‘terheran’, karena keturunan keluarga kerajaan Baluntara benar-benar

terpilih dari segi fisik. Bahkan untuk menikahi putri-putri raja dipastikan harus putra

mahkota juga, sehingga putri raja yang lahir begitu cantik dan membuat orang yang

melihatnya terheran-heran (terpesona).

11
Pemilihan keluarga baru ini dimaksudkan agar raja selanjutnya terpilih tidak asal-

asalan. Putri tetap harus menerima pilihan ayahnya, sang raja, yang mencarikan pangeran

terbaik untuk dinikahkan dengan putrinya.

Rumah adat ini dibangun dengan kayu Jempa, kayu yang terkuat. Masih dijaga agar

tetap seperti pertama dibangun tanpa pengecatan. Hanya bagian atap saja yang aslinya dari

ijuk diganti dengan seng tebal karena takut mudah terbakar di masa konflik.

Rumah ini pernah dikunjungi oleh mahasiswa Universitas Indonesia bersama

profesor mereka. Ratusan mahasiswa ini mengatakan bahwa istana raja ini masih seperti

sediakala, sama seperti buku referensi mereka yang mereka dapatkan dari perpustakaan di

Amsterdam, Belanda.

Ternyata rumah ini sudah pernah diteliti dan didokumentasi Belanda saat

menjajah Indonesia ratusan tahun lalu. Tapi dalam foto di buku kolonial itu terdapat

bagunan satu lagi di belakang rumah yang dimanfaatkan sebagai dapur.

Sayangnya sudah dirobohkan dan bangunan dapur ini sudah tidak ada lagi. Tinggal

tiang-tiangnya saja disimpan di bawah rumah panggung ini. Dibuku itu pula, ada sebuah

lukisan ditemukan Reje Baluntara juga memakai kopiah Aceh, sama seperti yang dipakai

oleh Teuku Umar.

Peninggalan rumah adat Gayo asli ini menjadi tempat wisata sejarah sampai

sekarang. Rumah Reje Baluntara ini menjadi rujukan bagi masyarakat maupun pengiat

wisata purbakala yang ingin melihat bagaimana rumah adat Gayo yang masih asli.

Fisik bangunan berupa rumah panggung berdenah persegi panjang berukuran 11,8

x 9 m yang membujur arah utara-selatan. Arah hadap rumah ke utara dan memiliki

beranda dengan ukuran 2 x 9 m. Tinggi bangunan dari tanah ke jurai atap paling bawah

adalah 2,8 m. Atap bangunan berbentuk limas panjang. Jumlah tiang penyangga bangunan

keseluruhan sebanyak 28 buah tiang, terdiri atas 4 tiang depan dan belakang, 6 tiang di

12
samping kiri-kanan, dan 12 tiang di bagian tengah bangunan. Pada bagian beranda yang

berpagar, di bagian tengahnya terdapat tangga untuk naik ke rumah.

Pintu masuk ke dalam rumah yang ada di beranda terletak di sisi kiri-kanan,

sementara di bagian tengah ditempatkan 2 buah jendela. Ruang di dalam terdiri atas 3

buah kamar yang disusun di tengah berurutan memanjang ke arah belakang. Susunan ini

membentuk lorong di sepanjang sisi ruang dalam rumah. Kedua lorong di beri pintu

keluar ke arah belakang rumah.

Lorong sisi timur di ambang pintu belakang dipasangi tangga turun. Dinding timur

berjendela satu buah, sisi selatan berjendela satu buah, sisi barat berjendela dua buah.

Jendela terdiri dari 2 daun dan terdapat hiasan bulan sabit dengan bintang sebagai

lambang bendera Alam Zulfikar Kerajaan Aceh. Bahan baku rumah ini berasal dari kayu

jenis Kuli dan Jeumpa yang didatangkan dari daerah Bintang dan Isaq. Atap bangunan

sekarang terbuat dari lembaran seng. Kondisi kayu bahan bangunan saat ini kelihatan

kurang terawat, sebagian besar kelihatan berubah warna karena terkena air.

Rumah Tradisional Toweren, dibangun oleh Raja Jalaluddin yang digelari dengan

Reje Baluntara Toweren (Raja Hutan Belantara) sebagai raja yang memerintah di wilayah

Toweren. Rumah ini dibangun pada masa kolonial Belanda. Pada awal masa

pembangunannya, atap rumah masih terbuat dari ijuk dan ini merupakan rumah induk

atau utama yang berfungsi sebagai rumah raja. Sedangkan sebagai ruang pelengkap atau

dapur telah terbakar. Rumah adat ini terletak di tengah kebun dan sawah sehingga untuk

menjangkaunya harus melalui pematang sawah dan kebun karena tidak ada jalan khusus.

Hal yang paling menonjol adalah kayanya ornamen ukiran di seluruh bagian

rumah, mulai dari tiang penyangga, list atap, blandar, list dinding luar dan dalam rumah.

List atap didominasi oleh ukiran kerawang (berlobang). Jenis ornamen yang khas yaitu tali

13
berpilin, awan berarak, bunga, sulur-suluran masih tampak. Pada beberapa tempat,

ornamen ukiran ini diberi warna dengan cat hitam, kuning dan merah.

Warna hitam melambangkan bumi yang mempunyai makna bahwa siapa yang

masuk ke wilayah Aceh Tengah semua dianggap saudara atau keluarga dari masyarakat

Aceh Tengah. Warna kuning menandakan warna kerajaan. Sedangkan warna merah

khusus melambangkan keberanian dan digunakan oleh panglima. Satu ciri khusus

ornamen ukiran di rumah toweren adalah ukiran ikan, naga dan ayam di list dinding bawah

sisi timur. Menurut informan setempat, motif-motif ukiran hewan tersebut memiliki

makna khusus yakni: Motif ikan (jenis ikan yang disebutkan adalah ikan bawal) bermakna

kemuliaan, dalam hubungannya dengan kekayaan Danau Laut Tawar yang dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar danau.

Kemudian motif ayam juga bermakna kemuliaan atau kesejahteraan (sebagai salah

satu jenis hewan yang paling awal didomestikasi manusia), sementara itu motif naga

bermakna kekuatan dari masyarakat Gayo. Mengenai motif naga ini ada satu cerita atau

mitos di Aceh Tengah dari satu sumber yang mengisahkan tentang naga yang berasal dari

hulu Sungai Peusangan dan berdiam di danau laut tawar bertarung dengan naga yang

berasal dari hilir. Apakah motif ukiran naga ini ada hubungannya dengan cerita tersebut,

masih belum dapat dipastikan.

C. Masjid Tue Nosar

Masjid Tue Nosar terletak di tengah pemukiman warga Kampung Mude Nosar,

Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah. Informasi tetang sejarah masjid ini sangat

sulit kita dapatkan, bahkan warga sekitar masjid tidak begitu paham mengenai sejarah

masjid mungil ini. Ada beberapa blog yang saya kunjungi ada yang menjelaskan bahwa

masjid ini peninggalan Kerajaan Syiah Utama.

14
Tampak depan

Masjid Tue Nosar ini berurukuran sekitar 6 X 6 meter persegi dengan material

bangunan terbuat dari beton dan papan. Mimbar terbuat dari semen dan bentuknya

hampir sama dengan beberapa masjid tua di Kota Takengon. Dari hasil observasi kami

masjid ini kurang tidak terawat dan beberapa bagiannya sudah lapuk dimakan rayap dan

terkena hujan serta terik matahari. Ruangan masjid dipakai untuk gudang sejumlah barang

berupa balok, tiang, papan tuan dan keranda.

Mimbar Tiang Utama

15
D. Buntul Kubu/Hotel Belanda

Buntul Kubu terletak disebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Buntul Kubu

dibangun oleh kolonial Belanda sebagai tempat penginapan. Konstruksi bangunan Buntul

Kubu adalah kayu dengan setengah beton. Corak arsitektur bangunannya khas Eropa.

Foto belakang Buntul Kubu

Bangunan Buntul Kubu nyaris tidak pernah mengalami perubahan kalua dilihat

dari luar, bangunan aslinya masih tetap dipertahankan. Dikutip dari serambinews.com

bangunan Buntul Kubu pernah dijadikan tempat penginapan oleh pemerintah daerah,

namun tidak bertahan lama. Tempat ini juga pernah dijadikan Museum Gayo, tapi juga

tidak bertahan lama.

Foto salah satu sudut Buntul Kubu

16
Sekarang bagunan Buntul Kubu difungsikan sebagai kantor Satpol PP. kondisi ini

sangat disayangkan, seharusnya bangunan tetap dijadikan Museum agar nilai sejarah pada

bangunan peninggalan kolonial ini tidak terlupakan.

E. Masjid Tua Kebayakan

Rumah ibadah pertama bagi masyarakat muslim Aceh Tengah, Takengon adalah

mesjid yang berada di desa Bukit Kecamatan Kebayakan yang dinamakan Masjid Tue atau

Masjid Tua. Masjid Tue berdiri pada tahun 1901, Masjid Tua ini dulunya masih beratapkan

rumbia yakni daun yang berasal dari daun sagu dan Ijuk yakni daun yang berasal dari

pelepah daun kelapa. Masjid ini didirikan pada tahun 1895 di Kampung Kabayakan,

Kabupaten Aceh Tengah.

Foto dari depan

Pada saat Belanda menyerang Kampung Kabayakan pada 22 Mei 1905, masjid ini

hampir rampung dibangun. Pembangunan masjid ini dilakukan secara bergotong-royong

oleh masyarakat Kampung Lot Kala, Gunung Bukit, dan Kampung Jongok Meluem atau

Sagi Onom dan Sagi Lime yang kepanitiaannya diketuai oleh Teungku Khatib. Arsitektur

masjid ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Cina bernama Burik.

17
Menurut riwayat atau cerita, masjid Tue ini adalah masjid pertama yang dibuat di

Kabupaten Aceh tengah dibawah kepemimpinan Reje atau raja Mamat, dilanjutkan Reje

Ma’un, lalu Reje Ilang dan dilanjutkan Reje Bukit terakhir yakni Reje Ampon Zainuddin.

Dahulu, sekemungkinan masyarakat kebayakan melakukan sholat Jumat di Masjid

tersebut. Namun demi masa perubahan itu ada sehingga akhir-akhir ini dijadikan sirus

sejarah untuk Kabupaten Aceh Tengah.

Setelah dijadikannya masjid itu menjadi salah satu situs sejarah lahirlah masjid-

masjid lain seperti Masjid Al-Abrar, Masjid Az-Zikra atau Lot Kala, Masjid Al-Ikhlas atau

Pinangan, Masjid Mendale dan Lain-lain. Reje Kampung Bukit saat ini, Bapak Gamura

Ali Bersah mengatakan “Kami selaku rakyat Kampung Bukit selalu menjaga dan

memelihara mesjid Tue atau Masjid Tua tersebut”.

Foto mimbar Foto bagian atas masjid dari dalam

F. Goa Loyang Mandale

Loyang Mendale kini sudah diresmikan sebagai situs nasional dengan nilai sejarah

yang sangat tinggi. Pemerintah lokal juga sudah melakukan tindak pengamanan dengan

memasang pagar di sekitar lokasi. Namun, masyarakat tetap bisa mengakses tempat ini

untuk melihat jejak bersejarah di Dataran Tinggi Gayo. Loyang Mendale bukan hanya

menjadi objek wisata sejarah. Tempat ini juga bisa menjadi sarana edukasi bagi generasi

18
masa kini dan yang akan datang. Loyang Mendale telah membuka pengetahuan tentang

leluhur masyarakat Gayo di Takengon.

Tangga masuk ke situs Loyang Mandale

Menurut penelitian Ketut Wiratnganya, situs Loyang Mendale merupakan bukti

awal identitas masyarakat Gayo dimulai. Dalam area ini ditemukan tengkorak manusia

purba serta sejumlah ornamen dan artefak kuno yang mencerminkan kehidupan masa lalu

nenek moyang suku Gayo. Situs ini terletak di ujung barat Danau Laut Tawar. Tepatnya

Desa Mendale Kecamatan Kebayakan. Sayangnya pengunjung tidak akan ditemani

pemandu. Melainkan untuk mendapatkan sejumlah informasi, wisatawan harus mencari

juru kunci goa yang tinggal tidak jauh dari situs tersebut.

Penemuan artefak dan kerangka manusia prasejarah di Loyang (Goa) Mendale,

Kebayakan, Aceh Tengah, Aceh, memiliki makna besar. Ternyata, tiga kelompok manusia

pernah hidup di goa itu pada rentang waktu 8.800 tahun hingga 3.500 tahun lalu.

Melalui penelusuran seperti ini kita bisa memastikan. Kalau kekeberen yang ada di

Gayo, kisah yang ada di pesisir dan juga Singkil. Semua berdasarkan kisah-kisah yang

sudah kentara berbau Islam yang baru masuk ke Aceh pada paruh milenium kedua.

Padahal, Rasulullah Muhammad SAW saja lahir 5000 tahun sesudah pemilik kerangka di

19
Ceruk Mendale meninggal. Jadi dengan ditemukannya bukti arkeologi yang ada di Ceruk

Mendale, jelas sudah tidak pada tempatnya lagi kita yang ada di pesisir, Singkil dan juga

Gayo sendiri bicara tentang sejarah asal-usul orang Gayo berdasarkan kisah dan legenda.

Fakta sejarah menunjukkan, 6500 tahun silam. Jauh sebelum peradaban yang kita kenal

sekarang ada. Orang Gayo sudah menghuni Pulau Sumatera.

Foto situs Loyang Mandale

G. Makam Teungku H. Lyas Leube

Satu demi satu anak tangga dinaiki, hingga pada anak ke-42 baru kita dapati

makam seorang tokoh pejuang DI/TI dan GAM yang bernama Teungku Ilyas Leube.

Dari gerbang masuk pemakaman, di sisi kanan pejuang tiga masa itu, ada makam anaknya

Ilham yang meninggal 25 Februari 2014, dan juga Iqlil yang meninggal 30 Juli 2015.

Teungku Ilyas Leube sendiri syahid 15 April 1982 di Pengunungan Jeunib 15 April 1982

dalam insiden pengepungan usai lokasi mereka diketahui aparat RPKAD.

20
Foto tangga menuju makam mendiang Teungku Ilyas Leube

Tengku Ilyas Leube memang satu perjuangan dengan Abu Daud Beureueh, dan

menjadi pejuang terakhir yang “turun gunung”. Namun, karena apa yang diharapkan bagi

Aceh tidak diwujudkan, Teungku Ilyas Leube kembali “naik gunung”, memilih jalan

perjuangan bersama Hasan Tiro. Sebuah pilihan tidak mudah namun cukup mendasar,

apalagi usai dirinya berdiskusi panjang dengan Hasan Tiro, bisa jadi di pinggir Lut Tawar,

sebelum keduanya sepakat bertemu lagi di Gunung Halimun, tempat GAM dideklarasi 42

tahun lalu, tepatnya Sabtu, 4 Desember 1976.

Makam Teungku Ilyas Leube


Ajal tidak dapat ditolak, sebelum cita-cita terwujud, Teungku Ilyas Leube syahid.

Namun, kesadaran ahli dakwah itu masih tersimpan, di ingatan istrinya, Salamah. “Karena

sudah ditanya maka saya terangkan, Teungku, suami saya, ingin apa yang dimiliki oleh

Aceh bermanfaat bagi semua yang tinggal di Aceh tanpa membeda-bedakan suku, ” kata

21
Salamah usai acara Maulid Nabi yang digelar di depan rumahnya, Bandar Lampahan, tidak

jauh dari komplek makam suami dan juga anak-anaknya. Menurut Salamah, kepentingan

Aceh harus diperjuangkan, dan tidak menjadi soal jika harus berbeda-beda jalur

perjuangan.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Praktik kuliah lapangan ini merupakan suatu mata kuliah wajib bagi mahasiswa

jurusan sejarah guna menambah wawasan dan pengetahuan langsung dari lingkungan

sehingga mampu membentuk pola pikir yang lebih detail dan kritis.

Dari semua situs yang dikunjungi dapat disimpulkan kurangnya perhatian dan

kesadaran pemerintah daerah dan warga di sekitarnya untuk melestarikan situs sejarah.

Sehingga situs-situs tersebut kurang terawat dan bahkan ada yang disalahfungsikan.

Situs-situs peninggalan sejarah tersebut merupakan bukti kekayaan budaya suatu

wilayah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Situs-situs tersebut juga dapat

mendatangkan manfaat bagi wilayah dan warga sekitar, yaitu dapat bangkitnya

perekonomian daerah dan warga sekitar karena adanya pelancong dan penggunggung dari

berbagai daerah.

B. Saran

Tulisan laporan ini tidak akan terlepas dari kesalahan, dibalik itu semua penulis

sudah berkuliah keras untuk menyelesaikan laporan ini. Perbaikan sangat penting jadi

kritik dan saran dari pembaca sangat membangun untuk perbaikan laporan ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

https://www.acehtrend.com/2018/12/04/ziarah-sunyi-muharuddin-di-makam-tgk-
ilyas-leube/. Diakses: 1 Januari 20.30 PM

https://www.lintasgayo.com/32171/foto-masjid-tue-nosar.html. Diakses: 1 Januari


20.30 PM

http://www.lingkarsuaranews.com/loyang-mendale-asal-mula-peradaban-suku-gayo/.
Diakses: 1 Januari 20.30 PM

https://aceh.tribunnews.com/2019/11/30/menelurusi-jejak-kerajaan-raja-bukit-di-
toweren?page=2. diakses: 30 Desember 22:38 PM.

https://lintasgayo.co/2019/11/30/menelusuri-jejak-kerajaan-reje-bukit-di-toweren.
diakses: 30 Desember 22:40 PM.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/pemeliharaan-situs-loyang-mandale-
aceh-tengah/. diakses: 30 Desember 22:40 PM.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/rumah-adat-toweren-kabupaten-aceh-
tengah/. diakses: 30 Desember 22:40 PM.

https://situsbudaya.id/rumah-adat-toweren-kabupaten-aceh-tengah/. diakses: 30
Desember 22:50 PM.

24

Anda mungkin juga menyukai