Anda di halaman 1dari 11

MAQTAL SAYYIDAH FATIMAH

AZZAHRA

Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri
nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan
al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya,
salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh
dengan dosa ini,

Salam bagimu.....

Tepat pada tanggal 20 Jumadil Tsani, di hari Jumat yang suci, dua tahun setelah
bi’tsah Rasul saw, Sayyidah Khodijah melahirkan seorang putri yang telah
dipersiapkan untuk mengemban tugas yang teramat berat. Sosok yang kelahiran
sampai akhir hayatnya kelak dipenuhi dengan berbagai derita dan cobaan yang
akan menimpanya.

Dengan didampingi oleh empat wanita suci Assayyidah Khodijah melahirkan


bayi suci yang namanya telah dipersiapkan oleh penciptanya sebelum
kelahirannya tiba. Fathimah adalah nama yang dihadiahkan Tuhan untuk putri
Nabi ini.

Pada usia yang masih sangat belia Fathimah Azzahra harus berpisah dengan
ibundanya yang tercinta. Khodijah wanita suci yang selalu mendampingi Nabi
dalam suka dan duka telah dipanggil pencipta untuk selama lamanya. Nabi
bersedih atas kepergian istri yang teramat dicintainya,begitu pula Fatimah turut
dalam kesedihan yang teramat sangat. Sepeninggal Khodijah perhatian
Fathimah kepada ayahnya semakin bertambah. Peran ibundanya sekejap ia
letakkan diatas pundaknya. Fathimah berupaya menghibur ayahnya atas
kepergian sang istri tercintanya.

Ketika Nabi di Thaif, sekelompok anak anak kecil dan juga orang dewasa
berlomba menimpuki Nabi dengan batu dan kotoran unta, Fathimah yang masih
sangat belia tampil dengan perangai seorang ibu yang cemas dengan putranya.
Dibersihkan kotoran dan darah yang berada pada pada wajah ayahnya. Air mata
nabi tak mampu beliau sembunyikan ketika melihat putri tercintanya. Seorang
anak yang sepatutnya sedang asyik bermain dengan teman seusianya sekarang
justru berada dipangkuan ayahnya, menghalangi siapapun yang akan melukai
rasulnya. Fathimahpun menangis melihat keaadan ayahnya, dengan suara
bergetar penuh keharuan nabi meyeka tiap butiran air mata yang mengalir dipipi
mungil putrinya sambil berkata, ' habibati Fathimah la tabki',' belahan jiwaku
Fathimah janganlah engkau menangis'. Begitulah ucapan Nabi ketika tangan
suci putrinya menyeka darah yang mengalir dikeningnya. Ummu Abiha, ibu
dari ayahnya adalah gelar yang Rasulullah peruntukkan kepada putrinya. Satu
satunya gelar yang belum pernah ada dalam sejarah kecuali untuk Fathimah
Azzahra as.

Duka dan kesedihan selalu mengiringi kehidupan keluarga nabi, akan tetapi
Fathimah senantiasa menyembunyikan kedukaannya selama sang ayah berada
disampingnya. Kecintaan assayyidah Fathimah begitu tinggi terhadap ayahnya
dan begitu pula Rasul saaw kepada putrinya hingga beliau bersabda, “Fathimah
adalah belahan jiwaku, siapapun yang mencintai Fathimah berarti dia
mencintaiku.”
Saat yang membahagiakanpun tiba, Fathimah dinikahkan dengan putra
pamannya, seorang yang tak pernah meninggalkan nabi dalam perang apapun,
putra Abu Thalib yang kelahirannya dibaitullah dengan segala keajaibannya,
dialah Ali bin Abi Tholib yang tanpa keberadaannya tak akan mungkin ada
manusia yang layak meminang Fathimah dan menikah dengannya. Pernikahan
yang dirayakan tidak hanya oleh penduduk bumi, para malaikat dan bidadari
dilangitpun sibuk menyambutnya. Jibril as meyampaikan pesan Tuhan kepada
Rasul ketika merayakan pernikan al Batul Fathimah dengan al Wusul Ali bin
Abi Tholib, yang berbunyi,
“Al Hamdu adalah selendang-Ku, keagungan adalah kebesaran-Ku, segala
makhluk adalah hamba-Ku, Aku menuikahkan Fathimah hamba-Ku dengan Ali
pilihan-Ku, saksikanlah wahai para malaikat-Ku...” Sementara di bumi Rasul
saaw bersabda, “Sungguh aku manusia seperti kalian menikah ditengah kalian
dan menikahkan kalian, kecuali Fathimah putriku yang pernikahannya turun
dari langit.”
Ketika Rasulullah menyuruh para wanita keluar dari kamar putrinya pada saat
malam pernikahan, Asma' bintu Unmais salah seorang yang berkhidmat kepada
keluarga nabi tetap tak melangkah kakinya, hingga Rasulpun bertanya kepada
Asma’, “Bukankah aku telah menyuruhmu untuk meninggalkan kamar putriku
ini wahai Asma’ ?” Ia menjawab, “Betul wahai Rasul, semoga ayah dan ibuku
menjadi tebusanmu. saya tak bermaksud untuk melanggar perintahmu akan
tetapi wasiat Khadijahlah yang menyuruhku untuk berada di kamar ini. Di saat-
saat terakhirnya beliau mewasiatkan kepadaku untuk mendampingi putrimu di
saat seperti ini, karena setiap wanita pasti akan mengharapkan kehadiran
ibundanya untuk berada di sampingnya ketika hendak menikah.” Rasulpun
bersedih bersama putrinya ketika mendengar Asma’ bercerita tentang Khadijah .

Madinah 28 Shofar tahun ke-11 H adalah tahun yang paling menyedihkan


bagi keluarga Nabi terutama Fathimah. Lembaran kedukaan yang teramat
sangat mulai tampak dirumah arrasul. Semua orang menatap sedih melihat
kondisi Nabinya. Satu persatu keluarga beliau dipanggilnya, dimulai dari al
Hasan sampai kepada Azahra yang terus menerus menangis dalam pelukan
ayahnya. Nabi memeluk erat putrinya seakan beliau tak ingin melepaskannya
begitu pula Fathimah. Hingga Rasul saaw membisikkan pesan terahirnya
barulah Fathimah tersenyum keluh, senyuman pertanda ia adalah orang pertama
yang akan menyusul ayahnya.

Fiddhoh seorang kepercayan azzahra bercerita tatkala Rasulullah saaw meniggal


dunia berdukalah yang kecil dan yang besar, dan bertambah benyaklah tangisan
dukapun menjadi besar atas kerabat, sahabat, kekasih dan orang-orang
kesayangan, juga orang asing yang tak memiliki nasab dengan beliau. Yang
terlihat hanyalah orang yang menangis, baik laki laki maupun perempuan.
Begitu banyak orang yang menangis dan berduka tetapi kesedihan para
penghuni bumi tiada sebanding dan melebihi duka Sayyidah Fathimah as, setiap
hari kesedihannya bertambah begitu pula tangisannya bertambah keras lalu ia
berdiam diri selama tujuh hari. Ketika Fathimah menangis setiap tangisannya
lebih besar dari sebelumnya. Pada hari kedelapan ia menampakkan kesusahan
yang dipendamnya, saat itu Azzahra berteriak histeris sambil menangis lalu
memanggil-manggil ayahnya, “Wa abatah....wa Muhammadah. Wahai
ayah....wahai Muhammad. Duhai tempat berlindungnya para janda dan anak
yatim, siapa lagi milik putrimu yang sangat mencintai dan kehilangannmu ini.”

Dan beliaupun sering tak sadarkan diri, ketika Bilal mengumandangkan azan,
saat terdengar nama ayahnya disebut “Asyhadu anna Muhammadar
Rasululullah”. Kembali Fathimah menangis seraya berkata, “ismuka ‘alal
mana’ir wa rosmuka fil maqobir (namamu menghiasi menara-menara masjid,
sementara jasadmu terbujur di dalam kubur).” Ali berlari memeluk istri
tercintanya dan memberikan baju nabi yang dipintanya, lalu Fathimah
menciumi baju Nabi sampai terjatuh ke tanah, sambil berlinang air mata
Azzahra berjalan menuju pusara ayahnya. Ketika berada di depan kubur
ayahnya, Fathimah mengambil segenggam tanah dari makam ayahandanya,
beliau ciumi tanah suci nabi sambil berkata, “Madza ‘ala man syamma turbata
Ahmadin, ala yasyummu madazamani ghowaliya, syubbat alayya masho’ibun
laula annaha, syubbat ‘alal ayyami sirna layaliya (…kalau saja penderitaanku
ditimpakan pada siang, maka ia akan menjadi malam)”
Tak ada lagi senyuman yang terpancar dari Fathimah setelah kepergian nabi.
Hari demi hari pendertitaan datang silih berganti. Seakan ujian enggan
menjauhinnya. Para sahabatpun memiliki andil besar dalam menambah
kesedihan untuk putri kesayangan nabi ini. Setelah mereka mengambil hak
suaminya, Ali dan tanah fadaqpun dirampasnya sebagai milik negara oleh
penguasa. Tidak berhenti sampai di situ penderitaan Fathimah putri nabi
semakin menjadi ketika sekumpulan manusia lapar kekuasaan mengepung
rumahnya. Rumah tempat turunnnya risalah, rtumah yang dindingnya adalah
nubuwah dan atapnya adalah arsynya Allah, sekarang sedang dikelilingi oleh
orang yang mengaku tonggaknya agama dan kebenaran. Teriakan bengis yang
tak patut mereka lontarkan, sampai ancaman pembakaran. Pintu rumah
pertemuan antara nubuwah dan imamah didobrak paksa, pintu yang di baliknya
terdapat wanita tanpa daya. Di balik pintu itu ada Fathimah. Mereka terus
memaksa masuk. Pemandangan apakah yang terjadi setelahnya. Az-Zahra jatuh
terhuyung ke tanah rumahnya. Lalu api mereka sulut dan lemparkan. Fathimah
terluka, tulang rusuk dan lengannya pun patah. Putra beliau (Muhsin) syahid
karena keguguran. Lengkaplah kesedihan putri nabi dengan apa yang
diterimanya dari orang yang mengaku para sahabat pembela ayahnya. Hal ini
mengingatkan kita akan syair yang layak melekat pada mereka, “Lau ahabbu
abaaki haqqon ahabbuki (Kalaulah benar mereka mencintai ayahmu, pasti
mereka akan mencintaimu).”
Hari demi hari dilaluinya dengan penderitaan yang tak kunjung berakhir, badan
putri nabi ini semakin teriris pedih dan tubuhnyapun semakin tak berdaya.
Ketika kekuatan fisiknya semakin melemah dikarenakan sakit yang
dideritannya. Azzahra berupaya memandikan putranya Al-Hasan dan Al-
Husain, menggantikan pakaian mereka, kemudian mengirim mereka kepada
sepupunya, walaupun demikian ia berupaya menyembunyikan rasa sakitnya di
hadapan kedua anakanya.

Kemudian Azzahra memanggil suami tercintanya ke sisinya seraya berkata,


“Ali suamiku yang tercinta, anda sangat mengetahui mengapa saya lakukan
semua itu. Maafkan segala kesalahan saya, mereka telah demikian menderita
bersama saya selama sakit saya, sehingga saya ingin melihat mereka bahagia
pada hari terakhir hidupku. Wahai Ali andapun tahu bahwa hari ini adalah
hari terakhir saya. Saya gembira tetapi juga bersedih. Saya senang bahwa
penderitaan saya akan segera berakhir dan saya akan bertemu dengan ayah
saya, dan sedih karena harus berpisah denganmu. Mohon wahai Ali catatlah
apa yang akan saya katakan dan kerjakanlah apa yang saya inginkan.
Sepeninggal saya anda boleh menikahi siapa saja yang anda sukai tetapi
hendaklah anda nikahi Yamamah sepupuku, ia mencintai anak-anakku, dan
Husain sangat dekat kepadanya. Wahai Ali kuburkan saya di malam hari dan
jangan biarkan orang-orang yang telah sedemikian kejam kepada saya turut
menyertai penguburan saya. Jangan biarkan kematian saya mengecilkan
hatimu. Anda harus melayani Islam dan kebenaran untuk waktu yang lama.
Janganlah penderitaanku memahitkan kehidupanmu. Berjanjilah pada saya
wahai Ali.” Dengan berlinang air mata, Ali menjawab, “Ya wahai istriku
tercinta, aku berjanji.”
Fathimah lalu berkata lagi, “Ali, saya tahu betapa engkau sangat mencintai
anak-anak saya. Namun, sangatlah berhati-hati dengan Husain, ia sangat
mencintai saya dan ia akan sangat sedih kehilangan saya. Jadilah ibu baginya.
Hingga menjelang sakit saya ini, ia biasa tidur ke dada saya, dan sekarang ia
kehilangan itu.”

Ali sedang mengelus-elus tangan yang patah itu, tak kuasa menahan airmatanya
hingga tetesannya terjatuh ke tangan istrinya. Fathimah mengangkat wajahnya
seraya berkata, “Jangan menangis wahai suamiku, saya tahu dengan wajah
lahirmu yang tampak kasar betapa lembut hatimu, engkau telah menderita
terlalu banyak dan masih akan menderita lebih banyak lagi.”
Di malam terakhir kehidupunnya didunia yang fana ini, sambil menahan rasa
sakit yang menimpanya, Sayyidah Fathimah Azzahra menengadahkan kedua
tangannya ke langit dan berdoa untuk pengikut dan pencinta setia keluarga
Nabi. Dengan menyebut ayah, suami, dan putra-putranya beliau memohon
kepada Allah Jalla wa 'Ala', “Wahai Tuhan-ku, sungguh aku memohon kepada-
Mu melalui Muhammad al-Musthofa dan kerinduannya kepadaku, melalui
suamiku Ali al-murtadho serta dukanya terhadapku, melalui al-Hasan al-
Mujtaba dan tangisannya atasku, melalui putraku al-Husain As Syahid dan
kedukaannya terhadapku, melalui putri-putriku dan duka mereka semua atasku.
Sungguh Engkaulah yang paling pengasih dari segala yang mengasihi.
Tuhanku, Penghuluku, aku bermohon kepada-Mu melalui orang orang pilihan-
Mu dan tangisan putra-putraku karena berpisah denganku, agar Engkau
mengampuni para pendosa dan ahli maksiat dari pengikut keturunanku.”
Madinah,1 3 Jumadil awal 11 H. Saat saat yang memilukan semakin
mendekati keluarga nabi dan pencintanya. Asma’ binti Umais dengan diselimuti
kegundahan berada di depan pintu kamar Azzahra. Suara lantunan al-Quran dan
doa dalam sholat Fathimah masih mampu didengarnya, akan tetapi tak lama
kemudian suara itu lenyap tak terdengar lagi. Asma' pun memanggil, “Ya Zahra
.....ya Zahra ....... ya Zahra”, tetapi tidak tak ada jawaban. Hingga ia pun
memberanikan diri untuk memasuki kamar putri nabi, dan didapatinya tubuh
suci putri nabi di atas sajadah dalam keadaan sujud tertutupi rida'-nya. Lalu
dibukanya rida’ (kain penutup) itu, dan tampak wajah penuh bercahaya
memancar dari paras suci Azzahra as. Belum usai tangis Asma’, ia sudah
dikejutkan oleh suara salam anak kecil dari balik pintu, yang tak lain adalah
suara Al-Hasan dan Al-Husain yang baru usai sholat berjamaah dengan
ayahnya.

Segera mereka bertanya tentang keberadaan ibu mereka. Asma' mengatakan


bahwa ibunda mereka sedang tertidur, lalu menyuruh putra Zahra ini untuk
menikmati hidangan yang telah disiapkan. Tetapi apa jawab Al-Husain, “Saat
ini adalah saat ibu kami beribadah dan kami tidak pernah menikmati hidangan
tanpa ibu di samping kami.” Asma tak mampu menyembunyikan tangisnya, Al-
Husain segera berlari menuju ke kamar ibundanya, ia mendapati ibunya sudah
tak bernyawa. Sambil berteriak dan menangis, Al-Husain menciumi kaki
ibunya, Al-Hasan meletakkan pipinya di wajah ibunya, “Ya ummah
kallimini.....ummah kallimini ..... ana ‘azizuki al-Husain (wahai ibu, bicaralah
kepadaku…bicaralah kepadaku…aku putera kesayanganmu al-Husain).”
Ali pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri di perkarangan masjid
Madinah, ketika mendengar kepergian Fathimah. Kaki yang tegap ketika di
Badar, tubuh yang kekar ketika di Khaibar, akhirnya tak kuasa menahan derita
perpisahan dengan semerbak wewangian surga Fathimah al-Kautsar. Beliau
berkata, “Aro ‘ilaluddunya alayya katsirotan wa shohibuha ba’dal mamati
‘alilun”.

Malam ini, kan kumandikan bungaku, bunga kuncupku dan tulipki dengan air
mata.Wahai awan, menangislah bersamaku...karena malam ini akulah orang
yang paling kesepian dumuka bumi. Wahai cerminku yang telah hancur
sepeninggalanmu tiada lagi yang bisa kuajak berbagi. Mulai saat ini aku yang
kesepian dan lelah ini, Wahai zahro tak kan kudengar lagi suaramu yang
menyayat hati. Wahai Zahro, karena kesepian mulai saat ini hingga kiamat, kan
kusandarkan kepalaku ke dinding siang dan malam. Ku tak ingin kenangan
indah bersamamu hilang dari benakku. Mengapa engkau padam wahai lentera
rumah?? Mengapa engkau tak mau berbicara denganku?? Mengapa tak kau
ambil keletihanku ini dari diriku?? (ungkapan ini beliau sampaikan tatkala
memandikan sayyidah fatimah, selamat atas setiap anda yang menangis
karena cinta pada fatimah... insyaAllah ketika suara saya ini melengking,
jangan anda lupakan ibu anda... insyaAllah ibu kita berada dalam satu
sofrah bersama azzahra..) Mengapa engkau tak mau berbicara denganku??
Mengapa tak kau ambil keletihanku ini dari diriku?? Ya Allah apa yang kulihat
malam ini?!( Imam Ali sedang memandikan jenazah azzahra) Ya Allah apa
yang kulihat malam ini?! Kenapa diwajahmu (wahai fatimah) ada bekas
tamparan?! Wahai zahro yang teraniaya maafkanlah aku. Wahai zahro yang
teraniaya maafkanlah aku. Sungguh Ali malu dengan wajah yang berbekas
tamparan ini. Wahai zahro berbicaralah denganku...! Mengapa tak kau beritahu
aku siapa yang telah menamparmu? Wahai kekasihku jawablah pertanyaanku?
Siapakah yang mematahkan rusukmu yang suci ini?. Bukankah dulu kau
penyejuk hatiku? Mengapa kau tak tinggal bersamaku? Mengapa kau tinggalkan
ali sendirian? Dalam perpisahan seperti ini dimana kini engkau akan menghadap
Rosulullah, ceritakanlah semua yang kau alami,! Sampaikan salamku kepada
ayahmu, Rosulullah. Jika beliau bertanya keadaanku, jawablah “Ali menahan
amarah”. Jika beliau bertanya mengapa ali tak datang menolongmu? , jawablah
“mereka mengikat lehernya, aku melihat mereka menyeretnya ke masjid”.
Selamat atas anda yang meratapi penderitaan keluarga nabi, dalam tangisan
anda jangan anda lupakan orang tua kita,...doakanlah dan sampaikan bela
sungkawa pada imam mahdi afs. Wahai mahdi gapailah tangan
mereka.....doakanlah ortu kita....

Malam itu Ali mencurahkan isi hatinya kepada tanah seraya berkata:
“berhentilah menyakiti fatimah, karena banyak sekali penderitaan didunia ini
yang dialaminya janganlah kau buat kekasihku menderita.”

Malam itu imam Husain as Mengucapkan bela sungkawa kepada imam Hasan
as. Namun zainab as terus merintih dan tak sadarkan diri, Ali terus menangis
sampai fajar shodiq, dahaga bumipun terpuaskan oleh mata Ali. Dengan suara
pelan dan dengan kata kata manis, Imam Husain memanggil ibunya dengan
ratapan dan air mata. Pada malam itu semua melihat Zahra memeluk putranya.
Salman alfarisi berkata: “sekarang sudah tengah malam, aku gelisah air mataku
terus mengalir...hal itu karena berita syahidnya Fatimah terdengar di malam
hari, akupun pergi untuk turut menghantar jenazah Az-Zahra as, tapi ali berkata
“pelayatan az-Zahra ditunda” Tengah malam aku pulang kerumah, di rumah
Salman melakukan sholat nafilah dan sesekali berjalan jalan, Ya Allah sambil
berjalan salman berkata: Aku tak percaya kini Ali hidup tanpa Zahro’, tiba tiba
aku melihat ada orang mengetuk pintu rumahku. Ya Allah siapakah yang
mengetuk pintu di tengah malam?, aku buka pintu itu, kulihat datang buah hati
Fatimah al Hasan dan alHusain mereka berdua datang dalam keadaan menangis
dengan suara pelan. Salman berkata: wahai buah hati Fatimah kenapa kalian
kemari ada gerangan apa? Tahukah kalian apa jawaban buah hati fatimah?
Buah hati Fatimah berkata: Paman, ayahku mengirimkan salam untukmu, beliau
berkata: kalau engkau ingin melayat, datanglah sekarang. Sebab ibuku Fatimah
berwasiat agar kami memandikan, mengkafani dan menguburkannya ditengah
malam. Salman berkata: Aku berlari menuju rumah Az-Zahra.”
Ali memandikan Zahra dibalik bajunya, sementara asma’ menuangkan airnya.
Ali berpesan kepada anaknya untuk tidak menangis dengan suara keras, yang
dengan demikian musuh musuh akan tahu dan wasiat Zahra itu akan tersebae ke
semua orang, Alipun mengamalkan wasiat az-Zahra oleh karena itu Hasan dan
Husain berusaha menahan isakan tangisnya,... ketika ali memandikannya tiba2
Ali berhenti memandikan sambil memandangi tulang rusuk Fatimah , mengapa
Ali berhenti memandikan Fatimah?? Tiba tiba ali melangkah ke arah dinding
dan berulang kali membenturkan kepalanya ke dinding dan menangis dengan
suara keras....
Zahrooo.....
Zahroo....
Zahroooo.....
Aku menghampiri Ali lalu berkata kepadanya: Wahai Ali bukankah kamu
sendiri yang berpesan untuk tidak mengeraskan suara??! Kamu juga yang
melarang untuk agar merendahkan rintihan, lalu kenapa kau sendiri yang
melakukan hal itu??. Tahukan anda apa jawaban beliau?? Kamu tidak tahu,
malam ini aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi, aku selalu berkata pada
diriku kenapa setiap kali Zahra mau berdiri tangannya selalu memegangi
dinding/? Aku selalu berkata pada diriku kenapa setiap kali Zahra beranjak dari
tempat tidur tangannya selalu bersandar pada bahu Zainab?? Malam ini aku
baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi...sekarang aku baru mengetahui
kenapa Zahra tidak mengatakannya padaku. Memangnya apa yang tidak
dikatakannya padamu wahai Ali? Sambil menunjuk tulang rusuk Zahra, Ali
berkata: “mereka telah mematahkan tulang rusuk Zahra”
Zahrooooo.....
Zahroooo....

Anda mungkin juga menyukai